Anda di halaman 1dari 4

Gerakan Boikot dan Perlawanan Terhadap

LGBTQ+
Kamis, 2 Juli 2020 - 13:10 WIB

Narasi sudah seharusnya dilawan dengan narasi. Tak ada yang bisa menunjukkan bahwa sebuah
perspektif itu salah melainkan dengan menunjukkan perspektif yang benar atau membuktikkan
bahwa ia salah

Terkait

 Kecam Pencaplokann Tepi Barat, HNW Berharap Indonesia Pimpin Penolakan &
Gerakan Boikot Produk ‘Israel’
 Daftar Merek dan Perusahaan yang Mendukung LGBT
 Warganet Serukan Boikot Unilever karena Dukung LGBT
 Perusahaan Pro-Israel dan Perang Asimetris

Hidayatullah.com | GERAKAN yang menyuarakan ‘hak-hak dan kebebesan’ bagi komunitas


dan setiap individu berkelainan orientasi dan identitas seksual (LGBTQ+) di masyarakat telah
menjadi masif dan menerima dukungan yang tak kecil dari berbagai pihak. Mereka menamakan
gerakan ini dengan “Pride”, menunjukkan keinginan akan kebebesan berekspresi, dengan salah
satu bentuk kegiatanya berupa lebih dari 150 festival di seluruh dunia. Puncaknya ada pada bulan
Juni yang mereka klaim sebagai bulan yang merepresentasikan komunitas dan gerakan. Berbagai
parade diadakan di kota-kota besar dunia, dari Tel Aviv, New York, hingga Taipei. Di mana
orang-orang meneriakkan ide-ide kebebasan di jalanan dengan mengenakan atribut warna-warni,
dan tak jarang bertelanjang dada.

Gerakan ini telah lama menjadi politis dan beririsan dengan berbagai kepentingan. Komunitas
‘Pride’ ini kini telah menjadi segmen pasar tersendiri yang cukup besar dan diincar oleh berbagai
perusahaan multinasional. Perusahaan yang menampilkan produk mereka sebagai “ramah
LGBTQ+” lebih disukai oleh komunitas dan sebagian masyarakat, khusunya di Barat.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh YouGov, gay dan lesbian (71%), biseksual (53%),
liberal (52%), milenial (32%), menegah ke atas (34%), lebih suka menghabiskan uang mereka
untuk produk-produk ramah LGBTQ+. Perusahaan seperti Adidas, Puma, Dr Martens, dan
banyak lainnya, telah mengeluarkan seri produk “Pride Collection”, terutama di setiap bulan
Juni. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah “Rainbow Capitalism”.

Baru-baru ini, perusahaan multinasional yang berbagai produknya dipasarkan di Indonesia,


negeri berpenduduk mayoritas Muslim, Unilever, mengeluarkan pernyataan dukungan kepada
komunitas “Pride”. Unilever kemudian dikecam oleh banyak masyarakat Indonesia atas
pernyataan tersebut. Bahkan kemudian banyak yang menyerukan pemboikotan atas produk-
produk Unilever di Indonesia. Unilever memiliki setidaknya 33 merek utama yang di antaranya
merupakan merek unggulan pada jenis produknya di Indonesia.

Berdasarkan Laporan dan Perhitungan Tahunan Unilever 2019, penjualan mereka di Indonesia
mencapai nilai 42 triliun Rupiah. Sedang penjualan pasar global mereka mencapai nilai 837
triliun Rupiah. Jika dibandingkan, kontribusi penjualan pasar  di Indonesia hanyalah 5,01 % dari
total keseluruhan nilai penjualan Unilever.

