Anda di halaman 1dari 128

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007 1

SUSUNAN PENGURUS
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia

Pelindung
Dewan Gubernur Bank Indonesia

Dewan Editor
Prof. Dr. Anwar Nasution
Prof. Dr. Miranda S. Goeltom
Prof. Dr. Insukindro
Prof. Dr. Iwan Jaya Azis
Prof. Iftekhar Hasan
Dr. M. Syamsuddin
Dr. Perry Warjiyo
Dr. Halim Alamsyah
Dr. Iskandar Simorangkir
Dr. Solikin M. Juhro
Dr. Haris Munandar
Dr. Andi M. Alfian Parewangi

Pimpinan Editorial
Dr. Perry Warjiyo
Dr. Iskandar Simorangkir

Direktur Eksekutif
Dr. Andi M. Alfian Parewangi

Sekretariat
Toto Zurianto, MBA
MS. Artiningsih, MBA

Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi


dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan
dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan
merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini


paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : paper.bemp@gmail.com

Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan
Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi
Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,
Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:
telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: tsubandoro@bi.go.id.
BULETIN EKONOMI MONETER
DAN PERBANKAN

Volume 13, Nomor 4, April 2011

Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran


Triwulan I - 2011
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia 369

Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan


Produk Tekstil Indonesia
Iwan Hermawan 373

Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi
Threshold Model
Rizki E. Wimanda 409

Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang


Haryo Kuncoro 433

Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
Akhis R. Hutabarat 455
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2011 369

ANALISIS TRIWULANAN:
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,
Triwulan I - 2011

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 April 2011 memutuskan untuk
mempertahankan BI Rate sebesar 6,75%. Keputusan ini tidak mengubah arah kebijakan moneter
Bank Indonesia yang cenderung ketat sebagai upaya untuk pengendalian tekanan inflasi yang
masih tinggi, di tengah upaya Pemerintah menurunkan tekanan inflasi dari kelompok volatile
foods. Dewan Gubernur memandang bahwa penguatan nilai tukar Rupiah sejauh ini dapat
menurunkan tekanan inflasi, khususnya yang berasal dari kenaikan harga komoditi internasional
(imported inflation). Selain itu, untuk meminimalkan dampak negatif aliran modal asing jangka
pendek terhadap stabilitas moneter dan sistem keuangan, Dewan Gubernur juga memutuskan
untuk menggantikan ketentuan one-month holding period terhadap SBI menjadi six-month
holding period mulai berlaku 13 Mei 2011. Ke depan, Bank Indonesia menilai masih terbuka
ruang penyesuaian level BI Rate untuk meredam tekanan inflasi lebih lanjut. Bank Indonesia
meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut, serta
didukung pula dengan penguatan koordinasi kebijakan Pemerintah, akan mampu untuk menjaga
stabilitas makro dan membawa inflasi pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 5%±1% pada tahun
2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012.

Dewan Gubernur memandang bahwa pemulihan ekonomi global ke depan lebih baik
sebagaimana terlihat dari penyesuaian ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh
berbagai lembaga internasional. Optimisme global yang membaik ini akan berdampak pada
volume perdagangan dunia yang juga meningkat. Hal tersebut akan berpengaruh positif
terhadap permintaan terhadap produk ekspor sehingga turut mendorong pertumbuhan ekonomi
domestik. Namun, proses pemulihan ekonomi global ini masih menghadapi risiko ketidakpastian
terkait krisis utang yang melanda sejumlah negara di Eropa dan potensi gangguan proses
produksi pascagempa di Jepang. Selain itu, kenaikan harga minyak dan komoditi pangan dunia
diperkirakan masih berlanjut sehingga memberikan tekanan inflasi di banyak negara maju dan
emerging economies, termasuk Indonesia.

Di sisi domestik, Dewan Gubernur berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia


diprakirakan meningkat sebesar 6,0-6,5% pada tahun 2011 dan 6,1-6,6% pada tahun 2012.
370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin berimbang
seiring dengan kinerja investasi yang terus meningkat dan kinerja ekspor yang masih tetap
solid. Pada triwulan II-2011, pertumbuhan ekonomi diprakirakan tumbuh cukup tinggi yaitu
sebesar 6,4%. Peran investasi untuk penambahan kapasitas perekonomian, terutama melalui
PMA, diperkirakan akan meningkat sejalan dengan masih kuatnya permintaan, baik dari
domestik maupun eksternal, serta membaiknya sovereign credit rating. Secara sektoral, seluruh
sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh tinggi, dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor
transportasi & komunikasi, sektor perdagangan, hotel & restoran, dan sektor bangunan.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia diperkirakan masih akan mencatat surplus yang
cukup besar pada 2011. Surplus tersebut berasal baik dari transaksi berjalan maupun transaksi
modal dan finansial. Ekspor diprakirakan masih akan tumbuh cukup tinggi. Aliran masuk modal
asing dalam bentuk portofolio diperkirakan masih akan tetap besar, sedangkan investasi asing
langsung (PMA) diperkirakan meningkat. Dengan perkembangan sampai dengan akhir Maret
2011, cadangan devisa tercatat sebesar 105,7 miliar dolar AS atau setara dengan 6,3 bulan
impor dan pembayaran utang luar negeri.

Tren penguatan nilai tukar Rupiah terus berlanjut pada Maret 2011. Di samping sejalan
dengan kinerja NPI yang mencatat surplus yang besar dan positifnya persepsi investor asing
terhadap kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, penguatan Rupiah juga sebagai bagian
dari respons kebijakan Bank Indonesia untuk pengendalian tekanan inflasi, khususnya yang
berasal dari kenaikan harga komoditi internasional (imported inflation). Hingga akhir bulan
Maret 2011 nilai tukar Rupiah menguat sebesar 3,47% (ptp) menjadi Rp8.708 per dolar AS.
Apresiasi Rupiah sejauh ini belum mempengaruhi daya saing Indonesia dari sisi nilai tukar,
antara lain tercermin dari kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang terus menunjukkan
peningkatan yang relatif tinggi.

Di sisi harga, meskipun inflasi sudah menunjukkan kecenderungan menurun, risiko


tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih cukup tinggi. Inflasi IHK pada bulan Maret 2011
mencapai 6,65% (yoy) atau deflasi 0,32% (mtm) seiring dengan koreksi inflasi bahan pangan.
Meskipun masih relatif tinggi, tekanan inflasi dari kelompok volatile foods menunjukkan
kecenderungan yang menurun sejalan dengan langkah-langkah Pemerintah untuk memperkuat
pangan nasional. Sementara inflasi administered prices cukup moderat terkait dengan
minimalnya kebijakan penyesuaian harga oleh Pemerintah. Namun, inflasi inti menunjukkan
tren meningkat, tercatat sebesar 4,45% (yoy) atau 0,25% (mtm) pada Maret 2011, sebagai
dampak rambatan dari tingginya harga pangan dan meningkatnya ekspektasi inflasi. Ke depan,
risiko tekanan inflasi diperkirakan masih cukup tinggi, dipengaruhi oleh meningkatnya harga
komoditi internasional, kuatnya permintaan domestik, dan tingginya ekspektasi inflasi. Bank
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2011 371

Indonesia akan terus mewaspadai risiko tekanan inflasi tersebut dan memperkuat bauran
kebijakan moneter dan makroprudensial untuk mengendalikan inflasi ke sasaran yang telah
ditetapkan.

Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya fungsi
intermediasi perbankan dan likuiditas perbankan yang terkendali. Industri perbankan cukup
stabil ditandai oleh terjaganya kondisi permodalan dan likuiditas sebagaimana tercermin pada
tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) pada level 18% dan terjaganya
rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Intermediasi perbankan
juga semakin membaik tercermin dari pertumbuhan kredit yang terus meningkat, yakni pada
Maret 2011 mencapai 25,1% (yoy), ditopang oleh pertumbuhan pada seluruh jenis kredit
termasuk kredit kepada UMKM.
372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

halaman ini sengaja dikosongkan


Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 373
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI TERHADAP


PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN
PRODUK TEKSTIL INDONESIA

Iwan Hermawan, SP. MSi 1

Abstract

Textile and textile»s product play an important role in the Indonesian economy. During the last five
years, however, share of these industries and commodities to gross domestic product tend to decrease.
The objectives of this study are to analyze factors affecting Indonesian textile and textile»s product, and
the prospect of Indonesian textile and textile»s product in the future. Results of the study show that
domestic textile production was affected by world cotton price and wage rate, while the domestic garment
production was affected by wage rate in the garment sector. Indonesia»s textile export to world market
was influenced by domestic textile price, and Indonesia»s export garment was influenced by exchange
rate (Rp/US$). Indonesian textile demand was affected by wage rate and domestic garment demand was
affected by income per capita of Indonesia. In general, the prospect of Indonesian textile and textile»s
product seems not too good. In fact, Indonesian textile and textile»s product had depended on high
import cotton, investment, and exchange rate. So why, economy policies are still needed to accelerate
Indonesian textile and textile»s product development.

JEL Classification Number: C53, E60, F43, and F4.


Keyword: export, open economy, forecasting, simulation, textile and textile»s product.

1 Calon Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, P3DI, Setjen DPR RI. Alamat email: iwan.h@hotmail.com
374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

I. PENDAHULUAN
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menawarkan kesempatan yang penting bagi suatu
negara untuk memulai industrialisasi ekonominya. Industri ini memainkan peranan penting
dalam meningkatkan orientasi ekspor di negara-negara Asia, seperti Hong Kong, Singapura,
Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Cina, Indonesia, Thailand, dan Vietnam.2 Selain itu jumlah
penduduk negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang mencapai sekitar 597
juta orang3 dan penerapan ASEAN single window (ASW) dengan bea masuk 0 persen (kecuali
negara Laos, Kamboja, dan Myanmar menerapkan free duty pada tahun 2012) menjadi peluang
besar bagi pasar TPT (Sunarno, 2008)4.

Sektor TPT menjadi sektor kunci di negara Pakistan, Vietnam, Thailand, Sri Lanka, dan
Indonesia. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekspor TPT Vietnam mencapai sebesar US$ 11,2
miliar5. Di Indonesia, kinerja TPT juga memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Industri TPT mempunyai kontribusi 2,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) dan 8,01 persen terhadap industri pengolahan pada tahun 2010 (BPS, 2008). Bahkan
komoditas ekspor non migas yang memberikan kontribusi terbesar selama lebih dari 20 tahun
terakhir adalah TPT. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pada awal
pengembangan industri ini.

Industri TPT6 juga penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada tahun
2009, industri TPT berkontribusi sebesar 12,72 persen dalam perolehan devisa terhadap ekspor
hasil industri tidak termasuk minyak dan gas (migas) dan sebesar 9,58 persen terhadap total
ekspor non migas, meskipun 85 persen bahan baku berupa kapas masih diimpor. Nilai tersebut
meningkat tajam dari hanya sebesar US$ 559 juta pada tahun 1985 (BPS, 2010). Selain
mempunyai kontribusi yang besar di dalam PDB dan devisa, industri ini juga menyerap banyak
tenaga kerja, baik yang bekerja secara langsung ataupun tidak langsung.

Arti penting TPT dapat dilihat dari perannya sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia
selain pangan dan papan. Oleh karena itu, konsumsi sandang akan cenderung meningkat
seiring dengan laju pertumbuhan penduduk (Grafik 1). Potensi pasar Indonesia untuk komoditas
TPT relatif besar sebab kebutuhan kain masyarakat perkotaan tidak hanya berupa pakaian, tapi

2 UNCTAD
UNCTAD. TNCs and the Removal of Textiles and Clothing Quotas. Geneva: United Nations Conference on Trade and Development,
2005, hal 3.
3 PRB. World Population Data Sheet 2009. Washington DC: Population Reference Bureau and USAID, 2009, hal. 8.
4 Susanna Sunarno. ASEAN, Basis Produksi TPT Dunia. IndonesianTextile.com. Serial Online. 2008. http://indonesia textile.com/
index.php?option=com_content&task=view&id=73&Itemid=50. Diakses tanggal 17 Maret 2010.
5 VBN. Vietnam Textile and Garment Export Cross $ 11.2 Biliion in 2010. Vitenam Business News. SerialOnline, 2011. http://
vietnambusiness.asia/vietnam-textile-and-garment-exports-cross-11-2b-in-2010/. Diakses tanggal 10 Januari 2011
6 Ekspor hasil industri pakaian jadi dan tekstil lainnya.
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 375
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

kg/Kapita Juta Orang


4,6 240,0
Konsumsi TPT
235,0
4,4 Jumlah Penduduk
230,0
4,2 225,0
220,0
4,0
215,0
3,8 210,0
205,0
3,6
200,0
3,4 195,0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sumber : Sunarno, 2008 dan IMF, 2011.
Keterangan : Permintaan TPT per kapita tahun 2009 dan 2010 adalah angka perkiraan.

Grafik 1. Perkembangan Konsumsi TPT Per


Kapita dan Jumlah Penduduk di Indonesia
Tahun 2002-2010

juga kebutuhan non pakaian. Pada tahun 2005 konsumsi TPT Indonesia menurun secara
signifikan dibandingkan tahun 2004. Hal ini karena pada tanggal 1 Januari 2005, sistem kuota
dicabut dan disesuaikan dengan ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Kesepakatan tersebut dimulai dari Putaran Uruguay tanggal 15 April 1994 di Marakesh yang
menghasilkan Agreement on Textile and Clothing (ATC) terhadap menetapkan sistem kuota
impor.

Di sisi lain perubahan sistem kuota tersebut akan berdampak positif bagi perkembangan
industri TPT melalui perdagangan yang lebih adil dan menandai era baru perdagangan TPT
dunia. Sistem kuota TPT yang bersifat diskriminasi dihapuskan dan market share TPT semakin
besar melalui persaingan internasional serta peluang pengembangan industri TPT akan semakin
besar. Indonesia adalah salah satu di antara negara-negara produsen TPT terbesar di dunia.
Pada tahun 2000 ekspor TPT Indonesia mencapai sebesar US$ 8,2 miliar (Rp. 74,9 triliun) dan
menduduki ranking 10 di antara negara produsen TPT dunia. Tahun 2003, ekspor TPT Indonesia
hanya mencapai US$ 7,03 miliar, hal ini membuat posisi ranking menurun menjadi 17. Namun
pada tahun 2004, sektor ini mampu menaikan perolehan devisa sebesar US$ 7,6 miliar. Menurut
Thuborn, 20108 pada tahun 2007 secara keseluruhan nilai ekspor TPT Indonesia sebesar US$
9,73 miliar, dimana menduduki ranking 12 untuk ekspor tekstil dan ranking 8 untuk ekspor
garmen.

7 Susanna Sunarno. Amankan Pasar Dalam Negeri. www.indonesiatextile.com. Serial Online, 2008. http://indonesiatextile. com/
index.php?option=com_content&task=view&id=76&Itemid=50, Diakses Tanggal 17 Maret 2010.
8 John Thoburn. The Impact of World Recession on the Textile and Garment Industries of Asia. Working Paper No. 17. Vienna: United
Nations Industrial Development Organization, 2010, hal. 31.
376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Gambaran di atas mengindikasikan bahwa industri TPT Indonesia mempunyai potensi


dan peluang perkembangan yang cukup baik. Hal ini didukung oleh kemampuan industri TPT
dalam memberikan kontribusi terhadap PDB, perolehan devisa. dan sekaligus penyerapan tenaga
kerja. Selain itu industri TPT mempunyai peluang yang besar, dimana permintaan TPT akan
meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Namun demikian, potensi dan peluang
perkembangan industri TPT tersebut bukan tanpa kendala. Kendala-kendala yang dihadapi
industri TPT dikhawatirkan dapat mengganggu atau menurunkan kontribusinya terhadap
pembangunan ekonomi Indonesia.

