Anda di halaman 1dari 1125

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. RETNO | DR. ORYZA | DR. REZA | DR.

RESTHIE |
DR. CEMARA | DR. OKTRIAN | DR. RIFDA | DR. RYNALDO

OFFICE ADDRESS:
Jakarta Medan
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007 Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872 Sari, Kec. Medan Selayang 20132
WA. 081380385694/081314412212 WA/Line 082122727364

www.optimaprep.co.id
ILMU
P E N YA K I T
DALAM
1. Ca Paru

Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Kanker Paru di


Indonesia, PDPI, 2003
Ca Paru
PEMERIKSAAN FISIK
• Hasil yang didapat sangat bergantung pada
kelainan saat pemeriksaan dilakukan.
• Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer
dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan.
• Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai
atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus,
efusi pleura atau penekanan vena kava akan
memberikan hasil yang lebih informatif.
Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Kanker Paru di
Indonesia, PDPI, 2003
Pemeriksaan Radiologis Ca Paru
Foto Toraks CT-scan
• Pada pemeriksaan foto toraks • dapat mendeteksi tumor
PA/lateral akan dapat dilihat dengan ukuran lebih kecil dari
bila masa tumor dengan 1 cm
ukuran tumor lebih dari 1 cm. • Bila terdapat penekanan
• Tanda yang mendukung terhadap bronkus, tumor intra
keganasan adalah tepi yang bronkial, atelektasis, efusi
ireguler, disertai identasi pleura yang tidak masif dan
pleura, tumor satelit tumor, telah terjadi invasi ke
dll. mediastinum dan dinding dada
• Pada foto tumor juga dapat dapat tervisualisasi.
ditemukan telah invasi ke • Keterlibatan KGB dapat
dinding dada, efusi pleura, dideteksi.
efusi perikar dan metastasis
intrapulmoner.

Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Kanker Paru di


Indonesia, PDPI, 2003
• Coin lesion or solitary pulmonary nodule (SPN) is a round oval, well-
circumscribed solitary pulmonary lesion.
• Lung cancer is the most common cause of malignant coin lesion.
• These lesions are the first indicator of lung cancer in about 20-30% patients.
• 10-30% of cancerous coin lesion occur when cancer spread to the lungs from
another part of the body.
DIC
• DIC (aka consumption coagulopathy, defibrination syndrome)
– Systemic process producing both thrombosis and hemorrhage
– Initiated by a number of defined disorders
– Consists of the following components:
• Exposure of blood to procoagulants
• Formation of fibrin in the circulation
• Fibrinolysis
• Depletion of clotting factors
• End-organ damage

• Occurs in approximately one percent of hospital admissions


• Treatment is supportive
– Platelet transfusion
– Factor replacement
Etiologi
Manifestasi Klinis
Diagnosis of DIC
• Clinical setting
• Laboratory tests
• Criteria
– Underlying disease known to be associated
– Initial platelet count < 100 X 109/L, or rapid decline in
platelet count
– Prolongation of clotting times (PT & APTT)
– Presence of fibrin degradation products
– Low levels of coagulation inhibitors (e.g. antithrombin)
– Low fibrinogen level in severe cases

Bachelor of Chinese Medicine


Disseminated intravascular coagulation
• Laboratory results:
– Prolonged PT, APTT and TT
– Reduced fibrinogen level
– Increased D-Dimers
– Thrombocytopenia
– Microangiopathic changes in blood film
Tatalaksana
• Correct and eliminate underlying cause (e.g., antimicrobial therapy for
infection, removal of necrotic bowel, evacuation of uterus in obstetric
emergencies).
• Give replacement therapy with fresh frozen plasma (FFP) and platelets in
patients with significant hemorrhage:
 FFP 10 to 15 ml/kg can be given with a goal of normalizing international normalized
ratio.
 Platelet transfusions are given when platelet count is <10,000 (or higher if major
bleeding is present).
 Cryoprecipitate 1 U/5 kg is reserved for hypofibrinogen states.
 Antithrombin III treatment may be considered as a supportive therapeutic option in
patients with severe DIC. Its modest results and substantial cost are limiting factors.
 Heparin therapy at a dose lower than that used in venous thrombosis (300 to 500 U/hr)
may be useful in selected cases to increase neutralization of thrombin (e.g., DIC
associated with acute promyelocytic leukemia, purpura fulminans, acral ischemia).
Treatment of DIC
2. EKG di Soal
2. ACLS

ACLS 2015
• Kompresi 100-120
kali
• Kedalaman
minimal 5 cm
maksimal 6 cm
2. ACLS
• PEA encompasses a
heterogeneous group of
organized electric rhythms
that are associated with either
absence of mechanical
ventricular activity or
mechanical ventricular activity
that is insufficient to generate
a clinically detectable pulse.

• Drug Therapy for PEA/Asystole


– A vasopressor can be given as
soon as feasible with the
primary goal of increasing
myocardial and cerebral
blood flow during CPR and
achieving ROSC
– Available evidence suggests
that the routine use of
atropine during PEA or
asystole is unlikely to have a
therapeutic benefit.
3. Chest Physiotherapy

• Chest physiotherapy
– Optimize the effects of gravity and external
manipulation of the thorax by postural drainage,
percussion, vibration and cough.
– A mechanical percussor may also be used to
transmit vibrations to lung tissues.
• Indication
– Any patient whose cough alone (voluntary or
induced) cannot provide adequate lung clearance
or the mucociliary escalator malfunctions.
– Bronchiectasis, cystic fibrosis, COPD, bronchitis,
lung abscess.
3. Contraindication to chest percussion

• Acute medical/surgical emergencies, poor or


unstable cardiovascular disorders.
• Fragile, fractured ribs or osteoporosis, or
extremely unstable chest wall.
• Fresh burns, skin grafts or infection on thorax.
• Acute bronchospasm, untreated.
• Incision or trauma to chest or upper abdomen.
• Recent spinal fusion or surgery.
• Pulmonary emboli.
3. Contraindication to chest percussion

• Temporary transvenous pacemaker Resectable


pulmonary tumors (percussion usually not done
over tumor)
• Pain preventing patient's cooperation.
• Extraparenchymal complications (pneumothorax,
pleural effusion, empyema).
• Subcutaneous emphysema.
• Untreated pneumothorax.
• Acute lung abscess.
4. Penyakit Paru
• Definisi PPOK
– Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel
– Bersifat progresif & berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun/berbahaya
– Disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat penyakit

• Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan


antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) & obstruksi
parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu.

• Bronkitis kronik & emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:


– Emfisema merupakan diagnosis patologi (pembesaran jalan napas distal)
– Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis (batuk berdahak selama 3 bulan
berturut-turut, dalam 2 tahun)
A. Gambaran Klinis PPOK
4. Penyakit Paru
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi
saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisis (PPOK dini umumnya tidak ada kelainan)


• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
4. Penyakit Paru
Pemeriksaan fisis PPOK
• Palpasi: pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

• Perkusi: pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,


letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh, gagal jantung kanan terlihat denyut
vena jugularis di leher dan edema tungkai

1. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011


4. Penyakit Paru
Spirometri penyakit
obstruktif paru:
• Forced expiratory volume/FEV1 ↓
• Vital capacity ↓
• Hiperinflasi mengakibatkan:
– Residual volume ↑
– Functional residual Normal COPD
capacity ↑
Nilai FEV1 pascabronkodilator <80% prediksi memastikan ada
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
1. Color Atlas of Patophysiology. 1st ed. Thieme: 2000.
2. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Lange: 2003.
3. Murray & Nadel’s Textbook of respiratory medicine. 4th ed. Elsevier: 2005.
4. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
4. Pursed-lip breathing
• Glossopharyngeal breathing
– Increasing patient’s inspiratory capacity when there is
severe weakness of the muscles of inspiration
• Paced breathing
– slow and deep breathing, traditionally used in
meditation and yoga.
• Diaphragmatic breathing
– diaphragma as the primary muscle of inspiration 
more efficient ventilation.
5. Sindrom Metabolik
WHO(World Health IDF = International Diabetes
Organization) Federation
• Diagnosis bila kadar gula • Diagnosis jika kadar gula
darah abnormal dan ada 2 darah abnormal dan ada 2
criteria lainnya
kriteria tambahan
• GDP 100-125 atau riwayat DM tp
• Intoleransi glukosa, DM tipe 2, 2
Resistensi Insulin • Lingkar pinggang ≥ 94 cm Pria,
• IMT > 30 dan Rasio lingkar atau ≥ 80 cm Wanita
pinggang banding panggul • TG ≥150 mg/dl atau HDL < 40 utk
(HWR) >0.9 Pria, >0.85 Wanita pria, dan < 50 untuk wanita
• TG ≥150 mg/dl atau HDL < 35 • Dalam pengobatan hipertensi
atau
Pria dan < 39 Wanita
• TD ≥130/85 mmHg
• Dalam pengobatan hipertensi
atau TD ≥160/90 mmHg
• Microabuminuria ≥ 20 mcg/min
Meig JB. The Metabolic Syndrome. April 2018. Available from https://www.uptodate.com/contents/the-metabolic-syndrome-insulin-resistance-
syndrome-or-syndrome-x
Parameters NCEP ATP3 2005* IDF 2006 WHO 1999 AACE 2003
Required Waist ≥94 cm (men) or Insulin resistance in High risk of insulin
≥80 cm (women)¶ top 25 percentΔ; resistance◊ or BMI ≥25
¶ For South Asia and glucose ≥110 mg/dL; 2- kg/m2 or waist ≥102
Chinese patients, waist hour glucose ≥140 cm (men) or ≥88 cm
≥90 cm (men) or ≥80 mg/dL (women)
cm (women

Number of ≥3 of: And ≥2 of: And ≥2 of: And ≥2 of:


abnormalities
Glucose ≥100 mg/dL or drug ≥100 mg/dL or ≥110 mg/dL; ≥2-hour
treatment for elevated diagnosed diabetes glucose 140 mg/dL
blood glucose
HDL cholesterol <40 mg/dL (men); <50 <40 mg/dL (men); <50 <35 mg/dL (men); <40 <40 mg/dL (men); <50
mg/dL (women) or drug mg/dL (women) or mg/dL (women) mg/dL (women)
treatment for low HDL-C§ drug treatment for low
HDL-C

Triglycerides ≥150 mg/dL or drug ≥150 mg/dL or drug or ≥150 mg/dL) ≥150 mg/dL
treatment for elevated treatment for high
triglycerides§ triglycerides
Obesity Waist ≥102 cm (men) or ≥88 Waist/hip ratio >0.9
cm (women)¥ (men) or >0.85
(women) or BMI ≥30
kg/m2

Hypertension ≥130/85 mmHg or drug ≥130/85 mmHg or ≥140/90 mmHg ≥130/85 mmHg
treatment for hypertension drug treatment for
hypertension
Notes
• NCEP: National Cholesterol Education Program; IDF: International Diabetes Federation;
EGIR: Group for the Study of Insulin Resistance; WHO: World Health Organization;
AACE: American Association of Clinical Endocrinologists; HDL: high density lipoprotein;
BMI: body mass index.
* Most commonly agreed upon criteria for metabolic syndrome (any three of five risk
factors).

• ¶ For South Asia and Chinese patients, waist ≥90 cm (men) or ≥80 cm (women); for
Japanese patients, waist ≥90 cm (men) or ≥80 cm (women).

• Δ Insulin resistance measured using insulin clamp.

• ◊ High risk of being insulin resistant is indicated by the presence of at least one of the
following: diagnosis of CVD, hypertension, polycystic ovary syndrome, non-alcoholic
fatty liver disease or acanthosis nigricans; family history of type 2 diabetes,
hypertension of CVD; history of gestational diabetes or glucose intolerance; nonwhite
ethnicity; sedentary lifestyle; BMI 25 kb/m2 or waist circumference 94 cm for men and
80 cm for women; and age 40 years.

• § Treatment with one or more of fibrates or niacin.

• ¥ In Asian patients, waist ≥90 cm (men) or ≥80 cm (women).


Pemeriksaan Penunjang
• Profil lipid, glukosa darah, Tes fungsi hati,
Urine lengkap , Tes fungsi ginjal, TSH, EKG
• Skrining dianjurkan pada semua pasien
berusia ≥ 20 tahun, setiap 5 tahun sekali

Meig JB. The Metabolic Syndrome. April 2018. Available from https://www.uptodate.com/contents/the-
metabolic-syndrome-insulin-resistance-syndrome-or-syndrome-x
Farmakologis
Tatalaksana
• Golongan statin: Simvastatin 5 – 40
mg/hr (↓kolest; ES: mialgia,
Modifikasi gaya hidup ↑SGOT/PT; KI:kehamilan)
• Golongan resin:Kolestiramin 4 – 16
• Diet, dengan komposisi:Lemak g/hr (kombinasi dgn statin ↓kolest)
jenuh < 7%; PUFA 10%; MUFA • Golongan asam nikotinat:Lepas
10%; Lemak total25 – 35%; cepat 1,5 – 3 g, Lepas lambat 1 –
Karbohidrat 50 – 60%; Protein 2 g (kombinasi dgn statin ↓kolest &
15%; Serat20 – 30 g/hari; TG; Interaksi dgn Aspirin; ES: gout,
Kolesterol< 200 mg/hari ↑glukosa)
• Golongan asam fibrat: Gemfibrazil
• Latihan jasmani dan
2x600 atau1x900 mg/hr (↓TG; jgn
Penurunan berat badan bagi kombinasi dgn statin ↑resiko ES
yang gemuk miopathy)
• Menghentikan kebiasaan • Penghambat absorpsi kolesterol:
merokok, minuman alcohol Ezetimibe 10 mg/hr
Meig JB. The Metabolic Syndrome. April 2018. Available from https://www.uptodate.com/contents/the-
metabolic-syndrome-insulin-resistance-syndrome-or-syndrome-x
Hiperkolesterolemia Hipertrigliseridemia
• Evaluasi profil lipid tiap 6 minggu • Batas tinggi atau tinggi
– Bila tercapaisetiap 4-6 bulan. – tujuan utama tata laksana adalah
• 6 minggu modifikasi gaya hidup, target mencapai target kolesterol LDL.
belum tercapai
– intensifkan penurunan lemak jenuh dan
• Pasien dengan trigliserida tinggi:
kolesterol, tambahkan stanol/steroid nabati, – target sekunder  kadar
tingkatkan konsumsi serat, dan kerjasama kolesterol non-HDL
dengan dietisien.
• sebesar 30 mg/dL lebih tinggi
• 6 minggu berikutnya non-farmakologis dari target kadar kolesterol LDL
tidak berhasilfarmakologis (lihat tabel di atas).
• Pencegahan primer (tanpa PJK), dimulai • Pendekatan Tata Laksana obat:
dengan nutrisi medis dan latihan fisik3 – Obat penurun kadar kolesterol
bulan tidak mencapai sasaran  LDL, atau tambah obat fibrat atau
ditambahkan statin. asam nikotinat
– 6 minggu  target belum tercapai naikkan
dosis statin atau kombinasi dengan yang lain.
• Pasien dengan PJK atau yang setara
(pencegahan sekunder), segera diberi tata
laksana non farmakologis dan farmakologis,
jika kolesterol LDL > 100 mg/dL.
Target Tatalaksana
6. Defisiensi Vitamin B
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss,
body weakness and pain, brain damage, irregular heart rate,
Vitamin B1 (Thiamine)
heart failure with or without edema, and death if left
untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other
Vitamin B2 (Riboflavin) symptoms are cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes,
and low red blood cell count
Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia,
Vitamin B3 (Niacin)
and finally death (4D)
Vitamin B5
Acne and Chronic paresthesia
(Pantothenic Acid)
Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood
Vitamin B6
pressure (hypertension), water retention, and elevated levels
(Pyridoxine)
of homocysteine
Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions
Vitamin B7 (Biotin)
including hallucinations, drowsiness, and depression
Causes gradual deterioration of the spinal cord and very
Vitamin B12
gradual brain deterioration, resulting in sensory or motor
(Cobalamin)
deficiencies, anemia megaloblastic
Defisiensi Vitamin
Water-Soluble Fat-Soluble
Vitamins Vitamins
Absorbed in the Small Intestine Small Intestine
Hydrophobic or
Hydrophilic Hydrophobic
Hydrophilic

Absorbed into the Blood Lymph

Stored in the body Not Generally Yes

Can build up and


Not Generally Yes
become toxic

Need to consume
Yes No
daily
Beriberi
• Beriberi is a disease caused by a vitamin B1
(thiamine) deficiency.
• There are two types of the disease: wet
beriberi and dry beriberi.
• Wet beriberi affects the heart and circulatory
system. In extreme cases, wet beriberi can cause
heart failure.
• Dry beriberi damages the nerves and can lead to
a loss of muscle strength and eventually, muscle
paralysis.
• Beriberi can be life-threatening if it isn’t treated.
Who Is at Risk?
• The main cause of beriberi is a diet low in thiamine.
• Beriberi is most common in regions of the world where the diet
includes a lot of unenriched white rice, which only has a tenth of
the amount of thiamine as brown rice.
• Alcohol abuse (can’t absorb and store thiamine).
• Genetic beriberi is a rare condition that prevents the body from
absorbing thiamine.
• Pregnant women, breast-feeding mothers, and anyone with
hyperthyroidism (over-active thyroid gland) need extra thiamine.
• Prolonged diarrhea or use of diuretics can lead to depletion of
thiamine.
• Kidney dialysis (depleting body’s stores of thiamine more quickly)
Sources
• Pork & pork products,
• All meat, Liver
• Beans
• Sunflower seeds,
• Cereals
• Enriched and whole-
grains
• Dry beans and peas
• Bread, flour
• Avocado
• Yeast
• Milk
B1 – Thiamin Functions
• Thiamine helps a great many bodily • Thiamine is important to the health
functions, acting as the coenzyme of the nerves and nervous system,
thiamine pyrophosphate (TPP). possibly because of its role in the
• Coenzyme TPP is required for series synthesis of acetylcholine (via the
of metabolic reactions to release production of acetyl CoA).
energy from carbohydrate mainly, • With a lack of vitamin B1, the nerves
branched-chain amino acids & fatty are more sensitive to inflammation.
acid • Thiamine is linked to individual
• Thiamine is also needed to learning capacity and to growth in
metabolize ethanol, converting it to children.
carbon dioxide and water. • It is also important to the muscle
• B1 helps in the initial steps of fatty tone of the stomach, intestines, and
acid and sterol production. In this heart because of the function of
way, thiamine also helps convert acetylcholine at nerve synaptic
carbohydrate to fat for storage of junction.
potential energy. • Assists in production of DNA and RNA
Classification
of Beri-Beri
• Dry Beriberi
• Cardiovascular (Wet
Beriberi)
• Infantile Beriberi
• Shoshin Beriberi
• Wernicke-Korsakoff
syndrome

Biochemistry for medics


Pathophysiology of Thiamine
deficiency (Beri-Beri)
• Deficiency causes degeneration of peripheral nerves,
thalamus, mammillary bodies, and cerebellum.
• Cerebral blood flow is markedly reduced, and vascular
resistance is increased.
• The heart may become dilated; muscle fibers become
swollen, fragmented, and vacuolized, with interstitial
spaces dilated by fluid.
• Vasodilation occurs and can result in edema in the feet
and legs.
• Arteriovenous shunting of blood increases. Eventually,
high-output heart failure may occur.
Biochemistry for medics
Dry Beriberi
• Nervous system involvement is termed dry
beriberi.
• The neurologic findings can be peripheral
neuropathy characterized by symmetric
impairment of sensory, motor, and reflex
functions of the extremities
• These deficits are bilateral and roughly
symmetric, occurring in a stocking-glove
distribution.
Biochemistry for medics
Dry Beriberi (Contd.)
• They affect predominantly the lower extremities, beginning with
paresthesias in the toes, burning in the feet (particularly severe at
night), muscle cramps in the calves, pains in the legs, and plantar
dysesthesias.
• Calf muscle tenderness, difficulty rising from a squatting position,
and decreased vibratory sensation in the toes are early signs
• Continued deficiency worsens polyneuropathy, which can eventually
affect the arms.
• mental confusion
• difficulty speaking
• vomiting
• involuntary eye movement
• paralysis
Biochemistry for medics
Dry Beriberi

Deficiency causes degeneration of peripheral nerves, thalamus,


mammillary bodies, and cerebellum.

Biochemistry for medics


Cardiovascular (wet) beriberi
• Wet beriberi is the term used for the cardiovascular
involvement of thiamine deficiency.
• The first effects are vasodilatation, tachycardia, a
wide pulse pressure, sweating, warm skin, and
lactic acidosis.
• Later, heart failure develops, causing orthopnea and
pulmonary and peripheral edema.
• Vasodilatation can continue, sometimes resulting in
shock.
Biochemistry for medics
Cardiovascular (wet) beriberi

"Pedal edema before and after the application of


pressure to the shin."
Biochemistry for medics
7. Hipoglikemia
• Hipoglikemia 
menurunnya kadar glukosa
darah < 70 mg/dL dengan
atau tanpa gejala otonom
• Whipple triad
– Gejala hipoglikemia
– Kadar glukosa darah rendah
– Gejala berkurang dengan
pengobatan
• Penurunan kesadaran pada
DM harus dipikirkan
hipoglikemia terutama yang
sedang dalam pengobatan
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015
7. Hipoglikemia
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia, widened
paresthesia, palpitasi, Tremulousness pulse pressure
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, pusing, Cortical-blindness,
confusion, perubahan sikap, gangguan hipotermia, kejang, koma
kognitif, pandangan kabur, diplopia

• Probable hipoglikemia  gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan


GDS
• Hipoglikemia relatif  GDS>70 mg/dL dengan gejala
hipoglikemia
• Hipoglikemia asimtomatik  GDS<70mg/dL tanpa gejala
hipoglikemia
• Hipoglikemia simtomatik  GDS<70mg/dL dengan gejala
hipoglikemia
• Hipoglikemia berat  pasien membutuhkan bantuan orang lain
untuk administrasi karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015
7. Hipoglikemia
Hipoglikemia ringan Hipoglikemia berat
• Konsumsi makanan tinggi
karbohidrat • Terdapat gejala
• Gula murni
neuroglikopenik  dextrose
• Glukosa 15-20 g (2-3 sdm)
20% sebanyak 50 cc (bisa
dilarutkan dalam air diberikan dextrose 40% 25
• Pemeriksaan glukosa darah cc), diikuti infus D5% atau
dengan glukometer setelah D10%
15 menit upaya terapi • Periksa GD 15 menit, jika
• Kadar gula darah normal, belum mencapai target
pasien diminta untuk makan dapat diulang
atau konsumsi snack untuk
mencegah berulangnya • Monitoring GD tiap 1-2 jam
hipoglikemia.

Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015


8. Defisiensi vitamin B12
• Anemia makrositik megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vit B12 dan
asam folat. Keduanya memberi gambaran makro-ovalosit dan neutrofil
hipersegmentasi.

• Gangguan pembentukan DNA akibat defisiensi vitamin tersebut


mengakibatkan kematian sel darah di sumsum tulang, yang dapat
memberi gambaran pansitopenia serta ikterus (hiperbilirubinemia indirek)

• Gejala anemia yang timbul, antara lain cepah lelah dan pucat, kekuningan.

• Gangguan neurologi hanya terjadi pada defisiensi vitamin B12, tidak pada
defisiensi folat. Gejala neurologi yang ditemukan:
– Neuropati perifer: kesemutan, kebas, lemas
– Kehilangan sensasi proprioseptif (posisi) dan getaran
– Gangguan memori, depresi, iritabilitas
– Neuropati optik: penglihatan kabur, gangguan lapang pandang
8. Defisiensi Vitamin B12
Etiologi
• Pernicious anemia (lack of intrinsic factor)—most
common cause in the Western hemisphere
• Gastrectomy / Bariatric surgery
• Poor diet (e.g., strict vegetarianism); alcoholism
• Crohn’s disease, ileal resection (terminal ileum
approximately the last 100 cm)
• Other organisms competing for vitamin B12
Diphyllobothrium latum infestation (fish tapeworm)
Blind-loop syndrome (bacterial overgrowth)
Etiology
• Pernicious anemia (lack of intrinsic factor)—most common cause in the
Western hemisphere
• Food cobalamin malabsorption:
– The primary problem is an inability to release vitamin B12 from dietary
proteins
– especially common in older individuals
– Predisposing factors:
• atrophic gastritis
• gastric surgeryGastrectomy / Bariatric surgery
• chronic H. pylori infection
• achlorhydria from chronic use of antacids, H2 receptor blockers, or proton pump
inhibitors
• chronic excess alcohol use
• pancreatic insufficiency
• antibiotic use with intestinal bacterial overgrowth
• Poor diet (e.g., strict vegetarianism); alcoholism (chronic use)
• Crohn’s disease, ileal resection (terminal ileum approximately the last
100 cm)
• Other organisms competing for vitamin B12
 Diphyllobothrium latum infestation (fish tapeworm)
 Blind-loop syndrome (bacterial overgrowth)
8. Defisiensi vitamin B12

• Antasida menurunkan asam


lambung
• Penurunan asam lambung
dapat menghambat absorbsi
vitamin B12
Clinical laboratory hematology. 3rd ed.
Absorbsi Vitamin B12
Defisiensi vitamin B12

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.


Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi Vitamin B12
Diagnosis
• Apusan darah tepi
 Megaloblastik anemia
 Hypersegmented neutrofil
• Vit B 12 serum rendah (<
100pg/mL)
• Meningkatnya kadar asam
metilmalonic dan
homosistein
• Antibodi thdp faktor
intrinsik (pd anemia
pernisiosa)
• Schiling test
Defisiensi Vitamin B12
• Numerous
treatment regimens
have been
proposed, including
cobalamin 1000
mcg IM/SC daily for
5 days followed by
1000 mcg/wk for 5
weeks, then 100-
1000 mcg/mo for
life.
Hipersegmentasi (segmen 5/lebih)

Makro-ovalosit pada anemia


makrositik megaloblastik
9. Hepatitis Virus
Tatalaksan
a Hepatitis
B HBeAg
(+)

Konsensus Nasional
Penatalaksanaan
Hepatitis B di Indonesia,
PPHI, 2012
Tatalaksan
a Hepatitis
B HBeAg (-
)

Konsensus Nasional
Penatalaksanaan
Hepatitis B di Indonesia,
PPHI, 2012
10. Dislipidemia

• Dislipidemia adalah kelainan metabolisme


lipid yang ditandai dengan peningkatan
maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma.
• Rumus Friedewald.
– 𝐿𝐷𝐿 =𝐾𝑜𝑙𝑒𝑠𝑡𝑒𝑟𝑜𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 −𝐻𝐷𝐿 − 𝑇𝐺/5
10. Dislipidemia
10. Dislipidemia
10. Dislipidemia
11. GANGGUAN GINJAL AKUT

• Gangguan ginjal akut (GGA)


adalah kondisi penurunan
mendadak faal ginjal dalam 48
jam berupa kenaikan kadar
kreatinin serum ≥0,3 mg/dl (≥26,4
µmol/l), atau presentasi kenaikan
Definisi kreatinin serum ≥50% (1,5 kali
kenaikan dari nilai dasar), atau
pengurangan produksi urin
(oligouria yang tercatat ≤0,5
ml/kg/jam dalam waktu lebih dari
6 jam).
Gambar 11. Klasifikasi GGA menurut RIFLE dan AKIN (Sumber:
Cruz,N.D.,et al, 2009. Critical Care 13:211).

• Klasifikasi
Klasifikasi interdisipliner internasional yang pertama kali untuk GGA adalah kriteria
RIFLE yang diajukan oleh The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI). Kemudian ada
upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam
kriteria RIFLE sehingga lebih awal dikenali.
• disebabkan oleh berbagai kondisi yang
GGA prerenal menimbulkan hipoperfusi ginjal →
(~55%) penurunan fungsi ginjal tanpa ada
kerusakan parenkim yang berarti.

• Kerusakan langsung pada parenkim ginjal. Proses


inflamasi memegang peranan penting pada
patofisiologi GGA yang terjadi karena iskemia..
GGA renal • Obstruksi renovaskular
• Penyakit pada glomerulus atau pembuluh darah
(~40%) • Nekrosis tubular akut
• Nefritis interstitial
• Obstruksi intratubular

• Gangguan yang berhubungan dengan


obstruksi saluran kemih.
GGA postrenal • Obstruksi ureter
(~5%) • Obstruksi leher vesica urinaria
• Obstruksi urethra
Patofisiologi GGA

Mekanisme GGA. ( Sumber: Lattanzio, M.R. dan Kopyt, N.P., 2009. New Concepts in Definition, Diagnosis, Pathophysiology, and Treatment, J Am
Osteopath Assoc, 109:13-19.).
Tanda dan Gejala GGA
Organ Temuan klinis

Kulit Livido reticularis, iskemia jari-jari, butterfly rash, purpura, vaskulitis sistemik.
Maculopapular rash ditemukan pada nefritis interstitial alergi.

Mata Keratitis, iritis, uveitis, konjungtiva kering: ditemukan pada vaskulitis autoimun.
Jaundice: penyakit liver.
Band keratopathy (karena hiperkalsemia): mieloma multipel.
Retinopati diabetes.
Retinopati hipertensi.
Atheroemboli.

Kardiovaskular Nadi iregular: tromboemboli.


Murmur: endokarditis.
Pericardial friction rub: perikarditis uremikum.
JVP meningkat, ronki basah basal, S3: gagal jantung.

Abdomen Massa pulsatil atau bruits: atheroemboli.


Nyeri tekan abdomen atau CVA: nefrotlitiasis, nekrosis papilar, trombosis arteri atau vena
renalis.
Massa pada pelvis atau rektum, hipertorofi prostat, distensi bladder: obstruksi saluran
kemih.
Iskemia, edema ekstremitas: rabdimiolisis.

Pulmo Ronki: sindro Goodpasture, Wegener granulomatosis.


Hemoptysis: Wegener granulomatosis.
Diagnosis GGA

Epidemiologi, gambaran klinis, dan diagnosis sebab mayor GGA. ( Sumber: Liu, D.K. dan Chertow, G.M., 2013. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 18th edition, McGrawHill, chp. 279).
Analisis Soal
• Ureum 160 mg/dL
• kreatinin 5,8 mg/dL
• BUN= Urea (mg/Dl)/2.1428
• BUN = 160/2.1428 = 74.668
• BUN/Cr = 74.668/5.8 = 12.87
• Ratio Bun/Cr < 20:1
• Sehingga bisa disimpulkan gagal ginjal akut pada
pasien adalah gagal ginjal akut renal (ATN)
12-13. Arthritis
Rheumatoid arthritis (RA)
• Chronic inflammatory disease of unknown etiology
marked by a symmetric, peripheral polyarthritis.
• RA is a systemic disease  extraarticular manifestations.
• 10% of RA have secondary Sjögren's syndrome
(keratoconjunctivitis sicca or xerostomia).
• a score of 6: definite RA.
Rheumatoid Arthritis

Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.


Rheumatoid Arthritis

Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.


Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
Boutonnoere deformity caused by Swan neck deformity caused by
flexion of the PIP joint with Hyperextension of the PIP joint with
hyperextension of the DIP joint. flexion of the DIP joint .

Rheumatoid Arthritis
Ulnar deviation of the fingers with wasting of the
Rheumatoid nodules & small muscles of the hands and synovial swelling at
olecranon bursitis. the wrists, the extensor tendon sheaths, MCP & PIP.
12. Rheumatoid Arthritis
14. Colorectal Cancer
• Colorectal cancers occur at a mean age of 69.
• Risk factor:
– high animal fat diet, hereditary polyposis, IBD.
• Symptoms vary with anatomic locations:
– Stool is relatively liquid as it passes through the right
colon  no obvious obstructive symptoms or
noticeable alterations in bowel habits.
– Lesions of the right colon commonly ulcerate, leading
to chronic, insidious blood loss without a change in
the appearance of the stool  anemia of iron
deficiency  fatigue, palpitations, & even angina
pectoris.
Harrison’s principles of internal medicine.
Current diagnosis & treatment in gastroenterology
14. Colorectal Cancer
• Symptoms:
– Since stool becomes more
formed as it passes into the
transverse & descending
colon, tumors arising there
tend to impede the passage
of stool, resulting in the
development of abdominal
cramping, occasional
obstruction, & even
perforation. Radiographs of
the abdomen often reveal
characteristic annular,
constricting lesions ("apple-
core" or "napkin-ring")

Harrison’s principles of internal medicine.


Current diagnosis & treatment in gastroenterology
14. Colorectal Cancer
• Symptoms:
– Cancers arising in the rectosigmoid are often associated
with hematochezia, tenesmus, & narrowing of the caliber
of stool; anemia is an infrequent finding
• Prompt diagnostic evaluation should be undertaken
endoscopically or radiographically.
• The U.S. Preventive Services Task Force recommends
colorectal cancer screening for men and women aged
50–75 using
– High-sensitivity fecal occult blood testing
– Sigmoidoscopy or colonoscopy

Harrison’s principles of internal medicine.


Current diagnosis & treatment in gastroenterology
• Modalities for detecting
colorectal cancer:
• A: Colonoscopic view of
cancer of the ascending
colon. Cancer is seen
infiltrating a colonic fold
and growing
semicircumferentially
and into the lumen.
• B: Air contrast barium
enema demonstrating
cancer similar to that
seen in A.
• C: Constricting “apple
core┕lesion of the left
colon seen on full
column barium enema.

Harrison’s principles of internal medicine.


Current diagnosis & treatment in gastroenterology
14. Colorectal Cancer
15-16. Penyakit ginjal kronik
• Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi
lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
– Kelainan patologis
– Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam
tes pencitraan (imaging test).
• LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
15. Penyakit ginjal kronik (CKD)
16. CKD
Terapi PGK
Terapi Penyakit Dasar PGK
Waktu yang optimal untuk memberikan terapi untuk penyakit dasar PGK
adalah sebelum terjadinya penurunan LFG (Tabel). Namun bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar
sudah tidak banyak bermanfaat.

Memperlambat Progresifitas PGK


Faktor utama yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal adalah adanya
hiperfiltrasi intraglomerular yang disebabkan oleh berkurangnya massa
ginjal dan aktivasi sistem renin-angiotensin. Hiperfiltrasi ini kemudian
menyebabkan terjadinya kebocoran protein melewati glomerulus
sehingga timbul proteinuria. Sehingga, cara yang penting untuk
mengurangi hiperfiltrasi adalah dengan pembatasan asupan protein dan
memberikan obat antihipertensi untuk mengontrol hipertensi sistemik
dan glomerular.
Terapi PGK (2)
• Anemia → Penanganan anemia pada PGK adalah
dengan memberikan EPO. Status besi harus selalu
diperhatikan karena EPO memerlukan besi untuk dapat
bekerja. Transfusi harus dihindari kecuali anemia gagal
berespon terhadap pemberian EPO dan pasien
simptomatik. Sasaran Hb menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 gr/dl.
• Dalam penanganan nefropati diabetik diperlukan
kontrol gula darah yang baik. Kadar glukosa
preprandial yang direkomendasikan adalah 90-130
mg/dl dan kadar HbA1c harus <7%.
Terapi PGK (3)
• Pemberian terapi antihipertensi juga diperlukan untuk
menurunkan albuminuria dan mengurangi progresifitasnya
meskipun pada pasien diabetes yang normotensi. Secara
umum, penggunaan ACE inhibitor dan ARB memiliki efek
renoprotektif, dengan jalan menurunkan tekanan
intraglomerular dan menginhibisi jalur angiotensin yang
menginduksi sklerosis ginjal, serta menghambat jalur mediasi
TGF-β.
• Osteodistrofi renal→ mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3) , asupan fosfat
dibatasi 600-800 mg/hari. Pemberian pengikat fosfat seperti
garam kalsium, alumunium hidroksida, atau garam
magnesium dapat diberikan untuk menghambat absorpsi
fosfat. Garam kalsium yang banyak digunakan adalah kalsium
karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat.
Terapi PGK (4)
• Imbalans cairan dan elektrolit → dengan berasumsi bahwa
insensible water loss adalah 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk per hari dianjurkan 500-
800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi
kadarnya adalah kalium karena hiperkalemia dapat menyebabkan
aritmia jantung. Selain itu, natrium juga perlu diawasi untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Untuk penanganannya telah
dibahas pada bab Gangguan Ginjal Akut.
• Terapi pengganti ginjal diindikasikan bila klirens kreatinin <15
ml/menit. Dibandingkan dengan pasien nondiabetik, hemodialisis
pada pasien DM lebih sering menimbulkan komplikasi seperti
hipotensi (karena adanya neuropati autonom yang menyebabkan
hilangnya refleks takikardia), sulitnya akses vena, dan cepatnya
progresi retinopati
17. Gagal Jantung Kongestif
17. Gagal Jantung Kongestif
• Adanya 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor
• Kriteria minor dapat diterima bila tidak
disebabkan oleh kondisi medis lain seperti
hipertensi pulmonal, penyakit paru kronik,
asites, atau sindrom nefrotik
• Kriteria Framingham Heart Study 100% sensitif
dan 78% spesifik untuk mendiagnosis
Sources: Heart Failure. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
Archives of Family Medicine 1999.
17. Gagal Jantung

• Contoh aktivitas fisik biasa: berjalan cepat, naik tangga 2 lantai


• Contoh aktivitas fisik ringan: berjalan 20-100 m, naik tangga 1 lantai
Pathobiology of Human Disease: A Dynamic Encyclopedia of Disease Mechanisms
17. Gagal Jantung

• B-type Natriuretic Peptide (BNP) adalah hormon yang dihasilkan


oleh otot jantung ketika otot bilik (ventrikel) jantung meregang
atau mengalami tekanan. BNP berfungsi mengatur keseimbangan
pengeluaran garam dan air, termasuk mengatur tekanan darah.
BNP diproduksi sebagai pre-hormon yang disebut proBNP.
• Jika jantung, khususnya ventrikel kiri fungsinya terganggu, kadar
NT-ProBNP di dalam darah akan meningkat. Karena itu, NT-proBNP
digunakan sebagai penanda untuk deteksi gagal jantung.
17. Tata Laksana CHF

Sources: Heart Failure. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.


18. Syok Anafilaksis
• Anafilaksis adalah reaksi tipe segera yang dimediasi
oleh interaksi antara alergen dengan IgE yang terikat
pada permukaan sel mast atau basofil. Interaksi
tersebut akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis
yaitu gejala sistemik.
• Susah dibedakan dengan reaksi anafilaktoid namun
anafilaktoid secara mekanisme tidak melibatkan IgE.
• Manifestasi klinis yang timbul meliputi gejala pada
kulit, pernapasan, kardiovaskuler, gastrointestinal, dan
gejala pada sistem organ lain seperti rinitis,
konjungtivitis.
16. Syok Anafilaksis
• Tatalaksana anafilaksis
– Segera berikan suntikan epinefrin 1:1000 0,3 ml i.m di daerah
deltoid atau vastus lateralis. Dapat diulang 15-20 mg bila
diperlukan
– Hentikan infus media kontras, antibiotika, dan zat lain yang
dicurigai sebagai alergen.
– Berikan difenhidramin 50 mg intravena, ranitidin 50 mg atau
cimetidin 300 mg intravena, oksigen, infus cairan garam,
metilprednisolon 125 mg intravena
– Intubasi bila diperlukan
– Bila terdapat hipotensi segera berikan rehidrasi dan dopamin
atau norepinefrine.
– Bila terdapat sesak napas berikan salbutamol inhalasi dan
oksigen
19. Blood Transfusion

WHO clinical use of blood.


Type Descriptions Indications
Whole • Up to 510 ml total volume • Red cell replacement in acute blood loss
blood • Hb ± 12 g/ml, Ht 35%–45% with hypovolaemia
• No functional platelets • Exchange transfusion
• No labile coagulation factors (V & VIII) • Patients needing red cell transfusions
where PRC is not available
PRC • 150–200 ml red cells from which most of the • Replacement of red cells in anaemic
plasma has been removed patients
• Hb ± 20 g/dL (not less than 45 g per unit) • Use with crystalloid or colloid solution
• Ht: 55%–75% in acute blood loss
FFP • Plasma separated from whole blood within 6 • Replacement of multiple coagulation
hours of collection and then rapidly frozen to factor
–25°C or colder • deficiencies,
• Contains normal plasma levels of stable • DIC
clotting factors, albumin & immunoglobulin • TTP
Platelet Single donor unit in a volume of 50–60 ml of • Treatment of bleeding due to:
conc. plasma should contain: — Thrombocytopenia
At least 55 x 103 platelets, <1.2 x 103 red cells, — Platelet function defects
<0.12 x 103 leucocytes • Prevention of bleeding due to
thrombocytopenia.
Cryopresi • Prepared by resuspending FFP presipitate. Treatment of vWD, Haemophilia A, FXIII
pitate • Contains about half of the Factor VIII and def, source of fibrinogen acquired
fibrinogen in the donated whole blood. coagulopathies (DIC)
19. Komponen
Darah
Indikasi whole blood:
• Perdarahan akut dengan hipovolemia
• Transfusi Tukar (Exchange transfusion)
• Pengganti darah merah endap (packed red
cell) saat memerlukan transfusi sel darah
merah

Indikasi PRC:
• Pengganti sel darah merah pada anemia
• Anemia karena perdarahan akut (setelah
resusitasi cairan kristaloid atau koloid)
Indikasi washed erythrocyte:
• Transfusi masif pada neonatus sampai usia < 1 tahun
• Penderita dengan anti-IgA atau defisiensi IgA dengan
riwayat alergi transfusi berat
• Riwayat reaksi transfusi berat yang tidak membaik
dengan pemberian premedikasi
• Penderita dengan reaksi terhadap protein plasma
darah transfusi (pada pasien dengan Coombs test
positif)

Indikasi FFP:
• Defisiensi faktor koagulasi (penyakit hati, overdosis
antikoagulan-warfarin, kehilangan faktor koagulasi
pada penerima transfusi dalam jumlah besar)
• DIC
• TTP
Indikasi trombosit konsentrat:
• Perdarahan akibat trombositopenia atau gangguan
fungsi trombosit
• Pencegahan perdarahan karena trombositopenia
(gangguan sumsum tulang) kurang dari 10.000 /micro
liter

Indikasi Cryoprecipitate:
• Alternatif terapi F VIII konsentrat pada defisiensi :
– Faktor von Willebrand (von Willebrand’s disease)
– Faktor VIII (hemofilia A)
– Faktor XIII
• Sumber fibrinogen pada gangguan koagulopati dapatan
misalnya DIC
20. Nefritis Lupus
• Lupus nephritis affects up to 50% of SLE patients. The
principal mechanism of injury is immune complex
deposition in the glomeruli, tubular or peritubularcapillary
basement membranes, or larger blood vessels.
21. Hematemesis Melena
• Hematemesis adalah muntah darah berwarna
kehitaman yang berasal dari perdarahan saluran cerna
bagian atas.
• Melena adalah buang air besar berwarna kehitaman ter
akibat perdarahan saluran cerna bagian atas.
• Penyebab:
– Varises (di Indonesia: 70-75%)
– Non-varises:
• ulkus peptikum (OAINS, infeksi H.pylori, stres)
• gastropati hipertensi portal
• Sindrom Mallory-Weiss, esofagitis, tumor, dan angiodisplasia
Sumber: Simadibrata M, Rani AA. 11th Asian Pasific Congress of Gastroenterology and The 8th Asian Pasific Congress of
Digestive Endoscopy. Hongkong, March 10-14, 2000: B64 (A212).
Sumber: Laine L. Gastrointestinal bleeding. In: Kasper DL, Braumwald E, Fauci AS, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th Edition. USA: McGraw Hill; 2008.p.257-60.
Penanganan pasien
STATUS HEMODINAMIK
Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna

• Tatalaksana perdarahan • Tatalaksana perdarahan


variseal non-variseal (ulkus peptik)
– NGT  lavase lambung • NGT  lavase lambung
– Tamponade balon dalam • Endoskopi
24 jam • Perdarahan aktif  terapi
– Obat vasoaktif endoskopik dan PPI IV
• Vasopresin 0,5-1mg/menit • Bekuan adheren 
selama 20-60 menit pertimbangkan terapi
endoskopi dan PPI IV
• Somatostatin 250 mcg bolus
diikuti drip 250 mcg/jam • Dasar bersih  tanpa terapi
endoskopik dan PPI oral
• Ocreotide drip 50 mcg/jam
• PPI IV  bolus 80 mg
– Endoskopi dilanjutkan drip 8 mg/jam
– Profilaksis antibiotik selama 72 jam.
22. Thromboemboli

• Thromboemboli are large clots that dislodge from the surface of


athesclerotic lesions and occlude distal arteries causing
immediate ischemia
22. LDL dan Atherosklerosis
22. Risiko Kejadian Kardiovaskular
23. HIV

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.


23. HIV
1. Acute HIV syndrome:
– Experienced in 50–70%
of individuals with HIV
infection
– acute clinical
syndrome occurs 3–6
weeks after primary
infection.
– The typical clinical
findings occur along
with a burst of plasma
viremia.

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.


23. HIV
2. The Asymptomatic Stage—Clinical Latency
– The length of time from initial infection to the development of
clinical disease. Median time for untreated patients is 10 years.
– Active virus replication is ongoing and progressive during this
asymptomatic period.
– The rate of disease progression is directly correlated with HIV
RNA levels.
• Patients with high levels of HIV RNA in plasma progress to
symptomatic disease faster than do patients with low levels of HIV
RNA.
• During the asymptomatic period of HIV infection, the average rate of
CD4+ T cell decline is 50/L per year.
• When the CD4+ T cell count falls to <200/L, the resulting state of
immunodeficiency is severe enough to place the patient at high risk
for opportunistic infection and neoplasms and, hence, for clinically
apparent disease.

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.


23. HIV
3. Symptomatic Disease
• Symptoms of HIV disease can
appear at any time during the
course of HIV infection.

• The more severe and life-


threatening complications of HIV
infection occur in patients with
CD4+ T cell counts <200/L.

• AIDS:
– HIV infection & a CD4+ T cell count
<200/L or
– HIV infection who develops one of
the HIV-associated diseases
considered to be indicative of a
severe defect in cell-mediated
immunity (category C)

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.


24. Tuberkulosis
• Tuberkulosis primer
– M. tb  saluran napas  sarang/afek primer di bagian paru mana
pun  saluran getah bening  kgb hilus (limfadenitis regional).
– Dapat sembuh tanpa bekas atau terdapat garis fibrotik, sarang
perkapuran di hilus.
– Morfologi: radang puth keabuan, perkejuan sental.

• Tuberkulosis postprimer/reaktivasi
– Muncul bertahun-tahun setelah tb primer, di segmen apikal lobus
superior atau lobus inferior.
– Dapat sembuh tanpa bekas atau sembuh dengan jaringan fibrosis,
pengapuran, atau kavitas yang menciut & terlihat seperti bintang.
– Morfologi: fokus putih keabuan-kuning berbatas tegas, perkejuan
sentral, & fbrosis perifer.

• Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpuan Dokter Paru Indonesia. 2006
• Robbins & Cotran pathologic basis of disease. 8th ed.
24. Tuberkulosis

Gejala respiratori: batuk ≥2 minggu, batuk darah,


Gejala Klinis sesak napas, nyeri dada. Gejala sistemik: demam,
malaise, keringat malam, turun berat badan

Kelainan paru di lobus superior (apeks & segmen posterior),


PF apeks lobus inferior: suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda penarikan paru,
diafragma, dan mediastinum

Lesi aktif: Bayangan berawan/nodular di apeks & posterior


Roentgen lobus superior, segmen superior lobus inferior, Kavitas,
Bayangan bercak milier, efusi pleura. Lesi inaktif: fibrotik,
kalsifikasi, schwarte/penebalan pleura.

Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI: 2006.


Alur Diagnosis TB Dan TB Resistan Obat Di Indonesia

Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
24. Tuberculosis
dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)

Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM)

Tidak memiliki akses untuk TCM TB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA Pemeriksaan TCM TB

MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Foto Toraks
TB RR
TB Terkonfirmasi pemeriksaan (Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yang sama
Foto Terapi
dengan alur
Toraks Antibiotika
pada hasil
Non OAT
Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan pemeriksaan
Pengobatan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
TB Lini 1 negatif (- -) )
OAT Lini 1 dan Lini 2
Gambaran Tidak Mendukung TB;
Mendukung
TB
Bukan TB; Cari
kemungkinan penyebab
penyakit lain
Ada
Perbaikan
Tidak Ada
Perbaikan TB RR; TB Pre TB XDR
Algoritma TB
Klinis Klinis, ada
TB MDR

Nasional 2016
XDR
faktor risiko
TB TB, dan atas
Terkonfirmasi Bukan TB; Cari pertimbangan
Klinis Lanjutkan Pengobatan
kemungkinan dokter Pengobatan TB RO
TB RO
penyebab dengan Paduan Baru
penyakit lain
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB
TB
Terkonfirmasi yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis
Klinis
maupun klinis adalah pemeriksaan HIV dan
gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai
Pengobatan indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)
TB Lini 1
24. Tuberkulosis
OAT kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3 
– Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
– Pasien TB paru terdiagnosis klinis
– Pasien TB ekstra paru

Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) 


– Pasien kambuh
– Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
– Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

• Pemberian sisipan tidak diperlukan lagi pada pedoman TB terbaru.

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


24. Tuberkulosis

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


24. Tuberkulosis

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


25. Poliuria
• Definisi
 Ekskresi urin ≥ 3 liter/hari

• Patofisiologi
 Central diabetes insipidus  rendahnya sekresi ADH
(vasopresin) oleh pituitari posterior
 Nephrogenic diabetes inspidus  Sekresi ADH normal tp
tubulus tidak respon thd ADH
 Transient diabetes insipidus  pd kehamilan terjadi
peningkatan metabolisme ADH
 Primary polidipsia (psychogenic)  intake cairan terlalu
banyak sehingga BAK akan sering (respon fisiologis)
Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus
• Poliuria
Frekuensi berkemih 
Enuresis,
Nokturia  mengganggu tidur  lelah pada siang hari
atau somnolen
• Peningkatan osmolaritas plasma
Haus  polidipsia
• Tanda klinis dehidrasi
Tanda yang jelas jarang ditemukan kecuali pada pasien
dengan asupan air yang terganggu.

 Harrison’s principles of internal medicine


Pemeriksaan fisik
• Hydronephrosis, with pelvic fullness,
• Flank pain or tenderness, or pain radiating to
the testicle or genital area, may be present.
• Bladder enlargement occurs in some patients.
Poliuria
Polyuria
• During the dehydration or water deprivation test:
– primary polydipsia: able to concentrate
urine, blood not become hyperosmolar
– diabetes insipidus: blood becomes
hyperosmolar without concentrating the
urine.

