Anda di halaman 1dari 3

BAB II

Tinjauan teori

A. Definisi asfiksia neonatus


Asfiksia neonatus merupakan suatu kondisi bayi tidak dapat segera bernapas secara
spontan dan teratur setelah dilahirkan. Penyebab dari hal ini adalah terjadinya hipoksia
pada janin di dalam uterus. Hipoksia ini berhubungan dengan faktor yang timbul saat
persalinan, atau segera setelah bayi lahir, (Prawirohardjo, 2006). Asfiksia bayi baru lahir
merupakan satu diantara penyebab kematian bayi baru lahir di negara sedang
berkembang. Diperkirakan 130 juta bayi baru lahir tiap tahunnya di seluruh dunia, 4 juta
pada usia 28 hari pertama kehidupan ¾ bayi meninggal pada minggu pertama dan ¼ bayi
meninggal pada usia 24 jam pertama kehidupan (Hassan dan Alatas, 2005
Asfiksia neonatus merupakan urutan pertama penyebab kematian neonatus di negara
berkembang yaitu sebesar 21,1%, setelah itu pneumonia dan tetanus neonatorum
masing-masing sebesar 19,0% dan 14,1%. Sedangkan di rumah sakit umum daerah
Dr.R.Soeprapto Cepu, berdasarkan data dari bagian catatan medik, pada tahun 2010
jumlah angka bayi baru lahir 1427, namun dari angka tersebut diperoleh jumlah bayi
baru lahir dengan asfiksia sedang 346 (24%) dan asfiksia berat 115 (8%), ini
menandakan bahwa asfiksia masih menjadi ancaman kematian bagi bayi baru lahir.
Sebagian besar bayi baru lahir mampu mengatasi transisi dari intrauteri ke
ekstrauteri, namun terkadang mengalami masalah yaitu terjadi asfiksia neonatorum
yang merupakan salah satu kegawatan bayi baru lahir, yang berupa depresi
pernafasan berkelanjutan sehingga menimbulkan berbagai komplikasi. Oleh karena itu
asfiksia perlu intervensi dan resusitasi segera untuk meminimalkan mortalitas dan
mordibitas (Wahyudi, 2003).
B. Etiologi
empat faktor ibu yang dapat mengakibatkan bayi lahir dengan asfiksia, yaitu :
 preeklamsia/ eklamsia,
 plasenta previa,
 plasenta
demikian keempat faktor tersebut dapat digunakan untuk mengetahui tingkat resiko
yang terjadi pada kejadian asfiksia, yaitu faktor preeklamsia/ eklamsi memiliki nilai
OR 0,764 (95% CI 0,340-1,715) yang berarti ibu dengan pre eklamsia/eklamsia
beresiko untuk melahirkan bayi dengan asfiksia sebesar 0,7 kali lebih besar
dibandingkan dengan ibu tidak dengan pre eklamsia/ eklamsia.Begitu pula dengan
faktor plasenta previa yang memperoleh hasil nilai OR 2,019 (95% CI 0,552-7,387)
yang berarti bahwa ibu dengan kejadian plasenta previa akan lebih beresiko untuk
melahirkan bayi dengan asfiksia dibandingkan dengan ibu yang tidak ada komplikasi
plasenta previa sebesar 2,0 kali lebih besar. Sedangkan pada ibu postmatur memiliki
tingkat resiko OR 0,673 (95% CI 0,256-1,766) yang berarti bahwa ibu dengan
postmatur memiliki resiko sebesar 0,6 kali lebih besar untuk melahirkan bayi asfiksia
dibandingkan ibu dengan usia kehamilan aterm

Penanganan pada kegawatan asfiksia neonatorum salah satunya adalah dengan melakukan
resusitasi jantung paru. Namun sampai saat ini evaluasi dari tindakan resusitasi jantung paru
hanya sebatas observasi keadaan umum bayi diantaranya pola nafas dan warna kulit bayi. Hal
ini mempengaruhi dalam pengukuran dan pendokumentasian kondisi bayi sehingga jauh dari
skala obyektifitas, selain itu pengaruh dalam tindakan resusitasi jantung paru juga kurang
terukur secara obyektif. Menurut Sari, (2010)

penilaian terbebasnya bayi dari kondisi asfiksia adalah dengan menggunakan apgar
score, yang juga menunjukkan keberhasilan tindakan resusitasi yaitu dengan adanya
perubahan dari lima sistem penilaian dalam apgar score yang meliputi fungsi pernafasan,
jantung, warna kulit, reflek terhadap rangsang dan tonus otot. Berdasarkan substansi yang telah
diuraikan di atas perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh resusitasi jantung dan paru
terhadap nilai apgar score pada bayi baru lahir asfiksia neonatorum.

Nilai apgar score menunjukan kondisi bayi segera setelah lahir dan juga menunjukan
kondisi adaptasi bayi baru lahir. Masing-masing dari lima tanda diberi nilai 0,1 atau 2, kelima
nilai tersebut kemudian ditambah inilah yang disebut ilia apgar score (sari,2010).

Hubungan Usia Gestasi dan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSUD Kabupaten Kedir

Jumlah kematian anak di Indonesia yang diakibatkan oleh infeksi dan penyakit yang lainnya telah
mengalami penurunan, hal ini diakibatkan oleh semakin meningkatnya tingkat pendidikan ibu,
kebersihan lingkungan dan rumah tanggta, tingkat pendapatan, dan akses terhadap layanan kesehatan.
Kematian bayi baru lahir saat ini merupakan hambatan utama dalam menurunkan kematian anak lebih
lanjut. (Unicef Indonesia, 2012)

Salah satu penyebab kesakitan dan kematian pada bayi baru lahir adalah kejadian BBLR. Masalah pada
bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) terutama pada prematur dapat terjadi karena imaturitas pada
sistem organ bayi tersebut. BBLR mempunyai kecenderungan untuk mengalami gangguan pada sistem
pernafasan (Kemenkes RI, 2014). Asfiksia neonatorum merupakan kegagalan nafas secara spontan dan
teratur saat bayi baru lahir (Tando, N. 2016). Asfiksia memberikan dampak pada bayi karena asfiksia
dapat mengakibatkan hipoksia yang progesif, penumpukan CO2 dan asidosis. Jika kondisi ini terjadi
sangat lama dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian (Prawiroharjo, 2012). Penyebab
asfiksia neonatorum salah satunya adalah faktor janin yaitu prematuritas, IUGR, gemelli, tali pusat
menumbung, dan kelainan kongenital. Selain faktor janin, penyebab lainnya dari kejadian asfiksia adalah
paritas yang tinggi yang dapat menyebabkanterjadinya penyulit kehamilan dan persalinan, kondisi ini
mengakibatkan terganggunya transport oksigen dari ibu ke janin yang akan menyebabkan asfiksia yang
dapat dinilai dari APGAR Score pada menit pertama setelah lahir (Manuba, 2010). Makin rendah masa
gestasi dan makin kecil berat bayi baru lahir maka makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya sehingga
makin tinggi kemungkinan terjadinya asfiksia dan sindroma gangguan pernafasan (Prawirohardjo, 2012)

Anda mungkin juga menyukai