Anda di halaman 1dari 3

Kisah Cinta Para Ulama (2)

Senin, 29 Juni 2020 - 09:24 WIB

“Maka dari amalanku, yang aku harap bisa menjadi bekal kepada Allah adalah usahaku untuk
menjaga perasaannya.”

Terkait

 Umar Bin Khattab: Pemimpin Tegas tapi Berhati Lembut


 Kisah Cinta Para Ulama (1)
 Meyakini Islam Saat Dibayar untuk Mengusiknya
 Kampus yang Kurindu, Tempat Mengejar Impian Dunia dan Akhirat

Hidayatullah.com | BERINTERAKSI dengan pasangan hidup menjadi hal yang amat penting.


Bahkan para ulama memandang romantika kehidupan suami-istri adalah bagian dari pengamalan
Dien ini.

Para ulama dikenal sebagai ahli ibadah. Namun bukan berarti kehidupan keluarganya kering dari
bisikan cinta. Mereka bahkan selalu romantis!

Bagaimana interaksi suami-istri para ulama salafush-shalih? Simak kisah dalam tulisan seri
kedua di bawah ini, yang dinukil dari berbagai kitab karya para ulama.

Kisah Cinta Para Ulama (1)

Para Ahli Ibadah pun “Romantis”

Abu Utsman al-Hirri (289H) adalah seorang ulama Naisabur yang shalih. Suatu saat beliau
ditanya, “Wahai Abu Utsman, amalan apa yang engkau harapkan bisa sebagai bekal menghadap
Allah dari apa yang telah engkau lakukan?”

Abu Utsman lalu berkisah:

Waktu aku tinggal di ar-Rai, para penduduknya mendesakku agar menikah, namun aku
menolaknya. Setelah itu datanglah seorang wanita yang menyatakan, “Wahai Abu Utsman, aku
telah jatuh cinta kepadamu, hingga aku tidak bisa tidur. Dan aku memutuskan memohon kepada
Allah agar bisa menikah denganmu.”

Aku pun menjawab, “Engkau masih memiliki ayah?”

Wanita itu menjawab, “Ya, dia adalah seorang penjahit.”


Akhirnya, aku berjanji akan menikahinya dan ia pun bergembira. Kemudian dilakukanlah akad
nikah dengan para saksinya. Namun setelah resmi menjadi pasangan sah dan melihat fisiknya,
aku akhirnya mengetahui bahwa salah satu mata istriku buta dan kakinya pincang, serta memiliki
wajah amat buruk. Saat itu aku mengucapkan, “Ya Allah segala puji bagi-Mu atas apa yang
engkau takdirkan kepadaku.”

Abu Utsman menjelaskan bahwa keluarganya mencela atas keputusan menikahi wanita itu,
“Namun aku tetap berusaha membahagiakan wanita itu. Sampai suatu saat ia menginginkan agar
aku tetap bersamanya, maka aku rela meninggalkan majelis demi untuk menjaga perasaannya.
Kehidupan yang demikian itu aku jalani hingga 15 tahun dan terkadang aku merasa tersiksa
dengan keadaaan demikian. Namun aku sama sekali tidak pernah mengeluhkan hal itu
kepadanya, hingga akhirnya ia wafat.”

Abu Utsman pun menutup kisahnya, “Maka dari amalanku, yang aku harap bisa menjadi bekal
kepada Allah adalah usahaku untuk menjaga perasaannya.” (Shifat ash-Shafwah, 4/105, 106).

Abu Utsman al-Hirri adalah ulama yang menjaga shalat dan amalan shalih lainnya. Ternyata ia
melihat bahwa amalan yang menolongnya kelak bukanlah hal itu, namun usahanya dalam
membahagiakan sang istri.

Demikianlah yang terjadi. Meski termasuk golongan ulama dan ahli ibadah, baik dari pihak
suami dan istri sangat menjaga hubungan baik keduanya.

Hal yang hampir sama dilakukan oleh Syaikh Abdullah al-Manufi, murid dari Syaikh Khalil,
penulis Mukhtashar al-Khalil yang menjadi rujukan fiqih Maliki.  Ulama Mesir yang dikenal
sebagai ulama tawadhu’, sungguh-sungguh berkhidmat kepada gurunya hingga wafat. Ulama
yang selalu menjaga makanan yang dikonsumsi serta selalu menjaga perkataan dan perbuatan di
hadapan sang istri.

Syaikh Abdullah al-Manufi sendiri menikah dengan seorang budak perempuan yang sudah tua,
yang selalu keluar ingus dari hidungnya. Meski demikian, Syaikh Abdullah selalu menyiapkan
sandal untuk istrinya tersebut. Ia bahkan pernah mengatakan kepada istrinya, “Tolong maafkan
saya, saya tidak pantas menjadi suami Anda.” (al-Kawakib ad-Durriyah, 3/41).

Para ahli ibadah amat menjaga perasaan pasangan. Begitupun para ahli ibadah dari kalangan
wanita, semisal Ummu Huraisy. Ia amat berhati-hati dengan makanan yang dikonsumsi.

Ummu Huraisy dinikahi oleh seorang tentara yang memperoleh gaji dari negara. Demi kehati-
hatiannya, ia memilih tidak makan dari gaji suaminya, namun makan dari jerih payahnya sendiri.

Jika sang suami datang, Ummu Huraisy memperlihatkan seolah-olah sedang makan. Ia
meletakkan piring makanan di depannya, namun jari-jarinya selalu berada di luar piring tersebut.
(Shifat ash-Shafwah, 4/39).

Kisah di atas tidak otomatis menunjukkan bahwa Ummu Huraisy menganggap gaji suaminya
yang berasal dari penguasa adalah harta yang haram. Ini karena sebagian ulama dan ahli ibadah
memilih wara’ (berhati-hati) terhadap harta dari penguasa. Ummu Huraisy berusaha mengikuti
nasihat ulama tanpa harus mengecewakan suaminya.

Kisah lain. Suatu hari Ahmad bin Abu al-Hiwari dikhitbhah oleh seorang wanita yang bernama
Rabi’ah. Ulama ahlli ibadah ini sebenarnya kurang berminat menikah. “Demi Allah, aku tidak
memiliki minat terhadap wanita karena kesibukanku terhadap kondisi diriku sendiri,” katanya.

Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, aku lebih sibuk terhadap diriku sendiri dibanding dirimu. Dan
aku sendiri tidak memiliki syahwat terhadap laki-laki. Hanya saja aku memiliki harta banyak
peninggalan dari suamiku dan aku ingin membelanjakannya untuk saudaraku ahli ibadah. Aku
mengetahui bahwa engkau orang shalih, hal itu aku lakukan agar menjadi jalanku menuju
Allah.”

Ahmad kemudian meminta waktu untuk meminta izin kepada guru beliau. Ternyata sang guru
menjawab, “Nikahilah dia. Sesungguhnya dia adalah wali Allah, perkataannya adalah perkataan
para shiddiqin.”

Akhirnya Ahmad menikahi Rabi’ah. Tidak hanya itu, Ahmad juga menikah dengan tiga wanita
lainnya. Sedangkan Rabi’ah memberikan makanan-makanan yang lezat dan memperlakukan
Ahmad dengan baik, dan mengatakan, “Pergilah dengan aktivitas dan tenagamu kepada para
istrimu.” (Thabaqat al-Auliya, hal 26).* Toriq/ Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2017

Anda mungkin juga menyukai