Artikel ini membahas tentang perubahan reformasi di bidang pendidikan yang telah terjadi
di Indonesia yang mengikuti perubahan sosial-politik yang ditandai dengan jatuhnya pemerinta ha n
Soeharto. Masyarakat demokrasi memiliki keinginan yang tegas tentang Undang-Undang
Pendidikan tahun 2003. Sebagai kebijakan desentralisasi politik dalam pemerintahan yang telah di
implementasi , otonomi pendidikan telah menghasilkan beberapa reformasi yang sudah
konsekuen. Manajemen sekolah sudah dipilih sebagai paradigma yang baru dalam pengelolaa n
sekolah, sedangkan kurikulum baru berfokus pada prinsip-prinsip berbasis kompetensi dan
pengembangan. Bagaimanapun , rintangan termasuk hambatan-hambatan budaya dan ekonomi
yang diasumsikan berpotensi menghambat keberhasilan perubahan implementasi jika tidak
dilaksanakan secara hati-hati dan tepat untuk ditangani. Edukasi pendidikan , berbasis sekolah
manajemen, kompetensi berdasarkan kurikulum , perubahan pendidikan , otonomi pendidikan.
PENGANTAR
Sejak order baru pada tahun 1998 di Indonesia, banyak sekali perubahan yang sedah/sudah
terjadi. Dalam hal politik terdapat dua periode kepresidenan , pemilihan langsung dan pelaksanaan
kebijakan otonomi adalah salah satu reformasi yang penting. Perubahan ini telah berdampak pada
pendidikan. Namun informasi tentang perubahan tersebut dan dampak yang terjadi di Indonesia ,
yang ditulis dalam artikel ilmiah dan internasional diakses, hampir tidak ditemukan. Artikel ini
adalah untuk itu dalam jalan bermaksud untuk mengurangi kekurangan informasi dan menguji
perbaikan yang ada di Indonesia sekitar abad abad dan disajikan kepada pembaca internasio na l.
Bagian pertama menggambarkan perubahan tujuan pendidikan Indonesia, yang di ambil dari
Undang-Undang 2003 tentang pendidikan. Bagian kedua membahas reformasi manajemen
pendidikan yang mengikuti Undang Undang tentang Otonomi Pendidikan pada tahun 1999.
Reformasi ini ditandai dengan adanya implementasi manajemen Berbasis Sekolah sebagai
paradigm baru dalam pengelolaan sekolah.Bagian ketiga mengenai ulasan tentang reformasi dalam
kurikulum sekolah yang berfokus pada pendekatan berbasis kompetensi dalam proses pengajaran
dan pendekatan berbasis sekolah. Yang terakhir , artikel ini menunjukkan beberapa tantangan yang
mungkin menghambat keberhasilan pelaksanaan reformasi tersebut, jika tidak ditangani dengan
tepat.
TUJUAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Seperti yang tercantum dalam Inesa 2003, pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi masing- masing siswa untuk menjadi orang beriman dan takwa terhadap
Allah , mempuntyai moralitas yang baik , berpengetahuan , kecerdasan , kreativitas, kemandir ia n
dan untuk menjadi warga negara yang demokratis, dan respontif.
Menurut Laporan Bank Dunia pada tahun 1998, Indonesia telah memiliki manajemen yang
sangat terpusat berkaitan dengan Pendidikan sampai tahun 1999. Otoritas pendidikan pusat
ditentukan hampir dari setiap aspek , sementara pemerintah (provinsi dan kabupaten) hanya harus
menerapkan kebijakan . Akibatnya Bank Dunia menyimpulkan, bahwa ada pengaturan
kelembagan yang efektif dalam sistem pendidikan di Indonesia. Adapun beberapa kendalanya ,
yaitu :
1. Pembagian tanggung jawab untuk pengiriman dari pendidikan dasar di antara berbagai
instansi pemerintah dan kementerian yang mengakibatkan kurangnya akuntabilitas
2. Manajemen terlalu terpusat di tingkat menengah pertama.
3. Otonomi kecil untuk kepala sekolah dan manajer tingkat yang lebih rendah , yang
mengarah kepada manajemen sekolah yang tidak efektif
4. Proses anggaran terfragmentasi dan kaku.
5. Struktur intensif pegawai negeri yang tidak menghargai praktek pengajaran yang baik dan
menyebabkan alokasi guru yang tidak merata di sekolah-sekolah.
