Anda di halaman 1dari 8

Oleh: Dr.

Adian Husaini 

Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor

Negara Tauhid

Hidayatullah.com | BANYAK ulama di negara kita sudah bersepakat, bahwa sila “Ketuhanan
Yang Maha Esa” mencerminkan makna TAUHID dalam ajaran Islam. Berikut ini sejumlah
contohnya.

Tokoh NU KH Achmad Siddiq, dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan
Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila,
terbitan Badan Litbang Agama, Departemen Agama, (Jakarta, 1984/1985), menulis:

“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan
tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat
diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila
Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian
tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk
agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16
Rabi’ulawwal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan penting: (1) Sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1
Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid
menurut pengertian keimanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah
dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.(3)
Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia
untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul
“Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan
Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada  pertemuan dengan
Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang
Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain,
melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi
undang-undang.”  (Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945).

Di Majalah Panji Masyarakat  edisi No 216, (1 Februari 1977), Buya Hamka menulis artikel 
berjudul “Ketahanan Ideologi Mutlak Ditingkatkan” dalam rubrik tetap “Dari Hati Ke Hati”. 
Dalam tulisannya itu Buya Hamka pun mengingatkan jangan sampai sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dianggap memiliki kedudukan sama dengan sila-sila lainnya. Jika begitu, maka Pancasila
akan goyah. Hamka menjelaskan bahwa manusia memiliki fitrah untuk selalu “bertuhan” kepada
yang dianggapnya Maha Kuasa. Bagi orang komunis, Yang Maha Kuasa ialah Partai. Siapa saja
yang berkuasa maka dialah Yang Maha Kuasa.

Menurut Buya Hamka, yang dimaksud Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah SWT. Sebab, hal itu
sudah dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
…”. Bangsa Indonesia sejak awal sudah memilih untuk percaya kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Karena itulah, dalam sumpah Sapta Marga, dalam sumpah para pejabat senantiasa
disyaratkan untuk orang yang bertaqwa.

“Tidak ada ketaqwaan dalam alam ini kepada berhala atau kepada pemimpin atau kepada
thaaghuut. Ketaqwaan hanya kepada Allah sahaja,” tegas Hamka.

Selanjutnya, Hamka menjelaskan, bahwa dalam Garis Gesar Haluan Negara (GBHN), juga
dijelaskan bahwa kita sedang menuju kepada suatu negara yang adil dan makmur, yang diridhai
oleh Tuhan.

“Oleh sebab itu, meskipun negara Republik Indonesia itu sendiri tidak beragama – karena suatu
negara tidak perlu beragama, namun rakyatnya, warga negaranya, penduduknya laki-laki dan
perempuan, mestilah beragama. Beragama untuk menjamin teguhnya urat Pancasila itu dalam
jiwa, dalam masyarakat, dan dalam negara. Urat Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,”
demikian tulis Hamka.

Lalu, ulama terkenal yang juga Pahlawan Nasional ini menegaskan sikapnya sebagai
muslim: “Menurut keyakinan saya sebagai pemeluk agama Islam, agama bukanlah isi mengisi
dengan Pancasila, melainkan lebih tegas lagi: “Agama akan mengisi Pancasila.” Bertambah
saya tha’at menjalankan perintah agama saya, menghentikan larangannya, bertambah suburlah
ideologi negara saya.”

Jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai sebagai Tauhid dalam pengertian Islam, lalu, apa
arti dari “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa?”  Tentu, artinya: Negara berdasar
atas Tauhid!

Negara hebat

Al-Quran menggambarkan “kalimah tauhid” atau “kalimah thayyibah” adalah laksana pohon
yang kokoh, yang memberi manfaat luas kepada manusia. Itulah gambaran al-Quran Surat
Ibrahim (14) ayat 24-26, yang maknanya: “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah
membuat kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya
(menjulang) ke langit. (Pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizing
Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka ingat (mengambil
pelajaran). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk seperti pohon
yang buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat (tegak) sedikit
pun.”

Gambaran al-Quran itu memberikan dasar yang tegas, bahwa suatu negara Tauhid adalah
NEGARA HEBAT, NEGARA MAJU, NEGARA BAHAGIA. Di negara itu, para pemimpinnya
memiliki keyakinan yang kokoh bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah manusia, yang wajib ditaati perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya. Orang Muslim, di
mana pun berada, pasti sangat setuju dengan upaya penegakan kalimah Tauhid di muka bumi,
dan pasti bersyukur jika ada umat manusia yang bertekad untuk menjadikan Tauhid sebagai asas
tegaknya suatu masyarakat.

