(Dosen/gurubesar Institut Ilmu Alquran(IIQ) Jakarta). Seperti sudah dijelaskan pada pasal dagang(jual beli) riba adalah suatu amal keuangan yang haram tanpa ragu. Tetapi umat Islam masih dipenuhi keraguan apakah yang dipraktekkan oleh perbankan saat ini adalah riba dan karena itu haram tanpa ragu. Jawaban yang sudah termasyhur dewasa ini ialah tidaklah semua pelayanan bank adalah riba. Yang dianggap riba hanyalah pelayanan bank yang melipatgandakan rente pinjamannya hingga sulit bagi peminjam mengembalikan uang pinjamannya. Atau apabila rente itu berganda-ganda lalu disebut rente op rente atau bunga berbunga nonstop membengkak terus.Sebelum kita membicarakan sistem perbankan kita dewasa ini baiklah kita bicarakan lebih dahulu tentang riba itu di dalam kitab-kitab fiqih lama. Larangan terhadap riba tersebut dalam Al-quran yang berbunyi : “Hai, orang-orang yang beriman ! janganlah kamu makan riba yang berganda-ganda, takutlah kamu kepada Allah supaya kamu dapat kemenangan ” (Al-Imran ayat 130). “ Hai, orang-orang yang beriman ! Takutlah kamu kepada Allah dan tinggalknlah sisa-sisa riba itu jika kamu betul-betul beriman. Apabila kamu tidak mengindahkannya ketahuilah Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Tetapi jika kamu sudah tobat, berhenti dari riba, maka peganglah harta pokok kamu (berdaganglah dengan baik) hingga kamu tidak menganiaya orang dan kamu tidak pula teraniaya ” (Al- Baqarah ayat 278 dan 279). Mengenai riba itu Rasulullah Saw ada memberikan cirinya yang terlarang sebagai berikut : “ Hutang mas dibayar dengan mas, hutang perak dibayar dengan perak, hutang gandum dibayar dengan gandum, hutang biji gandum dibayar dengan biji gandum, hutang kurma dibayar dengan kurma, hutang garam dibayar dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima, apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual sekehendakmu asal tunai “. ( Hadits Riwayat : Muslim dan Ahmad dari Ubaidah bin Shamad). Isi pengertian hadits ini sangat menakjubkan, sebab Nabi tidak menyebutkan uang dibayar dengan uang. Yang menyebabkan riba itu karena pembayaran dengan uang itulah. Jika orang berhutang tanggal 1 Januari 1985 sejumlah satu juta rupiah dan dikembalikannya pada tanggal 1 Agustus 1985 dengan uang sebanyak satu juta rupiah saja sebagaimana besar pinjamannya, maka kenyataannya menurut peredaran nilai harga uang ( inflation rate) pembayaran itu jadinya merugikan pihak yang menghutangkan. Satu juta rupiah pada tanggal 1 Januari 1985 dapat membeli sebuah bajaj tetapi pada tanggal 1 Agustus 1985 harga bajaj sudah menjadi satu juta tiga ratus ribu rupiah. Peredaran inflasi misalnya sebanyak 24%, itu berarti satu bulan uang satu juta rupiah itu harus ditambahkan rentenya sebanyak 2% sebulan maka hal itu bukan riba tetapi adalah keadilan. Selain soal inflasi juga adanya unsur biaya administrasi di dalam suatu bank. Maka adalah suatu keadilan pula jika suatu bank yang didirikan untuk kepentingan sosial (membantu masyarakat) tetapi dirinya sendiri (biaya perbankan itu) tidak boleh dirugikan. Maka untuk biaya administrasi itulah misalnya sebuah bank pemerintah atau bank swasta yang dikendalikan oleh kebijaksanaan pemerintah diizinkan menambahkan rentenya di samping akibat inflasi itu dengan ½% lagi atau 1% lagi., hingga menjadi apa yang disebut rente yang diizinkan pemerintah adalah 2 ½%(dua setengah persen) setiap bulan. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mengatur Undang-Undang Perbankan di mana disebutkan di dalamnya di samping adanya ruang progres (kemajuan berkembang) bagi bank tersebut juga diberikan batasan tertinggi rente baginya. Bank-Bank swasta yang baik ialah yang memenuhi syarat-syarat yang di dalam Undang-Undang Pemerintah itu. Sedangkan Bank-Bank swasta yang tidak baik ialah disamping pada lahirnya menjalankan peraturan bank tersebut, tetapi dibelakang layar menjalankan praktek bank gelap yang rentenya jauh lebih tinggi daripada pengaturan rente resmi tersebut. Mengenai pembahasan tentang haram atau tidak haramnya bank itu baiklah kami catat kembali banyak pendapat dikalangan ulama Islam terkemuka di antaranya kami kutip dari Bank dalam Islam