Anda di halaman 1dari 16

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Prinsip Kerja PLTN

Prinsip kerja PLTN hampir mirip dengan cara kerja pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU) berbahan bakar fosil lainnya. Jika PLTU menggunakan boiler
untuk menghasilkan energi panasnya, PLTN menggantinya dengan menggunakan
reaktor nuklir.

Gambar 3.1 Prinsip Kerja PLTN

Seperti terlihat pada gambar 3.1, PLTU menggunakan bahan bakar


batubara, minyak bumi, gas alam dan sebagainya untuk menghasilkan panas dengan
cara dibakar, kemudian panas yang dihasilkan digunakan untuk memanaskan air di
dalam boiler sehingga menghasilkan uap air, uap air yang didapat digunakan untuk
memutar turbin uap, dari sini generator dapat menghasilkan listrik karena ikut
berputar seporos dengan turbin uap. PLTN juga memiliki prinsip kerja yang sama

9
10

yaitu di dalam reaktor terjadi reaksi fisi bahan bakar uranium sehingga
menghasilkan energi panas, kemudian air di dalam reaktor dididihkan, energi
kinetik uap air yang didapat digunakan untuk memutar turbin sehingga
menghasilkan listrik untuk diteruskan ke jaringan transmisi,. Reaksi nuklir ini
terjadi di dalam reaktor nuklir. Reaktor dirancang untuk memproduksi energi listrik
melalui PLTN, dan hanya memanfaatkan energi panas yang timbul dari reaksi fisi.
Sedangkan kelebihan neutron dalam teras reaktor akan dibuang atau diserap
menggunakan batang kendali. Karena memanfaatkan panas hasil fisi, reaktor
tersebut dirancang berdaya termal tinggi dari orde ratusan hingga ribuan MW.
Secara singkat, proses pemanfaatan panas hasil fisi untuk menghasilkan
energi listrik di dalam PLTN adalah sebagai berikut :
• Bahan bakar nuklir melakukan reaksi fisi sehingga melepaskan energi dalam
bentuk panas yang sangat besar
• Panas dari hasil reaksi nuklir tersebut dimanfaatkan untuk menguapkan air
pendingin, dapat berupa pendingin primer maupun sekunder, bergantung pada
tipe reakor nuklir yang digunakan.
• Uap air yang dihasilkan ini dipakai untuk memutar turbin sehingga
menghasilkan energi kinetik.
• Energi kinetik dari turbin ini selanjutnya dipakai untuk memutar generator
sehingga menghasilkan arus listrik.
Agar dapat lebih mudah memahami bagaimana terjadinya reaksi fisi
didalam reaktor PLTN, pada sub-bab ini akan disampaikan tentang bagaimana
struktur atom didalam uranium dan apakah itu reaksi fisi.

3.1.1 Struktur Atom Uranium


Sejatinya segala unsur yang terdapat di alam terbentuk dari kumpulan atom-
atom. Ada 92 jenis atom yang telah didefinisikan hingga saat ini. Inti dari suatu
atom terdiri atas proton yang bernilai positip dan neutron yang bersifat netral.
Disekitar intinya terdapat elektron yang mengelilingi, biasanya berjumlah sama
dengan proton dan terikat dengan gaya elektromagnetiknya. Jumlah proton pada
atom menjadi ciri khas suatu jenis atom dan lebih dikenal dengan sebutan nomer
atom, yang menentukan unsur kimia atom tersebut.
11

Unsur uranium memiliki jumlah proton 92 buah atau dengan kata lain nomer
atom Uranium adalah 92. Namun di alam, terdapat 3 jenis unsur yang memiliki
jumlah proton 92 buah, masing-masing memiliki jumlah neutron sebanyak 142,
143, dan 148 buah. Unsur yang memiliki 143 buah neutron ini disebut dengan
Uranium-235, sedangkan yang memiliki 148 buah neutron disebut dengan
Uranium-238. Suatu unsur yang memiliki nomer atom sama namun jumlah neutron
yang berbeda biasa disebut dengan isotop. Gambar berikut adalah struktur dari atom
Uranium dan tabel yang menjelaskan tentang isotopnya. Uranium yang terdapat di
alam bebas sebagian besar adalah Uranium yang sulit bereaksi, yaitu Uranium-238.
Hanya 0,7 persen saja Uranium yang mengandung isotop Uranium-235. Sedangkan
bahan bakar Uranium yang digunakan di PLTN adalah Uranium yang kandungan
Uranium-235 nya sudah ditingkatkan menjadi 3-5 %.