Lawan dari Tauhid adalah syirik (kemusyrikan). Luqmanul Hakim, tokoh bijak yang diabadikan
dalam al-Quran, mengajarkan kepada kita sebuah dasar pendidikan: “Wahai anakku, janganlah
menserikatkan Allah dengan yang lain, sebab syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS 31:13).

Syirik adalah kezaliman dan sikap yang tidak beradab kepada Allah.  Syirik adalah dosa besar,
karena menempatkan Allah – satu-satu-Nya al-Khaliq – sejajar dengan manusia atau mengangkat
manusia ke derajat al-Khaliq.  Kita melihat, dalam dunia manusia, Presiden saja diperlakukan
secara berbeda dengan rakyat biasa. Jika dia lewat, kita dirusuh minggir. Bahkan, ada Presiden
diberi hak untuk mengampuni dosa manusia.

Apalagi, Allah SWT, Sang Pencipta manusia, sepatutnya ditempatkan sebagai al-Khaliq. Karena
itu, bisa dipahami, betapa tidak beradabnya manusia yang mengangkat dirinya menjadi “Tuhan”,
merasa berhak mengatur dirinya sendiri, mengatur alam semesta, mengatur Negara, dengan akal
pikiran dan kemauannya sendiri dengan membuang semua ajaran Allah.

Aneh, jika ada manusia yang menentang ajaran Tuhan, tetapi pada sisi yang lain, dia juga berdoa
kepada Tuhan, agar negerinya diberikan rahmat dan diselamatkan dari segala bencana.

Seolah-olah manusia itu merasa berhak mengatur Tuhan. Dialah yang menentukan, aspek mana
yang Tuhan boleh campur tangan, dan aspek mana dari kehidupan manusia yang Tuhan tidak
boleh terlibat.

Kata dia, dalam soal privat, manusia perlu taat kepada Tuhan. Karena agama adalah urusan
pribadi. Tetapi, dalam soal pendidikan, kesenian, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan
sebagainya, si manusia  menolak mentah-mentah campur tangan Tuhan. Karena begitu
pentingnya konsep Tauhid, umat Islam yakin bahwa Tauhid  adalah asas tegaknya kehidupan dan
peradaban Islam.  Semua orang yang mengaku Muslim, pasti setuju akan tegaknya konsep
Tauhid.

Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, tahun 1945, akhirnya bersedia menerima


penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta
jasanya oleh Bung Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus
Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

“Kesaktian” Piagam Jakarta

Piagam Jakarta yang lahir pada 22 Juni 1945 adalah satu Piagam Kesepakatan Nasional yang
oleh Bung Karno dikatakan: “untuk mempersatukan rakyat Indonesia!”  Inilah pidato Bung
Karno saat memberikan sambutan dalam Peringatan Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965. 
Dan harap maklum, Piagam Jakarta adalah Produk Panitia Sembilan yang diketuai oleh Bung
Karno sendiri.

Sejak awal berdirinya,  Indonesia mengakui agama sebagai faktor penting dalam NKRI.
Perdebatan di BPUPK bukanlah dalam hal penolakan terhadap agama, tetapi soal: dimana agama
ditempatkan dalam NKRI? Pihak Islam ketika itu, mengusulkan bentuk negara agama (BUKAN
NEGARA TEOKRASI); di mana Islam ditempatkan sebagai dasar negara; setidaknya Islam
menjadi agama resmi.  Pihak lain menolak usulan itu.

Ketika sejumlah pihak menggugat Piagam Jakarta dalam sidang BPUPK, 9 Juli 1945, Soekarno
meminta agar “Tujuh Kata” dalam Piagam Jakarta tidak dipersoalkan. Sebab, itu adalah hasil
jerih payah dan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Kata Soekarno:
“Tujuh Kata” itu adalah “kompromi untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama.” 
(Tentang perdebatan dalam BPUPK, lihat buku Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan
Beradab, Jakarta: INSISTS, 2015).

Hingga 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta masih utuh. Rupanya, di tengah situasi yang cukup
mencekam, berbagai pihak berusaha mengubah Piagam Jakarta. Target utamanya membuang 
“Tujuh Kata”: “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Dalam permulaan Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945,
Bung Hatta mengaku menerima pesan dari Indonesia Timur. Bahwa, jika Tujuh Kata itu tidak
dihapus, maka Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan Indonesia merdeka. Dalam
bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menceritakan tekanan
kaum Kristen tersebut:

“… wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan sangat atas anak
kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Walaupun mereka mengakui bahwa anak kalimat
tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat rakyat yang beragama Islam, namun
mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas…Kalau
Pembukaan diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri
di luar Republik.”  (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945:
Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta:
GIP, 1997).