• After the patient is given desmopressin:


– Hypothalamic DI has minimal concentration
of the urine & an additional  in urine
osmolality of at least 50%.
– partial hypothalamic DI concentrate their
urine minimally with dehydration, but the
maximum urinary concentration is not
achieved, and there is an additional boost
with administered desmopressin
– Nephrogenic DI do not concentrate their
urine & no further increase in urine
osmolality after the administration of  Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
 Greenspan’s clinical endocrinology.
desmopressin.
Poliuria
26. Stable angina pectoris
• Terjadi saat aktivitas
• Hilang dengan istirahat atau dengan
pemberian nitrat sublingual
• Lama sekitar 5-10 menit
• Nyeri dada yang menjalar ke lengan, bahu,
punggung dan rahang
Pemeriksaan Penunjang Angina
Pektoris Stabil
• Exercise stress test (jika memungkinkan dan EKG
dapat diinterpretasi).
• Pemeriksaan imaging (jika exercise test tidak
memungkinan)
– Echocardiography stress test
– Stress test perfusion scanning
– MSCT (Multislice CT scan)
• Angiografi dan revaskularisasi koroner
• Jika angina mengganggu aktivitas pasien walaupun dengan
terapi yang maksimal.
• Pasien dengan risiko tinggi (CCS3-4)
Algoritma Tatalaksana Angina Stabil
Analisis Soal
• Pada pasien ini didapatkan nyeri dada seperti tertindik
setelah aktivitas berat dan menghilang dengan
istirahat.
• Pada pemeriksaan fisik, EKG dan rontgen dalam batas
normal sehingga pasien ini kemungkinan mengalami
angina pektoris stabil.
• Penatalaksanaan yang tepat adalah pemberian ISDN 5
mg jika nyeri kemudian rujuk untuk dilakukan treadmill
test
• Tidak dipilih pilihan B dan D karena tidak spesifik
tindakan yang akan dilakukan di dokter spesialis
jantung
27. GERD
• Definition:
– a pathologic condition of symptoms & injury to the
esophagus caused by percolation of gastric or
gastroduodenal contents into the esophagus associated
with ineffective clearance & defective gastroesophageal
barrier.

• Symptoms:
– Heartburn; midline retrosternal burning sensation that
radiates to the throat, occasionally to the intrascapular
region.
– Others: regurgitation, dysphagia, regurgitation of excessive
saliva.

GI-Liver secrets
27. GERD

• Terdapat kelemahan pada sfingter esofagus


bawah  refluks
27. GERD

• Management:
– Aggressive lifestyle modification & pharmacologic therapy.
– Surgery is encouraged for the fit patient who requires chronic
high doses of pharmacologic therapy to control GERD or who
dislikes taking medicines.
– Endoscopic treatments for GERD are very promising, but
controlled long-term comparative trials with proton pump
inhibitors and/or surgery are lacking.
28. Penyakit Endokrin
Hipertiroidisme

Kumar and Clark Clinical Medicine


20.
Radioactive Iodine
28. Penyakit Endokrin
29. Diabetes Mellitus
• Kriteria diagnosis DM:
1. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

2. Glukosa darah-2 jam ≥200 mg/dL pada Tes Toleransi


Glukosa Oral dengan beban glukosa 75 gram, atau

3. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dengan


keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia, unexplained
weight loss), atau

4. Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan metode HPLC yang


terstandarisasi NGSP

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


29. Diabetes Mellitus
• Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria
normal atau DM digolongkan ke dalam
prediabetes (TGT & GDPT):
– Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
• GDP 100-125 mg/dL, dan
• TTGO-2 jam <140 mg/dL
– Toleransi glukosa terganggu (TGT):
• Glukosa darah TTGO-2 jam 140-199 mg/dL, dan
• Glukosa puasa <100 mg/dL
– Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
– Diagnosis prediabetes berdasarkan HbA1C: 5,7-6,4%

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


29. Diabetes Mellitus
• Cara pelaksanaan TTGO:
– Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan &
beraktivitas seperti biasa,
– Puasa minimal 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, boleh minum air tanpa gula,
– Dilakukan pemeriksaan glukosa puasa,
– Diberikan glukosa 75 gram dalam air 250 ml, diminum
dalam 5 menit,
– Puasa kembali selama 2 jam,
– Dilakukan pemeriksaan glukosa darah 2 jam sesudah
beban glukosa,
– Selama proses pemeriksaan, subjek tetap istirahat & tidak
merokok.

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


29. Diabetes Mellitus
• Kriteria Pengendalian DM
– IMT 18,5 - <23 kg/m2
– TD <140/90 mmHg
– GDP 80-130 mg/dL
– GD2PP <180 mg/dL
– HbA1C <7 (atau individual)
– LDL <100 mg/dL (<70 jika risiko KV tinggi)
– HDL laki-laki >40 mg/dL, perempuan >50 mg/dL
– Trigliserida <150 mg/dL
29. Diabetes Mellitus
29. Diabetes Melitus
• Modifikasi Gaya hidup • Mulai
HbA1c
monoterapi oral
<7.5%

HbA1c • Modifikasi Gaya hidup • Kombinasi 2 obat


• Monoterapi oral obat Evaluasi 3 dengan mekanisme
7.5-9% golongan (a)/(b) bulan, kerja yang berbeda
bila HbA1c
• Diberikan Kombinasi >7%
2 obat lini pertama HbA1c> • Kombinasi 3 obat

HbA1c ≥9%
dan obat lain 7%
dengan mekanisme
kerja yang berbeda

Insulin basal Tidak


plus/bolus mencapai
HbA1c ≥10% atau premix target
atau • Metformin + insulin
GDS>300 dgn basal ± prandial atau
Gejala • Metformin + insulin
metabolik basal + GLP-1 RA
Kombinasi 3 obat
a. Obat efek samping minimal/ a. Metformin + SU + TZD atau
keuntungan lebih banyak a. DPP-4i
• Metformin b. SGLT-2i
• Alfa glukosidase inhibitor c. GLP-1 RA
• Dipeptidil peptidase 4- d. Insulin basal
inhibitor b. Metformin + TZD + SU atau
• Agonis glucagone like a. DPP-4i
peptide-1 b. SGLT-2i
c. GLP-1 RA
d. Insulin basal
c. Metformin + DPP 4i + SU atau
b. Obat yang harus digunakan a. TZD
dengan hati-hati b. SGLT-2i
• Sulfonil urea c. Insulin basal
• Glinid d. Metformin + SGLT 2i +SU
• Tiazolidinedion a. TZD
• SGLT 2-i b. DPP-4i
c. Insulin basal
e. Metformin + GLP 1-RA + SU
a. TZD
b. Insulin basal
f. Metformin + insulin basal +TZD atau
a. DPP-4i
b. SGLT-2i
c. GLP-1 RA
30. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
30. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
• Rute infeksi saluran kemih:
–Ascending
• kolonisasi uretra, lalu infeksi menyebar ke atas
–Hematogen
• bakteri ke ginjal berasal dari bakteremia
–Limfogen
•dari abses retroperitoneal atau infeksi intestin
30. Infeksi Saluran Kemih
• Pielonefritis
– Inflamasi pada ginjal & pelvis renalis
– Demam, menggigil, mual, muntah, nyeri pinggang, diare,
– Lab: silinder leukosit, hematuria, pyuria, bakteriuria, leukosit
esterase +.
• Sistitis:
– Inflamasi pada kandung kemih
– Disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik, urin berbau,
– Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+) nitrit +/-.
• Urethritis:
– Inflammation pada uretra
– Disuria, frekuensi, pyuria, duh tubuh.
– Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+), nitrit (-).
30. Infeksi Saluran Kemih
• Escherichia coli is by far the most frequent cause
of uncomplicated community-acquired UTIs.

• Other bacteria frequently isolated from patients


with UTIs are:
– Klebsiella spp.,
– other Enterobacteriaceae,
– Staphylococcus saprophyticus, and
– enterococci.
ILMU
BEDAH
31. Midgut Volvulus
• Obstruksi yang
disebabkan usus
terpuntir lebih dari 180o
terhadap aksis
mesenterium.
• 1-5% penyebab
obstruksi usus besar
– Sigmoid ~ 65%
– Cecum ~ 25%
– Colon transversus ~ 4%
– Fleksura splenikus
Etiology
Gastric volvulus Midgut volvulus Sigmoid volvulus Cecal volvulus
Malrotation (short Chronic Congenital defect
Congenital mesenteric constipation. in the peritoneal
weakness of attachment). fixation of the right
suspensory Colonic distention. colon.
ligaments. Congenital short
mesentery. Congenital long
Diaphragmatic mesentery.
hernia.
Diaphragmatic Congenital
eventration malrotation.

Chronic
constipation.

Colonic distension.
Clinical Presentation
Gastric volvulus Midgut volvulus Sigmoid volvulus Cecal volvulus
Acute volvulus: • Neonatal • Acute intestinal • Acute intestinal
Borchardt triad: intestinal obstruction. obstruction.
1. Sever obstruction.
epigastric pain. • Bilious vomiting.
2. Violent • Abdominal
retching distension.
without
vomiting.
3. Difficulty in
advancing in
nasogastric
tube.

Chronic volvulus:
Vague non specific
symptoms.
Tanda dan Gejala
Klinis • Foto polos Abdomen AP
• Anak-anak – Dilatasi abdomen
– Muntah mengandung – Gambaran gas di kolon
empedu (93%) distal berkurang
– Malabsorbsi – Coffee bean sign
– Failure to thrive • Barium Contrast
– Obstruksi bilier – Cork-screw appearance
– GERD – Usus halus di sisi kanan
• Dewasa abdomen tidak melewati
midline.
– Nyeri andomen intermiten
(87%) • USG
– Nausea (31%) – Whirlpool sign
Sigmoid Volvulus
• Secara global, penyebab
50% obstruksi.
– India, afrika, eropa timur
• Lebih sering pada pasien
usia lanjut di negara barat.
• Redundant colon,
mesocolon narrowed,
twisting at mesentery.
• Faktor risiko
– Konstipasi kronik
– Masalah psikiatri
– Populasi non-western
• High residue diet
Pemeriksaan Fisik
• Distensi abdomen • Obstruksi progresif
biasanya masif. – Bising usus meningkat
• Karakteristik: tympanitic – Metallic sound
over the gas-filled, thin- – DRE ampula kolaps,
walled colon loop. tidak ada feses
• Nyeri tekan dan nyeri
lepas meningkatkan
kecurigaan adanya
peritonitis.
• Tanda dan gejal sistemik
dapat muncul
DIAGNOSTIC INVESTIGATIONS
This includes:
• An Upper GI series (the use of barium meal
swallow to perform a GIT radiography)
• A Digital rectal examination with rectal tube
• And the taking of a straight x-ray film of the
abdomen
Plain Radiography

Volvulus

Gastric volvulus Midgut volvulus Colonic volvulus

Intrathoracic
Double
stomach with Sigmoid Cecal
bubble sign
air fluid level

Coffee bean Marked cecal


sign distension
Barium Meal

Volvulus

Gastric volvulus Midgut volvulus Colonic volvulus

Cork scerw
Organo-axial Mesentero-axial Sigmoid Cecal
duodenum

Greater Gastric antrum


curvature above above gastric Beak sign Beak sign
lesser curvature fundus
32. The Breast Lump
33. Osteosarkoma
• Presenting symptom
– PainThe most
common presenting
symptom
• particularly pain with
activity
• sprain, arthritis, or
growing pains
– Often, there is a history
of trauma
• the precise role of trauma
in the development of
osteosarcoma is unclear
Physical examination findings
• Usually limited to the site of the primary tumor
• Mass:
– A palpable mass may or may not be present
– tender and warm indistinguishable from osteomyelitis
– Increased skin vascularity over the mass may be
discernible
– Pulsations or a bruit
• Decreased range of motion
– involvement of a joint
• Lymphadenopathy
– involvement of local or regional lymph nodes is unusual
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan radiologis pada daerah yang
dicurigai terinfeksi, tidak menunjukkan area
radiolusen yang biasa ditemukan pd
osteomielitis.
• Conventional features
– Destruction of normal trabecular bone pattern
– a mixture of radiodense and radiolucent areas
– periosteal new bone formation
– formation of Codman's triangle (triangular elevation
of periosteum)
Periosteal reactions
• Radiographs of the primary
tumor usually show a large,
destructive, mixed lytic and
blastic mass. The tumor
frequently breaks through the
cortex and lifts the periosteum,
onion-skin "sunburst" and "hair-on- resulting in reactive periosteal
end" periosteal reaction bone formation. The triangular
shadow between the cortex
and raised ends of periosteum
is known radiographically as
Codman triangle and is
characteristic, but not
Codman's triangle
diagnostic of this tumor.
No osteoblastic appearance, Notice the osteoblastic-
fracture can be seen osteolytic appearance
Codman triangles (white Osteosarcoma of the distal femur,
arrow); and the large soft demonstating dense tumor bone formation
tissue mass (black arrow) and a sunburst pattern of periosteal reaction.
34. Hydrocele
35. Paronikia
• Reaksi inflamasi mengenai lipatan kulit disekitar
kuku
• Paronikia dapat akut atau kronik
– Paronikia akut oleh staphylococcus aureus, ditandai
timbulnya nyeri atau eritema diposterior atau lateral
lipatan kuku,diikuti oleh pembentukan abses superfisial
– Paronikia kronik oleh candida albicans, sering oleh
pemisahan abnormal lipatan kuku proximal dari
lempeng kuku yg memungkinkan kolonisasi
• Paronikia bakteri akut sering bersamaan dengan
bakteri jamur kronik
ANATOMI KUKU

a. nail plate e. nail fold lateral


b. lunula f. nail bed
c. eponikiam g. Nail plate
d. Nail fold posterior
GEJALA KLINIS
• Paronikia akut & kronik memberi gambaran di
lipatan kuku berupa nyeri, merah, dan bengkak,
namun pada paronikia kronik gejala diatas tidak
terlalu jelas.
Paronikia akut
• Dapat disertai demam dan nyeri kelenjar di
bawah tangan, biasanya ada nanah berwarna
kuning di bawah kutikula
Paronikia kronik
• Lempeng kuku kelihatan lebih gelap, cembung,
kadang – kadang lebih tipis
• kutikula biasanya terlepas dari lempeng kuku.
• Tidak ada pus atau nanah dan pada perabaan
kurang hangat dibanding paronikia akut.
• Perlangsungannya 6 minggu atau lebih.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG PENCEGAHAN
• Pewarnaan Gram  • Cegah trauma dengan
untuk mengetahui adanya
staphylococcus atau menjaga agar kulit yang
streptococcus kena tetap kering
• Apusan potassium • Jika akan mencuci
hidroksida  untuk
menemukan hifa yg sebaiknya memakai
menunjukkan adanya sarung tangan karet
jamur
• Tapi tidak menutup
kemungkinan ditemukan
jamur dan bakteri pada
satu kasus paronikia
TERAPI
• Terapi sistemik pilihan • Terapi topikal
• miconazole krim 2 kali sehari selama 2-6
paronikia akut minggu.
– clindamycin 150-450 mg, 3-4 kali • Losion atau krim Amfoterisin B ( fungizone
sehari )  tidak dapat digunakan bersamaan
– amoxicillin-asam klavulanat dengan imidazole, terdapat efek
250-500 mg 3 kali sehari menetralkan antara satu sama lain.
efektif untuk bakteri yang • Pembedahan dilakukan atas dasar
resisten terhadap beta laktamase indikasi, jika infeksi akut sudah
– Dicloxacillin maupun cephalexin teratasi
juga efektif • Irisan (Insisi) dapat dilakukan jika ada
• Paronikia kronik biasanya abses.
diberikan antimikotik • Jika upaya di atas tidak berhasil dan
seperti ketokonazole 200 kuku menancap ke dalam kulit maka
dapat dilakukan pengangkatan kuku.
mg per hari
(Roserplasty)
• Insisi paronikia dengan mata pisau langsung
pada kuku
36. Septic Arthritis

• Infeksi synovium
dan cairan synovial
• Ditemukan pada semua umur
• Sendi panggul (anak-anak)
• Sendi lutut (dewasa) Sering }

https://medicine.med.unc.edu
Etiologi
• S. aureus → pada semua umur
• H. influenzae → 6 bulan – 5 thn
• N. gonorrhoeae → >10 tahun, dewasa (populasi barat)
• Gram negative bacilli → imunodefisiensi, prosedur invasif
pada sistem gastrointestinal dan saluran kemih, geriatri,
pasien dengan gagal ginjal, kelainan sendi kronik, dan
diabetes.
• S. epidermidis → Prosthetic joint
• S. aureus/Pseudomonas → i.v. drug use
• S. pneumoniae → Alcoholism, pneumonia, meningitis
• L. monocytogenes → Immune deficiency
• Atypical mycobacteria → Chronic infection
https://medicine.med.unc.edu
Patogenesis
• Penyebaran hematogen
• Penyebaran melalui jaringan sekitar
• Inokulasi langsung (aspirasi/arthrotomy)
*Penyakit rematik dapat menjadi penyakit
yang mendasari septik arttritis
-Struktur sendi abnormal
-Penggunaan steroid (abnormal phagocytosis…)
*DM, immune def, hematological diseases, trauma,
systemic infections…
https://medicine.med.unc.edu
Gejala Klinis
• Riwayat trauma atau infeksi sebelumnya
• Sering mengenai sendi panggul dan lutut
• Sendi sakroiliaka dapat terinfeksi pada
brucellosis
• Interphalangeal joints: human and
animal bites
• Demam, malaise, anoreksia, nausea
• Inflamasi lokal

https://medicine.med.unc.edu
Pemeriksaan Penunjang
• Synovial fluid sampling:
• >50.000 leukocytes/ml, (crystal arthropathies and RA)
• Leukocytes <50.000/ml (Malignancy, steroid use)
• Gram staining and culture: Gram-positive bacteria
60%, Gram-negative bacteria 40%
• Blood culture / urethral discharge culture
• Yield rate of microorganism 70%
• Antigen detection (S. pyogenes, S. pneumoniae, H.
influenzae)
• PCR (B. burgdorferi, N. gonorrhoeae)
• Leukocytosis, ESR, and CRP increase
Graft’s Textbook of Routine Urinalysis and Body Fluids
Pemeriksaan Radiologis
• PLAIN X-RAY
-Expansion in joint space
-Edema around the joint
-Late structural findings
• Ultrasound
-Collection of fluid in the joint and aspiration
• CT
- Detection of associated osteomyelitis, joint fluid
• MRI
- Pyogenic sacroiliitis and spread of joint infection to
surrounding structures
37. Klasifikasi Luka
38. Hernia
Tipe Hernia Definisi
Reponible Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga
peritoneum secara manual atau spontan
Irreponible Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum

Inkarserata Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong
hernia
Strangulata Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong
hernia  tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah,
demam
Hernia Inkarserata dengan Ileus
39. Snake Bite
• Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen
sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan
sebagai akibat dari satu jenis toksin saja.
• Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu
fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase,
kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase,
DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan
lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan
hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul
reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar
sel sehingga memudahkan penyebaran racun.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan
atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik
sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
• Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam
30 menit – 24 jam)
• Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil,
mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
• Gejala khusus gigitan ular berbisa :
– Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,
peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit
(petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular
diseminata (KID)
– Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan,
ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan
koma
– Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
– Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P
(pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)
Bisa Ular

Neurotoksin
• jenis racun yang menyerang sistem saraf.
• Bekerja cepat dan cepat diserap
• Racun jenis ini melumpuhkan otot-otot hingga otot pernafasan, yang
dapat menyebabkan kematian gagal napas
• Mulai bergejala dalam hitungan menit setelah tergigitmengalami
kelemahan yang progresif.
• Kematian terjadi setelah 5-15 jam
• Contoh jenis ular yang memiliki racun neurotoksin adalah jenis elapidae
seperti ular Kobra
• Gejala yang segera muncul:
– Sensasi seperti ditusuk jarum pada tempat gigitan, akan menyebar keseluruh
tubuh dalam 2-5 menit setelah gigitan
– Udem minimal disekitar tempat gigitantidak meluas
– Gigitannya sendiri tidak nyeri

http://www.chm.bris.ac.uk/webprojects2003/stoneley/types.htm
Gejala Lain Neurotoksin:
• Fang marks • Tremor otot(fasiciculation)
• Nyeri abdomen dan otot Menyerang motor neuron
Abdominal • Midriasis
• Halusinasi and confusion
• Drowsiness.
• Hipotensi
• Ptosis
• Takikardia atau bradikardi
• Paralisis otot leherkepala
• Paralisis flaksid
terkulai
• Chest tightness.
• Hilangnya koordinasi otot
• Respiratory distress.
• Kesulitan berbicara 20
• Respiratory muscle paralyses.
minutes setelah gigitan
• Gelisah/REstlessness.
• Mual dan muntah
• Kehilangan kontrol terhadap
• Disfagia Konstriksi esofagus fungsi tubuhinkontinensia
• Peningkatan salivasikarena • Koma
tidak dapat menelan • Mati
• Peningkatan produksi keringat
http://www.snakes-uncovered.com/Neurotoxic_Venom.html
Hemotoksin
• jenis racun yang menyerang sistem sirkulasi
darah dalam tubuh, terdapat pula enzim
pemecah protein (proteolytic).
• Akibatnya sel-sel darah akan rusak dan terjadi
penggumpalan darah, pembengkakan di
daerah sekitar luka gigitan,
• beberapa menit saja korban akan merasakan
sakit yang dan terasa panas yang luar biasa.
Derajat Parrish (Gigitan Ular)
• Derajat 0 • Derajat 2
– Tidak ada gejala sistemik – Sama dengan derajat 1
setelah 12 jam – Ptechiae, echimosis
– Pembengkakan minimal – Nyeri hebat dalam 12 jam
diameter 1 cm pertama
• Derajat 1 • Derajat 3
– Bekas gigitan 2 taring – Sama dengan derajat 2
– Bengkak dengan diameter – Syok dan distress
1-5 cm pernafasan/ptechiae,
– Tidak ada tanda-tanda echimosis seluruh tubuh
sistemik sampai 12 jam • Derajat 4
– Sangat cepat memburuk
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai
berikut:

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/ Eritem Tanda sistemik

0 0 + +/- <3cm/12> 0
I +/- + + 3-12 cm/12 jam 0

II + + +++ >12-25 cm/12 jam +


Neurotoksik,
Mual, pusing, syok

III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++


Syok, petekia, ekimosis

IV +++ + +++ >1 ekstrimitas ++


Gangguan faal ginjal,
Koma, perdaraha
40. Priapism
Kelainan Tanda & Gejala
Fimosis Ketidakmampuan untuk meretraksi kulit distal yang
melapisi glans penis
Parafimosis Kulit yang ter-retraksi tersangkut/ terjebak di belakang
sulcus coronarius
Peyronie’s disease Inflamasi kronik tunica albuginea, suatu kelainan jaringan
ikat yang berkaitan dengan pertumbuhan plak fibrosa,
menyebabkan nyeri, kurvatura abnormal, disfungsi ereksi,
indentasi, loss of girth and shortening
Detumescence erection Detumescence adalah kebalikan dari ereksi, dimana darah
meninggalkan erectile tissue, kembali pada keadaan
flaccid.
41. Fraktur Costae
• Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang
diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada.
• Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh
karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya
trauma dapat melalui sela iga.
• Etiologi:
– Trauma tumpul  penyebab tersering, biasanya akibat kecelakaan
lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau
jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.
– Trauma tembus  luka tusuk dan luka tembak.
Klasifikasi
• Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan
– Fraktur simple
– Fraktur multiple
• Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat
• Fraktur segmental
• Fraktur simple
• Fraktur comminutif
• Menurut letak fraktur dibedakan :
• Superior (costa 1-3 )
• Median (costa 4-9)
• Inferior (costa 10-12 )
• Menurut posisi :
– Anterior
– Lateral
– Posterior
• Ada beberapa kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus Flail chest,
dimana pada keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costa atau lebih yang
letaknya berurutan
Patofisiologi
• Costae  tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Pada anak costae
masih sangat lentur sehingga sangat jarang dijumpai fraktur iga pada anak.
• Costae merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang
berfungsi memberikan perlindungan terhadap organ di dalamnya dan
yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru.
• Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah
depan, samping, ataupun dari belakang.
• Costae, tulang yang sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki
pelindung  akibatnya trauma dada  trauma costae.
• Iga 1 – 3  paling jarang fraktur, karena dilindungi oleh struktur tulang
dari bahu, tulang skapula, humerus, klavikula, dan seluruh otot-otot. Jika
fraktur kemungkinan cedera pembuluh darah besar.
• Iga 4 – 9  paling sering fraktur, kemungkinan cedera jantung dan paru
• Iga 10 – 12  agak jarang fraktur, karena costae 10-12 ini mobil, Jika
fraktur kemungkinan cedera organ intraabdomen.
Trauma kompresi anteroposterior dari
rongga thorax

Lengkung iga akan lebih melengkung lagi


ke arah lateral

Fraktur iga Krepitasi

Terjadi pendorongan ujung-ujung


fraktur masuk ke rongga pleura

Kerusakan struktur &


jaringan

Stimulasi saraf Pneumothoraks Hemotoraks

Nyeri dada

Gerakan dinding dada Gangguan ventilasi


terhambat/asimetris
Sesak nafas
X-Rays
• Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat
membantu diagnosis hematothoraks dan
pneumothoraks ataupun contusio pulmonum,
mengetahui jenis dan letak fraktur costae.
• Foto oblique membantu diagnosis fraktur multiple
pada orang dewasa. Pemeriksaan Rontgen toraks
harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks
lain, namun tidak perlu untuk identifikasi fraktur iga
Gejala dan Tanda
• Nyeri tekan, crepitus dan deformitas dinding dada
• Adanya gerakan paradoksal
• Tanda–tanda insuffisiensi pernafasan : Cyanosis, tachypnea,
• Kadang akan tampak ketakutan dan cemas, karena saat bernafas
bertambah nyeri.
• periksa paru dan jantung,dengan memperhatikan adanya tanda-tanda
pergeseran trakea, pemeriksaan ECG, saturasi oksigen
• periksa abdomen terutama pada fraktur costa bagian inferior :diafragma,
hati, limpa, ginjal dan usus
• periksa tulang rangka: vertebrae, sternum, clavicula, fungsi anggota gerak
• nilai status neurologis: plexus bracialis, intercostalis, subclavia.
Tatalaksana
1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain
• konservatif (analgetika)—rawat jalan
2. Fraktur >2 iga
• waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks)
3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit
pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ
intratoraks lain
• analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block),
• bronchial toilet,
• cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah,
• cek Foto Ro berkala
42. Appendisitis
Alvarado Score
43. Luka Bakar
To estimate scattered burns: patient's
palm surface = 1% total body surface Total Body
area
Surface Area

Parkland formula = baxter formula

http://www.traumaburn.org/referring/fluid.shtml
44. Spondylolisthesis
• Spondylolisthesis
• pergeseran vertebra kedepan terhadap segment yang
lebih rendah, yang biasa terjadi pada lumbal vertebra
ke 4 atau ke 5 akibat kelainan pada pars interartikularis.
• Spondylolisy
• interupsi yang terjadi dibagian pars interarticularis,
namun dapat terjadi juga dibagian lateral.
• Spondilitis
• Inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan
oleh beberapa hal, misalnya proses infeksi, imunitas.

Vookshoor A, Spondilolisthesis, spondilosis and spondilysis


• Nyeri radikuler, seperti
tersengat listrik yang menjalar
Gejala
Spondylolisthesis
dari punggung ke tungkai.
• Baal, kesemutan
• Kelemahan otot tungkai
bawah
• Inkontinensia urin/ alvi, dapat
merupakan gejala cauda
equina syndrome
• Lower back pain
• Muscle tightness (tight
hamstring muscle)
• Stiffness
• Tenderness in the area of the
slipped disc
Spondylolisthesis
Klasifikasi
 Dysplastic spondylolisthesis
 kelainan kongenitalSangat jarang terjadi.
 Isthmic spondylolisthesis
• Sub tipe A, paling sering ditemukan usai <50thn. Aktivitas repetitive saat melakukan
pekerjaan berat atau olahraga menyebabkan fatigue fracture pars interarticularis.
• Sub tipe B, karakteristikelongasi pars interarticularis, sub akut stress fracture,
• Sub tipe C, sangat jarang. Akibat fraktur akut pars vertebrae. Traumatic lumbar
hyperextenion injury.
 DEGENERATIVE SPONDYLOLISTHESIS
 sering terjadi usia>50thn.
 TRAUMATIC SPONDYLOLISTHESIS
 sangat jarang
 Terjadi akibat fraktur arkus neural, misal pada hangman’s fracture.
 PATHOLOGICAL SPONDYLOLISTHESIS
 akibat adanya penyakit sistemik yang mendasari Osteoperosis, Paget's disease , Metastatic
carcinoma
 IATROGENIC SPONDYLOLISTHESIS
 merupakan komplikasi dari lumbar anterior interbody fusion (LAIF).
Modalitas
• X-ray lumbal
• tidak dapat mendeteksi reaksi stress yg diterima pars
interarcularis yg tidak menunjukan prograsifitas fraktur
komplit.
• CT scan lumbal
• tidak sensitif untuk mendeteksi reaksi stress akut.
• MRI lumbal
• sensitif untuk mendeteksi reaksi stress akut
• untuk Old stress bisa lebih sulit dibandingkan CT scan.
• Bone scan
• sensitif untuk mendeteksi reaksi stress akut, tidak dapat
mendeteksi Old stress.
Tatalaksana
• Jika pergeseran yang terjadi minimal dan
gejala dapat diatasi
• observasi dengan pembatasan aktivitas gerak.
• Jika tulang bergeser secara signifikan dan
tampak progresifitas gejala
• tindakan operasi mungkin disarankan
• Gejala kompresi saraf direkomendasikan
menjalankan operasi.
Spondylolisthesis
• Diagnosis
– Plain radiographs
– CT, in some cases with
leg symptoms
• Nonoperative Care
– Istirahat
– NSAID
– Fisioterapi
– Injeksi Steroid
• Surgical care
– Dilakukan bila terapi non operatif
gagal
– Dekompresi dan fusi
• Instrumented
• Posterior approach
• With interbody fusion
Spondylolysis
• Spondylolysis
– Also known as pars defect
– Also known as pars fracture
– Dengan atau tanpa
spondylolisthesis
– Fraktur atau defek pada
vertebra, biasanya pada
bag.posterior, paling sering
pada pars interarticularis
Spondylolysis
• Symptoms
– Low back pain/stiffness
– Membungkuk ke depan, makin nyeri
– Makin memberat dengan aktivitas
– May include a stenotic component resulting in leg
symptoms
– Sering terlihat pada atlet
• SenamCaused by repeated strain
• Diagnosis
– Plain oblique radiographs
– CT, in some cases
• Nonoperative care
– Membatasi aktivitas
– Fisioterapi
• Sebagian besar fraktur akan sembuh tanpa intervensi medis
• Surgical care
– Dilakukan bila terapi non operatif gagal
– Posterior fusion
• Instrumented
• May require decompression
45. Tennis Elbow
• Lateral epicondylitis
• Klinis
– Nyeri pada origo otot-otot
lengan bawah, terutama
extensor carpi radialis
brevis.
– Lokasi nyeri biasanya 5mm
distal dan sedikit ke arah
anterior dari epicondilus
lateral humeri.
– Nyeri disertai dengan
keterbatasan ekstensi
pergelangan tangan dan
ekstensi jari jemari.
• Terjadi karena
penggunaan siku yang
berlebihan
• Gejala dan tanda:
– Nyeri atau terasa
terbakar pada sisi lateral
siku
– Weak grip strength
• Often worsened with
forearm activity
– holding a racquet
– turning a wrench
– shaking hands.

American Academy of Orthopaedic Surgeons


Golfer’s Elbow (Medial Epicondylitis)
• Lebih jarang terjadi
• Etiologi: Micro-tears
dari origo otot-otot
fleksor-pronator lengan
bawah.
• Akibat olahraga yang
sifatnya throwing/
racquets.
46. Pneumoperitoneum
• Udara bebas intraperitoneum atau ekstraluminer
• Causa :
- Robeknya dinding saluran cerna (trauma, iatrogenik, kelainan
di saluran cerna),
- Tidakan melalui permukaan peritoneal (transperitoneal
manipulasi, endoscopic biopsy, abdominal needle biopsy)
- Intraperitoneal ( gas forming peritonitis, ruptur abses )
Gambaran Radiologi : • Biasanya menggunakan
• Cupula sign 2 proyeksi foto :
• Foot ball sign - FPA supine
- X Torak erect atau left
• Double wall sign /Rigler lateral decubitus
sign
• Ligamentum falciforum
sign
• Umbilical sign
• Urachus sign
Falciform Ligament
Sign

Cupula sign

Cupula sign Football sign


Air on both sides of bowel wall –
Rigler’s Sign

Free Intraperitoneal Air


Umbilical sign
Urachus sign
47. Akalasia Esofagus
Gejala Klinis
48. Penyembuhan Abnormal pada Fraktur
Komplikasi Keterangan
Delayed Union Delayed union artinya penyatuan yang tertunda, yaitu patah
tulang yang tidak menyatu dalam waktu 3-6 bulan, tidak
terlihat ada pertumbuhan tulang yang baru, kalaupun ada
sangat sedikit, kalus (tulang muda) di sekitar daerah patahan
pun sangat kurang.
Non Union Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Mal Union Mal union adalah dimana tulang yang patah menyatu dalam
waktu yang tepat (3-6 bulan) namun terdapat deformitas
(misal: bengkok) ataupun kekuatan tulang yang tidak
sempurna.
Mal union
• Keadaan dimana fraktur menyembuh pada saatnya,
tetapi terdapat deformitas yg berbentuk angulasi, varus
/ valgus, rotasi, kependekan.
• Etiologi
– Fraktur tanpa pengobatan
– Pengobatan tidak adekuat
– Reduksi dan imobilisasi yg tidak baik
– Pengambilan keputusan serta teknik yg salah pada awal
terapi
– Osifikasi prematur pada lempeng epifisis karena trauma
-

Gambaran Klinis Pengobatan


• Deformitas dengan bentuk • Konservatif
bervariasi – Refrakturisasi dengan
• Gangguan fungsi anggota pembiusan umum
gerak – Apabila ada kependekan
• Nyeri dan keterbatasan anggota gerak dapat
pergerakan sendi dipergunakan sepatu
• Ditemukan komplikasi ortopedi
paralisis tardi nervus ulnaris • Operatif
• Daerah sendi  Osteoartritis – Osteotomi korektif dan bone
(OA)
graft disertai dengan fiksasi
• Bursitis atau nekrosis kulit interna
Delayed Union
• Fraktur yang tidak sembuh • Px Radiologis
setelah selang waktu 3 – 5 bulan – Tidak ada gambaran tulang baru
• Delayed Union  Proses – gambaran kista pada ujung2 tulang
penyembuhan masih berlangsung – Kalus yg kurang di sekitar fraktur
!!!
• Etiologi: Sama dengan etiologi • Pengobatan
pada non union – Konservatif  pemasangan gips
• Gambaran klinis: utk imobilisasi tambahan 2 – 3 bln
– Nyeri anggota gerak pada – Operatif  union diperkirakan
pergerakan dan waktu berjalan tidak terjadi  fiksasi interna +
bonegraft
– Pembengkakan
– Nyeri tekan
– Terdapat gerakan yg abnormal
pada daerah fraktur
– Deformitas
Non Union
• Apabila fraktur tidak menyembuh antara 6 – 8 bln dan tidak ada konsolidasi sehingga
terjadi pseudoartrosis (sendi palsu)
• Proses penyembuhan sudah berhenti !!!
• Beberapa jenis non union menurut keadaan ujung fragmen tulang : Hipertrofik & Atrofik
/Oligotrofik
• Penyebab Non union:
– Vaskularisasi yg kurang pada ujung fragmen
– Reduksi yg tidak adekuat
– Imobilisasi yg tidak adekuat
– Waktu imobilisasi yg tidak cukup
– Infeksi
– Distraksi
– Interposisi jaringan lunak
– Destruksi tulang  tumor atau infeksi
– Dissolusi hematoma fraktur oleh cairan sinovia
– Kerusakan periost yg hebat
– Fiksasi interna yg tidak sempurna
– Delayed union yg tidak diobati
– Pengobatan yg salah atau sama sekali tidak dilakukan pengobatan
• Gambaran pseudoarthrosis pada fraktur komplit diafisis tibia-fibula
• Fratur tampak overlap, angulasi anterior dan internal. Tampak
formasi kalus pada margin fraktur, namun tidak tampak “bridging”.
49. Ruptur Tendon Achilles
• Ruptur tendo Achilles adalah putusnya tendo
Achilles atau cedera yangmempengaruhi
bagian bawah belakang kaki.
• Klasifikasi:
– Tipe I: Pecah parsial, yaitu sobek yang kurang dari
50%, biasanya diobati dengan manajemen
konservatif
– Tipe II: sobekan yang penuh dengan kesenjangan
tendon kurang dari sama dengan 3 cm, biasanya
diobati dengan akhir-akhir anastomosis
– Tipe III: sobek yang penuh dengan jarak tendon 3
sampai 6 cm
– Tipe IV: perpisahan yang penuh dengan cacat
lebih 6 cm (pecah diabaikan)
http://emedicine.medscape.com/article/1922965-overview
Manifestasi Klinik Ruptur Tendo Achilles
1. Rasa sakit mendadak yang berat dirasakan pada bagian belakang
pergelangan kaki atau betis
2. Bengkak, kaku dan memar
3. Terlihat depresi di tendon 3-5 cm diatas tulang tumit
4. Tumit tidak bisa digerakan turun naik.
5. Pasien mungkin menggambarkan sensasi ditendang di bagian
belakang kaki.
6. Nyeri bisa berat.
7. Nyeri lokal, bengkak dengan gamblang sepanjang tendon Achilles
dekat lokasi penyisipan, dan kekuatan plantar flexion lemah
8. Rasa sakit mendadak dan berat dapat dirasakan di bagian
belakang pegelangan kakiatau betis
9. Terlihat bengkak dan kaku serta tampak memar dan kelemahan di
dekat tumit.
10.Sebuah kesenjangan atau depresi dapat dilihat di tendon sekitar 2 cm di
atas tulang tumit.
11.Tumit tidak dapat digerakan turun atau naik atau “push off” kaki terluka
ketika berjalan.
12.Pasien merasa seolah-olah ia telah dipukul tepat pada tumitnya dan tidak
bisaberjinjit.
13.Apabila ada robekan,suatu celah dapat dilihat dan terasa 5 cm diatas
insersio tendon.
14.Plantar flexi kaki akan lemah dan tidak disertai dengan tendon
Diagnosis

• Weakness in
plantarflexion
• Gap in tendon
• Palpable swelling
• Positive Thompson test
Pemeriksaan Fisik Ruptur Tendon
Achilles

Infeksi dan Test Thomphson


palapasi

Obrie’n test/
Copeland test
test jarum
O’Brien test
• Jarum 25G, ditusukan pada otot
tungkai bawah 10cm di atas
tonjolan calcaneus.
• Gerakan pangkal jarum
berlawanan arah saat dilakukan
gerakan pasif plantar fleksi dan
dorso fleksi menandakan
tendon achilles yang intak.

Copeland test
• Pasien dalam posisi prone, cuff
sphygmomanometer diletakan
pada bagian tungkai yang paling
besar, kaki pasien diminta plantar
fleksi, kemudian
sphygmomanometer di pompa
hingga 100mmHg.
• Jika tendon achilles intak, tekanan
akan meningkat menjadi 140mmHg
saat pasien diminta dorsofleksi
Pemeriksaan Penunjang
Magnetic Resonance Image (MRI)

Foto Rontgen
Tatalaksana Ruptur Tendo Achilles
http://www.qualitycarept.com/Injuries-Conditions/Foot/Foot-
Issues/Achilles-Tendon-Problems/a~253/article.html
Tarsal Tunnel syndrome
50. Ankylosing Spondylitis
• Suatu kelainan inflamasi kronik multisistem
secara primer menyerang sendi sakroiliaka dan
tulang-tulang aksial.
• Gejala umum
• gejala yang berkaitan dengan radang tulang belakang
• low back pain
• sendi tulang belakang kaku
• Kifosis
• enthesitis dan arthritis perifer
• gejala-gejala diluar arthritis
• uveitis, penyakit kardiovaskular, pulmoner, renal, neurologik,
GI, dan penyakit metabolik
http://emedicine.medscape.com/article/332945-overview
Diagnosis
New York Criteria Rome Criteria
• Low back pain with inflammatory
• Low back pain and stiffness for >3
characteristics
months that is not relieved by rest
• Limitation of lumbar spine motion in
• Pain and stiffness in the thoracic region
sagittal and frontal planes
• Limited motion in the lumbar spine
• Decreased chest expansion
• Limited chest expansion
• Bilateral sacroiliitis grade 2 or higher
• History of uveitis
• Unilateral sacroiliitis grade 3 or higher
Definite ankylosing spondylitis when the Diagnosis of ankylosing spondylitis when
fourth or fifth criterion mentioned any clinical criteria present with bilateral
presents with any clinical criteria sacroiliitis grade 2 or higher
Ossification of anulus Bilateral sacroiliitis with sclerosis can be
fibrosus at multiple levels observed.
and squaring of vertebral
bodies can be observed.
Tatalaksana
Terapi farmakologis
• Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
• Sulfasalazine
• Tumor necrosis factor-α (TNF-α) antagonists
• Corticosteroids

Terapi bedah
• Vertebral osteotomy - Patients with fusion of the cervical or upper
thoracic spine may benefit from extension osteotomy of the
cervical spine
• Fracture stabilization
• Joint replacement - Patients with significant involvement of the hips
may benefit from total hip arthroplasty
51. Urachal abnormalities
52. Prostatitis

• Incidence/prevalence: 4% -11%
• 8-12% of urologist office visits
• Life time prevalence 14.8%
• most common urological diagnosis in men <50
• Quality of Life is dismal (depressing) !
Aetiology

• Gram –ve enterobacteria account for 90% of


acute bacterial prostatitis
– E. coli, Klebsiella, Serratia, Pseudomonas
• Enterococcus (gram +ve) 5 – 10%, and Staphs.
• Role of anaerobes are unknown.
• Anti-Chlamydial antibodies in 30% of chronic
prostatitis, but < 1% culture organism.
Aetiology
• Altered Prostatic Host Defence - phimosis;
unprotected penetrative anal rectal intercourse;
acute epididymitis; indwelling urethral catheters
and condom catheter drainage.
• Dysfunctional Voiding.
• Intraprostatic Ductal Reflux – stones, carbon
particles (Kirby et al 1982).
• Pelvic Floor Musculature Abnormalities.
• Interstitial Cystitis.
• Psychological Cause
Investigation
• Physical
– Signs of infection
– abdomen tenderness
– DRE (anal tone, prostate, pain).
• Examination of Urine.
• Urodynamics (Video)
– Rule out other cause – obstruction, OAB, dyssynergia.
• Cystoscopy?
• TRUS
– Abscess, medial cysts, SV obstruction.
– Not diagnostic for Chronic Prostatitis.
– Biopsy of no clinical benefit to management.
Examination of Urine

• 1968 Meares and Stamey


– 4 glass test.
– For Chronic Prostatitis only.
• Simplified 2 glass test similar sensitivity and
specificity to 4 glass test.
• 10 WBC’s per HPF is cut off for inflammatory and
non-inflammatory category III prostatitis.
Examination of Urine
CLASSIC STAMEY 4 GLASS TEST

Wagenlehner, F M E; Naber, K G; Bschleipfer, T; Brähler, E; Weidner, W


Prostatitis and Male Pelvic Pain Syndrome: Diagnosis and Treatment
Dtsch Arztebl Int 2009; 106(11): 175-83; DOI: 10.3238/arztebl.2009.0175
Classification
PROSTATITIS AKUT BAKTERIEL

• Etiologi : E coli, Pseudomonas, Enterococcus.


• Patogenesis  route of infection
1. Infeksi asendens dari urethra
2. Refluks urin yang terinfeksi kedalam saluran
kelenjar prostat.
3. Invasi kuman dari rektum baik langsung
maupun limfogen
4. Infeksi hematogen
Category I – Acute Bacterial
The patient typically complains of :
• Urinary frequency, urgency, and dysuria.
• Obstructive voiding complaints including hesitancy, poor
interrupted stream, strangury, and even acute urinary retention
are common. Tenesmus.
• Perineal and suprapubic pain
• Associated pain or discomfort of the external genitalia.
• Significant systemic symptoms including fever, chills, malaise,
nausea and vomiting, and even frank septicemia with hypotension

Approximately 5% of patients with acute bacterial prostatitis may


progress to chronic bacterial prostatitis (Cho et al., 2005
Tanda- tanda & gejala klinis
Terapi
• demam mendadak, menggigil
• A.B.
• nyeri pada perineum, pinggang
– TMP-SM (160-800mg)
• urgensi, frekwensi, nokturi, 2x1
disuri – Ampicillin+Gentamisin
• obstruksi bladder out let – Ciprofloksasin
• mialgia, arthralgia • Bed rest
• RT : Prostat membesar, lunak, • analgetik
indurasi, nyeri
• Bila retensi  kateter
Laboratorium • Massage Prostat 
kontraindikasi
• lekositosis
• piuria, mikroskopik hematiri,
bakteriuri
• discharge purulent setelah R.T.
Diagnosis and Treatment
of Acute Bacterial
Prostatitis

http://www.aafp.org/afp/2016/0115/p114.html
53. Trauma Tumpul Abdomen
54. DVT

Virchow Triads:
(1) venous stasis
(2) activation of blood coagulation
(3) vein damage

Crurales Vein is a common and


incorrect terminology
Superficial vein systems
• Signs and symptoms of
DVT include :
– Pain in the leg
– Tenderness in the calf (this
is one of the most
improtant signs )
– Leg tenderness
– Swelling of the leg
– Increased warmth of the
leg
– Redness in the leg
– Bluish skin discoloration
– Discomfort when the foot
is pulled upward (Homan’s)
http://www.medical-explorer.com/blood.php?022
American College of Emergency Physicians (ACEP)
Color duplex scan of DVT

Venogram shows DVT


55. Malformasi Kongenital
invertogram Intussusception Hirschprung

Classifcation:
• A low lesion
– colon remains close to the skin
– stenosis (narrowing) of the anus
– anus may be missing altogether,
with the rectum ending in a blind
pouch
• A high lesion
– the colon is higher up in the pelvis
– fistula connecting the rectum and
the bladder, urethra or the vagina
• A persistent cloaca
– rectum, vagina and urinary tract
are joined into a single channel
http://emedicine.medscape.com/ Learningradiology.om Duodenal atresia
Classification
Males Females
1. Cutaneous (perineal fistula) 1. Cutaneous (perineal fistula)
2. Rectourethral fistula
2. Vestibular fistula
A. Bulbar
3. Imperforate anus without fistula
B. Prostatic
3. Recto–bladder neck fistula 4. Rectal atresia

4. Imperforate anus without 5. Cloaca


fistula A. Short common channel
5. Rectal atresia B. Long common channel

6. Complex malformations
Classification
• Menurut Berdon, membagi • Menurut Stephen, membagi
atresia ani berdasarkan atresia ani berdasarkan pada
tinggi rendahnya kelainan, garis pubococcygeal.
yakni : – Atresia ani letak tinggi
– Atresia ani letak tinggi • bagian distal rectum
• bagian distal rectum terletak di atas garis
berakhir di atas muskulus pubococcygeal.
levator ani (> 1,5cm – Atresia ani letak rendah
dengan kulit luar) • bila bagian distal rectum
– Atresia ani letak rendah terletak di bawah garis
• distal rectum melewati pubococcygeal.
musculus levator ani (
jarak <1,5cm dari kulit
luar)
Management
Newborn Anorectal Malformation

Selama 24 jam pertama


• Puasa
• Cairan melalui infus
• Antibiotik
• Evaluasi adanya defek yang mungkin menyertai dan dapat mengancam nyawa.
– NGT exclude esophageal atresia
– Echocardiogram  exclude cardiac malformations, esophageal atresia.
– Radiograph of the lumbar spine and the sacrum
– Spinal ultrasonogram  evaluate for a tethered cord.
– Ultrasonography of the abdomen  evaluate for renal anomalies.
– Urine analysis

Annals of pediatrics surgery. October 2007


Setelah 24 jam
Re evaluate
• Bila pasien memiliki fistula perineal
• TindakanAnoplasty, tanpa protective colostomy
• Dapat dilakukan dalam 48 jam pertama kehidupan
• Bila tidak ada mekonium di perineum, direkomendasikan untuk
melakukan pemeriksaan radiologi cross-table lateral radiograph dengan
pasien dalam posisi tengkurap (knee-chest position)
– Bila udara dalam rektum berada dibawah os koksigis dan pasoen dalam
kondisi baik, tanpa defek yang lain
• Pertimbangkan melakukan posterior sagittal operation (PSARP) dengan
atau tanpa protective colostomy
– Bila gas dalam rektum berada diatas os koksigis atau pasien memiliki
mekonium dalam urin, sakrum abnormal atau flat bottom
• Harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu
• Kemudian posterior sagittal anorectoplast (PSARP) , 1 sampai 2 bulan
kemudian, setelah pasien memiliki kenaikan berat badan yang cukup
Annals of pediatrics surgery. October 2007
56. Peritonitis
ILMU
P E N YA K I T
M ATA
57. KONJUNGTIVITIS VERNAL
• Nama lain:
– spring catarrh
– seasonal conjunctivitis
– warm weather conjunctivitis
• Etiologi: reaksi hipersensitivitas bilateral (alergen sulit
diidentifikasi)
• Epidemiologi:
– Dimulai pada masa prepubertal, bertahan selama 5-10
tahun sejak awitan
– Laki-laki > perempuan
– Paling sering pada Afrika Sub-Sahara & Timur Tengah
– Temperate climate > warm climate > cold climate (hampir
tidak ada)
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
• Gejala & tanda:
– Rasa gatal yang hebat, dapat
disertai fotofobia
– Sekret ropy
– Riwayat alergi pada RPD/RPK
– Tampilan seperti susu pada
konjungtiva
– Gambaran cobblestone
(papila raksasa berpermukaan
rata pada konjungtiva tarsal)
– Tanda Maxwell-Lyons (sekret
menyerupai benang &
pseudomembran fibrinosa
halus pada tarsal atas, pada • Komplikasi:
pajanan thdp panas) • Blefaritis & konjungtivitis
– Bercak Trantas (bercak stafilokokus
keputihan pada limbus saat
fase aktif penyakit)
– Dapat terjadi ulkus kornea
superfisial
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Tatalaksana
• Self-limiting • Jangka panjang & prevensi
• Akut: sekunder:
• Antihistamin topikal
• Steroid topikal (+sistemik • Stabilisator sel mast Sodium
kromolin 4%: sebagai
bila perlu), jangka pendek pengganti steroid bila gejala
 mengurangi gatal sudah dapat dikontrol
(waspada efek samping: • Tidur di ruangan yang sejuk
dengan AC
glaukoma, katarak, dll.) • Siklosporin 2% topikal (kasus
berat & tidak responsif)
• Vasokonstriktor topikal
• Desensitisasi thdp antigen
• Kompres dingin & ice (belum menunjukkan hasil
pack baik)

Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.