Globalisasi yang ditandai dengan berakhirnya sistem kuota tahun 2005 telah mendorong
perdagangan TPT dunia semakin terbuka dan mengubah peta pasar dari sisi supply manajemen
importir. Perubahan perdagangan TPT dunia menimbulkan peluang dan ancaman bagi industri
TPT Indonesia. Peluang yang muncul adalah pangsa pasar negara-negara yang selama ini
terlindungi oleh sistem kuota akan menjadi terbuka. Sedangkan ancaman industri TPT Indonesia
adalah kompetisi yang ketat antar negara-negara produsen TPT di dunia, seperti Cina, India,
Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Isu-isu non tarrif barrier, seperti transshipment dan dumping
ikut mempengaruhi arus penetrasi perdagangan TPT dari negara berkembang ke negara maju.

Sementara persaingan di pasar dunia semakin meningkat, kondisi industri TPT di dalam
negeri justru relatif memprihatinkan. Salah satu keadaan yang memperburuk prospek
perkembangan industri TPT di Indonesia adalah iklim investasi yang sangat tidak kondusif.
Padahal industri TPT sangat membutuhkan investasi yang besar untuk merevitalisasi mesin-
mesin maupun teknologi yang sudah tua. Iklim investasi yang tidak kondusif disebabkan antara
lain, belum adanya kepastian hukum, meluasnya korupsi, birokrasi yang berbelit-belit masalah
tenaga kerja, dan perpajakan.

Pada tahun 1997 krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Timur, termasuk
Indonesia, mengakibatkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi. Hal ini seharusnya membuat produk
TPT Indonesia lebih kompetitif bagi konsumen luar negeri, karena harga TPT Indonesia menjadi
lebih murah. Namun kenyataannya nilai ekspor TPT menurun hingga US$ 1,3 miliar pada tahun
1997 (CIC, 2001).

Dengan berbagai permasalahan tersebut di atas, apakah industri TPT masih mampu
bertahan atau berkembang? Oleh sebab itu adalah penting untuk menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhinya serta prospek industri TPT Indonesia di masa depan. Tujuan penelitian
ini adalah untuk: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya perkembangan industri
TPT Indonesia, dan (2) menganalisis prospek perkembangan industri TPT Indonesia di masa
mendatang. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyusunan kebijakan
yang mampu mendukung perkembangan industri TPT Indonesia.
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 377
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

Bagian kedua dari paper ini akan mengulas teori dan tinjauan empiris industri tekstil,
bagian ketiga mengulas metodologi penelitian yang digunakan, sementara hasil dan analisis
akan diuraikan pada bagian keempat. Kesimpulan menjadi bagian penutup.

II. TEORI
2.1. Teori Keseimbangan Umum Perdagangan
Pada dasarnya beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional
suatu negara dengan negara lainnya bersumber dari keinginan untuk memperluas pemasaran
komoditas ekspor, memperbesar devisa bagi kegiatan pembangunan, perbedaan penawaran
dan permintaan antar negara, serta akibat perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan
komoditas tertentu (Gonarsyah, 1987).

Pada Grafik 2 dijelaskan bagaimana perdagangan dapat terjadi antara dua negara
(Indonesia dan Cina) dan antara dua komoditas (garmen dan beras). Perdagangan terjadi karena
adanya perbedaan slope yang menunjukkan rasio harga relatif antara beras dan garmen. Asumsi
yang digunakan meliputi, yaitu hanya ada dua negara yang melakukan perdagangan, constant
opportunity costs dan masing-masing negara berusaha mencapai tingkat kesejahteraan yang
paling tinggi (titik tangen antara kurva indiferen dan garis barter).

Impor Garmen
Beras 240 B
B
200 Ekspor Beras
N
150
M
i2
120
W Ekspor Garmen K
T R i1
100
60 P i4 G
i3
i1 i2 G B
Impor Beras
B G L
D S 0
0 4045 80 120 Garmen
40 55 100 Garmen

a. Indonesia b. Cina

Grafik 2.
Keseimbangan Umum Perdagangan

Sumber: Dunn and Mutti, 2004.


Keterangan: SB dan SL adalah garis barter; titik T dan M adalah titik dimana rasio harga sama dengan marginal rate of substitution; dan i1-i4 adalah kurva
indiferen.
378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Sebelum perdagangan terjadi (autarki), rasio pertukaran domestik adalah berbeda pada
dua negara tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya perbedaan comparative advantage,
dimana garmen relatif lebih murah di Indonesia daripada di Cina. Ketika perdagangan dimulai
antara dua negara, rasio pertukaran internasional (term of trade) mendasari antara dua rasio
domestik, misalkan 1 garmen:1 beras dan 1 garmen:3 beras. Rasio pertukaran internasional
tersebut akan berimbang tergantung pada willingness setiap negara untuk menawarkan
komoditas ekspornya dan membeli impor pada harga relatif.

Pada posisi keseimbangan akhir, Indonesia akan memproduksi pada titik S dan
mengkonsumsi pada titik T. Dimana Indonesia memproduksi garmen sebesar OS (100 juta
ton), konsumsi dalam negeri sebesar OD (55 juta ton), dan ekspor sebesar SD (45 juta ton)
yang akan ditukar dengan impor beras sebesar DT (90 juta ton). Segitiga TRS adalah segitga
perdagangan. TR merepresentasikan ekspor dari garmen, RS merepresentasikan impor dari
beras, dan slope TS merepresentasikan harga relatif garmen. Manfaat perdagangan juga akan
diperoleh oleh Cina dari mengimpor garmen dan mengekspor beras, dimana gain perdagangan
secara total dapat dilihat pada Tabel 1. Jadi tanpa perdagangan, konsumsi beras Cina hanya
sebesar 120 juta ton dan garmen sebesar 40 juta ton. Setelah melakukan perdagangan dengan
Indonesia, ekspor beras Cina meningkatkan sebesar NB (90 juta ton) dan impor garmen Cina
meningkat sebesar NM (45 juta ton).

Tabel 1.
Produksi dan Konsumsi Sebelum dan Sesudah Melakukan Perdagangan
Beras Garmen
Negara/
Wilayah Produksi Ekspor Impor Konsumsi Produksi Ekspor Impor Konsumsi
(1) (2) (3) (4) = (1)-(2)+(3) (1) (2) (3) (4) = (1)-(2)+(3)
Sebelum Perdagangan

Cina 120 - - 120 40 - - 40


Indonesia 60 - - 60 40 - - 40
Dunia 180 - - 180 80 - - 80
Setelah Perdagangan

Cina 240 90 0 150 0 0 45 45


Indonesia 0 0 90 90 100 45 0 55
Dunia 240 240 100 100
Gain dari Perdagangan

Cina +30 +5
Indonesia +30 +15
Dunia +60 +20

Sumber: Dunn and Mutti, 2004.


Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 379
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

2.2. Konstruksi Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia


Berdasarkan teori perusahaan, permintaan input diturunkan dari fungsi produksi setiap
perusahaan dengan asumsi produsen memaksimumkan keuntungan dengan kendala teknologi
dan pasar (harga output dan input) (Varian, 1978 dalam Sinaga, 1989). Asumsi lainnya bahwa
setiap perusahaan menghadapi pasar persaingan sempurna, baik pada pasar input maupun
output, sehingga setiap perusahaan adalah price taker.

Penurunan permintaan input dan penawaran output tersebut membutuhkan syarat First
Order Necessary Condition (FONC) dan Second Order Sufficient Condition (SOSC) dalam
memaksimisasi keuntungan (Henderson dan Quandt, 1980). Diasumsikan bahwa fungsi produksi
dapat diturunkan (twice differentiable), permintaan perusahaan terhadap input tertentu
mensyaratkan kondisi produktivitas input (produk marginal) senilai dengan harganya. Komoditas
tekstil sebagai derived demand dari komoditas garmen. Oleh sebab itu peubah-peubah yang
terkandung di dalam persamaan permintaan tekstil domestik tampak berbeda dengan
permintaan final goods seperti pada umumnya.

