Anda di halaman 1dari 5

Membaca Peta Hubungan Iran, Hamas dan

Saudi
Ahad, 12 Januari 2020 - 19:51 WIB

Jika hubungan Hamas dan Iran dituduh gerakan ini tercemar Syiah, lantas bagaimana
menghubungkan sejuknya hubungan Amerika dan Israel dengan Saudi ketimbang dengan
saudara Muslimnya di Palestina?

Terkait

 Deal of The Century, Lelucon Abad Ini


 ‘Konsep Perdamaian’ Palestina yang Tak Membuat Damai
 Pasang Surut Hubungan AS dan Iran
 “Apakah Ada Kolaborasi Amerika Serikat dan Iran?”

Oleh: Rofi Munawwar

Hidayatullah.com | LEWAT rudal pesawat nirawak MQ-9 Reaper AS, Jendral Iran, Qassem
Soleimani terbunuh, di sekitar Bandara Baghdad pada Jumat (3/1/2020). Soleimani sendiri
adalah tokoh penting dan berpangaruh Iran. Ia pemimpin Pasukan Quds, pasukan ini adalah
kombinasi antara intelejen dan pasukan khusus yang bertanggungjawab atas operasi di luar Iran.
Sekaligus membangun proyek ekspansi ke negara-negara Islam.

Di Iraq, negara tempat Soleimani terbunuh, Iran dan AS berkordinasi untuk menghalau semua
dominasi asing yang menunjukkan perlawanan terhadap pendudukan AS dan Iran. Salah satunya
kerjasama Iran dan AS beserta Arab Saudi yang merupakan sekutu utama AS di kawasan Timur
Tengah. Kerjasama ini untuk mengalahkan ISIS di Iraq Utara (VOA 09/09/2014).

Di Iraq, AS dan Iran memainkan perannya masing-masing. AS membangun pangkalan militer


serta mengintervensi pemerintahan Iraq. Sedangkan Iran membangun sistem politik sekterian
untuk merebut pemerintahan serta memperkuat milisi-milisi berideologi syiah di sana.

Wajah Iran, lewat Jenderal Soleimani memiliki jejak berdarah di kawasan Timur Tengah,
khususnya di Suriah, Iraq, Yaman dan Lebanon. Ratusan ribu nyawa terbunuh atas peran
jenderal ini yang bermain secara regional di kawasan dalam rentang satu dasawarsa terakhir
(2011-2019).
Namun ada realitas politik lain yang sulit dijelaskan dari prespektif idealisme karena
komposisinya yang rumit. Bahwa Soleimani juga merupakan jenderal  yang mendukung dan
bekerja sama dengan gerakan pembebasan Hamas di Jalur Gaza. Kerjasama ini dalam bentuk
pemberian pelatihan dan pengembangan persenjataan militer.

Hubungan antara Iran dan perlawanan Palestina bermula sejak awal revolusi Iran tahun 1979,
hubungan ini berkali-kali naik-turun. Yang terakhir, setelah pecahnya revolusi Suriah, Hamas
memutuskan untuk meninggalkan Suriah dan dituduh oleh rezim Bashar Assad mendukung
oposisi.

Hal ini menyebabkan pendinginan serius hubungan Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah


(Hamas) dengan Iran dan sekutunya. Setelah keluar dari Suriah yang merupakan bekas aliansi
pentingnya, beberapa pimpinan dan anggota Hamas di Lebanaon dituntut untuk hengkang dari
negara itu. (Ahrar Press 25/06/2013).

Hubungan Hamas dengan Iran pulih terutama setelah 2014, setelah kemunduran revolusi Arab di
Suriah dan Mesir khususnya, yang merupakan aliansi terakhir yang diandalkan Hamas untuk
membantu perannya.

Di banyak negara-negara Arab, Hamas bukan hanya tidak mau dibantu, Hamas dicap sebagai
organisasi “teroris”, pendukungnya yang mengumpulkan bantuan untuk rakyat Gaza ditangkap.
Negara-negara ini juga mengejar para kadernya.   (dikutip Arabi21.com, 09/09/2019).

Kritikan banyak muncul  atas hubungan Iran-Hamas, terutama usai ucapan belasungkawa Hamas
terhadap Soleimani.  Banyak pernyataan –bahkan tuduhan yang tidak kalah kejamnya- dengan
menyebut Hamas adalah antek Syiah. Benarkah demikian?

‘Hubungan-hubungan yang rumit’

Persoalan di Timur Tengah tidak bisa (hanya) dibaca dengan kaca-mata hitam dan putih, atau
dengan kacamata fikih semata-mata. Sebab ada beberapa persoalan lain yang mempengaruhinya.
Ada hubungan bernilai politik, ekonomi bahkan pragmatis. Masing-masing harus diurai satu
persatu.

Mari kita diskusikan.

