Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“MENGENAL EPISTEMOLOGI ISLAM”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang Diampu oleh Bapak

Mohammad Noviani Ardi, S.Fil.I.,MIRKH

Kelompok 8
1. Laelatul Latifah (30501900033)
2. Ricky Maulana Sandhy (30501900054)
3. Risqia Alfiani (30501900056)
4. Yoga Prasetyo (30501900061)

JURUSAN SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah, yang telah
melimpahkan nikmat, rahmat, hidayah, dan serta inayah-Nya kepada kita semua,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tentang “Mengenal Epistemologi
Islam” di Universitas Islam Sultan Agung Fakultas Agama Islam jurusan Syariah.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
bapak Mohammad Noviani Ardi S.Fil,I,.MIRKH. sebagai dosen yang telah
membantu dalam belajar matakuliah Filsafat Ilmu, sehingga penyusun-penyusun
dapat diberi kesempatan untuk membuat makalah ini.
Akhir kata, kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Akan tetapi, kami sangat mengharapakan bisa mendapatkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak manapun, agar makalah
yang kami buat pada masa-masa yang akan datang, akan lebih baik lagi, bahkan
dapat memenuhi harapan bagi kita semua. Kami juga berharap semoga makalah
ini bermanfaat,berkah dan berguna unuk kita semua.

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epistemologi Islam atau yang biasa kita kenal dengan teori pengetahuan
Islam adalah titik pusatnya dari pandangan dunia Islam. Yang mana merupakan
tolok ukur untuk menetapkan setiap hal:
Suatu hal yang harus diketahui dan yang mungkin diketahui, hal yang mungkin
diketahui akan tetapi lebih baik dihindari, serta hal-hal tidak mungkin sama sekali
untuk diketahui. Dia berusaha mendefinisikan pengetahuan, membedakan variasi-
variasi utamanya,menunjukkan sumber-sumbernya dan menetapkan batas-
batasnya. Pertanyaan mendasar epistemologi Islam, seperti apa yang dapat
diketahui dan bagaimana' cara mengetahuinya, bukan semata-mata pertanyaan
filosofis,tetapi jugaterkait erat dengan realitas konkrit, sehingga jawaban terhadap
pertanyaan tersebut mengandung implikasi-implikasi bagi setiap gerakan umat
Islam. Corak masyarakat Islam yang dibangun merupakan buah langsung dari
jawaban tersebut.
Konsepsi Islam tentang pengetahuan pada awalnya telah membentuk cara
cara-cara pemikiran dan pencarian yang khas Islam serta telah melahirkan ciri-ciri
utama peradaban Islam, pengetahuan Islam juga telah menunjukkan jalan yang
palng baik dalam memandang realitas, serta membentuk dan mengembangkan
masyarakat Islam yang adil, juga telah menjadi perekat yang menautkan
masyarakat Islam dengan lingkungannya dan telah menjadikan Islam sebagai
agama yang hidup dan dinamis.semua ni terjadi karena pengetahuan Islam telah
dijadikan menjadi suatu konsep dan dasar bagi tegaknya peradaban Islam, serta
pengetahuan Islam telah dipandang, sebagai suatu nilai yang mencakup
keseluruhannya. Pada hakikatnya kebenaran ilmu bersifat relatif dan sementara
sebab setiap analisis ilmu selalu terpengaruhi oleh pilihan atas fokus yang bersifat
parsial, selalu tidak pernah universal, yang mengandung berbagai dimensi dan
dapat dipengaruhi oleh validitas ruang dan waktu yang bisa kapan saja berubah.

3
Maka disini pemakalah akan membahas tentang Epistemologi Islam secara
parsial.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Epistemologi Islam?


2. Apa saja macam-macam epistemologi Islam?
3. Apa perbedaan antara Epistemologi Islam dan Epistemologi Barat?
4. Bagaimana perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Keilmuan
Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi Epistemologi Islam
2. Untuk mengetahui macam-macam Epistemologi Islam
3. Untuk mengetahui perbedaan antara Epistemologi Islam dan Barat
4. Untuk mengetahui perkembangan Paradigma Epistemologi Islam

