Anda di halaman 1dari 56

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran Uji Balistik dalam Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan

Dengan Menggunakan Senjata Api

1. Teknis Pemeriksaan Uji Balistik dalam Pembunuhan menggunakan

Senjata Api

Balistik forensik sangat berperan dalam melakukan penyidikan

kasus tindak kriminal dengan senjata api dan bahan peledak. Seorang

balistik forensik meneliti senjata apa yang telah digunakan dalam

kejahatan tersebut, berapa jarak dan dari arah mana penembakan

tersebut dilakukan, meneliti apakah senjata yang telah digunakan dalam

tindak kejahatan masih dapat beroperasi dengan baik, dan meneliti

senjata mana yang telah digunakan dalam tindak kriminal tersebut.

Pengujian anak peluru yang ditemukan di TKP dapat digunakan

untuk merunut lebih spesifik jenis senjata api yang telah digunakan dalam

kejahatan tersebut. Pada bidang ini memerlukan peralatan khusus

termasuk miskroskop yang digunakan untuk membandingkan dua anak

peluru dari tubuh korban dan dari senjata api yang diduga digunakan

dalam kejahatan tersebut, untuk mengidentifikasi apakah memang senjata

tersebut memang benar telah digunakan dalam kejahatan tersebut. Dalam

hal ini diperlukan juga mengidentifikasi jenis selongsong peluru yang

tertinggal. Dalam penyidikan ini analisis kimia dan fisika diperlukan untuk

menyidikan dari senjata api tersebut, barang bukti yang tertinggal.

53
(https://rosea/2013/12/26/pengantar-ilmu-forensik/, diakses pada tanggal

19 Februar1 2020)

Adanya suatu laboratorium forensik untuk keperluan

pengusutan kejahatan sangatlah diperlukan. Laboratorium forensik

sebagai alat Kepolisian, khusus membantu Kepolisian Republik Indonesia

dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum. Laboratorium

forensik mempunyai tanggung jawab dan tugas yang sangat penting

dalam membantu pembuktian, khususnya BALMETFOR (Balistik dan

Metalurgi Forensik) POLRI yang menangani barang-barang bukti fisik dari

kejahatan dengan menggunakan senjata api. Dengan demikian apabila

Hasil Uji Balistik itu di dapatkan maka kebenaran materiil akan

terungkapkan. Awal dari pemeriksaan uji balistik, harus melewati langkah-

langkah berikut:

1. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara

Pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara (crime scene

processing) merupakan bagian dari fungsi reserse dalam penyidikan

tindak pidana. Peyidikan tindak pidana dimulai saat adanya dugaan

bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan diakhiri bila hasil yang ingin

dicapai telah diperoleh atau tidak terdapat bukti-bukti awal kejahatan yang

dicari. Dalam pengolahan tempat kejadian perkara penyidikan tidak berdiri

sendiri melainkan didukung oleh unsur dukungan laboratorium forensik

maupun kedokteran forensic.

54
Ketentuan dalam perkara pembunuhan biasanya ditempat ini

ditemukan barang bukti korban manusia ataupun bagian dari manusia

serta barang-barang bukti lainnya. Tempat dimana korban ditemukan

dapat disebut sebagai TKP pertama (primary scene), yang bukan selalu

merupakan tempat dimana sesungguhnya peristiwa tersebut telah terjadi.

Jadi dalam kasus pembunuhan kadang-kadang masih dapat ditemukan

lokasi lain dimana barang bukti penting lain dapat ditemukan. Koordinasi

antara penyidik dengan petugas forensik merupakan salah satu kunci

keberhasilan didalam pengungkapan kasus kriminal adalah penanganan

olah TKP.

Apabila olah TKP dilaksanakan sesuai dengan prosedur,

kemudian atas tubuh korban dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik

yang baik, maka dapat dikatakan bahwa pengungkapan kasus untuk

dibawa ke pengadilan hanyalah masalah waktu. Idealnya dokter forensik

diikutsertakan pada setiap kematian yang diduga ada unsur pidananya,

atau yang jelas merupakan kasus pembunuhan. Oleh karena dengan

melihat keadaan di TKP, dokter memperoleh gambaran yang utuh atas

suatu kasus yang diperiksanya. Pemeriksaan menjadi lebih terarah, bukti-

bukti fisik apa yang perlu dikumpulkan untuk membuat jelas dan terang

perkara kriminal tersebut. Penyidik dapat meminta dokter untuk

melakukan serangkaian pemeriksaan forensik, termasuk pemeriksaan

laboratorium forensik, sesuai dengan kebutuhan. Sebaliknya dokter dapat

menyarankan kepada pihak penyidik langkah yang harus ditempuh,

55
misalnya senjata alat yang harus dicari, jenis dan kaliber senjata api yang

mana yang harus diupayakan oleh penyidik, apakah kasusnya harus

dilanjutkan oleh karena didapat dugaan kuat kearah menyarankan bahwa

penyidikan tidak perlu diteruskan oleh karena temua dokter bermuara

pada suatu kasus bunuh diri. Dengan adanya koordinasi yangt baik antara

penyidik dengan dokter, penyelesaian kasus secara cepat dan tepat dan

mempunyai dasar ilmiah akan dapat diwujudkan.

Sebelum mendatangi tempat kejadian perkara perlu

dipersiapkan personil dan sarana/peralatan yang memadai/sesuai dengan

situasi dan kondisi kasus yang akan dihadapi meliputi:

1. Persiapan personil, terdiri dari unsur-unsur fungsi-fungsi operasional

polri, dan RESERSE bila diperlukan berikut unsur dukungan tehnis

seperti labkrim, identifikasi, dan dokfor bila ada;

2. Penyiapan sarana angkutan dan alat komunikasi untuk kecepatan

bertindak dan memilihara kendali dan hubungan petugas dengan induk

kesatuan;

3. Peralatan yang diperlukan dalam penanganan TKP, terdiri dari antara

lain: Police line (garis polisi), Test kit, Kompas, Sarung tangan, Alat

pengukur jarak (meteran), Alat pemotret, Senjata api, borgol,

pisau/gunting, Tali, kapur tulis, label dan lak, alat pembungkus barang

bukti seperti: kertas sampul warna cokelat, kantong plastik berbagai

ukuran, tabung plastik berbagai ukuran, amplop. Dan Perlengkapan

P3K, Buku catatan, kertas dan alat tulis untuk membuat sketsa, d an

56
lain-lain yang dianggap perlu disesuaikan dengan situasi TKP dan jenis

kasus tindak pidana yang terjadi. (Muhammad Ilhamsyah Sinaga,

2018:45)

2. Pemeriksaan mayat korban penembakan pada Laboratorium

forensik

Pemeriksaan pada mayat, atau dalam istilah kedokteran

forensik dikenal dengan Otopsi Mediko-Legal (bedah mayat) adalah

pemeriksaan yang dilakukan pada mayat yang diduga korban

pembunuhan. Otopsi terdiri dari pemeriksaan luar pada mayat dan

pemeriksaan dalam. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada otopsi

medico-legal adalah: Tempat untuk melakukan otopsi adalah kamar

jenazah, otopsi hanya dilakukan jika ada permintaan untuk otopsi oleh

pihak yang berwenang, otopsi harus segera dilakukan begitu mendapat

surat permintaan untuk otopsi, hal-hal yang berhubungan dengan

penyebab kematian harus dikumpulkan dahulu sebelum memulai otopsi.

Tetapi kesimpulan harus berdasarkan temuan-temuan dari pemeriksaan

fisik, pencahayaan yang baik sangat penting pada tindakan otopsi,

identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat pada

laporan.

Pada kasus jenazah yang tidak dikenal, maka tanda-tanda

identifikasi, photo, sidik jari, dll harus diperoleh, ketika dilakukan otopsi

tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak berwenang, pencatatan

perincian pada saat tindakan otopsi dilakukan oleh asisten, pada laporan

57
otopsi tidak boleh ada bagian yang dihapus, jenazah yang sudah

membusuk juga bisa diotopsi.

Hasil pemeriksaan otopsi tersebut dibuat dalam suatu laporan

otopsi yang terdiri dari tiga bagian: Bagian Pendahuluan, bagian ini

mencakup nama korban, usia, jenis kelamin, cara menentukan identitas,

tempat dan tanggal pemeriksaan, saat jenazah tiba, petugas polisi yang

menyertai jenazah, bagian Pemberitaan, bagian ini menjelaskan secara

lengkap dan terperinci hasil dari pemeriksaan luar dan dalam. Jenis luka

juga harus terperinci berdasarkan penyebab luka, arah luka dan

ukurannya. Gambar bisa dicantumkan jika dirasa perlu, bagian

Kesimpulan, berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh, diambil

kesimpulan mengenai penyebab kematian yang pasti dengan jelas., dan

setiap laporan harus ditanda-tangani oleh yang memeriksa disertai

dengan jabatannya.

Sumbangan laboratorium forensik dalam melakukan otopsi

dalam membantu penyelesaian proses penyidikan perkara pidana

menyangkut nyawa manusia dilakukan dengan tujuan untuk:

1) Menentukan secara pasti kematian korban,

2) Memperkirakan saat kematian,

3) Menentukan identitas,

4) Menentukan sebab kematian,

5) Menentukan cara kematian atau memperkirakan cara kematian

korban.

58
Ketentuan untuk menentukan sebab-sebab kematian dapat

dilakukan melalui dua cara, pertama, melalui pemeriksaan luar daripada

mayat, kedua dengan melakukan bedah mayat (autopsy). Pemeriksaan

luar terhadap mayat. dilakukan berdasarkan bukti-bukti fisik yang terdapat

pada tubuh korban yang bersangkutan. Ketentuan untuk menentukan

sebab kematian secara pasti mutlak harus dilakukan pembedahan mayat,

dengan atau tanpa pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan toksikologis,

pemeriksaan bakteriologis dan lain sebagainya tergantung kasus yang

dihadapi. Contoh sebab kematian yang lazim ditemui adalah: Karena

tusukan benda tajam, karena tembakan senjata api, karena pencekikan,

karena keracunan morfin, karena tenggelam, karena terbakar, dan karena

kekerasan benda tumpul.