Table. Major Differentiating Factors Between VKC and AKC

Characteristics VKC AKC


Age at onset Generally presents at a younger age -
than AKC
Sex Males are affected preferentially. No sex predilection
Seasonal variation Typically occurs during spring months Generally perennial
Discharge Thick mucoid discharge Watery and clear discharge
Conjunctival - Higher incidence of
scarring conjunctival scarring
Horner-Trantas Horner-Trantas dots and shield ulcers Presence of Horner-Trantas
dots are commonly seen. dots is rare.
Corneal Not present Deep corneal
neovascularization neovascularization tends to
develop
Presence of Conjunctival scraping reveals Presence of eosinophils is
eosinophils in eosinophils to a greater degree in less likely
conjunctival VKC than in AKC
scraping
58. Herpes Simplex oftalmikus
• HSV-1 infection occurs by direct contact of skin or
mucous membrane with virus-laden lesions or
secretions
• Occurs most commonly in the mucocutaneous
distribution of the trigeminal nerve
• After the primary infection, the virus travels in
retrograde fashion from the infected epithelial cells to
nearby sensory nerve endings and is transported along
the nerve axon to the cell body located in the
trigeminal ganglion, entering into a latent state.
• Interneuronal spread of HSV within the ganglion allows
patients to develop subsequent ocular disease without
ever having had primary ocular HSV infection
Ocular Manifestation of HSV
• Periocular herpes simplex
• Blepharitis
• Conjunctivitis
• Scleritis
• Keratitis
• Iridocyclitis
• Retinitis
Herpes Simplex Keratitis
Keratitis Herpes Simpleks

• Herpes simpleks virus (HSV) keratitis, sama dengan penyakit herpes simpleks
lainnya dapat ditemukan dalam dua bentuk: primer atau rekuren.
• Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan oleh HSV tipe 1, namun
pada balita dan orang dewasa, dapat juga disebabkan oleh HSV tipe 2. Lesi
kornea yang disebabkan kedua virus tersebut tidak dapat dibedakan.
• Kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV mengandung sel-sel raksasa berinti
banyak.
• Virus dapat dibiakkan di dalam membran khorioallantoik embrio telur ayam
dan di dalam jaringan seperti sel-sel HeLa .
• Identifikasi akurat virus dilakukan menggunakan metode PCR

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007
• Tanda dan gejala:
– Infeksi primer biasanya berbentuk
blefarokonjungtivitis vesikular, kadang disertai
keterlibatan kornea. Umumnya self-limmited tanpa
menyebabkan kerusakan mata yang signifikan.
– Iritasi, fotofobia, peningkatan produksi air mata,
penurunan penglihatan, anestesi pada kornea,
demam.
– Kebanyakan unilateral, namun pada 4-6% kasus dapat
bilateral
– Lesi: Superficial punctate keratitis -- stellate erosion --
dendritic ulcer -- Geographic ulcer
• Dendritic ulcer: Lesi yang paling khas pd keratitis HSV.
Berbentuk linear, bercabang, tepi menonjol, dan memiliki
tonjolan di ujungnya (terminal bulbs), dapat dilihat dengan
tes flurosensi.
• Geographic ulcer. Lesi defek epitel kornea berbentuk spt
amuba
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007
Keratitis herpes Treatment
• The treatment of herpes simplex keratitis is dependent upon whether the episode of
disease is caused by active viral replication or immune response to past infection.
• We recommend NOT using topical glucocorticoids when active HSV epithelial disease
is present (Grade 1C).
• We recommend that patients with epithelial herpes simplex keratitis receive antiviral
agents (Grade 1B).
– Oral and topical antivirals are equally effective, but oral agents are more convenient to use.
Trifluorothymidine 1% (trifluridine) is given one drop every two hours (eight or nine doses daily) for two
weeks.
– Ganciclovir 0.15% gel is given one drop five times daily until epithelial healing occurs and then three
times daily for seven days. Oral acyclovir is given 400 mg five times daily.
• We suggest treatment of stromal keratitis with a combination of an oral antiviral agent
and a topical glucocorticoid (Grade 2A).
– We suggest that patients with recurrent episodes of significant keratitis receive ongoing suppressive oral
antiviral therapy with either valacyclovir or acyclovir (Grade 2B).
– Valacyclovir is given 500 mg once daily and acyclovir 400 mg two times a day.
– Suppressive therapy may not be cost-effective for patients with mild recurrent disease, and its effect
does not persist when the drug is discontinued.
• Patients who have significant vision impairment due to corneal scarring from keratitis
may require corneal transplantation. Oral acyclovir improves corneal graft survival.
Keratitis herpes treatment
• Treatment options for primary ocular herpes infection
include the following:
– Ganciclovir ophthalmic gel 0.15% - 5 times daily
– Trifluridine 1% drops - 9 times daily
– Vidarabine 3% ointment - 5 times daily
– Oral acyclovir 400 mg - 5 times daily for 10 days [20] ; oral
acyclovir is the preferred treatment in patients unable to
tolerate topical medications and with good renal function
• equivalent to topical treatment and avoids corneal epithelial
toxicity
– A cycloplegic agent may be added to any of the above
regimens for comfort from ciliary spasm.
Keratitis herpes zoster
• Bentuk rekuren dari keratitis Varicella
• Lesi pseudodenditik: lesi epitel yang menonjol dengan ujung
mengerucut, sedikit tonjolan pada ujungnya (terminal bulbs)

Keratitis varicella
• Bentuk infeksi primer pada mata dari virus Varicella
• Ciri khas: lesi pseudodendritik disertai lesi pada stroma kornea
dan uveitis

Keratitis marginal
• Keratitis non infeksius, sekunder setelah konjungtivitis bakteri, terutama Staphylococcus
• Keratitis ini merupakan hasil dari sensitisasi tubuh terhadap produk bakteri. Antibodi dari
pembuluh darah di limbus bereaksi dgn antigen yang terdifusi ke dalam epitel kornea

Keratitis bakteri
• Biasanya unilateral, terjadi pd org dengan penyakit mata sebelumnya atau mata
org yang menggunakan kontak lens
• Infiltrat stroma berwarna putih, edema stroma, pembentukan hipopion
59. Contact Lens Related Eye Infection
• Keratitis is the most • Risk Factor :
serious complication of – Extended wear lenses
contact lens wear – Sleeping in your contact
• Approximately 90% of MK lenses
in CL wearers is – Reduced tear exchange
associated with bacterial under the lens
infection – Enviromental factor poor
hygiene
• Symptomps
– Blurry vision, unusual
redness of the eye, pain in
the eye, tearing or
discharge from eye,
fotofobia, foreign body
sensation
Microbacterial keratitis related contact
lens wear
• Etiology :
– The most common bacterial
pathogens associated with
MK : Staphylococcus and
Pseudomonas species 
more frequent in temperate
climate regions.
– Fungal keratitis  is more
frequent in tropical or sub-
tropical climates. Fusaria are
the most common fungal
pathogen associated with CL
related fungal keratitis.
– Acanthamoeba keratitis
seems to be a growing clinical
problem in CL wearers,
– viral keratitis is poor
understood
Dyavaiah M, et.al Microbial Keratitis in Contact Lens Wearers. JSM Ophthalmol 3(3): 1036 (2015)
Bacterial keratitis Fungal keratitis Acanthamoba
Risk factor - Sleeping with CLs among Possible risk factors of CL storage cases and poor
CL wearers fungal keratitis are ocular hygiene practices such as usage
- Patients with diabetes injury, long-term therapy of homemade saline rinsing
mellitus, dementia or with topical or systemic solutions and rinsing of lenses
chronic alcoholism steroids, with tap water Other risk
appeared to be at higher immunosuppressive agents, factors include CL solution
risk and underlying diseases reuse/topping off, rub to clean
- Trauma was rarely a such as pre-existing corneal lenses, shower wearing lenses,
factor surface abnormality and lens replaced (quarterly), age of
wearing CLs case at replacement (<3
months), extended wear and
lens material type
Clinical The predominant clinical CL associated Fusarium Itching, redness, pain, burning
manifestation features reported in keratitis include central sensation, ring infiltrate in
bacterial keratitis were lesions, paraxial lesions, and corneal, multiple
eye pain and redness the peripheral lesions in the pseudodendritic lesions, loss of
with a decrease in visual eye [31]. Patients with vision. In some cases,
acuity and stromal Candida infections were achantamoba keratitis reported
infiltration reported to have a severe painless  fotofobia but no
visual outcome ocular pain

Diagnosis Microscopic observation CL associated Fusarium Corneal scraping and CL


of corneal scraping using keratitis include central solution  cyst and
stained smears is useful lesions, paraxial lesions, and trophozoyte
for diagnosis of bacterial the peripheral lesions in the
keratitis. eye [31]. Patients with
Candida infections were
reported to have a severe
visual outcome
60. Blepharitis
Definisi Gejala Tatalaksana

Blefaritis superfisial Infeksi kelopak superfisial yang Terdapat krusta dan bila Salep antibiotik
diakibatkan Staphylococcus menahun disertai dengan (sulfasetamid dan
meibomianitis sulfisoksazol), pengeluaran
pus

Hordeolum Peradangan supuratif kelenjar Kelopak bengkak, sakit, rasa Kompres hangat, drainase
kelopak mata mengganjal, merah, nyeri bila nanah, antibiotik topikal
ditekan

Blefaritis Blefaritis diseratai skuama atau Etiologi: kelainan metabolik Membersihkan tepi kelopak
skuamosa/seboroik krusta pada pangkal bulu mata atau jamur. Gejala: panas, dengan sampo bayi, salep
yang bila dikupas tidak terjadi luka gatal, sisik halus dan mata, dan topikal steroid
pada kulit, berjalan bersamaan penebalan margo palpebra
dengan dermatitis sebore disertai madarosis

Meibomianitis Infeksi pada kelenjar meibom Tanda peradangan lokal pada Kompres hangat, penekanan
(blefaritis posterior) kelenjar tersebut dan pengeluaran pus,
antibiotik topikal
Blefaritis Angularis Infeksi Staphyllococcus pada tepi Gangguan pada fungsi Dengan sulfa, tetrasiklin,
kelopak di sudut kelopak atau pungtum lakrimal, rekuren, sengsulfat
kantus dapat menyumbat duktus
lakrimal sehingga mengganggu
fungsi lakrimalis

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas


61. Keratokonjungtivitis toksik
• Definition :
– Corneal toxicity is caused by chemical trauma and by iatrogenic and
factitious disease, which are often overlooked

• Iatrogenic toxicity occurs in patients with acute or chronic ocular


surface disorders as a result of both the short-term and, more
often, the longtermuse of topical medications

• The commonest conjunctival reactions were toxic papillary, toxic


follicular, and delayed hypersensitivity

• The commonest associated drugs were :


– Idoxuridine (IDU), arabinoside A, aminoglycosides, pilocarpine,
chloramphenicol, and the preservatives benzalkonium chloride,
phenylmercuric nitrate (which is no longer used in the UK), thiomersal,
and EDTA

Dart J. Corneal toxicity : The epithelium and stroma in iatrogenic and factitious disease. Eye (2003) 17;886-92
• The clinical signs
– Both iatrogenic and factitious disease are usually
nonspecific and identical to those resulting from
other causes of corneal epithelial disease such as:
• punctate keratopathy,
• Coarse focal keratopathy,
• pseudodendrites,
• Filamentary keratopathy, and
• persistent epithelial defect
62. KELAINAN REFRAKSI: HIPERMETROPIA
ANAMNESIS

MATA MERAH MATA MERAH MATA TENANG


MATA TENANG VISUS
VISUS NORMAL VISUS TURUN VISUS TURUN
TURUN MENDADAK
• struktur yang PERLAHAN
mengenai media
bervaskuler 
refraksi (kornea, • uveitis posterior • Katarak
sklera konjungtiva •
uvea, atau perdarahan vitreous • Glaukoma
• tidak • Ablasio retina • retinopati
seluruh mata)
menghalangi • oklusi arteri atau vena penyakit sistemik
media refraksi retinal • retinitis
• neuritis optik pigmentosa
• Keratitis
• Konjungtivitis murni • neuropati optik akut • kelainan refraksi
• Keratokonjungtivitis
• Trakoma karena obat (misalnya
• Ulkus Kornea
• mata kering, etambutol), migrain,
• Uveitis
tumor otak
xeroftalmia • glaukoma akut
• Pterigium • Endoftalmitis
• Pinguekula • panoftalmitis
• Episkleritis
• skleritis
HIPERMETROPIA
• Gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar
sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina (di belakang
makula lutea)
• Etiologi :
– sumbu mata pendek (hipermetropia aksial),
– kelengkungan kornea atau lensa kurang (hipermetropia
kurvatur),
– indeks bias kurang pada sistem optik mata (hipermetropia
refraktif)
• Gejala : penglihatan jauh dan dekat kabur, sakit kepala,
silau, rasa juling atau diplopia

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas ; dasar – teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata, sidarta Ilyas
HIPERMETROPIA
• Pengobatan : Pemberian lensa sferis
positif akan meningkatkan kekuatan
refraksi mata sehingga bayangan
akan jatuh di retina
• koreksi dimana tanpa siklopegia
didapatkan ukuran lensa positif
maksimal yang memberikan tajam
penglihatan normal (6/6), hal ini
untuk memberikan istirahat pada
mata.
• Jika diberikan dioptri yg lebih kecil,
berkas cahaya berkonvergen namun
tidak cukup kuat sehingga bayangan
msh jatuh dibelakang retina,
akibatnya lensa mata harus
berakomodasi agar bayangan jatuh
tepat di retina.
• Contoh bila pasien dengan +3.0 atau
dengan +3.25 memberikan tajam
penglihatan 6/6, maka diberikan
kacamata +3.25
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
BENTUK HIPERMETROPIA
• Hipermetropia total = laten + manifest
– Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia
• Hipermetropia manifes = absolut + fakultatif
– Yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal dengan hasil visus 6/6
– Terdiri atas hipermetropia absolut + hipermetropia fakultatif
– Hipermetropia ini didapatkan tanpa siklopegik
• Hipermetropia absolut :
– “Sisa”/ residual dari kelainan hipermetropia yang tidak dapat diimbangi
dengan akomodasi
– Hipermetropia absolut dapat diukur, sama dengan lensa konveks terlemah
yang memberikan visus 6/6

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas


BENTUK HIPERMETROPIA

• Hipermetropia fakultatif :
– Dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi sepenuhnya dengan
akomodasi
– Bisa juga dikoreksi oleh lensa
– Dapat dihitung dengan mengurangi nilai hipermetrop manifes – hipermetrop
absolut
• Hipermetropia laten:
– Hipermetropia yang hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia
– bisa sepenuhnya dikoreksi oleh tonus otot siliaris
– Umumnya lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa.
– Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten, makin tua akan
terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi fakultatif
dan kemudia menjadi absolut

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas & Manual of ocular diagnosis and therapy
• Contoh pasien hipermetropia, 25 tahun, tajam penglihatan
OD 6/20
– Dikoreksi dengan sferis +2.00  tajam penglihatan OD 6/6
– Dikoreksi dengan sferis +2.50  tajam penglihatan OD 6/6
– Diberi siklopegik, dikoreksi dengan sferis +5.00  tajam penglihatan
OD 6/6
ARTINYA pasien memiliki:
– Hipermetropia absolut sferis +2.00 (masih berakomodasi)
– Hipermetropia manifes Sferis +2.500 (tidak berakomodasi)
– Hipermetropia fakultatif sferis +2.500 – (+2.00)= +0.50
– Hipermetropia laten sferis +5.00 – (+2.50) = +2.50
63. Ulkus Kornea
Keratitis/ulkus Fungal
• Gejala  nyeri biasanya dirasakan diawal, namun lama-lama
berkurang krn saraf kornea mulai rusak.
• Pemeriksaan oftalmologi :
– Grayish-white corneal infiltrate with a rough, dry texture and feathery
borders; infiltrat berada di dalam lapisan stroma
– Lesi satelit, hipopion, plak/presipitat endotelilal
– Bisa juga ditemukan epitel yang intak atau sedikit meninggi di atas
infiltrat stroma
• Faktor risiko meliputi :
– Trauma mata (terutama akibat tumbuhan)
– Terapi steroid topikal jangka panjang
– Preexisting ocular or systemic immunosuppressive diseases

Sumber: American Optometric Association. Fungal Keratitis. / Vaughan Oftalmologi Umum 1995.
Keratitis/ ulkus Fungal
• Meskipun memiliki karakteristik, terkadang sulit membedakan
keratitis fungal dengan bakteri.
– Namun, infeksi jamur biasanya localized, dengan “button appearance”
yaitu infiltrat stroma yang meluas dengan ulserasi epitel relatif kecil.
• Pd kondisi demikian sebaiknya diberikan terapi antibiotik
sampai keratitis fungal ditegakkan (mis. dgn kultur, corneal
tissue biopsy).

Stromal infiltrate
Ulkus kornea Jamur

Lesi satelit (panah merah) pada


keratitis jamur

Keratitis fungi bersifat indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya
infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi).

Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.


Keratitis/ulkus kornea Jamur
• Indolen, disertai infiltrat kelabu, sering dgn hipopion,
peradangan nyata bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi satelit.
• The most common pathogens are Fusarium and Aspergillus
(filamentous fungi) in warmer climates and Candida (a yeast) in
cooler climates.

Tabel 1. Pengobatan Keratitis Fungal


Organisme Rute obat Pilihan pertama Pilihan kedua Alternatif
Organisme Topikal Natamycin Amphotericin B Nystatin
mirip ragi = Subkonjungtiva Natamycin Miconazole -
Candida sp Sistemik Flycytosine Ketoconazole -
Organisme Topikal Natamycin Amphotericin B Miconazole
mirip hifa = Subkonjungtiva Amphotericin B Miconazole -
ulkus fungi Sistemik Fluconazole Ketoconazole -

Sources: Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.


64. Trauma Mekanik Bola Mata
• Cedera langsung berupa ruda • Pemeriksaan Rutin :
paksa yang mengenai jaringan  Visus : dgn kartu Snellen/chart
mata. projector + pinhole
• Beratnya kerusakan jaringan  TIO : dgn tonometer
bergantung dari jenis trauma aplanasi/schiotz/palpasi
serta jaringan yang terkena  Slit lamp : utk melihat segmen
anterior
• Gejala : penurunan tajam  USG : utk melihat segmen
penglihatan; tanda-tanda posterior (jika memungkinkan)
trauma pada bola mata  Ro orbita : jika curiga fraktur
• Komplikasi : dinding orbita/benda asing
 Endoftalmitis • Tatalaksana :
 Uveitis  Bergantung pada berat trauma,
 Perdarahan vitreous mulai dari hanya pemberian
 Hifema antibiotik sistemik dan atau
topikal, perban tekan, hingga
 Retinal detachment operasi repair
 Glaukoma
 Oftalmia simpatetik

Panduan Tatalaksana Klinik RSCM Kirana, 2012


HIFEMA
• Definisi:
– Perdarahan pada bilik mata • Tujuan terapi:
depan – Mencegah rebleeding
– Tampak seperti warna (biasanya dalam 5 hari
merah atau genangan pertama)
darah pada dasar iris atau – Mencegah noda darah
pada kornea pada kornea
• Halangan pandang parsial – Mencegah atrofi saraf
/ komplet optik
• Etiologi: pembedahan • Komplikasi:
intraokular, trauma – Perdarahan ulang
tumpul, trauma laserasi – Sinekiae anterior perifer
– Atrofi saraf optik
– Glaukoma
• Tatalaksana:
– Kenali kasus hifema dengan risiko tinggi
– bed rest & Elevasi kepala malam hari
– Eye patch & eye shield
– Mengendalikan peningkatan TIO
– Pembedahan bila tak ada perbaikan / terdapat
peningkatan TIO
– Hindari Aspirin, antiplatelet, NSAID, warfarin
– Steroid topikal (dexamethasone 0.1% atau prednisolone
acetate 1% 4x/hari)
– Pertimbangkan siklopegia (atropine 1% 2x/hari, tetapi
masih kontroversial).
Hyphema Complication:
Red cell glaucoma
• Hyphema (usually traumatic) leads to blockage of the
trabecular mesh- work by red blood cells.
• In 10% cases a rebleed may occur, usually at around 5
days.
• Treatment
– Treatment of hyphema
– IOP: topical (e.g., B-blocker, A -agonist, carbonic anhydrase
2

inhibitor) or systemic (e.g., acetazolamide) agents as


required but avoid topical and systemic carbonic
anyhdrase inhibitors in sickle cell disease/trait.
– If medical treatment fails, consider AC paracentesis ± AC
washout.
65. Kalazion
• Inflamasi idiopatik, steril, dan kronik dari kelenjar Meibom
• Ditandai oleh pembengkakan yang tidak nyeri, muncul berminggu-
minggu.
• Dapat diawali oleh hordeolum, dibedakan dari hordeolum oleh
ketiadaan tanda-tanda inflamasi akut.
• Pada pemeriksaan histologik ditemukan proliferasi endotel asinus
dan peradangan granullomatosa kelenjar Meibom
• Tanda dan gejala:
– Benjolan tidak nyeri pada bagian dalam kelopak mata. Kebanyakan
kalazion menonjol ke arah permukaan konjungtiva, bisa sedikit merah.
Jika sangat besar, dapat menekan bola mata, menyebabkan
astigmatisma.
• Tatalaksana: steroid intralesi (bisa membuat remisi terutama untuk
kalazion lesi kecil), Insisi dan kuretase untuk lesi kecil; eksisi
(pengangkatan granuloma untuk lesi yang besar)

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia:
McGraw-Hill, 2007.
Teknik Bedah Definisi

Insisi Sayatan yang dilakukan pada jaringan dengan instrumen


yang tajam tanpa melakukan pengangkatan organ atau
jaringan tersebut

Eksisi Suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor atau


pengangkatan sebagian dari jaringan dari organ dalam
tubuh.
Eksisi luas Suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor disertai
pengangkatan jaringan sehat di sekitarnya

Ekstirpasi Tindakan pengangkatan seluruh massa tumor beserta


kapsulnya atau pengangkatan seluruh jaringan atau organ
yang rusak.
Biopsi Prosedur medis yang dilakukan dengan mengambil contoh
jaringan dari suatu massa tumor atau organ untuk diperiksa
di bawah mikroskop

http://www.peralatankedokteran.com/2012/01/definisi-teknik-bedah-minor.html
66. Trichiasis
• Suatu kelainan dimana bulu mata
mengarah pada bola mata yang
akan menggosok kornea atau
konjungtiva
• Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain seperti
pemfigoid, trauma kimia basa dan
trauma kelopak lainnya, blefaritis,
trauma kecelakaan, kontraksi
jaringan parut di konjungtiva dan
tarsus pada trakoma
• Gejala :
– Konjungtiva kemotik dan hiperemi,
keruh
– Erosis kornea, keratopati dan ulkus
– Fotofobia, lakrimasi dan terasa
seperti kelilipan
– blefarospasme
Trichiasis
• Tatalaksana: • Tatalaksana bedah untuk
– Yang utama: bedah
– Lubrikan seperti artificial tears dan
trikiasis yg disebabkan
salep untuk mengurasi iritasi akibat krn kelainan anatomi:
gesekan – Entropion: dilakukan
– Atasi penyakit penyebab trikiasis, cth tarsotomi
SSJ, ocular cicatrical pemphigoid)
• Tatalaksana Bedah trikiasis – Posterior lamellar scarring:
segmental (fokal) Grafting
– Epilasi: dengan forsep dilakukan
pencabutan beberapa silia yang salah
letak, dilakukan 2-3 kali. Biasanya
dicoba untuk dilakukan epilasi terlebih
dahulu. Trikiasis bisa timbul kembali.
– Elektrolisis/ elektrokoagulasi, ES: nyeri
– Bedah beku (krioterapi): banyak
komplikasi
– Ablasi denga radiofrekuensi: sangat
efektif, cepat , mudah, bekas luka
minimal
Entropion
• Merupakan pelipatan palpebra ke arah dalam
• Penyebab: infeksi (ditandai dengan adanya jaringan parut),
faktor usia, kongenital
• Klasifikasi
– Enteropion involusional
• yang paling sering dan terjadi akibat proses penuaan
• Mengenai palpebra inferior, karena kelemahan otot palpebra
– Enteropion sikatrikal
• Mengenai palpebral inferior/ superior
• Akibat jaringan parut tarsal
• Biasanya akibat peradangan kronik seperti trakoma
– Enteropion congenital
• Terjadi disgenesis retraktor kelopak mata bawa  palpebra tertarik ke
dalam
– Enteropion spastik akut
• Terjadi penutupan kelopak mata secara spastik  terjadi penarikan oleh
m.orbikularis okuli  entropion
67. TRAUMA KIMIA MATA
• Klasifikasi :
• Merupakan trauma yang mengenai
bola mata akibat terpaparnya bahan  Derajat 1: kornea jernih dan tidak
kimia baik yang bersifat asam atau ada iskemik limbus (prognosis
basa yang dapat merusak struktur bola sangat baik)
mata tersebut
 Derajat 2: kornea berkabut
• Keadaan kedaruratan oftalmologi
karena dapat menyebabkan cedera dengan gambaran iris yang masih
pada mata, baik ringan, berat bahkan terlihat dan terdapat kurang dari
sampai kehilangan penglihatan 1/3 iskemik limbus (prognosis
• Etiologi : 2 macam bahan yaitu yang baik)
bersifat asam (pH < 7) dan yang  Derajat 3: epitel kornea hilang
bersifat basa (pH > 7,6) total, stroma berkabut dengan
• Pemeriksaan Penunjang : gambaran iris tidak jelas dan
 Kertas Lakmus : cek pH berkala
 Slit lamp : cek bag. Anterior mata dan lokasi sudah terdapat 1/2 iskemik
luka limbus (prognosis kurang)
 Tonometri
 Derajat 4: kornea opak dan
 Funduskopi direk dan indirek
sudah terdapat iskemik lebih dari
1/2 limbus (prognosis sangat
buruk)
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf
TRAUMA KIMIA MATA
TRAUMA BASA LEBIH BERBAHAYA DIBANDINGKAN ASAM; gejala: epifora, blefarosasme, nyeri

Trauma Asam : Trauma Basa :


• Bahan asam mengenai mata maka • Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel
akan segera terjadi koagulasi protein dan terjadi proses safonifikasi, disertai
epitel kornea yang mengakibatkan dengan dehidrasi
kekeruhan pada kornea, sehingga bila • Basa akan menembus kornea, kamera
konsentrasi tidak tinggi maka tidak okuli anterior sampai retina dengan
akan bersifat destruktif cepat, sehingga berakhir dengan
• Biasanya kerusakan hanya pada kebutaan.
bagian superfisial saja • Pada trauma basa akan terjadi
• Bahan kimia bersifat asam : asam penghancuran jaringan kolagen kornea.
sulfat, air accu, asam sulfit, asam • Bahan kimia bersifat basa: NaOH, CaOH,
hidrklorida, zat pemutih, asam amoniak, Freon/bahan pendingin lemari
asetat, asam nitrat, asam kromat, es, sabun, shampo, kapur gamping,
asam hidroflorida semen, tiner, lem, cairan pembersih
dalam rumah tangga, soda kuat.
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf
TRAUMA KIMIA MATA - TATALAKSANA

Tatalaksana Emergensi : Tatalaksana Medikamentosa :


 Irigasi : utk meminimalkan  Steroid : mengurangi
durasi kontak mata dengan inflamasi dan infiltrasi
bahan kimia dan neutrofil
menormalkan pH mata; dgn  Siklopegik : mengistirahatkan
larutan normal saline (atau iris, mencegah iritis (atropine
setara) atau scopolamin) → dilatasi
 Double eversi kelopak mata : pupil
utk memindahkan material  Antibiotik : mencegah infeksi
 Debridemen : pada epitel oleh kuman oportunis
kornea yang nekrotik

http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf; Ilmu Penyakit Mata, Sidarta Ilyas


TRAUMA KIMIA MATA -
TATALAKSANA
• Removing the offending agent
– Immediate copious irrigation
• With a sterile balanced buffered solution
normal saline solution or ringer's lactate
solution
• Until the ph (acidity) of the eye returns to
normal
– Pain relief → Topical anesthetic
• Promoting ocular surface(epithelial)healing
– artificial tears
– Ascorbate → collagen remodeling
– Placement of a therapeutic bandage contact
lens until the epithelium has regenerated
• Controlling inflammation
– Inflammatory inhibits reepithelialization
and increases the risk of corneal ulceration
and perforation
– Topical steroids
– Ascorbate (500 mg PO qid)
• Preventing infection
– Prophylactic topical antibiotics
• Controlling IOP
– In initial therapy and during the later
recovery phase, if IOP is high (>30 mm Hg)
• Control pain
– Cycloplegic agents → ciliary spasm
– Oral pain medication
68. GLAUKOMA KONGENITAL
• 0,01% diantara 250.000 • Klasifikasi lainnya:
penderita glaukoma – Glaukoma kongenital primer
• 2/3 kasus pada Laki-laki dan anomali perkembangan yang
mempengaruhi trabecular
2/3 kasus terjadi bilateral meshwork.
• 50% manifestasi sejak lahir; – Glaukoma kongenital
70% terdiagnosis dlm 6 bln sekunder: kelainan kongenital
pertama; 80% terdiagnosis mata dan sistemik lainnya,
dalam 1 tahun pertama kelainan sekunder akibat
trauma, inflamasi, dan tumor.
• Klasifikasi menurut Schele:
– Glaukoma infantum: tampak
waktu lahir/ pd usia 1-3 thn
– Glaukoma juvenilis: terjadi
pada anak yang lebih besar

Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Etiologi
• Barkan suggested incomplete • Primary congenital glaucoma appears to result from
developmental anomaly of the anterior segment structures
resorption of mesodermal tissue led derived from the embryonic neural crest cells causing outflow
obstruction to aqueous by several mechanisms.
to formation of a membrane across • Developmental arrest may result in anterior insertion of iris,
the anterior chamber angle  direct insertion of the ciliary body onto the trabecular
meshwork and poor structural development of the scleral
Barkan's membrane. spur.
– The existence of such a membrane
has not been proved by light or
electron microscopy.
• Maumenee & Anderson
demonstrated abnormal anterior
insertion (high insertion) of ciliary
muscle over the scleral spur in eyes
with infantile glaucoma.
– Longitudinal and circular fibers of the
ciliary muscles inserted directly onto
the trabecular meshwork rather than
the scleral spur and root of the iris
inserts directly to trabecular
meshwork.
– due to a development arrest in the
normal migration of anterior uvea
across the meshwork in the third
trimester of gestation.

R Krishnadas, R Ramakrishnan. Congenital Glaucoma-A Brief Review. Journal of Current


Glaucoma Practice
Patogenesis
 Abnormalitas anatomi trabeluar meshwork  penumpukan
cairan aqueous humor  peninggian tekanan intraokuler 
bisa terkompensasi krn jaringan mata anak masih lembek
sehingga seluruh mata membesar (panjang bisa 32 mm,
kornea bisa 16 mm  buftalmos & megalokornea)  kornea
menipis sehingga kurvatura kornea berkurang

 Ketika mata tidak dapat lagi meregang  bisa terjadi


penggaungan dan atrofi papil saraf optik

Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Gejala & Diagnosis
• Tanda dini: fotofobia, • Diagnosis glaukoma
epifora, dan blefarospasme
kongenital tahap lanjut
• Terjadi pengeruhan kornea
dengan mendapati:
• Penambahan diameter
kornea (megalokornea; – Megalokornea
diameter ≥ 13 mm) – Robekan membran
• Penambahan diameter bola descement
mata (buphtalmos/ ox eye) – Pengeruhan difus kornea
• Peningkatan tekanan
intraokuler

Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Glaukoma kongenital, perhatikan
Megalocornea adanya pengeruhan kornea dan
buftalmos

http://www.pediatricsconsultant360.com/content/buphthalmos

http://emedicine.medscape.com/article/1196299-overview
Penatalaksanaan
• Penatalaksanaan Congenital glaucoma dititik beratkan pada
pembedahan yang harus dilakukan sesegera mungkin.
• Goniotomy dan trabeculotomy merupakan pilihan utama
pembedahan yang dapat dilakukan pada kasus ini  keduanya
aman, dan komplikasi sangat rendah
• Pembedahan lebih dipilih dibanding terapi medikamentosa karena
masalah compliance, kurangnya informasi mengenai efek obat
terhadap tubuh anak serta respon terapi yang buruk.
• Trabeculoectomy : membuat fistula pada daerah limbus yang
menghubungkan kamera okuli anterior dan ruangan
subkonjungtiva; menembus trabecular meshwork, canal schlem dan
duktus koletikus
– Trabeculectomy merupakan pilihan bila goniotomies atau
trabeculotomies gagal
• Glaucoma drainage implants,  juga dapat menjadi pilihan terapi
Goniotomy
• Goniotomi (memotong
jaringan yg menutup trabekula
atau memotong iris yg
berinsersi pada trabekula)
• Sangat aman bila dilakukan
oleh ahli
• Goniotomy dilakukan bila
transparansi kornea baik dan
sudut bilik mata depan dapat
divisualisasi dengan baik
Trabeculotomy
• Trabeculotomy adalah
pembedahan untuk membuka
sinus venosus sklera (canal
schlem)  mengalirkan aqueous
humor
• Trabeculotomy dilakukan bila
kekeruhan kornea menghambat
visualisasi sudut bilik mata depan
• Faktor yang menurunkan angka
keberhasilan trabeculotomy
adalah glaukoma kongenital yang
disertai dengan kelainan okular
lainnya (Peters, Sturge-Weber,
Aniridia, etc.) serta diamter
kornea > 14 mm.
Glaukoma kongenital

Trabeculotomy

Trabeculotomy+trabeculectomy
Trabeculoectomy
• Trabeculectomy is a surgical procedure that removes part of the
trabeculum in the eye to relieve pressure caused by glaucoma.

During a trabeculectomy, the


patient's eye is held open
with a speculum.
A. The outer layer, or
conjunctiva, and the
white of the eye, or
sclera, are cut open.
B. A superficial scleral flap is
created and a plug of
sclera and underlying
trabecular network is
removed
C. This allows the fluid in
the eye to circulate,
relieving pressure. The
scleral flap is closed and
sutured
D. The conjunctiva is closed
69. Dakrioadenitis
• Peradangan dari kelenjar • Gejala: nyeri, kemerahan, dan
lakrimalis gejala penekanan pada unilateral
• Kelenjar lakrimalis berada di supratemporal orbita
supratemporal orbita + lobus • Tanda: Khemosis
palpebral – Injeksi konjungtiva
• Patofisiologi masih belum – Sekret mukopurulent
dimengerti, diperkirakan akibat – Kelopak merah
ascending infection kuman dari – Limfadenopati submandibular
– Bengkak pada 1/3 lateral kelopak
duktus lakrimalis ke dalam
mata (S-shaped lid)
kelenjar – Proptosis
• Lobus palpebral biasanya juga – Gangguan gerak bola mata
ikut terkena – Pembesaran kelenjar parotis
• Penyebab: mumps, EBV, – Demam
stafilokokus, GO – ISPA
– Malaise
DAKRIOSISTITIS – ANATOMI DUKTUS LAKRIMALIS
Tatalaksana
• Viral (paling sering) - Self-
limiting, tx suportif
(kompres hangat, NSAID
oral)
• Bacterial – 1st generation
cephalosporins
• Protozoa / fungal –
antiamoebic/ antifungal
• Inflammatory
(noninfectious) – cek
penyebab sistemik,
tatalaksana berdasarkan
penyebabnya.
DAKRIOSISTITIS
• Partial or complete obstruction of the nasolacrimal duct
with inflammation due to infection (Staphylococcus aureus
or Streptococcus B-hemolyticus), tumor, foreign bodies,
after trauma or due to granulomatous diseases.
• Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful
inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal punctum,
fever, general malaise, pain radiates to forehead and teeth
• Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably skin
abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis. Swab and
culture
• Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation of
lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy
DAKRIOSISTITIS – ANATOMI DUKTUS LAKRIMALIS
70. Dry Eye Syndrome
(Keratokonjungtivitis Sicca)
• International Dry Eye Workshop (DEWS) 2007
definition:
– Mata kering merupakan penyakit multifaktorial
pada produksi air mata dan permukaan mata yang
menyebakan rasa tidak nyaman, gangguan
penglihatan, dan instabilitas lapisan air mata yang
beresiko menyebabkan kerusakan permukaan
okular. Kondisi ini disertai pula dengan
peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan
peradangan pada permukaan mata.
• Dry eye is a disorder of the
tear film due to tear
deficiency or excessive tear
evaporation which causes
damage to the
interpalpebral ocular
surface and is associated
with symptoms of ocular
discomfort
• Tear film  total thickness
7-10 µm, consist of:
– Mucus layer (0.02- 0.04 µm)
– Aqueous layer (6.5 µm)
– Lipid layer (0.1 µm)
ELEMENTS OF OCULAR DEFENCE
Stable precorneal tear film

• Lipid • Meibomian gland

Compositional • Lacrimal gland


• Aqueous
factors
• Ocular surface
• Mucin epithelium

• Lid • Tear spread


Hydrodynamic blinking • Tear clearance
factor
• Lid • Prevents
closure evaporation
CLINICAL MANIFESTATION

• Burning or itching • Sore or tired eyes


• Fluctuating vision • History of Styes
• Foreign body sensation • Ocular discharge
• Grittiness or irritation • Light sensitivity
• Contact lens discomfort
• Watering or excessive
tearing
DIAGNOSIS

• Slit lamp examination


• Demonstration of tear instability (Tear film break up time,
TBUT) with Tearscope/ Xeroscope
• Demonstration of ocular surface damage
– Schirmer’s test
– Fluorescein Staining
– Rose bengal stain
– Lissamine Green Staining
• Demonstration of tear hyperosmolarity
SCHIRMER’S TEST

• Measurement of the aqueous layer quantity only


• 5x30 strips of Whatman filter paper
• The amount of moistening is of the exposed paper is
recorded at the end of 5minutes
SCHIRMER’S TEST
Measures total reflex and basic tear secretion
Results:
 Normals will wet approximately 10 to 30mm at the
end of 5minutes.
 If wetting > 30 mm, reflex tearing is intact but not
controlled or tear drainage is insufficient
 A value of <5mm indicates hyposecretion
Treatment
• Level 1 treatment consists of the
following: • If level 2 treatment is
– Education and environmental or inadequate, level 3
dietary modifications
– Elimination of offending systemic measures are added,
medications including the following:
– Preserved artificial tear substitutes,
gels, and ointments – Autologous serum or
– Eyelid therapy umbilical cord serum
• If level 1 treatment is inadequate, – Contact lenses
level 2 measures are added,
including the following: – Permanent punctal occlusion
– Nonpreserved artificial tear
substitutes • If level 3 treatment is
– Anti-inflammatory agents (topical inadequate, level 4
cyclosporine, topical steroids)
– Tetracyclines (for meibomitis or treatment, consisting of the
rosacea)
– Punctal plugs (after inflammation
administration of systemic
has been controlled) anti-inflammatory agents, is
– Secretagogues
– Moisture chamber spectacles
added.
TREATMENT
• Artificial tear solutions Artificial tear solutions
• Artificial tear inserts • Main stay of treatment for dry
eyes
• Ointments
• Have a polymeric agent such
• Mucolytic agents as polyvinyl alcohol,
• Punctal occlusion methylcellulose, or dextran to
increase viscosity
• Bandage contact lens
Ointments
• Moisture chambers • Petrolatum based ointments
• Topical cyclosporine (0.05%, relieve the symptoms,
0.1%) primarily through lubrication
• Oral cholinergic agents Mucolytic agents
• Lateral tarsorraphy • N-acetylcysteine 5% --- corneal
filaments and mucus plaques
NEUROLOGI
71. Neuralgia Post Herpetik
• Neuralgia Post Herpetik (NPH) merupakan
nyeri persisten yang muncul setelah ruam Herpes
Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan).
• Nyeri pada NPH merupakan nyeri neuropatik
yang diakibatkan dari perlukaan saraf perifer
sehingga terjadi perubahan proses pengolahan
sinyal pada sistem saraf pusat.
• Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang
aktivasi yang lebih rendah sehingga
menunjukkan respon berlebihan terhadap
stimulus.
Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3.
2006. Canada:Elsevier.
Faktor Risiko
• Orang yang tidak pernah mengidap cacar air
• Orang yang tidak pernah mendapat vaksinasi terhadap
cacar air
• Orang yang ada kontak dengan orang yang mengidap cacar
air atau dengan alat makan atau barang pribadi mereka
• Orang dengan sistem imun yang tidak kuat
(immunocompromised) seperti mereka yang mengidap
AIDS, HIV, menjalani chemotherapy, deformitaskongenital)
• Orang dengan kanker
• Wanita hamil
• Anak-anak kecil
• Lansia
Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3.
2006. Canada:Elsevier.
Manifestasi Klinis
Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam
tiga fase:
• Fase akut
• fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit
• Biasanya berlangsung < 4 minggu2.
• Fase subakut
• fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit
tetapi < 4 bulan
• Neuralgia post herpetik
• nyeri menetap >4 bulan setelah onset lesikulit atau 3
bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster
Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3.
2006. Canada:Elsevier.
Diagnosis
Anamnesis
• Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala tipikal
herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit,nyeri yang
timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenalsebagai nyeri post
herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasaterbakar, tertusuk-tusuk,
gatal atau tersengat listrik.
Pemeriksaan Fisik
1. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia
2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya
3. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar kutaneus
4. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadapsentuhan maupun
suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik, maupun iskemia jantung,
serta rasa gatal dan baal yang misdiagnosis sebagai urtikaria
5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggukemudian)
6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yangmuncul tidak
hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggusetelahnya)
7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan ringan
8. Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat padaarea yang terkena
nyeri ini
Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006.
Canada:Elsevier.
Pemeriksaan Penujang
• Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan
pemeriksaan neurologis lainnya.
• Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik
pada nervus
• Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus
– Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein
26% dan DNA VZV 22% kasus.
• Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.
• Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa
digunakanuntuk membedakan herpes simpleks dengan
herpes zoster
• Mengukur antibodi terhadap herpes zoster
• Peningkatan 4 kali lipatmendukung diagnosis herpes zoster
subklinis.
Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3.
2006. Canada:Elsevier.
CLASS MEDICATION DOSAGE ADVERSE EFFECTS
Anticonvulsants Gabapentin 1,800 to 3,600 mg per Somnolence,
(Neurontin) day dizziness, edema,
dry mouth
Pregabalin (Lyrica) 150 to 600 mg per day
Opioid Controlledrelease Variable Constipation,
oxycodone (Oxycontin) nausea, vomiting,
sedation, dizziness,
Longacting morphine Variable dependence

Tramadol (Ultram) 100 to 400 mg per day Dependence


Topical agents Capsaicin 0.075% Applied three or four Burning skin
cream (Zostrix) times per day

Lidocaine 5% patch Maximum three Mild skin reaction


(Lidoderm) patches per day
Tricyclic Amitriptyline Up to 150 mg per day Sedation, dry mouth,
antidepressants blurred vision,
Desipramine Up to 150 mg per day constipation, urinary
(Norpramin) retention

Nortriptyline (Pamelor) Up to 150 mg per day


72. Parkinson
• Parkinson:
– Penyakit neuro degeneratif karena gangguan pada ganglia
basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman
dopamine dari substansia nigra ke globus palidus.
– Gangguan kronik progresif:
• Tremor  resting tremor, mulai pd tangan, dapat meluas hingga
bibir & slrh kepala
• Rigidity  cogwheel phenomenon, hipertonus
• Akinesia/bradikinesia  gerakan halus lambat dan sulit, muka
topeng, bicara lambat, hipofonia
• Postural Instability  berjalan dengan langkah kecil, kepala dan
badan doyong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan sendiri
• Hemibalismus/sindrom balistik
– Gerakan involunter ditandai secara khas oleh
gerakan melempar dan menjangkau keluar yang
kasar, terutama oleh otot-otot bahu dan pelvis.
– Terjadi kontralateral terhadaplesi
• Chorea Huntington
– Gangguan herediter autosomal dominan, onset
pada usia pertengahan dan berjalan progresif
sehingga menyebabkan kematian dalam waktu 10
± 12 tahun
Parkinson Disease
Gejala dan Tanda Parkinson
Gejala awal tidak spesifik Gejala Spesifik

• Nyeri • Tremor
• Gangguan tidur • Sulit untuk berbalik badan
•Ansietas dan depresi di kasur
•Berpakaian menjadi lambat •Berjalan menyeret
•Berjalan lambat •Berbicara lebih lambat

Tanda Utama Parkinson :

1. Rigiditas : peningkatan tonus otot


2. Bradykinesia : berkurangnya gerakan spontan (kurangnya kedipan mata, ekspresi
wajah berkurang, ayunan tangan saat berjalan berkurang ), gerakan
tubuh menjadi lambat terutama untuk gerakan repetitif
3. Tremor : tremor saat istirahat biasanya ditemukan pada tungkai, rahang dan
saat mata agak menutup
4. Gangguan berjalan dan postur tubuh yang membungkuk
Penatalaksanaan Parkinson
• Prinsip pengobatan parkinson adalah
meningkatkan aktivitas dopaminergik di
jalur nigrostriatal dengan memberikan :
– Levodopa  diubah menjadi dopamine
di substansia nigra
– Agonis dopamine
– Menghambat metabolisme dopamine
oleh monoamine oxydase dan cathecol-
O-methyltransferase
– Obat- obatan yang memodifikasi
neurotransmiter di striatum seperti
amantadine dan antikolinergik

Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology 4th edition. 2005


73. Spondilitis TB
74. Demensia Vaskular
• Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang
multipel yang menimbulkan gejala berpola demensia.
• Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan
riwayat hipertensi dan 9 faktor resiko kardiovaskuler
lainnya.
• Gangguan terutama mengenai pembuluh darah
serebral berukuran kecil dan sedang yang mengalami
infark dan menghasilkan lesi parenkhim multipel yang
menyebar luas pada otak.
• Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis, hasil
funduskopi yang tidak normal atau pembesaran
jantung.
Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Tatalaksana Demensia
• Langkah pertama: verifikasi diagnosis. Diagnosis akurat
sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat
dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang
tepat dapat diberikan.
• Pada pasien dengan hipertensi perlu diperhatikan
pilihan obat yang diberikan. Antagonis reseptor β-2
dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif.
• Terapi pada demensia meliputi psikososial,
farmakoterapi, terapi dengan menggunakan
pendekatan lain, Behavioural And Psychological
Symptoms Of Dementia (BPSD)
Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah
tak berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap
BPSD (Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia):
• Nootropika:
– Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
– Piracetam (Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
– Sabeluzole (Reminyl)
• Ca-antagonist:
– Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
– Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
– Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
– Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
– Pantoyl-GABA
• Acetylcholinesterase inhibitors
– Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
– Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg
1x/hari
– Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
– Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
– Memantine 2 x 5 - 10 mg
Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Farmakoterapi BPSD
• Antidepresiva
• Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 o Amitriptyline 25 - 50 mg
atau 1 - 2 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
• Antipsikotika atipik: o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup
– Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
keras)
– Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg,
– Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
– Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x 10 - 20
– Abilify 1 x 10 - 15 mg mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1
x 60 mg.
• Anxiolitika
– Clobazam 1 x 10 mg
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
– Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg • Mood stabilizers
– Bromazepam 1,5 mg - 6 mg o Buspirone HCI o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600
10 - 30 mg mg
– Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
– Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg) o Topamate 1 x 50 mg o Tnileptal 1 x 300 mg - 3
x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik
hingga 1800 mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg

Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Dementia
75. Afasia
• Kelainan yang terjadi • Afasia menimbulkan
karena kerusakan dari problem dalam bahasa
bagian otak yang lisan (bicara dan
mengurus bahasa. pengertian) dan bahasa
• kehilangan kemampuan tulisan (membaca dan
untuk membentuk kata- menulis). Biasanya
kata atau kehilangan membaca dan menulis
kemampuan untuk lebih terganggu dari pada
menangkap arti kata-kata bicara dan pengertian.
sehingga pembicaraan • Afasia bisa ringan atau
tidak dapat berlangsung berat. Beratnya gangguan
dengan baik. tergantung besar dan
lokasi kerusakan di otak.
Pembagian Afasia :
1. Afasia Motorik (Broca)
2. Afasia Sensorik (Wernicke)
3. Afasia Global
Afasia Motorik :
- Terjadi karena rusaknya area Broca di
gyrus frontalis inferior.
- Mengerti isi pembicaraan, namun tidak
bisa menjawab atau mengemukakan
pendapat
- Disebut juga Afasia Expressif atau Afasia
Broca
- Bisa mengeluarkan 1 – 2 kata(nonfluent)
• Afasia transkortikal
– disebabkan lesi di sekitar pinggiran area
pengaturan bahasa.

• Terdiri dari: afasia transkortikal motorik, afasia


transkortikal sensorik, dan afasia transkortikal
campuran.