Gambar 3.1.1 Struktur Atom Uranium

3.1.2 Reaksi Fisi Uranium


Perlu diketahui bahwa reaksi fisi bisa terjadi disetiap inti atom dari suatu
unsur tanpa terkecuali. Namun reaksi fisi yang paling mudah terjadi adalah reaksi
pada inti atom Uranium. Uranium pun sama halnya, yang paling mudah terjadi
reaksi adalah Uranium-235, sedangkan Uranium-238 memerlukan energi yang
12

lebih besar agar dapat terjadi reaksi fisi ini. Reaksi fisi terjadi saat neutron
menumbuk Uranium-235 dan saat itu pula atom Uranium akan terbagi menjadi 2
buah atom Kr dan Br. Saat terjadi reaksi fisi juga akan dihasilkan energi panas yang
sangat besar. Dalam aplikasinya di PLTN, energi hasil reaksi fisi ini dijadikan
sumber panas untuk menghasilkan uap air. Uap air yang dihasilkan digunakan
untuk memutar turbin dan membuat generator menghasilkan listrik.
Pada saat Uranium-235 ditumbuk oleh neutron, akan muncul juga 2-3
neutron baru. Kemudian neutron ini akan menumbuk lagi Uranium-235 lainnya dan
muncul lagi 2-3 neutron baru lagi. Reaksi seperti ini akan terjadi terus menerus
secara perlahan di dalam reaktor nuklir. Neutron yang terjadi akibat reaksi fisi
sebenarnya bergerak terlalu cepat, sehingga untuk menghasilkan reaksi fisi yang
terjadi secara berantai kecepatan neutron ini harus diredam dengan menggunakan
suatu media khusus. Ada berbagai macam media yang digunakan sampai saat ini
antara lain air ringan/tawar, air berat, atau pun grafit. Secara umum kebanyakan
teknologi PLTN di dunia menggunakan air ringan (Light Water Reactor, LWR).
Perlu diperhatikan disini bahwa di dalam reaktor nuklir, bahan bakar
Uranium yang digunakan dijaga agar tidak sampai terbakar atau mengeluarkan api.
Sebisa mungkin posisi bahan bakarnya diatur sedemikian hingga agar nantinya
hasil reaksi fisi ini masih bisa diolah kembali untuk dijadikan bahan bakar baru
untuk digunakan pada teknologi PLTN di masa yang akan datang.

Gambar 3.1.2 Proses terjadinya reaksi fisi


13

3.1.3 Besarnya Energi Reaksi Fisi


Gambar 3.1.3 berikut ini adalah data tentang jumlah bahan bakar yang
diperlukan dalam 1 tahun untuk masing-masing pembangkit listrik berkapasitas
1000 MW. Disini terlihat bahwa untuk 1 gram bahan bakar Uranium dapat
menghasilkan energi listrik yang setara dengan 3 ton bahan bakar batubara, atau
2000 liter minyak bumi. Oleh karena energi yang dihasilkan Uranium sangat besar,
bahan bakar PLTN juga dapat menghemat biaya di pengakutan dan penyimpanan
bahan bakar pembangkit listrik

Gambar 3.1.3 Banyaknya bahan bakar yang diperlukan dalam 1 tahun untuk
masing-masing pembangkit listrik berkapasitas 1000 MW.
14