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Epistemologi Islam

Epistemologi diterjemahkan banyak literature sebagai teologi tentang


Ilmu. Setiap peradaban memiliki faham mereka masing-masing tentang ilmu,
demikian pula dengan Islam. Bagi umat Islam, epistemologi bukan melulu tentang
teori. Epistemologi adalah dari akidah.
Epistemologi sangat berguna dalam membangun Filsafat Ilmu, sehingga
hal tersebut begitu menarik perhatian para pemikir baik dari Barat ataupun
bangunan pemikiran Islam modern.
Permasalahan Epistomologi dalam Filsafat Islam tidak dibahas sendiri-sendiri,
akan tetapi begitu banyak permasalahan yang dikaji secara luas dalam kelompok-
kelompok pembahasan Filsafat Islam. Misalnya kelompok teori tentang kejiwaan.
Begitupun hal yang bersangkutan dengan Epistemologi banyak yang dikaji dalam
pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran dan
tolak ukur kebenaran dan kekeliruan dalam proposisi. Dalam perkembangannya
Filsafat Islam, Epistemologi merupakan suatu bidang yang mempelajari dan
memikirkan seberapa jauh pengetahuan dan makrifat manusia sesuai dengan
hakikatnya, objek luar dan realitas external.
Dalam prespektif Epistemologi Islam tidak mengenal adanya dikhotomi
antara ilmu agama dengan ilmu umum, ilmu adalah ilmu ia berasal dari sumber
yang sama, kemudian terus berkembang sesuai dengan wilayah objek masing-
masing, baik itu objek material maupun objek formal, ia terus berkaitan dengan
objek alam, manusia dan apa-apa yang ada di luar keduanya. Melalui keterkaitan
itulah ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan memasuki ruang sejarah
dari zaman ke zaman. Jika dikaji lebih dalam sains dan teknologi yang sekarang
dapat dinikmati manusia dari masa pertumbuhannya tidak lepas dari sumbangsih
para ilmuan muslim. Dan hal tersebut tidak berlebihan jika dikatakan bahwa asal-
usul saains modern atau revolusi ilmiah berasal dari peradaban Islam.

5
Peradaban Islam zaman dahulu pernah memiliki khazanah yang sangat
luas dan menghasilkan ilmu pengetahuan yang sangat luar biasa. Dan ilmu-ilmu
ini ternyata jika dibaca, mempunyai keahlian dalam berbagai bidang. Sebut saja
ilmuan Ibnu Sina, umurnya yang kala itu masih sangat muda ia berhasil
menguasai bebagai ilmu kedokteran. Selain Ibnu Sina, juga bisa disebut ilmuan
yang representative untuk disebut. Ia adalah seorang teolog, filosof dan sufi.
Selain ia ahli dalam ilmu fiqih ia juga terkenal sebagai orang yang yang
mengajukan ijtihad kepada orang yang mampu melakukan itu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa suatu peradaban bisa maju dan unggul
mesikupun tetap dilandasi oleh agama dan kepercayaan terhadap tuhan dalam hal
ini Allah SWT.
Menurut M. Arifin memaparkan bahwa ruang lingkup Epistemologi
termasuk sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Namun menurut penjelasan
Mudlor Achmad dibagi menjadi enam aspek diantaranya yaitu alam, elemen, tipe,
alas, dan tujuan ilmu pengetahuan. Bahkan AM saefuddin menjelaskan,
Epistemologi berkaitan dengan pertanyaan yang harus dijawab, seperti
pengetahuan apa, dari mana asal muasalnya, apa itu, bagaimana mengembangkan
pengetahuan yang benar, apa yang benar, apakah mungkin, benar mendapatkan
ilmu pengetahuan tentang apa yang bisa diketahui dan seberapa jauh. M. Amin
Abdullah memprediksi bahwa studi Epistemologi sering kali terbatas pada
konsepsi, asal atau sumber konseptual, dari ilmu pengetahuan konseptual filosofis.
.
B. Model-Model Epistemologi Islam

Dalam kajian pemikiran Islam terdapat ada beberapa aliran yang


berhubungan dengan Epistemologi Islam. Ada 3 model-model Epistemologi Islam
dalam cara berpikir Islam. Yakni bayani, irfani dan burhani.
a. Epistemologi Bayani

Secara etimologis, bayani mengandung Beberapa arti yaitu:


kesinambungan atau keterkaitan (al-waslu),Keterpilahan ( al-fashlu), jelas dan
terang (al-zhuhur Wa al-wudlhuh) dan kemampuan membuat terang dan generik.