• Ketiga tipe afasia memiliki jenis gangguan


sesuai dengan penamaannya namun
penderita mampu mengulangi kata/ kalimat
lawan biacaranya.
76. Neuropati Diabetikum
• Neuropati diabetikum merupakan komplikasi yang paling sering
pada diabetes mellitus (DM), sekitar 50% dari pasien dengan DM
tipe 1 dan tipe 2.
• Neuropati diabetika perifer meliputi gejala atau tanda- tanda
disfungsi pada saraf perifer pada penderita diabetes mellitus
setelah penyebablainnya disingkirkan.
• Neuropati perifer simetrik yang mengenai systemsaraf motorik
serta sensorik ekstremitas bawah yang disebabkan oleh
jejas sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan akson saraf.
• Neuropati otonom dapat menimbulkan impotensi seksual yang
bersifat fokal (mononeuropati diabetik) paling besar
kemungkinannya disebabkan olehmakroangiopati
Faktor Resiko

• Hiperglikemia
• Kerusakan pembuluh darah
• Dislipidemia
• Hipertensi
• Penyakit kardiovaskular
• Gaya hidup

468
Klasifikasi Diabetic Neuropathy

• Peripheral simetric distal polyneuropathy (sensoric >>


motoric)

• Autonomic neuropathy

• Asymetric Mononeuropathy/ Mononeuropathy


(motoric >> sensoric)

469
470
Symmetric Polyneuropathy
• Bentuk paling lazim dari diabetic neuropathy
• Mengenai ekstremitas bawah distal dan tangan
(“stocking-glove” sensory loss)
• Gejala/tanda
– Nyeri, rasa terbakar pada feet, leg, hand, arm
– Numbness
– Tingling
– Paresthesia

471
Autonomic neuropathy
• Mengenai saraf otonom yang mengendalikan organ internal
– Genitouri
kontrol kandung kemih (43-87% DM1, 25% DM-2))
erectile dysfunction (35-90%)
– Gastrointestinal
Kesulitan menelan (50%) Konstipasi
GET turun (40%) Diare
– Kardiovaskular (50%)
HR cepat-tidak teratur
Hipertensi orthosatik
- Disfungsi sudomotor - kulit kaki kering
- Gagal merespons - hipoglikemia
472
Mononeuropathy
• Peripheral mononeuropathy
– Saraf tunggal rusak karena kompresi atau iskemia

– Terjadi pada wrist (carpal tunnel syndrome), elbow, atau


foot (unilateral foot drop)

– Gejala
• numbness
• edema
• nyeri
• prickling

473
Mononeuropathy, lanjut.
• Cranial mononeuropathy
– Mempengaruhi saraf III, IV dan VI yang menghubungkan
otak dan kontrol penglihatan, pergerakan mata,
pendengaran, dan rasa

– Gejala dan tanda-tanda


• Nyeri unilateral dekat mata yang kena
• Paralisis otot mata
• Penglihatan ganda

474
475
476
Tatalaksana
• Strategi pengelolaan pasien DM dengan
keluhan neuropati diabetik dibagimenjadi tiga
bagian:
1. Diagnosis neuropati diabetik sedini mungkin.
2. Kendali glukosa darah
3. Perawatan kaki sebaik- baiknya. Strategi
perawatan kaki dilakukan setelah pengendalian
glukosa darah.
77. Kejang
• Kejang merupakan perubahan fungsi otak
mendadak dan sementara sebagai dari
aktivitas neuronal yang abnormal dan
pelepasan listrik serebral yang berlebihan.
(Betz & Sowden,2002)
EEG
• Elektro Enselo Grafi (EEG)
• suatu alat yang mempelajari gambar dari rekaman
aktifitas listrik di otak, termasuk teknik perekaman
EEG dan interpretasinya.
• Pembacaan EEG oleh dokter dijadikan acuan
untuk tindakan dan penanganan selanjutnya
kepada pasien.
• Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk
membantu menetapkan jenis dan focus dan
kejang.
78. Cerebellum
Terdiri dari 2 hemisfer yg dihubungkan oleh vermis
Terbagi atas 3 lobus:
1. Lobus anterior corpus cerebelli
2. Lobus posterior
3. Lobus flokulonodularis

Fungsi Cerebellum:
1. Koordinasi gerakan volunter
2. Keseimbangan tubuh
3. Tonus otot
4. Mekanisme memori & motor learning
Signs of cerebellar dysfunction.
• Tone & posture disturbance
– Atonia or hypotonia
– Attitude changes.
• Rotation of face to opposite side
• Lowering of shoulder.
• Outward rotation & abduction of leg.
– Deviation movements.
– Effect on deep reflexes. (weak & pendular)

Tuesday, March 19, 2019


Signs of cerebellar dysfunction.

• Equilibrium disturbance. (drunken gait)


• Movements disturbance.
– Ataxia
– Intention tremors
– Nystagmus.
– Dysarthria.
– Astasia.

Tuesday, March 19, 2019


Clinical tests of cerebellar
dysfunction.
• Upper limb • Lower limb.
– Finger nose test – Rombergs test.
– Diadokokinesia. – Tandem gait.
– Rebound phenomenon.
– Past pointing.

Tuesday, March 19, 2019


Tests .

Tuesday, March 19, 2019


79. Cedera Medulla Spinalis

• Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf


yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan
sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang
vertebra.
• Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis,
masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari
tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat
terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan
sementara ataupun permanen terjadi akibat dari
kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut
sebagai cedera medula spinalis.
Manifestasi lesi traumatik
• Komusio ,Kontusio,Laserasio,Perdarahan
Kompresi, Hemiseksi ,Transeksi medula spinalis
• Sindrom medula spinalis bagian anterior &
posterior
• Shok spinal
• Aktivitas refleks yg meningkat
Spinal Schock Phases
Spinal Shock vs Neurogenic Shock
Transeksi medula spinalis akan terjadi
masa Spinal Shok

• Semua gerakan volunter dibawah lesi hilang


secara mendadak
• Semua sensibilitas bawah lesi hilang
• Semua refleks hilang.
• Berlangsung 3-6 mg
PENATALAKSANAAN
1.Tentukan cedera medula spinalis akut?
2.Lakukan stabilisasi medula spinalis
3. Atasi gangguan fungsi vital yaitu airways, breathing
4.Perhatikan perdarahan dan sirkulasi,
hipotensi, shok neurogenik
5.Medical:
– methylprednisolon 30mg/kgBB iv bolus dalam 15
menit
– dilanjutkan 5,4mg/kgBB/jam iv hingga 24 jam bila
dosis inisial diberikan <3jam setelah trauma
– Atau dilanjutkan hingga 48 jam bila dosis inisial
diberikan 3-8jam post trauma
– Di atas 8 jam tidak ada pengaruh pemberian steroid.
80. Inervasi Otot Ekstraokuler

Goetz, Christopher G. Textbook of clinical neurology. 3rd ed. Philadelphia:


Saunders; 2007.
Goetz, Christopher G. Textbook of clinical neurology. 3rd ed. Philadelphia:
Saunders; 2007.
81. Jaras Visual
Serat serat akson sel ganglion retina

N.Optikus foramen optikum

Traktus optikus Khiasma optikum

Badan Genikulatum

Lateral Radiasio optikus

Korteks visuil sekitar fissura Calcarina


dari 1 titik cahaya jatuh pada
“corresponding points”masing
masing retina kanan dan kiri

Disampaikan ke satu titik


bersama di korteks visuil
daerah fissura calcarina

Dari titik lebih sentral


retina lebih ke belakang
korteks visuil
Dari makula / fovea di
puncaknya
Lesi Jaras Visual
82. TOXOPLASMOSIS
• Toxoplasma gondii Pada manusia infeksi
merupakan parasit toxoplasmosis gondii
intraseluler yang melalui makanan dapat
menyebabkan infeksi terjadi melalui dua
asimtomatik pada 80 % mekanisme :
manusia sehat, tetapi • makanan yang tercemar
menjadi berbahaya pada ookista yang berasal dari
ODHA. tinja kucing
• melalui daging yang
• Toxoplasmosis pada mengandung kista
ODHA terbanyak jaringan akibat kurang
disebabkan oleh matang dimasak.
reaktivasi infeksi laten.
Life cycle of Toxoplasma gondii. The cat is the definitive host in which the sexual phase of the cycle is
completed. Oocysts shed in cat feces can infect a wide range of animals, including birds, rodents, grazing
domestic animals, and humans. The bradyzoites found in the muscle of food animals may infect humans who eat
insufficiently cooked meat products, particularly lamb and pork. Although human disease can take many forms,
congenital infection and encephalitis from reactivation of latent infection in the brains of immunosuppressed
persons are the most important manifestations. CNS, central nervous system. (Courtesy of Dominique Buzoni-
Gatel, Institut Pasteur, Paris; with permission.)
• Ensefalitis toksoplasma (ET) merupakan
manifestasi utama toksoplasmosis pada
ODHA.
• Bila tidak medapat terapi profilaksis, ODHA
dengan serologi toksoplasma positif
mempunyai kemungkinan 30-50 % untuk
menderita ensefalitis toksoplasmosis.
Gejala klinis
• Demam, sakit kepala, deficit neurologic fokal
dan penurunan kesadaran merupakan
manifestasi klinis utama dari ensefalitis
toksoplasma.
• Hemiparesis merupakan deficit fokal yang
paling sering dijumpai  40-50 % kasus
• Kejang sebagai gejala utama dijumpai pada
15-30 % kasus.
• Gejala lain adalah ataksia, korea, dan
gangguan lapangan pandang.
Diagnosis
• Diagnosis presumtif ensefalitis toxoplasmosis
– berdasarkan gejala klinis neurologi yang progresif
pada ODHA dengan nilai CD4 < 200 sel/µl dan
disertai gambaran neuro imajing (CT/MRI) yang
sesuai.
• Pemeriksaan MRI lebih sensitive daripada CT
scan dalam menemukan lesi ensefalitis
toksoplasmosis.
Toxoplasmic encephalitis in a 36-year-old patient with AIDS. The multiple
lesions are demonstrated by magnetic resonance scanning (T1 weighted with
gadolinium enhancement). (Courtesy of Clifford Eskey, Dartmouth Hitchcock
Medical Center, Hanover, NH; with permission.)
Pemeriksaan serologi
• T gondii serologi berguna untuk mengidentifikasi
pasien terinfeksi HIV pada risiko toksoplasmosis
berkembang.
• Tes serologi yang digunakan umumnya paling
mendeteksi keberadaan anti-T gondii IgG dan
IgM
• Pada ensefalitis toksoplasma biasanya dijumpai
IgG yang positif, sedangkan IgM negatif
• Antara 97% dan 100% dari pasien terinfeksi HIV
dengan ensefalitis toksoplasma memiliki antibodi
IgG anti-T gondii.
– IgG titer puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi
Penatalaksanaan
• Standar terapi ensefalitis toksoplasma kombinasi
pirimetamin dan sulfadiazine.
• Keduanya bersifat aktif terhadap bentuk takizoit
yang menyebabkan kelainan patologik pada
ensefalitis toksoplasma, namun tidak aktif terhadap
bentuk kista jaringan.
• Karena itu untuk mencegah kekambuhan, setelah
terapi fase akut selesai, harus dilanjutkan dengan
terapi rumatan jangka panjang.
• Asam folinat (leukoforin), harus ditambahkan dalam
regimen standar untuk mencegah efek samping
toksisitas pirimetamin pada system hematologi.
83. Abses Serebri
• Infeksi supuratif fokal di dalam parenkim otak, diliputi oleh
kapsul bervaskular
• Faktor Predisposisi :
– Otiti media dan mastoiditis
– Sinusitis paranasal
– Infeksi pyogenik di torax atau bagian tubuh lainnya
– Trauma tembus kepala atau prosedur neurosurgery
– Infeksi dental
• Etiologi :
– Immunocompetent : Streptococcus spp. [anaerobic, aerobic, and
viridans (40%)], Enterobacteriaceae [Proteus spp., E. coli sp.,
Klebsiella spp. (25%)], anaerobes [e.g., Bacteroides spp.,
Fusobacterium spp. (30%)], and staphylococci (10%).
– Immunocompromised : HIV infection, organ transplantation,
cancer, or immunosuppressive therapy  Nocardia spp.,
Toxoplasma gondii, Aspergillus spp., Candida spp., and C.
neoforma
• Manifestasi klinis abses serebri bergantung dari lokasi abses,
lokasi fokus primer dan tingginya tekanan intrakranial

• Trias Klasik :
– Nyeri kepala : konstan, tumpul di sebelah atau seluruh kepala,
makin lama makin memberat
– Demam  muncul pada 50% pasien
– Defisit neurologis fokal  hemiparesis, aphasia, gangguan lapang
pandang, kejang
84. Tension Type Headache
• (TTH) adalah sakit kepala yang terasa seperti
tekanan atau ketegangan di dalam dan disekitar
kepala.
• Nyeri kepala karena tegang yang menimbulkan
nyeri akibat kontraksi menetap otot- otot kulit
kepala, dahi, dan leher yang disertai dengan
vasokonstriksi ekstrakranium.
• Nyeri ditandai dengan rasa kencang seperti pita di
sekitar kepala dan nyeri tekan didaerah
oksipitoservikalis.
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
Menurut International Headache Society Classification, TTH
terbagi atas 3 yaitu:
• Episodik tension-type headache,
• Chronik-tension type Headache, dan
• Headache of the tension type not fulfilling above criteria

Etiologi
• Tension (keteganggan) dan stress.
• Tiredness (Kelelahan).
• Ansietas (kecemasan).
• Lama membaca, mengetik atau konsentrasi
(eye strain)
• Posture yang buruk.
• Jejas pada leher dan spine.
• Tekanan darah yang tinggi.
• Physical dan stress emotional

The International Classification of Headache Disorders: 2nd


edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
Diagnosis TTH
• Diagnosis nyeri kepala sebahagian besar didasarkan atas keluhan, maka
anamnesis memegang peranan penting.
• Dari anamnesis, biasanya gejala terjadinya TTH terjadi setiap hari dan
terjadi dalam 10 kali serangan dalam satu hari.
• Durasi atau lamanya TTH tersebut dapat terjadi selama antara 30 menit
sampai dengan 7 hari.
• Nyerinya dapat bersifat unilateral atau bilateral, dan pada TTH tidak
adanya pulsating pain serta intensitas TTH biasanya bersifat ringan.
• Pada TTH pun terdapat adanya mual, muntah dan kelaian visual seperti
adanya fonofobia dan fotofobia
• Pemeriksaan tambahan pada TTH adalah pemeriksaan umum seperti
tekanan darah, fungsi cirkulasi, fungsi ginjal, dan pemeriksaan lain seperti
pemeriksaan neurologi (pemeriksaan saraf cranial, dan intracranial
particular), serta pemeriksaan lainnya, seperti pemeriksaan mental status.
• Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi (foto rontgen, CT Scan), Elektrofisiologik (EEG, EMG)

The International Classification of Headache Disorders: 2nd edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
Tatalaksana
• TTH umumnya mempunyai respon yang baik
dengan pemberian analgesik seperti ibuprofen,
parasetamol / asetaminofen, dan aspirin.
• Kombinasi Analgesik/sedative digunakan secara
luas (contoh , kombinasi analgesik/antihistamine
seperti Syndol, Mersyndol and Percogesic).
• Pengobatan lain pada TTH
termasuk amitriptyline / mirtazapine /
dan sodium valproate (sebagai profilaksis).
The International Classification of Headache Disorders: 2nd edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
ILMU
PSIKIATRI
85. GANGGUAN PENYESUAIAN (DSM-IV)
Klasifikasi (DSM-IV)
• Adjustment disorder with depressed mood
• Adjustment disorder with anxiety
• Adjustment disorder with mixed anxiety and
depressed mood
• Adjustment disorder with disturbance of conduct
• Adjustment disorder with mixed disturbance of
emotions and conduct
• Adjustment disorder, Unspecified
Afek Depresi vs Ansietas
Anxiety Depression
• Characterized by a sense of doubt  Feeling sad, and/or hopeless
and vulnerability about future  Lack of interest and enjoyment in
events. activities that used to be fun and
• Fear that those future prospects will interesting
be bad.  Physical aches and pains without
• Anxious thoughts physical cause; lack of energy
• Unexplained physical sensations  Difficulty concentrating,
(sweating, trembling, palpitation, remembering, and/or making
dyspnea, etc) decisions
• Avoidant or self protective behaviors  Changes in appetite and weight
 Unwelcome changes in usual sleep
pattern
 Thoughts of death and suicide
Tatalaksana Gangguan Penyesuaian
• Tatalaksana utama: PSIKOTERAPI
– Terapi keluarga
– Terapi relaksasi
– Cognitive behavior therapy

• Terapi medikamentosa dengan antidepresan.


– DOC: Antidepresan SSRI (Fluoxetine)
86. GANGGUAN SKIZOAFEKTIF
 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama
menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa
hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan
bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi
kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif.
 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyaki yang berbeda.

 Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah


mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi Pasca-
skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang,
baik berjenis manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau campuran dari
keduanya (F25.2). Pasien lain mengalami satu atau dua episode manik atau
depresif (F30-F33)

PPDGJ-III
Skizofrenia vs Skizoafektif vs
Gangguan Mood dengan Gejala Psikotik
Skizofrenia Skizoafektif Gangguan mood disertai
gejala psikotik

Gejala Kronik, sejak awal Kronik, sejak awal Hanya ada setelah episode
psikotik onset sakit onset sakit gangguan mood terjadi

Gangguan Tidak ada, atau ada Ada terus menerus Ada, memenuhi kriteria
mood tetapi tidak selama sakit diagnosis gangguan mood
menonjol berlangsung. Gejala (manik/ depresi)
mayor gangguan mood
belum tentu ada

Lama Kronik Kronik Episodik


penyakit
87. GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR

1 atau lebih
1 atau lebih Gangguan
Gangguan episode
episode afektif
mood mania atau
depresi bipolar
hipomania

Dengan/ tanpa Episode kini


psikosis? manik/ depresi?
Pedoman Diagnosis Gangguan Bipolar
(PPDGJ-III)
• Ditandai setidaknya 2 episode yang menunjukkan
pada 1 waktu tertentu terjadi peninggian mood
dan energi (mania/hipomania), dan pada 1 waktu
lain berupa penurunan mood dan energi
(depresi).
• Ada periode penyembuhan sempurna antar
episode.
• Manik terjadi tiba-tiba, lamanya antara 2 minggu-
5 bulan.
• Depresi biasanya terjadi selama 6 bulan-1 tahun.
Episode Manik (DSM-IV)
Bipolar Tipe I dan II

Gangguan bipolar

Bipolar tipe I Bipolar tipe II

1 atau lebih Episode depresi


episode manik, Pada pria dan berulang dan Lebih sering pada
dapat disertai wanita episode wanita
gejala psikotik hipomanik

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17696573
Bipolar tipe I dan II
Keterangan:
Pada bipolar tipe II,
episode peningkatan
mood lebih ke arah
hipomanik.

Pada bipolar tipe I,


episode peningkatan
mood lebih berlebihan
(full-blown manik, bisa
disertai dengan gejala
psikotik)

http://www.medscape.com/viewarticle/754573
88. GANGGUAN TIDUR
• Gangguan tidur non organik mencakup :
– Disomnia: kondisi psikogenik primer dengan ciri
gangguan pada jumlah, kualitas atau waktu tidur
 insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal
tidur
– Parasomnia: peristiwa episodik abnormal selama
tidur. Pada masa kanak ada hubungan dengan
perkembagan anak, pada orang dewasa berupa
 somnabulisme, night terror, nightmare
INSOMNIA
Menurut DSM IV
• Sulit memulai atau mempertahankan tidur
• Tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan
• Menyebabkan gangguan fungsi yang signifikan pada individu

INSOMNIA AKUT INSOMNIA KRONIK


• Terjadi pada 1 malam dalam • Terjadi pada 3 malam dalam
beberapa minggu seminggu, terjadi selama
• Etiologi: minimal 1 bulan
- Stres psikologis (pekerjaan, • Etiologi:
kehidupan cinta) - Gangguan cemas
- Jet lag - Depresi
- Stres kronik
- Nyeri kronik
Klasifikasi Insomnia
Berdasarkan etiologinya, insomnia dapat
dibedakan menjadi:
• Insomnia primer, yaitu insomnia yang tidak
disebabkan oleh kondisi medis atau efek obat-
obatan

• Insomnia sekunder, insomnia yang disebabkan


oleh suatu penyakit/kondisi medis yang
mendasari, atau sebagai efek dari obat-obatan.
Klasifikasi Insomnia
• Early insomnia (initial insomnia/ sleep onset insomnia), yaitu
kesulitan untuk memulai tidur yang ditandai dengan perpanjangan
masa laten tidur (waktu dari berbaring hingga tertidur). Gangguan
ini sering berkaitan dengan gangguan cemas.

• Middle insomnia (sleep maintenance insomnia), merupakan


kesulitan untuk mempertahankan tidur. Gangguan ini ditandai
dengan seringnya terbangun di malam hari dan suliit memulai tidur
lagi, dan sering berkaitan dengan penyakit organik, nyeri, dan
gangguan depresi.

• Terminal insomnia (late insomnia/ early morning wakening


insomnia) ditandai dengan bangun lebih pagi dari yang diperlukan
secara terus menerus. Gangguan ini berkaitan dengan depresi.
Prinsip tatalaksana non farmakologis
• Terapi pilihan utama: Cognitive Behavioural Therapy
(CBT)
• Tatalaksana non-farmakologis:
1. Sleep hygiene (mengurangi kafein dan alkohol di
malam hari, mengurangi menonton TV atau meliha
handphone sebelum tidur)
2. Terapi kognitif: memperbaiki pola pikir dan
kecemasan
3. Terapi relaksasi
4. Terapi kontrol stimulus: menggunakan tempat tidur
hanya untuk tidur dan aktivitas seksual, tidak
berbaring sebelum mengantuk
5. Terapi restriksi tidur: membatasi waktu berbaring di
tempat tidur mulai dari 5 jam per hari
• Sulit memulai tidur
• Memanjangnya masa laten tidur EARLY INSOMNIA
(waktu dari berbaring hingga tidur) - Sleep onset-
• Sering berkaitan dengan gangguan
cemas
DOC: short acting
benzodiazepine
Alprazolam
• Bangun lebih pagi
• Sulit mempertahankan tidur


Sering terbangun di malam hari
Sulit memulai tidur lagi
INSOMNIA dari biasanya
• Terus menerus
• Berkaitan dengan
• Korelasi: penyakit organik, nyeri,
depresi
dan depresi

MIDDLE INSOMNIA LATE INSOMNIA


- Sleep mainenance - - Terminal -
DOC: Long acting Alternative: DOC: Long acting
benzodiazepine amitriptilin, doksepin, benzodiazepine
mirtazapine
Lorazepam Lorazepam
Obat Golongan Benzodiazepin
89. PERVASIVE DEVELOPMENTAL
DISORDER (PDD)

mild severe

Asperger’s PDD Not Autistic Rett’s disorder Childhood


disorder Otherwise disorder disintegrative
Classified disorder
(PDD-NOS)

Autism spectrum disorder (ASD)


Autism Spectrum Disorder (ASD)
Asperger, PDD-NOS, Autism
PDD-NOS Autism Asperger
Impaired social interaction Impaired social interaction Impaired social interaction

OR AND AND

Impaired communication Impaired communication Normal communication/


language development
OR AND
AND
Restricted repetitive and Restricted repetitive and
stereotyped patterns or stereotyped patterns or Restricted repetitive and
behaviors behaviors stereotyped patterns or
behaviors
Rett Syndrome (DSM-IV)
Childhood Disintegrative Disorder
(DSM-IV)
90. NYERI PSIKOGENIK/ NYERI
SOMATOFORM (DSM-IV)
• Pain in one or more anatomical sites is the predominant
focus of the clinical presentation and is of sufficient severity
to warrant clinical attention.
• The pain causes clinically significant distress or impairment
in social, occupational, or other important areas of
functioning.
• Psychological factors are judged to have an important role
in the onset, severity, exacerbation, or maintenance of the
pain.
• The symptom or deficit is not intentionally produced or
feigned
• The pain is not better accounted for by a Mood, Anxiety, or
Psychotic Disorder and does not meet criteria for
Dyspareunia.
91. GEJALA
ANSIETAS
ANSIETAS
Diagnosis Characteristic
Gangguan panik Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan perasaan akan
datangnya kejadian menakutkan.
Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya provokasi
dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif bebas dari gejala di
antara serangan panik.
Tanda fisis:Takikardia, palpitasi, dispnea, dan berkeringat.
Serangan umumnya berlangsung 20-30 menit, jarang melebihi 1 jam.
Tatalaksana: terapi kognitif perilaku + antidepresan.
Gangguan fobik Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau situasi,
antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera, dan
kematian.
Gangguan Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku dalam waktu
penyesuaian <3 bulan dari awitan stresor. Tidak berhubungan dengan duka cita
akibat kematian orang lain.
Gangguan cemas Ansietas berlebih terus menerus berlangsung setiap hari sampai bbrp
menyeluruh minggu disertai Kecemasan (khawatir akan nasib buruk), ketegangan
motorik (gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas
otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan
gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita).
92. WAHAM
• Waham merupakan suatu perasaan keyakinan
atau kepercayaan yang keliru, berdasarkan
simpulan yang keliru tentang kenyataan
eksternal, tidak konsisten dengan intelegensia
dan latar belakang budaya pasien, dan tidak
bisa diubah lewat penalaran atau dengan jalan
penyajian fakta.
Jenis Waham
Waham Karakteristik
Bizzare keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh
Sistematik keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung dengan satu
tema/kejadian.
Nihilistik perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia tidak ada
atau menuju kiamat.
Somatik perasaan yang keliru yang melibatkan fungsi tubuh.
Paranoid termasuk didalamnya waham kebesaran, waham kejaran/presekutorik,
waham rujukan (reference), dan waham dikendalikan.
Kebesaran/ keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya
grandiosity adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar.
Kejar/ mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau
persekutorik yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya.
Rujukan/ selalu berprasangka bahwa orang lain sedang membicarakan dirinya dan
delusion of kejadian-kejadian yang alamiah pun memberi arti khusus/berhubungan
reference dengan dirinya
Jenis Waham
Waham Karakteristik
Kendali keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya
dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya:
thought of withdrawal, thought of broadcasting, thought of
insertion.
Thought of withdrawal waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau
kekurangannya.
Thought of insertion/ waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau kekuatan
sisip pikir lain.
Thought of waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang lain, tersiar
broadcasting/ siar pikir di udara.
Cemburu keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis
tentang pasangan yang tidak setia.
Erotomania keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa
seseorang sangat mencintainya.
93. DEPRESI PADA ANAK & REMAJA
PEDOMAN DIAGNOSIS:
• Adanya mood depresi dan kehilangan minat terhadap
kesukaannya, disertai setidaknya 3 gejala berikut:
– Penurunan berat badan >5% dalam 1 bulan atau
penurunan nafsu makan
– Insomnia atau hipersomnia
– Agitasi
– Mudah lelah
– Rasa bersalah atau merasa tidak berharga
– Sulit berkonsentrasi
– Ide berulang tentang kematian atau bunuh diri
• Terjadi selama minimal 2 minggu

DSM-V
Gejala Lain Depresi pada Anak & Remaja

• Selain kriteria diagnosis DSM-V, dapat pula


muncul gejala seperti:
• Kesedihan yang berkepanjangan
• Keluhan tubuh non spesifik
• Penurunan prestasi belajar
• Tidak mau sekolah
• Ketergantungan alkohol atau zat psikoaktif
• Mudah marah
• Ceroboh, mudah melakukan kesalahan
Prinsip Terapi
• Terapi non farmakologi meliputi psikoedukasi,
terapi suportif, melibatkan keluarga dan sekolah,
serta cognitive behavior therapy (CBT)
• Pemberian antidepresan selama 6-12 bulan
• Kemajuan pengobatan dinilai dengan skoring,
seperti Beck Depression Inventory, Children’s
Depression Inventory, dll.
• Penghentian antidepresan yang tiba-tiba tidak
dianjurkan
.Journal of the American Academy of Child and Adolescent
Psychiatry, vol. 48 (2): 186–195
Tatalaksana Farmakologis
• Antidepresan, dapat berupa golongan:
– Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
– Tricyclic Antidepressants (TCA)
– Heterocyclic (Amoxapine, Maprotiline)
– MAO Inhibitor
– Bupropion
– Venlafaxine
– Nefazodone

DRUG OF CHOICE: GOLONGAN SSRI

http://emedicine.medscape.com/article/914192-medication
Antidepresan yang digunakan
pada anak dan remaja
Golongan SSRI: Golongan Trisiklik:
• Fluoxetine • Imipramine
• Paroxetine • Nortriptilyne
• Sertraline • Desipramine
• Fluvoxamine • Amitriptilin
• Citalopram

• FDA merekomendasikan
Fluoxetine paling aman
untuk anak dan remaja.

http://emedicine.medscape.com/article/914192-medication
94. OBAT PSIKOAKTIF
• Secara umum, sering dibagi menjadi 3
golongan utama berdasarkan gejalanya, yaitu:
– Golongan depresan
– Golongan stimulan
– Golongan halusinogen
Depressant
• Zat yang mensupresi, menghambat dan menurunkan aktivitas CNS.
• Yang termasuk dalam golongan ini adalah sedatives/hypnotics,
opioids, and neuroleptics.
• Medical uses sedation, sleep induction, hypnosis, and general
anaesthesia.
• Contoh:
– Alcohol dalam dosis rendah, anaesthetics, sleeping pills, and opioid
drugs such as heroin, morphine, and methadone.
– Hipnotik (obat tidur), sedatif (penenang) benzodiazepin
• Effects:
– Relief of tension, mental stress and anxiety
– Warmth, contentment, relaxed detachment from emotional as well
as physical distress
– Positive feelings of calmness, relaxation and well being in anxious
individual
– Relief from pain
Stimulants
• Zat yang mengaktivkan dan meningkatkan aktivitas CNS
psychostimulants
• Memiliki berbagai efek fisiologis
– Perubahan denyut jantung, dilatasi pupil, peningkatan TD, banyak
berkeringat, mual dan muntah.
– Menginduksi kewaspadaan, agitasi, dan mempengaruhi penilaian
• Penyalahgunaan kronik akan menyebabkan perubahan kepribadian
dan perilaku seperti lebih impulsif, agresif, iritabilitas, dan mudah
curiga
• Contoh:
– Amphetamines, cocaine, caffeine, nicotine, and synthetic appetite
suppressants.
• Effects:
– feelings of physical and mental well being, exhilaration, euphoria,
elevation of mood
– increased alertness, energy and motor activity
– postponement of hunger and fatigue
Hallucinogens (psyche delics)
• Zat yang merubah dan mempengaruhi persepsi, pikiran, perasaan, dan
orientasi waktu dan tempat.
• Menginduksi delusi, halusinasi, dan paranoia.
• Adverse effects sering terjadi
– Halusinasi yang menakutkan dan tidak menyenangkan (“bad trips”)
– Post-hallucinogen perception disorder or flashbacks
– Delusional disorder persepsi bahwa halusinasi yang dialami nyata, setelah
gejala mereda
– mood disorder (anxiety, depression, or mania).
• Effects:
– Perubahan mood, perasaan, dan pikiran“mind expansion”
– Meningkatkan kepekaan sensorismore vivid sense of sight, smell, taste and
hearing
– dissociation of body and mind
• Contoh:
– Mescaline (the hallucinogenic substance of the peyote cactus)
– Ketamine
– LSD
– psilocybin (the hallucinogenic substance of the psilocybe mushroom)
– phencyclidine (PCP)
– marijuana and hashish
95-96. GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL
Gejala Ekstrapiramidal
Karakteristik
Akathisia Gelisah dan merasa perlu bergerak terus. Menggerakkan kaki mengetuk lantai (foot
tapping atau toe tapping). Gejala ini berkurang saat tidur atau pada posisi berbaring.
Pasien merasa tertekan bila tidak dapat bergerak.

Dystonia Kelainan neurologis dimana terdapat kontraksi otot yang terus-menurus sehingga
mengakibatkan gerakan repetitif dan twisting atau postur yang abnormal. Dapat
melibatkan punggung, leher, ekstremitas atas dan bawah, rahang, dan laring. Bisa
terjadi kesulitan menelan, bernapas, bicara, dan menggerakkan leher.
Oculogyric crisisDeviasi keatas bola mata yang ekstrim disertai dengan konvergen,
menyebabkan diplopia. Berkaitan dengan fleksi posterolateral dari leher dan dengan
mulut terbuka atau rahang terkunci.

Parkinsonism Tremor, rigiditas, dan kelambatan bergerak, yang melibatkan batang tubuh dan
ekstremitas. Kesulitan berdiri dari posisi duduk, postur tidak seimbang, muka
topeng.
Tardive dyskinesia Gerakan koreatetoid abnormal yang melibatkan regio orofasial dan lidah. Lebih
jarang mengenai ekstremitas dan batang tubuh. Ada gerakan mulut mencucu,
gerakan mengunyah, dan lidah menjulur. Gejala tidak menimbulkan nyeri, namun
menyebabkan penderitanya malu di depan umum.

http://www.uspharmacist.com/content/c/10205/?t=women%27s_health,neurology
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal
• Yang terpenting adalah Pencegahan
– Setiap pasien yang menerima antipsikotik harus
dievaluasi dan dimonitor terhadap munculnya
gejala ekstrapiramidal.

• Obat yang mencetuskan gejala ekstrapiramidal


harus dikurangi dosisnya atau distop, dan
diganti dengan obat antipsikotik lain yang
risiko gejala ekstrapiramidalnya lebih rendah.
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal
TARDIVE DYSKINESIA
• Obat yang menyebabkan gejala
AKATHISIA dikurangi dosisnya atau dihentikan.
• Obat yang menyebabkannya • Bila sedang mendapat
dihentikan atau dikurangi antimuskarinik, harus dihentikan
dosisnya. juga.
• Ganti obat menjadi antipsikotik • Ganti antipsikotik menjadi
atipikal atipsikotik atipikal
• Diberikan antimuskarinik atau • Tatalaksana ansietas
beta bloker • Pada diskinesia fokal, dapat diberi
• Obat lain: amantadine, toksin Botulinum
amiitriptilin, benzodiazepin, • Obat lain: amantadine,
klonidin, kodein, benzodiazepine, levetiracetam,
siproheptadine, mirtazaine. pregabalin, vitamin E, dopamin-
depleting-agent
• Deep brain stimulation
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal

DYSTONIA
• Hentikan atau turunkan dosis • PARKINSONISME
obat yang menyebabkan • Hentikan atau turunkan dosis
distonia. obat yang menyebabkan gejala.
• Ganti obat menjadi golongan • Ganti obat menjadi golongan
antipsikotik atipikal antipsikotik atipikal
• Berikan obat-obatan • Obat lain: Amantadine, golongan
antimuskarinik antimuskarinik, agonis dopamin,
• Tatalaksana ansietas levodopa
• Pada distonia fokal , dapat diberi
toksin Botulinum
• Pemberian relaksan otot,
dopamin-depleting agent Contoh obat antimuskarinik:
• Deep brain stimulation Triheksifenidil, Benztropine
97. PEDOMAN DIAGNOSIS
GANGGUAN CEMAS MENYELURUH (PPDGJ-III)
• Penderita harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yg
harus berlangsung setiap hari untuk beberapa minggu sampai
beberapa bulan.

• Gejala tersebut mencakup unsur-unsur:


– Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seprti diujung tanduk
dan nasib buruk)
– Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak santai)
– Overaktivitas otonomik (kepala terasa sakit, keringatan, jantung
berdebar-debar, sesak napas, kelujhan lambung, pusing kepala)

• Pada anak-anak sering terlihat kebutuhan berlebihan untuk


ditenangkan & keluhan somatik berulang yg menonjol.

• Adanya gejala lain yg sifatnya sementara, khususnya untuk depresi,


tidak membatalkan diagnosis utama gangguan cemas menyeluruh
selama tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif.
Tatalaksana
Gangguan
Cemas
Menyeluruh
98. GANGGUAN KEPRIBADIAN
Gangguan Kepribadian Narsistik
(DSM-IV)
Gangguan Waham Menetap (DSM-IV)
Jenis Gangguan Waham Menetap
(DSM-IV)
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
99. PITIRIASIS ROSEA
• Eksantema sering akibat virus dan dihubungkan dengan ISPA, bersifat self
limiting disease (6-8 minggu), terkadang bisa dicetuskan oleh obat-obatan

• Etiologi & Faktor Risiko


• Obat-obatan, kehamilan, ISPA, STD, penyakit kulit lain

• Perjalanan Penyakit
• Lesi inisial berbentuk eritema berskuama halus dengan kolaret (herald patch) 
membesar  disusul oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas,
tersusun sesuai lipatan kulit (inverted chrismas tree appearance)
• Kadang disertai gejala prodromal: malaise, lelah, sakit kepala, mual muntah, demam
dan atralgia

Herald patch with collarette of scale at the margin

Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI hal 197
Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
Ptiriasis Rosea: Pemeriksaan dan Tatalaksana
• Pemeriksaan
– Laju endap darah >>
– KOH  untuk membedakan dgn
tinea korporis
– VDRL untuk membedakan dengan
sifilis II

• Tatalaksana
– Suportif
• Zinc oxide, antihistamin oral
dan kalamin untuk pruritus
– Steroid topikal/oral (kurang
direkomendasikan)  lesi luas
– UV B fototerapi untuk pruritus

Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
http://emedicine.medscape.com/article/1107532-treatment#d8
100. Tinea kapitis
• Kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh dermatofit

• Bentuk klinis:
– Grey patch ringworm (biasanya disebabkan
Microsporum)
• Papul merah yang melebar, membentuk bercak, pucat,
bersisik. Rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat, mudah
patah dan tercabut. Lampu Wood: hijau kekuningan.
– Kerion (Microsporum atau Tricophyton)
• Reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, pembengkakan
menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang.
Dapat menimbulkan jaringan parut dan alopesia menetap.
Fluoresensi (+/-)
– Black dot ringworm (biasanya disebabkan
Tricophyton tonsurans dan Trycophyton violaceum)
• Rambut yang terkena infeksi patah pada muara folikel, dan
yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora
(black dot). Fluoresensi (-)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
3 Pola Invasi Rambut pada Tinea Kapitis
E C TOT H R I X E N D OT H R I X
• Fluoresen kuning • Tanpa fluoresen • Fluoresen abu • Tanpa fluoresen
kehijauan terang – M. fulvum kehijauan kusam – T. gourvillii
– Microsporum – M. Gypseum – Trichophyton – T. Soudanense
audouinii – T. Megninii schoenleinii – T. tonsurans
– M. canis – T. Mentagrophytes – T. Violaceum
– M. Ferrugineum – T. Rubrum – T. Yaoundei
– T. verrucosum
Drug of Choice Dermatofita

D E R M ATO F I TA DOC
Tinea Kapitis • Griseofulvin: DOC untuk spesies Microsporum
• Terbinafin: DOC untuk spesies Trichophyton

Tinea barbae, tinea manum, • Mengenai struktur kulit bagian dalam  butuh terapi
Tinea korporis luas sistemik
• DOC: Terbinafin, itrakonazol, flukonazol

Tinea facialis, Tinea korporis, • Mengenai struktur kulit superfisial  terapi topikal
tinea kruris, tinea pedis • DOC: grup alilamin (terbinafin, naftifin)

Tinea Unguium • Oral lebih baik dibanding topikal


• DOC: Terbinafin
Tatalaksana Tinea Kapitis (PERDOSKI 2017)
• Topikal: tidak disarankan bila hanya terapi topikal saja.
 Rambut dicuci dengan sampo antimikotik: selenium sulfida 1% dan 2,5% 2-4
kali/minggu atau sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali selama 2-4 minggu
• Sistemik
 Spesies Microsporum
• DOC: griseofulvin fine particle/microsize 20-25 mg/kgBB/hari dan
ultramicrosize 10-15 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
• Alternatif:
• Itrakonazol 50-100 mg/hari atau 5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu.
• Terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg
dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 4 minggu.
 Spesies Trichophyton:
• DOC: terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40
kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 2-4 minggu
• Alternatif :
• Griseofulvin 8 minggu9-10
• Itrakonazol 2 minggu11-12
• Flukonazol 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu
PPK Perdoski 2017
101. Pedikulosis

• Infeksi kulit/rambut pada manusia yang


disebabkan Pediculus

• 3 macam infeksi pada manusia


– Pedikulosis kapitis: disebabkan Pediculus humanus
var. capitis
– Pedikulosis korporis: disebabkan pediculus
humanus var. corporis
– Pedukulosis pubis: disebabkan Phthirus pubis

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis kapitis
• Infeksi kulit dan rambut kepala
• Banyak menyerang anak-anak dan higiene buruk
• Gejala
• Mula-mula gatal di oksiput dan temporal, karena garukan
terjadi erosi, ekskoriasi, infeksi sekunder
• Diagnosis
• Menemukan kutu/telur, telur berwarna abu-abu/mengkilat
• Pengobatan
• Malathion 1%, gameksan 1%,
benzil benzoat 25%
Pedikulosis korporis
• Biasanya menyerang orang dewasa dengan higiene buruk
(jarang mencuci pakaian)
• Kutu melekat pada serat kapas dan hanya transien ke kulit
untuk menghisap darah
• Gejala
• Hanya bekas garukan di badan
• Diagnosis
• Menemukan kutu/telur pada serat kapas pakaian
• Pengobatan
• Gameksan 1%, benzil benzoat 25%,
malathion 2%, pakaian direbus/setrika
Pedikulosis pubis
• Infeksi rambut di daerah pubis dan sekitarnya
• Menyerang dewasa (tergolong PMS), dapat
menyerang jenggot/kumis
• Dapat menyerang anak-anak, seperti di alis/bulu
mata dan pada tepi batas rambut kepala
• Gejala
• Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat meluas ke
abdomen/dada, makula serulae (sky blue spot), black
dot pada celana dalam
Pedikulosis Pubis: Tatalaksana
• Pengobatan
• Permetrin 1% lotion
• Membunuh kutu namun tidak dengan telur  pengobatan
kedua 9 hari setelah pengobatan pertama
• Untuk bayi > 2 bulan

• Malathion 0,5% lotion


• Juga membunuh kutu
• Untuk anak > 6 tahun

• Gameksan 1%,

http://emedicine.medscape.com/article/225013-treatment#d11
Sky Blue Spot/ Macula cerulae
102. Miasis Kutaneus
• Miasis adalah kontaminasi tubuh
oleh larva lalat ordo Diptera

• Biasanya pada luka terbuka yang


tidak bersih dan menyebabkan
larva bisa sampai ke luka
tersebut

• Secara klinis dikelompokkan


menjadi
– Furunkular
– Creeping
– Traumatik/Wound
– Anal/Vaginal
Miasis Kutaneus: Miasis Furunkular
• Penetrasi dari larva lalat kedalam kulit yang sehat  nodul
eritematosa serupa furunkel dengan satu/lebih belatung
didalamnya

• Dapat berbentuk vesikular, bula, pustular, erosif, ekimosis, dan


lesi ulseratif

• Tatalaksana
– Aplikasi substansi toksik ke larva dan telur
– Hipoksia terlokalisir untuk memaksa larva
keluar (petrolatum, polimiksin B, ivermektin
1% topikal dll)
– Pengeluaran mekanis atau operatif dari
belatung
– Kontrol infeksi sekunder

cmr.asm.org
Miasis Kutaneus: Miasis Migratori
• Saat belatung bermigrasi melalui terowongan bawah
kulit  tidak mampu menyelesaikan siklus hidup dalam
kulit manusia

• Diagnosis
– Pemberian 1-2 tetes mineral oil pada lesi  dilihat dengan
kaca pembesar

• Tatalaksana
– Insisi, operasi eksisi
– Obat oral: albendazol atau ivermektin
untuk imobilisasi parasit
Miasis Kutaneus: Wound Miasis
• Saat larva lalat terinfestasi pada luka terbuka

• Diagnosis
– Inspeksi klinis
– Nyeri, sensasi bergerak, adanya luka yang bernanah dan berbau

• Tatalaksana
– Debridement
– Ambil semua larva yang terlihat
– Irigasi
– Kloroform 15% dalam minyak zaitun  imobilisasi larva
– Ivermektin 1% topikal dalam larutan propilen glikol diaplikasikan pada suka
selama 2 jam dan dibersihkan dengan larutan
garam
103. Pioderma
• Folikulitis (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut yang
ditandai dengan papul eritema perifolikuler dan rasa gatal atau
perih.

• Furunkel (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut dan


jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau pustul
perifolikuler dengan eritema di sekitarnya dan disertai rasa
nyeri.

• Furunkulosis: beberapa furunkel yang tersebar.

• Karbunkel (Staph. Aureus): kumpulan dari beberapa furunkel,


ditandai dengan beberapa furunkel yang berkonfluensi
membentuk nodus bersupurasi di beberapa puncak.
• Impetigo krustosa/vulgaris/ kontagiosa/
Tillbury Fox (Strep. Beta hemolyticus) :
peradangan  vesikel yang dengan cepat
berubah menjadi pustul  pecah krusta
kering kekuningan seperti madu. Predileksi
spesifik lesi terdapat di sekitar lubang
hidung, mulut, telinga atau anus.

• Impetigo bulosa/ cacar monyet (Staph.


Aureus): peradangan yang memberikan
gambaran vesikobulosa dengan lesi bula
hipopion (bula berisi pus)

• Ektima (Strep. Beta hemolyticus):


peradangan yang menimbulkan kehilangan
jaringan dermis bagian atas (ulkus dangkal).
Tatalaksana Pioderma (PERDOSKI 2017)
• Jaga hygiene
• Angkat krusta bila ada
• Topikal
 Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka dengan permanganas kalikus 1/5000, asam
salisilat 0,1%, rivanol 1‰, larutan povidon iodine 1%; dilakukan 3 kali sehari masing-masing
ó-1 jam selama keadaan akut.
 Bila tidak tertutup pus atau krusta: salep/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2%. Dioleskan 2-
3 kali sehari, selama 7-10 hari.
• Sistemik: minimal selama 7 hari
• Lini pertama:
 Kloksasilin/dikloksasilin**: dewasa 4x250-500 mg/hari per oral; anak-anak 25-50
mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis (A,1)
 Amoksisilin dan asam klavulanat: dewasa 3x250-500 mg/hari; anak-anak 25 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 3 dosis (A,2)
 Sefaleksin: 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis. (A,2)
• Lini kedua:
 Azitromisin 1x500 mg/hari (hari 1), dilanjutkan 1x250 mg (hari 2-5) (D,5)
 Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis. (A,2)
 Eritromisin: dewasa 4x250-500 mg/hari; anak-anak 20-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis
104. Dermatitis popok
• Dermatitis popok disebut juga napkin dermatitis
atau diaper dermatitis.
• Merupakan dermatitis akut yang terjadi di daerah
genitokrural sesuai dengan tempat kontak popok
(bagian cembung).
• Terutama dijumpai pada bayi akibat memakai popok

Perdoski 2017
Uptodate
Gejala Klinis Dermatitis popok
• Faktor resiko: kontak lama dengan popok yang basah oleh urin dan atau
feses.
• Predileksi: bokong, area perianal, genital, paha bagian dalam dan daerah
pinggang, sesuai dengan area kontak popok.
• Pada anak frekuensi tertinggi pada usia 9-12 bulan dan 12-24 bulan.
• Lesi:
 Makula eritematosa.
 Berbatas agak tegas (bentuk mengikuti bentuk popok yang berkontak,
mons pubis, skrotum pinggang dan perut bagian bawah)
 Papul, vesikel, pustul, erosi, maserasi ringan dan eskoriasi.
• Pada stadium lanjut gambaran klinis lebih berat (Jacquet’s dermatitis)
dapat menjadi erosi, nodul, infiltrat dan ulserasi.
• Jika >3 hari kemungkinan terinfeksi jamur kandida tampak plak
eritematosa (merah cerah), lesi lebih basah disertai maserasi, berbatas
tegas, didaerah tepi lesi terdapat papul, pustul, kadang terdapat lesi
satelit.

Perdoski 2017
Uptodate
Ruam Popok
• Faktor inisial: Kelembaban kulit (keringat/ urine yang tidak dapat
menyerap)  berlangsung lama  mudah terjadi friksi antar
kulit/ antara kulit dengan popok  kerusakan sawar kulit
• Faktor lain: Kontak daerah popok dengan urin, feses, enzim
proteolitik dan lipolitik dari saluran cerna, peninggian pH kulit
dan paparan mikroorganisme atau bahan iritan/alergen
• Urin  pemecahan urea menjadi amonia  meningkatkan pH
kulit  meningkatkan aktifitas enzim protease dan lipase 
kerusakan sawar kulit  meningkatkan permeabilitas kulit 
memudahkan mikroorganisme dan bahan-bahan iritan/alergen
masuk melalui kulit dan menimbulkan gangguan dikulit

dr. Chairiyah Tanjung, Dermatitis Popok


Patogenesis

Feses

Chemical irritants
Bakteriurease Tertampung Friksi Iritasi kulit
(urin, feses)
popok berulang
Interaksi
Dermatitis
Urin

Peningkatan pH Enzim urease Iritasi kulit

Perdoski 2017
Uptodate
Tatalaksana (PERDOSKI 2017)
Tatalaksana (PERDOSKI 2017)
Non medikamentosa:
 Daerah popok dibersihkan setiap kali sesudah buang air besar.
 Sesudah dibersihkan, gunakan krim untuk mencegah penetrasi bahan iritan.
 Dapat digunakan zinc oxide, dimetikon, lanolin, dan petrolatum
Medikamentosa:
• Prinsip: proteksi kulit dari feses dan urin, menekan inflamasi dan mengatasi terjadinya
infeksi sekunder. Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi
sebagai berikut:
 Topikal:
 Bila ringan: krim/salep yang bersifat protektif seperti seng oksida, pantenol, lanolin,
dan petrolatum jelly.
 Kortikosteroid potensi lemah hingga sedang (salep hidrokortison 1%/2,5%) waktu
singkat.
 Bila terinfeksi kandida: antifungal kandida yaitu nistatin atau derivat azol mikonazol,
flukonazol, klotrimazol4-6, atau kombinasi mikonazol nitrat dengan seng oksida dan
petrolatum.
 Bila terinfeksi bakteri: diberikan mupirosin 2 kali sehari.
 Sistemik:
 Bila terjadi infeksi bakteri yang berat pada bayi yang lebih tua, dapat diberikan
amoksisilin klavulanat, klindamisin, sefaleksin atau trimetoprimsulfametoksasol.
Analisis Soal
• Riwayat popok yang hanya diganti 1x/hari dengan
adanya eritema berbatas tegas, plakat dengan papul
disekeliling dan krusta berwarna kuning, serta tidak
ditemukan adanya bukti infeksi jamur ataupun bakteri
• Tatalaksana yang paling tepat di soal adalah dengan
menggunakan krim steroid potensi ringan seperti
hidrokostison 1%.
• Zinc sulfate merupakan sediaan zinc yang umumnya
dalam bentuk kapsul.
• Sediaan zinc yang biasanya digunakan untuk aplikasi
kulit ialah zinc oxide.
105. Morbus Hansen
• Etiologi: M. Leprae • Pemeriksaan Histopatologi (Biopsi)
• Pemeriksaan Fisik – Histiosit: makrofag di kulit, sel
Virchow/sel lepra/foamy cell
– Sensibilitas kulit: Bercak mati rasa, tidak
gatal, parastesia – Granuloma: akumulasi makrofag/
derivat-derivatnya
– Pemeriksaan saraf tepi: N. facialis, N.
Auricularis magnus, N. radialis, N, • Pemeriksaan Bakteriologi: BTA dari
medianus, N. peroneus communis, N. sediaan kerokan jaringan kulit atau
ulnaris, N. tibialis posterior mengambil sekret hidung mukosa.
– Lagophthalmos, iridocyclitis, ulserasi Jumlah pengambilan sediaan apus
kornea, dan/atau katarak sekunder jaringan kulit minimal dilaksanakan di
akibat kerusakan saraf atau invasi tiga tempat, yaitu cuping telinga kiri,
bakteri secara langsung cuping telinga kanan, bercak yang
– Wasting dan kelemahan otot paling aktif
– Foot drop or clawed hands • Pemeriksaan Imunologi
– Ulserasi pada tungkai atas atau bawah – Imunoglobulin: IgM dan IgG
yang tidak nyeri – Lepromin Skin test
Kusta tipe MB berdasarkan Jopling
Kusta tipe PB berdasarkan Jopling
Tipe Kusta Menurut WHO
Flowchart of Diagnosis & Classification
Pengobatan Kusta
Analisis Soal
• Bercak berwarna putih yang tidak gatal dan
disertai rasa tebal pada telapak kaki dan
sering kesemutan mengarah kepada morbus
Hansen.
• Pemeriksaan yang paling tepat dilakukan
adalah pemeriksaan saraf tepi, karena pasien
diatas termasuk kedalam MH tipe MB dimana
gangguan sensibilitas kulit tidak terlalu jelas.
106. Klasifikasi Bakteri
Clostridium sp.