Sejarah kemudian mencatat apa yang terjadi. Setelah Bung Hatta melakukan lobi-lobi dengan
sejumlah tokoh Islam, akhirnya “Tujuh Kata” itu memang dihapus. Umat Islam pun “mengalah”
demi persatuan dan keutuhan NKRI. Menurut Kasman Singodimedjo, dalam
bukunya, Renungan dari Tahanan, situasi  ketika itu sangat genting. Kemerdekaan baru di
proklamasikan. Senjata masih di tangan Jepang. Sekutu sudah mau datang.  Kata
Kasman: “Sekutu sudah thongol-tongol, Jepang masih thingil-thingil.”

Maka, dalam perjalanan sejarahnya, jadilah naskah Piagam Jakarta itu seperti yang kita baca
dalam Pembukaan UUD 1945 saat ini. Perubahannya menjadi: “Ketuhanan Yang Maha
Esa.”  “Tujuh Kata” dihapus.
Penghapusan “Tujuh Kata” Piagam Jakarta memang masih menyisakan berbagai misteri.
Banyak tokoh Islam mengkritik pencoretan Tujuh Kata itu. Dan itu sangat masuk akal. Tapi,
umat Islam pun memiliki keyakinan terhadap Takdir Ilahi dan memahami situasi sangat sulit
yang dihadapi tokoh Islam saat ditekan dan diultimatum untuk menghapus TUJUH KATA.

Tokoh-tokoh Islam yang berjuang dalam perumusan dasar negara  – seperti Haji Agus Salim,
KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya — adalah
para pejuang yang hebat. Pengorbanan mereka sangat besar bagi agama dan bangsa.  Apa pun
prosesnya, hilangnya  “Tujuh Kata” adalah hasil perjuangan yang diterima oleh generasi
berikutnya.

Karena itu, meskipun diliputi kekecewaan terhadap pencoretan “Tujuh Kata”,  para ulama, tokoh
Islam, dan kaum muslimin tetap berjuang mempertaruhkan jiwa, raga, dan harta mereka untuk
mempertahankan kemerdekaan RI. Mereka terus berjuang menegakkan kebenaran, melanjutkan
amanah Risalah Kenabian, berusaha mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.

Tak lama sesudah penghapusan TUJUH KATA itu, pada 22 Oktober 1945, keluar fatwa jihad
KH Hasyim Asy’ari yang menyatakan, wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Fatwa disambut jutaan kaum muslimin. Selain sebagai Ro’is Am NU, KH Hasyim
Asy’ari juga sebagai Ketua Majelis Syuro Masyumi. Berturut-turut setelah itu, tampil tokoh
Islam yang menyelamatkan NKRI, seperti Panglima Besar Soedirman, Sjafroedin Prawiranegara,
Mohammad Natsir, dan lain-lain.

K.H. Saifuddin Zuhri, tokoh NU,  menyebut bahwa dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta
itu tidak “diributkan” oleh Ummat Islam, demi memelihara persatuan dan kekompakan seluruh
potensi nasional dalam mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang baru berusia 1 hari.

“Apakah ini bukan suatu toleransi terbesar dari Ummat Islam Indonesia? Jika pada tanggal 18
Agustus 1945 yaitu tatkala UUD 1945 disahkan Ummat Islam “ngotot” mempertahankan 7
kata-kata dalam Piagam Jakarta, barangkali sejarah akan menjadi lain. Tetapi segalanya telah
terjadi. Ummat Islam hanya mengharapkan prospek-prospek di masa depan,  semoga segalanya
akan menjadi hikmah,”  tulis Kyai Saifuddin Zuhri. (Lihat buku: KH Saifuddin
Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia).

*****

Meskipun umat Islam sudah mengalah, dan “Tujuh Kata” sudah dicoret dari Piagam Jakata,
dalam perjalanannya, Piagam Jakarta itu masih saja terus “diusik”. Dalam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, kata “Allah” hilang, dan diganti dengan “Tuhan”.
Alinea ke-3 Pembukaan UUD RIS adalah: “Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai
kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”.

Adapun kelima silanya: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Perikemanusiaan (3) Kebangsaan (4)
Kerakyatan dan (5). Keadilan sosial. Ketika Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan, pada
15 Agustus 1950,  Konstitusi RIS itu masih dipertahankan.
Hasil Pemilu 1955 belum memberikan hasil yang mencukupi bagi partai-partai Islam untuk
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Maka, keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang
mengembalikan lagi Piagam Jakarta, meskipun tidak utuh secara tekstual. Dalam Dekrit  5 Juli
1959 ini, Presiden Soekarno menegaskan:  “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai
dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi di PPKI pada 18 Agustus 1945,
mencatat: “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan
Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar
1945 tersebut.”