Menurut Pasal 89 Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009

menjelaskan pemeriksaan barang bukti senjata api wajib memenuhi

persyaratan formal sebagai berikut:

1. Permintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau

kepala/pimpinan instansi,

2. Laporan polisi,

3. BAP saksi/tersangka atau laporan kemajuan,

4. BA pemeriksaan TKP dilengkapi dengan Sket TKP,

5. BA pengambilan, penyitaan, penyisihan, dan pembungkusan barang

bukti; dan

59
6. Surat pengantar dokter forensik bila korban meninggal atau riwayat

kesehatan (medical record) bila korban masih hidup.

Pemeriksaan barang bukti senjata api sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 89 wajib memenuhi persyaratan teknis seperti: Barang bukti

diambil dan diamankan sesuai dengan tata cara pengambilan barang bukti

senjata api, barang bukti dibungkus, diikat, dilak, dan disegel, dan diberi

label dan pengiriman barang bukti ke Labfor Polri dibawa oleh penyidik.

Adapun tata cara pengambilan barang bukti senjata api

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf a, adalah senjata

api diambil dengan menggunakan sarung tangan karet untuk menjaga dari

kerusakan sidik jari yang mungkin ada pada senjata api tersebut, sebelum

senjata api bukti dibungkus, angkat atau ambil terlebih dulu sidik jari laten

tersangka penembak yang mungkin ada pada senjata bukti tersebut.

Senjata api dimasukan kedalam wadah yang diberi busa penahan agar

tidak mudah bergerak, untuk senjata api revolver, keluarkan peluru atau

selongsong peluru dari silinder, letak peluru didalam silinder diberi

tanda/nomor, diurutkan berdasarkan arah putar silinder; Untuk senjata api

otomatis/pistol keluarkan magazennya saja, bila didalam kamar peluru

masih ada peluru, senjata harus dikunci dan diberi tanda bahaya dengan

tulisan: “hati-hati ada peluru di dalam kamar peluru!”.

Peluru, anak peluru, dan selongsong peluru yang ditemukan di

TKP diambil dengan menggunakan sarung tangan karet untuk menjaga

dari kerusakan sidik jari yang mungkin ada. Peluru, anak peluru, dan

60
selongsong peluru tidak boleh diambil dengan menggunakan penjepit

logam seperti pinset atau tang agar tidak merusak mark yang ada pada

barang bukti; Peluru, anak peluru dan selongsong tidak boleh dimasukkan

ke dalam wadah yang terbuat dari logam.

Peluru, anak peluru dan selongsong, masing-masing dibalut

dengan kapas kemudian balutan kapas tersebut dimasukan kedalam

wadah seperti kotak korek. api atau botol plastik bekas rol film, wadah

dibungkus, diikat, dilak, disegel, dan diberi label.

Sisa mesiu yang terdapat pada lobang tembak masuk pada

pakaian korban, ditutupi/dilapisi plastik bersih, kemudian pakaian tersebut

dibungkus, diikat, dilak, disegel dan diberi label, sisa mesiu yang terdapat

pada punggung tangan tersangka/korban diambil dengan cara di swab.

Apabila tidak memiliki swab dapat menggunakan double tape dengan

cara: buka lapisan pelindung adhesivenya kemudian tekan-tekan pada

punggung tangan agar residu melekat, setelah residu melekat tutup

kembali lapisan pelindungnya kemudian double tape dibungkus, diikat,

dilak, disegel dan diberi label; dan sisa mesiu yang terdapat pada

punggung tangan tersangka/korban dapat pula diambil dengan cara diberi

lilin (parafin) cair, setelah beku (dingin) lapisan lilin tersebut diangkat,

dibungkus, diikat, dilak, disegel dan diberi label.

61
Selanjutnya barang-barang yang diperiksa oleh dokter, baik

itu orang hidup, jenazah, organ tubuh, atau benda yang didapatkan dari

dalam tubuh adalah merupakan barang bukti. Kedudukannya tidak

berbeda seperti benda bukti lainnya yang didapat dari tempat kejadian

atau tempat lain yang disita oleh penyidik. Hal ini sesuai dengan

ketentuan pasal 39 ayat (1) KUHAP yang merumuskan :

Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau

sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil

dari tindak pidana;

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan

tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak

pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana yang dilakukan.

Fungsi dari barang-barang bukti dapat untuk menambah

keyakinan hakim tentang tindak pidana yang didakwakan pada

terdakwa. Di dalam sidang nanti, benda-benda tersebut oleh hakim

akan ditujukan kepada terdakwa dan bila perlu saksi-saksi,

sebagaimana diatur dalam Pasal 181 KUHAP.

62
Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik

memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban

pembunuhan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau

tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar

terjadi suatu tindak pidana pembunuhan.

Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan

secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang

disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et

repertum diartikan sebagai:

Laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia)


atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter,
terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada
pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu
menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya
yang sebaik-baiknya. (Seodjatmiko, 2001;1)

Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat

dijelaskan bahwa keterangan ahli yang diminta secara resmi dan

disampaikan dalam bentuk tertulis mempunyai nilai kekuatan

pembuktian sebagai alat bukti surat sebagai hasil pemeriksaan medis

disebut visem et repertum.

Tugas seorang dokter dalam bidang ilmu kehakiman adalah

membantu para petugas Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman dalam

mengungkap suatu perkara pidana yang berhubungan dengan

perusakan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, sehingga bekerjanya

harus obyektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan

menghubungkan satu sama lain secara logis untuk kemudian

63
mengambil kesimpulan. Maka olehkarenanya pada waktu memberi

laporan dalam “pemberitaan” visum et repertum itu harus sesungguh-

sungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan

ditemukan pada waktu pemeriksaan, dan dengan demikian visum et

repertum merupakan kesaksian tertulis.

Visum et Repertum sebagai pengganti sepenuhnya dari

barang bukti yang diperiksa, maka pada hakekatnya visum et repertum

mempunyai kedudukan yang sama dengan alat bukti lainnya. Oleh

karena itum visum et repertum mempunyai kekuatan pembuktian yang

sah. Dengan kata lain visum et repertum adalah alat bukti surat yang

sah, yang dapat meyakinkan hakim dalam menjatuhkan putusan

kepada terdakwa terhadap perbuatannya.

Visum et repertum mempunyai kekuatan sebagai alat bukti

sebab yang dimuat dalam pemberitaannya merupakan kesaksian

tertulis tentang semua hal atau keadaan yang dilihat dan ditemukan

pada waktu melakukan pemeriksaan, jadi sama halnya dengan

seseorang yang melihat dan menyaksikan sendiri.

Sedangkan kesimpulan dalam visum et repertum dibuat

untuk memudahkan hakim atau jaksa untuk mengetahui tentang apa

yang diperiksa. Kesimpulan harus dibuat dengan logis agar dapat

diterima oleh hakim atau jaksa, tetapi jika kesimpulannya tidak logis

maka hakim atau jaksa dapat menolak hasil visum et repertum serta

menentukan jalan sendiri.

64
Pelaku tindak pidana untuk dapat dijatuhi pidana menurut

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa telah memenuhi

alat-alat bukti yang sah dan meyakinkan menurut Undang Undang

untuk bertanggung jawab atas kesalahan perbuatan si pelaku.

Berkaitan dengan hal tersebut maka dilakukan proses pemeriksaan

suatu perkara pidana oleh aparat penegak hukum dalam

memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu

perkara, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti

penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan

perkara tersebut dengan selengkap mungkin.

Kenyataan dilapangan aparat penegak hukum mengalami

kendala dalam proses pengumpulan alat-akat bukti yang sah terhadap

suatu perkara pidana sebagaimana ditentukan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka dibutuhkan

kerangan ahli dalam pemenuhan kebenaran materiil, membantu

pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana bagi aparat

penegak hukum. Namun dilain sisi keterangan ahli juga memiliki

kelemahan sebagaimana pendapat Wirjono Prodjodikoro (1997;52)

menyatakan :

“Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari


seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain,
namun pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap
terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada
kemungkinan bahwa ada soal- soal yang tidak dapat
dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam

65
pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim di muka
persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang-
orang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu.”

Agar tugas-tugas menurut hukum acara pidana dapat

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh Undang-Undang

diberi kemungkinan agar para penyidik dan para Hakim dalam keadaan

yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang

berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut. Ketentuan

hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan

tenaga ahli diatur dan disebutkan dalam KUHAP. Bantuan seorang ahli

yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana,

baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap

pemeriksaan lanjutan di sidang Pengadilan, mempunyai peran

dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang

suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan

keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai

pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu Hakim

dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang

diperiksanya.

Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan

dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini

pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting

untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti

dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana.

66
Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat

bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh

suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus

tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan pemerkosaan

merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan

tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk

memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya

cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih

lanjut kasus tersebut. Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter ahli

kehakiman atau psikiatri kehakiman dalam banyak perkara kejahatan

sangat banyak membantu dalam proses persidangan di Pengadilan

terutama apabila dalam perkara tersebut hanya dijumpai alat- alat

bukti yang amat minim.

Dalam pemeriksaan penyidikan yang didalamnya dilakukan

serangkaian tindakan oleh aparat penyidik untuk mencari dan

mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat

terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,

pada proses ini dapat dikatakan merupakan langkah awal yang sangat

penting dan menentukan dalam menemukan kebenaran materiil suatu

perkara pidana. Terhadap suatu peristiwa atau perbuatan yang diduga

melanggar hukum pidana, pengusutan kebenaran materiil terhadap

peristiwa tersebut dilakukan pada tahap penyidikan.