6
Sebagai sebuah episteme, pengelompokkan dan kejelasan tadi mewujud dalam Al-
bayan alibarat “perspektif” dan “metode” yang Sangat menentukan pola
pemikiran tidak hanya Dalam lingkup “estetik-susastra”, melainkan juga dalam
lingkup “ logic-diskursif”. Dengan kata lain bayan berubah menjadi sebuah
terminologi yang disamping mecakup arti segala sesuatu yang Melengkapi
tindakan mamahami.
Bayani adalah metode pemikiran khas kaum Arab yang menekankan
otoritas teks (nas), baik secara langsung maupun tidak langsung, dan diuji oleh
akal kebahasaan yang digali melalui inferensi (istislat). Artinya memahami
sesuatu teks sebagai sebuah pengetahuan, dan langsung mengaplikasikannya tanpa
perlunya sebuah pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan, sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal tersebut
bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi
harus bersadar pada suatu teks.
Aktifitas Intelektual yang bercirikan hawla al-Nash( seputar teks) itu
menghasilkan Pola pemikiran yang berorientasi pada reproduksi, teks dengan
alquran sebagai teks intinya, dan mendudukkan rasio dalam posisi al-
musharra’ulah (penentu hukum yang terbatas). Dalam kerangka Inilah, bisa
dipahami sekiranya peradaban Arab Islam sampai disinyalir sebagai peradaban
teks, karena begitu besar dan berpengaruhnya Teks dalam membentuk proses dan
produk Intelektual kultural yang berkembang. Bahkan Lebih jauh, asumsi dasar
yang malandasi segenap Aktifitas-intelektual pun adalah al-ashlu fi an-nash La fi
al-waqi’ (acuan pokok ada pada teks bukan Ada pada kenyataan riil).Oleh karena
itu, Problematika utama yang mendominasi dan Menjadi salah satu episteme
bayani adalah relasi Kata dan makna.
1.       Berpegang pada redaksi (lafat) teks, dengan menggunakan kaidah bahasa
Arab, seperti nahw dan sharâf.
2.      Berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau
rasio sebagai sarana analisa.
Pada jalan yang kedua, penggunaan logika dilakukan dengan empat macam cara.

7
a. Berpegang pada tujuan pokok (al-maqâshid al-dlarûriyah) yang
mencakup lima kepentingan vital, yakni menjaga keselamatan agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.
b. Berpegang pada illah teks. Untuk menemukan dan mengetahui adanya
illah suatu teks ini digunakan sebuah sarana yang memerlukan penalaran
yang disebut ‘jalan illah’ (masâlik al-illah) yang terdiri atas tiga hal,
(1) illat yang telah ditetapkan oleh nash, seperti illat tentang kewajiban
mengambil 20% harta fai (rampasan) untuk fakir miskin agar harta
tersebut tidak beredar dikalangan orang kaya saja (QS. Al-Hasyr, 7).
(2) illah yang telah disepakati oleh para mujtahid, misalnya illah
menguasai harta anak yang masih kecil adalah karena kecilnya.
(3) al-Sibr wa al-taqsîm (trial) dengan cara merangkum sifat-sifat baik
untuk dijadikan illat pada asal (nash), kemudian illat itu dikembalikan
kepada sifat-sifat tersebut agar bisa dikatakan bahwa illah itu bersifat
begitu atau begini. Cara kedua ini lebih lanjut memunculkan metode qiyâs
(analogi) dan istihsan, yakni beralih dari sesuatu yang jelas kepada sesuatu
yang masih samar, karena adanya alasan yang kuat untuk pengalihan itu.
c. Berpegang pada tujuan sekunder teks. Teks. Tujuan sekunder adalah
tujuan yang mendukung terlaksananya tujuan pokok. Misalnya, tujuan
pokok adalah memeriksa pasien yang sakit, tujuan sekunder memberikan
obat.
d. Berpegang pada diamnya Syâri` (Allah dan Rasul saw). Ini untuk masalah-
masalah yang sama sekali tidak ada ketetapannya dalam teks dan tidak
bisa dilakukan dengan cara qiyas. Caranya dengan kembali pada hukum
pokok (asal) yang telah diketahui. Misalnya, hukum asal jualbeli adalah
boleh, maka jual beli lewat online yang tidak ada ketentuannya berarti
boleh, tinggal bagaimana mengemasnya agar tidak dilarang.

Dengan demikian, sumber pengetahuan Bayani adalah teks


(nas).Dalamusul fikih yang dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan Bayani

8
adalah al-quran dan hadis. Karena itu, Epistemogi bayani menaruh perhatian besar
dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi kegenerasi. Ini penting bagi
bayani, karena benar tidaknya transmisi teks menetukan benar salahnya ketentuan
hukum yang diambil, Jika Transmisi teks bisa dipertanggung jawabkan berarti
teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum.Sebaliknya, jika transmisinya
diragukan, kebenaran teks tidak bisa dijadikan Landasan hukum.
Selanjutnya tentang nash alquran, meski sebagai sumber utama, tetapi ia
tidak selalu memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukan hukumnya
(dalalah al-hukm), nas Alquran bisa dibagi dua bagian, qath‟i dan zhanni. Nas
yang qathi ad-dilalah menunjukkan adanya Makna yang dapat dipahami dengan
pemaham tertentu, atau nas yang tidak mungkin menerima Tafsir dan takwil, atau
sebuah teks yang tidak mungkin mempunyai arti lain selain yang satu itu. Dalam
konsep Syafi‟i, ini yang disebut bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nas
yang zhanni al-dilalah adalah nas-nas yang menunjukkan atas makna yang masih
memungkinkan adanya takwil, atau diubah dari makna aslanya menjadi makna
yang lain.kenyataan tersebut juga terjadi ada sunnah, Bahkan lebih luas. Jika
dalam Alquran konsep Qath’i dan zhanni berkaitan dengan dilalah, dalam Sunnah
hal itu berlaku pada riwayat dan dilalahnya. Dari segi riwayat berarti teks hadis
tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau Tidak, atau bahwa aspek ini akan
menentukan sah tidaknya proses transmisis teks hadis, yang dari sana kemudian
lahir pelbagai macam kualitas hadis, seperti mutawatir, ahad, shahih, hasan,
gharib, Marfu, dan maqthu dan seterusnya. Dari segi dilalah Berarti bahwa maana
terks tersebut telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.