Dalam penelitian ini, juga diasumsikan bahwa hanya terdapat satu jenis tekstil dan garmen
yang diperdagangkan. Oleh sebab itu tekstil dan garmen dianggap sebagai komoditas yang
kemudian dikonversi dalam satuan berat yang sama (ton). Faktor konversi tersebut menggunakan
perhitungan umum yang diaplikasikan oleh API. Sedangkan peubah harga komposit tekstil
dan garmen di dalam negeri berdasarkan data yang diterbitkan oleh API dan peubah harga
komposit tekstil dan garmen di luar negeri menggunakan proksi dari harga ekspor tekstil dan
garmen dunia.

Selain itu, Indonesia adalah termasuk negara kecil yang terbuka (small open economy).
Kategori negara kecil atau besar didasarkan pada perilaku ekonominya, dimana Indonesia tidak
dapat mempengaruhi harga dunia atau peubah harga dunia sebagai peubah eksogenus (Krantz,
2006). Menurut Houck, 1986 bahwa negara impotir kecil menghadapi excess supply yang
datar dan tidak mampu mempengaruhi harga dunia. Oleh sebab itu asumsi yang digunakan
adalah negara kecil berperilaku sebagai

price taker, baik di pasar input maupun pasar output. Selain itu biaya transportasi adalah
nol serta tidak ada hambatan perdagangan. Kondisi ini dikonstruksikan di dalam model dengan
memposisikan peubah harga tekstil dan garmen dunia sebagai peubah eksogen pada persamaan
produksi, ekspor, dan impor tekstil dan garmen domestik.

Hubungan ekonomi antara peubah dalam model diformulasikan berdasarkan teori


ekonomi mikro, teori ekonomi makro, teori perdagangan internasional, dan hasil-hasil penelitian
yang terkait. Tanda parameter dugaan menjadi bentuk lain dari hipotesis yang ditindaklanjuti
380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Blok Tekstil Indonesia Blok Garmen Indonesia


1. Produksi 1. Produksi
2. Penawaran 2. Penawaran
3. Permintaan 3. Permintaan
4. Ekspor 4. Ekspor
5. Impor 5. Impor
6. Harga Indonesia 6. Harga Indonesia

Blok Tekstil Dunia Blok Garmen Dunia


1. Harga Dunia 1. Harga Dunia
2. Ekspor Dunia 2. Ekspor Dunia
3. Impor Dunia 3. Impor Dunia
4. Ekspor Jerman 4. Ekspor Jerman
5. Ekspor USA 5. Ekspor Cina
6. Ekspor Cina 6. Ekspor Turki
7. Impor Italia 7. Impor Jerman
8. Impor USA 8. Impor USA
9. Impor Cina 9. Impor Jepang

Gambar 1.
Keterkaitan Antar Blok dalam Model Ekonomi Tekstil dan
Produk Tekstil Indonesia

sebagai landasan untuk menentukan metode analisis dan olah data yang sesuai. Keterkaitan
antara industri TPT Indonesia dan dunia merupakan alasan model ini dikonstruksi dengan model
dinamis dalam bentuk persamaan simultan (simultaneous equation). Sifat dinamis dari aspek
penawaran, permintaan, harga di domestik, maupun harga dunia juga diakomodasikan dengan
cara memasukkan peubah-peubah tahun sebelumnya ke dalam model. Pada Gambar 3 disajikan
secara sederhana hubungan antara peubah endogen dan eksogen dalam blok pasar tekstil dan
garmen di Indonesia dan dunia. Persamaan-persamaan tersebut dibagi dalam empat blok,
yaitu (1) blok pasar tekstil Indonesia, (2) blok pasar garmen Indonesia, (3) blok pasar tekstil
dunia, dan (4) blok pasar garmen dunia.

Sedangkan berdasarkan keterkaitan antar peubah dalam blok, maka disusun persamaan-
persamaan yang terdiri dari peubah-peubah endogen dan eksogen. Penentuan peubah-peubah
tersebut didasarkan pada kerangka teoritis, studi empiris, dan juga kondisi di lapangan. Peubah-
peubah yang dipilih merupakan peubah yang dianggap berpengaruh dan terutama disesuaikan
dengan ketersediaan data. Industri TPT terdiri dari sub sektor serat, benang, kain, pakaian jadi,
dan tekstil lainnya. Tidak semua sub sektor tersebut akan dijelaskan secara eksplisit dalam
model ekonomi. Sub sektor serat, benang, dan kain akan dimasukkan ke dalam kelompok
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 381
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

tekstil, sedangkan pakaian jadi dan tekstil lainnya dimasukkan kelompok garmen. Alasan
pengelompokan ini dilakukan karena sangat berkaitan dengan ketersediaan data. Model
operasional yang dikembangkan dalam penelitian ini diupayakan dapat menangkap semua
fenomena ekonomi dalam industri TPT, baik di pasar Indonesia maupun dunia. Model operasional
terdiri 24 persamaan perilaku dan 6 persamaan identitas. Namun demikian hanya 12 persamaan
perilaku dan 6 persamaan identitas yang dijelaskan lebih lanjut karena keterkaitannya langsung
dengan industri TPT di dalam negeri. Perilaku ekspor tekstil dan garmen Jerman, Amerika Serikat,
dan China Italia, Turki, dan Jepang tidak dijelaskan. Persamaan-persamaan tersebut disajikan
sebagai berikut:

1. Produksi tekstil domestik


PTDt = a0 + a1HTDRt-1 + a2HCWRt-1 + a3(IRRt-IRRt-1) +
a4UTKTRt-1 + a5BBMRt-1 + a6T + a7PTDt-1 + U1 ........................ (1)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:
a1, a6 > 0; a2, a3, a4, a5 < 0 dan 0 < a7 < 1.

2. Ekspor tekstil Indonesia


XTIt = b0 + b1HTWRt+ b2(HTDRt-HTDRt-1) + b3PTDt-1 +
b4ERIRt-1 + b5DKG + b6T + b7XTIt-1 + U2 ................................... (2)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:
b1, b3, b4 > 0; b2 < 0 dan 0 < b5 < 1.

3. Penawaran tekstil domestik


STDt = PTDt + MTIt - XTIt ............................................................................... (3)

4. Permintaan tekstil domestik


DTDt = c0 + c1(HTWRt-1/HTDRt) + c2HGDRt-1 + c3UTKTRt-1 +
c4BBMt-1 + c5(IRRt-IRRt-1) + c6T + c7DTDt-1 + U3 ...................... (4)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:
c1, c2, c3, c4, c5 < 0; c6 > 0 dan 0 < c7 < 1.

5. Impor tekstil Indonesia

MTIt = d0 + d1HMTIRt-1 + d2(HTWRt/HCWRt) + d3TFTt-1 + d4ERIRt-1 +

d5(GDPIRt/GDPIRt-1) + d6POPIt-1 + d7T + d8MTIt-1 + U4 ............ (5)


382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:


d1, d2, d3, d4, d7 < 0; d5, d6 > 0, dan 0 < d8 < 1.

6. Harga tekstil domestik

HTDRt = e0 + e1STDt-1 + e2(HGDRt-HGDRt-1) +

e3(HTWRt-1/HCWRt-1) + e4HTDRt-1 + U5 .................................. (6)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

e1 < 0; e2, e3 > 0 dan 0 < e4 < 1.

7. Harga tekstil dunia

HTWRt = f0 + f1XTWt + f2MTWt-1 + f3HTWRt-1 + U6 ..................................... (7)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

f1 < 0; f2 > 0 dan 0 < f3 < 1.