67
Visum et repertum bermanfaat untuk menemukan fakta-

fakta dan mencari kebenaran materiil dari tindak pidana yang

didakwakan oleh jaksa penutut umum kepada terdakwa dan visum et

repertum dapat menentukan hubungan antara perbuatan dan akibat

perbuatan.

Selanjutnya Hakim an visum et repertum termasuk alat bukti

surat : Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,

dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,

yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang

didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengn

alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal

yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung

jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal

atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu

keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya

dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

68
Visum et repertum termasuk dalam alat bukti keterangan

ahli yaitu Pasal 186 KUHAP dan alat bukti surat pada Pasal 187

huruf c. ” Visum et repertum menjadi alat bukti keterangan ahli bila

dokter atau ahli forensik memberikan keterangan di persidangan.

Sedangkan visum et repertum dijadikan alat bukti surat maka harus

dibacakan dalam suatu persidangan. Konsekuensi jika visum et

repertum tidak dibacakan dalam persidangan maka visum tersebut

tidak dapat dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan dan perkara

itu tetap harus diperiksa dan diputus.

69
B. Kekuatan Hukum Hasil Uji Balistik Dalam Pembuktian Perkara Pidana

Pembunuhan Berencana.

1. Kekuatan Hukum Balistik Forensik Sebagai Novum Dalam Putusan

Nomor 117/PK/PID/2011 Mahkamah Agung)

1. Duduk Perkara

Terdakwa Antasari Azhar, SH.MH. dengan saksi Sigit Haryo

Wibisono dan saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar (masing-masing

sebagai Terdakwa yang penuntutannya dia jukan secara terpisah) pada

akhir bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Maret tahun

2009, bertempat di rumah saksi Sigit Haryo Wibisono Jalan Pati Unus

No. 35 Kebayoran Baru Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya disuatu

tempat yang masih daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan

memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan

kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau

penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau

keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan dangan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu

merampas nyawa orang lain yaitu korban Nasrudin Zulkarnaen

Iskandar.

Perbuatan tersebut berawal dari pertemuan saksi Rani Juliani

dan terdakwa pada sekitar bulan Mei 2008 di kamar 803 Hotel Grand

70
Mahakam membicarakan keanggotaan (membership) terdakwa di

Modern Golf Tangerang, saat akan pulang terdakwa memberi saksi

Rani Juliani uang sebesar US$ 300 (tiga ratus US Dollar) dan

memeluknya, serta mengajak bersetubuh, namun ajakan tersebut

ditolaknya. kemudian terdakwa mencium pipi kiri dan pipi kanannya.

Pertemuan tersebut diceritakannya kepada korban yang

kemudian meminta menemui Terdakwa lagi untuk meminta bantuannya

agar korban dilantik sebagai Direktur di Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) karena Surat Keputusan (SK) telah diterima. Setelah

dihubungi terdakwa bersedia bertemu di tempat yang sama di kamar

nomor 803 Hotel Grand Mahakam Jakarta Selatan, selanjutnya

bersama korban dengan menggunakan taxi saksi Rani Juliani menuju

Hotel Grand Mahakam Jakarta Selatan, saat akan menuju kamar

Nomor 803 korban meminta agar mengaktifkan handphone (HP)

supaya bisa mendengar pembicaraan.

Terdakwa sudah berada di kamar hotel dan mempersilahkan

duduk di sofa. Dalam pembicaraan saksi Rani Juliani meminta

terdakwa untuk kembali menjadi anggota Modern Land Golf dan

meminta terdakwa untuk membantu saudaranya yang sudah

mempunyai Surat Keputusan (SK) sebagai Direktur di Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) agar bisa dilantik, Disela pembicaraan terdakwa

meminta saksi Rani Juliani untuk memijat punggungnya, saat sedang

dipijat terdakwa membalikkan tubuh lalu mencium pipi, bibir, membuka

71
kancing baju dan menurunkan bra sebelah kirinya. Ajakan tersebut

ditolaknya karena takut terdengar korban saksi Rani Juliani mematikan

telepon selularnya. Meskipun ditolak terdakwa masih terus menjamah

tubuh saksi Rani Juliani dengan meremas-remas dan menciumi serta

menjilati payudara, kemudian terdakwa membuka kancing dan resleting

celananya lalu meminta saksi Rani Juliani memegangi kemaluannya

sambil menggerakan tangan ke atas dan ke bawah (mengocok) hingga

mengeluarkan sperma. Saat Terdakwa ke kamar mandi, korban

menelpon saksi Rani Juliani dan menanyakan "kenapa HP-nya

dimatikan?" namun ia hanya mengiyakan. Sebelum pulang terdakwa

memberinya uang sebesar US$ 500 (lima ratus US Dollar) dan ketika

akan keluar kamar tiba-tiba korban masuk dan marah sambil berkata

kepada terdakwa "Mengapa bapak bertemu dengan isteri saya di sini

dan apa yang bapak lakukan terhadap isteri saya, saat ini saya bisa

panggil wartawan untuk menghancurkan karir bapak "kemudian

menampar pipi saksi Rani Juliani.

Mendengar kemarahan korban, terdakwa menjawab: "Jangan

Pak saya masih ingin memperbaiki negara", lalu merangkul dan

mengajaknya bicara di sudut ruangan kamar hotel dan berusaha

menenangkannya dengan mengatakan "kita saudara, ya sudah nanti

kita satu tim". Setelah tenang korban mengajak saksi Rani Juliani

pulang dan keesokan harinya korban meminta pengakuan saksi Rani

72
Juliani di bawah AI Quran untuk menceritakan perbuatan apa yang

sebenarnya dilakukan di kamar Nomor 803 Hotel Grand Mahakam.

Mengetahui perbuatan terdakwa terhadap saksi Rani Juliani,

pada kurun waktu bulan Juni 2008 sampai dengan Desember 2008,

korban menggunakan kesempatan itu untuk menemui terdakwa di

kantornya sebanyak 5 (lima) kali antara lain : meminta terdakwa selaku

ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar membantu pelantikan

korban menjadi Direktur di PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI),

serta meminta terdakwa melakukan intervensi kepada pihak ketiga

supaya memberikan proyek kepada dirinya dan menyampaikan

informasi korupsi di PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) meminta

bantuan menghubungi PT. Aneka Tambang (ANTAM) supaya

mempercepat perijinan dan konfirmasi tindak lanjut proses perizinan

PT. Ronggolawe.

Bulan Desember 2008, terdakwa menerima SMS dari korban

yang isinya "bahwa pada waktu bapak berjumpa di Hotel Grand

Mahakam dengan isteri saya, ternyata melakukan pelecehan seksual

“dan terdakwa membalas SMS tersebut "Astagfirullah....Pak janganlah

sekejam itu menuduh saya", kemudian meminta korban untuk datang

ke kantornya.

Berdasarkan permintaan tersebut korban menemui terdakwa

dan menuduhnya telah melakukan pelecehan seksual terhadap

isterinya (saksi Rani Juliani), dan kesempatan itu korban kembali

73
menanyakan proses perizinan PT. Rongolawe namun tidak ditanggapi.

Keinginannya tidak dipenuhi, sehingga korban mengancam akan

mempublikasikan perbuatan terdakwa terhadap isterinya di kamar

Nomor 803 Hotel Grand Mahakam kemedia dan akan mengadukan

permasalahan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Saat merayakan pergantian tahun baru 2009 di Bali, isteri

terdakwa (saksi Ida Laksmiwati, SH.) menerima telepon dari seseorang

yang mengatakan "suamimu tidur dengan perempuan lain,

perempuannya ada di sampingku "kemudian terdengar suara

perempuan, mengatakan "suamimu sudah ku tiduri”. Atas ancaman dan

teror tersebut terdakwa merasa takut dan panik, lalu menduga orang

yang meneror tersebut adalah korban, kemudian saksi Sigit Haryo

Wibisono diminta membantunya mengatasi teror korban tersebut

dengan cara mengamankan atau menghabisinya.

Bulan Januari 2009, terdakwa bertemu dengan saksi Sigit

Haryo Wibisono dan saksi Kombes Pol. Drs. H.Chairul Anwar, MH. di

rumah saksi Sigit Wibisono Jalan Pati Unus No. 35 Kebayoran Baru

Jakarta Selatan, membicarakan tentang teror yang dialami keluarga

dan dirinya serta pemerasan yang dilakukan korban terhadapnya,

kemudian memberitahukan permasalahan tersebut kepada Kapolri

meminta perlindungan hukum atas dirinya selaku ketua Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) beserta keluarganya.

74
Pemberitahuan dan permintaan tersebut Kapolri membentuk

Tim yang diketuai Kombes Pol. Drs. H. Chairul Anwar ,MH. untuk

melakukan tugas penyelidikan dan hasil penyelidikannya diberitahukan

kepada terdakwa, telah diperoleh foto korban, foto mobil yang biasa

digunakannya, alamat rumah serta alamat kantor.

Informasi diperoleh dari terdakwa, bahwa saksi Rani Juliani

bukan isteri korban dan korban sebagai pengguna narkoba, Tim yang

diketuai Kombes Pol .Drs.Chairul Anwar, MH. melakukan penyelidikan,

pada pertengahan Januari 2009, Tim melakukan penggerebekan

disalah satu kamar hotel tempat korban dan saksi Rani Juliani

menginap di Makassar, kemudian melakukan razia narkoba di lantai 3

(tiga) salah satu kamar hotel di Makassar tempat korban menginap.

Dugaan perbuatan pidana yang dilakukan oleh korban, sehingga tim

yang dibentuk Kapolri menyarankan kepada terdakwa untuk membuat

laporan Polisi, namun tidak disetujui dengan alasan privasi dirinya

sebagai Ketua KPK.