3.2 Studi Kelayakan PLTN di Indonesia

Sampai saat ini Indonesia belum berhasil membangun Pembangkit Listrik


Tenaga Nuklir (PLTN), sehingga belum ada sebuah pun PLTN yang dapat
dioperasikan untuk mengurangi beban kebutuhan energi listrik yang saat ini
semakin meningkat di Indonesia. Padahal energi nuklir saat ini di dunia sudah
cukup berkembang dengan menguasai pangsa sekitar 16% listrik dunia. Hal ini
menunjukkan bahwa energi nuklir adalah sumber energi potensial, berteknologi
tinggi, berkeselamatan handal, ekonomis, dan berwawasan lingkungan, serta
merupakan sumber energi alternatif yang layak untuk dipertimbangkan dalam
Perencanaan Energi Jangka Panjang bagi Indonesia guna mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.
Berdasarkan statistik PLTN dunia tahun 2002 terdapat 439 PLTN yang
beroperasi di seluruh dunia dengan kapasitas total sekitar 360.064 GWe, 35 PLTN
dengan kapasitas 28.087 MWe sedang dalam tahap pembangunan. PLTN yang
direncanakan untuk dibangun ada 25 dengan kapasitas 29.385 MWe. Kebanyakan
PLTN baru dan yang akan dibangun berada di beberapa negara Asia dan Eropa
Timur. Memang di negara maju tidak ada PLTN yang baru, tetapi ini tidak berarti
proporsi listrik dari PLTN akan berkurang. Di Amerika beberapa PLTN telah
mendapatkan lisensi perpanjangan untuk dapat beroperasi hingga 60 tahun, atau 20
tahun lebih lama daripada lisensi awalnya.
Di Indonesia, ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN
sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar
yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta.
Meskipun demikian ide yang sudah mengkristal baru muncul pada tahun 1972
bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN
(KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen
Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Kemudian berlanjut
dengan diselenggarakannya sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada
tahun 1975 oleh BATAN dan Departemen PUTL, dimana salah satu hasilnya suatu
keputusan bahwa PLTN akan dikembangkan di Indonesia. Pada saat itu juga sudah
diusulkan 14 tempat yang memungkinkan di Pulau Jawa untuk digunakan sebagai
15

lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5 tempat yang dinyatakan sebagai lokasi yang
potensial untuk pembangunan PLTN.
Pada perkembangan selanjutnya setelah dilakukan beberapa studi tentang
beberapa lokasi PLTN, maka diambil suatu keputusan bahwa Semenanjung Muria
adalah lokasi yang paling ideal dan diusulkan agar digunakan sebagai lokasi
pembangunan PLTN yang pertama di Indonesia. Disusul kemudian dengan
pelaksanaan studi kelayakan tentang introduksi PLTN yang pertama pada tahun
1978 dengan bantuan Pemerinatah Itali, meskipun demikian, rencana pembangunan
PLTN selanjutnya terpaksa ditunda, untuk menunggu penyelesaian pembangunan
dan pengoperasian reaktor riset serbaguna yang saat ini bernana “GA Siwabesy”
berdaya 30 MWth di Puspiptek Serpong.
Pada tahun 1985 pekerjaan dimulai dengan melakukan reevaluasi dan
pembaharuan studi yang sudah dilakukan dengan bantuan International Atomic
Energy Agency (IAEA), Pemerintah Amerika Serikat melalui perusahaan Bechtel
International, Perusahaan Perancis melalui perusahaan SOFRATOME, dan
Pemerintah Itali melalui perusahaan CESEN. Dokumen yang dihasilkan dan
kemampuan analitis yang dikembangkan dengan program bantuan kerjasama
tersebut sampai saat ini masih menjadi dasar pemikiran bagi perencanaan dan
pengembangan energi nuklir di Indonesia khususnya di Semenanjung Muria.
Pada tahun 1989, Pemerintah Indonesia melalui Badan Koordinasi Energi
Nasional (BAKOREN) memutuskan untuk melakukan studi kelayakan yang
komprehensif termasuk investigasi secara mendalam tentang calon tapak PLTN di
Semenanjung Muria Jawa-Tengah. Pelaksanaan studi itu sendiri dilaksanakan di
bawah koordinasi BATAN, dengan arahan dari Panitia Teknis Energi (PTE),
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dan dilakukan bersama-sama oleh
beberapa instansi lain di Indonesia.
Pada bulan Agustus tahun 1991, sebuah perjanjian kerja tentang studi
kelayakan telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan
Perusahaan Konsultan NEWJEC Inc. Perjanjian kerja ini berjangka waktu 4,5 tahun
dan meliputi pelaksanaan pekerjaan tentang pemilihan dan evaluasi tapak PLTN,
serta suatu studi kelayakan yang komprehensif tentang kemungkinan pembangunan
16

