BERNUANSA SARA
Oleh: Dandi Kurniawan
MMQ-02
A. Latar Belakang
Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia 74
tahun yang lalu adalah berkat pejuangan dari berbagai elemen masyarakat
yang berasal dari latar belakang suku dan agama yang berbeda-beda. Mereka
bersatu padu melawan para penjajah meskipun dengan menggunakan kekuatan
persenjataan militer sederhana dan seadanya. Berlandaskan semangat
ukhuwah dan rasa persaudaraan yang kuat, pada akhirnya mereka berhasil
memukul mundur para penjajah yang ingin menguasai Indonesia. Semangat
tersebut terus berlanjut sampai pada saat mendirikan negeri ini yang dibangun
atas prinsip yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinnekaan dan persaudaraan
sebagaimana terrumuskan dalam dasar negara Republik Indonesia, Pancasila,
dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Seiring berjalannya waktu, semangat kebersamaan atas dasar
kebangsaan itu sepertinya sudah mulai memudar. Selain itu perasaan senasib
sepenanggungan juga kian menipis. Hal ini dapat dibuktikan dengan prilaku
kelompok atau golongan tertentu yang cenderung mengedepankan ego dan
sentimen masing-masing. Akibatnya sesama anak bangsa saling bermusuhan
antara satu sama lain diakibatkan perbedaan kepentingan yang bahkan
berujung terjadinya konflik-konflik sosial bernuansa SARA.
Menurut data dari beberapa lembaga terkait, Indonesia adalah negara
yang acap kali mengalami konflik bernuansa SARA. Salah satu yang dapat
menjadi rujukan adalah data dikeluarkan oleh Setara Institute per-Juni 2018
mengenai jumlah kasus intoleransi di bidang kekerasan dalam Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (KBB); sebagaimana dilansir dari Tempo.com.
Menurut data tersebut, tercatat telah terjadi 109 intoleransi dalam kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Direktur Setara Institute; Halili mengatakan,
jumlah pelanggaran KBB ini mengalami peningkatan dari periode yang sama
pada tahun sebelumnya yang hanya terjadi sebanyak 80 kasus pelanggaran
KBB1 . Selain itu, dikutip dari situs berbeda; Kompas.com, Setara Institute
juga mengeluarkan data tentang kasus intoleransi dalam kebebasan beragama
dan berkeyakinan sepanjang tahun 2018. Menurut data tersebut, telah terjadi
202 kasus pelanggaran KBB sepanjang 2018 yang mana 72 diantaranya
melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor2. Selanjutnya, pada tahun
2019 ini, masyarakat Indonesia di kejutkan oleh kasus kerusuhan rasial yang
terjadi di Manokwari dan Wamena. Maka dari itu, berdasarkan data-data
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa konflik-konflik SARA yang terjadi di
Indonesia setiap tahunnya cenderung mengalami pengulangan.
Konflik SARA yang terjadi Indonesia harus segera ditangani karena ia
akan menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan negara, kerugian harta
benda, dan bahkan kehilangan nyawa banyak orang. Tidak hanya sampai di
situ, konflik SARA juga dapat mempengaruhi keadaan psikologis manusia
yang pada umumnya berupa trauma yang mendalam bagi yang mengalaminya
dan ketakutan bagi yang lainnya.
Di sinilah letak penting membangun ukhuwah wathaniah sebagai
landasan untuk membangun persatuam dan kesatuan suatu negara agar
konflik-konflik SARA dapat diminimalisir. Atas pikiran inilah penulis merasa
tertarik membahas persoalan ukhuwah wathaniah. Makalah ini akan mengkaji
seperti apa ukhuwah wathaniah dan apa hubungannya dalam upaya
meminimalkan konflik-konflik sosial bernuansa sara dengan menggunakan
metode deskriktif kualitatif.
B. Pembahasan.
1. Pengertian Ukhuwah Wathaniah, Konflik dan SARA
Ukhuwah berasal dari kata bahasa arab dengan kata dasar akh. Akh dapat
diartikan sebagai saudara. Ukhuwah dapat memiliki makna persaudaraan3.