Selain meminta bantuan Kapolri sebagaimana disebutkan di

atas, terdakwa selaku ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

juga memerintahkan stafnya yaitu Budi Ibrahim dan saksi Ina Susanti

untuk melakukan pelacakan dan penyadapan nomor telepon yang

masuk ketelepon genggam isterinya kemudian menyerahkan catatan

secarik kertas yang berisi nomor HP 0811978245, 081311695795,

081381202747 dan 0818883155 dan meminta agar nomor HP

75
08161113244 juga ikut disadap, 2 (dua) diantara nomor HP tersebut di

atas adalah milik korban yaitu nomor HP 0811978245 dan HP

08161113244. Ketika saksi Budi Ibrahim bersama saksi Ina Susanti

menyerahkan Laporan Hasil Penyadapan, sekaligus meminta terdakwa

untuk menghentikannya karena menghabiskan waktu, biaya dan tidak

level, namun terdakwa mengatakan “saya apa dia yang mati”.

Kerja Tim tidak bisa menghentikan ancaman dan teror yang

dilakukan korban terhadap diri dan keluarganya, terdakwa semakin

panik dan takut, selanjutnya kembali menemui saksi Sigit Haryo

Wibisono di rumahnya di Jalan Pati Unus No.35 Kebayoran Baru

Jakarta Selatan dan menyampaikan keluhannya serta meminta saksi

Sigit Haryo Wibisono mencari cara mengamankan atau menghabisi

korban.

Karena terus menerus didesak, saksi Sigit Haryo Wibisono

menyetujui permintaan dan bersedia membantu terdakwa untuk

menghabisi korban dengan cara menjadikan korban sebagai tersangka

dalam perkara korupsi oleh KPK, menjadikan korban sebagai korban

perampokan yang akan dilakukan oleh TKI (orang-orang yang tidak

bekerja di Indonesia) dengan tujuan untuk menghabisi korban,

kemudian saksi Sigit Haryo Wibisono menyampaikan kepada terdakwa

akan mengusahakan orang yang bisa menghabisi korban melalui saksi

Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar. Setelah itusaksi Sigit Haryo Wibisono

menghubungi saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar dan

76
menyampaikan permasalahan yang dihadapi terdakwa serta keinginan

terdakwa untuk menghabisi korban, apabila berhasil mewujudkan

keinginan tersebut, maka terdakwa akan membicarakan promosi

kenaikan pangkat dan jabatannya kepada Kapolri.

Akhir bulan Januari 2009, terdakwa dipertemukan oleh saksi

Sigit Haryo Wibisono dengan saksi Kombes Pol. Drs.Wiliardi Wizar di

Jalan Pati Unus No. 35 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Setelah

bertemu terdakwa menyampaikan keluhan/terror yang dialaminya dan

keluarga kepada saksi Sigit Haryo Wibisono dan saksi Kombes Pol .

Drs. Wiliardi Wizar, kemudian meminta saksi Kombes Pol.Drs.Wiliardi

Wizar untuk menyelesaikan teror dan ancaman yang dilakukan korban

terhadap diri dan keluarganya dengan cara menghabisi korban dan

saksi Sigit Haryo Wibisono akan mempersiapkan dana operasional

untuk mewujudkan perbuatan tersebut, mendengar keluhan dan

permintaan tersebut, sebaliknya saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar

menyampaikan keinginannya agar terdakwa membicarakan

kemungkinan kenaikan pangkat dan jabatannya kepada Kapolri.

Dengan adanya harapan serta peluang promosi jabatan, saksi Kombes

Pol. Drs. Wiliardi Wizar mengatakan “siap mengamankan”.

Hasil pertemuan itu disepakati terdakwa akan membicarakan

kemungkinan kenaikan pangkat dan jabatan saksi Kombes Pol. Drs.

Wiliardi Wizar dengan Kapolri dan saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi

Wizar akan mencari or ang yang bisa menghabisi korban guna

77
menghentikan ancaman dan teror yang dilakukannya terhadap

terdakwa.

Terdakwa memberikan foto korban, foto mobil, alamat rumah

dan alamat kantor korban kepada saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi

Wizar yang diserahkan oleh saksi Sigit Haryo Wibisono, yang

sebelumnya diterima dari Tim yang dibentuk Kapolri yang diketuai

Kombes Pol. Drs. H. Chairul Anwar, MH.

Setelah menerima foto korban, foto mobil, alamat rumah dan

kantor korban dari terdakwa dan adanya janji dari terdakwa yang akan

membicarakan promosi pangkat dan jabatannya kepada Kapolri, serta

janji saksi Sigit Haryo Wibisono memberikan dana operasional

menghabisi korban, selanjutnya pada tanggal 01 Februari 2009 saksi

Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar menghubungi dan mendatangi saksi

Jerry Hermawan Lo di kantorya di Kedoya Raya Kav. 27 No.13 Pesing

Koneng Jakarta Barat.

Saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar dalam temuan tersebut

menyerahkan 1 (satu) lembar kertas HVS yang ada digambar foto

seorang laki-Iaki yang di bawahnya bertuliskan nama korban Nasrudin

Zulkarnaen Iskandar beserta alamat lengkap rumah dan kantornya dan

1 (satu) lembar kertas HVS bergambar mobil BMW warna silver dengan

plat Nomor Polisi B 191 E, selanjutnya meminta bantuan saksi Jerry

Hermawan Lo untuk mencarikan seseorang yang dapat menghabisi

78
nyawa korban karena orang tersebut sangat berbahaya bagi negara

dan misi tersebut merupakan tugas negara.

Menyikapi permintaan tersebut pada malam itu juga saksi Jerry

Hermawan Lo menghubungi dan meminta saksi Eduardus Noe Ndopo

Mbete alias Edo untuk bersedia bertemu dengan saksi Kombes Pol.

Drs. Wiliardi Wizar serta datang ke rumahnya di komplek Perumahan

Permata Buana Blok A7 No. 13 Kembangan Jakarta Barat, ketika

bertemu saksi Jerry Hermawan Lo sambil memperlihatkan foto yang

diterimanya dari saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar menyampaikan

ada tugas negara dan sangat rahasia yaitu mengenalkan seseorang

yang dapat menghabisi nyawa seorang laki-Iaki yang fotonya ada pada

kertas HVS sambil menunjukkan foto yang diterimanya dari saksi

Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar.

Setelah pembicaraan tersebut saksi Eduardus Noe Ndopo

Mbete alias Edo meninggalkan rumah saksi Jerry Hermawan Lo, lalu

menghubungi saksi Hendrikus Kia Walen alias Hendrik dan

menyampaikan adanya orderan untuk menghilangkan nyawa korban.

Keesokan harinya pada tanggal 02 Februari 2009 sekira pukul

19.00 Wib saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar, saksi Jerry

Hermawan Lo dan saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo

bertemu di cafe/restoran Arena Bowling Ancol Jakarta Utara, pada

pertemuan tersebut saksi Jerry Hermawan Lo kembali meminta saksi

Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo agar mencari orang guna

79
menghabisi orang yang fotonya pernah ditunjukannya karena

membahayakan keamanan negara sambil menyerahkan amplop warna

coklat berisi 2 (dua) lembar foto yang dicetak di atas kertas HVS yaitu :

foto korban Nasrudin Zulkarnaen Iskandar beserta alamat lengkap

rumah dan kantornya dan foto mobil BMW warna silver dengan plat

Nomor Polisi B 191 E.

Saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar dalam kesempatan itu

juga menjelaskan hal yang sama kepada saksi Eduardus Noe Ndopo

Mbete alias Edo untuk melaksanakan atau menyelesaikan tugas

negara tersebut menjelang Pemilu Legislatif karena membahayakan

negara dan meminta mengenalkan seseorang yang dapat

melaksanakan tugas menghabisi nyawa korban.

Setelah pertemuan saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias

Edo menemui saksi Hendrikus Kia Walen alias Hendrik yang telah

menunggu di parkiran mobil kemudian menyerahkan amplop besar

warna coklat sambil mengatakan pekerjaan yang akan dilakukan

menyangkut tugas negara yaitu menghabisi orang yang ada fotonya

diamplop coklat tersebut karena membahayakan keamanan

negara dan nanti akan disediakan sarana serta uang operasional untuk

memperlancar pekerjaan tersebut.

Terdakwa masih terus diteror, oleh terdakwa pada bulan

Februari 2009 itu juga terdakwa mengirim SMS kepada korban yang

isinya "maaf mas masalah ini yang tahu hanya kita berdua kalau

80
sampai terblow up tahu konsekwensinya "yang kemudian diperlihatkan

korban kepada saksi Etza Imelda Fitri, SH. dan saksi Jefrry

Lumempouw, SH.

Selanjutnya pada awal bulan Maret 2009 saksi Kombes Pol.

Drs. Wiliardi Wizar menemui saksi Sigit Haryo Wibisono di Kantor Pers

Indonesia Merdeka Jalan Kerinci VIII No.63 Kebayoran Baru Jakarta

Selatan meminta dana operasional untuk melaksanakan niat

menghabisi nyawa korban sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta

rupiah).

Permintaan tersebut saksi Sigit Haryo Wibisono menugaskan

saksi Setyo Wahyudi menyerahkan dana sebesar Rp. 500.000.000,-

(lima ratus juta rupiah) kepada saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar

namun sebelum menyerahkan uang saksi Sigit Haryo Wibisono

memberitahukan lebih dahulu kepada terdakwa via telepon dan

mengatakan bahwa ia akan menyerahkan uang operasional kepada

saksi Kombes Pol.Drs. Wiliardi Wizar sebesar Rp. 500.000.000,- (lima

ratus juta rupiah) dan uang tersebut adalah sebagai pinjaman yang

harus dikembalikan lagi dan terdakwa menjawab "nanti akan dicarikan

gantinya".