Melalui UU No. 22/199 dari Otonomi Daerah bahwa desentralisasi merupakan kebijakan dan
manajemen negara itu telah terjadi. Menurut Jalal dan Supriadi tujuan desentralisasi , yaitu :
1. Mengurangi beban pemerintah pusat dan intervensi yang lebih dalam permasalahan local.
2. Meningkatkan pemahaman masyarakat dan dukungan mereka untuk pembangunan sosial
dan ekonomi;
3. Merencanakan program yang lebih baik dari perbaikan sosial dan ekonomi di tingkat lokal;
4. Melatih orang untuk mengelola urusan mereka sendiri; dan
5. Memperkuat persatuan nasional.
Jiyono et al. (2001) mengusulkan sebuah model untuk SBM Indonesia, yang memiliki lima
komponen dasar – manajemen , yaitu :
Beberapa kepala sekolah di Indonesia, yang berpartisipasi dalam SBM yang dilakukan oleh
Managing Basic Education (MBE) 3, telah didefinisikan karakteristik sangat penting untuk SBM
Indonesia. Sementara karakteristik ini memang tidak diambil dari fenomena faktual dari SBM
Indonesia melalui penyelidikan ilmiah, mereka penting mengungkapkan pemahaman dan harapan
dari SBM para pelaku. Karakteristik adalah sebagai berikut :
1) Visi dan misi sekolah yang dirumuskan oleh kepala sekolah, guru, perwakilan dari
mahasiswa, alumni sekolah dan pemangku kepentingan lainnya.
2) Ada rencana pengembangan sekolah berdasarkan visi dan misi.
3) Sebuah rencana anggaran sekolah, sejalan dengan rencana pengembangan sekolah,
dikembangkan secara transparan oleh kepala sekolah, guru, dan komite sekolah.
4) Otonomi Sekolah direalisasikan, seperti yang ditunjukkan oleh sekolah menjadi
lebih mandiri dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan lokal.
5) Ada partisipasi dan pengambilan keputusan yang demokratis.
6) Sekolah ini terbuka untuk kritik, masukan, dan saran dari siapa pun untuk
memperbaiki program.
7) Semua orang di sekolah berkomitmen untuk melaksanakan visi dan misi yang telah
disepakati.
8) Semua potensi pemangku kepentingan sekolah dimanfaatkan untuk mencapai
tujuan.
9) Ada suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan kinerja sekolah.
10) Ada kemampuan untuk menciptakan rasa bangga di antara staf dan masyarakat
setempat.
11) Ada transparansi dan akuntabilitas publik dalam melaksanakan seluruh kegiatan
(Managing Basic Education (MBE) Project).
REFORMASI KURIKULUM SEKOLAH
Menurut Mohrman et al. ( 1994) dan Wohlstetter, Van Kirk, Robertson dan Mohrman
(1997), SBM harus dilihat sebagai bagian dari perubahan yang lebih sistematik , bukan sebagai
sebuah inovasi yang terisolasi, karena secara otomastis tidak akan meningkatkan kinerja sekolah
dan siswa . Perubahan sistematik di sekolah-sekolah SBM harus mencakup pengenalan pendekatan
baru untuk mengajar dan belajar.
MNE (2003b, pp.35-7) juga menyediakan panduan yang jelas untuk pengembanga n
kurikulum dan manajemen di setiap otoritas tingkat-pusat dan daerah, serta sekolah. Hal ini
menciptakan pedoman bagi sekolah dalam mengembangkan silabus, membentuk tim pengembang
silabus kabupaten, membantu analisis silabus sekolah, dan mengawasi dan monitor pengembanga n
silabus dan implementasi. Sekolah diharapkan untuk mengembangkan silabus sendiri, atau
menggunakan silabus sekolah lain, dan untuk mengkoordinasikan secara aktif dengan Kabupaten
untuk mengembangkan silabus.