September 2019, Badan Intelijen Keamanan Negara Saudi (SSI) menahan salah satu pemimpin
senior Hamas, Mohammed Saleh Al-Khodari yang tinggal di Arab Saudi bersama putranya.
Saudi menolak seluruh upaya mediasi dan campur tangan untuk pembebasan.

Mohammed Saleh Al-Khodari, kini usianya 81 tahun. Pria yang sudah tinggal di Jeddah selama
hampir tiga dekade ini adalah penanggung jawab untuk mengelola hubungan dengan Arab Saudi.

Dengan kondisi kesehatan dan penyakit kronis, pemerintah Saudi tidak ada untungnya
menangkapnya.
5 Juni 2017, Arab Saudi dan sekutunya, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Mesir,
mengumumkan blokade pada Qatar. Tuduhannya, uang hasil penjualan sumber daya alam Qatar,
dituding digunakan membiayai Ikhwanul Muslimin, berhubungan dekat dengan Taliban dan
afiliasi-afiliasi Al-Qaeda, dan menjalin keakraban dengan Iran.

Tak ketinggalan, stasiun televisi Al Jazeera yang juga dituduh menyokong kubu pemberontak
Houthi di Yaman.

Arab Saudi menutup perbatasan darat dan udaranya untuk Qatar.  Jika mau aman, Qatar diminta
memenuhi 13 tuntutan, termasuk menutup situs berita media Al Jazeera yang berbasis di Doha.
(Mengapa harus menutup TV, coba?)

Yang menarik, kebijakan blokade itu datang sebulan setelah kedatangan Donald Trump di Saudi,
yang disambut ramah Raja Salman dalam KTT Riyadh.

Di tempat itu, AS menampilkan diri sebagai mitra dalam “perang melawan terorisme”. Di KTT
yang dihadiri oleh sekitar 55 pemimpin, presiden dan pejabat di Riyadh itu Trump
menggambarkan Hamas sebagai organisasi teroris.  Dalam pidatonya, ia membandingkan Hamas
dengan Daesh dan Al-Qaeda, dan mengklaim bahwa itu merupakan ancaman teroris ke wilayah
tersebut.  Dia bahkan meminta negara-negara Arab dan Islam untuk mengusir Hamas dari
wilayah mereka.

Seolah semua ini sudah saling terkait.

Enam bulan sebelumnya, 31 Januari, Departemen Luar Negeri AS sudah lebih awal menetapkan
pemimpin Hamas Ismail Haniyah ke dalam daftar terorisnya.

Juli  2019, Pengadilan Eropa memutuskan untuk mempertahankan Gerakan Perlawanan Islam –
Hamas – dalam daftar kelompok teroris Uni Eropa.

Marilah sedikit kita gunakan akal sehat Kita:

Negara yang disebut Saudi (Qatar), sebagai ‘pelindung teroris’, tangannya sangat ringan
membantu Muslim yang menderita, terutama Palestina. Sejak 2018, memberi gaji bulanan
sebesar 15 juta Dolar AS (Rp 217,5 miliar) untuk para pegawai negeri dan meredakan situasi
kemiskinan di Gaza, akibat blokade Israel. Belum bantuan lain di wilayah terjajah itu.

Hamas, salah satu gerakan paling ditakuti Zionis, secara riil, ikut menjaga kehormatan umat
Islam sedunia menjaga Baitul Maqdis dari penjajah Israel. Itulah yang “diteroriskan” Saudi dkk,
termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Dr Adnan Abu Amer,  Kepala Departemen Ilmu Politik di Universitas Ummah di Gaza dan
penulis lebih dari 20 buku tentang konflik Arab-Israel, buku perlawanan Palestina dan Hamas
mengatakan:
“Kegigihan Arab Saudi dalam mengklasifikasikan Hamas sebagai kelompok teroris hanya dapat
dipahami dalam konteks trade off pada “Kesepakatan Abad Ini” yang digagas Amerika dan
sebuah intervensi untuk menghapus/melemahkan perjuangan Palestina.” (Al Jazeera).

Arab dan Israel

Sementara Barat dan Saudi memberi cap buruk Qatar dan gerakan pembebasan Palestina itu,
secara diam-diam, selama dua dekade terakhir, raja-raja Negara Teluk dan Saudi mesrah
menjalin kemitraan dengan Israel, semakin menyelaraskan kepentingan dan agenda mereka,
sambil bersembunyi di balik persepsi publik, dengan tetap bangga menyebut dirinya “penjaga
Dua Masjid Suci”.

Hubungan Saudi-Israel bukanlah hal baru. Mereka telah melakukan kontak rahasia melalui
saluran belakang sejak zaman Sheikh Kamal Adham, ketika ia menjalankan Direktorat Intelijen
Umum Saudi dari tahun 1965 hingga 1979. Meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik
resmi, dalam beberapa tahun terakhir Kerajaan Saudi dan Israel telah berupaya jauh lebih sedikit
telah menyembunyikan kemitraan strategis mereka yang tak terucapkan.