8. Ekspor tekstil dunia

XTWt = XTIt + XTGt + XTAt + XTCt + XTRt ................................................. (8)

9. Impor tekstil dunia

MTWt = MTIt + MTLt + MTAt + MTCt + MTRt ............................................. (9)

10. Produksi garmen domestik

PGDt = g0 + g1(HGWRt-1/HGDRt-1) + g2(HTDRt-HTDRt-1) + g3HCWRt-1 +

g4(IRRt-IRRt-1) + g5UTKGRt-1 + g6BBMRt +

g7T + g8PGDt-1 + U7 ...................................................................... (10)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

g1, g7 > 0; g2, g3, g4, g5, g6 < 0 dan 0 < g8 < 1.

11. Ekspor garmen Indonesia

XGIt = h0 + h1HGWRt + h2(HTWRt/HGDRt-1) + h3PGDt +

h4ERIRt-1 + h5DKG + h6T + h7XGIt-1 + U8 .................................. ....... (11)


Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 383
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:


h2, h5 < 0, h1, h3, h4, h6 > 0 dan 0 < h7 < 1.

12. Penawaran garmen domestik


SGDt = PGDt + MGIt - XGIt ........................................................................... (12)

13. Permintaan garmen domestik


DGDt = i0 + i1(HGWRt/HTWRt-1) + i2(HGDRt*ERIRt) +
i3(GDPIRt/POPIt) + i4(MGIt-MGBt-1) + i5DGDt-1 + U9 .............. (13)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:
i1, i2, i4 < 0; i3 > 0 dan 0 < i5 < 1.

14. Impor garmen Indonesia


MGIt = j0 + j1HMGIRt + j2(HGWRt-HGWRt-1) + j3TFGt + j4PGDt-1 +
j5ERIRt + j6(GDPIRt/POPIt) + j7MGIt-1 + U10 ............................ (14)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:
j1, j2, j3, j4, j5 < 0; j6 > 0 dan 0 < j7 < 1.

15. Harga garmen domestik


HGDRt = k0 + k1(DGDt/DGDt-1) + k2(HTWRt-HTWRt-1) +
k3(HTWRt-HTWRt-1) + k4(HGWRt-1/HTWRt) + k5T
k6HGDRt-1 + U11 ............................................................................. (15)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:
k1, k2, k3, k4 > 0; k5 < 0 dan 0 < k6 < 1.

16. Harga garmen dunia

HGWRt = l0 + l1XGWt + l2MGWt-1 + l3HGWRt-1 + U12 .º........................... (16)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:


l1 < 0; l2 > 0 dan 0 < l3 < 1.

17. Ekspor garmen dunia


XGWt = XGIt + XGGt + XGCt + XGTt + XGRt ............................................ (17)

18. Impor garmen dunia

MGWt = MGIt + MGGt + MGAt + MGJt + MGRt ......................................... (18)


384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

2.3. Tinjauan Empiris Tekstil dan Produk Tekstil


2.3.1 Tinjauan Empiris Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia
Penelitian Pracoyo (1995) berkaitan dengan ekspor industri tekstil yang menggunakan
data time series tahun 1983-1992 dan metode pendugaan Two Stage Least Squares (2SLS).
Pracoyo mengadopsi model permintaan dan penawaran ekspor yang telah dilakukan oleh
Muscatelli, Srinivasan, dan Vines (1992). Hasil adaptasinya bahwa penawaran ekspor tekstil
Indonesia dipengaruhi oleh harga tekstil, biaya bahan baku, upah, tarif, dan teknologi.
Sedangkan dari sisi permintaan ekspor tekstil dipengaruhi oleh harga tekstil, harga tekstil dunia,
harga barang substitusi (harga wool dunia), pendapatan negara lain, dan selera konsumen.
Selain itu disimpulkan bahwa (1) penurunan tarif akan mendorong perdagangan dunia lebih
kompetitif. Pengurangan tarif sebesar 30 persen akan mendorong perdagangan dunia lebih
kompetitif, (2) pemberian upah sebesar 1 persen akan mengurangi kuantitas yang ditawarkan
4,5 persen, hal ini terjadi karena upah termasuk komponen biaya dalam produksi, dan (3)
perubahan teknologi, yang ditunjukkan peubah trend, mendorong produksi tekstil menjadi
lebih efisien.

Penelitian menggunakan metode pendugaan Ordinary Least Squares (OLS) dilakukan


oleh Wintala (1999). Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang pada tahun
1978-1997, bahwa trend volume ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat, Inggris, dan
Jepang adalah positif dan signifikan secara statistik. Devaluasi Rupiah, kenaikan cadangan devisa,
peningkatan jumlah penduduk, dan indeks harga sandang cenderung menaikkan volume ekspor
tekstil Indonesia.

Penelitian Istojo (2002) menganalisis struktur industri TPT Indonesia terhadap World Trade
Organization (WTO) tahun 2005. Metode yang digunakan adalah deskripsi karakteristik industri,
five forces model, driving forces, dan key success factor. Hasil yang diperoleh bahwa
ketergantungan industri TPT adalah tinggi terhadap pemasok dan pembeli serta persaingan
yang ketat antara perusahaan dalam industri TPT Indonesia. Pemberlakuan WTO tahun 2005
menambah persaingan dan perebutan pasar di dalam dan luar negeri. Pemberlakuan WTO
juga akan merubah struktur industri TPT menjadi mass customization yang cenderung pada
non price factor dan secara penuh didukung oleh prinsip quick response dan just in time stock.
Disebutkan pula bahwa perusahaan-perusahaan dalam industri TPT harus dapat melakukan
banyak inovasi manufacture sehingga diferensiasi produk akan meningkat.

Agustineu (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ouput industri tekstil


di Jawa Barat dengan menggunakan model Cobb Douglas tahun 1980-2001. Hasilnya ternyata
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 385
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

modal, bahan baku, dan bahan bakar memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan
output industri tekstil di Jawa Barat. Faktor tenaga kerja memberikan pengaruh yang
berkebalikan dengan faktor-faktor yang pertama disebutkan. Industri tekstil di Jawa Barat berada
pada kondisi increasing return to scale.

2.3.2. Tinjauan Penelitian Tekstil dan Produk Tekstil Dunia


Mlachila dan Yongzheng (2004) menggunakan General Trade Analysis Project (GTAP)
untuk menganalisis berakhirnya kuota tekstil dengan studi kasus di Bangladesh. Terdapat tiga
faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor tekstil dan pakaian jadi Bangladesh pada tahun
1990an, yaitu upah yang rendah, aliran masuk Foreign Direct Investment (FDI), dan kuota yang
diberlakukan di negara pesaing. Bangladesh menghadapi masalah yang serius dengan daya
saing setelah sistem kuota berakhir, karena infrastruktur yang lemah dan berbagai iklim makro
yang tidak mendukung. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ekspor Bangladesh akan menurun
setelah penghapusan kuota dan berpengaruh terhadap Balance of Payment (BOP).

WTO (2004) dengan menggunakan GTAP menjelaskan kondisi industri TPT global setelah
berakhirnya ATC. Cina dan India merupakan negara-negara yang akan mendominasi pasar TPT
Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada setelah sistem kuota berakhir. Bahkan Cina diprediksikan
akan mengambil pangsa pasar TPT dunia hingga 50 persen. Selain itu, spesialisasi vertikal dalam
supply chain TPT adalah sangat penting dan bagi negara-negara yang mempunyai kedekatan
secara geografis akan banyak diuntungkan dengan perjanjian bilateral dan tarif yang lebih
rendah. Temuan yang penting bagi TPT Indonesia adalah perubahan pangsa pasar TPT di pasar
Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di pasar Uni Eropa, setelah kuota berakhir Indonesia akan
mendapatkan kenaikan pangsa pasar sebesar 1 persen (dari 4 persen menjadi 5 persen) untuk
pasar garmen. Sedangkan untuk pasar tekstil, Indonesia mengalami stagnan (dari 3 persen
menjadi 3 persen). Berbeda yang terjadi di pasar Amerika Serikat, tekstil Indonesia akan
mengalami stagnan (dari 3 persen menjadi 3 persen). Penurunan terjadi untuk komoditas garmen
di pasar Amerika Serikat (dari 4 persen menjadi 2 persen).