berbagai jenis PLTN dengan daya total yang dapat mencapai 7000 MWe. Sebagian
besar kontrak kerja ini digunakan untuk melakukan pekerjaan teknis tentang
penelitian pemilihan dan evaluasi tapak PLTN di lokasi tapak di Semenanjung
Muria.
Pada 2 tahapan pekerjaan yang pertama (Step 1-2) sudah dilakukan dengan
baik pada tahun 1992 dan 1993. Pada fase ini 3 buah calon tapak yang spesifik
sudah berhasil dilakukan dengan studi perbandingan dan ditentukan rangkingnya.
Sebagai kesimpulan didapatkan bahwa calon tapak terbaik adalah tapak PLTN
Ujung Lemah abang. Kemudian tahapan kegiatan investigasi akhir (Step-3)
dilakukan dengan mengevaluasi calon tapak terbaik tersebut untuk melakukan
konfirmasi apakah calon tapak tersebut betul dapat diterima dan memenuhi standar
internasional. Studi tapak PLTN ini akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1995.
Secara keseluruhan, studi tapak PLTN di Semanjung Muria dapat diselesaikan pada
bulai Mei tahun 1996. Selain konfirmasi kelayakan calon tapak di Semanjung
Muria, hasil lain yang penting adalah bahwa PLTN jenis air ringan dengan kapasitas
antara 600 s/d 900 MWe dapat dibangun di Semenanjung Muria dan kemudian
dioperasikan sekitar tahun 2004 sebagai solusi optimal untuk mendukung sistem
kelistrikan Jawa-Bali.
Pada tahun-tahun selanjutnya masih dilakukan lagi beberapa studi tambahan
yang mendukung studi kelayakan yang sudah dlakukan, antara lain studi penyiapan
“Bid Invitation Specification” (BIS), studi pengembangan dan evaluasi tapak
PLTN, studi perencanaan energi dan kelistrikan nasional dan studi pendanaan
pembangunan PLTN. Selain itu juga dilakukan beberapa kegiatan yang mendukung
aktivitas desain dan pengoperasian PLTN dengan mengembangkan penelitian di
beberapa fasilitas penelitian BATAN, antara lain penelitian teknologi dan
keselamatan PLTN, proteksi radiasi, bahan bakar nuklir dan limbah radioaktif serta
menyelenggarakan kerjasama internasional dalam bentuk partisipasi desain PLTN.
Akibat krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1998, maka dipandang
layak dan perlu untuk melakukan evaluasi kembali tentang kebutuhan (demand)
dan penyediaan (supply) energi khususnya kelistrikan di Indonesia. Untuk itu suatu
studi perancanaan energi dan kelistrikan nasional jangka panjang “Comprehensive
17

Assessment of Different Energy Resources for Electricity Generation in Indonesia”


(CADES) yang dilakukan dan diselesaikan pada tahun 2002 oleh sebuah Tim
Nasional di bawah koordinasi BATAN dan BPPT (Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi) dengan dukungan IAEA.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi di Indonesia
diproyeksikan meningkat di masa yang akan datang. Kebutuhan energi final (akhir)
akan meningkat dengan pertumbuhan 3,4% per tahun dan mencapai jumlah sekitar
8146 Peta Joules (PJ) pada tahun 2025. Jumlah ini adalah sekitar 2 kali lipat
dibandingkan dengan kebutuhan energi final di awal studi tahun 2000.
Pertumbuhan jenis energi yang paling besar adalah pertumbuhan kapasitas
pembangkitan energi listrik yang mencapai lebih dari 3 kali lipat dari kondisi
semula, yaitu dari 29 GWe di tahun 2000 menjadi sekitar 100 GWe di tahun 2025.
Jumlah kapasitas pembangkitan ini, sekitar 75% akan dibutuhkan di jaringan listrik
Jawa-Madura-Bali (Jamali). Dari berbagai jenis energi yang tersedia untuk
pembangkitan listrik dan dilihat dari sisi ketersediaan dan keekonomiannya, maka
energi gas akan mendominasi penyediaan energi guna pembangkitan energi listrik,
sekitar 40% untuk wilayah Jamali. Energi batubara akan muncul sebagai pensuplai
kedua setelah gas, yaitu sekitar 30% untuk wilayah Jamali. Sisanya sekitar 30%
untuk akan disuplai oleh jenis energi yang lain, yaitu hidro, mikrohidro, geothermal
dan energi baru dan terbarukan lainnya. Diharapkan energi nuklir dapat
menyumbang sekitar 5-6% pada tahun 2025.
Mengingat situasi penyediaan energi konvensional termasuk listrik nasional
di masa mendatang semakin tidak seimbang dengan kebutuhannya, maka opsi
nuklir dalam perencanaan sistem energi nasional jangka panjang merupakan suatu
solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam masalah penyediaan
energi khususnya listrik di Indonesia. Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan
tersebut di atas maka diharapkan pernyataan dari semua pihak yang terkait dengan
pembangunan energi nasional bahwa penggunaan energi nuklir di Indonesia sudah
diperlukan, dan untuk itu perlu dimulai pembangunan pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN) sekitar tahun 2010, sehingga sudah dapat dioperasikan secara
komersial pada sekitar tahun 2016.
18