• Batang, gram positif, memiliki endospora,


anaerob
• Organisme yang bersifat patogen:
– Clostridium tetani
– Clostridium difficile
– Clostridium perfringens
– Clostridium botulinum
Clostridium Tetani

• Ditemukan pada tanah, dan saluran pencernaan binatang


• Memiliki neurotoksin poten (tetanus toxin, tetanospasmin)
• Patogenesis
– Kuman masuk ke luka  spora menjadi sel vegetatif 
memproduksi toksin  bermigrasi sepanjang saraf 
ke SSP  kejang & spasme otot
• Terapi
– Antibiotik dan ATS
Clostridium Botulinum

• Ditemukan di tanah, saluran pencernaan binatang


• Relatif resisten terhadap panas, bertahan pada makanan
kaleng
• Patogenesis
– Toksin tertelan  diserap di duodenum & jejenum 
masuk pemb. Darah  mencapai sinaps
neuromuskular  memblok pelepasan asetilkolin
– 3 bentuk: botulisme makanan (foodborne botulism),
luka (wound botulism), dan botulisme bayi (infant
botulism)
Clostridium Difficile

• Hidup di kolon
• Antibiotic-associated diarrhea (AAD), colitis, pseudomembranous colitis
• Patogenesis
– Penggunaan antibiotik jangka panjang  flora normal di kolon mati
 pertumbuhan c. difficile
• Gejala
– Diare ringan sampai enterokolitis.
– Pada kolitis tanpa pseudomembran pasien menderita lemah, nyeri
abdominal, mual, diare, demam tinggi dan leukositosis bermakna.
• Terapi
– Metronidazole, vancomycin
Clostridium Perfringens

• Eksotoksin: gas gangrene pada luka operasi


– Demam tinggi, pus coklat, gelebung gas bawah kulit, perubahan
warna kulit, bau busuk

• Endotoksin: keracunan makanan


o Inadequately cooked meat, poultry, or legumes
o When vegetative cells form endospores in the intestine, they release
enterotoxins.
o Meats that have been cooked, allowed to cool slowly, and then held for
some time before eating are commonly incriminated.
o Acute onset of abdominal cramps with diarrhea starts 8-24 h after
ingestion.
o Kram perut, diare, muntah (jarang)

• Terapi: antibiotik
Analisis Soal
• Dari hasil pemeriksaan ditemukan bakteri berbentuk
basil gram (+).
• Umumnya bakteri basil adalah gram (-) dengan
perkecualian adalah bacillus sp, corynebacterium sp,
clostridium sp, dan listeria sp.
• Bacillus cereus apabila bersifat pathogen akan
menimbulkan gejala gangguan GI tract seperti mual,
muntah, dan diare; sehingga kemungkinan pathogen
pada kasus ini adalah clostridium prefringens.
• Clostridium perfringen dan clostridium welchii
sebenarnya merupakan organisme yang sama, namun
terminology welchii sudah tidak digunakan lagi.
107. Cutaneous Anthrax

• 95% of all cases globally


• Incubation: 2 to 3 days
• Spores enter skin through open wound or
abrasion
• Papule → vesicle → ulcer → eschar
• Case fatality rate 5 to 20%
• Untreated – septicemia and death

Center for Food Security and Public Health,


Iowa State University, 2011
Day 2

Day 4
Day 6

Day 10
Day 6

Center for Food Security and Public Health,


Iowa State University, 2011
The Organism

• Bacillus anthracis
• Large, gram-positive, non-
motile rod
• Two forms
– Vegetative, spore
• Over 1,200 strains
• Nearly worldwide
distribution
Center for Food Security and Public Health,
Iowa State University, 2011
Terapi Cutaneous Anthrax

• Penularan dari alam


– Penicillin V 500 mg, PO, 4x/hari selama 7–10 hari

• Penularan akibat bioterorism (aerosol, hirup)


– Ciprofloxacin 500 mg, PO, 2x/hari atau
levofloxacin 500 mg, IV)/PO per 24 jam × 60 hari

Sumber: http://cid.oxfordjournals.org/content/early/2014/06/14/cid.ciu296.full
108. Phemfigus vulgaris
DISEASES SIGN AND SYMPTOMS

Paraneoplastic
linked to an underlying lymphoproliferative disorder
pemphigus

Phemphigus foliceus scaly, crusted erosions, often on an erythematous base

• chronic skin disease


• Flat bullae
Pemphigus vulgaris • Nikolsky’s sign (+)
• transudative fluid accumulates in between the keratinocytes and basement
membrane (suprabasal split)

• Nikolsky’s sign (+)


Cicatricial • common : mouth
pemphigoid • erosive skin lesion of the mucous membranes and skin that results in scarring of
at least some sites of involvement

• acute/chronic skin disease


• common : inner thighs and upper arms
Bullous pemphigoid • ring-like configuration, with a central depression or centrally collapsed bullae
• Nikolsky’s sign (-)
• detachment occurs between the epidermis and dermis (subepidermal bullae)
KELAINAN PENJELASAN

Penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit


dan membran mukosa yang secara histologik ditandai
dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis dan
secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap
PEMFIGUS VULGARIS
komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis
IgG, baik terikat maupun beredar dalam darah. Khas: bula
kendur, bila pecah menjadi krusta yang bertahan lama,
nikolsky sign (+)

Perbedaan dengan pemfigus vulgaris: keadaan umum


baik, dinding bula tegang , bula subepidermal, terdapat
PEMFIGOID BULOSA
IgG linear, nikolsky sign (-)
Pemfigoid Bullosa
• Penyakit autoimun berlepuh kronik dengan bula
subepidermal dan biasanya terjadi pada usia tua
• Pada kulit ditemukan bula tegang dengan dasar
kulit normal atau eritematosa. Tempat predileksi
pada perut bawah, paha bagian dalam dan
anterior, lengan bawah bagian fleksor. Tidak
terjadi jaringan parut, tanda nikolsky (-), lesi
urtika kadang ditemukan.
• Pemeriksaan histopatologi dari biopsi lesi yang
baru timbul memperlihatkan lepuh
subepidermal dengan infiltrate pada dermis
superficial, terdiri atas limfosit, histiosit dan
yang khas adalah disertai eosinofil.
Pemphigus Vulgaris Pemphigus Vulgaris Bullous Pemphigoid

Paraneoplastic Pemphigus Pemphigus Foliceus Cicatricial Pemphigoid


e.c Castleman tumor
Cleared when the tumor
removed
Terapi Pemfigus

• Target seperti penyakit autoimun bulosa lain:


untuk menurunkan pembentukan bula dan
erosi, mempercepat penyembuhan,
meminimalisir obat-obatan

• Agen yang dapat dipakai: Kortikosteroid, agen


imunosupresif, rituximab, sulfasalazine,
pentoxifylline, Dapson, IVIG, Infliximab

http://emedicine.medscape.com/article/1064187-treatment
109. Dermatitis Statis
• Salah satu jenis dermatitis sirkultorius
• Paling sering: dermatitis varikosum ec insufisiensi vena

• Gejala:
– Pruritus, edema pada kaki  hemosiderin keluar dari pemb.
Darah  bercak hiperpigmentasi dermatitis
– Bila infeksi sekunder  indurasi subkutan
– Dapat timbul ulkus

• Terapi
– Utk gangguan sirkulasi: elevasi tungkai dan
– pembalut elastis
– Lesi eksudatif: kompres PK 1/10.000
– Lesi kering: kortikosteroid topikal
– Infeksi sekunder: antibiotik sistemik
110. Gonorrhea
• Gonore IMS yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae
(N.gonorrhoeae) suatu kuman Gram negatif, berbentuk biji
kopi, terletak intrasel
Gejala klinis
• Laki-laki:
 Gatal pada ujung kemaluan
 Nyeri saat kencing
 Keluar duh tubuh berwarna putih atau kuning kehijauan
kental dari uretra
• Perempuan:
 Keputihan
 Atau asimtomatik
• Pada keduanya didapatkan adanya riwayat kontak seksual
sebelumnya (coitus suspectus).
PPK PERDOSKI 2017
Pemeriksaan Fisik Gonorrhea
• Laki-laki:
 Orifisium uretra hiperemis, edema, dan ektropion disertai disuria
 Duh tubuh uretra mukopurulen
 Infeksi rektum pada pria homoseksual dapat menimbulkan duh tubuh anal
atau nyeri/rasa tidak enak di anus/perianal
 Infeksi pada faring biasanya asimtomatik
• Perempuan:
 Seringkali asimtomatik
 Serviks hiperemis, edema, kadang ektropion
 Duh tubuh endoserviks mukopurulen
 Dapat disertai nyeri pelvis/perut bagian bawah
 Infeksi pada uretra dapat menyebabkan disuria
• Komplikasi
 Laki-laki: epididimitis, orkitis, dan infertilitas
 Perempuan: penyakit radang panggul, bartolinitis, dan infertilitas.

PPK PERDOSKI 2017


Pemeriksaan Penunjang Gonorrhea
• Gram: diplokokus Gram negatif intraselular.
• Kultur menggunakan Thayer-Martin atau modifikasi Thayer-
Martin dan agar coklat McLeod
• Tes definitif (dilakukan pada hasil kultur yang positif)
 Tes oksidasi
 Tes fermentasi
 Tes beta-laktamase

PPK PERDOSKI 2017


Tatalaksana Gonorrhea
• DOC: sefiksim 400 mg per oral, dosis tunggal
• Obat alternatif:
• Seftriakson 250 mg injeksi IM dosis tunggal
• Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal
• Jika sudah komplikasi bartolinitis, prostatitis:
 DOC: sefiksim 400 mg peroral selama 5 hari
 Obat alternatif:
 Levofloksasin 500 mg per oral 5 hari
 Kanamisin 2 gram injeksi intramuskular 3 hari
 Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular 3 hari
• Infeksi gonokokus dan infeksi Chlamydia trachomatis hampir selalu
bersamaan  sebaiknya diberikan juga pengobatan untuk infeksi
Chlamydia.

PPK PERDOSKI 2017


111. Varicella (Chicken Pox)
• Infeksi akut oleh virus varicella zoster yang menyerang
kulit dan mukosa
• Transmisi secara aerogen

• Gejala
– Masa inkubasi 14-21 hari
– Gejala prodromal: demam subfebris, malaise, nyeri kepala
– Disusul erupsi berupa papul eritematosa  vesikel tetesan air
(tear drops)  pustul  krusta
– Predileksi: badan  menyebar secara sentrifugal

• Pemeriksaan
– Percobaan Tzanck ditemukan sel datia raksasa berinti banyak

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Tzank Test

• Fungsinya untuk menentukan


adanya virus herpes. Dari tes ini
akan banyak ditemukan sel-sel epitel
raksasa berinti banyak atau sel
Tzanck.
• Sel Tzanck biasa ditemukan di herpes
simpleks, varicella dan herpes zoster,
Pemphigus vulgaris, dan
Cytomegalovirus.
• Terkadang tes ini disebut Chikenpox
skin test atau herpes skin test karena
sering digunakan pada virus-virus
tersebut.
Varicella (Chicken Pox): Terapi
• Topikal
– Lesi vesikular: diberi bedak agar vesikel tidak pecah,
dapat ditambahkan
– mentol 2% atau antipruritus lain
– Vesikel yang sudah pecah/krusta: salep antibiotik
• Sistemik:
– Asiklovir: dosis bayi/anak 4x10-20 mg/kg (maksimal
800 mg/hari) selama 7 hari, dewasa: 5x800 mg/hari
selama 7 hari, atau
– Valasiklovir: untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari.
Herpes zoster
Herpes Zoster Lesi Kulit pada Herpes Zoster
• Penemuan utama dari PF:
kemerahan yang terdistribusi
unilateral sesuai dermatom
• Rash dapat berupa eritematosa,
makulopapular, vesikular,
pustular, atau krusta tergantung
tahapan penyakit
• Terapi nyeri: Gabapentine
oral/NSAID topikal/Lidocaine
topikal
• Komplikasi
– Neuralgia pasca herpes, herpes
zoster oftalmika, sindrom Ramsay-
Hunt
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed.
Balai Penerbit FKUI; 2007.
Herpes zoster
• Terapi nyeri:
• Gejala
Gabapentine oral/NSAID
– Gejala prodromal sistemik (demam,
topikal/Lidocaine topikal
pusing, malaise) & lokal (mialgia, gatal,
pegal) • Anti-Viral (diberikan <
– Timbul eritema yang kemudian menjadi 72 jam setelah onset,
vesikel berkelompok dengan dasar atau pada
eritematosa & edema  pustul & krusta manula/imunokomprom
– Pembesaran KGB regional ais)
– Herpes zoter oftalmikus: infeksi n. V-1 – Acyclovir (5x800mg)
– Sindrom Ramsay-Hunt: gangguan n. – Valacyclovir: 1 g PO,
fasialis & otikus 3x/hari, 7 hari (erupsi <
48 jam)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
112. DKI vs DKA: Perbedaan

• Terapi Terapi
– Topikal • Sistemik: Kortikosteroid
• Prednison 5-10 mg/ dosis,
• Akut & eksudatif: kompres
NaCl 0.9% 2-3x/hari
• Deksametason 0.5-1 mg, 2-
• Kronik & kering: krim
hidrokortison 3x/hari
DKI vs DKA: Patch Test

• Untuk metode diagnostik delayed contact


hypersensitivity  DKA
• DKI: diagnosis berdasarkan klinis saja dan
dengan menyingkirkan DKA (hasil Patch Test
negatif)
113. Dermatofitosis
• Penyakit jamur di kulit oleh jamur dermatofita
• 3 genus:
1. Trichophyton sp.
2. Epidermophyton sp.
3. Microsporum sp
• Klasifikasi menurut lokasi:
1. Tinea kapitis
2. Tinea korporis
3. Tinea kruris
4. Tinea pedis
5. Tinea manum
6. Tinea unguium
7. Tinea imbrikata
PPK Perdoski 2017
Tinea Kapitis
• Kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh dermatofit

• Bentuk klinis:
– Grey patch ringworm (biasanya disebabkan
Microsporum)
• Papul merah yang melebar, membentuk bercak, pucat,
bersisik. Rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat, mudah
patah dan tercabut. Lampu Wood: hijau kekuningan.
– Kerion (Microsporum atau Tricophyton)
• Reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, pembengkakan
menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang. Dapat
menimbulkan jaringan parut dan alopesia menetap.
Fluoresensi (+/-)
– Black dot ringworm (biasanya disebabkan
Tricophyton tonsurans dan Trycophyton violaceum)
• Rambut yang terkena infeksi patah pada muara folikel, dan
yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora (black
dot). Fluoresensi (-)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku
menggunakan mikroskop dan KOH 20%: tampak hifa panjang
dan atau artrospora.
• Pengambilan spesimen pada tinea kapitis dapat dilakukan
dengan:
- Mencabut rambut.
- Menggunakan skalpel untuk mengambil rambut dan
skuama.
- Menggunakan swab (untuk kerion) atau menggunakan
cytobrush.
- Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi.
• Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus
• Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang
disebabkan oleh Microsposrum spp. (kecuali M.gypsium).

PPK Perdoski 2017


Tatalaksana Tinea Kapitis (PERDOSKI 2017)
• Topikal: tidak disarankan bila hanya terapi topikal saja.
 Rambut dicuci dengan sampo antimikotik: selenium sulfida 1% dan 2,5% 2-4
kali/minggu atau sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali selama 2-4 minggu
• Sistemik
 Spesies Microsporum
• DOC: griseofulvin fine particle/microsize 20-25 mg/kgBB/hari dan
ultramicrosize 10-15 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
• Alternatif:
• Itrakonazol 50-100 mg/hari atau 5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu.
• Terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg
dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 4 minggu.
 Spesies Trichophyton:
• DOC: terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40
kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 2-4 minggu
• Alternatif :
• Griseofulvin 8 minggu9-10
• Itrakonazol 2 minggu11-12
• Flukonazol 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu
PPK Perdoski 2017
114. Urethritis NonGO (NGU)
• NGU is a nonspecific diagnosis that can have many
infectious etiologies (most common C. trachomatis)
• NGU is confirmed in symptomatic men when
staining of urethral secretions indicates
inflammation without Gram negative or purple
diplococci.
• Azithromycin and doxycycline are highly effective for
chlamydial urethritis.
• NGU associated with M. genitalium currently
responds better to azithromycin than doxycycline
Pemeriksaan Penunjang
• Spesimen dari duh tubuh genital:
– Sediaan apus Gram:
• Jumlah leukosit PMN >5/LPB (laki-laki) atau >30/LPB
(perempuan)
• Tidak ditemukan etiologi spesifik
– Sediaan basah:
• Tidak ditemukan Trichomonas vaginalis
– Untuk menentukan infeksi Chlamydia trachomatis,
bila memungkinkan, dilakukan pemeriksaan cara:
• Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)
neutrophilic conjunctivitis and epithelial
cells with intra-cytoplasmic inclusion
bodies (marked with arrow) characteristic
of chlamydial infection.
Tatalaksana Uretritis Non-Gonore
• Obat pilihan:
– Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal
atau
– Doksisiklin 2x100 mg hari, peroral selama 7 hari
• Obat alternatif: Eritromisin 4x500mg/hari
peroral selama 7 hari
ILMU
K E S E H ATA N
ANAK
115. Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)

Fast breathing (tachypnea)


Respiratory thresholds
Age Breaths/minute
< 2 months 60
2 - 12 months 50
1 - 5 years 40
AGE COMMON ETIOLOGIES (as in order) LESS COMMON ETIOLOGIES
2 to 24 RSV Streptococcus Mycoplasma pneumoniae
months Human metapneumovirus pneumoniae Haemophilus influenzae (type B
Parainfluenza viruses Chlamydia and nontypable)
Influenza A and B trachomatis Chlamydophila pneumoniae
Rhinovirus
Adenovirus
Enterovirus

2 to 5 years Respiratory syncytial virus S. pneumoniae Staphylococcus aureus (including


Human metapneumovirus M. pneumoniae methicillin-resistant S. aureus)
Parainfluenza viruses H. influenzae (B and Group A streptococcus
Influenza A and B nontypable)
Rhinovirus C. pneumoniae
Adenovirus
Enterovirus

Older than 5 Rhinovirus M. pneumoniae H. influenzae (B and nontypable)


years Adenovirus C. pneumoniae S. aureus (including methicillin-
Influenza A and B S. pneumoniae resistant S. aureus)
Group A streptococcus
Respiratory syncytial virus
Parainfluenza viruses
Human metapneumovirus
Enterovirus
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Diagnosis Pneumonia (WHO)
PNEUMONIA
NO PNEUMONIA

SEVERE PNEUMONIA

VERY SEVERE PNEUMONIA


• No • Di • Batuk dan/atau dyspnea • Dalam keadaan
tachypnea, ditambah min salah satu:
no chest
samping yang sangat berat
batuk • Kepala terangguk-angguk dapat dijumpai:
indrawing
atau • Pernapasan cuping
hidung • Tidak dapat
kesulitan menyusu atau
• Tarikan dinding dada
bernapas, bagian bawah ke dalam minum/makan,
hanya • Foto dada menunjukkan atau
terdapat infiltrat luas, konsolidasi memuntahkan
napas • Selain itu bisa didapatkan semuanya
cepat pula tanda berikut ini:
• Kejang, letargis
saja. • takipnea
atau tidak
• Suara merintih (grunting)
pada bayi muda sadar
• Pada auskultasi • Sianosis
terdengar: crackles • Distres
(ronkii), Suara pernapasan
pernapasan menurun,
suara napas bronkial berat
Tatalaksana Pneumonia

SEVERE-VERY SEVERE PNEUMONIA


PNEUMONIA
NO PNEUMONIA

• rawat jalan • ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau


• Do not • Kotrimoksasol IM setiap 6 jam). Bila anak memberi respons yang
admini (4 mg TMP/kg baik dlm 24-72 jam, lanjutkan selama 5 hari.
ster an BB/kali) 2 kali Selanjutnya dilanjutkan dgn amoksisilin PO (15
antibio sehari selama 3 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari
tic hari atau berikutnya.
Amoksisilin (25
mg/kg BB/kali) • Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam,
2 kali sehari atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat
selama 3 hari. menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau
tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat)
maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
• Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat,
segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson
(80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
• Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter
nasofaringeal.
116. DIABETES MELLITUS TYPE I
• Autoimmune destruction of pancreatic islet β
cells
• Factors contribute to the pathogenesis DM
Type I:
– Genetic  provide both susceptibility to, and
protection from dm Type I
– Environmental
• Infections
• Chemicals
• Seasonality
• geographic locations

Ramin Alemzadeh, David T. Wyat. Diabetes Mellitus in Children. Nelson Textbook of Pediatrics
Diabetes Melitus Tipe 1
(Insulin-dependent diabetes mellitus)
• Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
• Etiologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β
pankreas sehingga produksi insulin berkurang, bahkan
terhenti. Dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.
• Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
• Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum,
retinopathy , nephropathy and hypertension, peripheral
and autonomic neuropathy, macrovascular disease
• Manifestasi Klinik:
– Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
– Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas cepat
dan dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran
PATHOGENESIS DM Tipe 1

http://www.msdlatinamerica.com/diabetes/files/5dd56fc20582fb58eef8a00bf267aa84.gif
Pemeriksaan Fisik dan Tanda Klinis
Pemeriksaan Penunjang
117. Gagal Ginjal Akut
• Gagal ginjal akut (GGA) ialah penurunan fungsi ginjal mendadak
yang mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mempertahankan homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0,5
mg/dL per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per
hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus dan <0,8
ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
• Jenis GGA
– GGA prarenal: dehidrasi, syok, perdarahan, gagal jantung, sepsis
– GGA renal: pielonefritis, glomerulonefritis, nefrotoksisitas karena obat
atau kemoterapi, lupus nefritis, nekrosis tubular akut, SHU, HSP
– GGA pascarenal: keracunan jengkol, batu saluran kemih, obstruksi
saluran kemih, sindrom tumor lisis, buli-buli neurogenik
Patogenesis
• The primary renal insult is a critical decrease in the
blood supply, which results in the desquamation of
tubular cells, tubular cast formation, intraluminal
tubular obstruction and back leakage of the glomerular
filtrate.
• Consequently, retention of nitrogenous waste
products, an increase in the serum creatinine and
derangement of the fluid and electrolyte homeostasis
occurs.
• Structural damage ensues, and neutrophils adhere to
the injured ischaemic endothelium in the kidney,
releasing substances which promote inflammation.
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi dapat dinaikkan secara
ginjal bertahap sampai maksimum
• Pemberian cairan disesuaikan 10 mg/kgBB/kali. (pastikan
dengan keadaan hidrasi kecukupan sirkulasi dan bukan
merupakan GGA pascarenal).
• Koreksi gangguan • Bila gagal dengan
ketidakseimbangan cairan medikamentosa, maka
elektrolit dilakukan dialisis peritoneal
• Natrium bikarbonat untuk atau hemodialisis.
mengatasi asidosis metabolik
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya
asidosis
118. Sindrom Nefrotik
• Spektrum gejala yang ditandai • Di bawah mikroskop: Minimal change
dengan protein loss yang masif dari nephrotic syndrome (MCNS)/Nil
ginjal Lesions/Nil Disease (lipoid nephrosis)
• Pada anak sindrom nefrotik mayoritas merupakan penyebab tersering dari
bersifat idiopatik, yang belum sindrom nefrotik pada anak,
diketahui patofisiologinya secara mencakup 90% kasus di bawah 10
jelas, namun diperkirakan terdapat tahun dan >50% pd anak yg lbh tua.
keterlibatan sistem imunitas tubuh, • Faktor risiko kekambuhan: riwayat
terutama sel limfosit-T atopi, usia saat serangan pertama,
• Gejala klasik: proteinuria, edema, jenis kelamin dan infeksi saluran
hiperlipidemia, hipoalbuminemia pernapasan akut akut (ISPA) bagian
• Gejala lain : hipertensi, hematuria, atas yang menyertai atau mendahului
dan penurunan fungsi ginjal terjadinya kekambuhan, ISK

Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview


Sindrom Nefrotik
• Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik
dengan gejala:
– Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+)
– Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
– Edema
– Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain
lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein)

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Nefrotik vs Nefritik
Diagnosis
• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Definisi pada Sindrom Nefrotik
• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4
mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2
LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6
bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4
kali per tahun pengamatan
• Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali
dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4
kali dalam periode 1 tahun
Definisi pada Sindrom Nefrotik
• Dependen steroid : relaps terjadi pada saat
dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut
• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada
pengobatan prednison dosis penuh (full dose)
2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
119. Tatalaksana Kejang Akut pada
Anak
• Evaluasi tanda vital serta penilaian airway,
breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-
konvulsan.
• Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan
pada tata laksana SE sangat bervariasi antar
institusi.
Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI 2016
Keterangan
• Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
• Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
• Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
– 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
– 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
– 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
– 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
• Tapering midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
• Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
• Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
120. HEMOSTASIS
Hemostasis („hemo”=blood;; ta=„remain”) is the
stoppage of bleeding, which is vitally important when
blood vessels are damaged.
Following an injury to blood vessels several actions
may help prevent blood loss, including:

Formation of a clot
Hemostasis
1. Fase vaskular: vasokonstriksi
2. Fase platelet: agregasi dan adhesi
trombosit
3. Fase koagulasi: ada jalur
ekstrinsik, jalur intrinsik dan
bersatu di common
pathway
4. Fase retraksi
5. Fase destruksi / fibrinolisis

http://www.bangkokhealth.com/index.php/health/health-
general/first-aid/451-ขบวนการห้ามเลือด-hemostasis.html
Coagulation factors

Components of coagulation factor:


~ fibrinogen factor I
~ prothrombin factor II
~ tissue factor (thromboplastin) factor III
~ Ca-ion (Ca++) factor IV
~ pro-accelerin (labile factor) factor V
~ pro-convertin (stable factor) factor VII
~ anti-hemophilic factor factor VIII
~ Christmas-factor factor IX
~ Stuart-Prower factor factor X
~ plasma tromboplastin antecedent factor XI
~ Hageman factor factor XII
~ fibrin stabilizing factor(Laki-Roland) factor XIII

Kuliah Hemostasis FKUI.


Bleeding Time
• It indicates how well platelets interact with blood vessel
walls to form blood clots.
• BT is the interval between the moment when bleeding
starts and the moment when bleeding stops.
• Used most often to detect qualitative defects of platelets.
• BT is prolonged in purpuras, but normal in coagulation
disorders like haemophilia.
• Purpuras can be due to
– Platelet defects - Thrombocytopenic purpura (ITP & TTP)
– Vascular defects - Senile purpura, Henoch Schonlein purpura
• Platelets are important in preventing small vessel bleeding
by causing vasoconstriction and platelet plug formation.

http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
Clotting Time
• CT the interval between the moment when bleeding
starts and the moment when the fibrin thread is first
seen.
• BT depends on the integrity of platelets and vessel
walls, whereas CT depends on the availability of
coagulation factors.
• In coagulation disorders like haemophilia, CT is
prolonged but BT remains normal.
• CT is also prolonged in conditions like vitamin K
deficiency, liver diseases, disseminated intravascular
coagulation, overdosage of anticoagulants etc.

http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
PT & APTT
• activated partial thromboplastin time (aPTT)
 untuk mengevaluasi jalur intrinsik kaskade
koagulasi
• prothrombin time (PT)  untuk mengevaluasi
jalur ekstrinsik kaskade koagulasi
http://practical-haemostasis.com/Screening%20Tests/aptt.html
Bleeding

Mild Severe

intervention

stopped
continues

prolonged delayed

Platelet disorder Coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
Spontaneous bleeding
(without injury)

superficial, multiple deep, solitary


petechiae, hematoma,
purpura, hemarthrosis
ecchymoses

platelet disorder coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
Simple schematic diagram to diagnose hemostasic disorders

Kuliah Hemostasis FKUI.


Finding Disorders of Coagulation Disorders of Platelets or
Vessels
Petechiae Rare Characteristic
Deep dissecting Characteristic Rare
hematomas
Superficial ecchymoses Common; usually large Characteristic; usually
and small and
solitary multiple
Hemarthrosis Characteristic Rare
Delayed bleeding Common Rare
Bleeding from Minimal Persistent often profuse
superficial cuts and
scratches
Sex of patient 80–90% of inherited forms Relatively more common
occur only in male patients in females
Positive family history Common Rare (exc. vWF , hereditary
hemorr.
telangiectasia)
Kelainan Pembekuan Darah

http://periobasics.com/wp-content/uploads/2013/01/Evaluation-of-bleeding-disorders.jpg
Bleeding Disorder
Palpable Purpura in HSP:
Symmetrical
Dependent areas
• Liver disease: mengalami kelainan hemostasis primer berupa
trombositopenia dan juga kelainan hemostasis sekunder
(koagulopati) karena liver adalah tempat utama penghasil
prokoagulan dan antikoagulan
• vWF disease terjadi akibat defisiensi faktor vWF yang bertugas
membangun jembatan adhesi platelet dengan dinding vaskular yang
terluka pada hemostasis primer dan memiliki tugas tambahan
mengikat dan menstabilisasi faktor VIII yang tidak stabil.
• HSP (henoch schonlein purpura) kelainan vaskulitis yang diperantarai
oleh IgA pada pembuluh darah kecil, ditandai dengan adanya
purpura, kelainan ginjal, kelainan GI (melena), kelainan sendi
(atralgia/artritis)
• Kawasaki disease: an acute febrile vasculitic syndrome of early
childhood Fever (Enanthem, Bulbar conjunctivitis, Rash, Internal
organ involvement, Lymphadenopathy, Extremity changes)
Analisis Soal
• Pada soal, terdapat gejala berupa ekimosis
dan purpura, maka jawaban yang tepat adalah
pilihan penyakit hemostasis primer yang
disbabkan oleh kelainan vaskular dan
trombosit, seperti HSP, ITP, DHF, von
willebrand disease
121. Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau kerusakan
dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik. Dapat
akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan
• Perjalanan klasik hepatitis virus akut
– Fase inkubasi
– Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome,
– Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang
disertai munculnya ikterus, urin kuning tua
– Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A :
– Manifestasi hepatitis A:
• Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang
berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa
tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan
adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis A
• Virus RNA (Picornavirus)
ukuran 27 nm
• Kebanyakan kasus pada usia
<5 tahun asimtomatik atau
gejala nonspesifik
• Rute penyebaran: fekal oral;
transmisi dari orang-orang
dengan memakan makanan
atau
minumanterkontaminasi,
kontak langsung.
• Inkubasi: 2-6 minggu (rata-
rata 28 hari)

Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.


Hepatitis
Hepatitis Jenis virus Antigen Antibodi Keterangan
HAV RNA HAV Anti-HAV Ditularkan
secara fekal-
oral
HBV DNA HBsAg Anti-HBs •Ditularkan
HBcAg Anti-HBc lewat darah
HBeAg Anti-HBe •Karier
HCV RNA HCV Anti-HCV Ditularkan
C100-3 lewat darah
C33c
C22-3
NS5
HDV RNA HBsAg Anti-HBs Membutuhkan
HDV antigen Anti-HDV perantara HBV
(hepadnavirus)
HEV RNA HEV antigen Anti-HEV Ditularkan
secara fekal-
oral
Hepatitis A
• Self limited disease dan • Diagnosis
tidak menjadi infeksi kronis – Deteksi antibodi IgM di darah
• Gejala: – Peningkatan ALT (enzim hati
– Fatique Alanine Transferase)
– Demam • Pencegahan:
– Mual – Vaksinasi
– Nafsu makan hilang – Kebersihan yang baik
– Jaundice  karena – Sanitasi yang baik
hiperbilirubin • Tatalaksana:
– Bile keluar dari peredaran – Simptomatik
darah dan dieksresikan ke
urin  warna urin gelap – Istirahat, hindari makanan
berlemak dan alkohol
– Feses warna dempul (clay-
coloured) – Hidrasi yang baik
– Diet
Profilaksis Hepatitis A
• Imunoglobulin yang diberikan sebelum pajanan atau sewaktu masa
inkubasi awal efektif mencegah timbulnya gejala klinis hepatitis A.

• Untuk profilaksis pascaterpajan orang dekat dengan hepatitis A (tinggal


serumah, pasangan seks), imunoglobulin segera diberikan dengan dosis
0,02 mL/kg.

• Ig masih efektif bila diberikan paling lambat 2 minggu setelah terpajan.

• Imunoglobulin profilaksis tidak diberikan untuk:


– Orang yang sudah vaksin hepatitis A,
– Kontak kasual di tempat kerja, sekolah, rumah sakit,
– Lansia yang kemungkinan besar sudah imun,
– Orang yang sudah anti-HAV (+).

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Profilaksis Hepatitis A

• Vaksin diberikan dengan injeksi IM.


• Proteksi anti-HAV pascavaksin mulai timbul 4 minggu setelah pemberian pertama.
• Proteksi bertahan hingga 20 tahun.

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


Hepatitis relaps didefinisikan sebagai meningkatnya kembali konsentrasi aminotransferase dan
bilirubin yang sudah kembali normal dalam masa penyembuhan.
122. Mumps (Parotitis Epidemica)
• Acute, self-limited, systemic
viral illness characterized by
the swelling of one or more
of the salivary glands,
typically the parotid glands.
• Caused by a specific RNA
virus, known as Rubulavirus,
genus Paramyxovirus.
• This Paramyxovirus is highly
infectious to nonimmune
individuals and is the only
cause of epidemic parotitis
Mumps (Parotitis Epidemica)
• The transmission mode is person to person via
respiratory droplets and saliva, direct contact, or
fomites.
• Incubation period of 16-18 days
• Prodromal symptoms : low-grade fever, malaise,
myalgias, headache, and anorexia; these symptoms can
last 3-5 days.
• After the prodromal period, one or both parotid glands
begin to enlarge. Initially, local parotid tenderness and
same-sided earache can occur
• Approximately one third of postpubertal male patients
develop unilateral orchitis.
Mumps
• Komplikasi : Meningitis/encephalitis,
Sensorineural hearing loss/deafness, Guillain-Barr
é syndrome, Thyroiditis, Myocarditis, orchitis
(terjadi pada laki-laki usia postpubertal)
• Treatment : Conservative, supportive (analgetics).
No antiviral agent is indicated for viral illness, as it
is a self-limited disease.
• Prevention : Vaccinating children with MMR
should be established and maintained in all
communities
MMR
• Merupakan vaksin kombinasi untuk Measles
(Campak), Mumps (Parotitis), dan Rubella
• Vaksin kering, mengandung virus hidup, disimpan
pada temperatur 2-8⁰C, dan terlindung dari
cahaya
• Pemberian dengan dosis tunggal 0.5 ml
intramuskular atau subkutan dalam
• Harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi
campak, gondongan, dan rubella
• Diberikan pada anak berusia >12 bulan
123. Tonsilitis difteri
• Tonsilitis difteri merupakan salah satu dari
kelompok tonsilitis membranosa
• Etiologi: kuman Corynebacterium diphteriae
• Sering ditemukan pada anak usia kurang dari
10 tahun
Tonsilitis difteri
• Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan, yaitu:
– Gejala umum : subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat, nyeri menelan
– Gejala lokal: tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor membentuk membran semu yang mudah
berdarah, kelenjar limfe leher membengkak
menyerupai leher sapi (bullneck/ Burgemeester’s hals)
– Gejala akibat eksotoksin:
• Pada jantung  miokarditis hingga dekom kordis
• Pada n.kranial  kelumpuhan otot palatum & otot
pernapasan
• Pada ginjal  albuminuria
Difteri
• Pemeriksaan :
– Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab
tenggorok, jika bisa diambil dibawah selaput
pseudomembran
– Kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite blood
agar (CTBA), medium hoyle dan medium tinsdale 
medium selektif untuk kultur Corynebacterium diphtheriae
– Untuk megisolasi Corynebacterium digunakan agar darah
telurit (Mc Leod), sebagai media selektif, setelah inkubasi
selama 24 jam koloni bakteri terlihat berwarna abu-abu tua-
hitam.
– Selanjutnya untuk biakan murni Corynebacterium digunakan
media perbenihan Loeffler dalam tabung

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
Tellurite Blood (Hoyle’s)
Agar
• A selective medium for
isolation of Corynebacterium
diphtheriae.
• Tellurite inhibits the growth of
most secondary bacteria
without an inhibitory effect on
diphtheria bacilli.
• It is also an indicator medium
as the diphtheria bacilli
produce black colonies.
• Tellurite metabolized to
tellbrism, which has black
colour.
Tatalaksana Umum
• Pasien harus diisolasi sampai masa akut selesai dan
biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut turut
• Pasien tetap diisolasi dan tirah baring selama 2-3
minggu
• Bila pasien gelisah, iritabel, atau terdapat gangguan
pernafasan yang progresif dilakukan trakeostomi
• Pasien dengan difteria laring dijaga agar nafas tetap
bebas dan dijaga kelembaban udara dengan nebulizer
spesifik
Tatalaksana
• Antitoksin: harus diberikan segerah setelah diagnosis
dibuat. Sebelum diberikan, harus dilakukan skin test. (dosis
ADS lihat tabel)
• Anbiotik: Penisillin prokain 50.000-100.000 Unit/kgBB IM
per hari selama 10-14 hari atau eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10-14 hari
• Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran repirasi
(Pemberian oksigen dengan nasal prongs dapat membuat
anak tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi)

PPK RSCM & Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


Dosis ADS pada Difteri
Tipe Difteria Dosis ADS Cara Pemberian

Difteri hidung 20.000 IM

Difteri tonsil 40.000 IM/IV

Difteri faring 40.000 IM/IV

Difteri laring 40.000 IM/IV

Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV

Terlambat berobat > 72


80.000-100.000 IV
jam (lokasi di mana saja)
Tatalaksana
• Jika anak demam (≥ 39o C) beri parasetamol.
• Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa
nasogastrik.
• Kortikosterod dianjurkan pada kasus difteria
dengan gejala penyerta obstruksi saluran
nafas bagian atas ( dengan atau tanpa bullneck
) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
– Prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari yang
diturunkan secara bertahap.
Tindakan Kesehatan Masayarakat
• Rawat anak di ruangan isolasi
• Lakukan imunisasi pada anak serumah sesuai
dengan riwayat imunisasi
• Berikan eritromisin pada kontak serumah
sebagai tindakan pencegahan (12.5 mg/kgBB,
4xsehari, selama 3 hari)
• Lakukan biakan usap tenggorok pada keluarga
serumah

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


124. Resusitasi
Neonatus
Teknik Ventilasi dan Kompresi

• Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


• Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
• Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran (blended
oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk
mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai
dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
VTP
• Peralatan yang digunakan untuk VTP adalah:
– Self inflating bag (balon mengembang sendiri)
– Flow inflating bag (balon tidak mengembang sendiri)
– T-piece resuscitator
• Dalam 30 detik dilakukan VTP 20-30 kali,
mengikuti pernafasan bayi 40-60x/menit
• Pada permulaan resusitasi, oksigen tidak
dibutuhkan secara rutin. Namun bila terjadi
sianosis selama resusitasi  boleh ditambahkan
oksigen
Teknik Ventilasi dan Kompresi
• Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful Resuscitation
• A prompt increase in heart rate remains the most sensitive
indicator of resuscitation efficacy (LOE 55).
• Of the clinical assessments, auscultation of the heart is the most
accurate, with palpation of the umbilical cord less so.
• There is clear evidence that an increase in oxygenation and
improvement in color may take many minutes to achieve, even in
uncompromised babies.
• Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the
newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular
and functional level.
• For this reason color has been removed as an indicator of
oxygenation or resuscitation efficacy.
• Respirations, heart rate, and oxygenation should be reassessed
periodically, and coordinated chest compressions and ventilations
should continue until the spontaneous heart rate is 􏰖60 per minute
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghentikan resusitasi?
• Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut
jantung, dianggap layak untuk menghentikan
resusitasi jika detak jantung tetap tidak terdeteksi
setelah dilakukan resusitasi selama 10 menit
(kelas IIb, LOE C).
• Keputusan untuk tetap meneruskan usaha
resusitasi bisa dipertimbangkan setelah
memperhatikan beberapa faktor seperti etiologi
dari henti hantung pasien, usia gestasi, adanya
komplikasi, dan pertimbangan dari orangtua
mengenai risiko morbiditas.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
125. Enterokolitis Nekrotikans
• sindrom nekrosis intestinal akut • Patogenesis EN masih belum
pada neonatus yang ditandai oleh sepenuhnya dimengerti dan
kerusakan intestinal berat akibat diduga multifaktorial.
gabungan jejas vaskular, mukosa, • Diperkirakan karena iskemia yang
dan metabolik (dan faktor lain berakibat pada kerusakan
yang belum diketahui) pada usus integritas usus.
yang imatur. • Pemberian minum secara enteral
• Enterokolitis nekrotikans hampir akan menjadi substrat untuk
selalu terjadi pada bayi prematur. proliferasi bakteri, diikuti oleh
• Insidens pada bayi dengan berat invasi mukosa usus yang telah
<1,5 kg sebesar 6-10%. rusak oleh bakteri yang
• Insidens meningkat dengan memproduksi gas  gas usus
semakin rendahnya usia gestasi. intramural yang dikenal sebagai
pneumatosis intestinalis 
mengalami progresivitas menjadi
nekrosis transmural atau gangren
usus  perforasi dan peritonitis.
Faktor risiko
• Prematuritas.
• Pemberian makan enteral. EN jarang ditemukan pada bayi
yang belum pernah diberi minum.
– Formula hyperosmolar dapat mengubah permeabilitas mukosa dan
mengakibatkan kerusakan mukosa.
– Pemberian ASI terbukti dapat menurunkan kejadian EN.
• Mikroorganisme patogen enteral. Patogen bakteri dan virus
yang diduga berperan adalah E. coli, Klebsiella, S. epidermidis,
Clostridium sp. , coronavirus dan rotavirus.
• Kejadian hipoksia/iskemia, misalnya asfiksia dan penyakit
jantung bawaan.
• Bayi dengan polisitemia, transfusi tukar, dan pertumbuhan
janin terhambat berisiko mengalami iskemia intestinal.
• Volume pemberian minum, waktu pemberian minum, dan
peningkatan minum enteral yang cepat.
Manifestasi klinis
Manifestasi sistemik Manifestasi pada abdomen
• Distres pernapasan • Distensi abdomen
• Eritema dinding abdomen atau
• Apnu dan atau bradikardia indurasi
• Letargi atau iritabilitas • Tinja berdarah, baik samar
maupun perdarahan saluran
• Instabilitas suhu cerna masif (hematokesia)
• Toleransi minum buruk • Residu lambung
• Muntah (bilier, darah, atau
• Hipotensi/syok, hipoperfusi keduanya)
• Asidosis • Ileus (berkurangnya atau
hilangnya bising usus)
• Oliguria
• Massa abdominal terlokalisir yang
• Manifestasi perdarahan persisten
• Asites
Pemeriksaan penunjang
• Darah perifer lengkap. Leukosit • Foto polos abdomen 2
bisa normal, meningkat (dengan posisi serial:
pergeseran ke kiri), atau menurun
dan dijumpai tombositopenia – Foto polos abdomen posisi
supine, dijumpai distribusi
• Kultur darah untuk bakteri aerob, usus abnormal, edema
anaerob, dan jamur dinding usus, posisi loop usus
• Tes darah samar persisten pada foto serial,
• Analisis gas darah, dapat dijumpai massa, pneumatosis
asidosis metabolik atau campuran intestinalis (tanda khas EN),
• Elektrolit darah, dapat dijumpai atau gas pada vena porta
ketidakseimbangan elektrolit, – Foto polos abdomen posisi
terutama hipo/ lateral dekubitus atau lateral
• hipernatremia dan hiperkalemia untuk mencari
pneumoperitoneum.
• Kultur tinja
Tata laksana umum untuk semua pasien EN:

• Puasa dan pemberian • Tes darah samar tiap 24 jam


nutrisi parenteral total. untuk memonitor
• Pasang sonde nasogastrik perdarahan gastrointestinal.
untuk dekompresi lambung. • Jaga keseimbangan cairan
• Pemantauan ketat: dan elektrolit. Pertahankan
– Tanda vital diuresis 1-3 mL/kg/hari.
– Lingkar perut (ukur setiap 12- • Periksa darah tepi lengkap
24 jam), diskolorasi abdomen dan elektrolit setiap 24 jam
• Lepas kateter umbilikal (bila sampai stabil.
ada). • Foto polos abdomen serial
• Antibiotik: ampisilin dan setiap 8-12 jam.
gentamisin ditambah • Konsultasi ke departemen
dengan metronidazole Bedah Anak.
Tata laksana khusus bergantung pada stadium
Enterokolitis nekrotikans Enterokolitis nekrotikans
stadium I stadium II dan III
• Tata laksana umum. • Tata laksana umum.
• Antibiotik selama 14 hari.
• Pemberian minum dapat • Puasa selama 2 minggu.
dimulai setelah 3 hari Pemberian minum dapat
dipuasakan dimulai 7-10 hari setelah
perbaikan radiologis
• Antibiotik dapat dihentikan pneumatosis.
setelah 3 hari pemberian • Ventilasi mekanik bila
dengan syarat kultur dibutuhkan.
negative dan terdapat • Jaga keseimbangan
hemodinamik. Pada EN
perbaikan klinis. stadium III sering dijumpai
hipotensi refrakter.
Tata laksana bedah
• Laparatomi eksplorasi dengan reseksi segmen
yang nekrosis dan enterostomi atau
anastomosis primer.
• Drainase peritoneal umumnya dilakukan pada
bayi dengan berat <1000 g dan kondisi tidak
stabil.
126. Keseimbangan Asam-Basa
746
747
H-H EQUATION

[HCO3-] [Base] [metabolik]


pH ∞ ∞ ∞
d CO2 Acid [respiratorik]
Respiratory
Acidosis
Respiratory
Alkalosis
Metabolic
Acidosis
Metabolic
Alkalosis
Kelainan Asam-Basa Tubuh dengan Reaksi
Kompensasinya

(K)*

(K)*

(K)*

(K)*

*(K) adalah reaksi kompensasi yang terjadi akibat gangguan


keseimbangan pH
Normal value

HCO3- PCO2 PH PCO2


HCO3- PH

NORMAL Metabolic
Acidosis

Normal value

PCO2 PH
PH PCO2
HCO3- HCO3-

Metabolic Compensated Metabolic


Acidosis Acidosis
Normal value

HCO3- HCO3-
PH PCO2
PCO2 PH

Metabolic alkalosis Compensated Met alkalosis

Normal value

PH
HCO3- PH
PCO2 HCO3- PCO2

Acute Respiratory Chronic (compensated)


Alkalosis Respiratory Alkalosis
Normal value

PCO2 PCO2
HCO3-
HCO3-
PH
PH

Respiratory Compensated Respiratory


Acidosis Acidosis
http://classes.midlandstech.edu/carterp/Courses/bio211/chap26/table_26
_03_labeled.jpg
127. Aspirasi benda Asing
• Kacang-kacangan, biji-bijian atau benda kecil lainnya dapat terhirup
anak dan paling sering terjadi pada anak umur < 4 tahun.
• Benda asing biasanya tersangkut pada bronkus (paling sering pada
paru kanan)  menyebabkan kolaps atau konsolidasi pada bagian
distal lokasi penyumbatan.
• Gejala awal:
– Tersedak yang dapat diikuti dengan interval bebas gejala dalam
beberapa hari atau minggu kemudian sebelum anak menunjukkan
gejala wheezing menetap, batuk kronik atau pneumonia yang tidak
berespons terhadap terapi.
• Benda tajam kecil dapat tersangkut di laring dan menyebabkan
stridor atau wheezing.
• Pada kasus yang jarang, benda berukuran besar dapat tersangkut
pada laring dan menyebabkan kematian mendadak akibat
sumbatan, kecuali segera dilakukan trakeostomi
Airway Foreign Body Obstruction
• Defense mechanisms to keep the airway free
and clear of foreign body:
– the physical actions of the epiglottis and
arytenoid cartilages in blocking the airway
– the intense spasm of the true and false vocal
cords any time objects come near the vocal cords
– highly sensitive cough reflex with afferent
impulses generated throughout the larynx,
trachea, and all branch points in the proximal
tracheobronchial tree.
• Children are more prone to aspirate foreign material for
several reasons.
– The lack of molar teeth in children decreases their ability to
sufficiently chew food, leaving larger chunks to swallow. They
have less chewing capacity and higher respiratory rates
– The propensity of children to talk, laugh, and run while chewing
also increases the chance that a sudden or large inspiration
may occur with food in the mouth.
– Children often examine even nonfood substances with their
mouth.
• More foreign body aspirations occur in children younger
than 3 years than in other age groups, with a peak between
the first and second birthdays.
Diagnosis
Epidemiologi
• 3% in the larynx
• 13% in the trachea
• 52% in the right main bronchus
• 6% in the right lower lobe bronchus
• fewer than 1% in the right middle lobe bronchus
• 18% in the left main bronchus
• 5% in the left lower lobe bronchus; 2% were
bilateral.
• In a child in a supine position, material is more
likely to enter the right main bronchus.
Airway Foreign Body
Tracheal foreign body Laryngeal Foreign Body
• Additional • 8-10% of airway foreign
history/physical: bodies
– Complete airway • Highest risk of death
obstruction before arrival to the
– Audible slap hospital
– Palpable thud
• Additional
– Asthmatoid wheeze history/physical:
– Complete airway
obstruction
– Hoarseness
– Stridor
– dyspnea
http://emedicine.medscape.com/article/1001253-workup
Bronchial ariway obstruction
• 80-90% of airway foreign
bodies
• Right main stem most
common (controversial)
• Additional
history/physical:
– Diagnostic triad (<50% of
cases):
• unilateral wheezing
• decreased breath sounds
• cough
– Chronic cough or asthma,
recurrent pneumonia, lung
abscess
Pediatric Airway Foreign Body
• The child may present with persistent or recurrent cough, persistent or
recurrent pneumonia, lung abscess, focal bronchiectasis, or hemoptysis.
• Physical findings include tachypnea, diminished breath sounds, wheezing,
stridor, dyspnea, cyanosis, and suprasternal retractions.
• Absence of breath sounds on auscultation of the chest occurs in 30% to
60% of affected children and is suggestive of total airway obstruction.
• If there is a reliable history for aspiration, the child should be evaluated
further.
• Most foreign bodies aspirated by children are radiolucent.
• Therefore, radiographs primarily are useful for detecting only the indirect
signs of foreign body aspiration, such as air trapping or atelectasis. Routine
diagnostic imaging consists of anteroposterior and lateral chest
radiographs
Imaging in Pediatric Airway Foreign
Body
• For patients with suspected FBA who are asymptomatic, or symptomatic
but stable, the first step in the evaluation is to perform plain radiography
of the chest. Subsequent steps depend on the degree of clinical suspicion
for FBA, and may include computed tomography (CT) or bronchoscopy
• Plain radiographs — Plain radiographic evaluation of the chest may or
may not be helpful in establishing the diagnosis of FBA, depending upon
whether the object is radio-opaque, and whether and to what degree
airway obstruction is present. The diagnosis of FBA is easily established
with plain radiographs when the object is radio-opaque (about 10 percent
of FB. However, most objects aspirated by children are radiolucent (eg,
nuts, food particles), and are not detected with standard radiographs
unless aspiration is accompanied by airway obstruction or other
complications. As a result, normal findings on radiography do not rule out
FBA, and the clinical history is the main determinant of whether to
perform a bronchoscopy.
Imaging in Pediatric Airway Foreign
Body
• Computed tomography — CT is a possible diagnostic
option for patients who are asymptomatic or
symptomatic but stable, who have normal or
inconclusive plain radiographs but an ongoing clinical
suspicion of FB aspiration. However, this imaging is
only helpful if the provider judges that negative
imaging would be sufficient to preclude bronchoscopy.
In most cases, such patients proceed directly to
bronchoscopy without CT.
• Bronchoscopy — The tracheobronchial tree should be
examined in all cases with a moderate or high
suspicion of FBA, typically using rigid bronchoscopy so
that the object can be safely removed.
Algorithm for suspected foreign body aspiration in children

CT: computerized tomography; FBA: foreign body aspiration.