Wathaniah juga berasal dari bahasa arab yang berkata dasar wathan. Wathan
1
http://m.tempo.com/setara-institute-intoleransi-terhadap-keyakinan-meningkat/
2
http://m.kompas.com/setara-institute-2018-202-pelanggaran-kebebasan-beragama-
dan-berkeyakinan-terjadi/
3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzuriyyat,
2010), h. 36.
dapat diartikan sebagai bangsa atau negara4. Dengan demikian wathaniah
memiliki makna kebangsaan atau nasionalisme. Dalam Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia terbaru kebangsaan dapat diartikan ciri-ciri yang menandai
atau yang melekat pada seseorang di sebuah bangsa, meliputi; suku, ras,
budaya atau aspek-aspek lainnya5.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
ukhuwah wathaniah adalah rasa persaudaraan yang didasari jiwa nasionalis
tanpa memandang perbedaan suku, budaya, bahasa, agama atau aspek-aspek
lain yang terjadi diantara sesama manusia.
Sementara itu makna konflik jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi keempat adalah percekcokan, perselisihan, pertentangan yang
diakibatkan perbedaan cara pandang antara dua pihak atau lebih 6. Sedangkan
SARA adalah akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa konflik bernuansa SARA adalah sebuah
percekcokan, perselisihan, atau pertentangan yang terjadi karena perbedaan
kepentingan dengan membawa-bawa unsur Suku, Agama, Ras dan Antar
golongan.
8
Ibid.
Mishbah mengemukakan bahwa dengan saling mengenal akan membuka
peluang untuk saling memaafkan. Perkenalan dibutuhkan untuk menarik
pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada
Allah SWT yang dampaknya akan tercermin pada kedamaian dan
kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat9.
Sementara itu jika dilihat dari konteks sejarah kebangsaan, konsep
ukhuwah wathaniah sudah dipikirkan oleh para fauding fathers negeri ini.
Penyataan ini dapat dilihat dari pemilihan kata “Bhinneka Tunggal Ika”;
berbeda-beda tapi tetap satu jua, sebagai semboyan bangsa Indonesia sebagai
gambaran perbedaan tidak boleh menghalangi persatuan. Selain itu, bukti
tauladan para pendiri bangsa ini yang mementingkan ukhuwah wathaniah dari
kepentingan kelompoknya juga dapat dilihat dari perubahan salah satu kalimat
pada bait Piagam Jakarta Atau Jakarta Chelter yang berbunyi: “…...Negara
berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya….”. kalimat ini kemudian diganti dengan “Negara
berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa”, dengan tujuan agar para
penganut agama lain tidak merasa didikriminasikan sehingga persatuan dan
kesatuan negara tetap terjaga10.
Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ukhuwah
wathaniah sangat penting dalam menjaga keutuhan suatu negara. Konsep ini
akan melahirkan perasaan senasib sepenanggungan karena persamaan bangsa
dan tanah air. Ukhuwah wathaniah yang dipayungkan dengan rasa
persaudaraan karena persamaan tersebut akan memunculkan sejumlah sikap
positif, seperti; saling menolong, menghormati, menghargai, berkasih sayang,
dan memaafkan11. Dengan persaudaraan ini, berbagai perkara negatif juga
dapat disingkirkan. Mengingat, setiap manusia yang bersaudara senantiasa
bahu membahu untuk menepis segala bahaya yang mengancam diri, harta dan
kehormatan mereka.
9
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXVI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 208. Lihat
juga pada Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), h. 262.
10
Mujar Ibnu Syarif, “Spirit Piagam Jakarta dalam Undang-Undang dasar 1945”, dalam
Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Jakarta vol. 4, no. 1, h. 23
11
Abdullah bin Jarullah, Ukhuwah Islamiyah, terj, ( Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), h. 1.
3. Faktor-Faktor Menyebab Konflik Bernuansa SARA
Konflik-konflik sosial bernuansa SARA yang terjadi di Indonesia terjadi
karena banyak faktor. Faktor tersebut secara umum di bagi menjadi dua;
faktor internal dan faktor ekternal.
a. Faktor Internal12.
Faktor internal adalah faktor pemicu terjadinya konflik yang berasal
dari diri manusia sendiri. Faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa tindakan, antara lain:
Pertama, Sifat egois. Egoisme yang dimiliki manusia dapat menjadi
salah satu penyebab terjadinya konflik bernuansa SARA. Sikap ini
cenderung membuat manusia ingin menang sendiri dan tidak mau
mengalah dengan orang lain terhadap apa yang ia miliki atau sifati. Hal ini
menyebabkan ia tidak dapat menghargai perbedaan yang kemudian akan
memicu sebuah konflik antara sesama mereka.