Boikot sebagai perlawanan

Seruan boikot adalah bentuk aksi reaktif demi menjaga atau menolak nilai-nilai tertentu. Dalam
hal ini, umat Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah tentu menolak nilai-nilai yang
dibawa oleh komunitas LGBTQ+. Dan upaya penolakan adalah bentuk rasa tanggung jawab
pada setiap individu dan kolektif umat Islam. Salah satu upaya yang jamak dilakukan kemudian
adalah aksi boikot terhadap setiap pihak yang bertentangan dan berpotensi mengikis nilai-nilai
Islam.

Brayden King, seorang professor di bidang manajemen dan organisasi menyatakan, tujuan dari
aksi boikot adalah “untuk memberikan tekanan finansial pada sebuah perusahaan”, yakni dengan
meyakinkan konsumen untuk membeli di tempat lain.

“Tapi ternyata itu bukan cara boikot yang biasanya bekerja,” jelasnya pada artikel yang dilansir
oleh Insitut for Policy Research (IPR) Northwestern. “Boikot khas tidak memiliki banyak
dampak pada pendapatan penjualan.”

Salah satu alasannya adalah sifat kebiasaan konsumen. Bahkan orang-orang yang secara terbuka
mencela perusahaan mungkin masih membeli produk-produk perusahaan itu. Baik karena
ketidaktahuan maupun keadaan tertentu, misal ketidaktersediaan produk pembanding dengan
keunggulan yang sama. Ditambah lagi, orang-orang yang memboikot perusahaan mungkin bisa
jadi bukan target konsumennya.

Namun demikian, boikot masih bisa efektif, menurut penelitian King. Dia menemukan bahwa
meskipun boikot jarang merusak pendapatan, mereka dapat mengancam reputasi perusahaan,
terutama dengan menghasilkan liputan media negatif.

“Tidak. Salah satu prediktor apa yang membuat boikot efektif adalah berapa banyak perhatian
media yang diciptakannya, bukan berapa banyak orang yang menandatangani petisi atau berapa
banyak konsumen yang dimobilisasi, ” katanya.

Penelitiannya menunjukkan bahwa boikot yang paling sukses adalah boikot yang menghasilkan
liputan media terbanyak, biasanya untuk satu perusahaan besar. Boikot yang menjadi tajuk utama
ini menyebabkan jatuhnya harga saham yang lebih besar dan lebih cenderung menyebabkan
perusahaan mengubah perilakunya.

Namun dengan demikian, banyaknya perusahaan yang bertentangan nilai, dalam konteks ini
mendukung LGBTQ+, upaya pemboikotan bisa jadi akan menjadi tidak efektif. Apalagi aksi
boikot juga dilakukan oleh kelompok mereka, yang paling anyar adalah pemboikotan atas Hotel-
hotel yang dimiliki oleh Sultan Brunei Darussalam yang berencana menghukum rajam LGBT. 
Atau ancaman boikot produk Wardah yang dilayangkan aktivis dan feminis di Indonesia awal
tahun ini.

Tentu langkah kecil apapun adalah bentuk pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Tapi hal
ini kemudian menunjukkan bahwa boikot adalah aksi pada tataran pemenuhan tanggung jawab
individu atas nilai-nilai yang dipegangnya, ketimbang perlawanan yang benar-benar efektif dan
berdampak signifikan.

Lawan Berat yang Terus Membesar

Gerakan LGBTQ+ adalah gerakan kelompok yang teroganisir. Saat ini tak kurang dari 300
organisasi LGBTQ+ yang diakui tersebar di berbagai negara di seluruh belahan dunia.
Pergerakan ini terus mengusahakan berbagai cara untuk melegalkan kebijakan-kebijakan pro-
LGBT hingga mendorong legitimasi agama atas nilai-nilai mereka. Di antara usaha-usaha
tersebut, banyak kemudian yang membuahkan hasil. Seperti legalisasi pernikahan sesame jenis
yang telah ditetapkan di Belanda, Amerika, Taiwan, dan beberapa negara lainnya.