BATAN sebagai Lembaga Pemerintah, berdasarkan Undang-undang No. 10


Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, telah dan akan terus bekerjasama dengan
Lembaga Pemerintah terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga dan
Masyarakat Internasional, dalam mempersiapkan pengembangan energi nuklir di
Indonesia, khususnya dalam rangka mempersiapkan pengembangan energi nuklir
tersebut adalah studi dan kajian aspek energi, teknologi, keselamatan, ekonomi,
lingkungan hidup, sosial-budaya, dan manajemen yang tertuang dalam bentuk
rencana stratejik 2006-2010 tentang persiapan pengembangan energi nuklir di
Indonesia.

3.3 Faktor yang Menjadi Alasan PLTN Belum digunakan di Indonesia


3.3.1 Faktor Keamanan
Salah satu sumber ketidakpastian masyarakat tentang PLTN disebabkan
oleh adanya kemungkinan kegagalan sistim yang mengakibatkan bencana pada
PLTN, seperti yang terjadi di TMI dan Chernobyl. Karakterisitik bencana pada
PLTN dapat didefinisikan sebagai insiden dengan "low probability, high
consequences'. Suatu bencana disebut katastrofi jika mengakibatkan sedikitnya
3.000 korban jiwa atau 45.000 orang cedera; maka probabilitas terjadinya katastrofi
adalah sangat kecil, yaitu 1 tiap 107 tahun. Disamping katastrofi, insiden-insiden
dalam skala lebih kecil yang terjadi di PLTN diperkirakan mengakibatkan kurang
lebih 2 korban jiwa tiap 20 juta MWh per tahun listrik dari kanker, tumor, penyakit
genetik dan lain-lainnya. Karena pada PLTU angka korban insiden ini sedemikian
kecilnya sehingga dapat diabaikan, faktor ini dapat dijadikan satu pertimbangan
dalam memilih jenis Pembangkit Tenaga Listrik untuk sumber listrik kita di masa
depan. Menjajagi segi keamanan (safety) dari kedua pilihan ini terhadap
kemungkinan kecelakaan, terlihat bahwa sebagian besar risiko ditemui pada saat
penambangan bahan bakar tersebut. Di AS, sejauh ini teknologi PLTU telah
menelan 1.300 korban jiwa dan 40.000 orang cedera sementara untuk PLTN 5.000
orang cedera dan kurang dari 100 korban jiwa
Limbah nuklir sampai saat ini tetap menjadi sumber utama kecemasan
masyarakat banyak tentang PLTN. Sebuah PLTN dengan kapasitas 1.000 MWe
19

membutuhkan sekitar 1 metrik ton bahan bakar dan menghalkan limbah sebanyak
kira-kira 70 liter per hari. Sampai tahun 1980, AS telah menghasilkan 36 juta ton
limbah dengan radiasi rendah dan 8.300 ton limbah dengan radiasi tinggi. Jumlah
ini sebenarnya menghasilkan dampak radiologis yang setingkat dengan ratusan juta
ton sampah yang dihasilkan oleh PLTU. Hanya karena konsentrasi radiasi yang
tinggi, limbah PLTN membutuhkan suatu penanganan yang khusus. Selama ini, sisa
bahan bakar dengan radiasi tinggi disimpan sementara di kolam-kolam
penampungan sehingga efek radiasi yang ditimbulkannya dapat diabaikan, tetapi
dengan semakin meningkatnya pemakain PLTN dalam produksi listrik, kebutuhan
akan suatu metode penyimpanan permanen yang tepercaya terasa semakin
mendesak. Meskipun sejauh ini belum ada satu cara yang dapat diterima secara
meluas, beberapa metode yang diusulkan meliputi penyimpanan di tambang garam,
lapisan granit, dibawah lapisan air tanah atau di dasar laut. Satu syarat mutlak yang
telah dipenuhi oleh lokasi-lokasi ini terjaminnya kestabilan geologis untuk masa-
masa yang akan datang.
Untuk PLTN, satu tambahan pertimbangan adalah adanya ancaman
terorisme, meskipun sampai sekarang belum ada realisasinya. Meskipun menurut
para ahli penggelapan Plutonium untuk pembuatan bom nuklir sederhana lebih
merupakan fiksi daripada kenyataan, hendaknya hal ini diperhitungkan juga dalam
pemilihan jenis Pembangkit Tenaga Listrik dan lokasinya di masa mendatang.
Tetapi dengan sikap waspada dan hati-hati yang selama ini dianut dalam lingkup
penggunaan bahan nuklir dan fakta bahwa untuk Indonesia risiko ini adalah lebih
kecil daripada di negara-negara lain yang lebih maju dan liberal, agaknya untuk saat
ini hal tersebut hanya akan merupakan pertimbangan minor saja.