Setelah menerima dana operasional sebesar Rp.500.000.000,-

(Iima ratus juta rupiah) saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar menemui

saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo di pelataran Lobby

81
Cilandak Town Square (CITOS) lalu menyerahkan uang sebesar

Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk biaya operasional.

Saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo pada malam itu

menyerahkan uang operasional menghabisi korban sebesar Rp.

500.000.000, - (Iima ratus juta rupiah) kepada saksi Hendrikus Kia

Walen Alias Hendrik di Mc Donal Tebet dan menugaskan agar segera

menghabisi korban namun uang yang diambil hanya sebesar

Rp.100.000.000,- (seratus juta Rupiah) saja.

Setelah menyerahkan uang sebanyak Rp.100.000.000,-

(seratus juta rupiah) saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo

mengatakan kepada saksi Hendrikus Kia Walen alias Hendrik harus

bertanggung jawab melaksanakan tugas menghabisi korban.

Kepastian tugas menghabisi korban sudah dijalankan atau

belum, saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar menghubungi saksi

Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo dan mengajak bertemu di ruang

kerjanya di subdit Pariwisata Babinkam Mabes Polri Jakarta, pada

pertemuan tersebut saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar kembali

menegaskan bahwa tugas menghabisi korban benar-benar tugas

negara dan pelaksanaannya jangan sampai lewat Pemilu Legislatif

tahun 2009 karena akan sia-sia serta akan meledak sebab menyangkut

keamanan negara dan menegaskan supaya saksi Eduardus Noe

Ndopo Mbete alias Edo tidak usah khawatir karena semua itu sudah

82
diatur dan diamankan, bila pekerjaan ini berhasil maka pangkat dan

karirnya akan naik.

Sebaliknya saksi Eduardus Noe Mbete Ndopo alias Edo

mengatakan bahwa dana operasional yang telah diterimanya sudah

diserahkan kepada seorang pelaksana di Iapangan Setelah menerima

uang operasional sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) saksi

Hendrikus Kia Walen alias Hendrik menghubungi dan mengajak saksi

Fransiskus Tadon Kerans alias Amsi, saksi Heri Santosa bin Rasja

alias Bangol, saksi Daniel Daen Sabon alias Danil, untuk menghabisi

nyawa korban dengan dalih pekerjaan tersebut adalah tugas negara

dan korban adalah orang yang membahayakan keamanan negara bila

berhasil maka saksi Fransiskus Tadon Kerans alias Amsi memperoleh

imbalan sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), saksi Heri

Santosa bin Rasja alias Bagol akan memperoleh imbalan sebesar

Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah) dan saksi Daniel Daen Sabon

Alias Danil akan memperoleh imbalan sebesar Rp. 75.000 .000,- (tujuh

puluh lima juta rupiah), atas ajakan tersebut mereka bersedia untuk

menghabisi nyawa korban;

Selanjutnya dengan adanya gambar foto korban, foto mobil

sedan BMW warna silver No.Pol. B 191 E dan dana operasional telah

diterima maka diadakan pertemuan disebuah gudang kosong pabrik

PT. Yasun Litex di Batu Ceper Tangerang untuk mempersiapkan

pelaksanaan menghilangkan nyawa korban.

83
Setelah perencanaan dan persiapan telah matang atau

sempurna pada hari Sabtu tanggal 14 Maret 2009 sekira jam 14.30 WIB

bertempat di Jalan Hartono Raya Modern Land Tangerang ketika

korban berada di dalam mobil BMW warna silver No. Pol. B 191 E yang

dikemudikan saksi Suparmin, laju kendaraannya dihalang-halangi oleh

mobil Toyota Avanza warna silver No. Pol. B 8870 NP yang

dikemudikan saksi Fransiskus Tadon Kerans alias Amsi dan seketika,

saat mobil BMW yang dinaiki korban yang berjalan pelan akan

melewati undakan (polisi tidur) lalu sepeda motor Yamaha Scorpio

warna gelap No. Pol. B 6862 SNY yang dikendarai saksi Heri Santosa

bin Rasja alias Bagol dengan memboncengi saksi Daniel Daen Sabon

alias Danil bergerak mendekati samping kiri mobil BMW yang dinaiki

korban hingga berjarak lebih kurang sekitar 0,5 (nol koma lima) meter

kemudian saksi Daniel Daen Sabon alias Danil mengarahkan senjata

api jenis Revolver tipe S&W caliber 38 yang telah dipersiapkannya

kearah kaca samping kiri belakang mobil BMW lurus searah dengan

kepala korban lalu menembak atau menarik pelatuk senjata api

tersebut sebanyak 2 (dua) kali, sehingga peluru menembus kaca pintu

mobil dan kena tepat di kepala korban.

Setelah mengetahui bahwa korban telah meninggal dunia

karena ditembak, saksi Sigit Haryo Wibisono menghubungi terdakwa

dan mengatakan "bagaimana nich pak, bisa runyam kita?" dan

Terdakwa menjawab "tenang saja saya sudah koordinasikan" kemudian

84
sekitar akhir bulan Maret 2009 saksi Kombes Pol. Drs. Wiliardi Wizar

datang kerumah terdakwa yang diantar saksi Setyo Wahyudi atas

sepengetahuan saksi Sigit Haryo Wibisono untuk menanyakan

perkembangan karier yang pernah dibicarakan sebelumnya.

Akibat penembakan yang dilakukan saksi Daniel Daen Sabon

alias Danil menyebabkan korban Nasrudin Zulkarnaen Iskandar

meninggal dunia sebagaimana diterangkan dalam Visum Et Repertum

Nomor :1030/SK.II/03/2-2009 tanggal 30 Maret 2009 yang

ditandatangani oleh Dr. Abdul Mun'im Idries, Sp.F. dokter pemerintah

pada Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo yang pada kesimpulannya

menerangkan: "Pada mayat laki-laki yang berumur sekitar empat puluh

tahun ini didapatkan 2 (dua) buah luka tembak masuk pada sisi kepala

sebelah kiri, kerusakan jaringan otak serta pendarahan dalam rongga

tengkorak serta 2 (dua) butir anak peluru yang sudah tidak utuh".

Kematian orang tersebut diseboabkan oleh tembakan senjata

api yang masuk dari sisi sebelah kiri, berdasarkan sifat lukanya kedua

luka tembak tersebut merupakan luka tembak jarak jauh, peluru

pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru

yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri, diameter

kedua anak peluru tersebut 9 (sembilan) millimeter dengan ulir

kekanan, hal tersebut sesuai dengan peluru yang ditembakan dari

senjata api caliber 0,38 tipe S&W”.

85
Perbuatan terdakwa ANTASARI AZHAR, SH.MH. tersebut

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo. Pasal 340 KUHP.

Menimbang ,

Tentang Novum :

a. Bahwa bukti yang diajukanoleh Pemohon Peninjauan Kembali

berupa foto-foto bagian kepala korban Nasrudin, yang bertanda Bukti

PK-1 sampai dengan PK-11 serta bukti PK-14, yang merupakan

perbedaan hasil Visum Et Repertum Nomor : 1030/SK-II/03/2- 2009

tanggal 30 Maret 2009 yang berbeda dengan hasil foto Bukti PK-1

sampai dengan Bukti PK-3, yang kedua Visum itu ditandatangani

oleh Abdul Mun’in Idris, tentang uraian hasil yang menerangkan

tentang adanya jumlah luka tembak yang berbeda dalam kepala

korban Nasrudin zulkarnaen.

Dalam Visum Nomor : 1030/SK-II/03/2-2009 disebutkan

kematian korban disebabkan luka tembak, dan ada dua lubang

bekas peluru yang masuk ke dalam kepala korban, sedang dalam

foto Bukti PK-1 sampai dengan Bukti PK-3, kematian korban

disebabkan karena luka tembak dan ada tiga lubang bekas peluru

dalam kepala korban.

b. Bahwa adanya perbedaan jumlah lubang dalam kepala korban

bukanlah merupakan bukti baru yang relevan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) hurup A KUHAP, karena jumlah

86
luka tembak tidaklah mempengaruhi pembuktian, yang diperlukan

dalam pembuktian perkara ini adalah adanya akibat yang ditimbulkan

oleh pelaku yang menerima perintah dari Pemohon Peninjauan

Kembali, adanya perintah dan akibat perintah itu ada korban yang

meninggal dunia sudah menunjukkan akibat yang dikehendaki telah

tercapai, karena adanya perbedaan jumlah luka tembak tidaklah

dapat menunjukkan terputusnya rangkaian fakta hukum yang

menggambarkan hubungan perintah antara yang disuruh dan yang

menyuruh.