b. Epistemologi Irfani

Epistemologi Irfani yaitu Pengetahuan yang tidak disandarkan atas teks


seperti bayani, tetapi pada kasyf, terungkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
akan tetapi dengan pengolahan ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan
Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam

9
pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan
demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu: 
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan,
seseorang biasanya harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para
tokoh berbeda pendapat tentang jumlah jenjang yang harus dilalui ini. Namun,
setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani,semuanya berangkat dari
tingkatan yang paling dasar menuju tingkatan puncak dimana saat itu qalbu (hati)
telah menjadi netral dan jernih, sehingga siap menerima limpahan pengetahuan.
1. Tobat, meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai
penyesalan yang mendalam untuk kemudia menggantinya dengan
perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. Prilaku tobat sendiri terdiri dari
beberapa tingkatan. Pertama-tama, tobat dari perbuatan-perbuatan dosa
dan makanan haram, kemudian tobat dari lalai mengingat Tuhan, dan
puncaknya adalah tobat dari klaim bahwa dirinya telah melakukan tobat.
Menurut al-Qusairi tobat adalah landasan dan tahapan pertama bagi
perjalanan spiritual berikutnya. Jika seseorang tidak berhasil
membersihkan dirinya pada tahapan ini, ia akan sulit untu naik pada
jenjang berikutnya.
2. Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya
(subhat). Dalam tasawuf, Wara’ ini terdiri atas dua Tingkatan, lahir dan
batin. Wara‟ lahir berarti tidak melakukan sesuatu kecuali untuk beribadah
kepada tuhan, sedangkan Wara’ batin adalah tidak memasukkan Sesuatu
apapun dalam hati kecuali Tuhan.
3. Zuhud, tidak tamak dan tidak Mengutamakan kehidupan dunia. Ini lebih
serius dan lebih tinggi dibandingkan tingkat sebelumnya, karena disini
tidak hanya menjaga dari yang subhat, bahkan juga yang halal. Namun
demikian, zuhud merupakan bukan berarti meninggalkan harta sama
sekali. Menurut as-Syibili, seseorang tidak dianggap zuhud jika hal itu
terjadi lantaran ia memang tidak mempunyai harta. Zuhud adalah bahwa
hati tidak tersibukkan oleh sesuatu apapun kecuali Tuhan. Semuanya tidak

10
berarti dihatinya dan tidak memberi pengaruh dalam hubungannya dengan
Tuhan.
4. Fakir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan dari kehidupan masa
kini dan masa akan datang, dan tidak menghendaki sesuatu apapun kecuali
Tuhan, sehingga ia tidak terikat dengan apapun dan hati tidak
menginginkan sesuatupun. Pada tingkat fakir, merupakan realisasi dari
upaya pensucian hati secara keseluruhan dari segala yang selain Tuhan.
5. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.
6. Tawakkal, percaya atas apa yang ditentukan Tuhan. Tahap awal dari
tawakkal adalah menyerahkan diri pada Allah SWT laksana mayat
dihadapan orang yang memandikan. Namun menurut Qusyairi, hal ini
bukan berarti fatalisme, Karena tawakkal adalah kondisi dalam hati dan itu
tidak menghalangi seseorang untuk bekerja mencari nafkah demi
kelangsungan hidupnya. Begitupula sebaliknya, apa yang dikerjakan tidak
menafikan tawakkal dalam hatinya, sehingga jika mengalami kesulitan dia
akan menyadari bahwa itu berarti takdir-Nya dan jika berhasil berarti atas
Kemudahan-Nya.
7. Rida, hilangnya rasa ketidaksenangan Dalam hati sehingga yang tersisa
hanya Gembira dan suka cita. Ini adalah puncak dari tawakkal.50

Kedua, tahap penerimaan.Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam


sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan
secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran
diri yang demikian mutlak, sehingga dengan kesadaran itu mampu melihat realitas
dirinya sendiri sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan
realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek eksternal, keduanya bukan
sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang
diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu
diperoleh melalui representasi atau data-data Indera apa pun, bahkan objek
eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan gagasan umum
pengetahuan ini. Pengetahuan ini justru terbentuk melalui unifikasi eksistensial.