3.3.2 Faktor Pencemaran Lingkungan dan Kesehatan


Faktor pokok kedua dari perbandingan ini adalah tentang polusi yang
dihasilkan oleh masing-masing pembangkit listrik. Dari data yang ada, pencemaran
udara dari batubara adalah jauh lebih besar daripada bahan bakar nuklir, terutama
asap dari hasil pembakaran batubara dalam tungku PLTU. Meskipun berdasarka
Undang-Undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup setiap PLTU
20

baru diwajibkan untuk memakai "scrubbers" (flue-gas desulphurizer) untuk


mengurangi kadar polutan yang dikeluarkannya, PLTU tetap memegang peranan
penting datam pencemaran udara secara keseluruhan.
Adapun beberapa polutan utama yang dihasilkan dari PLTU adalah sebagai
berikut:
1. gas SOx yang dikenal sebagai sumber gangguan paru-paru dan berbagai
penyakit pernafasan.
2. gas NOx, yang bersama dengan gas SOx adalah penyebab dari fenomena
"hujan asam" yang terjadi di banyak negara maju dan berkembang, terutama
yang menggantungkan produksi listriknya dari PLTB. Fenomena ini
diperkirakan membawa dampak buruk bagi industri peternakan dan pertanian.
3. gas COx yang membentuk lapisan yang menyelubungi permukaan bumi dan
menimbulkan efek rumah kaca ("green-house effect") yang pada akhirnya
menyebabkan pergeseran cuaca yang telah terbukti di beberapa bagian dunia.
4. partikel-partikel debu selain mengadung unsur-unsur radioaktif juga berbahaya
bagi kesehatan jika sampai terhirup masuk ke dalam paru-paru.
5. logam-logam berat seperti Pb,Hg,Ar,Ni,Se dan lain-lain, yang terbukti terdapat
dengan kadar jauh di atas normal di sekitar PLTU.
Sebagai kondensator dari sikius uap air primer, kedua jenis pembangkit
listrik di atas memanfaatkan air dari sumber yang berdekatan dengan lokasinya.
Oleh karena itu polusi air yang disebabkan oleh masing-masing kurang lebih
berimbang untuk ukuran generator yang sama. Sebuah PLTN rata-rata beroperasi
dengan efisiensi panas 33% (40% untuk PLTU). Jadi kurang lebih dua pertiga dari
panas yang dihasilkan oleh bahan bakar terpaksa dilepas ke lingkungan meialui
sikius pendingin. Untuk sebuah PLT (nuktir atau batubara) dengan ukuran 1.000
MWe yang beroperasi dengan efesiensi 35%, dihasilkan sekitar 1.860 MW sisa
panas. Jika air diambil dengan debit 100 m3/s, maka air yang keluar dari sikius
sekunder ini akan mengalami kenaikan suhu sekitar 4,5oC, suatu angka yang cukup
untuk menggangu kesetimbangan ekosistim dari organisms yang hidup di sumber
air tersebut. Dampak ini akan bertambah lagi dengan adanya bahan-bahan kimia
pemurni air yang dicampurkan sebelum air tersebut masuk ke sikius pendingin.
21