Tabel 1. Perbandingan 1994 dan 2004 Kurikulum
KESAMAAN
KURIKULUM 1994 KURIKULUM 2004
9 tahun Wajib Belajar 9 tahun Wajib Belajar
Penekanan pada kemampuan membaca, Penekanan pada kemampuan membaca,
menulis dan fungsi Aritmatika menulis dan fungsi Aritmatika
Konsep Penting dan bahan dalam setiap mata Konsep Penting dan bahan dalam setiap mata
pelajaran untuk mencapai kompetensi. pelajaran untuk mencapai kompetensi.
Kurikulum Muatan Lokal Kurikulum Muatan Lokal
45 Menit dialokasikan untuk setiap jam 45 Menit dialokasikan untuk setiap jam
belajar di setiap tingkat Sekolah. belajar di setiap tingkat Sekolah.
PERBEDAAN
KURIKULUM 1994 KURIKULUM 2004
Sentralis Desentralis
Tidak mengandung kompetensi standar Mengandung kompetensi standar
Tidak ada kegiatan untuk membiasakan siswa Kegiatan terintegrasi dan di program untuk
untuk isi konsep membuat siswa akrab dengan konten dan
konsep
Tidak ada ICT Pengenalan ITC
Penilaian pilihan ganda Penilaian berbasis kelas
Pendekatan tematik untuk kelas 1 & 2 dari Pendekatan tematik untuk kelas 1 & 2 dari
sekolah (Hanya direkomendasikan) sekolah (diwajibkan)
Ada kontinuitas kompetensi Kelangsungan kompetensi stratifikasi dari
kelas 1 s/d 12 dari tingkat sekolah
Ada kurikulum diversifikasi Diversifikasi kurikulum khusus dan
international
Silabus yang dikembangkan oleh otoritas Memberikan kesempatan kepada guru,
pendidikan setempat atau sekolah tergantung sekolah dan otoritas local untuk elaborasi
pada kebutuhan program dan adapatasi analisis bahan
MNE (2003a, p.7) mendefinisikan belajar sebagai suatu tindakan aktif dengan siswa untuk
membangun makna dan pemahaman, sedangkan mengajar adalah tanggung jawab guru untuk
menciptakan situasi yang mendukung kreativitas, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk
pendidikan seumur hidup. MNE (2003a, pp.7-11) juga menyediakan daftar proses belajar
mengajar yang efektif yang mencakup prinsip-prinsip berikut:
1) Dibalik makna belajar: Hal ini mengacu pada konsep bangunan informasi dan
pemahaman oleh siswa, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
2) Kebersamaan mahasiswa : Setiap siswa berbeda, dan oleh karena itu pengajaran
dan pembelajaran Proses harus memenuhi kebutuhan individu setiap siswa.
3) Belajar berdasarakan pengalaman : Proses ini memberikan siswa dengan
pengalaman kehidupan nyata yang berhubungan dengan pengetahuan yang sudah
mereka peroleh.
4) Pengembangan sosial, kognitif , dan keterampilan emosional : ini menempatka n
penekanan terhadap interaksi dan komunikasi selama proses pembelajaran.
5) Pengembangan rasa ingin tahu, imajinasi kreatif, dan kualitas percaya kepada
Tuhan: Itu Proses memfasilitasi siswa meningkatkan rasa ingin tahu dan imajinas i
mereka. Proses ini juga menciptakan kesadaran dimensi Ilahi.
6) Belajar sepanjang hayat: Proses ini memasok siswa dengan keterampilan belajar
yang meliputi diri kepercayaan diri, rasa ingin tahu, kemampuan untuk memaha mi
orang lain, dan untuk berkomunikasi dan bekerja sama.
7) Kemandirian dan saling ketergantungan: Ini berarti bahwa proses mengembangka n
semangat kompetisi dalam kebersamaan.