* Refer to algorithm for complete airway obstruction in children.
¶ A moderate or high suspicion of foreign body aspiration includes all
children with a witnessed FBA (regardless of symptoms), and those
with suggestive respiratory symptoms or suspicious characteristics on
imaging, especially if there is a history of choking.
Δ For stable patients with a high clinical suspicion of aspiration, it is
reasonable to proceed directly to bronchoscopy, even if the plain
radiographs are normal or inconclusive. Alternatively, computed
tomography (CT) can be performed first to help clarify the diagnosis
(dotted line), if the provider judges that negative imaging would be
sufficient to preclude bronchoscopy.
◊ Rigid bronchoscopy is the procedure of choice to remove a foreign
body. In cases where the diagnosis or location of the foreign body is
unclear, it is usually preferable to perform flexible bronchoscopy first,
then proceed to rigid bronchoscopy for foreign body removal.
Treatment
• Bronchodilators and corticosteroids should
not be used to remove the foreign body
• Medications are not necessary before removal
• Surgical therapy: endoscopic removal, usually
with a rigid bronchoscope.
128. Hyponatremia
• Sodium is the most prevalent cation in the
extracellular fluid (ECF).
• Total body sodium is therefore proportional to
ECF volume.
• Under normal circumstances serum sodium
levels are maintained within a tight physiological
range of between 135-145mmol/l.
• “True hyponatremia” is regarded as a low sodium
level in the presence of hypoosmolality.
Etiologi
Classification and Symptom
• Mild hyponatraemia :
serum sodium
concentration between
130 and 135 mmol/L.
• Moderate hyponatraemia
:serum sodium
concentration between
125 and 129 mmol/L
• profound hyponatraemia
: serum sodium
concentration < 125
mmol/L
Obat-obatan yang menyebabkan
hiponatremia
• Diuretics 4 macam diuretik:
• Carbamazepine • Loop diuretics act in the
• Chlorpromazine thick ascending limb of the
• Analog Vasopressin loop of Henle
• Indapamide • Thiazide-type diuretics in
the distal tubule and
• SSRI connecting segment
• Teofilin • Potassium-sparing diuretics
• Amiodarone in the aldosterone-sensitive
• ekstasi principal cells in the cortical
collecting tubule
• Acetazolamide and
mannitol act at least in part
in the proximal tubule
http://www.aafp.org/afp/2004/0515/p2387.html#afp20040515p2387-f1
http://www.pathophys.org/wp-content/uploads/2013/02/MPR-nephron.png
Diuretics-induced hyponatremia
• Hyponatremia is an occasional but potentially
fatal complication of diuretic therapy.
• All cases of severe diuretic-induced
hyponatremia have been due to a thiazide-type
diuretic.
• A loop diuretic is much less likely to induce
hyponatremia
• The difference in hyponatremic risk between
thiazide-type and loop diuretics may be related to
differences in their tubular site of action
FUROSEMIDE
• Loop diuretics inhibit
FUROSEMIDE
• Administration of a FUROSEMIDE
loop diuretic
interferes with this • As a result, water
process by impairing retention and the
the accumulation of development of
NaCl in the medulla. hyponatremia will
• Thus, although the be limited, unless
loop diuretic can distal delivery is
increase ADH levels by very low or water
inducing volume intake is very
depletion, high.
responsiveness to
ADH is reduced
because of the
impairment in the
medullary gradient.
MECHANISM
THIAZIDE
• Despite numerous studies, the pathophysiological
mechanisms underlying Thiazide Induced
Hyponatremia (TIH) are unclear.
THIAZIDE
• The thiazides act in the cortex in the distal tubule;
as a result, they do not interfere with medullary • Loss of this
function or with ADH-induced water retention. fluid can
• In addition, in vitro data indicate that thiazides directly
increase water permeability and water promote the
reabsorption in the inner medullary collecting development
duct, an effect that is independent of ADH. of
hyponatremia
• In addition to water retention, the combination of
independent
increased sodium and potassium excretion (due to
of the degree
the diuretic) and enhanced water reabsorption
of water
(due to ADH) can result in the excretion of urine
intake.
with a sodium plus potassium concentration
higher than that of the plasma.

MECHANISM
Hyponatremia

• Hyponatremia is physiologically significant when it indicates a


state of extracellular hyposmolarity and a tendency for free
water to shift from the vascular space to the intracellular
space.
• Cellular edema is well tolerated by most tissues, it is not well
tolerated within the rigid confines of the bony calvarium.
Therefore, clinical manifestations of hyponatremia are related
primarily to cerebral edema
Electrolyte: hyponatremia
• Natrium concentration is influenced by the balance of natrium
& water in the body.

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.


Electrolyte: hyponatremia
Many symptoms of hyponatremia
are associated with the hypotonic
hydration.

The most common symptoms:


• Headache
• Nausea
• Disorientation
• Tiredness
• Muscle cramps
• Comatose

Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008


129. Inverted Nipple
• Bentuk puting: normal (menonjol), flat nipple, inverted
nipple
• Derajat inverted/ terbenam bervariasi
• Grade inverted nipple:
– Grade 1 : Puting tertarik ke dalam, masih mudah untuk
ditarik dan dapat bertahan cukup lama tanpa perlu tarikan.
Namun tekanan lembut di sekitar areola pada kulit dapat
menyebabkan puting tertarik ke dalam kembali.
– Grade 2: Puting yang tertarik ke dalam dan masih bisa ditarik
keluar, tidak semudah grade 1. Setelah tarikan dilepas,
puting akan masuk ke dalam kembali
– Grade 3: posisinya sangat tertarik ke dalam dan sulit untuk
ditarik keluar apalagi untuk mempertahankan tetap terlihat.
(karena perlekatan jaringan puting di jaringan bawahnya)
Inverted Nipple
• Utk bisa menyusu scr efektif, bayi harus bisa meraih puting
dan mereganggkannya ke atas menuju langit-langit mulutnya
• Sebagian besar puting rata maupun terbenam tidak akan
menyebabkan kesulitan dalam menyusui
• 1/3 wanita bisa mengalami inverted nipple, tetapi selama
kehamilan terjadi perubahan kulit yg mjd lebih elastis.
• Hanya 10% sisanya yg tetap mengalami inversi saat bayi lahir
• “pinch” test (penekanan daerah areola sekitar 2 cm di luar
puting): utk menentukan apakah puting datar/ terbenam
– Kalau Flat  menjadi menonjol
– Kalau inverted  menjadi retraksi atau terbenam menghilang
Retraksi Puting
• Retraksi puting/ puting datar atau terbenam merupakan
permasalahan yang sering ditemui pada ibu menyusui
• Tatalaksana yang dapat dilakukan:
– Kontak bayi dengan ibu skin-to-skin lalu biarkan bayi mengisap
sedini mungkin
– Rangsang puting agar dapat muncul keluar (biarkan bayi
mengisap sendiri, tarik secara manual)
– Bila tidak dapat keluar secara manual dapat digunakan nipple
puller atau gunakan spuit yang dipakai terbalik
– Jika tetap kesulitan  tekan aerola mammae dengan jari
sehingga terbentuk dot
– Hisapan bayi adalah cara paling efektif dan efisien
– Nipple shield atau breast shield kurang bermanfaat
Cara mengatasi inverted nipple
• Setelah beberapa kali menyusu, isapan bayi • After baby is born, a
yg kuat akan mengalahkan gaya yg menarik breast pump can be used
puting ke dalan dan membuat puting to draw out a flat or
menonjol  semakin bertambah besar inverted nipple
bayi, isapan semakin kuat, puting akan immediately before
semakin keluar. putting your baby on the
• Hoffman Technique: latihan manual untuk breast.
melepaskan adhesi/ perlekatan yg terjadi di – Pumping can also be
dasar puting useful in order to break
the adhesions under the
– Place the thumbs of both hands opposite each skin by applying uniform
other at the base of the nipple and gently but pressure from the center
firmly pull the thumbs away from each other. of the nipple.
– Do this up and down and sideways.
• Jalan terkahir:
– Repeat this exercise twice a day at first, then
work up to five times a day.
rekonstruksi dengan
– You can do this during pregnancy to prepare
tindakan pembedahan
your nipples, as well as after your baby is born (operasi).
in order to draw them out.
130. Diarrheagenic Escherichia coli
Noninflammatory Diarrheas
Enterotoxigenic E. coli (ETEC) Rapid onset of watery, nonbloody diarrhea of considerable
volume, accompanied by little or no fever. Diarrhea and
other symptoms cease spontaneously after 24 to 72 hours
Inflammatory Diarrheas
Enteroinvasive E. coli (EIEC) Present most commonly as watery diarrhea. Minority of
patients experience a dysentery syndrome, with fever,
systemic toxicity, crampy abdominal pain, tenesmus, and
urgency
Enteropathogenic E. coli (EPEC) Profuse watery, nonbloody diarrhea with mucus, vomiting
and low-grade fever. Chronic diarrhea and malnutrition can
occur. Usually at < 2 y.o, esp <6 mo (at weaning period)
Shigatoxin-producing E. coli Symptoms ranging from mild diarrhea to severe
(STEC)/EHEC hemorrhagic colitis and hemolytic-uremic syndrome in all
ages
Enteroaggregative E. coli (EAggEC) Watery, mucoid, secretory diarrhea with low-grade fever
and little or no vomiting. One third of patients have grossly
bloody stools. The watery diarrhea usually persist ≥14 days
Diarrheagenic Escherichia coli
Diarrheagenic Escherichia coli
• E. coli species are members of the Enterobacteriaceae
family.
• Characteristic: oxidase-positive, facultatively anaerobic,
gram-negative bacilli. Fermentation of lactose(+).
• Pada soal, pasien berusia 1 tahun dengan keluhan BAB
tanpa darah  kemungkinan ETEC atau EPEC
• ETEC dan EPEC sama-sama menyebabkan infantile diarrhea,
ETEC pada anak >1 tahun, EPEC pada anak < 2 tahun
(terutama usia 6 bulan)
• ETEC banyak pada daerah yang endemis terutama di
daerah tropis
• Oleh karena itu, penyebab diare pada soal lebih condong
pada ETEC
Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed
131. FOOD POISONING
STAPHYLOCOCCUS AUREUS CLOSTRIDIUM BOTULINUM
• Gram positive cocci that occurs in • It is a gram positive anaerobic spore
singles, pairs, short chains, tetrads and bearing bacilli
irregular grape like clusters. • Incriminated food: Most cases of
• Food is usually contaminated from botulism are associated with home
infected food handler. canned or bottled meat, vegetables
• The food handler with an active lesion and fish.
or carriage can contaminate food. • Incubation period: 12-36 hours
• Custard and cream filled bakery food,
• Clinical features: Common features
ham, chicken, meat, milk, fish, salads,
include vomiting, thirst, dryness of
puddings, pie
mouth, constipation, ocular paresis
• The bacteria produce enterotoxin (blurred-vision), difficulty in
while multiplying in food.
speaking, breathing and swallowing.
• Clinical features: Coma or delirium may occur in some
– The onset is sudden and is characterized cases. Death may occur due to
by vomiting and diarrhea but no fever.
respiratory paralysis within 7 days.
– The illness lasts less than 12 hours.
Clostridium Perfringens
• It is a gram positive anaerobic spore bearing bacilli
• Incriminated food: food-borne outbreaks of C.perfringens involve meat
products that are eaten 1- 2 days after preparation.
• C. perfringens can exist as a heat-resistant spore, so it may survive cooking and
grow to large numbers if the cooked food is held between 5oC and 140oC for an
extensive time period Meats that have been cooked, allowed to cool slowly,
and then held for some time before eating are commonly incriminated.
• Pathogenesis: Spores in food may survive cooking and then germinate when
they are improperly stored.
• When these vegetative cells form endospores in the intestine, they release
enterotoxins.
• Incubation period: 8-24 hours
• Clinical features: Illness is characterized by acute abdominal pain, diarrhea, and
vomiting (none or rare). Illness is self- limiting and patient recovers in 18-24
hours.
Bacillus Cereus
• Gram positive aerobic spore Clinical features:
bearing bacilli. • The ‘emetic-type’ or the short
• Incriminated food: Commonly incubation type has an incubation
associated with rice and vegetables period of 1 to 6 hours.
• Pathogenesis: During the slow – The short-incubation form is most
often associated with fried rice that
cooling, spores germinate and
has been cooked and then held at
vegetative bacteria multiply, then warm temperatures for several hours.
they sporulate again. – Within 16 hours of eating
• The toxin is heat-stable, and can contaminated fried rice, patients
easily withstand the brief high suffer nausea, vomiting and
temperatures used to cook fried abdominal cramps that generally lasts
for less than a day.
rice.
• The second type is manifested
• Long-incubation food poisoning is
primarily by abdominal cramps and
frequently associated with meat or
diarrhea with an incubation period
vegetable-containing foods after
of 8 to 16 hours.
cooking.
DIAGNOSIS
ETIOLOG
S O U R C E & C L I N I C A L F E AT U R E S PAT H O G E N E S I S &
Y
T R E AT M E N T
• Improperly stored foods with high salt
or sugar content favors growth of • Enterotoxin acts on receptors
Staphylo staphylococci. in the gut that transmit Symptomatic
cocci • Intense vomiting and watery diarrhea impulses to the medullary treatment
start 1-4 h after ingestion and last as centers
long as 24-48 h

• Emetic enterotoxin (short


• Contaminated fried rice (emetic)
incubation and duration) -
• Meatballs (diarrheal)
Poorly understood
• Emetic: Duration is 9 h, vomiting and
• Diarrheal enterotoxin (long
cramps Symptomatic
B cereus incubation and duration) -
• Diarrheal: Lasts for 24 h treatment
Increasing intestinal secretion
• Mainly vomiting after 1-6 h and mainly
by activation of adenylate
diarrhea after 8-16 h after ingestion;
cyclase in intestinal
lasts as long as 1 d
epithelium

• Inadequately cooked meat, poultry, or


legumes
Culture of
• Acute onset of abdominal cramps with • Enterotoxin produced in the
clostridia in food
diarrhea starts 8-24 h after ingestion. gut, and food causes
C perfringens and stool
• Vomiting is rare. It lasts less than 1 d. hypersecretion in the small
Symptomatic
• Enteritis necroticans associated with C intestine
treatment
perfringens type C in improperly cooked
pork (40% mortality)
DIAGNOSIS &
ETIOLOGY S O U R C E & C L I N I C A L F E AT U R E S PAT H O G E N E S I S
T R E AT M E N T
• Toxin present in
• Canned foods (eg, smoked fish, • Toxin absorbed from food, serum, and
mushrooms, vegetables, honey) the gut blocks the stool.
• Descending weakness and paralysis start release of • Respiratory
C botulinum
1-4 d after ingestion, followed by acetylcholine in the support
constipation. neuromuscular • Intravenous
• Mortality is high junction trivalent antitoxin
from CDC

• Contaminated water and food (eg, salad, • Enterotoxin causes


cheese, meat) hypersecretion in
Enterotoxic E coli • Supportive
• Acute-onset watery diarrhea starts 24-48 small and large
(eg, traveler's treatment
h after ingestion intestine via
diarrhea) • No antibiotics
• Concomitant vomiting and abdominal guanylate cyclase
cramps may be present. It lasts for 1-2 d activation

• Improperly cooked hamburger meat and


previously spinach
• Cytotoxin results in
• Most common isolate pathogen in bloody • Diagnosis with
endothelial damage
Enterohemorrhagic diarrhea starts 3-4 d after ingestion stool culture
and leads to platelet
E coli (eg, E coli • Usually progresses from watery to bloody • Supportive
aggregation and
O157:H7) diarrhea. It lasts for 3-8 d treatment
microvascular fibrin
• May be complicated by hemolytic-uremic • No antibiotics
thrombi
syndrome or thrombotic
thrombocytopenic purpura
SOURCE & CLINICAL DIAGNOSIS &
CAUSE PAT H O G E N E S I S
F E AT U R E S T R E AT M E N T

• Enterotoxin produces
• Contaminated imported cheese
secretion • Supportive treatment
EIEC • Usually watery diarrhea (some
• Shigalike toxin • No antibiotics
may present with dysentery)
facilitates invasion

• Implicated in traveler's diarrhea in • Ciprofloxacin may shorten


• Bacteria clump on
EAEC developing countries duration and eradicate the
the cell surfaces
• Can cause bloody diarrhea organism
• Positive stool culture finding
• Prompt replacement of fluids
• Enterotoxin causes
• Contaminated water and food and electrolytes (oral
hypersecretion in
• Large amount of nonbloody rehydration solution)
V cholera small intestine
diarrhea starts 8-24 h after • Tetracycline (or
• Infective dose usually
ingestion. It lasts for 3-5 d fluoroquinolones) shortens the
is 107 -109 organisms
duration of symptoms and
excretion of Vibrio

• Domestic animals, cattle, chickens


• Fecal-oral transmission in humans
• Foul-smelling watery diarrhea • Culture in special media at
• Uncertain about
followed by bloody diarrhea 42°C
C jejuni endotoxin production
• Abdominal pain and fever also • Erythromycin for invasive
and invasion
may be present; it starts 1-3 d disease (fever)
after exposure and recovery is in
5-8 d
ETIOLOG SOURCE & CLINICAL DIAGNOSIS &
PAT H O G E N E S I S
Y F E AT U R E S T R E AT M E N T

• Polymorphonuclear
• Organisms invade
• Potato, egg salad, lettuce, leukocytes (PMNs), blood,
epithelial cells and
vegetables, milk, ice cream, and mucus in stool
produce toxins
and water • Positive stool culture
• Infective dose is 102
• Abrupt onset of bloody • Oral rehydration is mainstay
Shigella -103 organisms
diarrhea, cramps, tenesmus, • Trimethoprim-
• Enterotoxin-
and fever starts 12-30 h after sulfamethoxazole (TMP-
mediated diarrhea
ingestion. SMX) or ampicillin for
followed by invasion
• Usually self-limited in 3-7 d severe cases
(dysentery/colitis)
• No opiates

• Beef, poultry, eggs, and dairy


products
• Abrupt onset of moderate-to-
large amount of diarrhea with • Positive stool culture finding
• Invasion but no
Salmonella low-grade fever; in some • Antibiotic for systemic
toxin production
cases, bloody diarrhea infection
• Abdominal pain and vomiting
also present, beginning 6-48 h
after exposure and lasts 7-12 d
Tekanan di dalam Jantung

132. Congenital Heart


Disease

Congenital HD

Acyanotic Cyanotic

With ↑ volume With ↓ With ↑


load: With ↑ pressure pulmonary blood pulmonary blood
load: flow: flow:
- ASD
- Valve stenosis - ToF - Transposition of
- VSD - Coarctation of - Atresia the great vessels
- PDA aorta pulmonal - Truncus
- Valve - Atresia tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2,
murmur ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: PS, VSD, overriding
aorta, RVH. Boot like heart
pada radiografi
– TGA

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology

With ↑ volume load Clinical Findings


The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ pressure load Clinical Findings

Obstruction to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aortic
stenosis, coarctation of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilatation of


Dilatation happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in


Defect location determine newborn  right-sided HF
the symptoms (hepatomegaly, peripheral
edema)

Severe aortic stenosis  left-


sided (pumonary edema, poor
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. perfusion) & right-sided HF
Atrial Septal Defect
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shunting is dependent on:
- the size of the defect,
- the relative compliance of the R and L ventricles, &
- the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations

Infant has thick & less compliant RV  minimal symptoms


As children grow older: subtle failure to thrive, fatigue, dyspneu on effort,
recurrent respiratory tract infection

Enlargement of the RA & RV


Overflow in the right side of Dilatation of the pulmonary artery
heart The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood 


reversal of the shunt & cyanosis
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Ro:
Increased flow into right side of - enlargement of RV, RA, &
the heart & lungs pulmonary artery
- increased vasvular marking

Constant increased of Wide, fixed 2nd heart sound


ventricular diastolic volume splitting

Increased flow across tricuspid Mid-diastolic murmur at the lower


valve left sternal border

Increased flow across Thrill & systolic ejection murmur, best


heard at left middle & upper sternal
pulmonary valve border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings

•  size of the main


pulmonary artery
•  size of the right atrium
•  size of the right ventricle
(seen best on the lateral
view as soft tissue filling in
the lower & middle
retrosternal space).
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
2. Essentials of Radiology. 2nd ed.
Ventricular Septal Defect
Patent Ductus Arteriosus
133. Limfoma Non-Hodgkin
• Limfoma non Hodgkin merupakan bagian dari limfoma maligna
(keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat) yang berupa
tumor ganas yang disebabkan proliferasi ganas sel-sel jaringan limfoid
dari seri limfosit.
• Meski limfoma maligna umumnya terbatas pada jaringan limfoid, pada
anak tidak jarang ditemukan keterlibatan sumsum tulang, sedangkan
keterlibatan tulang dan susunan saraf jarang terjadi.
• Sebanyak 35% tumor primernya berlokasi di daerah abdomen, 13% di
daerah kepala dan leher.
• Faktor risiko berupa genetik, imunosupresi pasca transplantasi, obat-
obatan (difenilhidantoin), radiasi, dan infeksi virus (EBV, HIV).
Non-Hodgkin Lymphoma Classification
in Pediatric
• Adult non-Hodgkin lymphomas are characterized as low,
intermediate, or high grade, and they can have a diffuse or
nodular appearance.
• In contrast, childhood non-Hodgkin lymphomas are almost
always high grade and diffuse.
• According to the National Cancer Institute (NCI)
formulation, most childhood non-Hodgkin lymphomas can
be classified as one of the following types:
– Lymphoblastic lymphomas
• indistinguishable from the lymphoblasts of acute lymphoblastic
leukemia (ALL)
– Small noncleaved cell lymphomas (SNCCLs) –
• can be classified as Burkitt lymphomas and non-Burkitt lymphomas
(Burkittlike lymphomas)
– Large cell lymphomas (LCLs)
Limfoma Non-Hodgkin
ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK
• Abdomen: nyeri perut, mual dan • Massa di daerah tumor
muntah, konstipasi atau diare, teraba primer
massa, perdarahan saluran cerna akut,
ikterus, gejala-gejala intususepsi • Limfadenopati
• Kepala dan leher: limfadenopati • Sesak nafas
servikal dan pembengkakan kelenjar • Anemia
parotis, pembengkakan rahang,
• Perdarahan
obstruksi hidung, rinore
• Mediastinum: sesak nafas, ortopneu, • Nyeri tulang
pusing, nyeri kepala, disfagia, • Hepatosplenomegali
epistaksis, sinkop, penurunan
kesadaran (sindrom vena cava
superior)
• Keluhan umum: demam, penurunan
berat badan, anemia.
Pemeriksaan Penunjang Limfoma Non
Hodgkin
• Tujuan: untuk menegakkan • Aspirasi sumsum tulang
diagnosis pasti dan staging. • Pemeriksaan cairan serebrospinal
• Biopsi (histopatologis) untuk • Sitologi cairan pleura,
menegakkan diagnosis pasti: peritoneum atau perikardium
ditemukan limfosit, atau sel stem • Bone scan (survey tulang)
yang difus, tanpa
diferensiasi/berdiferensiasi buruk • Ct scan (atas indikasi)
• Laboratorium: pemeriksaan darah • MRI (atas indikasi)
lengkap, LDH, asam urat, • Pemeriksaan imunofenotiping
pemeriksaan fungsi hati, fungsi • Pemeriksaan sitogenetik dan
ginjal, elektrolit untuk memeriksa biologi molekular
marker tidak spesifik dan tanda
tumor lisis sindrom.
• USG abdomen
• Foto toraks
Burkitt lymphoma
• Bulky, fleshy tumors, ± necrotic areas
• Peripheral lymphadenopathy is rare; Bone marrow
involvement late, leukemia rare
• Responsive to chemotherapy (especially African), 50%
relapse
• Strong association with EBV.
• Another important feature of BL is that nearly 100% of
nuclei of the neoplastic cells are Ki-67-positive.
Cytoplasmic immunoglobulin may be present.
• Differential diagnosis: Diffuse large B cell lymphoma, B cell
lymphoma unclassified.
813
Burkitt lymphoma is a high-grade malignant lymphoma composed of
germinal center B cells which can present in three clinical settings:

1. Endemic. This occurs in the equatorial strip of Africa and is the most
common form of childhood malignancy in this area. The patients
characteristically present with jaw and orbital lesions. Involvement
of the gastrointestinal tract, ovaries, kidney, and breast are also
common.

2. Sporadic. This is seen throughout the world. It affects mainly children


and adolescents, and has a greater tendency for involvement of the
abdominal cavity than the endemic form.

3. Immunodeficiency-associated. This is seen primarily in association


with HIV infection and often occurs as the initial manifestation of the
disease.

814
Burkitt’s Lymphoma
• The tumor cells are monotonous small (10-25μm) round cells.
The nuclei are round or oval and have several prominent
basophilic nucleoli. The chromatin is coarse and the nuclear
membrane is rather thick.
• The cytoplasm is easily identifiable; Mitoses are numerous,
and a prominent starry sky pattern is the rule, although by no
means pathognomonic.
• In well-fixed material, the cytoplasm of individual cells
‘squares off’, forming acute angles in which the membranes of
adjacent cells abut on each other.
• Occasionally, the tumor is accompanied by a florid
granulomatous reaction.
• Numerous fat vacuoles in cytoplasm (Oil Red O positive)
815
Burkitt lymphoma with characterstic starry sky appearance.
816
Limfoma Hodgkin
• Limfoma Hodgkin merupakan bagian dari limfoma maligna
(keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat).
• Sel ganas pada penyakit Hodgkin berasal dari sistem limforetikular
ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg pada organ yang
terkena.
• Limfosit yang merupakan bagian integral proliferasi sel pada
penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi kekebalan selular
terhadap sel ganas tersebut.
• Lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan limfoma non Hodgkin.
• Faktor risiko diduga berhubungan dengan infeksi virus Eipstein-Barr,
radiasi, dan faktor genetik.
• Histopatologi : ditemukan sel Reed-Sternberg.
Limfoma Hodgkin
ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK
• Pembengkakan yang tidak nyeri • Limfadenopati, dapat sebagian
dari 1 atau lebih kelenjar getah ataupun generalisata dengan
bening superfisial. Pada 60-80% predileksi terutama daerah
kasus mengenai kelenjar getah servikal, yang tidak terasa nyeri,
bening servikal, pada 60% kasus
diskret, elastik, dan biasanya
berhubungan dengan
kenyal
keterlibatan mediastinum
• demam hilang timbul • Splenomegali
(intermiten) • Gejala-gejala penyakit paru (bila
• Berkeringat malam yang terkena kelenjar getah
• Anoreksia, penurunan berat bening mediastinum dan hilus)
badan • Gejala-gejala penyakit susunan
• Rasa lelah saraf (biasanya muncul lambat).
819
820
134. Stenosis Aorta
• Congenital aortic valve stenosis accounts for
approximately 5% of all cases of congenital heart
disease, with reported incidences ranging from 0.04 to
0.38 per 1000 live births
• Aortic valve stenosis is the obstruction to outflow from
the left ventricle because of an abnormal aortic valve.
• The discharge restriction to the systemic ventricle may
also be produced by an anomaly at a sub or
supravalvar level.
• Nevertheless, the most common site of occurrence is
by far the annulus (70%)
Normal Aorta Aortic stenosis
• Aortic stenosis means that the aortic valve cannot open
fully.
• When the aortic valve is narrow, the muscle of the left
pumping chamber – the left ventricle has to work harder
than normal  thickening of the muscle of the left
ventricle.
• The thicker the muscle becomes, the less efficient it is at
pumping blood in the long term.
• If the narrowing is very severe, the heart cannot pump
normally and this can limit the amount of exercise or play
your child can do.
• If this is left untreated, serious complications such as heart
failure can occur, or in some cases the child may even die.
Diagnosis
• The symptoms vary depending on how narrow
the aortic valve is.
– Most children will not have any symptoms,
– the symptoms that can occur include a lack of
energy or being tired, or breathlessness when
exercising or playing.
– if the aortic stenosis is severe, fainting can
occur.
• In most cases, aortic stenosis is not diagnosed
until after the baby is born, although some
severe cases may be diagnosed before birth.
• The diagnosis is usually made because a heart
murmur (an extra sound from the heart) is
detected at birth,or during a routine
examination when the child is older.
135. Gagal Jantung
• Sindroma klinis yang ditandai oleh
ketidakmampuan miokardium memompa darah
ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh termasuk kebutuhan untuk
pertumbuhan
• Penyebabnya :
• penyakit jantung bawaan, demam rematik akut,
anemia berat, pneumonia sangat berat dan gizi
buruk.
• Gagal jantung dapat dipicu dan diperberat oleh
kelebihan cairan.
Analisis Soal
• Adanya riwayat sesak nafas sejak 2 bulan
terakhir, terdapat bising diastolik pada linea
midclavicula sinistra, rhonkhi basah halus,
mengi, krepitasi pada basal baru,
mengarahkan diagnosis pada gagal jantung.
dipikirkan pasien mengalami gagal jantung
Kongestif karena terdapat baik kongesti paru
(sesak napas, rhonki basah halus, krepitasi
basal paru) dan kongesti perifer (pembesaran
hepar dan lien).
136. Akses Intraoseus
• Akses intraoseus disarankan untuk
anak <6 thn.
• Beberapa studi mengatakan jika
akses IO juga aman utk anak yg lbh
besar dan org dewasa
• Menurut Emergency Cardiovascular
Care Guidelines (2000), akses IO
direkomendasikan pada semua
pasien anak yang gagal
mendapatkan akses IV setelah
mencoba 2x atau pada kasus syok/
circulatory collapse. • Site of injection:
• Pada tahun 2005, the American – Proximal tibia
Heart Association – sternum
merekomendasikan akses IO jika
akses vena tidak bisa didapatkan
dengan cepat.
• Spesimen darang yg didapatkan melalui intraosesus
bisa digunakan untuk pemeriksaan lab, seperti
kadar pH, kadar PCO2, dan gol darah, tetapi
mungkin agak berbeda dengan standar hasil darah
vena.
• Semua obat-obatan dan produk darah bisa
dimasukkan melalui akses IO
• Jika jarum Intraosseous dibiarkan > 72 jam, akan
berisiko infeksi lokal, sehingga akses IO sebaiknya
diangkat segera setelah akses vena didapatkan
secara permanen
INDIKASI KONTRAINDIKASI

• Sulit mendapatkan akses IV • Infection at entry site


– Burns • Burn at entry site
– Obesity • Ipsilateral fracture of the
– Edema extremity
– Seizures • Osteogenesis imperfecta
• Memerlukan infus dengan kapasitas • Osteopenia
volume yang tinggi dan cepat • Osteopetrosis
– Hypovolemic shock • Previous attempt at the same site
– Burns • Previous attempt in different
• Sebagai akses ke sirkulasi vena location on same bone
sistemik • Previous sternotomy (sternum
– Cardiopulmonary arrest insertion)
– Burns • Sternum fracture or vascular
– Blood draws injury near sternum (sternum
– Local anesthesia insertion)
– Medication infusion • Unable to locate landmarks
137. Tuberkulosis pada anak
• Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala yang khas
over/underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB pada
anak
• Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
• Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
– Konfirmasi bakteriologis TB
– Gejala klinis yang khas TB
– Adanya bukti infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
– Foto thorax sugestif TB
• System skoring:
– Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
– Bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan
foto thoraks, maka skoring ini akan tidak dapat terpenuhi
seluruh komponennya
– Sehingga dibuat alur diagnostik berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring
• Diagnosis oleh dokter
• Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname)
• Demam dan batuk yang tidak respons terhadap terapi baku
• Cut-of f point: ≥ 6
• Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi
atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut
• Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
• Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB
• Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
• Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan
• besar dirujuk ke rumah sakit
ALUR DIAGNOSIS
BILA DIDAPATKAN
GEJALA KLINIS
Prinsip Pengobatan TB Anak
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2016. Depkes.
Kortikosteroid pada TB Anak
138. Skor Ballard
Analisis Soal
• Berdasarkan skor ballard seperti pada gambar
di bawah ini, maka skor ballard pada pasien ini
adalah: kulit telapak tangan mengelupas dan
berkerut (5), lipatan pada plantar pedis bagian
anterior (2), bentuk kuping baik namun
kembali lambat (1), kulit skrotum baik (3), bald
area (3), areola menonjol (3)  30-32 minggu.
• Maka dari nilai ini dapat disimpulkan pasien
kurang bulan.
139. Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang
bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa
dan galaktosa.
• Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu
laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase
• Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
• Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
– Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
– Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
– Genetical lactase deficiency
Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu
secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif
• Defisiensi laktase sekunder
– Akibat penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperti infeksi saluran cerna.
– umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis
• Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
• Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada  laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon  tekanan osmotik meningkat  menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus  diare osmotik
• Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
• Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon 
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat 
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
• Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon  menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida  distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
• Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
• Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
• Intoleransi laktosa dapat bersifat • Gejala klinis yang diperlihatkan
asimtomatis atau dapat berupa rasa mual, muntah,
memperlihatkan berbagai gejala sakit perut, kembung dan sering
klinis flatus.
• Berat atau ringan gejala klinis • Rasa mual dan muntah
yang diperlihatkan tergantung merupakan gejala yang paling
dari aktivitas laktase di dalam sering ditemukan
usus halus, jumlah laktosa, cara • Pada uji toleransi laktosa rasa
mengkonsumsi laktosa, waktu penuh di perut dan mual timbul
pengosongan lambung, waktu dalam waktu 30 menit,
singgah usus, flora kolon, dan sedangkan nyeri perut, flatus dan
sensitifitas kolon terhadap diare timbul dalam waktu 1-2 jam
asidifikasi. setelah mengkonsumsi larutan
laktosa
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis tinja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam tinja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
– Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
– Kromatografi tinja
– pH tinja  tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuantitatif; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas  metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas dan efektivitas yang
tinggi
• Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Clinitest
Method Principle
• Clinitest is a reagent tablet based • Copper sulfate in Clinitest reacts
on the Benedict's copper reduction with reducing substances in
reaction, combining reactive urine/stools converting cupric
ingredients with an integral heat sulfate to cuprous oxide.
generating system. • The resultant color, which varies
• The test is used to determine the with the amount of reducing
amount of reducing substances substances present, ranges from
(generally glucose) in urine/stools. blue through green to orange.
• Clinitest provides clinically useful
information on carbohydrate
metabolism.
Clinitest
• The Clinitest® reaction detects all • Testing for reducing substances in
reducing substances in stool; of stool is used in diagnosing the cause
primary interest are glucose, lactose, of diarrhea in children.
fructose, galactose, maltose, and • Increased reducing substances in
pentose. stool are consistent with primary or
• Reference Range: secondary disaccharidase deficiency
Negative. A result of 0.25% to 0.5% is and intestinal monosaccharide
suspicious for a carbohydrate malabsorption.
absorption abnormality, >= 0.75% is • Similar intestinal absorption
abnormal. deficiencies are associated with short
• Test Limitations: bowel syndrome and necrotizing
Assay results have relevance for enterocolitis.
liquid stool samples; assay results • Stool reducing substances is also
have little relevance for formed stool helpful in diagnosing between
samples. osmotic diarrhea caused by
abnormal excretion of various sugars
as opposed to diarrhea caused by
viruses and parasites.
140. Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstruction to pulmonary blood flow

If the obstruction is mild:


Cyanosis may be absent at rest
These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress

If the obstruction is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes  hypoxemia & shock
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated
with obstruction to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by:


Total mixing of systemic venous &
Abnormal ventricular-arterial pulmonary venous within the heart:
connections: - Common atrium or ventricle
- Total anomolous pulmonary venous
- TGA return
- Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Tetralogi Fallot
OBSTETRI
&
GINEKOLOGI
141. Abortus
• Definisi: Ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan pada kehamilan < 20 minggu atau berat janin < 500 gram
• Klasifikasi:

• Diagnosis  dengan bantuan USG


– Perdarahan pervaginam (bercak hingga berjumlah banyak)
– Perut nyeri & kaku
– Pengeluaran sebagian produk konsepsi
– Serviks dapat tertutup/ terbuka
– Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya

• Faktor Predisposisi Abortus Spontan


– Faktor dari janin: kelainan genetik (kromosom)
– Faktor dari ibu: infeksi, kelainan hormonal (hipotiroidisme, DM), malnutrisi, obat-
obatan, merokok, konsumsi alkohol, faktor immunologis & defek anatomis seperti
uterus didelfis, inkompetensia serviks, dan sinekhiae uteri karena sindrom
Asherman
– Faktor dari ayah: Kelainan sperma

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Jenis Abortus
• Dua jenis abortus
– Abortus spontan dan abortus provokatus

• Abortus spontan
– terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis, disebut juga
keguguran (miscarriage)

• Abortus provokatus
– Sengaja sengaja dilakukan tindakan (Cunningham
dkk.,2010)
Abortus Provokatus: Bentuk
• Abortus provokatus medisinalis
– Dilakukan atas dasar indikasi vital
– Tindakan harus disetujui oleh tiga orang dokter yang merawat ibu
hamil (Dokter yang sesuai dengan indikasi penyakitnya, Dokter
anestesi, Dokter ahli Obstetri dan Ginekologi)
– Indikasi vital
• Penyakit ginjal, jantung, penyakit paru berat, DM berat,
karsinoma

• Abortus provokatus kriminalis


– Tenaga yang tidak terlatih  sering menimbulkan ‘trias’
komplikasi: perdarahan, trauma alat genitalia/jalan lahir, infeksi
hingga syok sepsis
PERDARAHA BESAR
DIAGNOSIS SERVIKS GEJALA LAIN
N UTERUS
• Tes kehamilan +
Sesuai usia
Abortus imminens Sedikit-sedang Tertutup lunak • Nyeri perut
kehamilan
• Uterus lunak

Sesuai atau lebih • Nyeri perut >>


Abortus insipiens Sedang-banyak Terbuka lunak
kecil • Uterus lunak

• Nyeri perut >>


Lebih kecil dari usia
Abortus inkomplit Sedikit-banyak Terbuka lunak • Jaringan +
kehamilan
• Uterus lunak

• Sedikit atau tanpa


Tertutup atau Lebih kecil dari usia nyeri perut
Abortus komplit Sedikit-tidak ada
terbuka lunak kehamilan • Jaringan keluar ±
• Uterus kenyal

Perdarahan Membesar, nyeri • Demam


Abortus septik Lunak
berbau tekan • leukositosis
• Tidak terdapat gejala
nyeri perut
Lebih kecil dari usia
Missed abortion Tidak ada Tertutup • Tidak disertai
kehamilan
ekspulsi jaringan
konsepsi
Abortus Imminens Abortus Insipiens Abortus Inkomplit

Abortus Komplit Missed Abortion


142. Hemorrhagia Post Partum

Etiologi (4T dan I) Pemeriksaan

• Tone (tonus) – atonia uteri • Palpasi uterus


– Bagaimana kontraksi uterus dan tinggi
fundus uterus.
• Trauma – trauma traktus • Memeriksa plasenta dan ketuban:
– lengkap atau tidak.
genital • Melakukan eksplorasi kavum uteri
untuk mencari :
– Sisa plasenta dan ketuban.
• Tissue (jaringan)- retensi – Robekan rahim.
plasenta – Plasenta suksenturiata.
• Inspekulo :
– untuk melihat robekan pada serviks,
• Thrombin – koagulopati vagina dan varises yang pecah.
• Pemeriksaan laboratorium :
– periksa darah, hemoglobin, clot
• Inversio Uteri observation test (COT), dan lain-lain.
Hemorrhagia Post Partum: Definisi
• Definisi Lama
– Kehilangan darah > 500 mL setelah persalinan pervaginam
– Kehilangan darah > 1000 mL setelah persalinan sesar (SC)

• Definisi Fungsional
– Setiap kehilangan darah yang memiliki potensial untuk
menyebabkan gangguan hemodinamik

• Insidens
– 5% dari semua persalinan
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
G E J A L A D A N TA N D A G E J A L A & TA N D A YA N G DIAGNOSIS
YA N G S E L A L U A D A KADANG-KADANG ADA
• Uterus tidak berkontraksi dan lembek • Syok Atonia uteri
• Perdarahan setelah anak lahir (perdarahan
pascapersalinan primer)

• Perdarahan segera • Pucat Robekan jalan


• Darah segar yang mengalir segera setelah bayi • Lemah lahir
lahir • Menggigil
• Uterus kontraksi baik
• Plasenta lengkap

• Plasenta belum lahir setelah 30 menit • Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
• Perdarahan segera (P3) berlebihan
• Uterus kontraksi baik • Inversio uteri akibat tarikan
• Perdarahan lanjutan

• Plasenta atau sebagian selaput (mengandung • Uterus berkontaksi tetapi tinggi Tertinggalnya
pembuluh darah) tidak lengkap • fundus tidak berkurang sebagian plasenta
• Perdarahan segera • (kontraksi hilang-timbul)
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
GEJALA DAN
G E J A L A D A N TA N D A TA N D A YA N G
DIAGNOSIS
YA N G S E L A L U A D A KADANG-KADANG
ADA
• Uterus tidak teraba • Syok neurogenik Inversio uteri
• Lumen vagina terisi massa • Pucat dan limbung
• Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir)
• Perdarahan segera
• Nyeri sedikit atau berat

• Sub-involusi uterus • Anemia Perdarahan


• Nyeri tekan perut bawah • Demam terlambat
• Perdarahan > 24 jam setelah persalinan. Perdarahan Endometritis atau
sekunder atau P2S. Perdarahan bervariasi (ringan atau sisa plasenta
berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (terinfeksi atau
(jika disertai infeksi) tidak)

• Perdarahan segera (Perdarahan intraabdominal dan / • Syok Robekan dinding


atau pervaginam • Nyeri tekan perut uterus (Ruptura
• Nyeri perut berat atau akut abdomen • Denyut nadi ibu cepat uteri
HPP: Tatalaksana

2 komponen utama:
1. Tatalaksana
perdarahan
obstetrik dan
kemungkinan syok
hipovolemik
2. Identifikasi dan
tatalaksana
penyebab utama
Sisa Plasenta
• Etiologi
– His kurang baik, tindakan pelepasan
plasenta yang salah, plasenta akreta,
atonia uteri

• Tanda dan Gejala


– Perdarahan dari rongga rahim setelah
plasenta lahir, dapat segera atau
tertunda
– Uterus tidak dapat berkontraksi
secara efektif
– Plasenta yang keluar tidak
utuh/tercerai berai

• Penanganan
– Pengeluaran plasenta secara manual
– Kuretase
– Uterotonika
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/150/jtptunimus-gdl-fujifatmaw-7485-2-babii.pdf
143. Hipertensi pada Kehamilan:
Patofisiologi
Faktor Risiko
– Kehamilan pertama
– Kehamilan dengan vili
korionik tinggi (kembar
atau mola)
– Memiliki penyakit KV
sebelumnya
– Terdapat riwayat
genetik hipertensi
dalam kehamilan

Cunningham FG, et al. William’s obstetrics. 22nd ed. McGraw-Hill.


Hipertensi pada Kehamilan: Jenis

• Hipertensi Kronik
• Hipertensi Gestasional
• Pre Eklampsia Ringan
• Pre Eklampsia Berat
• Superimposed Pre Eklampsia
• HELLP Syndrome
• Eklampsia

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Eklampsia

• Eklampsia
– Kejang umum dan/atau koma
– Ada tanda dan gejala preeklampsia
– Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya
epilepsi, perdarahan subarakhnoid, dan
meningitis)

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang
• Pencegahan dan Tatalaksana Kejang
– Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD
• MgSO4
– Eklampsia  untuk tatalaksana kejang
– PEB  pencegahan kejang

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia
kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin
minimal 0,5 ml/kgBB/jam
144. Hipertensi pada Kehamilan: Kompikasi

• Pada Ibu
– Kejang (eklampsia)
– HELLP Syndrome
– Solusio plasenta

• Pada Janin
– PJT  akibat penurunan perfusi ke uterus dan
plasenta
– Oligohidramnion
– Oksigenasi fetal rendah  dampak neurologis

http://emedicine.medscape.com/article/253960-overview
145. Kala Persalinan
PERSALINAN dipengaruhi 3 • PEMBAGIAN FASE / KALA
FAKTOR “P” UTAMA PERSALINAN
1. Power Kala 1
His (kontraksi ritmis otot polos Pematangan dan pembukaan
uterus), kekuatan mengejan ibu, serviks sampai lengkap (kala
keadaan kardiovaskular respirasi pembukaan)
metabolik ibu. Kala 2
2. Passage Pengeluaran bayi (kala
Keadaan jalan lahir pengeluaran)
Kala 3
3. Passanger Pengeluaran plasenta (kala uri)
Keadaan janin (letak, presentasi, Kala 4
ukuran/berat janin, ada/tidak Masa 1 jam setelah partus,
kelainan anatomik mayor) terutama untuk observasi
(++ faktor2 “P” lainnya :
psychology, physician, position)
Kala Persalinan: Sifat HIS
Kala 1 awal (fase laten)
• Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm
• Frekuensi dan amplitudo terus meningkat

Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir


• Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4
kali / 10 menit, lama 60-90 detik (frekuensi setidaknya 2x/10 menit dan lama minimal
40 “). Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm).