Kedua, Sikap intoleransi. Sikap intoleransi juga dapat memicu
terjadi konflik sosial yang bernuansa SARA. Hal ini di karenakan,
Intoleransi adalah sikap seseorang yang tidak dapat menghargai
perbedaan-perbedaan yang terjadi di sekitarnya. Sikap seperti tentunya
akan menimbulkan perselisihan dan percekcokan jika ditunjukan kepada
khalayak umum. Oleh sebab itu setiap orang harus berusaha untuk
bertoleransi terhadap semua perbedaan yang ada di sekitar mereka.
Ketiga, kurangnya kesadaran hukum. Indonesia adalah negara
hukum. Tetapi sangat disayangkan masih banyak rakyat indonesia yang
belum sadar akan pentingnya hukum. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
kasus-kasus pelanggaran hukum yang terjadi, khususnya pelanggaran
hukum yang berujung kekerasan, seperti tawuran dan perkelahian. Kasus-
kasus seperti inilah yang kemudian dapat meluas sehingga menimbulkan
konflik bernuansa SARA.
Keempat, Kurangnya pemahaman akan HAM. HAM atau Hak Azasi
Manusia adalah sesuatu hak yang melekat pada setiap manusia. HAM
12
Muhammad Abdul Ghafar, Perpercahan Umat; Sebab-Sebab dan Terapinya, (Solo:
Al-Qowam, 2000), h. 35.
dapat berupa hak kebebasan berpendapat, hak berkeyakinan, hak beragam,
hak menerima kehidupan yang layak dan hak mendapatkan pendidikan
gratis.
b. Faktor Ekstenal13.
Faktor eksternal adalah faktor seseorang melakukan tindakan yang
berujung kepada konflik SARA yang berasal dari luar dirinya sendiri.
Faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapa sebab, antara lain;
Pertama, Penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan atau Power adalah
faktor yang mendorng seseorang dipandang dan dihormati. Jika seorang
pemimpin menggunakan kekuasaan untuk kepentingan umum, maka ia
akan dipandang dan dihormati oleh rakyat dan bawahannya. Namun jika
seoarang pemimpin malah menggunakan kekuasaan untuk kepentingan
pribadi, maka akan menimbulkan konflik di karena kekecewaan yang
dirasakan rakyat dan bawahannya
Kedua, Kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial dapat menjadi
penyebab terjadinya konflik. Hal ini terjadi ketika seorang yang memiliki
ekonomi rendah merasa putus asa dengan keadaan yang dialaminya.
Kemudian mereka merasa sakit hati dangan orang di atas mereka yang
hidup bermewah-mewahan. Pandangan hidup seperti ini tentunya salah,
sebagai orang yang memiliki ekonomi di bawah rata-rata mereka harus
lebih giat berusaha tanpa pantang menyerah utnuk memperbaiki
perekonomian mereka. Sedangkan sebagai orang yang memiliki kelebihan
harta, mereka harus membantu saudaranya yang membutuhkan. Cara
hidup seperti ini selain akan menekan angka kemiskinan juga akan
meminimalkan terjadinya konflik bernuansa SARA yang diakibatkan
kesenjangan sosial.
Ketiga, Kurang tegasnya penegakan hukum. Salah satu pemicu
terjadinya konflik adalah kurang tegas dan tanggapnya aparat penegak
hukum dalam mengusut tuntas sebuah konflik. Karena penyelesaian
konflik yang tidak tuntas dan tanggung, maka konflik-konflik serupa
13
Ibid., h. 42.
sangat berpotensi terulang kembali bahkan menjadi lebih besar dari
sebelumnya.
Keempat, Ujaran kebencian dan hasutan dari pihak lain. Ujaran
kebencian dan hasutan menjadi faktor ekternal terakhir pemicu konflik
bernuansa SARA. Hal ini dapat terjadi ketika ada pihak ketiga yang
berusaha masuk untuk membantu menyelesaikan sebuah masalah, namun
ia malah menghasut suatu kelompok untuk membenci dan menjelekan
kelompok lain. Akibatnya sebuah konflik yang hampir terselesaikan
kembali membara karena ulah mereka.
Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa konflik bernuansa
SARA yang terjadi di Indonesia terjadi karena dua faktor, faktor internal dan
faktor ekternal. Beberepa contoh dari faktor ekternal adalah sifat egois, sikap
intoleransi, kurangnya kesadaran terhadap hukum, dan kurangnya pemahaman
akan HAM. Sementara itu, penyalahgunaan kekuasaan, kesenjangan sosial,
kurang tegasnya aparat penegakan hukum dan ujaran kebencian dari pihak
ketiga adalah penyebab-penyebab terjadinya konflik bernuansa SARA.