11
c.   Epistemologi Burhani
Epistemologi Burhani sangat berbeda dengan bayani dan irfani yang masih
berkaitan dengan teks suci, burhani tidak sama sekali mendasarkan diri pada teks.
Burhani menyandarkan dengan kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-
dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani
menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani
menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Karena dalam corak ini disandarkan atas hasil dari pemikiran (rasio), maka sering
terjadi perbedaan di antara seseorang  dalam memahami wahyu dengan yang
lainnya. Tidak heran kalau sebagian ulama menolak dari corak ini, seperti Ibnu
Taimiyah, tetapi ada juga sebagian ulama yang menerimanya dengan syarat-syarat
tertentu dan kaidah-kaidah yang ketat:
a. Menguasai bahasa arab dan cabang-cabangnya
b. Mengausai ilmu-ilmu Al-Qur’an
c. Berkaidah yang benar
d. Mengetahuai prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang
berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang digunakan.

Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks


atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap
informasi yang masuk lewat indera. Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah
pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme.
 Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus
memenuhi beberapa syarat,
a. mengetahui latar belakang dari penyusunan premis,
b. adanya konsistensi logis antara alasan dan keismpulan,
c. kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar,
Sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain. Al-
Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-

12
premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang
memberi keyakinan, menyakinkan. 
Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat;
a. kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam
kondisi spesifik,
b. kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu
yang lain selain darinya,
c. kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya.
Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis
pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan
indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati,
dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan
sebaliknya.

Derajat dibawah silogisme burhani adalah ‘silogisme dialektika’, yang


banyak dipakai dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektik adalah
bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap
mendekati keyakinan, tidak sampai derajat menyakinkan seperti dalam silogisme
demonstratif. Materi premis silogisme dialektik berupa opini-opini yang secara
umum diterima (masyhûrât), tanpa diuji secara rasional. Karena itu, nilai
pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang
dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Ia berada dibawah pengetahuan
demontratif.Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini yang masih banyak
didominasi pemikiran bayani fiqhiyah kurang bisa merespon dan mengimbangi
perkembangan peradaban dunia. Tentang burhani, ia tidak mampu mengungkap
seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.
 Karena itu, Suhrawardi (1154-1192 M) kemudian membuat metode baru
yang disebut iluminasi (isyrâqî) yang memadukan metode burhani yang
mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani yang mengandalkan kekuatan
hati lewat kashaf atau intuisi. Metode ini berusaha menggapai kebenaran yang
tidak dicapai rasional.

13
Namun demikian, pada masa berikutnya, metode isyraqi dirasa masih juga
mengandung kelemahan, bahwa pengetahuan iluminatif hanya berputar pada
kalangan elite terpelajar, tidak bisa disosialisasikan sampai masyarakat bawah,
bahkan tidak jarang justru malah menimbulkan kontroversial. Muncullah metode
lain, filsafat transenden (hikmah al-muta`aliyah), yang dicetuskan Mulla Sadra
(1571-1640 M) dengan memadukan tiga metode dasar sekaligus; bayani yang
tekstual, burhani yang rasional dan irfani yang intuitif. Dengan metode terakhir
ini, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang dihasilkan oleh
kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan ruhaniah, dan semua itu kemudian
disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional.
Rasio semata-mata yang tidak disertai dengan bukti-bukti akan berakibat
pada penyimpangan terhadap kitabullah. Kata goro penafsiran seperti ini dalam
memahami Al-Qur’an tidak sesuai dengan hukum syari’at yang didasarkan pada
nas-nasnya. Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran demikian adalah
bid’ah, menganut maszhab yang batil. Mereka menggunakan Al-Qur’an untuk di
takwilkan menurut pendapat pribadi yang tidak berpijak pada pendapat atau
penafsiran ulama salaf, sahabat dan rabi’in.

C. Perbedaan Epistemologi Islam dengan Epistemologi Barat

Dapat kita lihat bahwa Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi


Barat salah satunya yaitu ketika dalam mengartikan dan menerangkan ilmu. Kalau
dalam Epistemologi Barat, yang dapat diketahui ialah segala sesuatu sejauhmana
yang bisa diteliti secara indrawi yang diberi batasan pada bidang-bidang tertentu
saja, seperti ilmu fisik atau empiris,sedangkan hal lain yang bersifat non indrawi,
non fisik, dan metafisika bukanlah termasuk kedalam materi yang dapat diketahui
secara ilmiah. Berbeda pandangan dengan Epistemologi Islam,yang mana ilmu
diterapkan dengan sama keabsahannya, baik itu pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris
ataupun yang non-fisik atau metafisis.
Al-Farabi seorang Filsuf Muslim menerangkan dalam buku karangannya
yang berjudul Ihsha’ Al-‘Ulum (Klasifikasi Ilmu), mengkategorikan ilmunya
bukan hanya yang termasuk dalam ilmu-ilmu yang empiris saja seperti fisika,