Kala 2
• Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit.
• Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum

Kala 3
• Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun.
Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap
menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I
Fase Laten
• Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam)

Fase Aktif
• Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung
sekitar 6 jam
• Fase aktif terbagi atas :
1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4
cm.
2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm
sampai 9 cm.
3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai
lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi

• Gejala dan tanda kala II persalinan


– Dor-Ran  Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan
terjadinya kontraksi
– Tek-Num  Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada
rektum dan/atau vagina
– Per-Jol Perineum menonjol
– Vul-Ka  Vulva-vagina dan sfingter ani membuka
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam


(informasi objektif)
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Manajemen Aktif Kala III

Peregangan Tali Massase


Uterotonika Pusat Terkendali Uterus
• 1 menit setelah bayi • Tegangkan tali pusat ke arah • Letakkan telapak
lahir bawah sambil tangan yang tangan di fundus 
• Oksitosin 10 unit IM di lain mendorong uterus ke masase dengan
sepertiga paha atas arah dorso-kranial secara gerakan melingkar
bagian distal lateral hati-hati secara lembut hingga
• Dapat diulangi setelah uterus berkontraksi
15 menit jika plasenta (fundus teraba keras).
belum lahir
146. Kriteria Diagnosis untuk Gangguan proses Persalinan
• Friedman: membagi masalah pada fase aktif menjadi 2
• protraction (perpanjangan) serta arrest (terhenti)

• Protraction (perpanjangan) fase aktif


• Laju yang lambat dari dilatasi serviks atau desensus; dimana pada
• Nulipara : < 1,2 cm/jam atau desensus yang <1 cm/jam
• Multipara: < 1,5 cm/jam atau desensus yang <2 cm/jam

• Arrest: penghentian dari dilatasi maupun desensus


• Arrest of dilatasi: 2 jam tanpa perubahan dilatasi serviks
• Arrest of descent: 1 jam tanpa desensus
Gangguan Proses Persalinan:
Fase Aktif Memanjang
DEFINISI
• Laju pembukaan yang tidak adekuat setelah
persalinan aktif didiagnosis

Diagnosis ’Laju Pembukaan Tidak Adekuat’ Bervariasi


 < 1 cm/jam selama sekurang-kurangnya 2 jam setelah kemajuan
persalinan

 < 1,2 cm/jam pada primigravida dan < 1,5 cm per jam pada
multipara

 > 12 jam sejak pembukaan 4 cm sampai pembukaan lengkap


(rata-rata 0,5 cm per jam)
http://www.obgyn-rscmfkui.com/berita.php?id=234
Etiologi: Distosia ec. Kelainan Tenaga
• His Normal: mulai dari fundus menjalar ke korpus, dominasi di fundus
dan disertai relaksasi yang merata

• Jenis Kelainan His


– Inersia Uteri (Kontraksi Uterus Hipotonik)
• His lemah, pendek, jarang  tidak adekuat untuk mebuka serviks dan mendorong
janin
– His terlalu kuat (Kontraksi Uterus Hipertonik)
• His terlalu kuat dan terlalu efisien sehingga persalinan terlalu cepat
– Incoordinate uterine contraction
• Tidak ada koordinasi antara kotraksi bagian atas, tengah dan bawah; tidak ada
dominasi fundus

• Faktor predisposisi
– Primigravida, terutama primi tua
– Kelainan letak janin/disporposi fetopelviks
– Peregangan rahim yang berlebihan: gemeli, hidramnion
HIS NORMAL
• Selama kehamilan: kontraksi ringan (Braxton-Hicks)
• Kehamilan > 30 minggu: kontraksi lebih sering
• Kehamilan > 36 minggu: kontraksi lebih meningkat dan lebih kuat

• Awal Kala I
– Tiap 10 menit sekali, lama 20-40 detik
• Selama Kala I
– Meningkat 2-4 kali/10 menit, lama 60-90 detik
• Kala II
– 4-5 kali/10 menit, lama 90 detik, disertai periode relaksasi

• Pemantauan Manual
– Pantau his selama 10 menit, telapak tangan ditelakkan di fundus untuk
mengetahui kekuatan dan lama kontraksi
– Pantau DJJ dan lihat tanda-tanda hipoksia
– Lakukan pencatatan pada partograf
Fase Aktif Memanjang: Gejala dan Tanda
• Kontraksi melemah, sehingga menjadi kurang kuat, lebih
singkat dan/atau lebih jarang, atau

• Kualitas kontraksi tetap sama seperti semula, tidak


mengalami kemajuan ataupun melemah

• Wanita terus mengkoping dengan cara yang sama


selama berjam-jam, atau menyadari persalinan lebih
mudah untuk dikendalikan

• Pada pemeriksaan vaginal, serviks tidak mengalami


perubahan

http://www.obgyn-rscmfkui.com/berita.php?id=234
Inersia Uteri: Tatalaksana
1. Periksa keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya bagian
terbawah janin dan keadaan janin

2. Bila kepala sudah masuk PAP, anjurkan pasien untuk jalan-jalan

3. Buat rencana untuk menentukan sikap dan tindakan yang akan


dikerjakan misalnya pada letak kepala :
a. Oksitosin drips 5-10 IU dalam 500 cc dextrose 5%, dimulai dengan 12 tpm,
dinaikkan 10-15 menit sampai 40-50 tpm. Tujuan: agar serviks dapat
membuka
b. Bila his tidak >> kuat setelah pemberian oksitosin  stop  istirahat
Pada malam hari berikan obat penenang (valium 10 mg)  ulang lagi
pemberian oksitosin drips
a. Bila inersia uteri + CPD  seksio sesaria
b. Bila semula his kuat  inersia uteri sekunder, ibu lemah, dan partus telah
berlangsung lebih dari 24 jam (primi) dan 18 jam (multi) oksitosin drips
tidak berguna  Selesaikan partus sesuai dengan hasil pemeriksaan dan
indikasi obstetrik lainnya (Ekstrasi vakum, forcep dan seksio sesaria)
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
147. Induksi & Akselerasi Persalinan
• Definisi
– Induksi: upaya menstimulasi uterus untuk memulai persalinan
– Augmentasi atau akselerasi: meningkatkan frekuensi, lama, dan
kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. (Saifuddin, 2002)

• Indikasi (Oxford, 2013)


– KPD, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis,
PEB, hipertensi akibat kehamilan, IUFD) dan PJT, insufisiensi
plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri
doppler

• Kontraindikasi (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002)


– CPD, plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio
caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa
previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif
• a
Proses Induksi/Akselerasi
• Kimia
– Prostaglandin E2 (PGE2) gel atau pesarium
– Prostaglandin E1 (PGE1): misoprostol atau cytotec tab 100-
200 mcg
– Oksitosin IV
• Protokol dosis rendah (1 – 4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 – 40
mU/menit)

• Mekanik
– Kateter Transservikal (Kateter Foley)
– Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
– Stripping membrane
– Induksi Amniotomi
– Stimulasi putting susu
Bishop Score
http://perinatology.com/calculators/Bishop%20Score%20Calculator.htm
• Menilai kematangan serviks, keberhasilan induksi, kemungkinan persalinan
pervaginam, dan memperkirakan kapan terjadi persalinan (normal)

• Dilatasi/Pembukaan seviks
– Skor 0 (0 cm) – 3 (> 6 cm)
• Penipisan serviks
– Skor 0(0%) – 3 (80-100%  setipis kertas)
• Station/Penurunan Kepala (Hodge)
– Skor 0 (-3) – 3 (+1 atau +2)
• Konsistensi serviks
– Keras – sedang - lunak
• Posisi Serviks
– Kebelakang – Searah sumbu jalan lahir – kedepan
Bishop Score: Keterangan

• Metode ini telah digunakan selama beberapa


tahun dan telah terbukti memuaskan
• Nilai Bishop yang besar menandakan
kemungkinan induksi dan persalinan
pervaginam akan berhasil
• Seleksi pasien untuk induksi persalianan
dengan letak verteks
• Dipakai pada multiparitas dan kehamilan 36
minggu atau lebih
148. Penyakit Trofoblastik Gestasional

WHO Classification

Malformations of the
Benign entities that
Malignant neoplasms chorionic villi that are
can be confused with
of various types of predisposed to
with these other
trophoblats develop trophoblastic
lesions
malignacies

Choriocarcinoma Hydatidiform moles Exaggerated placental site

Placental site
Complete Partial Placental site nodule
trophoblastic tumor

Epithilioid trophoblastic
tumors Invasive
Mola Hidatidosa

• Definisi
– Latin: Hidatid  tetesan air, Mola  Bintik

– Mola Hidatidosa menunjukkan plasenta dengan


pertumbuhan abnormal dari vili korionik
(membesar, edem, dan vili vesikular dengan
banyak trofoblas proliferatif)
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko

• Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun


• Pernah mengalami kehamilan mola
sebelumnya
• Risiko meningkat sesuai dengan jumlah
abortus spontan
• Wanita dengan golongan darah A lebih
berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi
bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko

• Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun


• Pernah mengalami kehamilan mola
sebelumnya
• Risiko meningkat sesuai dengan jumlah
abortus spontan
• Wanita dengan golongan darah A lebih
berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi
bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Patogenesis & Sitogenesis
Complete Partial

Genetic
Constitution
Diploid Triploid/ tetraploid
4% 90% 10%
96%
Fertilization Triploid Tetraploid
Fertilization
of an empty fertilization of fertilization of
of an empty
ovum by two a normal a normal
ovum by one
sperms Patho-genesis ovum by two ovum by
sperms that
“Diandric sperms three sperms
undergoes
dispermy” “Dispermic
duplication “Trispermic
triploidy”
“Diandric triploidy”
diploidy”

69XXX
46XX Karyotype
46XX 69YXX
46XY
69YYX
Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis

T I P E KO M P L I T T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam • Seperti tipe komplit hanya
setelah amenorea lebih ringan
• Uterus membesar secara • Biasanya didiagnosis
abnormal dan menjadi lunak sebagai aborsi inkomplit/
• Hipertiroidism missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy kehamilan
induced hypertension
• Tanpa kista lutein
• Peningkatan hCG 100,000
mIU/mL
Mola Hidatidosa: Hubungan dengan Hipertiroid

Hydatidiform Mole

Extremely high hCG level  mimic TSH

Hyperthyroidism
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG 
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan

• Pemeriksaan USG  ditemukan


adanya gambaran vesikuler atau
badai salju
– Komplit: badai salju
– Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta

• Pemeriksaan Doppler  tidak


ditemukan adanya denyut
jantung janin
Mola Hidatidosa:
Tatalaksana
149. Ginekologi
Jenis Keterangan
Kista Bartholin Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah vagina,di
belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara kelenjar e.c trauma
atau infeksi
Kista Nabothi Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks diganti
(ovula) dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit menonjol dengan
permukaan licin (tampak spt beras)

Polip Serviks Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai, ukuran
bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai menonjol dari
kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai introitus. Tangkai
mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan polip mengalami peradangan
dengan metaplasia skuamosa atau ulserasi dan perdarahan.

Karsinoma Tumor ganas dari jaringan serviks. Tampak massa yang berbenjol-benjol,
Serviks rapuh, mudah berdarah pada serviks. Pada tahap awal menunjukkan suatu
displasia atau lesi in-situ hingga invasif.

Mioma Geburt Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami nekrosis
dan ulserasi.
Kista Gartner
• Etiologi
• Suatu kista vagina yang disebabkan oleh sisa jaringan embrional (duktus
Wolffian)

• Letak & Ukuran


• Biasanya didapatkan di dinding anterolateral superior vagina.
• Ukuran pada umumnya < 2cm, namun dapat berkembang hingga lebih
besar

• Gejala & tanda


• Bila ukuran kista besar: disuria, gatal,
dispareunia, nyeri pelvis, protusi dari vagina

• Pemeriksaan
• PA: Didapatkan epitelial kuboid yang selapis/
epitel batang pendek

• Terapi: Drainase
http://journals.lww.com/em-news/Fulltext/2011/05000/Case_Report__Gartner_s_Duct_Cyst.15.aspx
KISTA BARTHOLIN
Kelenjar Bartholin: Kista Duktus Bartholin:
• Bulat, kelenjar seukuran kacang • Kista yang paling sering
terletak didalam perineum pintu
masuk vagina arah jam 5 & jam 7 • Disebabkan oleh obstruksi
• Normal: tidak teraba sekunder pada duktus akibat
• Duktus: panjang 2 cm & terbuka inflamasi nonspesifik atau
pada celah antara selaput himen trauma
& labia minora di dinding lateral
posterior vagina • Kebanyakan asimptomatik
Kista & Abses Bartholin: Terapi
• Pengobatan tidak diperlukan pada wanita usia
< 40 tahun kecuali terinfeksi atau simptomatik
• Simptomatik
– Kateter Word selama 4-6 minggu
– Marsupialization: Alternatif kateter Word, biasanya
dilakukan jika rekuren tidak boleh dilakukan bila
masih terdapat abses  obati dulu dengan antibiotik
spektrum luas Kateter Word
– Eksisi: bila tidak respon terhadap terapi sebelumnya 
dilakukan bila tidak ada infeksi aktif, jarang dilakukan
karena menyebabkan disfigurasi
anatomis serta nyeri

• Pada wanita > 40 tahun


• Biopsi dilakukan untuk
menyingkirkan adenocarcinoma
kelenjar Bartholin
http://www.aafp.org/afp/2003/0701/p135.html
Kista Nabothi
• Etiologi
– Terjadi bila kelenjar
penghasil mukus di
permukaan serviks
tersumbat epitel skuamosa

• Gejala & Tanda


– Berbentuk seperti beras
dengan permukaan licin

• Pemeriksaan
- Pemeriksaan pelvis, kadang dengan kolposkopi

• Terapi: Bila simptomatik  drainase


https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001514.htm
150-151. Gangguan Menstruasi
Disorder Definition
Amenorrhea Primer Tidak pernah menstruasi setelah berusia 15 tahun, atau
berusia 13 tahun tanpa menstruasi sebelumnya dan tidak
terdapat tanda-tanda perkembangan seksual sekunder

Amenorrhea Tidak terdapat menstruasi selama 3 bulan apda wanita


Sekunder dengan sklus haid teratur, atau 6 bulan pada wanita dengan
siklus menstruasi tidak teratur
Oligomenorea Menstruasi yang jarang atau dengan perdarahan yang sangat
sedikit
Menorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang pada interval
menstruasi yang teratur
Metrorrhagia Perdarahan pada interval yang tidak teratur, biasanya diantara
siklus
Menometrorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang, lebih sering
dibandingkan dengan siklus normal
Gangguan Menstruasi: Diagnosis
Amenore Primer: Etiologi
• Tertundanya menarke (menstruasi pertama)
• Kelainan bawaan pada sistem kelamin (misalnya tidak memiliki
rahim atau vagina, adanya sekat pada vagina, serviks yang sempit,
lubang pada selaput yang menutupi vagina terlalu sempit/himen
imperforata)
• Penurunan BB yang drastis (kemiskinan, diet berlebihan,
anoreksia nervosa, bulimia, dll)
• Kelainan kromosom (misalnya sindroma Turner atau sindroma
Swyer) dimana sel hanya mengandung 1 kromosom X)
• Obesitas yang ekstrim
• Hipoglikemia
Amenore Sekunder: Etiologi

• Kehamilan
• Kecemasan akan kehamilan
• Penurunan berat badan yang drastis
• Olah raga yang berlebihan
• Lemak tubuh kurang dari 15-17%
• Mengkonsumsi hormon tambahan
• Obesitas
• Stres emosional
Algoritma Amenore Primer
Algoritma Amenore Sekunder
Oligomenorea
• Etiologi
– Hipotalamik: penurunan sekresi GnRH
• Akibat gangguan fisik atau emosional (stress, anoreksia), penyakit kronis, kelaparan,
olahraga berat
– Pituitari
• Hiperprolaktinemia, defisiensi gonadotropin
– Disfungsi ovarium
• Autoimun, operasi pengangkatan ovarium, radiasi sinar X pada ovarium, obat-obatan

• Pemeriksaan
– Serum FSH, LH, prolaktin, dan testosteron
– Serum FSH & LH tinggi: disfungsi ovarium (hipogonadism primer)
– Serum FSH & LH rendah: disfungsi pituitari atau hipotalamus (hipogonadism
sentral atau sekunder)

• Tatalaksana
– Sesuai etiologi
– Untuk keluhan infertilitas: clomiphene  stimulasi LH surge: ovulasi
– Untuk regularitas menstruasi: pil KB kombinasi estrogen-progesteron

https://www.britannica.com/science/oligomenorrhea
152. Gangguan Proses menyusui: Mastalgia
• Nyeri pada payudara

• Etiologi
– Mastalgia terlokalisasi: gangguan fokal akibat massa pada payudara (kista dsb) atau
infeksi (mastitis, abses)
– Mastalgia bilateral
• Perubahan fibrokistik
• Mastitis bilateral difus (jarang)
• Perubahan hormon  proliferasi jaringan (kehamilan, pengobatan dengan hormon)
• Peregangan ligamen Cooper

• Pemeriksaan
– Pastikan tidak ada tanda radang, lihat perubahan kulit (eritema, rash, edema)

• Tatalaksana
– Mastalgia akibat menstruasi: parasetamol atau NSAID, nyeri berat  tamoxifen
atau danazol
– Terkait kehamilan: gunakan bra yang suportif, parasetamol

http://www.msdmanuals.com/professional/gynecology-and-obstetrics/breast-disorders/mastalgia-(breast-pain)
Gangguan Proses Menyusui: Mastitis
• Inflamasi / infeksi payudara

Diagnosis
• Payudara (biasanya unilateral) keras,
memerah, dan nyeri
• Dapat disertai benjolan lunak
• Dapat disertai demam > 38 C
• Paling sering terjadi di minggu ke-3 dan
ke-4 postpartum, namun dapat terjadi
kapan saja selama menyusui
Faktor Predisposisi
• Bayi malas menyusu atau tidak menyusu
• Menyusui selama beberapa minggu setelah melahirkan
• Puting yang lecet
• Menyusui hanya pada satu posisi, sehingga drainase payudara tidak sempurna
• Bra yang ketat dan menghambat aliran ASI
• Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui
Mastitis & Abses Payudara: Tatalaksana
Tatalaksana Umum Abses Payudara
• Tirah baring & >> asupan cairan • Stop menyusui pada payudara yang
• Sampel ASI: kultur dan diuji sensitivitas abses, ASI tetap harus dikeluarkan
Tatalaksana Khusus • Bila abses >> parah & bernanah 
• Berikan antibiotika : antibiotika
– Kloksasilin 500 mg/6 jam PO , 10-14 hari • Rujuk apabila keadaan tidak
ATAU
membaik.
– Eritromisin 250 mg, PO 3x/hari, 10-14
hari
• Terapi: insisi dan drainase
• Tetap menyusui, mulai dari payudara sehat. • Periksa sampel  kultur resistensi
Bila payudara yang sakit belum kosong dan pemeriksaan PA
setelah menyusui, pompa payudara untuk • Jika abses diperkirakan masih banyak
mengeluarkan isinya. tertinggal dalam payudara, selain
• Kompres dingin untuk << bengkak dan nyeri. drain, bebat juga payudara dengan
Berikan parasetamol 3x500mg PO elastic bandage  24 jam tindakan
• Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra  kontrol kembali untuk ganti kassa.
yang pas.
• Berikan obat antibiotika dan obat
• Lakukan evaluasi setelah 3 hari.
penghilang rasa sakit
153. Mual Muntah Pada Kehamilan
Hiperemesis keluhan mual,muntah pada ibu hamil yang berat hingga Mual dan muntah yang mulai biasanya
gravidarum mengganggu aktivitas sehari-hari. 8mg setelah HPHT,nyeri kepala, nyeri
dengan mallory Mallory-Weiss tear occurs in the mucus membrane of the ulu
weiss tear lower part of the esophagus or upper part of the stomach, hati.
near where they join. The tear may bleed, Gejala mallory weiss tear :
caused by forceful or long-term vomiting or coughing. hematemesis
(bright red), bloody stool

Ulkus Peptikum penyakit pada lapisan lambung atau duodenum, bagian Sakit perut seperti terbakar, nyeri
pertama dari usus kecil. Ulkus peptikum pada ibu hamil epigastrium yang berkurang dengan
biasanya adalah penyakit ulkus peptikum kronik yang makanan atau antasid dan memberat
mengalami eksaserbasi sehingga dalam anamnesis dapat dengan alkohol, kopi atau obat
ditemukan riwayat sebelumnya. antiinflamasi nonsteroid (OAINS),
hematemesis dan melena
Gastritis Erosif a type of gastritis that often does not cause significant Upper abdominal discomfort, nausea,
inflammation but can wear away the stomach lining. vomiting, blood in vomit, black and
Erosive gastritis can cause bleeding, erosions, or ulcers. tarry stools, red blood in stool
Erosive gastritis may be acute or chronic.
Angiodysplasia a small vascular malformation of the gut. It is a common Black,tarry stool (melena), anemia
cause of otherwise unexplained gastrointestinal bleeding symptoms
and anemia.
Ruptur arteri Pecahnya varises esofagus Hematemesis, melena, shock
esofagus
Hiperemesis Gravidarum: Komplikasi
• Ruptur atau perforasi esofagus
• Pneumotoraks dan
pneumomediastinum
• Wernicke encephalopathy atau
kebutaan
• Hepatic disease
• Kejang, koma, atau kematian

• Gagal ginjal, pankreatitis, deep venous thrombosis, emboli paru,


rabdomiolisis, Defisiensi vitamin K dan koagulopati
• Komplikasi terkait nutrisi parenteral
• Sepsis, fungemia, tamponade, infeksi lokal, trombosis vena, fatty
infiltration of the placenta, dan transaminitis

http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a3
154. Metode Suhu Basal Tubuh
• Suhu basal tubuh: suhu terendah yang dicapai
oleh tubuh selama istirahat atau dalam keadaan
istirahat (tidur). Dilakukan pada pagi hari segera
setelah bangun tidur dan sebelum beraktivitas

• Pada waktu ovulasi, suhu akan turun terlebih


dahulu dan naik menjadi 37-38 derajat kemudian
tidak akan kembali pada suhu 35 derajat celsius
Lendir Serviks (Billings Test)
• Lendir Tipe –E (estrogenik) :
– Diproduksi pada fase akhir pra ovulasi. Sifat-sifat banyak, tipis,
seperti air (jernih) dan viskositas/kelengketan rendah, elastisitas
besar, bila dikeringkan terjadi bentuk seperti daun pakis.
Spermatozoa dapat menembus lendir ini.
• Lendir Tipe –G (gestagenik) :
– Diproduksi pada fase awal pra ovulasi dan setelah ovulasi. Sifat-
sifat kental, kelengketan tinggi, keruh (oppaque). Dibuat karena
peninggian kadar progesteron.
155. Diabetes pada kehamilan
• Diabetes pragestasional • Diabetes gestasional:
atau overt diabetes – Intolerasi terhadap
atau preexisting: karbohidrat dan
– Riw. gula darah tinggi diketahu pertama kali
disertai glukosuri atau saat kehamilan
ketoasidosis • Komplikasi:
– GDS > 200 mg/dl disertai – Ibu: HT, preeklampsi, DM
gejala trias 3P tipe 2
– GDP > 125 mg/dl – Janin: Makromosi,
– Insulin dependence prematuritas,
hipolglikemi
GESTATIONAL DIABETES PATHOPHYSIOLOGY

Fetoplacental
Normal Insulin hormones
pregnancy resistance (GH, HCG, HPL, Cortisol,
progesterone, prolactin)

Compensatory mechanism Increased fat deposit


Beta cell function  hyperinsulinemia Increased insulin resistance

Compensated Not compensated


Normal GDM
pregnancy
Gestasional
Diagnosis dan

Diabetes Melitus
Penatalaksanaan

Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Gestasional


dr. Arietta Pusponegoro, SpOG (K) Dept. Obstetri Ginekologi FKUI/RSUPN-CM
Disampaikan pada: Pelatihan Manajemen DMG di Fasyankes Primer 06-07 Sept. ‘17 di R.
Rapat 1 (R. Mochtar) Gd. IKK FKUI
Prosedur TTGO
Interpretasi Hasil
Kriteria WHO
• Diabetes Mellitus in Pregnancy
– Fasting blood glucose >= 126 mg/dL or
– 2 hr-post prandial glucose >= 200 mg/dL or
– Random blood glucose => 200 mg/dL
• Gestational Diabetes
– Fasting blood glucose 92-125 mg/dL or
– 2 hr post prandial glucose >= 153 mg/dL or
– Random blood glucose 153-199 mg/dL
GDM Treatment Scheme
GDM

FPG <130 mg/dL FPG ≥130 mg/dL


ADA
FPG ≥ 105 or
Medical nutrition
therapy (MNT) 1 week PPBG ≥ 120 mg/dL

FPG <105 and FPG>105 or


2 hr pp PG <120 2 hr pp PG >120

MNT MNT + Insulin

Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia , PERKENI 2015
Managemen Diabetes Gestasional
Managemen gaya hidup
• Pengaturan diet:
– Bb ideal : 90% x (TB-100)
– Kebutuhan kalori : BB ideal x 25 + Tingkat aktivitas
(10%-30%) + 300 kalori untuk ibu hamil
– 20%-30% tergantung status nutrisi ibu
– Protein : 1-1.5 g/kgbb
• Olahraga  150 menit / minggu
• Pengaturan berat badan
• Rutin evaluasi: tinggi fundus, USG, FDJP
Farmakoterapi Diabetes Gestasional
• Pilihan utama adalah insulin  aman bagi ibu
dan janin
• OHO tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan hipoglikemi pada janin
• Target gula darah : GDP <105 mg/dl, GDPP
<120 mg/dl

Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia , PERKENI 2015
Insulin Therapy for Hyperglycemia
During Pregnancy
• Individualized  depend on BG profile
• Most common  Low fasting PG and high postprandial PG 
Prandial insulin (Regular Insulin)
• Less common  High fasting PG and lower postprandial PG 
Basal insulin (Intermediate acting/ NPH)
• Starting prandial insuin
o  Evaluate daily blood glucose curve to determine whether
the patient needs 1/2/3 times injection
o  start low dose (~4 U or 0,05 U/kg)
• Optimization prandial insulin
o  based on BG curve  PPBG still > 120 mg/dL ↑ insulin
dose
o  avoiding hypoglycemia
Insulin Therapy for Hyperglycemia
During Pregnancy
• Starting basal insuin
o  Evaluate fasting plasma glucose
o  start low dose (~5 U or 0,05 U/kg)
• Optimization basal insulin
o  based on BG curve  FBG still > 95 mg/dL ↑ insulin dose
o  avoiding hypoglycemia

• Basal bolus insulin therapy


o  Both fasting and prandial BG are elevated
Komplikasi DM gestasional
MATERNAL FETAL
• Hipertensi gestasional • Makrosomia
• Preeklamsia • Hipoglikemia neonatus
• SC
• Hiperbilirubinemia
• Subsequent development
• Birth trauma
of type 2 DM
• Respiratory distress syndrome
• Distosia bahu
• Birth defects
• Subsequent adolescent and
childhood overweight
156. Analgesik selama Kehamilan
Golongan NSAID  menghambat COX sehingga tidak terbentuk prostaglandin
dan tromboksan
• Parasetamol
– Bekerja pada COX-3 di SSP  hanya berfungsi sebagai analgesik & antipiretik,
tidak bersifat antiinflamasi  tidak berbahaya bagi janin
• Metampiron
– Analgetik, antipiretik, antiinflamasi
– Efek samping: leukopenia, agranulositosis
• Asam mefenamat
– Analgetik, antipiretik, antiinflamasi
• Asam salisilat
– Analgetik, antipiretik, antiinflamasi, dan
antiplatelet
– Menghambat prostaglandin untuk
Kontraksi uterus  prolonged labour,
perdarahan
• Ibuprofen
– Analgetik, antipiretik, antiinflamasi
157. Infertilitas pada Pria: Etiologi

https://www.andrologyaustralia.org/your-health/male-infertility/
Sperma Abnormal

• Azoospermia: tidak terdapat sperma hidup dalam cairan


sperma dalam cairan ejakulat ejakulat
• Oligospermia: jumlah sperma • Astenozoospermia: motilitas <
kurang dari 20 juta per ml normal
cairan ejakulat • Teratozoospermia: morfologi
abnormal
• Necrozoospermia: tidak ada
158. AKDR dan Radang Panggul
Kontraindikasi Absolut AKDR Kontraindikasi Relatif AKDR
• Kehamilan • Penyakit jantung valvular
• Perdarahan pervaginam • Riwayat PID
undiagnosed • Riwayat KET
• PID akut & kronik • Abnormalitas uterus, fibroid
• Gaya hidup berisiko PID • Dismenorea berat atau
• Alergi terhadap komponen menoragia
• Imunosupresi • Stenosis servikal
159. Fisiologi Kehamilan: Payudara

• Pembesaran dan >> pigmentasi puting & areola


• Pembentukan areola sekunder
• Areola Montgomery (tuberkel)
– 12-20 Tuberkel kecil disekitar areola primer, mulai
muncul pada minggu ke-8 akibat aktivasi kelenjar
sebasea
• Penonjolan vena dipermukaan
• Munculnya kolostrum pada minggu ke-16
terutama pada primigravida
160. Robekan Jalan Lahir
• Ruptura Perineum dan Robekan Dınding Vagina
– Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan.
– Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan
dengan antiseptik.
– Hentikan sumber perdarahan dengan klem
kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
– Lakukan penjahitan
– Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam
traneksamat IV(bolus selama 1 menit, dapat diulang
setelah 30 menit) lalu rujuk pasien

• Teknik Eksplorasi
– Pemeriksa vagina, perineum dan serviks untuk
melihat beratnya robekan
– u Jika robekan panjang dan dalam, periksa apakah
robekan tersebut mencapai anus dengan
memasukkan jari yang bersarung tangan ke anus &
merasakan tonus sfingter ani
– Setelah itu, ganti sarung tangan untuk melakukan
perbaikan robekan
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO.
161. Diagnosis kehamilan
• Pregnancy is usually identified when a woman presents with
symptoms and possibly a positive home urine pregnancy test
result (urine or blood for human chorionic gonadotropin/hCG
test)
Fisiologi Kehamilan
Tanda Awal Kehamilan (Presumptive/Probable Signs)
• Serviks & vagina kebiruan (Chadwick's sign)
• Perlunakan serviks (konsistensi yang seharusnya seperti hidung berubah menjadi
lunak seperti bibir) (Goodell’s sign)
• Perlunakan uterus (Ladin's sign dan Hegar's sign)
• Ladin: perlunakan teraba di 1/3 midline anterior uterus
• Hegar: isthmus menjadi lunak dan tipis seperti kertas jika dijepit dengan jari, korpus uteri
seakan-akan terpisah dari serviks
• McDonald: karena perlunakan isthmus, uterus dan serviks bisa ditekuk
• Pembesaran uterus yang asimetris/ iregular (Piskacek’s sign/ vonFernwald’s sign)
• Tanda Hartman: perdarahan spotting akibat implantasi dari blastula pada
endometrium
• Puting berwarna lebih gelap, kolostrum (16 minggu)
• Massa di pelvis atau abdomen
• Rasa tegang pada putting dan payudara
• Mual terutama pagi hari
• Sering berkemih
162. Kehamilan Usia Muda (Remaja)
• AKI pada kehamilan < 20 tahun
– 2-4 x lebih besar dari kehamilan dan persalinan pada usia reproduksi
sehat (20-35 tahun)

• Risiko Medis
– Asuhan antenatal berkurang, terutama bila terjadi diluar pernikahan
– Risiko menderita hipertensi selama kehamilan
– Akses kesehatan dan suplemen masa kehamilan <<  risiko anemia dan
HPP
– Prematuritas
– BBLR
– Ovum belum sempurna  risiko kelainan kongenital
– Depresi post partum  karena belum matang secara mental
– >> risiko kanker serviks karena melakukan seks usia muda

http://www.webmd.com/baby/guide/teen-pregnancy-medical-risks-and-realities?page=3
Kehamilan Usia Dini: Risiko

R I S I KO PA D A I B U R I S I KO PA D A B AY I
• Perdarahan karena otot • Prematuritas
rahim lemah dalam involusi • BBLR
• Keguguran/abortus • Cacat bawaan
• Persalinan yang lama dan • Kematian bayi/perinatal
sulit
• AKI saat partus akibat
perdarahan dan infeksi

http://dp2m.umm.ac.id/files/file/INFORMASI%20PROGRAM%20INSENTIF%20RIST
EK/7%20BAHAYA%20KEHAMILAN%20DI%20BAWAH%20UMUR.pdf
163. Suplementasi dan Nutrisi Kehamilan
• Suplementasi dan Medikamentosa
– Asam Folat
– Zat Besi
– Kalsium
– Aspirin
– Tetanus Toxoid

• Nutrisi
– Penambahan kalori 300 Kal/Hari dan air 400 ml/hari

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Suplementasi Kehamilan: Asam Folat
• Kebutuhan Asam Folat
• 50-100 μg/hari pada wanita normal
• 300-400 μg/hari pada wanita hamil  hamil kembar lebih
besar lagi

• Dosis
– Pencegahan defek pada tube neural: Min. 400 mcg/hari
– Defisiensi asam folat: 250-1000 mcg/hari
– Riwayat kehamilan sebelumnya memiliki komplikasi defek
tube neural atau riwayat anensefali: 4mg/hari pada sebulan
pertama sebelum kehamilan dan diteruskan hingga 3 bulan
setelah konsepsi

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Suplementasi Kehamilan: Zat Besi
• Tablet Tambah Daerah Generik dikemas dalam bungkus warna putih,
berisi 30 tab/bungkus

• Memenuhi spesifikasi
– Setiap tablet mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental
dan 0,25 mg asam folat

• Pemakaian dan Efek Samping


– Minum dengan air putih, jangan minum dengan teh, susu atau kopi 
mengurangi penyerapan zat besi dalam tubuh
– Efek samping dari minum TTD adalah mual dan konstipasi, namun tidak
berbahaya
– Untuk menghindari efek mual dan konstipasi, dianjurkan minum TTD
menjelang tidur malam
– Lebih baik disertai makan buah dan sayur. Misalnya pepaya atau pisang

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Suplementasi Kehamilan: Kalsium
• Sasaran
– Area dengan asupan kalsium rendah

• Tujuan
– Pencegahan preeklampsia bagi semua ibu hamil,
terutama yang memiliki risiko tinggi (riwayat
preeklampsia di kehamilan sebelumnya, diabetes,
hipertensi kronik, penyakit ginjal, penyakit autoimun,
atau kehamilan ganda)
– Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari
direkomendasikan terutama pada wanita dengan
asupan kalsium yang rendah

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


164. Asma dan Kehamilan
Pengaruh kehamilan pada asma:
•  hormon estrogen: kongesti kapiler hidung
(terutama trimester ketiga)
•  hormon progesteron: peningkatan laju
pernapasan, bronkodilatasi
•  hormon kortisol bebas: << gejala asma
• prostaglandin (terutama trimester III):
bronkokonstriktor (Nelson and Piercy, 2001)
Komplikasi Asma pada Kehamilan
• Bagi Ibu:
– Preeklampsia, hipertensi, hiperemesis gravidarum,
perdarahan pervaginam, induksi, komplikasi
kehamilan

• Bagi Janin
– Kematian perinatal, IUGR, kehamilan preterm,
hipoksia neonatal, BBLR
Asma pada Kehamilan
• Diagnosis: sama seperti pasien tidak hamil (Sesak/ sulit bernapas, wheezing,
batuk berdahak, ronkhi)

• Tatalaksana pada kehamilan


– O2 dan pasang kanul IV.
– Hindari penggunaan obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin.
– Berikan cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%.
– Salbutamol via nebulizer
– Metilprednisolon IV 40-60 mg/ 6 jam, ATAU hidrokortison IV 2 mg/kgBB/ 4 jam atau
setelah loading dose 2 mg/kgBB dilanjutkan infus 0,5 mg/kgBB/jam.
– Jika ada tanda infeksi, beri ampisilin 2 g IV tiap 6 jam.
– Rujuk ke fasilitas yang memadai. Di rumah sakit rujukan, pertimbangkan foto
thoraks, laboratorium, alat monitor fungsi vital, dan rawat intensif bilamana perlu.
– Konsultasi dengan dokter spesialis paru atau penyakit dalam dan dokter spesialis
obstetri dan ginekologi.

• Bila harus dilakukan persalinan: Jangan beri prostaglandin. Untuk mencegah


perdarahan pascasalin, beri oksitosin 10 unitIM atau ergometrin 0,2 mg IM.
IKK &
FO R E N S I K
165. UKURAN ASOSIASI DALAM PENELITIAN

• Digunakan pada studi analitik (cross sectional,


case control, kohort, studi eksperimental).

• Untuk mengukur kekuatan hubungan sebab-akibat


antara variabel paparan dengan variabel outcome.

• Menunjukkan bagaimana suatu kelompok lebih


rentan mengalami sakit dibanding kelompok
lainnya.
Ukuran Asosiasi yang Sering Digunakan

– Relative risk (RR) ukuran asosiasi dari studi kohort


– Odds ratio (OR)  ukuran asosiasi dari studi case
control
– Prevalence ratio (PR) & prevalence odds ratio (POR)
 ukuran asosiasi dari studi cross sectional
Tabel 2x2
Cara yang paling umum dan sederhana untuk
menghitung ukuran asosiasi.

Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Relative risk (RR):


insidens penyakit pada kelompok yang terpapar (a/(a+b))
dibandingkan dengan insidens penyakit pada kelompok yang tidak
terpapar (c/(c+d))

Rumus RR: a/(a+b)


c/(c+d)
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Odds ratio (OR):


Odds penyakit pada kelompok terpapar (a/b) dibandingkan dengan
odds penyakit pada kelompok tidak terpapar (c/d)

Rumus OR: a/b = ad


c/d bc
Outcome

Exposure Yes No Total

Yes a b a+b

No c d c+d

Total a+c b+d a+b+c+d

Rumus prevalence ratio (PR) sama dengan rumus RR, yaitu:


PR: a/(a+b)
c/(c+d)

Rumus prevalence odds ratio (POR) sama dengan rumus OR, yaitu:
POR: ad
bc
Interpretasi RR/OR/PR

RR/OR/PR= 1 menunjukkan tidak ada hubungan antara paparan


dengan outcome.

RR/OR/PR lebih dari 1 menunjukkan asosiasi positif (semakin tinggi


paparan, semakin tinggi risiko mengalami penyakit)  paparan
yang diteliti merupakan FAKTOR RISIKO suatu penyakit.

RR/OR/PR kurang dari 1 menunjukkan bahwa paparan bersifat


protektif terhadap terjadinya outcome(semakin tinggi paparan,
semakin rendah risiko mengalami penyakit)  paparan yang diteliti
merupakan FAKTOR PROTEKTIF terjadinya suatu penyakit.
Pada Soal

• Penelitian di soal merupakan penelitian kohort,


karena dimulai dari exposure (bayi sufor dan
tidak sufor) diikuri selama 1 tahun untuk menilai
outcome (asma dan tidak asma). Pada penelitian
kohort, ukuran asosiasi yang digunakan adalah
relative risk (RR). Maka soal di atas menanyakan
RR dari penelitian ini.

• Ada 2 cara menghitung RR.


165. Analisis Soal
• Cara pertama, dengan membuat tabel 2x2 sebagai berikut:
RR = a/(a+b) = 420/700 = 3
c/ (c+d) 60/300
Asma Tidak Asma
Sufor (+) 420 280
Sufor (-) 60 240

• Cara kedua, RR adalah insidens outcome pada kelompok


exposure(+) dibagi insidens outcome pada kelompok
exposure (-). Maka pada soal ini:
RR = insidens asma pada kelompok sufor(+) =
420/700 = 3
Insidens asma pada kelompok sufor(-)
60/300
166. PENGGALIAN MAYAT
(EKSHUMASI)
• Ekshumasi adalah pemeriksaan terhadap mayat
yang sudah dikuburkan dari dalam kuburannya
yang telah disahkan oleh hukum untuk
membantu peradilan.

• Ekshumasi dilakukan atas perintah penyidik untuk


membuat terang dan jelas suatu perkara,
khususnya perkara pidana.

• Dasar hukum: KUHAP pasal 135 dan 136.


Alasan Penyidik Memerintahkan Ekshumasi

• Pada kasus penguburan mayat secara ilegal untuk


menyembunyikan kematian seseorang.

• Pada kasus di mana penyebab kematian yang


tertera dalam surat kematian tidak jelas dan
menimbulkan pertanyaan.

• Pada kasus di mana identitas mayat yang dikubur


perlu dibuktikan kebenarannya atau sebaliknya.
Ekshumasi

• Wewenang penyidik
• Tertulis (resmi)
• Terhadap korban, bukan tersangka
• Ada dugaan akibat peristiwa pidana
• Bila mayat :
– Identitas pada label
– Jenis pemeriksaan yang diminta
– Ditujukan kepada : ahli kedokteran forensik
– Disaksikan oleh penyidik dan keluarga

Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna


167. INFORMED CONSENT
• Informed Consent adalah persetujuan tindakan
kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.

• Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan


Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada
pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Yang Berhak Memberikan Informed Consent

• Pasien yang telah dewasa (≥21 tahun atau


sudah menikah, menurut KUHP) dan dalam
keadaan sadar.
• Bila tidak memenuhi syarat di atas, dapat
diwakilkan oleh keluarga/ wali dengan urutan:
– Suami/ istri
– Orang tua (pada pasien anak)
– Anak kandung (bila anak kandung sudah dewasa)
– Saudara kandung
Tujuan Informed Consent
• Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap
tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan
secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang
dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
• Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap
suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur
medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko

( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )


• Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 (trespass,
battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes
No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan
tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis
oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

• Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi


sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran
adalah:
– Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana
dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
– Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak
bisa menghadapi situasi dirinya.
168. KAIDAH DASAR MORAL

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
(nonmaleficence)
• Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar • Praktik Kedokteran haruslah memilih
pasien yang dirawatnya terjaga keadaan pengobatan yang paling kecil risikonya dan
kesehatannya (patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
• Pengertian ”berbuat baik” diartikan first, do no harm, tetap berlaku dan harus
bersikap ramah atau menolong, lebih diikuti.
dari sekedar memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
for person) / Autonomy ekonomi, pandangan politik, agama dan
faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus kewarganegaraan, status perkawinan,
diperlakukan sebagai manusia yang serta perbedaan jender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter
memiliki otonomi (hak untuk menentukan terhadap pasiennya.
nasib diri sendiri), • Tidak ada pertimbangan lain selain
• Setiap manusia yang otonominya kesehatan pasien yang menjadi perhatian
berkurang atau hilang perlu mendapatkan utama dokter.
perlindungan. • Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice
Kriteria
1. Memberlakukan sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan
8. Tidak melakukan penyalahgunaan
9. Bijak dalam makro alokasi
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
169. INSIDENS KESELAMATAN PASIEN
Pasien tidak
cedera
NEAR MISS

Medical
Error
PREVENTABLE
• Kesalahan nakes
Pasien cedera ADVERSE MALPRAKTIK
• Dapat dicegah
• Karena berbuat (commission) EVENT
• Karena tdk berbuat
(ommision)
Acceptable
Risk

Process of UNPREVENTABLE Unforseeable


care Pasien cedera Risk
(Non error) ADVERSE EVENT
Complication
of Disease
Adverse Event
Preventable Adverse Event
• Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang
tidak diharapkan pada pasien karena suatu
tindakan (commission) atau karena tidak
bertindak (ommision), dan bukan karena
“underlying disease”.

• Adverse event yang menimbulkan akibat fatal,


misalnya kecacatan atau kematian, disebut juga
sentinel event.
Adverse Event
Unpreventable Adverse Event
• Acceptable risk: Kejadian tidak diharapkan yang merupakan risiko
yang harus diterima dari pengobatan yang tidak dapat dihindari.
Contoh: Pasien Ca mammae muntah-muntah pasca kemoterapi

• Unforseeable risk: Kejadian tidak diharapkan yang tidak dapat diduga


sebelumnya. Contoh: Terjadi Steven Johnson Syndrome pasca pasien
minum paracetamol, tanpa ada riwayat alergi obat sebelumnya.

• Complication of disease: Kejadian tidak diharapkan yang merupakan


bagian dari perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit. Contoh:
Pasien luka bakar dalam perawatan mengalami sepsis.
KLASIFIKASI INSIDENS KESELAMATAN PASIEN
MENURUT PERMENKES NO.11 TAHUN 2017

• Kondisi Potensial Cedera (KPC): kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan
cedera, tetapi belum terjadi insiden. Misalnya: ventilator di ICU rusak, tetapi belum ada
pasien yang membutuhkan ventilator.

• Kejadian Tidak Cedera (KTC): insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul
cedera. Misalnya: pasien salah diberi obat, sudah terlanjur diminum pasien, tetapi tidak
muncul efek samping apapun.

• Kejadian Nyaris Cedera (KNC): Terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
Misalnya: hendak salah memberikan obat tetapi diketahui sebelum terlanjur terjadi.

• Kejadian Tidak Diharapkan (KTD): Insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien.
Misalnya: pasien jatuh dari tempat tidur karena penghalang tidak dipasang.

• Kejadian sentinel: KTD yang menyebabkan kondisi yang mengancam nyawa.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG KESELAMATAN PASIEN
Malpraktik/ Kelalaian Medis
• Malpraktek pada prinsipnya merujuk pada suatu
praktek profesi yang buruk karena tidak sesuai standar
profesi yang telah ditetapkan sebelumnya.

• Dapat berupa pelanggaran terhadap standar


kompetensi, standar perilaku, dan standar pelayanan.

• Tidak semua kerugian yang timbul dalam pelayanan


kedokteran dapat dikategorikan malpraktek, karena
ada kerugian yang terjadi meski dokter telah
melakukan tindakan sesuai standar.
Unsur Yang Harus Dipenuhi Dalam
Malpraktek
• Duty of care
– Dokter telah menyatakan kesediaan untuk merawat pasien
tersebut. Harus ditinjau juga legalitas dari semua pihak
(dokter, pasien, RS).
• Breach of duty
– Ada kegagalan atau kelalaian dokter dalam memenuhi
kewajibannya dalam merawat atau mengobati pasien.
• Injury
– Ada kerusakan atau kerugian materi dan imateriil yang
timbul dari kelalaian tersebut, misalnya biaya, hilangnya
kesempatan mendapat penghasilan.
• Proximated cause
– Ada hubungan langsung atau sebab akibat yang jelas
antara tindakan dokter dengan kerugian yang dialami
pasien.
170. RAHASIA MEDIS
• Segala temuan pada diri pasien dapat dikatakan sebagai
rahasia medik atau rahasia kedokteran dan rahasia ini
sepenuhnya milik pasien.

• Dasar wajib simpan rahasia kedokteran:


– Sumpah dokter (Sumpah Hipocrates)
– KODEKI pasal 12
– PP No. 10 tahun 1966
– Permenkes No.269 tahun 2008; Permenkes no 36 thn 2012

• Rahasia medis harus tetap dijaga, bahkan setelah pasien


meninggal dunia (KODEKI pasal 12; Permenkes no 36 th
2012 bab 3 pasal 4 ayat 3).
Siapa Saja Yang Wajib Menyimpan
Rahasia Medis?
• Yang diwajibkan menyimpan rahasia medis
ialah:
– Dokter/Dokter ahli
– Mahasiswa Kedokteran
– Perawat/Bidan
– Petugas Administrasi Kedokteran
– Forensik/kamar jenazah

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966


Kapan Rahasia Medis Dapat Dibuka?
• Atas persetujuan/izin pasien
• untuk kepentingan kesehatan pasien
• Mendesak/membahayakan kepentingan umum atau
membahayakan orang lain
• Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;
• Permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan
perundang-undangan; dan
• Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis,
sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.

Pasal 10 ayat (2) Permenkes No. 269/2008


UU No.36 Tahun 2009
171. VISUM ET REPERTUM (VER)
• Suatu keterangan tertulis dari dokter dalam kapasitasnya
sebagai saksi ahli atas permintaan penegak hukum yang
berwenang tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam
pemeriksaan manusia ataupun bagian tubuh manusia, baik
dalam keadaan hidup maupun meninggal, sesuai dengan
sumpah jabatannya.

• Permohonan VER:
– Tertulis, oleh penyidik
– Diserahkan langsung oleh petugas kepolisain
– Untuk korban mati, permintaan diajukan kepada dokter ahli atau
dokter kedokteran kehakiman
Siapa Yang Berhak Membuat VER?
• Dalam pasal 133 KUHAP disebutkan: penyidik berwenang
untuk mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.

• Sebenarnya boleh saja seorang dokter yang bukan dokter


spesialis forensik membuat dan mengeluarkan visum et
repertum.

• Tetapi, di dalam penjelasan pasal 133 KUHAP dikatakan


bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis
forensik merupakan keterangan ahli, sedangkan yang
dibuat oleh dokter selain spesialis forensik disebut
keterangan.
Syarat Pembuatan Visum et Repertum
Syarat yang menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam
pembuatannya, yaitu:
• Permintaan visum et repertum haruslah secara tertulis (sesuai
dengan pasal 133 ayat 2 KUHAP)
• Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara bedah, jika ada
keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau
pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya dilakukan
bedah mayat.
• Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap peristiwa
pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan atas
peristiwa yang telah lampau.
• Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya pemeriksaan.
• Isi visum et repertum tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran
yang telah teruji kebenarannya
Jenis Visum et Repertum Korban Hidup

• Visum et repertum biasa/tetap. Visum et repertum ini


diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban
yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.

• Visum et repertum sementara. Visum et


repertum sementara diberikan apabila korban memerlukan
perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat
diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh
dibuatkan visum et repertum lanjutan.

• Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak


memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh,
pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.
Visum et repertum untuk orang mati (jenazah)

• Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam


hal korban mati maka penyidik mengajukan
permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran
Forensik untuk dilakukan bedah mayat
(outopsi).
Jenis VeR lainnya
• Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat
setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.

• Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter


selesai melaksanakan penggalian jenazah.

• Visum et repertum psikiatri . Visum pada terdakwa yang pada saat


pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit
jiwa.

• Visum et repertum barang bukti. Misalnya visum terhadap barang bukti


yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya
darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.
172. SEBAB-MEKANISME-CARA KEMATIAN

• Untuk dapat menentukan sebab kematian,


secara mutlak harus dilakukan otopsi.

• Sedangkan perkiraan sebab kematian dapat


diteliti dari kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan luar.

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Sebab Kematian
• Sebab kematian lebih ditekankan pada alat atau
sarana yang dipakai untuk mematikan korban.
– Contoh: karena tenggelam, karena terbakar, karena
tusukan benda tajam, karena pencekikan, karena
kekerasan benda tumpul.

• Sebab kematian banyak membantu penyidik dalam


melaksanakan tugas, misalnya untuk mencari dan
menyita benda yang diperkirakan dipakai sebagai alat
pembunuh, sehingga sebab kematian seperti mati
lemas tidak tepat.

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Mekanisme Kematian
• Mekanisme kematian menunjukkan bagaimana
korban itu mati setelah umpamanya tertembak atau
tenggelam.
– Contoh: karena perdarahan, karena refleks vagal, karena
hancurnya jaringan otak

• Mekanisme lebih bersifat teoritis dan tidak selalu


dapat diketahui pasti

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Cara Kematian
• Dalam ilmu kedokteran forensik dikenal 3 cara
kematian, yaitu:
1. Wajar: kematian korban karena penyakit, bukan
karena kekerasan atau rudapaksa.
2. Tidak wajar, yang dibagi menjadi kecelakaan, bunuh
diri, dan pembunuhan.
3. Tidak dapat ditentukan, yang disebabkan karena
keadaan mayat telah sedemikian rusak atau busuk
sehingga luka atau penyakit tidak dapat ditemukan
lagi.