karangan teman saya Drs.A.Chatib buku terbitan Penerbit Bulan Bintang Jakarta. K.H. Mas Mansyur, yang pernah menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah, berpendapat bahwa hukum Bank mendirikan, mengurus, mengerjakan dan berhubungan dengannya adalah haram. Semua ulama yang mengetahui seluk beluk hukum agama, tidak boleh tidak menyatakan haram tentang hukum bank itu. Akan tetapi kenyataan yang nyata membuktikan akan kepentingannya.Jika tidak dengan bank maka kita akan terdesak dan tersesak, surut mundur kebelakang. Sifat dan melakukan kita dapat menjadi saksi dan kenyataan akan menjadi bukti atas hal yang demikian. Alhamdulillah Tuhan Maha Bijaksana, Tuhan memberi jalan bila keadaan sudah memaksa kita. Ulama Ushul dengan bersendi kepada ayat-ayat Al- Quran dan hadits-hadits yang shahih sudah membuat beberapa kaidah, di antaranya : 1. Keadaan yang memaksa memperbolehkan kita mengerjakan apa yang terlarang. 2. Kesempitan-kesempitan dapat membawa kepada kelonggran. 3. Segala perkara yang sempit jalannya mendapat keluasan. 4. Di kala menghadapi dua bahaya, maka kita diharuskan melakukan yang lebih ringan di antara keduanya. 5. Bahaya atau sesuatu yang mungkin mendatangkan bahaya harus kita usahakan melenyapkannya. Memperhatikan akan kaidah-kaidah ini maka menjadi kewajiban bagi ulama dan pemuka Islam yang cerdik pandai akan mnyelidiki soal soal yang baru timbul yang ada kepentingan bagi umat Islam, seperti membahas perkara mengadakan bank ini. Jadi kesimpulan tentang hukum bank adalah haram, tetapi diperkenankan, dipermudahkan dan diperbolehkan mengerjakannya selama keadaan memaksa. Kemudian A.Hasan(ulama dari organisasi Persis) berpendapat bahwa didalam urusan keduniaan tidak ada satupun perintah atau larangan agama yang tidak dapat dipikirkan gunanya atau faedahnya oleh manusia. Dan tidak satupun perintah yang menghalangi kemajuan dan kemakmuran perdagangan, pertanian,pertukangan, dan lain lain perusahaan yang halal. Dan tidak satupun perkara kebaikan dilarang oleh agama, sebagaimana tidak ada satupun perkara kejahatan dibenarkan. Oleh sebab itu maka mendirikan satu bank atau koperasi buat keperluan dagang dan menghutangi orang yang hendak berdagang dengan syarat-syarat yang tersebut di atas itu, dengan tidak syak lagi, halal bahkan dapat dipandang salah oleh orang orang yang mampu yang tinggal diam. Siapa berani berkata, tidak baik kita buka bank atau koperasi untuk keperluan perdagangan dan untuk menghutangi orang orang yang hendak berusaha dengan riba yang murah, seandainya orang yang berusaha itu bisa dapat untung ?. Undang undang dan peraturan yang melarang orang memakan riba yang tinggi tidak berjalan Di negeri itu banyak pemakan riba menghisap darah semau-maunya. Apa ikhtiar kita buat menghilangkan riba merah itu? Kalau bank dan koperasi itu sudah banyak, tentu riba merah akan luntur sendiri buat berkonkurensi dengan riba-riba yang ringan dan orang yang hendak berdagang kecil-kecilan tidak begitu payah dapat kapital. Mengadakan bank-bank dan koperasi- koperasi itu pada pandangan saya wajib atas orang-orang yang mampu, walaupun mereka percaya haramnya riba sedikit atau banyak, karena menurut kaidah agama dan akal bahwa menghilangkan satu kejahatan yang besar dengan satu kejahatan yang kecil itu diperintah. DR. Mohammad Hatta ( bekas wakil Presiden RI dan salah satu Proklamator) berpendapat, bahwa bank adalah sendi kemajuan masyarakat.. Jika sekiranya tidak ada bank, tidak akan didapat kemajuan. Bank melancarkan segala perhubungan yang membawa kemajuan. Negeri yang tidak mempunyai bank ternyata negeri yang amat terkebelakang. Bank itu berniaga kredit. Kalau berniaga dibolehkan, berniaga kredit mesti dibolehkan juga. Umpamanya seseorang mempunyai kapital yang dapat dibelikan rumah sewaan yang menimbulkan keuntungan, dapat dibelikan efecten yang menghasilkan rente baginya dan dapat pula dipertaruhkan ke bank yang memberi rente kepadanya. Apa sebab yang pertama halal dan yang kemudian mesti diharamkan. Dari pendapat ini DR.Moh.Hatta menyimpulkan bank tidak perlu diharamkan. Note: Disalin sesuai aslinya dari buku: Pedoman Islam di Indonesia. Oleh: H.Syarif Laisa.