Bertentangan dengan anggapan umum, radiasi sinar-sinar radioaktif


(selanjutnya akan disebut radiasi) bukanlah sumber utama polusi pada PLTN.
Malah terbukti bahwa secara rata-rata untuk seorang yang tinggal sampai 1 km dari
sebuah reaktor nuklir, dosis radiasi yang diterimanya dari bahan-bahan yang
dipakai di reaktor tersebut adalah kurang dari 10% dari dosis radiasi alam (dari
batuan radioaktif alami, sinar kosmis, sinar-sinar radioaktif untuk maksud-maksud
medis) .
Kalau untuk tambang-tambang batubara dikenal istilah "black lung",
dimana partikel batubara yang terh-irup oleh para pekerja tambang mengendap di
paru-paru dan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan, para pekerja di
tambang Uranium (bahan utama untuk bahan bakar PLTN) terutama terkena radiasi
dari Carbon 14 (C-14) dan gas Radon yang terpancar dari Uranium alam. Dari data
statistik didapat bahwa kedua jenis radiasi ini menelan korban jiwa kurang lebih 1
orang tiap 20 juta MWH listrik yang dihasilkan PLTN per tahun. Tetapi karena
kedua unsur tersebut mempunyai waktu paruh yang sangat besar, dampaknya akan
terus terasa untuk masa-masa yang akan datang. Salah satu pencegahan adalah
dengan menempatkan sisa-sisa Uranium tambang di bawah permukaan tanah
dimana radiasinya akan ditahan oleh dinding lapisan penyekat khusus, tetapi karena
praktek ini juga dilakukan untuk sisa Uranium yang telah tidak mengandung C-14
dan Radon, pada dasarnya belum ada tindakan khusus yang dicanangkan untuk
penangangan bahaya dari kedua unsur ini.
Perlu disimak bahwa masalah radiasi bukan semata-mata berlaku untuk
PLTN. Misainya untuk kapasitas 1.000MWe, PLTN menghasilkan 50kCi radiasi
yang sebagian besar berasal dari gas Xenon dan Krypton sementara PLTU akan
mengeluarkan 2Ci radiasi yang keluar dari cerobong asapnya. Meskipun jumlahnya
jauh lebih kecil, radiasi dari PLTU mempunyai dampak kesehatan yang lebih besar
karena kalau abu tersebut terhisap akan menetap di paru-paru, sumsum tulang atau
jaringan yang lain dan merupakan ancaman yang kontinyu sementara radiasi PLTN
lebih berupa sinar yang menembus tubuh dan tidak menetap. Pada kedua kasus ini,
radiasi yang dihasilkannya masih berada jauh dibawah limit masing-masing
22

3.3.3 Faktor Ekonomi/ Sosial


Secara umum, PLTN dapat digolongkan sebagai investasi dengan modal
tinggi dan biaya tahunan yang rendah ( untuk bahan bakar, operasi dan
pemeliharaan) atau disebut "high capital low annuities investment" sementara
PLTU sebaliknya adalah sebuah investasi dengan " low capital high annuities ". Ini
sedikit banyak dapat dihubungkan dengan perbedaan waktu konstruksi : 5-6 tahun
untuk PLTU dan 7-10 tahun untuk PLTN. Oleh karenanya, biaya pembangunan
PLTN lebih sensitif terhadap perubahan desain dan teknologi reaktor, perubahan
standar keamanan, harga bahan baku reaktor dan suku bunga pinjaman dari kapital
yang dipakai. Menurut statistik, pembangunan PLTN cenderung untuk
"overbudget", dari hanya beberapa persen sampai sekitar dua kali lipat perkiraan
biaya semula. Di lain pihak, PLTU lebih sensitif terhadap harga bahan bakar yang
berubah-ubah sesuai dengan pasar yang ada meskipun biaya pembangunan tidak
akan banyak beranjak dari yang semula diperkirakan. Untuk Indonesia, dimana
penyediaan batubara untuk PLTU akan berasal dari perusahaan negara, faktor
perubahan harga ini tidak akan sedrastis yang terjadi di pasar bebas.
Dari beberapa sumber yang dipakai untuk makalah ini diperoleh angka yang
berbeda-beda untuk biaya rata-rata untuk kedua jenis pembangkit listrik ini,
sehingga hanya dapat disimpulkan bahwa pada umumnya, terutama untuk negara-
negara maju di Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia, PLTN tergolong lebih murah
dari PLTU untuk kapasitas listrik yang sama. Untuk negara-negara sedang
berkembang yang masih harus mengimpor sebagian besar dari teknologi pembuatan
reaktor tersebut, mungkin didapat angka yang berbeda untuk biaya pembuatan
sebuah reaktor nuklir, tetapi sulit didapat data yang akurat untuk itu. Maka penulis
hanya akan memberikan gambaran tentang angka-angka yang beriaku di negara-
negara maju yang telah kami sebut di atas.
Maksud dari istilah biaya disini adalah rata-rata pertahun dari seturuh
investasi yang dikeluarkan selama masa laik operasinya. Hanya saja untuk masa-
masa mendatang harga sebuah PLTN akan mengalami tingkat kenaikan yang lebih
tinggi daripada PLTU, terutama karena terdapatnya biaya de-commissioning
(penutupan sebuah lokasi PLTN) yang tinggi. Oleh karena itu pada permulaan abad
23