14
mineralogi, botani, dan astronomi melainkan juga seperti ilmu-ilmu yang
nonempiris seperti konsep-konsep mental dan metafisika.
Hal diatas berarti menunjukkan bahwasannya dalam epistemologi Islam
jauh berbeda dengan epistemologi Barat yang mana telah meragukan status
ontologis untuk materi-materi metafisik. Ilmuan-ilmuan Muslim memiliki
keyakinan yang kuat terhadap status ontologis dari bukan hanya materi-materi
fisik yang kasat mata, tetapi juga materi-materi metafisik yang gaib. Meskipun
materi-materi metafisik tidak dapat dilihat indra,akan tetapi dapat dipercaya
mempunyai status ontologis yang sama realnya dengan materi-materi fisik,
bahkan hal ini lebih nyata daripada objek-objek indra.
Selain dari itu, perbedaan antara Epistemologi Islam dengan Epistemologi
Barat terletak pada sumbernya, Epistemologi Barat hanya mengandalkan
empirisme atau rasionalisme sedangkan Epistemologi Islam mengakui tiga
sumber ilmu sekaligus yaitu akal, indra dan intuisi.Kemudian, masing-masing dari
sumber tersebut memiliki takaran kemampuan yang berbeda-beda sehingga
ketiganya tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya sehingga
saling bergantung dan harus dimanfaatkan secara proporsional.Misalnya, Indra
penglihatan yang hanya bisa berfungsi pada frekuensi 400-700 nanometer. Indra
pendengaran berfungsi pada frekuensi 20-20.000 kilohertz/detik. Maka disinilah
dibutuhkannya akal yang juga memiliki kemampuan yang terbatas. Begitu pula
dengan akal yang membutuhkan peran hati ketika dalam melaksanakan kinerjanya
dan petunjuk wahyu supaya apa yang dilaksanakan dan dipikirkannya dapat
menghasilkan kemaslahatan baik itu untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang
lain dan bukan sebaliknya.
Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu atau konsep
teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu karena dapat berakibat
rusaknya segala sesuatu. Sebagimana firman Allah:

ِ ‫ات َو ْاألَرْ ضُ َو َمن فِي ِه َّن بَلْ أَتَ ْينَاهُم بِ ِذ ْك ِر ِه ْم فَهُ ْم عَن ِذ ْك ِر ِهم ُّمع‬
َ‫ْرضُون‬ ِ ‫ق أَ ْه َوآ َءهُ ْم لَفَ َس َد‬
ُ ‫ت ال َّس َما َو‬ ُّ ‫َولَ ِو اتَّبَ َع ْال َح‬
“Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah
langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya bahkan Kami telah datangkan

15
kepada mereka peringatan (Al-Qur’an) tetapi mereka berpaling dari peringatan
itu”. (QS. Al-Mu’minun [23]: 71).

Lalu kemudian, selain dari hal itu, perbedaan antara epistemologi Islam
dan Barat, menurut para filosof Islam, yaitu para filosof Barat tidak memisahkan
antara induksi dan eksperimen sedangkan para filosof Muslim memisahkan antara
dua perkara itu dan keduanya harus dipisahkan. Induksi (istiqra’) merupakan
prasangka atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar, tajribah) merupakan
keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat perbedaan antara perasaan biasa
(induksi) dengan praktik (eksperimen) dan praktik dalam hal ini merupakan
aktivitas rasio.
Tinjauan epistemologi dalam literatur Barat dalam perkembangannya
dapat memberikan peluang perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang
multi-dimensional, kecondongan epistemologi dalam pemikiran Islam lebih tajam
ke dalam wilayah idealisme hati dan rasionalisme dan juga memperdulikan
masukan-masukan yang diberikan oleh empirisisme. Al-Quran menerangkan
tentang alam sebagai obyek indrawi (empirisme) untuk kepentingan hidup
manusia sebagai makhluk yang dapat berpikir untuk memanfaatkan potensi yang
ada di alam secara bijaksana, sebagaimana firman Allah:
ٌ َ‫اح َءاي‬
‫ات‬ َ ْ‫ق فَأَحْ يَا بِ ِه ْاألَر‬
ِ ‫ض بَ ْع َد َموْ تِهَا َوتَصْ ِر‬
ِ َ‫يف الرِّ ي‬ ٍ ‫ار َو َمآأَن َز َل هللاُ ِمنَ ال َّس َمآ ِء ِمن ِّر ْز‬
ِ َ‫ف الَّ ْي ِل َوالنَّه‬ ْ ‫َو‬
ِ َ‫اختِال‬
َ‫لِّقَوْ ٍم يَ ْعقِلُون‬
“Dan pada pergantian malam dan siang, dan apa-apa yang diturunkan Allah dari
langit berupa rezeki, lalu Dia menghidupkan dengannya bumi seusdah matinya,
dan pada perkisaran angin, menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berpikir”. (QS. Al-Jatsiyah: 5).

D. Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Keilmuan Islam

Paradigma epistemologi di dalam pemikiran Islam di dalam sejarah


mengalami perkembangan dari zaman ke zaman, hanya saja beda prinsip
antara aliran yang satu dengan yang lainya. Tulisan ini memiliki tujuan untuk
menguak letak perbedaan antara aliran-aliran tersebut. Metode kepustakaan

16
filsafat dilakukan dengan analisa data induktif untuk merumuskan konstruksi
teoritik. Jadi penelitian mempunyai pendapat dari para filosofis muslim paripetik
dan mengedepankan akal atau rasio sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan
menggunakan metode domonstratif
Menurut filosofis ilumanasi , kaum irfani ,kaum sufi berpendapat jika
pengetahuan hakiki diperoleh dengan hal mistik saja. Setelah itu proses penucian
hati dengan berbagai latihan. Epistemologi mulla Sadra memakai pemadian antara
visi rasional dan visi mistik, selanjutnya digabungkan dengan syariat.
Epistemologi kotemporer menyakini sumber pengetahuan merupakan raiso dan
tidak teks atau intuisi. Epistimologi mempunyai maksud untuk mengkaji dan
mencoba penemuan umum ciri dan hakikat manusia
Perkembangan paradigma keilmuan islam disini adalah kebenaran mutlak
yg absolut dan tidak terbantahkan. Salah satu Al-Qur’an ayat qauliyah-
tadwiniyyah mempunyai sifat deduktif memberi pengetahuan untuk manusia
menganai alam semesta yang sifatnya induktif. lain halnya dengan filsafat dan
ilmu sebagai akal manusia harus menguak kebenaran wahyu tersebut, hingga
kebenaran yang sebenarnya terkuak dan dapat di seberkan ke semua orang.
Informasi ilmiah sejarah, hukum, etika dll itu merupakan isi dari wahyu. Tugas
ilmuan harus mencari pembenaranya melaluiberbagai penelitian atau pengkajian
dan mampu mendapat info ilmiah dengan dua ayat yaitu ayat qauliyah-
tadwiniyyah dan ayat kauniyyah ,merupakan keteraturan alam semesta ini. Filsafat
untuk metode berfikir rasional-spekulatif tugasnya untuk melakukan perenungan
tentang pencipa alam semesta, laim halnya dengan metode rasional empirik
bertugas mengulik bukti kebenaran qauliyah . dan berbagai masalah perenungan
belum dicarikanbukti.
empiriknya diatur melalui filsafat, sementara itu masalah yang dapat dibenarkan
secara empirik melalui ilmu.Misal dalam salah satu al-Quran surat al-Anbiya’
(30):” Wa ja’alna min al-mai kulla syaiin hayyin”
bahwa Allah menjadikan segala sesuatu yang ada ini berasal dari air. Demikian
juga mengenai yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat edar. al-Qur’an
surat Yasin “Wa al-syamsu tajri limustaqarrin laha zalika taqdir al-aziz

17
al-‘alim “.: al-Bahru Thahurun Mauhu wa al-Hillu Maitatuhu, bahwa laut itu suci
airnya dan halal bangkainya. Hal Ini harus diteliti kebenaran ilmiahnya. dan
banyak lagi informasi wahyu yang belum terbukti melalui uji ilmiah. Ini tugas kita
semua untuk mengulik hal ini.
Agar kebenarannya dapat terbukti. Ayat-ayat al-Qur’an (wahyu) adalah
pernyataan normatif yang harus dianalisis .maka dari itu harus dirumuskan dalam
bentuk teoretis. Agar menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis
terhadap konstruk-konstruk teoretis al-Qur’an itu harus dilakukan. Elaborasi
terhadap konstruk-konstruk teoretis al-Qur’an merupakan kegiatan Qur’anic-
theory building yang akan melahirkan paradigma al-Qur’an (Qur’anic Paradigm).
Fungsi paradigma al-Qur’an adalah untuk membangun perspektif al-Qur’an untuk
memahami realitas.
Wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah al-Mutawatirah) yaitu sumber dan dasar
hukum dalam ajaran Islam. Akidah, syari’ah dan akhlak merupakan ajaran Islam
yang berdasarkan wahyu. Akidah melandasi berpkir ontologis, syari’ah melandasi
berpikir epistemologis dan akhlak mendasari berpikir aksiologis. Secara ontologis,
ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,
humaniora dan budaya harus berlandaskan akidah, secara epistemologis harus
berlandaskan syari’ah dan secara aksiologis harus berlandaskan akhlak. Makadari
itu, seluruh ilmu yang dikembangkan (apapun jenisnya) tidak akan tersekularisasi,
alias islami. Ilmu pengetahuan Islami berawal dari tauhid dan berakhir pada
tauhid pula. Ontologi Islam bercorak monisme, yang berarti bahwa Tuhan adalah
asal-usul dari segala sesuatu, Yang Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, sementara
semua ciptaannya (makhluk) bersifat dualisme dan pluralisme. Epistemologi
Islam bercorak eklektik, yang tidak saja rasional, empiris, tetapi juga intuitif dan
berlandaskan wahyu, sebagai sumber pertama dan utama. Sementara itu aksiologi
Islam berwawasan etis dan humanis, berdasarkan kemaslahatan umat. Oleh sebab
itu ilmu dalam Islam terikat oleh nilai Islam itu sendiri.