Setelah kehancuran rezim Ba’ath di Iraq pada tahun 2003, hingga Perang Hizbullah Libanon
selama perangnya dengan Israel pada tahun 2006, dan saat Musim Semi Arab tahun 2011, telah
memungkinkan Riyadh dan Tel Aviv menjadi lebih terbuka tentang hubungan mereka.

Kemitraan Saudi-Israel mencapai titik balik selama Perang Hizbullah–Israel tahun 2006, di
mana Riyadh mengecam kelompok Syiah Libanon karena mengambil tindakan terhadap
perlawanan terhadap Israel.

Pada tahun 2018, di bawah Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman (MbS), Saudi secara
jelas menandai keterbukaannya mendukung Israel.

“Ada banyak minat yang kami bagi dengan Israel dan jika ada perdamaian, akan ada banyak
minat antara Israel dan negara Teluk [GCC] , ” kata Bin Salman dikutip banyak media Barat.

Tahun lalu, seorang jurnalis Israel membocorkan komentar MbS selama pertemuan dengan para
pemimpin pro-Israel di AS: Dia dilaporkan mengatakan , “Sudah waktunya Palestina mengambil
proposal dan setuju untuk datang ke meja negosiasi atau tutup mulut dan berhenti mengeluh,”
katanya.

Pada awal 2019, selama KTT Timur Tengah di Warsawa, kantor Perdana Menteri Israel
Benjamin Netanyahu membocorkan rekaman video Arab Saudi dan menteri luar negeri negara-
negara anggota GCC lainnya yang mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri sambil
menyatakan bahwa menghadapi Iran adalah prioritas yang lebih tinggi daripada menjawab
pertanyaan Palestina.

Saya punya sebuah contoh sederhana (tidak sama persis). Ada tiga kampung bertetangga.
Satu kampung (Kampung A) sangat makmur dan berlimpah harta. Satu kampung miskin
(Kampung B), tidak memiiki apa-apa, selain semangat dan harapan hidup. Sisanya satu kampung
(Kampung C), bisa buat senjata, tapi katakanlah, semua penduduknya sesat dan menyesatkan.

Suatu ketika datang kampung lain merebut dan menjajah Kampung B. Di tengah situasi sulit, Di
mana tak ada kampung lain membantu, datang uluran senjata dari Kampung C. Sementara itu,
tetangganya Kampung A, yang paling diharapkan, justru memperkuat musuh, dengan
mengeluarkan seruan, bahwa kelompok-kelompok yang melawan penyerang itu “teroris”.
Padahal pemimpin Kampung A ini dikenal suka menghajikan orang.

Ini adalah sebuah kerumitan. Bagaimana kita menjelaskan hal ini?

Ada penjelasan sangat menarik dari Hamas setelah kehadirannya di Iran, baru-baru ini:

“Iran selalu mendukung kelompok-kelompok perlawanan bersenjata Palestina dengan senjata


dan uang dan tidak pernah meminta imbalan politik apa pun sebagai imbalannya,” kata Mahmud
al-Zahar, juru bicara Hamas mengomentari bantuan Iran pada gerakan ini dikutip Xinhua, 8
Januari 2020.

Dengan penjelasan ini, Hamas ingin menegaskan hubungannya hanya kepentingan pragmatis,
bukan ideologis.

Sama halnya ketika Saudi bangga menganggap negeri pemurni Tauhid, tapi, ia menangkapi para
ulama dan di saat sama, mendatangkan bintang-bintang maksiat seluruh dunia berjoget di Tanah
Suci. Lantas, apakah kita Mengatakan, negeri itu sudah tak pantas lagi dengan sebutan “Kota
Suci”?

Sama halnya ketika air mata umat tumpah di seluruh dunia melihat lebih sejuta muslim di Uighur
dipenjara rezim Komunis, eh, justru Saudi salah satu pembela China. Lagi-lagi, bagaimana kita
menjelaskannya?

Jika hubungan Hamas dan Iran dituduh gerakan ini tercemar Syiah, lantas bagaimana
menghubungkan sejuknya hubungan Amerika dan Israel dengan Saudi ketimbang dengan
saudara Muslimnya di Palestina?

Apa yang dilakukan Hamas dengan dekat dengan IRGC memang menjadi dilema. Hamas tidak
hanya perlu diberi masukan, tapi juga dibantu secara riil. Sebagaimana juga Saudi harus
diingatkan agar lebih tanggap persoalan.

Iran jelas berusaha menjadikan Palestina sebagai kampanye untuk meraih ideologinya. Namun
lebih dari itu yang kita harapkan adalah kesadaran pemimpin Negara Arab untuk peka terhadap
permasalahan Palestina dan masalah keumatan.*

Penulis peminat masalah Timur Tengah

Anda mungkin juga menyukai