ke 21 nanti keduanya tidak akan berbeda jauh. Walaupun demikian harga PLTN
tetap di bawah PLTU. Satu referensi mengungkapkan bahwa rendahnya harga
PLTN tersebut dimungkinkan oleh adanya subsidi dari pemerintah setempat untuk
memacu penggunaan teknologi baru ini. Tanpa subsidi tersebut, biaya sebuah
PLTN mencapai 30-100% lebih mahal daripada PLTU. Tetapi teknologi maju yang
didapat bisa dijadikan justifikasi untuk memilih teknologi tersebut meskipun
dengan biaya yang lebih mahal.

3.4 Pandangan Masyarakat terhadap Rencana Pembangunan PLTN di


Indonesia
Seiring dengan rencana pemerintah mendirikan PLTN di Indonesia, timbul
pro dan kontra dalam masyarakat mengenai hal ini. Sebagian yang kontra meninjau
dari sisi sosio-kultural, politik, ekonomi, dan lingkungan dengan sedikit porsi
tinjauan teknis, sedangkan pihak yang pro melihat dari sisi teknis dan implementasi
pembangunannya semata dan dianggap kurang mengakomodasi pertimbangan-
pertimbangan sosial, kultural, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, ada
kesenjangan informasi yang perlu dipertemukan antara yang dilantukan oleh pihak
yang pro maupun dan yang kontra. Sedikitnya porsi teknis yang dilantunkan pihak
kontra sangat wajar karena latar belakang pengetahuan mereka tentang PLTN
masih minim. Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi pihak pro untuk menyajikan
secara benar dan objektif dari sisi sosio-kultural, politik, ekonomi, dan lingkungan
dengan porsi yang lebih besar sehingga dapat mengimbangi lantunan teknisnya.
Secara garis besar, masyarakat yang kurang senang akan kehadiran PLTN
dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu masyarakat awam, bagi mereka
nuklir menimbulkan rasa takut karena kurang paham terhadap sifat-sifat nuklir
tersebut. Yang termasuk kelompok ini antara lain : budayawan, politikus, tokoh
keagamaan dan beberapa anggota musyawarah umum lainnya. Kedua adalah
masyarakat yang sedikit pahamnya tentang nuklir. Mereka menyangsikan
kemampuan orang Indonesia dalam mengoperasikan PLTN dengan aman, termasuk
pengambilan limbah radioaktif yang timbul dari pengoperasian PLTN itu.
Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa LSM dan kalangan akademis.
24

Ketiga adalah kelompok masyarakat yang cukup paham tentang nuklir tetapi
mereka menolak kehadiran PLTN karena mereka melihat PLTN dari kacamata
berbeda sehingga keluar argument-argumen yang berbeda pula. Termasuk dalam
kelompok ini adalah beberapa pejabat dan mantan pejabat pemerintah yang pernah
berhubungan dengan masalah keenergian, kelistrikan, dan penukliran.

3.5 Kelebihan dan kekurangan PLTN


Keuntungan PLTN dibandingkan dengan pembangkit daya utama lainnya adalah :

1. Tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca (selama operasi normal), gas rumah
kacahnya dikeluarkan ketika Generator Diesel Darurat dinyalakan dan hanya
sedikit menghasilkan gas.
2. Tidak mencemari udara - tidak menghasilkan gas-gas berbahaya sepert karbon
monoksida, sulfur dioksida, aerosol, mercury, nitrogen oksida, partikulate atau
asap fotokimia.
3. Sedikit menghasilkan limbah padat (selama operasi normal).
4. Biaya bahan bakar rendah, karena hanya sedikit bahan bakar yang diperlukan.
5. Ketersedian bahan bakar yang melimpah, karena sangat sedikit bahanbakar yang
diperlukan.

Berikut ini berberapa hal yang menjadi kekurangan PLTN :

1. Risiko kecelakaan nuklir, kecelakaan nuklir terbesar adalah kecelakaan


Chernobyl.
2. Limbah nuklir, limbah radioaktif tingkat tinggi yang dihasilkan dapat bertahan
hingga ribuan tahun.

Anda mungkin juga menyukai