15
Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia lengkap,h. 123.
sikap tenggang rasa adalah dengan menghargai pendapat orang lain dan
tidak memaksakan kehendak. Setiap orang harus selalu berusaha
menghargai pendapat orang lain. Jika pendapat tersebut benar dan dapat
dibuktikan secara ilmiah sedangkan pendapatnya cenderung salah, maka ia
harus menerima pendapat tersebut dan berani mengakui kesalahannya
dalam berpendapat. Sikap seperti ini akan membuat manusia saling
bertenggang rasa dan menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat
menyakitkan perasaan temannya.
c. Saling tolong menolong dalam kebaikan
Saling tolong menolong atau di indonesia lebih dikenal dengan
istilah gotong royong adalah budaya yang sudah mengakar di negeri ini.
Dengan bergotong royong maka permasalahan yang dianggap besar bisa
terselesaikan. Gotong royong akan akan melahirkan solidaritas sosial bagi
setiap individu. Mereka akan bekerja sama untuk menghasilkan sesuatu
yang bermanfaat untuk kepentingan bersama16.
Gotong royong adalah sarana untuk mengikis keakuan diri.
Biasanya ketika budaya gotong royong masing lestari dalam suatu
masyarakat, maka tingkat tingkat kepekaan masyarakat tersebut makin
ringgi pula. Sikap ini kemudian akan menumbuhkan sikap ukhuwah
wathaniah dalam diri mereka.
Namun demikian, tolong menolong atau gotong royong harus dalam
kebaikan. Tidak boleh tolong menolong dalam keburukan. Hal ini telah
disyariatkan Islam dalam surah al-Ma’idah ayat 2. Hal ini dimaksudkan
agar tidak mempengaruhi kemajuan dan pembangunan bangsa dikarenakan
ada pihak-pihak yang saling tolong menolong dalam keburukan.
d. Selalu menjaga hubungan baik antar warga negara.
Sudah menjadi lumrah jika manusia selalu selektif dalam memilih
teman. Mereka biasanya akan memilih teman yang memiliki sifat yang
sama. Hal ini dimaksudkan agar mereka lebih memahami karakter masing-
masing. Sikap bergaul seperti ini sah-sah saja. Tetapi harus diimbangi
dengan selalu menjaga hubungan baik dengan warga negara lainnya. Hal
16
Muhammad Syafii Maskur, Islam Itu Indah,( Jakarta: Klik Publishing, 2017), h. 148.
ini dimaksudkan agar sikap ukhuwah wathaniah terus tertanam dan tidak
menimbulkan karena mereka tidak menjaga hubungan baik sesama
mereka.
C. Kesimpulan
Dari uraian panjang mengenai konsep ukhuwah dalam meminimalkan
konflik bernuansa SARA sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan.
1. Ukhuwah wathaniah adalah rasa persaudaraan yang didasari jiwa
nasionalis tanpa memandang perbedaan suku, budaya, bahasa, agama atau
aspek-aspek lain yang terjadi diantara sesama manusia. Sedangkan konflik
bernuansa SARA adalah sebuah percekcokan, perselisihan, atau
pertentangan yang terjadi karena perbedaan kepentingan dengan
membawa-bawa unsur Suku, Agama, Ras dan Antar golongan.
2. Agama islam sangat menekankan sekali seluruh penganutnya untuk selalu
memegang konsep ukhuwah wathaniah. Konsep ini yakini dapat menjadi
solusi dalam menimalkan konflik bernuansa SARA.
3. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan
konsep ukhuwah wathaniah sebagai upaya meminimalkan konflik
bernuansa SARA, antara lain: bijak menyikapi perbedaan, saling
bertenggang rasa, tolong menolong dalam kebaikan dan selalu menjaga
hubungan baik sesama warga negara.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Mujar Ibnu Syarif 2016. “Spirit Piagam Jakarta dalam Undang-Undang dasar
1945”, dalam Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Jakarta
vol. 4, no. 1,
Muhammad Syafii Maskur. 2017. Islam Itu Indah. Jakarta: Klik Publishing.
Quraish Shihab. 2006. Tafsir Al-Mishbah volume 13. Jakarta: Penerbit Lentera
Hati.
Tim Penyusun Bahasa Indonesia. 2012. kamus Lengkap Bahasa Indonesia edisi
keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.