Sehingga walaupun adanya perbedaan itu juga sudah

diketahui dari awal persidangan juga tidak akan mengakibatkan

pembebasan pada diri terpidana, karena telah timbul adanya akibat

berupa meninggalnya korban, dan antara pelaku lapangan dengan

terpidana ada hubungan causal atas akibat itu dan hal ini bukanlah

kekeliruan nyata karena fakta hukumnya korban meninggal akibat

luka tembak, dengan demikian bukti baru tentang ini tidak relevan

dan harus dikesampingkan.

c. Bahwa yang perlu ditegaskan dalam pemeriksaan dan pembuktian

perkara a quo adalah apakah ada hubungan hukum antara

meninggalnya korban Nasrudin dengan anjuran sebagaimana yang

didakwakan kepada terpidana, bukan mengenai bagaimana caranya

pembunuhan dilakukan atau dengan apa dilakukan atau dimana

dilakukan dan dimana keberadaan terpidana, yang terpenting dalam

87
perkara a quo adalah rangkaian perbuatan dan fakta hukum yang

terjadi telah menunjukkan adanya korelasi dan adanya tujuan yang

tercapai berupa terbunuhnya korban Nasrudin.

d. Bahwa tentang bukti baru berupa foto mobil BMW No.Pol. B 191 E

milik korban Nasrudin, hal inipun bukanlah hal baru atau novum

sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (2) huruf A KUHAP, yang

dapat membatalkan putusan Judex Juris yang telah menguatkan

putusan Judex Facti Tingkat Banding maupun Tingkat Pertama,

karena apa yang diuraikan yang dibahas hanyalah mengurai dari

jarak berapa peluru dan sudut berapa serta akibat dari hasil

tembakan peluru, hal yang demikian tidaklah relevan, karena yang

utama dalam perkara a quo adalah adanya korban yang meninggal

dan adanya hubungan causal dengan terpidana, bukan membutikan

bagaimana caranya korban mati, hal ini dikarenakan terpidana

bukanlah pelaku langsung atas meninggalnya korban, fakta di

lapangan korban meninggal akibat tembakan, yang bila dikaitkan

keterangan saksi-saksi dan para terdakwa yang lain telah

menunjukkan adanya korelasi persesuaian hubungan antara

terpidana dengan korban.

Perbedaan jarak tembak dan sudut tembak hanyalah

menerangkan bagaimana pelaku lapangan menjalankan perintah itu,

dan bagaimana pelaksanaan di lapangan pemberi perintah tidak

harus menjelaskan secara rinci, dan yang pokok bagaimana perintah

88
itu berhasil dilaksanakan, hal inilah yang menjadi korelasi

persesuaian hubungan antara Terpidana dengan para pelaku

lapangan atau penganjur yang lain.

Terhadap Bukti PK-12 berupa hasil penyadapan oleh KPK,

tentang tidak adanya SMS dari terpidana kepada korban bukanlah

merupakan bukti baru, karena ketiadaan SMS itu bukanlah

menunjukkan tidak ada hubungannya antara terpidana dan korban,

sedang dari penyadapan yang dilakukan oleh KAPOLRI malah tidak

menunjukkan adanya ancaman atas diri terpidana, namun terpidana

menggunakan kewenangan yang ada tetap memerintahkan

penyadapan melalui stafnya analis informasi KPK bernama Ina

Susanti atas adanya ancaman diri terpidana, hal inipun tidak

memberikan hasil dan tetap diperintahkan untuk menyadap, bahkan

terpidana keluar kata-kata kepada Ina Susanti dengan kalimat “saya

atau dia yang mati“, keinginan terpidana yang tetap melakukan

penyadapan atas nomor-nomor tertentu milik korban justru

memberikan titik terang atas keterlibatan terpidana dalam kematian

korban, karenanya bukti inipun harus dikesampingkan.

Tentang Kekeliruan Nyata :

a. Bahwa tentang ketidaksesuaian antara keterangan ahli

dengan kesimpulan Majelis Hakim bukanlah merupakan kesalahan

nyata, karena keterangan ahli tidaklah mengikat Majelis Hakim dan

keterangannya hanyalah sebagai acuan dalam hal keterangannya

89
relevan, Majelis lebih terikat dengan alat-alat bukti yang diajukan

dipersidangan dan rangkaian fakta yang mengemuka dalam

persidangan, apalagi keterangan ahli yang dimajukan hanyalah

menyangkut tidak adanya SMS dari Terpidana kepada korban,

bahkan ahli tidak menyebutkan dari nomor berapa SMS yang

dikatakan itu Vide Pasal 185 ayat (6) jo. Pasal 187 huruf d KUHAP.

b. Bahwa Judex Juris telah mempertimbangkan secara tepat dan benar

atas putusannya yang menguatkan putusan Judex Facti dalam

perkara a quo karena tidak menemukan adanya kesalahan dalam

penerapan undang-undang maupun kekeliruan yang nyata dari

Judex Facti dalam mengadili perkara tersebut.

c. Bahwa dakwaan atas diri terpidana adalah mengenai turut serta

melakukan suatu tindak pidana, karenanya pertimbangan Judex

Juris yang telah menguatkan putusan Judex Facti tidak mengandung

kekeliruan karena telah dipertimbangkan dengan tepat bagaimana

hubungan causal antara terpidana dengan para pelaku lain, dan

dalam perkara ini terpidana dikenakan dakwaan pasal penganjuran

sehingga tidak perlu dipermasalahkan bagaimana pelaksanaan

anjuran itu dan yang utama anjuran itu telah tercapai dan terlaksana,

karena bagaimana pelaksanaan merupakan tanggung jawab pelaku

lapangan dan sebagai penganjur tidak harus berada di lapangan

pada saat pelaksanaannya.

90
d. Bahwa dalam proses penganjuran tidak dapat dipisahkan sendiri

sendiri hubungan antara satu rangkaian kegiatan dengan kegiatan

lain yang menghubungkan adanya anjuran atas perbuatan yang

terjadi, Terpidana pernah mengadakan pertemuan dengan Williardi

dan Sigit, kemudian adanya penyerahan foto-foto korban mobil yang

dikendarai korban kepada Williardi dan adanya pemberitahuan dari

Sigit tentang kebutuhan uang untuk pelaksanaan itu serta

penyerahan uang dari Sigit kepada Wiliardi sebanyak

Rp.500.000.000,-, bahwa rangkaian ini telah menunjukkan adanya

hubungan korelasi persesuaian hubungan diantara mereka bertiga

yang membawa akibat meninggalnya Nasrudin.

Hubungan korelasi terpidana dengan kematian korban juga

ditunjukkan adanya hubungan antara Williardi dengan para pelaku

lapangan yang mengakibatkan matinya korban Nasrudin dan juga

laporan Williardi kepada terpidana tentang biaya sebesar

Rp.500.000.000,- dalam pelaksanaannya, oleh terpidana dijawab :

“sudah selesaikan dulu nanti saya carikan gantinya“, hal ini diperkuat

juga adanya permintaan perlindungan hukum oleh terpidana kepada

KAPOLRI karena merasa terancam dan diteror korban, walaupun

pada kenyataannya tidak ditemukan adanya ancaman dan teror atas

diri Terpidana, sehingga kemudian dihentikan, namun Terpidana

tidak bisa menerima penghentian itu serta menyuruh bagian analisis

91
informasi untuk tetap melakukan penyadapan bahkan keluar kata-

kata “saya atau dia yang mati”.

e. Bahwa saksi Sigit ketika membaca berita dan mengetahui korban

Nasrudin mati karena luka tembak sangat terkejut dan sempat

menghubungi terpidana dengan mengatakan “Mas ini khog jadi

runyam, nanti berbahaya harus dikordinasikan” dan dijawab oleh

terpidana“ sudah koordinasi dengan TB I dan TB II.

f. Bahwa dengan rangkaian fakta hukum yang diperoleh dalam

persidangan serta bukti-bukti yang diajukan telah ternyata tidak

adanya kekeliruan dan kesalahan nyata baik dari Judex Facti

(Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dari Judex Juris

dalam memutus perkara tersebut, yang telah menguatkan putusan

Judex Facti Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, sehingga

putusan itu telah tepat dan benar, karenanya harus tetap

dipertahankan.

g. Bahwa alasan-alasan selebihnya tidak dapat dibenarkan, karena

antara putusan yang satu dengan yang lain tidak saling bertentangan

lagi pula pertimbangan dan putusan Judex Juris dan Judex Facti

tidak terdapat kekeliruan nyata karena telah didasari oleh

pertimbangan hukum dengan merujuk pada fakta yang ditemukan di

persidangan dan dianalisis sesuai dengan proses hukum acara yang

benar.

92
Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan Pasal

266 ayat (2) a KUHAP permohonan peninjauan kembali harus ditolak

dan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut

dinyatakan tetap berlaku.

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan

kembali dari pemohon peninjauan kembali/terpidana ditolak, maka

biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan

kepada Pemohon.

Memperhatikan Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang

No. 8 Tahun 1981, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang

No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang

No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang

bersangkutan.

2. Analisis Kasus

a. Kedudukan Relevansi Alat bukti

Masalah relevansi alat bukti merupakan hal pertama yang

harus diputuskan oleh hakim dalam proses pembuktian suatu fakta di

pengadilan. Relevansi alat bukti merupakan salah satu cabang

disamping berbagai alasan lain untuk menolak dimunculkannya suatu

alat bukti dalam suatu perkara pidana.

93
Dengan demikian, agar suatu alat bukti dapat diterima di

pengadilan, alat bukti tersebut haruslah relevan dengan yang akan

dibuktikan. Jika alat bukti tersebut tidka relevan, pengadilan harus

menolak bukti semacam itu karena menerima bukti yang tidak relevan

akan membawa resiko tertentu bagi proses pencarian keadilan, yaitu:

1. Membuang-buang waktu sehingga dapat memperlambat proses

peradilan.

2. Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga-praduga yang

tidak perlu

3. Penilaian terhadap masalah tersebut menjadi tidak proporsional

dengan membesar-besarkan yang sebenarnya kecil, atau mengecil-

ngecilkan yang sebenarnya besar.

4. Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional.

Berhubung karena itu, maka amatlah penting bagi hakim dalam

proses pengadilan untuk mengetahui dan cepat memutuskan apakah

suatu alat bukti relevan atau tidak dengan fakta yang dibuktikannya.

Alat bukti menjadi relevan manakala alat bukti tersebut memiliki

hubungan yang cukup dengan masalah yang akan dibuktikan.

Setelah diputuskan bahwa alat tersebut relevan, langkah

selanjutnya adalah melihat apakah ada hal-hal yang dapat menjadi

alasan untuk mnegesampingkan alat bukti tersebut, misalnya karena

alasan saksi de auditu.