Setelah Dekrit Presiden 1959 itu, Piagam Jakarta merupakan sumber hukum yang hidup. Dalam
Perpres No. 11/1960, Piagam Jakarta dijadikan sebagai Konsiderans pendirian IAIN. Begitu juga
dalam penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama. Pada 22 Juni 1965, Bung Karno masih menghadiri Peringatan Hari Lahirnya Piagam
Jakarta.

Meskipun Orde Baru hingga pemerintah saat ini belum menghidupkan kembali Piagam Jakarta
secara terbuka, tetapi cukup banyak hukum Islam yang sudah berlaku di Indonesia. Padahal,
Piagam Jakarta sempat dianggap sebagai barang terlarang dan menolak berlakunya syariat Islam
di Indonesia. Sebagian kalangan masih saja tidak puas dengan Piagam Jakarta dan meminta
Pembukaan UUD 1945 diubah, agar Indonesia secara tegas menjadi negara sekuler!

Seorang tokoh Katolik, Dr. Soedjati Djiwandono, pernah mengusulkan, agar Indonesia menjadi
negara sekuler dengan mengubah Mukaddimah UUD 1945.  Gagasan ini ia tulis dalam sebuah
artikel berjudul “Mukaddimah UUD 1945 tidak Sakral” di Harian Suara Pembaruan, (9 Februari
2004).

Padahal, sejak awal kelahirannya, Piagam Jakarta adalah “hasil kompromi” antara golongan
Islam dan golongan kebangsaan. Berdasarkan buku Risalah Sidang Badan Persiapan Usaha
Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)—Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), (Jakarta: Setneg, 1995), Piagam Jakarta disebut “Kesepakatan bangsa” yang di BPUPK
dikatakan sebagai “gentlement’s agreement”.

Kesepakatan itu tercapai melalui perdebatan yang sangat alot. Bahkan, setelah disahkan oleh
Panitia Sembilan, Piagam Jakarta masih menimbulkan kontroversi. Pihak Islam belum puas.
Begitu juga, pihak Kristen diwakili Latuharhary sempat menyoal rumusan tersebut.

Berulangkali Soekarno meminta agar rumusan itu diterima. Dalam rapat BPUPK 11 Juli 1945,
Soekarno menyatakan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan
antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan,
saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.”

Dalam rapat BPUPK tanggal 16 Juli 1945, Soekarno kembali tampil sebagai juru bicara untuk
menengahi polemik sebelumnya: “Marilah kita setujui usul saya itu; terimalah clausule di dalam
Undang-undang Dasar, bahwa Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama
Islam. Kemudian artikel 28, yang mengenai urusan agama, tetap sebagai yang telah kita
putuskan, yaitu ayat ke-1 berbunyi: “Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”… Saya minta, supaya apa yang saya usulkan itu
diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian…”.

Pada 18 Agustus 1945, demi keutuhan NKRI, sejumlah tokoh Islam yang sudah bersusah payah
merumuskan Piagam Jakarta menerima penghapusan Tujuh Kata tersebut. Dan pada 5 Juli 1959,
Piagam Jakarta ditegaskan oleh Presiden Soekarno, sebagai “yang menjiwai dan merupakan satu
kesatuan dengan UUD 1945”.

*****

Memahami hasil Perjuangan bukan hanya dari apa yang kita inginkan, tetapi lihatlah bagaimana
hasil itu diperjuangkan beserta tantangan yang dihadapinya. Begitulah cara melihat “Piagam
Jakarta” yang adil.

Penulis Kristen, I.J. Satyabudi, dalam bukunya yang berjudul “Kontroversi Nama Allah” (1994),
mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Satyabudi menulis:

“Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika
merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-
bapak Kristen karena kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu identik dengan ‘Ketuhanan Yang
Satu!’ Kata ‘Maha Esa’ itu memang harus berarti ‘satu’. Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi
keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas
kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun sila pertama ini.”

Memang, jika ditelaah dengan cermat, pihak-pihak yang ingin mengubah Piagam Jakarta, juga
tampak terburu-buru. Mereka hanya terfokus pada “Tujuh Kata”. Padahal, setidaknya ada “Tujuh
Kata” lain yang juga sangat mendasar dalam konsep Pandangan Hidup Islam (Islamic
Worldview), yaitu: Allah, Maha Esa, rahmat, adil, beradab, hikmah, dan musyawarah.

Hilangnya “Tujuh Kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya), tidak mengubah konsep utuh Piagam Jakarta, sebagai konsep “Negara Tauhid”.
Dan itulah yang ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo (1983): “Sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat
1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid
menurut pengertian keimanan dalam Islam.”

Dan setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 – di mana Piagam Jakarta menjiwai dan
merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945 – maka sebenarnya, rumusan sila pertama
selengkapnya adalah: “Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Jadi, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
terbukti, Piagam Jakarta memang “sakti”! Wallahu A’lam bish-shawab.*

Anda mungkin juga menyukai