Dari berbagai telaah penelitian tentang industri TPT yang telah dilakukan, secara umum
memberikan gambaran tentang perkembangan ekspor TPT dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, banyak penelitian
yang melakukan prediksi terhadap perkembangan industri TPT pasca kuota tahun 2005. Namun
demikian, tetap ada bagian yang belum dielaborasi secara mendalam oleh peneliti-peneliti
sebelumnya. Keterkaitan antara pasar Indonesia dan pasar dunia berperan penting dalam
menelaah perkembangan industri TPT Indonesia. Penelitian agregat dan deskriptif industri TPT
386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

cenderung menghasilkan kesimpulan yang tidak spesifik, sedangkan penelitian dengan skala
mikro juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak dapat digeneralisasi. Oleh sebab itu,
pada kesempatan ini dianalisis perkembangan industri TPT secara holistik, baik industri tekstil
dan maupun industri garmen, dengan mengaitkan industri TPT secara simultan melalui peubah-
peubah ekonomi, termasuk kebijakan moneter dan fiskal.

III. METODOLOGI
Alat analisis utama yang digunakan adalah ekonometrika time series, yang berguna untuk
menganalisis faktor-faktor melalui nilai (sign dan size) parameter penduga setiap persamaan
perilaku dan prospek perkembangan industri TPT Indonesia melalui simulasi peramalan. Selain
itu, seluruh persamaan struktural telah mengalami respsesifikasi model secara trial and error
sehingga pada akhirnya diperoleh persamaan-persamaan yang sesuai dengan syarat keharusan
dan kecukupan dalam menyusun persamaan simultan tanpa mengabaikan asumsi-asumsi dasar
persamaan regresi (multikolinearitas, homoskedastisitas, dan autokorelasi).

3.1. Identifikasi Model dan Metode Pendugaan


Menurut order condition, persamaan dapat diidentifikasi jika jumlah peubah yang tercakup
dalam persamaan lebih besar atau sama dengan jumlah seluruh peubah endogen dikurangi
satu. Formula identifikasi model struktural menurut order condition (Koutsoyiannis, 1978) adalah
sebagai berikut:

(K - M) > (G - 1) ............................................................................................. (II.18)

dimana:

K = Total peubah dalam model (peubah endogen dan predetermined).

M = Jumlah peubah endogen dan eksogen dalam satu persamaan.

G = Total persamaan dalam model.

Jika suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi (K - M) > (G - 1) maka


persamaan dinyatakan over identified, jika (K - M) = (G - 1) maka persamaan dinyatakan
exactly identified, dan jika (K - M) < (G - 1) maka persamaan dinyatakan under identified.
Model struktural dalam penelitian ini terdapat 30 persamaan, terdiri dari 24 persamaan perilaku
(behavioral) dan 6 persamaan identitas. Jumlah peubah endogen (G) adalah 24 dan 80 peubah
predeterminan. Jumlah seluruh peubah yang tercakup dalam model (K) adalah 104. Mengikuti
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 387
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

formula identifikasi model dengan kriteria order condition, maka setiap persamaan adalah
over identified.

Jika persamaan dalam model struktural semuanya over identified maka persamaan ini
dapat diduga dengan metode Limited Information Maximum Likelihood (LIML), Full Information
Maximum Likelihood (FIML), Two Stage Least Squares (2SLS) atau Three Stage Least Squares
(3SLS). Metode yang digunakan di dalam penelitian ini untuk menduga parameter dugaan
struktural adalah 2SLS. Metode 2SLS dibentuk dengan asumsi (1) syarat gangguan harus
memenuhi asumsi stokastik dengan nol, varian konstan dan kovarian sama dengan nol, (2)
spesifikasi model struktural adalah tepat sekali sejauh menyangkut peubah predetermined,
(3) jumlah pengamatan sampel adalah lebih besar dari jumlah peubah predetermined dalam
model, dan (4) peubah penjelas tidak mengalami kolinearitas sempurna. Dengan
memperhatikan asumsi tersebut maka DW statistik (Durbin Watson) tidak valid untuk menduga
persamaan struktural dari model persamaan simultan, terutama dengan adanya peubah
endogen bedakala.

Pengolahan data untuk mengestimasi model ekonomi dilakukan dengan menggunakan


program software komputer SAS versi 6.12. Untuk menguji peubah penjelas secara bersama-
sama digunakan uji statistik F, sedangkan untuk menguji peubah penjelas secara individual
digunakan uji statistik t.

Validasi model ekonomi bertujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat
mewakili dunia nyata. Adapun kriteria statistik validasi pendugaan model ekonomi yang
digunakan adalah Root Means Square Error (RMSE), Root Means Square Percent Error (RMSPE),
dan Theil»s Inequality Coefficient»(U-theil).

Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen
hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen).
Sedangkan nilai statistik U-theil untuk mengetahui kemampuan model menganalisis simulasi
peramalan. Nilai U-theil berkisar antara 1 dan 0. Jika U-theil = 0 maka pendugaan model
sempurna, jika U-theil = 1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope)
antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2). Pada
dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-theil dan makin besar nilai koefisien determinasi, maka
pendugaan model semakin baik. Dengan model yang sudah valid,maka simulasi kebijakan
dapat di lakukan.

Kebijakan-kebijakan yang disimulasikan untuk peramalan (ex-ante) tahun 2007-2012


yaitu, penurunan suku bunga bank di Indonesia, penyesuaian nilai tukar Rupiah/US$, kenaikan
biaya produksi industri TPT melalui upah dan harga BBM, kenaikan PDB Indonesia, kenaikan
388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

jumlah penduduk Indonesia, kenaikan PDB Amerika Serikat, kenaikan PDB Cina, dan
penghapusan tarif TPT, serta kombinasinya.

3.2. Sumber dan Jenis Data


Jenis data yang digunakan dalam model ekonometrika adalah data sekunder time
series tahun 1980-2006. Data bersumber dari publikasi resmi, yaitu Asosiasi Pertekstilan Indonesia
(API), Badan Pusat Statistik (BPS), United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD), United Nation (UN), International Monetary Fund (IMF), WTO, Kementrian
Perdagangan, Kementrian Perindustrian, harian terbitan Jakarta, dan internet.

Seluruh data-data yang bersatuan Rupiah dideflasi menggunakan Indeks Harga Konsumen
(IHK) Indonesia tahun 2000 (2000=100) dan peubah yang bersatuan US$ dideflasi menggunakan
proksi IHK Amerika Serikat tahun 2000 (2000=100). Hal ini dilakukan untuk menghilangkan
efek dari inflasi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Struktur Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia
a. Produksi Tekstil Indonesia
Keragaan produksi tekstil Indonesia dapat dijelaskan sebesar 98 oleh lag harga tekstil
Indonesia, lag harga kapas dunia, suku bunga bank, lag upah tenaga kerja tekstil, lag harga
BBM, tren waktu, dan lag produksi tekstil Indonesia. Semua tanda parameter dugaan sesuai
dengan harapan dan secara statistik semua peubah tersebut berpengaruh nyata.

Koefisien parameter dugaan lag harga tekstil Indonesia bertanda positif dan sebesar
0,514. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan lag harga tekstil Indonesia sebesar 10 US$ per
ton, maka produksi tekstil Indonesia akan naik sebesar 5.140 ribu ton, ceteris paribus.
Peningkatan produksi tekstil Indonesia yang searah dengan peningkatan harga tekstil Indonesia
menunjukkan bahwa harga tekstil Indonesia merupakan sinyal ekonomi bagi produsen tekstil
dalam memproduksi tekstil di pasar Indonesia.