Namun keberhasilan mereka yang terbesar adalah menangnya narasi mereka di dunia akademis
maupun publik. Tujuan utamanya adalah mencabut stigma dan mengaburkan pandangan
masyarakat bahwa “kelainan orientasi seksual” mereka bukanlah kelainan dan kesalahan. Ada
setidaknya tiga argumen narasi kelompok kelainan ini yang telah mendapat pengakuan dan
menjadi standar perspektif dalam melihat LGBTQ+. Tiga narasi ini adalah:

Pertama, berargumen pada disiplin psikologi dan kejiwaan. Kelompok ini berhasil menghapus
homoseksual dari klasifikasi masalah kejiwaan. Sebagaimana kemudian diterbitkan oleh
American Psychiatric Association (APA) pada tahun 1974 dalam buku manual berjudul, The
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).

Kedua, secara biologis, mereka membangun argumentasi bahwa penyimpangan orientasi seksual
ini merupakan faktor genetik. Dalam majalah Science edisi 2019, ahli genetika Andrea Ganna di
Broad Institute MIT dan Harvard, dan rekannya, menggambarkan melalui survei untuk
menunjukkan adanya faktor genetik pada penyimpangan orientasi seksual. Dengan menganalisis
DNA hampir setengah juta orang dari AS, mereka menyimpulkan bahwa gen berperan antara 8%
hingga 25% pada perilaku ketertarikan seksual sesama jenis.

Ketiga, secara sosiologis, mereka berusaha memunculkan perspektif bahwa identitas gender
tidak terbatas pada laki-laki dan perempuan saja. Sejalan dengan penilitian yang disebut sebagai
“perburuan gen gay”, kelompok ini mengadakan riset dan mengumpulkan bukti ilmiah agar
dapat menyatakan bahwa krisis identitas gender juga merupakan faktor genetik.

Dengan tiga argumen ini, masyarakat yang buta terhadap pergolakan pemikiran akan mudah
terpengaruh. Saat ini, kelompok ini telah menjelma sebagai sebuah kekuatan politik yang cukup
berhasil mempengaruhi opini publik.
Sebuah survei mengenai penerimaan terhadap komunitas LGBTQ+ dirilis oleh lembaga
penelitian dari Amerika Serikat, Pew Research Center, pada 25 Juni lalu. Hasilnya: secara
global, lebih banyak masyarakat yang kini menerima homoseksualitas dibanding persentase yang
didapat survei serupa pada 2013. Tren tersebut juga berlaku di Indonesia, persentase penerimaan
masyarakat terhadap homoseksualitas naik dari 6 persen ke 9 persen.

Perlawanan yang Lebih Berarti

Narasi sudah seharusnya dilawan dengan narasi. Tak ada yang bisa menunjukkan bahwa sebuah
perspektif itu salah melainkan dengan menunjukkan perspektif yang benar atau membuktikkan
bahwa ia salah. Selain itu tentu harus ada upaya nyata yang dapat memberi dampak politis. Saat
ini di Indonesia, salah satu organisasi yang rajin melakukan perlawanan terhadap gerakan
LGBTQ+ adalah Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA). AILA rutin memberikan edukasi
terkait ancaman LGBTQ+ khususnya proteksi keluarga dari pengaruhnya. Hingga kini, mereka
juga mengupayakan agar kejahatan homoseksual dapat dipidanakan di Indonesia.

Maka berbagai pergerakan mereka juga harus dipandang sebagai langkah politik. Umat Islam
harus meluangkan waktu untuk memikirkan langkah yang sifatnya lebih proaktif. Karena inilah
yang seringkali disebut perang pemikiran. Tujuannya sederhana, yaitu menimbulkan keragu-
raguan di tengah pemikiran umat Islam. Dampak lebih lanjutnya adalah, akan terjadi penurunan
tingkat penolakan. Dari sangat menolak, keragu-raguan, mendiamkan, memaklum dan scenario
terburuknya adalah berubah haluan menjadi setuju.* Ahmad S & Munawwar 

Anda mungkin juga menyukai