18
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Epistemologi dalam bahasa inggris biasa disebut dengan istilah “theory of


knowledge”. Epistemologi berasal dari kata “episteme” yang berarti pengetahuan
dan “logos” berarti teori atau ilmu.
Menurut M. Arifin memaparkan bahwa ruang lingkup Epistemologi termasuk
sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Namun menurut penjelasan Mudlor
Achmad dibagi menjadi enam aspek diantaranya yaitu alam, elemen, tipe, alas,
dan tujuan ilmu pengetahuan. Bahkan AM saefuddin menjelaskan, Epistemologi
berkaitan dengan pertanyaan yang harus dijawab, seperti pengetahuan apa, dari
mana asal muasalnya, apa itu, bagaimana mengembangkan pengetahuan yang
benar, apa yang benar, apakah mungkin, benar mendapatkan ilmu pengetahuan
tentang apa yang bisa diketahui dan seberapa jauh. M. Amin Abdullah
memprediksi bahwa studi Epistemologi sering kali terbatas pada konsepsi, asal
atau sumber konseptual, dari ilmu pengetahuan konseptual filosofis.
Diantara model-model Epistemologi Islam yaitu : bayani, irfani, dan burhani.
1. Epistimologi Bayani ialah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan
kepada otoritas teks (nash), secara langsung ataupun tidak langsung.
2. Epistemologi Irfani yaitu Pengetahuan yang tidak disandarkan atas teks
seperti bayani, tetapi pada kasyf, terungkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa
teks akan tetapi dengan pengolahan ruhani.
3. Epistemologi Burhani adalah pengetahuan dengan menyandarkan diri pada
kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.
Perbedaan Epistemologi Islam dengan Barat salah satunya yaitu epistemologi
Barat telah meragukan status ontologis untuk materi-materi metafisik. Ilmuan-
ilmuan Muslim memiliki keyakinan yang kuat terhadap status ontologis dari
bukan hanya materi-materi fisik yang kasat mata, tetapi juga materi-materi

19
metafisik yang gaib. Sealin itu, perbedaan antara Epistemologi Islam dengan
Epistemologi Barat terletak pada sumbernya, Epistemologi Barat hanya
mengandalkan empirisme atau rasionalisme sedangkan Epistemologi Islam
mengakui tiga sumber ilmu sekaligus yaitu akal, indra dan intuisi
Perkembangan paradigma keilmuan islam disini adalah kebenaran mutlak
yg absolut dan tidak terbantahkan. Salah satu Al-Qur’an ayat qauliyah-
tadwiniyyah mempunyai sifat deduktif memberi pengetahuan untuk manusia
menganai alam semesta yang sifatnya induktif. lain halnya dengan filsafat dan
ilmu sebagai akal manusia harus menguak kebenaran wahyu tersebut, hingga
kebenaran yang sebenarnya terkuak dan dapat di seberkan ke semua orang.

B. SARAN
Demikianlah makalah yang telah kami kaji,semoga memberikan manfaat dan
meberikan wawasan serta pengetahuan untuk kita semua. Kami mohon maaf
jikalau adanya kekurangan, adanya kesalahan dalam makalah ini. Kami menyadari
dalam makalah ini masih kurang sempurna maka dari itu kami mengharapkan dari
para pembaca,untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat konstruktif.

20
DAFTAR PUSTAKA

http://edisaffan.blogspot.com/2012/07/model-model-epistemologi-
islam_2104.html
http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/psiko/article/view/342
http://muhammad-yasin.blogspot.com/2008/04/epistemologi-islam-barat-
sebuah.html
https://uinsgd.ac.id/berita/dasar-dasar-epistemologi-islam/

https://www.researchgate.net/publication/294720827_PERKEMBANGAN_PARADIGM
A_EPISTEMOLOGI_DALAM_FILSAFAT_ISLAM
https://www.uin-malang.ac.id/r/131101/paradigma-keilmuan-islam.html

21

Anda mungkin juga menyukai