Bahan baku utama tekstil adalah serat tekstil dan memiliki keunggulan yang belum dapat
digantikan sepenuhnya oleh bahan baku non kapas. Salah satunya adalah mudah menyerap
keringat atau bersifat higroskopis. Oleh sebab itu perubahan harga kapas dunia mempengaruhi
perubahan produksi tekstil Indonesia. Menurut Istojo (2002) industri tekstil Indonesia sangat
tergantung kepada pemasok dan pembeli. Lebih dari 85 persen kebutuhan kapas untuk industri
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 389
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

tekstil Indonesia diimpor dari Australia, Amerika Serikat, Cina, India, Pakistan, Tanzania, dan
lainnya. Hal ini karena tanaman kapas belum dapat dibudidayakan secara maksimal di dalam
negeri. Di dalam penelitian ini, produksi tekstil Indonesia juga dipengaruhi secara nyata oleh
lag harga kapas dunia dengan arah yang berlawanan. Apabila lag harga kapas dunia meningkat
sebesar 10 US$ per ton, maka akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 354.812
ribu ton, ceteris paribus. Dalam jangka pendek maupun jangka panjang produksi tekstil Indonesia
sangat responsif terhadap lag harga kapas dunia.

Suku bunga bank diproksi dengan suku bunga bank untuk kegiatan investasi. Suku bunga
bank memberikan kontribusi berlawanan arah dengan produksi tekstil Indonesia. Jika suku
bunga bank dinaikkan melalui kebijakan moneter sebesar 1 persen, ceteris paribus, maka
tindakan itu akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 2.410 ribu ton. Keadaan
tersebut menurunkan insentif bagi produsen sehingga mengurangi produksi tekstil Indonesia
sebesar 0,053 persen dalam jangka pendek dan 0,772 persen dalam jangka panjang.

Industri TPT menyerap banyak tenaga kerja sehingga upah tenaga kerja menjadi salah
satu komponen biaya produksi yang penting dalam keberlanjutan proses produksi. Upah tenaga
kerja di sektor industri tekstil berpengaruh nyata terhadap produksi tekstil Indonesia dengan
arah negatif. Jika besaran upah tenaga kerja di sektor industri tekstil dinaikkan sebesar Rp. 1
000 000 per kapita per tahun, maka akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar
0,110 ribu ton, ceteris paribus. Respon produksi tekstil Indonesia terhadap upah tenaga kerja
di sektor industri tekstil adalah inelastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang.
Sama seperti yang dilakukan oleh Pracoyo (1995) bahwa peubah upah tenaga kerja berpengaruh
nyata secara statistik pada produksi tekstil Indonesia.

Selain upah tenaga kerja, harga BBM (terutama solar dan minyak bakar) juga berkontribusi
dalam biaya produksi di sektor industri tekstil. Harga BBM berhubungan negatif dengan produksi
tekstil Indonesia dan berpengaruh signifikan secara statistik. Jika harga BBM meningkat sebesar
Rp. 10 per liter, maka akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 1.444 ribu ton,
ceteris paribus. Dalam jangka pendek dan jangka panjang, produksi tekstil Indonesia kurang
responsif terhadap harga BBM.

Kecenderungan waktu menunjukkan terjadinya peningkatan produksi tekstil Indonesia


sebesar 51.830 ribu ton. Hal ini sangat terkait dengan industri garmen yang sangat
membutuhkan ouput industri tekstil sebagai bahan bakunya.

Lag produksi tekstil Indonesia juga menjadi informasi dasar bagi produsen untuk berproduksi
di tahun berikutnya. Apabila lag produksi tekstil mengalami kenaikan sebesar 1 000 ton, maka
pada tahun berikutnya produknya akan naik sebesar 0,720 ribu ton, ceteris paribus.
390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

b. Ekspor Tekstil Indonesia


Persamaan ekspor tekstil Indonesia mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi,
yaitu 0,961, menunjukkan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas dalam menjelaskan
perilaku ekspor tekstil Indonesia. Semua peubah penjelas mempunyai tanda parameter dugaan
sesuai harapan. Namun demikian, tidak semua peubah mempunyai pengaruh nyata terhadap
ekspor tekstil Indonesia. Peubah yang berpengaruh nyata adalah perubahan harga tekstil
Indonesia, dummy integrasi perdagangan TPT dunia, dan lag ekspor tekstil.

Harga tekstil Indonesia yang meningkat akan menjadi insentif bagi produsen untuk
berproduksi. Jika perubahan harga tekstil Indonesia naik sebesar US$ 10 per ton, maka akan
menurunkan ekspor tekstil Indonesia sebesar 5.854 ribu ton, ceteris paribus. Dalam jangka
pendek, respon ekspor tekstil Indonesia terhadap perubahan harga tekstil Indonesia adalah
inelastis dan menjadi elastis dalam jangka panjang.

Perdagangan TPT dunia mengalami perubahan signifikan dari tahun 1950an hingga
tahun 2005. Tahap pengintegrasian perdagangan TPT sesuai ketentuan GATT dimulai tahun
1995 hingga tahun 2005. Proses tersebut mengurangi jumlah dan jenis TPT kuota impor dari
negara pengimpor, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Finlandia, Norwegia, dan Turki.
Keadaan ini berdampak pada ekspor tekstil Indonesia. Di dalam penelitian ini dummy
pengintegrasian perdagangan TPT berpengaruh nyata terhadap ekspor tekstil Indonesia. Proses
pengintegrasian perdagangan TPT selama 10 tahun menurunkan ekspor tekstil Indonesia hingga
134.367 ribu ton.

Lag ekspor tekstil Indonesia juga berpengaruh secara nyata terhadap ekspor tekstil
Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor tekstil Indonesia
memerlukan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali pada tingkat
keseimbangan, atau dengan kata lain ekspor tekstil Indonesia relatif tidak stabil.

c. Penawaran Tekstil Indonesia


Total penawaran tekstil Indonesia merupakan penjumlahan dari produksi tekstil, impor
tekstil, dan tekstil yang diekspor Indonesia. Berdasarkan hubungan identitas tersebut, maka
setiap perubahan dalam produksi tekstil, impor tekstil, dan ekspor tekstil yang ditimbulkan
akibat intervensi pemerintah, antara lain melalui instrumen kebijakan moneter dan fiskal, akan
mempengaruhi jumlah tekstil yang tersedia di pasar Indonesia. Besaran perubahan penawaran
tekstil Indonesia tergantung pada nilai elastisitas produksi tekstil, impor tekstil, dan juga ekspor
tekstil Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 391
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

d. Harga Tekstil Indonesia


Nilai koefisien determinasi persamaan harga tekstil Indonesia sebesar yaitu 0,833. Hal
tersebut mengindikasikan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas dalam menjelaskan
perilaku harga tekstil Indonesia. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan struktural
juga telah sesuai dengan harapan dan peubah yang berpengaruh nyata terhadap harga tekstil
Indonesia adalah perubahan harga garmen Indonesia, dan lag harga tekstil Indonesia.

Perubahan harga gamen Indonesia berpengaruh nyata terhadap harga tekstil Indonesia
dengan arah yang positif. Jika perubahan harga garmen Indonesia naik sebesar US$ 100 per
ton, maka akan menstimulasi kenaikan harga tekstil Indonesia sebesar US$ 0,819 per ton,
ceteris paribus. Responsinya dalam jangka pendek dan jangka panjang adalah inelastis, hal ini
menunjukkan bahwa harga tekstil Indonesia kurang responsif terhadap perubahan harga garmen
Indonesia.