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN
NO PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN

Usia. Gantung diri lebih sering terjadi pada


Tidak mengenal batas usia, karena tindakan
remaja dan orang dewasa. Anak-anak di bawah
1 pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan dari
usia 10 tahun atau orang dewasa di atas usia 50
korban dan tidak bergantung pada usia
tahun jarang melakukan gantung diri

Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak terputus,


Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, berupa
mendatar, dan letaknya di bagian tengah leher,
2 lingkaran terputus (non-continuous) dan
karena usaha pelaku pembunuhan untuk membuat
terletak pada bagian atas leher
simpul tali

Simpul tali, biasanya hanya satu simpul yang Simpul tali biasanya lebih dari satu pada bagian
3
letaknya pada bagian samping leher depan leher dan simpul tali tersebut terikat kuat

Riwayat korban. Biasanya korban mempunyai


Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat untuk
4 riwayat untuk mencoba bunuh diri dengan cara
bunuh diri
lain

Cedera. Luka-luka pada tubuh korban yang bisa


Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban
5 menyebabkan kematian mendadak tidak
biasanya mengarah kepada pembunuhan
ditemukan pada kasus bunuh diri
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN
NO PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN

Racun. Adanya racun dalam lambung korban,


Terdapatnya racun berupa asam opium hidrosianat atau kalium
misalnya arsen, sublimat korosif, dll tidak
sianida tidak sesuai pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini
6 bertentangan dengan kasus gantung diri. Rasa
perlu waktu dan kemauan dari korban itu sendiri. Dengan demikian
nyeri yang disebabkan racun tersebut mungkin
maka kasus penggantungan tersebut adalah karena bunuh diri
mendorong korban untuk gantung diri

Tangan tidak dalam keadaan terikat, karena sulit Tangan yang dalam keadaan terikat mengarahkan dugaan pada
7
untuk gantung diri dalam keadaan tangan terikat kasus pembunuhan

Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, biasanya


tergantung pada tempat yang mudah dicapai Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan tergantung pada
8 oleh korban atau di sekitarnya ditemukan alat tempat yang sulit dicapai oleh korban dan alat yang digunakan
yang digunakan untuk mencapai tempat untuk mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
tersebut

Tempat kejadian. Jika kejadian berlangsung di


dalam kamar, dimana pintu, jendela ditemukan
Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan ditemukan terkunci
9 dalam keadaan tertutup dan terkunci dari
dari luar, maka penggantungan adalah kasus pembunuhan
dalam, maka kasusnya pasti merupakan bunuh
diri

Tanda-tanda perlawanan, tidak ditemukan pada Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada kecuali jika korban
10
kasus gantung diri sedang tidur, tidak sadar atau masih anak-anak.
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM
NO PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM PENGGANTUNGAN POSTMORTEM

Tanda-tanda penggantungan ante-mortem


Tanda-tanda post-mortem menunjukkan kematian
1 bervariasi. Tergantung dari cara kematian
yang bukan disebabkan penggantungan
korban

Tanda jejas jeratan miring, berupa lingkaran Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk lingkaran utuh
2 terputus (non-continuous) dan letaknya pada (continuous), agak sirkuler dan letaknya pada bagian
leher bagian atas leher tidak begitu tinggi

Simpul tali biasanya tunggal, terdapat pada Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan dengan
3
sisi leher kuat dan diletakkan pada bagian depan leher

Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan tidak


Ekimosis tampak jelas pada salah satu sisi dari
ada atau tidak jelas. Lebam mayat terdapat pada
4 jejas penjeratan. Lebam mayat tampak di atas
bagian tubuh yang menggantung sesuai dengan posisi
jejas jerat dan pada tungkai bawah
mayat setelah meninggal

Pada kulit di tempat jejas penjeratan teraba


5 seperti perabaan kertas perkamen, yaitu Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak begitu jelas
tanda parchmentisasi
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM
NO PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM PENGGANTUNGAN POSTMORTEM

Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan lain-


Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan lain-lain
6 lain sangat jelas terlihat terutama jika
tergantung dari penyebab kematian
kematian karena asfiksia

Wajah membengkak dan mata mengalami


Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak terdapat,
kongesti dan agak menonjol, disertai dengan
7 kecuali jika penyebab kematian adalah pencekikan
gambaran pembuluh dara vena yang jelas
(strangulasi) atau sufokasi
pada bagian dahi

Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus kematian


8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama sekali
akibat pencekikan
Penis. Ereksi penis disertai dengan keluarnya
cairan sperma sering terjadi pada korban pria. Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak
9
Demikian juga sering ditemukan keluarnya ada.Pengeluaran feses juga tidak ada
feses

Air liur. Ditemukan menetes dari sudut mulut,


dengan arah yang vertikal menuju dada. Hal Air liur tidak ditemukan yang menetes pad kasus
10
ini merupakan pertanda pasti penggantungan selain kasus penggantungan.
ante-mortem
173. ASFIKSIA
• Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan
berupa berkurangnya kadar oksigen (O2) dan
berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2)
secara bersamaan dalam darah dan jaringan
tubuh akibat gangguan pertukaran antara
oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru
dengan karbon dioksida dalam darah kapiler
paru-paru.
Pemeriksaan Luar Post Mortem
• Luka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan)
yang disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada
HbO2.

• Tardieu’s spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieu’s spot


merupakan bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran
kapiler darah setempat.

• Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena


terhambatnya pembekuan darah dan meningkatnya
fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal ini akibat meningkatnya kadar
CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair. Lebam mayat lebih
gelap karena meningkatnya kadar HbCO2..

• Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan
adanya fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
Pemeriksaan Dalam Post Mortem
• Kongesti sistemik dan kongesti paru, serta dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik kematian karena asfiksia akibat sebab
apapun
• Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih cair.
• Tardieu’s spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea
apponeurotika, laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
• Busa halus di saluran pernapasan  akibat fenomena kocokan
saat ada usaha napas pasien bercampur dengan surfaktan
• Edema paru.
• Sianosis yang dapat dilihat pada pembuluh darah kapiler, seperti
pada ujung jari dan bibir.
• Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur
laring, fraktur tulang lidah dan resapan darah pada luka.
Analisis Soal
• Pada soal, tedapat 2 jawaban yang tepat:
– Kongesti sistemik dan kongesti paru, serta dilatasi
jantung kanan merupakan tanda klasik kematian
karena asfiksia akibat sebab apapun, termasuk
asfiksia akibat penyebab alami
– Busa halus di saluran pernapasan  akibat
fenomena kocokan saat ada usaha napas pasien
bercampur dengan surfaktan  menandakan
adanya asfiksia karena hambatan mekanik  lebih
spesifik untuk ka
174. ETIKA KLINIS
• Medical Indication
(terkait prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai … dari sisi etik kaidah
yang digunakan adalah beneficence dan nonmaleficence)
• Patient Preference
(terkait nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya … cerminan kaidah otonomi)
• Quality of Life
(aktualisasi salah satu tujuan kedokteran :memperbaiki, menjaga atau
meningkatkan kualitas hidup insani … terkait dengan beneficence,
nonmaleficence & otonomi)
• Contextual Features
(menyangkut aspek non medis yang mempengaruhi pembuatan
keputusan, spt faktor keluarga, ekonomi, budaya … kaidah terkait justice)

Etika Klinis. (Jonsen, siegler & winslade, 2002)


175. PERSENTASE BALITA BGM
• Anak balita di suatu desa populasi 220 jiwa. rutin
datang ke posyandu 195 jiwa. rutin ditimbang
175 jiwa. didapati balita dibawah garis merah 35
jiwa.

• Persentase balita bawah garis merah (BGM):


jumlah balita BGM x 100%
jumlah semua balita
=35/220 x 100%
= 15,9%
176. LEVEL OF EVIDENCE

Penelitian yang
memiliki level
evidence paling
tinggi adalah
systematic review
dan meta analysis.
DESAIN PENELITIAN
Case report

Case series
Deskriptif

Memberi
Studi ekologi
deskripsi
tentang kejadian
Desain studi penyakit Cross sectional

Observasional Hanya melakukan pengamatan

Analitik
Memberikan perlakuan kepada
Mencari hubungan Eksperimental subyek penelitian (misalnya obat)
antara suatu pajanan
dengan penyakit
Desain Penelitian Analitik
177-178. MEDIA PROMOSI KESEHATAN
MEDIA PROMOSI KESEHATAN MASSAL
• Ceramah umum (public speaking), misalnya pada hari kesehatan
nasional, menteri kesehatan atau pejabat kesehatan lainnya
berpidato dihadapan massa rakyat untuk menyampaikan pesan-
pesan kesehatan.
• Diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik, baik siaran TV
maupun radio.
• Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas
kesehatan lainnya tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan
disuatu media massa
• Film
• Tulisan-tulisan dimajalah atau Koran, baik dalam bentuk artikel
maupaun Tanya jawab/ konsultasi tentang kesehatan dan penyakit.
• Billboard, yang dipasang dipinggir jalan, spanduk, poster, dsb.
Contoh : Billboard Ayo ke Posyandu.
Metode Promosi Kesehatan untuk Kelompok
(<15 orang)
• Diskusi kelompok: dipimpin 1 pemimpin diskusi, pemimpin
memberi pertanyaan atau kasus sehubungan dengan topik yang
dibahas untuk memancing anggota untuk berpendapat.

• Curah Pendapat (Brain Storming): Prinsipnya sama dengan metode


diskusi kelompok. Bedanya, pada permulaannya pemimpin
kelompok memancing dengan satu masalah dan kemudian tiap
peserta memberikan jawaban-jawaban atau tanggapan (curah
pendapat). Sebelum semua peserta mencurahkan pendapatnya,
tidak boleh diberikan komentar oleh siapapun. Harus setelah semua
mengeluarkan pendapatnya, tiap anggota dapat mengomentari,
dan akhirnya terjadi diskusi.
Metode Promosi Kesehatan untuk Kelompok
(<15 orang)
• Bola salju (snowballing): Kelompok dibagi dalam pasangan-pasangan (1
pasang 2 orang) kemudian dilontarkan suatu pertanyaan atau masalah.
Setelah lebih kurang 5 menit maka tiap 2 pasang bergabung menjadi 1.
Mereka tetap mendiskusikan masalah tersebut, dan mencari
kesimpulannya. Kemudian tiap-tiap pasang yang sudah beranggotakan 4
orang ini bergabung lagi dengan pasangan lainnya dst, sampai akhirnya
akan terjadi diskusi seluruh anggota kelompok.

• Kelompok kecil (buzz group): Kelompok langsung dibagi menjadi


kelompok-kelompok kecil (buzz group) yang kemudian diberi suatu
permasalahan yang sama atau tidak sama dengan kelompok lain. Masing-
masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya hasil dari
tiap kelompok didiskusikan kembali dan dicari kesimpulannya.
Metode Promosi Kesehatan untuk Kelompok
(<15 orang)
• Role play: Beberapa anggota kelompok diunjuk sebagai pemegang
peran tertentu untuk memainkan peranan, misalnya sebagai dokter
Puskesmas, sebagai perawat, atau bidan, dan sebagainya,
sedangkan anggota yang lain sebagai pasien atau anggota
masyarakat. Mereka memperagakan, misalnya bagaimana
komunikasi/interaksi sehari-hari dalam melaksanakan tugas.

• Simulation game: Gabungan antara role play dengan diskusi


kelompok. Pesan-pesan kesehatan disajikan dalam beberapa bentuk
permainan seperti permainan monopoli. Cara memainkannya persis
seperti bermain monopoli dan menggunakan dadu, gaco (petunjuk
arah) selain papan main. Beberapa orang menjadi pemain dan
sebagian lagi berperan sebagai narasumber.
Alat Bantu Promosi Kesehatan
(Menurut Cone of Experience, Edgar Dale)
178. Analisis Soal
• Yang harus ditekankan pada soal ini adalah sasaran promosi
kesehatannya adalah kepada pemuka masyarakat, dan yang
akan dibicarakan adalah mengenai KB.
• Promosi kesehatan kepada pemuka masyarakat lebih
membutuhkan upaya tersendiri karena mereka dianggap yang
paling memahami masalah di masyarakat dan “dituakan” di
antara masyarakatnya.
• Selain itu, ada kemungkinan tidak semua pemuka masyarakat
menyetujui penggunaan KB. Maka di antara pilihan yang ada,
cara paling tepat adalah snowballing dengan pendekatan
persuasi.
179. PENENTUAN PRIORITAS MASALAH DENGAN
PAHO (PAN-AMERICAN HEALTH ORGANIZATION)
• Dipergunakan beberapa kriteria untuk menentukan prioritas
masalah kesehatan di suatu wilayah berdasarkan:
– Luasnya masalah (magnitude)
– Beratnya kemgian yang timbul (Severity)
– Tersedianya sumberdaya untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut
(Vulnerability)
– Kepedulian/dukungan politis dan dukungan masyarakat (Community
andpolitical concern)
– Ketersediaan data (Affordability)

• Diberi skor antara 1-10 oleh panel expert yang memahami masalah
kesehatan dalam forum curah pendapat (brain storming). Setelah
diberi skor, masing-masing penyakit dihitung nilai skor dengan
perkalian.

• Skor tertinggi  prioritas masalah utama.


Cara Lain Dalam Menentukan Prioritas
Masalah
Teknik yang Digunakan Definisi

Metode Hanlon/ Sistem Dasar Penilaian Memperhitungkan Ukuran/Besarnya


Prioritas (BPRS) masalah, tingkat keseriusan masalah,
perkiraan efektivitas solusi, PEARL faktor
(propriety, economic feasibility,
acceptability, resource availability,
legality). Semua komponen tersebut
dirata-rata untuk memberikan prioritas
utama penyakit / kondisi dengan skor
tertinggi.
Fish-bone diagram Menganalisa cause-effect, dimana bagian
kepala (sebagai effect) dan bagian tubuh
ikan berupa rangka serta duri-durinya
digambarkan sebagai penyebab (cause)
suatu permasalahan yang timbul.
Brainstorming Metode curah pendapat yang digunakan yang
secara efektif melibatkan seluruh anggota kelompok untuk
menentukan priioritas masalah.
Metode Delpie Penetapan prioritas masalah dilakukan melalui kesepakatan
sekelompok orang yang sama keahliannya. Pemilihan prioritas
masalah dilakukan melalui pertemuan khusus. Setiap peserta
yang sama keahliannya dimintakan untuk mengemukakan
beberapa masalah pokok, masalah yang paling banyak
dikemukakan adalah prioritas masalah yang dicari.

Metode Delbecq Penetapan prioritas masalah dilakukan melalui kesepakatan


sekelompok orang yang tidak sama keahliannya. Sehingga
diperlukan penjelasan terlebih dahulu untuk meningkatkan
pengertian dan pemahaman peserta tanpa mempengaruhi
peserta. Lalu diminta untuk mengemukakan beberapa masalah.
Masalah yang banyak dikemukakan adalah prioritas.

Nominal group technique Suatu metode untuk mencapai konsensus dalam suatu
(NGT) kelompok, dengan cara mengumpulkan ide-ide dari tiap
peserta, yang kemudian memberikan voting dan ranking
terhadap ide-ide yang mereka pilih. Ide yang dipilih adalah yang
paling banyak skor-nya, yang berarti merupakan konsensus
bersama.
180. FIVE LEVEL OF PREVENTION
• Dilakukan pada orang sehat
Health promotion • Promosi kesehatan
• Contoh: penyuluhan

• Dilakukan pada orang sehat


Specific • Mencegah terjadinya kesakitan
protection • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun

• Dilakukan pada orang sakit


Early diagnosis & • Tujuannya kuratif
prompt treatment • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB

• Dilakukan pada orang sakit


Disability • Membatasi kecacatan
limitation • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki

• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan


Rehabilitation • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada
• Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
181. PROFESIONALISME DOKTER
• Alturisme : Kepentingan orang lain dari kepentingan
sendiri
• Accountability: Bersedia mempertanggung jawabkan
berbagai kegiatan profesionalismenya kepada orang
lain atau publik; Selalu mengembangkan ilmu
pengetahuan dg prinsip-prinsip dasar etika.
• Excellence: Berkomitmen untuk belajar seumur hidup
sesuai dg profesinya sebagai dokter, dimulai sejak hari
pertama masuk pendidikan sbg mhs Fakultas
kedokteran.
• Duty: Membuktikan komitmennya sbg dokter
mengutamakan kesehatan pasien atau komunitasnya,
bahkan tanpa memandang mereka mampu membayar
atau tidak.
Profesionalisme Dokter
• Honor & integrity: Ditunjukkan melalui perilaku dg standar
tertinggi, tidak melakukan penyimpangan penyimpangan-
penyimpangan personal maupun profesional dan ini
merupakan esensi humaniora,terutama pd klien,pasien, mhs,
subjek penelitian, teman sejawat dan bahkan komunitas yg
lebih luas.
• Respect for others: Berarti menghargai dan menghormati
otonomi,pilihan, harkat dan martabat seseorang.
• Personal commitment: Dapat ditunjukkan dg belajar
sepanjang hayat, melaksanakan tugas tanggung jawabnya dg
kualitas tertinggi thdp majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi yg sangat cepat berkembang, sbg seorang scientist
182. INFORMED CONSENT
• Informed Consent adalah persetujuan tindakan
kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.

• Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan


Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada
pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Unsur dalam Informed Consent
Informed Consent memiliki 2 unsur :
• Informed  informasi yang harus diberikan
(dokter)
• Consent  persetujuan (pasien)
 persetujuan yang diberikan pasien kepada
dokter setelah diberi penjelasan
Tujuan Informed Consent
• Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap
tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan
secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang
dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
• Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap
suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur
medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko

( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )


Informed Consent Tertulis atau Lisan?
• Dapat berupa persetujuan tertulis atau lisan.
– Persetujuan tertulis harus dimintakan dari
pasien/keluarganya jika dokter akan melakukan suatu
tindakan medik invasif yang mempunyai resiko besar
(pasal 3 (1) Permenkes No.585 tahun 1989). Contoh:
tindakan operasi mayor dan minor, endoskopi.

– Persetujuan lisan dilakukan untuk tindakan medik


yang tidak invasif dan tidak mengandung resiko besar.
Contoh: pemasangan NGT, pemasangan kateter.
• Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 (trespass,
battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes
No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan
tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis
oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

• Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi


sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran
adalah:
– Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana
dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
– Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak
bisa menghadapi situasi dirinya.
183. PENGGALIAN MAYAT
(EKSHUMASI)
• Ekshumasi adalah pemeriksaan terhadap mayat
yang sudah dikuburkan dari dalam kuburannya
yang telah disahkan oleh hukum untuk
membantu peradilan.

• Ekshumasi dilakukan atas perintah penyidik untuk


membuat terang dan jelas suatu perkara,
khususnya perkara pidana.

• Dasar hukum: KUHAP pasal 135 dan 136.


Alasan Penyidik Memerintahkan Ekshumasi

• Pada kasus penguburan mayat secara ilegal untuk


menyembunyikan kematian seseorang.

• Pada kasus di mana penyebab kematian yang


tertera dalam surat kematian tidak jelas dan
menimbulkan pertanyaan.

• Pada kasus di mana identitas mayat yang dikubur


perlu dibuktikan kebenarannya atau sebaliknya.
Bolehkah Menolak Otopsi Forensik?
PASAL 134 KUHAP
• (1)Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik
wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
• (2)Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan
sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya
pembedahan tsb. (3)Apabila dalam waktu dua hari tidak ada
tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu
tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang
ini.

PASAL 222 KUHP


• Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
Hal Yang Perlu Diperhatikan Tentang
Ekshumasi
• Ekhumasi dihadiri oleh dokter, penyidik, dan pihak keluarga korban.

• Karena keadaan mayat yang telah rusak, perlu dilakukan


pengambilan sampel dari jaringan tubuh, khususnya bila keracunan
diduga menjadi penyebab kematian.

• Pemeriksaan akan memberi hasil yang diharapkan terutama bila


terdapat kekerasan pada jaringan tubuh yang keras, misalnya
tulang.

• Bila keadaan mayat sudah sedemikian busuk, dokter belum tentu


dapat menentukan penyebab kematian korban secara pasti.
184. LUKA TEMBAK

• Dalam memberikan pendapat atau kesimpulan dalam


visum et repertum, tidak dibenarkan menggunakan istilah
pistol atau revolver; oleh karena perkataan pistol
mengandung pengertian bahwa senjatanya termasuk
otomatis atau semi otomatis, sedangkan revolver berarti
anak peluru berada dalam silinder yang akan memutar jika
tembakan dilepaskan.

• Oleh karena dokter tidak melihat peristiwa


penembakannya, maka yang akan disampaikan adalah;
senjata api kaliber 0,38 engan alur ke kiri dan sebagainya.
Luka Tembak Menempel Erat

• Luka simetris di tiap sisi


• Jejas laras jelas mengelilingi lubang luka
• Tidak akan dijumpai kelim jelaga atau kelim
tattoo
Kelim pada Luka Tembak

• Kelim tato: akibat butir mesiu; gambaran bintik-


bintik hitam bercampur perdarahan, tidak dapat
dihapus dengan kain.
• Kelim jelaga: akibat asap; gambaran bintik-bintik
hitam yang dapat dihapus dengan kain.
• Kelim api: akibat pembakaran dari senjata; luka
bakar terlihat dari kulit dan rambut di sekitar luka
yang terbakar.
• Kelim lecet: akibat partikel logam; bentuknya luka
lecet atau luka terbuka yang dangkal
Luka Tembak Masuk vs Keluar

• Luka tembak masuk: pada tubuh korban tersebut akan


didapatkan perubahan yang diakibatkan oleh berbagai
unsur atau komponen yang keluar dari laras senjata api
tersebut, seperti anak peluru, butir-butir mesiu yang
tidak terbakar atau sebagian terbakar, asap atau jelaga,
api, partikel logam, minyak pada anak peluru.

• Luka tembak keluar: tidak adanya kelim lecet, kelim-


kelim lain juga tentu tidak ditemukan. Luka tembak
keluar pada umumnya lebih besar dari luka tembak
masuk.
185. PROFESSIONAL MISCONDUCT
• Pelanggaran dilakukan dalam Dokter bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin
profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata.

• Lebih berkaitan dengan motivasi, daripada


human error.
PELANGGARAN DALAM PELAYANAN
KEDOKTERAN
• Pelanggaran dapat berupa:
– Pelanggaran etik
– Pelanggaran disiplin
– Pelanggaran hukum (pidana dan perdata)
Pelanggaran Etik
• Dasar: Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI),
yang berisi kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, dan kewajiban terhadap
teman sejawat.

• Alur: Laporan dari institusi pelayanan 


komite etik di institusi pelayanan  MKEK 
ditentukan sanksi ringan/ sedang/ berat
Intisari KODEKI
KEWAJIBAN UMUM KEWAJIBAN THD PASIEN KEWAJIBAN THD DIRI SENDIRI & TS

menjunjung tinggi, menghayati dan ..wajib merujuk jika tidak setiap dokter harus memelihara
mengamalkan sumpah dokter (pasal mampu, atas persetujuan kesehatannya supaya dapat
1) pasien(pasal 14) bekerja dengan baik (pasal 20)

Seorang dokter wajib selalu setiap dokter wajib merahasiakan setiap dokter harus senantiasa
melakukan pengambilan keputusan segala sesuatu yang diketahuinya mengikuti perkembangan ilmu
profesional secara independen, dan tentang seorang pasien , bahkan pengetahuan dan teknologi
mempertahankan perilaku juga setelah pasien itu meninggal kedokteran/kesehatan (psl 21)
profesional dalam ukuran yang dunia (pasal 16)
tertinggi. (pasal 2) setiap dokter memperlakukan
setiap dokter wajib melakukan teman sejawat nya sebagaimana
dalam melakukan pekerjaannya pertolongan darurat sbg suatu ia sendiri ingin diperlakukan
seorang dokter tidak boleh tugas perikemanusiaan, kecuali (pasal 18)
dipengaruhi oleh sesuatu yang bila ia yakin ada orang lain
mengakibatkan hilangnya bersedia dan mampu
kebebasan & kemandirian profesi memberikannya (pasal 17)
(pasal 3)

seorang dokter hanya memberi


surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya
(pasal7)
Pelanggaran Disiplin
• Pelanggaran terhadap standar profesi
kedokteran.

• Alur: delik aduan  MKDKI  sanksi.

• Sanksi Disiplin (Pasal 69 ayat 3, UUPK):


1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran
Pelanggaran Hukum
• Dokter adalah bagian dari komunitas (publik)
sehingga berlaku kepadanya HUKUM PUBLIK.

• Hukum publik dapat berupa pidana atau


perdata.
Sanksi Pidana dalam UU No.29 Th 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
• Pasal 75  Praktik tanpa STR
• Pasal 76  praktik tanpa SIP
• Pasal 77  menggunakan gelar seolah-olah
dr/drg yang memiliki STR
• Pasal 79  tidak memasang papan praktik,
tidak membuat rekam medik, tidak sesuai
standar profesi (rasional,merujuk,dll)
• Pasal 80  mempekerjakan dr/drg tanpa STR
& SIP
Sanksi Perdata Menurut KUH Perdata
• Wan Prestasi, jika hubungan yuridis dokter-pasien adalah perjanjian
membawa hasil (resultaatverbintenis) dengan memakai pasal 1239 KUH
Perdata,

• Perbuatan melawan hukum, jika hubungan yuridis dokter-pasien adalah


perjanjian memasang tekad (inspanningsverbintenissen) atau perjanjian
teraupetik dengan memakai pasal 1365 KUH Perdata.

• Melalaikan pekerjaan sebagai penanggungjawab. Artinya, dokter


bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat bawahannya (perawat,
paramedis) yang secara langsung diawasinya dalam melaksanakan
perintah atau petunjuk dokter. Bawahan dokter tersebut merupakan
perpanjangan tangan dokter (verlengende arm van de geneesher) dalam
melakukan tindakan medik. Pasal yang digunakan adalah pasal 1367 ayat
(3) KUH Perdata,
Adverse Event
(Kejadian Tidak Diharapkan/ KTD)
• Near miss: Tindakan yg dapat mencederai pasien, tetapi tidak
mengakibatkan cedera karena faktor kebetulan, pencegahan atau
mitigasi. Contoh: perawat akan memberikan obat yang salah
kepada pasien. Tetapi sebelum obat diminum pasien, perawat
tersebut menyadarinya.

• Error: Tindakan yang mencederai pasien dan sebenarnya dapat


dicegah. Contoh: salah memberikan obat kepada pasien.

• Acceptable risk (risiko medis): Kejadian tidak diharapkan yang


merupakan risiko yang harus diterima dari pengobatan yang tidak
dapat dihindari. Contoh: Pasien Ca mammae muntah-muntah pasca
kemoterapi.
Adverse Event
(Kejadian Tidak Diharapkan/ KTD)
• Unforseeable risk: Kejadian tidak diharapkan yang tidak dapat
diduga sebelumnya. Contoh: Terjadi Steven Johnson
Syndrome pasca pasien minum paracetamol, tanpa ada
riwayat alergi obat sebelumnya.

• Complication of disease: Kejadian tidak diharapkan yang


merupakan bagian dari perjalanan penyakit atau komplikasi
penyakit. Contoh: Pasien luka bakar dalam perawatan
mengalami sepsis.

• Kejadian sentinel: adverse event yang berakibat fatal


(kecacatan atau kematian). Contoh: salah pengaturan
tetesan cairan infus yang menyebabkan pasien edema paru.
Analisis Soal
• Dokter melakukan professional misconduct (pelanggaran dalam praktik
kedokteran) berupa pelanggaran disiplin, yaitu menyalahi standar prosedur
operasional untuk menggunakan sarung tangan steril saat operasi.
• Bahkan sebenarnya kasus ini sudah memenuhi kriteria malpraktik karena
sudah memenuhi syarat duty, breach of duty, causal effect, dan injury
namun pilihan malpraktik tidak ada.
• Dari aspek keselamatan pasien (patient safety), tindakan yang dilakukan
dokter termasuk dalam preventable adverse event karena sebenarnya
kejadian ini dapat dicegah bila dokter menggunakan sarung tangan steril
saat operasi.
• Karena pertanyaan di soal adalah mengenai prinsip kelalaian yang dilakukan
maka lebih dipilih jawaban E.
186. KEJADIAN EPIDEMIOLOGIS PENYAKIT

• Sporadik: kejadian penyakit tertentu di suatu


daerah secara acak dan tidak teratur.
Contohnya: kejadian pneumonia di DKI
Jakarta.

• Endemik: kejadian penyakit di suatu daerah


yang jumlahnya lebih tinggi dibanding daerah
lain dan hal tersebut terjadi terus menerus.
Contohnya: Malaria endemis di Papua.
• Epidemik dan KLB: Epidemik dan KLB sebenarnya
memiliki definisi serupa, namun KLB terjadi pada
wilayah yang lebih sempit (misalnya di satu
kecamatan saja). Indonesia memiliki kriteria KLB
berdasarkan Permenkes 1501 tahun 2010 (di
slide selanjutnya).

• Pandemik: merupakan epidemik yang terjadi


lintas negara atau benua. Contohnya: kejadian
MERS-COV di dunia tahun 2014-2015.
Kriteria KLB (Permenkes 1501, tahun 2010)
• Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal pada suatu daerah
• Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya
• Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut
jenis penyakitnya
• Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah
per bulan dalam tahun sebelumnya
• Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya
• Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen)
atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit
periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
• Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
187. DESAIN PENELITIAN
Case report

Case series
Deskriptif
Memberi deskripsi Studi ekologi
tentang kejadian
penyakit
Cross
Desain studi
sectional

Observasional Hanya melakukan pengamatan


Analitik
Memberikan perlakuan kepada
Mencari hubungan antara Eksperimental subyek penelitian (misalnya obat)
suatu pajanan dengan
penyakit
Desain Penelitian Analitik
Prinsip
Kohort

• Studi kohort selalu dimulai dari subyek yang tidak sakit. Kelompok subyek
dibagi menjadi subyek yang terpajan dan tidak terpajan. Kemudian
dilakukan pengamatan sampai terjadinya penyakit atau sampai waktu
yang ditentukan.
Kohort Prospektif vs Retrospektif
• Baik kohort prospektif
maupun retrospektif selalu
dimulai dari menjadi subyek
yang tidak sakit.

• Kohort prospektif dimulai


saat ini dan diikuti ke depan
sampai terjadi penyakit.

• Pada kohort retrospektif,


peneliti “kembali ke masa
lalu” melalui rekam medik,
mencari subyek yang sehat
pada tahun tertentu
kemudian mengikuti
perkembangannya melalui
catatan rekam medik hingga
terjadinya penyakit.
188. KOEFISIEN KORELASI
• Penelitian yang meneliti hubungan antara dua variabel numerik
menggunakan uji Korelasi Pearson. Hasil uji korelasi Pearson
dinyatakan dalam R (koefisen korelasi) sebagai berikut:

Prinsip:
Nilai koefisien korelasi berkisar antara 0 sampai 1. Nol berarti tidak ada korelasi sama sekali,
sedangkan satu menandakan korelasi sempurna. Koefisien korelasi yang semakin mendekati
angka 1, menunjukkan semakin kuat korelasi .
Contoh Uji Korelasi
• Misalnya pada penelitian yang ingin mengetahui
hubungan antara kolesterol total (mg/dL) dengan
tekanan darah sistolik (mmHg) didapatkan nilai R-nya
sebesar 0,8.

• Hal ini berarti terdapat korelasi kuat antara kolesterol


total dan tekanan darah sistolik (semakin tinggi
kolesterol, semakin tinggi tekanan darah sistolik).

• Namun apakah hasil tersebut bermakna secara statistik


atau hanya merupakan kebetulan saja (ada
kemungkinan tidak sesuai dengan kenyataan di
populasi)?  Harus diliihat nilai p-nya.
Memahami Nilai p dan alpha
dengan lebih sederhana
• Nilai α merupakan nilai yang • Nilai p merupakan hasil uji
ditetapkan oleh peneliti statistik dari penelitian yang
untuk menunjukkan menunjukkan seberapa
seberapa besar besar kemungkinan hasil
kemungkinan hasil penelitian tersebut salah.
penelitian yang didapat
salah. • Misalnya nilai p=0,01, maka
secara sederhana hasil uji
• Umumnya peneliti sepakat statistik menunjukkan
mentolerir nilai α sebesar kemungkinan hasil
0,05. Artinya kemungkinan penelitian salah sebesar 1%.
hasil penelitian salah
sebesar 5%. Dengan kata • Hasil penelitian dikatakan
lain, peneliti meyakini hasil bermakna secara statistik
penelitiannya 95% valid. bila nilai p lebih kecil dari
nilai α yang ditetapkan.
HIPOTESIS NOL DAN HIPOTESIS ALTERNATIF

• Kapan suatu penelitian membutuhkan


hipotesis? Hipotesis diperlukan pada penelitian
analitik (penelitian yang ingin membuktikan
adanya hubungan antara paparan dengan
terjadinya outcome). Pada penelitian yang
deskriptif (misalnya prevalensi hipertensi di
Indonesia), hipotesis tidak harus ada.

• Terdapat 2 macam hipotesis: Hipotesis nol (null


hypothesis) dan hipotesis alternatif.
• Hipotesis nol (H0) : hipotesis yang
menyatakan tidak adanya hubungan antara
variabel independen/paparan (X) dengan
variabel dependen/outcome (Y). Contoh:
Tidak ada hubungan antara merokok dengan
kanker paru.

• Hipotesis alternatif/hipotesis kerja (Ha):


Hipotesis yang menyatakan adanya hubungan
antara variabel independen/paparan(X) dan
variabel dependen/outcome (Y) yang diteliti.
Contoh: Merokok berhubungan dengan kanker
paru, atau merokok menyebabkan
peningkatan kejadian kanker paru.
Hipotesis Nol dan Hipotesis Alternatif
• Kapan hipotesis nol diterima atau ditolak?
– Harus dilakukan uji hipotesis dengan menetapkan
terlebih dahulu nilai alpha (α). Alpha adalah tingkat
kesalahan yang ditetapkan di mana hasil penelitian
menyatakan bahwa hipotesis nolnya benar padahal
kenyataan dalam populasi hipotesis alternatif yang
benar. Umumnya disepakati nilai α=0,05.
– Bila nilai p-value > α, maka hipotesis nol diterima.
– Bila nilai p-value < α, maka hipotesis nol ditolak
sehingga hipotesis alternatif yang diterima.
189. TEKNIK SAMPLING
Probability Sampling Techique lebih baik
dibanding non-probability
• Simple Random Sampling: pengambilan sampel dari
semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata/tingkatan yang ada dalam
populasi itu.

• Stratified Sampling: Penentuan sampling tingkat


berdasarkan karakteristik tertentu (usia, jenis kelamin,
dsb). Misalnya untuk mengambil sampel dipisahkan
dulu jenis kelamin pria dan wanita. Baru kemudian dari
kelompok pria diambil sampel secara acak, demikian
juga dari kelompok wanita.
Probability Sampling Techique lebih
baik dibanding non-probability
• Cluster Sampling: disebut juga sebagai teknik sampling daerah.
Pemilihan sampel berdasarkan daerah yang dipilih secara acak.
Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta.
Seluruh penduduk dari 20 kecamatan terpilih dijadikan sampel.

• Multistage random sampling: teknik sampling yang menggunakan 2


teknik sampling atau lebih secara berturut-turut. Contohnya
mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta (cluster sampling).
Kemudian dari masing-masing kecamatan terpilih, diambil 50
sampel secara acak (simple random sampling).

• Systematical Sampling anggota sampel dipilh berdasarkan urutan


tertentu. Misalnya setiap kelipatan 10 atau 100 dari daftar pegawai
disuatu kantor, pengambilan sampel hanya nomor genap atau yang
ganjil saja.
Non-probability Sampling
• Purposive/ judgmental Sampling: sampel yang dipilih
secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya.
• Snowball Sampling: Dari sampel yang prevalensinya
sedikit ,peneliti mencari informasi sampel lain dari
yang dijadikan sampel sebelumnya, sehingga makin
lama jumlah sampelnya makin banyak
• Quota Sampling:anggota sampel pada suatu tingkat
dipilih dengan jumlah tertentu (kuota) dengan ciri-ciri
tertentu
• Convenience sampling:mengambil sampel sesuka
peneliti (kapanpun dan siapapun yang dijumpai
peneliti)
190. STRATEGI PEMECAHAN KONFLIK
Negosiasi (Burung Hantu)
• Burung hantu sangat menghargai tujuan dan hubungan.
• Solusi dicari yang memuaskan semua anggota kelompok dan
menghilangkan semua ketegangan dan perasaan negatif.

Merendahkan diri (Beruang)


• Untuk beruang, hubungan sangat penting sedangkan tujuan tidaklah
terlalu penting
• Menekankan pada membantu orang lain untuk meraih tujuannya

Memaksa (Hiu)
• Hiu lebih mementingkan tujuan, dan menganggap hubungan tidak
penting.
• Berusaha untuk mengalahkan lawan dengan memaksa mereka untuk
menyerah.. Biasanya menggunakan kekerasan.
Kompromi (Rubah)
• Rubah cukup peduli dengan tujuan dan hubungan
anggota kelompok lain.
• Biasanya dengan mengorbankan sebagian dari
tujuan dan hubungan untuk mencapai kesepakatan.

Menarik diri (Kura-kura)


• Kura-kura menarik dirinya ke dalam cangkangnya
untuk menghindari konflik.
• Pemikiran Fundamental: Ini bukan waktu atau
tempat yang tepat untuk mengatasi masalah ini
THT-KL
191. Rhinitis
Rhinitis
Diagnosis Clinical Findings
Rinitis alergi Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Rinitis vasomotor Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu:
asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa
edema, konka hipertrofi merah gelap.
Rinitis hipertrofi Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala:
hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak &
mukopurulen.
Rinitis atrofi / Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa
ozaena pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau,
hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media &
inferior, sekret & krusta hijau.
Rinitis Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan vasokonstriktor
medikamentosa topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus.
Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang
berlebihan.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
192. Laringitis TB
• Infesi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara
pernapasan, sputum yang mengandung kuman,
atau penyebaran melalui aliran darah atau limfa
• Laringitis TB dapat menetap walaupun TB paru
telah dinyatakan sembuh
• Struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago
serta vaskularisasi tidak sebaik paru
• 4 stadium laringitis tuberkuosis:
1. Stadium infiltrasi
2. Stadium ulserasi
3. Stadium perikondritis
4. Stadium pembentukan tumor
Laringitis TB
• Stadium infiltrasi :
- Awalnya, mukosa laring posterior bengkak dan hiperemis. Kemudian
mukosa akan berwarna pucat
- Tuberkel terbentuk pada submukosa, bintik-bintik kebiruan, melekat
satu sama lain  mukosa meregang  pecah dan timbul ulkus
• Stadium ulserasi :
- Ulkus dangkal, dasarnya ditutup perkijuan, terasa nyeri
• Stadium perikondritis :
- Ulkus makin dalam mengenai kartilago aritenoid dan epiglotis 
kerusakan tulang rawan  nanah berbau
• Stadium fibrotuberkulosis
- Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara, dan
subglotik
Laringitis TB
• Gejala klinis
– Rasa kering, tertekan, panas pada laring
– Suara parau selama berminggu-minggu hingga afonia
– Hemoptisis
– Nyeri menelan
– Keadaan umum buruk
– Pada pemeriksaan paru (klinis dan radiologis) terdapat
proses aktif
• Terapi:
– OAT, istirahat suara
193. OTITIS MEDIA

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Tympanic Membrane Anatomy
Otitis Media
Otitis Media Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
 Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah, membran
timpani membonjol.
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani kembali
normal. Jika perforasi  sekret berkurang.
1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media
Otitis Media Akut
• Th:
– Oklusi tuba: dekongestan topikal
(ephedrin HCl) Hyperaemic stage
– Presupurasi: AB minimal 7 hari
(ampicylin/amoxcylin/
erythromicin) & analgesik.
– Supurasi: AB, miringotomi.
– Perforasi: ear wash H2O2 3% & AB.
– Resolusi: jika sekret tidak
berhenti AB dilanjutkan hingga 3
minggu.
Suppuration stage
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
OTITIS MEDIA
Otitis media supuratif kronik
• Infeksi kronik dengan sekresi persisten/ hilang
timbul (> 2 bulan) melalui membran timpani
yang tidak intak.
• Mekanisme perforasi kronik mengakibatkan
infeksi persisten:
– Kontaminasi bakteri ke telinga tengah secara
langsung melalui celah
– Tidak adanya membran timpani yang intak
menghilangkan efek "gas cushion" yang
normalnya mencegah refluks sekresi nasofaring.
• Petunjuk diagnostik:
– Otorea rekuren/kronik
– Penurunan pendengaran
– Perforasi membran timpani

1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, & throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
194. Benda asing saluran nafas
Lokasi sumbatan Tanda dan Gejala
Laring Total: asfiksia karena spasme laring
Parsial: suara parau, disfonia, batuk yang disertai sesak (croupy cough),
odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis, rasa subjektif (pasien menunjuk
leher)
Trakea Batuk tiba-tiba dengan rasa tercekik (choking), tersumbat di
tenggorokan (gagging), sentuhan benda asing pada pita suara terasa
getaran di daerah tiroid (palpatory thud), atau didengar di stetoskop
(audible slap), mengi saat membuka mulut (asthmatoid wheeze)

Bronkus Lebih banyak bronkus kanan


Fase asimtomatik
Fase pulmonum: emfisema, atelektasis, drowned lung, abses paru
Hidung Hidung tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental, berbau, nyeri,
demam, bersin, epistaksis
Orofaring dan Nyeri menelan (odinofagia), Jackson’s sign  akumulasi ludah pada
hipofaring sinus piriformis tempat benda asing tersangkut,
195-196. Epistaksis
Penatalaksanaan
• Perbaiki keadaan umum
– Nadi, napas, tekanan darah

• Hentikan perdarahan
– Bersihkan hidung dari darah & bekuan
– Pasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin
1/5000-1/10000 atau lidokain 2%
– Setelah 15 menit, lihat sumber perdarahan

• Cari faktor penyebab untuk mencegah rekurensi


– Trauma, infeksi, tumor, kelainan kardiovaskular, kelainan darah,
kelainan kongenital
Epistaksis
• Epistaksis anterior:
– Sumber: pleksus kisselbach plexus atau a. ethmoidalis
anterior
– Dapat terjadi karena infeksi & trauma ringan, mudah
dihentikan.
– Penekanan dengan jari selama 10-15 menit akan menekan
pembuluh darah & menghentikan perdarahan.
– Jika sumber perdarahan terlihat  kauter dengan AgNO3, jika
tidak berhenti  tampon anterior 2 x 24 jam.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Epistaksis
• Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam
posisi duduk, biarkan darah mengalir.
• Jika keadaan lemah sebaiknya setengah duduk
atau berbaring dengan kepala ditinggikan.
• Haus diperhatikan jangan sampai darah
mengalir ke saluran nafas.
• Perdarahan anterior dapat dicoba dihentikan
dengan menekan hidung selama 10-15 menit.
Epistaksis
• Epistaksis Posterior
– Perdarahan berasal
dari a. ethmoidalis
posterior atau a.
sphenopalatina, sering
sulit dihentikan.
– Terjadi pada pasien
dengan hipertensi
atau arteriosklerosis.
– Terapi: tampon
bellocq/posterior
selama 2-3 hari.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
197. Faringitis Kronik
• Terdapat 2 bentuk faringitis kronik
– faringitis kronik hiperplastik
– faringitis kronik atrofi
• Faktor predisposisi  rinitis kronik, sinusitis,
iritasi kronik oleh rokok, alkohol, inhalasi uap
yang merangsang mukosa faring, debu serta
pasien yang bernafas melalui mulut karena
hidung tersumbat.
Faringitis kronik
• Faringitis kronik hiperplastik
– Kelenjar limfa dibawah mukosa faring
– Lateral band hiperplasi
– Mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular

• Faringitis kronik atrofik


– Timbul bersamaan dengan rinitis atrofi
– Tenggorokan kering dan mulut berbau
– Mukosa faring ditutupi lendir kental dan bila diangkat
tampak mukosa kering
198. BPPV
• BPPV disebabkan oleh debris yang berasal dari
utrikulus (nama lama: otolith, nama baru: canalith)
masuk ke kanalis semisirkularis & melekat pada kupula
atau mengambang di dalam endolimf.

• Debris di kanalis semisirkularis bergerak karena


gravitasi & mendorong kupula  vertigo.

• Mayoritas BPPV disebabkan oleh debris di kanalis


semisirkularis posterior, tetapi juga dapat masuk ke
kanalis semisirkularis horizontal & superior.
98. Vertigo
Peripheral Vertigo Central Vertigo
Involving Inner ear, vestibular nerve Brainstem, cerebellum,
cerebrum
Onset Sudden Gradual
Nausea, vomitting Severe Varied
Hearing symptom Often Seldom
Neurologic symptom - Often
Compensation/resolution Fast Slow
Spontaneous nystagmus Horizontal, rotatoir Vertical
Positional nystagmus Latency (+), fatigue (+) Latency (-), no fatigue (-)
Calory nystagmus Paresis Normal
• Vertigo of peripheral origin
Condition Details
BPPV Brief, position-provoked vertigo episodes caused by
abnormal presence of particles in semisircular canal
Meniere’s disease An excess of endolymph, causing distension of
endolymphatic system (vertigo, tinnitus, sensorineural
deafness)
Vestibular neuronitis Vestibular nerve inflammation, most likely due to virus
Acute labyrinthitis Labyrinth inflammation caused by viral or bacterial
infection
Labyinthine infarct Compromises blood flow to labyrinthine
Labyrinthine concussion Damage after head trauma
Perylimnph fistula Labyrinth membrane damage resultin in perylimph
leakage into middle ear
Diagnosis Vertigo
Dix Hallpike Maneuver
Canalith repositioning maneuver
BPPV posterior:
– Epley, harus dengan operator
– Brandt-Daroff bisa dilakukan sendiri oleh pasien
– Semont maneuver/ liberatory maneuver

BPPV Horizontal:
– The Gufoni method
– Vannuchi-Asprella method
– barbecue roll/ log roll method
Tatalaksana:
Epley maneuver
Treatment of BPPV
canalith repositioning maneuvre
• Office treatment fo BPPV: Epley Maneuver
(canalith repositioning)
• Home treatment
for BPPV: Brandt
Daroff maneuver
– 3 sets x 5
repetitions/day
for 2 weeks
– Success rate 95%
– Mostly complete
relief after 30 sets
(10 days)
• Symptomatic treatment:
– Antivertigo (vestibular suppressant)
• Ca channel blocker: flunarizin
• Histaminic: betahistine mesilat
• Antihistamin: difenhidramine, sinarisin
– Antiemetic:
• prochlorperazine, metoclopramide
– Psycoaffective:
• Clonazepam, diazepam for anxiety & panic attack
199. Trauma Laring
Etiologi menurut Ballenger : Gejala Klinik :
• Trauma mekanik eksternal • Stridor perlahan sampai kuat.
(trauma tumpul, tajam, • Disfoni/afoni
komplikasi • Emfisema subkutan
• trakeostomi/krikotirotomi) • Hemoptisis
dan internal (endoskopi,
intubasi endotrakea atau • Disfagi/odinofagi
pemasangan NGT).
• Akibat luka bakar oleh panas
dan kimia (alkohol, amonia,
Natrium hipoklorit, lisol) yang
terhirup.
• Akibat radioterapi
• Trauma otogen akibat vocal
abuse
Trauma Laring
Konservatif :
• Istirahat suara
• Humidifikasi
• Kortikosteroid bila mukosa edem, hematom atau laserasi
ringan tanpa sumbatan laring.

Indikasi eksplorasi :
• Sumbatan nafas yg perlu trakeostomi
• Emfisema subkutis yg progresif
• Laserasi mukosa yg luas
• Terbukanya tlg rawan krikoid
• Paralisis bilateral pita suara
199. Trauma laring
Luka Terbuka
• Diagnosis gelembung udara di daerah luka keluar
dari trakea.
• Tatalaksana
– ditujukan utk perbaikan sal nafas dan mencegah aspirasi ke
paru.
– Tindakan segera : Trakeostomi dgn kanul yang memakai
balon.
– Eksplorasi mencari dan mengikat pembuluh darah
– Antibiotika dan serum ATS.
• Komplikasi : aspirasi darah, paralisis pita suara dan
stenosis laring.
Trauma Laring
Luka Tertutup ( closed injury)
• Diagnosis lebih sulit
• Tatalaksana
– Endoskopi dgn fiber opticbila fasilitas
memungkinkan
– Laringoskopi direk atau indirek
– foto jaringan lunak leher, foto toraks, CT-scan.
– Tindakan eksplorasi dan konservatif tergantung
diagnosa diatas
• After a complete trauma evaluation, flexible fiberoptic
laryngoscopy is performed to carefully evaluate the
airway
200. Otitis eksterna sirkumskripta

Tanda OE:
Nyeri jika aurikel ditarik ke belakang atau tragus
ditekan.
• Otitis externa sirkumskripta (furuncle)
– Etiologi: Staph. aureus, Staph. albus
– Terbatas pada kelenjar minyak/rambut yg
terobstruksi
– Hanya pada bagian kartilago telinga, tidak
ada jaringan penyambung di bawah kulit
 sangat nyeri
– Th/: AB topikal, analgetik topikal.
Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Externa
• Otitis eksterna difus (swimmer’s ear)
– Etiologi: Pseudomonas, Staph. albus, E. coli.
– Kondisi lembab & hangat  bakteri tumbuh
– Sangat nyeri, liang telinga: edema, sempit, nyeri
tekan (+), eksudasi
– Jika edema berat  pendengaran berkurang
– Th/: AB topikal, kadang perlu AB sistemik
– AB: ofloxacin, ciprofloxacin, colistin, polymyxin B,
neomycin, chloramphenicol, gentamicin, &
tobramycin.
– Ofloxacin & ciprofloxacin: AB tunggal dengan
spektrum luas untuk patogen otitis eksterna.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Externa
• Malignant otitis externa (necrotizing OE)
– Pada pasien diabetik lansia atau imunokompromais.

– OE dapat menjadi selulitis, kondritis, osteitis,


osteomielitis  neuropati kranial.

– Liang telinga bengkak & nyeri, jaringan granulasi merah


tampak di posteroinferior sambungan kartilago dengan
tulang, di 1/3 dalam.

– Awalnya gatal, lalu cepat menjadi nyeri, sekret (+), &


pembengkakan liang telinga.

– Th/: antibiotik topikal & sistemik, debridemen agresif.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Pseudomonas
• Pseudomonas aeruginosa is a Gram-
negative, aerobic rod belonging to the
bacterial family Pseudomonadaceae.
• It is the predominant bacterial
pathogen in some cases of external
otitis, including "swimmer's ear".
• The bacterium is infrequently found in
the normal ear, but often inhabits the
external auditory canal in association
with injury, maceration, inflammation,
or simply wet and humid conditions.

Sources: Todar K. Opportunistic Infections Caused by Pseudomonas aeruginosa. Downloaded from:


http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Pseudomonas.html
Pseudomonas
• P. aeruginosa produces two extracellular protein toxins:
– Exoenzyme S is produced by bacteria growing in burned tissue and
may be detected in the blood before the bacteria are. It may act to
impair the function of phagocytic cells in the bloodstream and internal
organs as a preparation for invasion by P. aeruginosa.
– Exotoxin A has exactly the same mechanism of action as the
diphtheria toxin; it causes the ADP ribosylation of eucaryotic
elongation factor 2 resulting in inhibition of protein synthesis in the
affected cell. Exotoxin A appears to mediate both local and systemic
disease processes caused by Pseudomonas aeruginosa. It has
necrotizing activity at the site of bacterial colonization and is thereby
thought to contribute to the colonization process.

Sources: Todar K. Opportunistic Infections Caused by Pseudomonas aeruginosa. Downloaded from:


http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Pseudomonas.html

Anda mungkin juga menyukai