HAMBATAN PELAKSANAAN
Menurut Bjork (2003), tiga alasan diidentifikasi membenarkan guru yang tidak cukup
tanggapan. Pertama, budaya layanan sipil telah mencegah guru menjadi individu yang bebas yang
mampu aktif, kreatif, dan inovatif. Budaya layanan sipil penuh dengan nilai kesetiaan, ketaatan,
tanggung jawab, kerja sama, dan sejenisnya. Bjork (2003, p.205) dengan jelas menyatakan bahwa
guru Indonesia cenderung menghargai keamanan pekerjaan mereka lebih dari kesempatan untuk
mempengaruhi kebijakan sekolah atau membuat perbedaan kehidupan para siswa mereka. Lalu,
ada kekurangan penghargaan dan insentif bagi guru yang baru atau meningkat tanggung jawa
hubungan pusat-lokal masih pada titik yang lebih terpusat pada kontinum. Walaupun pejabat
otoritas pendidikan pusat menyatakan komitmen mereka untuk memberdayakan otoritas lokal
orang, mereka gagal menyediakan sarana dan bantuan yang cukup untuk mendukung komitme n
mereka, hubungan pusat-lokal masih pada titik yang lebih terpusat pada kontinum. Walaupun
pejabat otoritas pendidikan pusat menyatakan komitmen mereka untuk memberdayakan otoritas
lokal orang, mereka gagal menyediakan sarana dan bantuan yang cukup untuk mendukung
komitmen mereka.
KESIMPULAN
Sistem pendidikan Indonesia telah mengalami perubahan radikal. Perubahan ini, dipicu oleh situasi
sosio-politik baru-baru ini, mencakup setidaknya tiga aspek utama pendidikan. Pertama, telah ada
redefinisi dari tujuan pendidikan nasional, yang menempatkan tambahan penekanan pada
pentingnya mencapai warga untuk hidup dalam demokrasi. Kedua, sekolah pendekatan
manajemen telah berubah dari manajemen sentralis ke desentralisasi. Pergeseran ini harus terjadi
mengkristal ke dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Ketiga, sudah ada pergeseran paradigma dalam hal kurikulum sekolah dengan
memperkenalkan Kurikulum 2004, yang dikonseptualisasikan dalam hal:
1) Dalam rangka keterlibatan masyarakat dalam pendidikan, sosialisasi setiap kebijakan dan
inisiatif yang diambil harus sepenuhnya dilaksanakan. Orang tidak bisa ditingga lka n
seolah-olah mereka bukan salah satu pemangku kepentingan pendidikan dan sekolah-
sekolah. Ini perlu diikuti program pemberdayaan pemangku kepentingan utama, khususnya
orang tua.
2) Kepemimpinan di setiap tingkat pendidikan perlu dikembangkan secara kuat sebagai
literatur (Fullan, 1999; Leithwood, Jantzi, & Steinbach, 1999; MacBeath, 1998)
menyarankan apa yang diperlukan pada saat perubahan yang cepat adalah kepemimp ina n
efektif yang memandu dan memberikan arahan.
3) Budaya pegawai negeri sipil guru perlu diubah menjadi budaya profesional. Guru perlu
melihat pekerjaan mereka sebagai profesi dengan tanggung jawab tertentu dan imbalan
yang cukup. Rencana Pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Profesionalis me
Guru pada tahun 2005 (Rancangan Undang-Undang Guru) merupakan langkah yang tepat
untuk mengambil dan diharapkan untuk menciptakan akhirnya budaya profesional guru
(Lie, 2005).
4) Pertumbuhan profesional perlu menjadi bagian integral dari reformasi dan dipupuk dalam
makna dan cara yang disengaja.
5) 20 persen atau lebih dari anggaran negara perlu dialokasikan untuk pendidikan seperti yang
direkomendasikan oleh konstitusi untuk menyediakan dana yang cukup untuk proses
pendidikan. Peningkatan anggaran diperlukan juga untuk mengurangi tingkat yang parah
korupsi dalam pendidikan, yang terjadi di setiap tingkat birokrasi, termasuk sekolah-
sekolah (Irawan, Eriyanto, Djani, & Sunaryanto, 2004).
Akhirnya, banyak penelitian tentang setiap aspek pendidikan di Indonesia perlu dilakukan
sebagai bagian dari keseluruhan agenda reformasi untuk menilai dan mengevaluasi pelaksanaan
reformasi. Studi kasus harus diterima sebagai yang paling luas pendekatan yang digunakan karena
mereka mampu mengatasi masalah individu dari setiap aspek yang dipelajari.
Keunggulan
2. Hasil penelitian yang digunakan oleh penulis / pengarang sulit untuk dipahami tujuannya
oleh pembaca.
Bahasa yang digunakan terlalu terbelit-belit sehingga sulit untuk dipahami. Seharusnya
menggunakan kata-kata yang mudah untuk dipahami.