94
Proses melihatr relevan atau tidaknya suatu alat bukti (langkah

pertama), haruslah dicari tahu dengan menjawab pertanyaan-

pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah yang dibuktikan oleh alat bukti tersebut?

2. Apakah yang akan dibuktikan itu merupakan hal yang subtansial bagi

kasus tersebut?

3. Apakah bukti tersebut memiliki hubungan secara logis dengan

masalah yang akan dibuktikan?

4. Apakah bukti tersebut cukup menolong menjelaskan persoalan

(cukup memiliki unsur pembuktian)?

Jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut positif, baru

dilanjutkan pada tahap kedua, yaitu melihat apakah ada ketentuan lain

yang merupakan alasan untuk menolak alat bukti tersebut. Alasan atau

aturan yang harus dipertimbangkan tersebut, antara lain, sebagai

berikut:

1. Bagaimana dengan prinsip penerimaan alat bukti secara terbatas?

2. Alat bukti tersebut ditolak manakala penerimanya dapat

menyebabkan timbulnya praduga yang tidak fair atau dapat

menyebabkan kebingungan.

3. Merupakan saksi de auditu yang harus ditolak.

4. Ada alasan yang dapat membenarkan penolakan alat bukti tersebut.

Alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti dimana

penggunaan bukti tersebut dalam proses peradilan lebih besar

95
kemungkinan akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut

menjadi lebih jelas daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan.

Dengan demikian, relevansi alat bukti bukan hanya diukur dari ada atau

tidaknya hubungan dengan fakta yang akan dibuktikan, melainkan

dengan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan

menjadi lebih jelas. Untuk itu, perlu dibedakan antara masalah relevansi

alat bukti dan materialitas dari alat bukti tersebut.

Relevansi alat bukti diukur apakah alat bukti tersebut relevan

dengan fakta yang akan dibuktikan. Sementara itu, masalah

materialitas (materiality) dari alat bukti merupakan jawaban terhadap

pertanyaan apakah fakta yang akan dibuktikan tersebut cukup

signifikan (cukup penting) bagi kasus tersebut secara keseluruhan?

Namun demikian, dalam prektek antara relevansi alat bukti dan

meterialitas alat bukti sering dicampuradukan dalam istilah “relevansi”

alat bukti.

Persyaratan bahwa suaatu alat bukti haruslah relevan berlaku

dalam hukum di Indonesia, bahkan berlaku juga dalam hukum di

negara mana pun di dunia ini, kapan suatu alat bukti dikatan relevan

dan kapan dianggap tidak relevan dan kapan dianggap relevan tidak

ada ketentuan tegas, dalam hukum acara pidana. Oleh karena itu,

terserah pada hakim untuk menimbang-nimbang mana yang relevan

dan mana yang tidak relevan tersebut, dengan memperhatikan dalil-

dalil umum dan prinsip-prinsip yang b erkembang dalam ilmu hukum

96
pembuktian, dengan memakai logika dan keyakinan hakim yang

bersangkutan. Para pihak yang berperkara boleh ikut menilai, tetapi

putusan tetap ditangan hakim yang mengadili perkara tersebut.

Penentuan relevan atau tidaknya suatu alat bukti tidak

selamanya mudah untuk diputuskan sebab dalam beberapa kasus,

justru relevan atau tidaknya alat bukti baru diketahui jika telah dilakukan

pemeriksaan terhadap alat bukti tersebut secara terbuka dan setelah

ditelaah oleh para pihak di pengadilan. Dalam hal ini hakim diminta

bijaksana untuk tidak serta merta menolak penggunaan alat bukti

tersebut. Hakim dapat menempatkan persoalan seperti ini

sebagaimana yang disebut dengan “relevansi bersyarat”. Maksudnya

didengar atau diterima dulu alat bukti tersebut, kemudian diputuskan

relevan atau tidaknya alat bukti yang bersangkutan. Sebaliknya, hakim

diharapkan juga untuk tidak terlalu gegabah menerima segala macam

alat bukti tanpa melihat kemungkinan relevansinya. Hal tersebut dapat

berarti mengulur-ulur waktu proses peradilan, atau dapat membuat

perkara menjadi kuat karena praduga-praduga, suasana yang

misleading, atau suasana yang semakin membingungkan.

Hukum pembuktian harus menentukan dengan tegas ke

pundak siapa beban pembuktian (berden proof, burden of producing

evidence) harus diletakkan. Hal ini karena di pundak siapa beban

pembuktian diletakkan oleh hukum, akan menentukan secara langsung

begaimana akhir dari suatu proses hukum di pengadilan. Oleh karena

97
itu, dalam menentukan ke pundak siapa beban pembuktian harus

diletakkan, hukum haruslahlah cukup hati-hati dan adil dan dalam

penerapannya. Selain itu, hakim juga hrus cukup arif.

Beban pembuktian adalah suatu penentuan oleh hukum

tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan

di pengadilan, untuk membuktikan dan meyakinkan pihak mana pun

bahwa fakta tersebut memang benar-benar terjadi seperti yang

diungkapkannya, dengan konsekuensi hukum bahwa jika tidak dapat

dibuktikan oleh pihak yang dibebani pembuktian, fakta tersebut tidak

pernah terjadi seperti yang diungkapkan oleh pihak yang mengajukan

fakta tersebut di pengadilan.

Pihak yang diberi beban pembuktian tersebut harus

membuktikan fakta yang dipersengketakan sampai terbukti.

Pembuktian dalam hukum acara pidana unsur ketertiban umum lebih

kuat.

Tingkat pembuktian dalam hukum pidana harus lebih tinggi dan

lebih meyakinkan. Sesuai dengan Pasal 183 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana bahwa pembuktian dalam hukum acara pidana

haruslah sampai pada tingkat “terbukti dengan mayakinkan”. Pasal 183

KUHAP tersebut selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

98
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Menurut Pasal 183 KUHAP tersebut, agar seorang tersangka

dapat dijatuhi pidana, diperlukan bukti yang “sah dan meyakinkan”, dan

beban pembuktian dalam hukum acara pidana terletak di pundak jaksa,

dengan kemungkinan pihak terdakwa untuk membantah bukti yang

diajukan oleh jaksa.

Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa tidak setiap fakta

dalam acara pidana harus dibuktikan dengan tingkat pembuktian yang

tinggi. Untuk fakta-fakta tertentu, seperti untuk membuktikan kesehatan

mental dari tersangka, tersangka tersebut membuktikannya tanpa harus

sampai ke tingkat yang lebih tinggi, tetapi tingkat terbukti dengan

kemungkinan lebih besar (preponderance) sudah dianggap memadai.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP yang

mengatur alat bukti, maka dalam ketentuan tentang alat bukti dalam

hukum acara pidana bersifat hukum memaksa (dwinged recht). Artinya,

segala jenis alat bukti yang sudah diatur dalam pasal tersebut tidak

pernah ditambah atau dikurangi. Dalam hukum acara pidana terdapat

model alat bukti yang terbuka ujung (open end)), yang memungkinkan

masuknya berbagai alat bukti baru, sesuai perkembangan teknologi.

Alat bukti terbuka dalam hukum acara pidana yaitu alat bukti petunjuk.

Menurut ilmu hukum, pembuktian dibedakan antara alat bukti

rill dan alat bukti demonstratif. Yang dimaksud dengan alat bukti rill

99
adalah alat bukti yang mempunyai peranan langsung dalam

membuktikan fakta yang terjadi, seperti senjata, peluru dan pakaian

korban. Sementara itu, yang dimaksud dengan alat bukti demonstratif

adalah alat bukti yang tidak secara langsung membuktikan adanya

fakta tertentu, tetapi alat bukti ini dipergunakan untuk membuat fakta

tersebut menjadi lebih jelas dan lebih dapat dimengerti.

Alat bukti rill dapat pula dibedakan dari alat bukti langsung

(direct) dan alat bukti sirkumtansial. Yang dimaskud dengan alat bukti

langsung adalah alat bukti yang dapat membuktikan secara langsung

adanya fakta yang terjadi. Adapun yang dimaksud dengan alat bukti rill

dalam bentuk sirkumtansial adalah alat bukti yang tidak secara

langsung dapat membuktikan adannya fakta yang bersangkutan, tetapi

pembuktian tersebut hanya dapat ditarik dari suatu kesimpulan bahwa

fakta tentang objek tertentu dlah benar adanya sehingga dapat pula

ditarik kesimpulan bahwa fakta yang lain juga pula benar adanya.

b. Alat Bukti Saintifik

Alat Bukti saintifik (scientific evidence) merupakan suatu jenis

alat bukti, umumnya alat bukti fisik yang menggunakan eksperimen dan

teknologi modern yang dilakukan di luar pengadilan. Untuk eksperimen

yang sulit, proses pembuktiannya dilakukan dengan menggunakan

saksi ahli di bidang pelaksanaan eksperimen yang bersangkutan, dan

menghadirkannya di pengadilan sebagai saksi ahli. Alat bukti saintifik

tersebut digunakan, baik untuk mengetahui cara mendapatkan data

100
tertentu (misalnya, penggunaan microscope untuk melihat benda-benda

yang tidak kasat mata) maupun digunakan sebagai alat untuk

mengevaluasi peranan dari data tertentu (misalnya, analisis kimia

mengenai bahan tertentu). Jika proses eksperimen tersebut dilakukan

di pengadilan, alat bukti tersebut secara teori hukum pembuktian bukan

lagi merupakan alat bukti saintifik, meainkan sudah termasuk dalam

alat bukti demonstratif.

Sistem hukum bahwa alat bukti saintifik baru dapat diterima di

pengadilan jika prinsip dan teknik eksperimen tersebut telah dapat

diterima keakuratannya oleh kalangan ilmuwan secara meluas

meskipun kriteria seperti itu hanya salah satu kriteria atau teori di

samping beberapa teori atau kriterianya. Dengan menerapkan salah

satu dari berbagai teori tersebut, misalnya, masih banyak keraguan

diterima sebagai alat bukti saintifik terhadap penggunaan bukti saintifik

tersebut sebagai berikut:

1. Keterangan dari orang yang dihipnotis untuk menolong mengingat

masa lalunya.

2. Keterangan dari orang yang sedang mabuk minuman keras.

3. Penggunaan trutf serum test.

4. blood typing test.

5. the sistolic blood perssure deception test

101
6. Mathematical certainty (the calculus of probability), seperti

penggunaan the calculus compound of probabilities, atau the

frequency theory of probability.

7. Penggunaan tes statistik untuk mengukur kemungkinan tingkat

kesalahan dari suatu kesimpulan.

8. Penggunaan anjing pelacak untuk menentukan pelaku

pembunuhan/prampokan/pencurian.

Sebaliknya, penggunaan model-model alat bukti saintifik berikut

ini layak diterima sebagai alat bukti saintifik, yaitu:

1. Tes kimia/darah terhadap orang mabuk.

2. Pencatatan dan deteksi kecepatan (penggunaan radar atau

VASCAR).

3. Laboratorium Polisi, seperti sidik jari (termasuk fingerprint, soleprints,

dan palmprints), analisis kimia terhadap narkotika, tes kepalsuan

tanda tangan, kepalsuan dokumen dan lain-lain.

4. Tes darah untuk membuktikan ada tidaknya hubungan darah di

anatar ibu dan anak.

5. Tes urine untuk membuktikan pemakaian narkotika.

6. Tes breathalizer untuk menganalisis sampel pernafasan dalam

mebuktikan kandungan alkohol dalam darah.

7. Tes nalline untuk membuktikan penggunaan narkotika.

8. Tes DNA untuk membuktikan pelaku kejahatan.

9. Dan lain-lain.

102
Meskipun sudah terbukti banyak dalam membantu hakim

dalam menemukan kebenaran di pengadilan dengan penggunaan bukti

saintifik tersebut bahkan beberapa model tes saintifik menunjukkan

hasil yang sangat akurat, tidak semua model bukti saintifik tersebut

dapat diterima atau dijamin keakuratannya

Hubungan dengan penggunaan bukti saintifik ini, agar bukti

saintifik tersebut dapat diterima oleh hakim di pengadilan, diperlukan

syarat-syarat yang berbeda-beda bergantung teori yang dianut. Teori-

teori yang menentukan diterima atau tidaknya alat bukti saintifik

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Teori keseimbangan,

2. Teori penerimaan umum di antara para ahli, dan

3. Teori realibilitas

Teori keseimbangan (balancing test) ini mengajarkan bahwa

suatu alat bukti saintifik baru dapat diterima sebagai alat bukti

manakala memenuhi syarat yang sebenarnya umum untuk suatu

penerimaan alat bukti, yaitu adanya penakaran bahwa kepentingan

penggunaan alat bukti tersebut (materiality, probative value) haruslah

sama atau tidak melebihi efek prejudisialnya.

Teori penerimaan umum di antara para ahli atau yang terkenal

dengan fyre test mengajarkan bahwa suatu alat bukti saintifik baru

dapat diterima secara umum (general acceptance) oleh ilmu

pengetahuan yang relevan dengan alat bukti tersebut.

103
Teori reabilitas (reability theori) merupakan teori yang berasal

dari kasus Daubert v. Merrel Dow (the US Supreme Court, 1993). Teori

ini mengajarkan bahwa suatu alat bukti saintifik baru dapat diterima

sebagai alat bukti manakala memenuhi (lulus) “tes reabilitas

pembuktian” (evidentiary reability) yang menyatakan bahwa

penerimaan oleh ilmu pengetahuan terhadap alat bukti saintifik tersebut

harus didukung oleh dasar yang baik (good ground) dalam

menganalisis tingkat validitas dari suatu keterangan dari saksi ahli.

Menurut teori reabilitas ini, agar suatu alat bukti saintifik

memenuhi unsur-unsur relevansi, kompetensi, dan materialitas

sehingga dapat diterima sebagai alat bukti, alat bukti tersebut harus

mempunyai tingkat reabilitas yang dapat diterima dengan menganalisis

sejumlah faktor realibilitas. Faktor-faktor reabilitas yang harus dianalisis

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah teori/teknik saintifik telah lulus uji empiris?

2. Bagaimanakah test error rate/standrat error dari teori/teknik saintifik

tersebut?

3. Apakah terhadap teori/saintifik tersebut telah dilakukan peer review

dan publikasi?

4. Apakah proses dan hasil pembuktian saintifik tersebut cukup jelas

dan dapat disimplifikasi sehingga dapat dimengerti oleh khalayak

umum, termasuk oleh hakim, jaksa, atau advokat?

104
5. Sejauh mana diakui kepakaran dari saksi ahli yang mejelaskan

teori/teknik saintifik tersebut dalam masyarakat? Seberapa mudah

mendapatkan saksi ahli seperti itu dan sebarapa banyak mereka

dalam masyarakat?

Menjawab rumusan masalah yang diangkat oleh penulis,

bagaimana kekuatan hukum hasil uji balistik dalam pembuktian perkara

pidana pembunuhan berencana? Menurut penulis, berdasarkan

putusan hakim serta dengan melihat teori-teori dalam pembuktian

mengenai relevansi alat bukti khususnya alat bukti konvensional, maka

menurut penulis berpendapat, hakim masih menggunakan metode-

metode bersifat konvensional, yang sangat mengandalkan model

pembuktian dengan alat bukti tradisional yang sangat terbatas

jumlahnya dan jangkauannya. Di pihak lain, perkembangan transaksi

dan kegiatan interaksi antarmanusia dalam kenyataannya sangat maju

dan berkembang pesat.

Meskipun begitu, dalam bentuknya yang sangat lemah, untuk

dapat menggunakan metode pembuktian hasil uji balitik, pintu masuk

bagi hakim di pengadilan-pengadilan untuk menerima alat bukti hasil uji

balistik tersebut bukan sama sekali tidak, meskipun sangat dibatasi,

mengingat hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum

publik yang bersifat memaksa sehingga tidak mudah bagi hakim untuk

berkelit atau menyimpang dari kekuatan-kekuatan hukum yang ada.

105
Alat bukti serbaguna dalah hukum acara pidana, yaitu alat bukti

“pertunjuk”, meskipun dengan berbagai kelemahannya, dapat

dipergunakan sebagai terobosan bagi hakim dalam perkara pidana.

Dalam hal ini, dengan adanya berbagai model alat bukti hasil uji balistik

tersebut, dapat menjadi bukti petunjuk bagi hakim dalam mengambil

putusannya dalam perkara pidana tersebut.

Bukti petunjuk sendiri hanya dapat diperoleh hakim melalui

keterangan saksi, surat, atau keterangan terdakwa. Dengan demikian,

jika dalam keterangan saksi, dalam bukti surat atau dalam keterangan

terdakwa sudah menyebut-nyebut adanya bukti hasil uji balistik

tersebut, hakim dapat mengkaji lebih jauh tentang alat bukti hasil uji

balistik tersebut. Apabila cukup layak, dapat dipergunakan sebagai alat

bukti petunjuk. Hal ini memang sesuai dengan sistem KUHAP yang

menginginkan adanya kearifan hakim dan kecermatan hakim

berdasarkan hati nuraninya dalam menilai bukti petunjuk ini,

sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 188 ayat (3) KUHAP.

Berdasarkan analisis penulis mengenai kekuatan hukum hasil

uji balistik terhadap pembuktian kasus pembunuhan berencana dalam

putusan Nomor 177/PK/PID/2011 Mahkamah Agung bahwa alat bukti

yang di ajukan oleh pemohon mengenai hasil uji balistik sebagai alat

bukti baru dalam putusan tidak dapat diterima oleh majelis hakim

dikarenakan bahwa pengajuan alat bukti yang dimajukan hanya pada

putusan yang menganlisis menganai korelasi fakta dan bukti.

106
Sedangkan dalam proses pengajuan Peninjuan Kembali, hakim hanya

mempertimbangkan hubungan hukum antara meninggalkan korban

Nasruddin dengan anjuran sebagaimana yang didakwakan pada

Terpidana, bukan mengenai bagaimana caranya pembunuhan

dilakukan atau dengan apa dilakukan atau dimana dilakukan dan

dimana keberadaan terpidana, yang terpenting dalam perkara tersebut

adalah rangkaian perbuatan dengan fakta hukum yang telah terjadi

telah menunjukkan adanya korelasi dan adanya tujuan yang tercapai

berupa terbunuhnya korban Nasrudin.

Dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 (a) mengenai syarat

dilakukannya peninjauan kembali yaitu adanya bukti baru, yang

sebagaimana telah yang diajukan oleh pemohon Peninjauan Kembali,

salah satunya mengenai perbedaan bukti pada saat dilakukannya

pemeriksaan korban. Hal ini dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2

mengenai alasan-alasan diajukannya Peninjauan Kembali menurut

penulis tidak dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti baru dikarenakan

yang ditekankan dalam pengajuan Peninjuan Kembali mengenai alat

bukti hasil uji balistik hanya menjelaskan bagaimana korban terbunuh,

sehingga tidak memenuhi kriteria tentang kekeliruan nyata yang

dilakukan oleh hakim pada judex juris, tetapi dalam putusan hakim lebih

mempertimbangkan hubungan korelasi antara terbunuhnya korban

dengan anjuran sebagaimana yang didakwakan terhadap terdakwa.

107
Menurut penulis, hasil uji balistik dalam putusan ini memang

tidak perlu diajukan sebagai alat bukti baru atau keadaan baru

dikarenakan dalam putusan judex juris hanya mempertimbangkan

penerapan hukum yang didakwakan terhadap terdakwa.

108

Anda mungkin juga menyukai