Selain perubahan harga garmen Indonesia, lag harga tekstil Indonesia juga berpengaruh
sangat nyata. Hal ini mengindikasikan bila harga tekstil Indonesia memerlukan waktu yang
relatif lambat untuk menyesuaikan kembali pada tingkat keseimbangan, atau dengan kata lain
harga tekstil Indonesia relatif tidak stabil. Jika lag harga tekstil Indonesia naik sebesar US$ 10
per ton, maka akan meningkatkan harga tekstil Indonesia tahun berikutnya sebesar US$ 6.889
per ton, ceteris paribus.

e. Permintaan Tekstil Indonesia


Persamaan permintaan tekstil Indonesia mempunyai nilai koefisien determinasi cukup
tinggi, yaitu 0,819. Keadaan ini menggambarkan tingginya kemampuan peubah-peubah
penjelas dalam menjelaskan perilaku permintaan tekstil Indonesia. Permintaan tekstil Indonesia
dijelaskan oleh perubahan harga tekstil Indonesia, lag harga garmen Indonesia, lag upah tenaga
kerja sektor industri tekstil, perubahan suku bunga bank, tren waktu, dan lag permintaan
tekstil Indonesia. Tanda parameter dugaan semuanya sesuai dengan harapan. Lag harga garmen
Indonesia, lag upah tenaga kerja sektor industri tekstil, dan lag permintaan tekstik Indonesia
berpengaruh nyata terhadap permintaan tekstil Indonesia.

Lag harga garmen Indonesia mempunyai hubungan yang berlawanan dengan permintaan
tekstil Indonesia. Jika lag harga garmen naik sebesar US$ 10 per ton, maka permintaan tekstil
Indonesia akan turun sebesar 0,270 ribu ton, ceteris paribus. Selain itu permintaan tekstil
Indonesia kurang responsif terhadap perubahan lag harga garmen Indonesia, baik di dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Permintaan tekstil Indonesia merupakan cerminan
392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

permintaan tekstil oleh industri tekstil itu sendiri dan pada akhirnya output industri tekstil akan
digunakan sebagai input oleh industri garmen.

Lag upah tenaga kerja di sektor tekstil berkontribusi mempengaruhi perubahan tekstil
Indonesia yang diminta. Jika lag upah tenaga kerja di sektor industri tekstil naik 1 persen, maka
akan menurunkan permintaan tekstil Indonesia sebesar 0,715 persen dalam jangka pendek
dan 1.856 persen dalam jangka panjang. Permintaan tekstil merupakan derived demand untuk
industri garmen. Informasi lag permintaan tekstil Indonesia berperan penting untuk
memperkirakan permintaan tekstil Indonesia pada tahun berikutnya. Jika lag permintaan tekstil
Indonesia naik sebesar 1 000 ton, maka ada kecenderungan juga akan menaikan permintaan
tekstil Indonesia pada tahun berikutnya sebesar 0,615 ribu ton, ceteris paribus.

f. Impor Tekstil Indonesia


Berdasarkan hasil signifikansi parameter dugaan, hanya lag impor tekstil Indonesia yang
berpengaruh secara nyata terhadap impor tekstil Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini
menunjukkan bahwa impor tekstil Indonesia memerlukan waktu yang relatif lambat untuk
menyesuaikan kembali pada tingkat keseimbangan.

g. Produksi Garmen Indonesia


Keragaan produksi garmen Indonesia dapat dijelaskan sebesar 0,939 oleh peubah-peubah
penjelasnya. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan struktural juga telah sesuai
dengan harapan. Peubah yang berpengaruh signifikan adalah ag upah tenaga kerja garmen,
tren waktu, dan ag produksi garmen.

Selain industri tekstil menyerap banyak tenaga kerja, sektor industri garmen juga demikian.
Terdapat bagian dalam proses produksi garmen, seperti menjahit, yang tidak bisa digantikan
sepenuhnya oleh mesin. Penggunaan tenaga kerja yang banyak akan berpengaruh terhadap
biaya produksi. Lag upah tenaga kerja garmen dalam penelitian ini berbeda nyata secara statistik.
Jika ada kenaikan lag upah tenaga kerja garmen sebesar Rp. 1 000 000 per kapita per tahun,
maka akan menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 0,055 ribu ton, ceteris paribus.
Dalam jangka pendek, produksi garmen Indonesia kurang responsif jika dibandingkan dalam
jangka panjang.

Di samping lag upah tenaga kerja garmen, tren waktu juga berpengaruh sangat nyata
terhadap produksi garmen Indonesia. Garmen adalah produk yang sangat berkaitan dengan
tren mode dan berubah sesuai perkembangan jaman. Berdasarkan kecenderungan waktu,
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 393
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

produksi garmen Indonesia mengalami kenaikan 26.869 ribu ton. Selain itu lag produksi garmen
menjadi informasi memproduksi garmen tahun berikutnya. Jika lag produksi garmen Indonesia
naik sebesar 1 000 ton, maka produksi garmen Indonesia tahun berikutnya meningkat sebesar
0,453 ribu ton, ceteris paribus.

h. Ekspor Garmen Indonesia


Keragaan ekspor garmen Indonesia sebesar 0,952 dapat dijelaskan oleh peubah-peubah
penjelasnya. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan struktural juga telah sesuai
dengan harapan. Ekspor garmen Indonesia dijelaskan oleh rasio lag harga garmen dunia dengan
harga tekstil dunia, harga garmen Indonesia, rasio produksi garmen Indonesia dengan lag
produksi garmen Indonesia, lag nilai tukar Rupiah terhadap US$, dummy integrasi perdagangan
TPT dunia, dan lag ekspor garmen Indonesia. Dari enam peubah tersebut, hanya lag nilai tukar
Rupiah terhadap US$ dan lag ekspor garmen Indonesia yang berpengaruh nyata.

Eksportasi garmen berkaitan dengan nilai tukar Rupiah terhadap US$. Nilai tukar Rupiah
yang terdepresiasi akan meningkatkan daya saing garmen Indonesia. Lag nilai tukar Rupiah
terhadap US$ berpengaruh sangat nyata dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0,310 dan
jangka panjang sebesar 1,353. Artinya bila lag nilai tukar Rupiah terhadap US$ depresiasi sebesar
10 persen, maka ekspor garmen Indonesia akan meningkat sebesar 3,10 persen dalam jangka
pendek dan 13,530 persen dalam jangka panjang atau elastis, ceteris paribus.

Koefisien lag ekspor garmen Indonesia mempunyai hasil parameter dugaan bertanda positif
sebesar 0,771. Artinya jika lag ekspor garmen Indonesia bertambah 1 000 ton, maka ekspor
garmen Indonesia tahun berikutnya akan meningkat sebesar 0,771 ribu ton, ceteris paribus.

i. Penawaran Garmen Indonesia


Total penawaran garmen Indonesia merupakan persamaan identitas dari produksi garmen
Indonesia, impor garmen Indonesia, dan ekspor garmen Indonesia. Besaran perubahan
penawaran garmen Indonesia tergantung pada nilai elastisitas produksi garmen, impor garmen,
dan juga ekspor garmen Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

j. Harga Garmen Indonesia


Persamaan harga garmen Indonesia mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi,
yaitu 0,889. Hal ini menunjukkan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas menjelaskan
394 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

perilaku harga garmen Indonesia. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan juga
telah sesuai dengan harapan. Harga garmen Indonesia dapat dijelaskan secara bersama-sama
oleh rasio permintaan garmen Indonesia dengan lag produksi garmen Indonesia, lag harga
garmen dunia, perubahan harga teksil dunia, dan lag harga garmen Indonesia.

Satu-satunya peubah yang berpengaruh nyata adalah lag harga garmen Indonesia.
Informasi lag harga menjadi hal penting untuk menetapkan harga pada tahun berikutnya. Lag
harga garmen Indonesia ternyata sangat berpengaruh nyata dimana koefisien lag harga garmen
Indonesia bertanda positif sebesar 0,861. Artinya jika lag harga garmen Indonesia naik sebesar
1 000 ton, maka harga garmen Indonesia tahun berikutnya akan meningkat sebesar 0,8261
ribu ton, ceteris paribus.

k. Permintaan Garmen Indonesia


Keragaan permintaan garmen Indonesia dijelaskan secara bersama-sama oleh harga
garmen dunia, perubahan harga tekstil Indonesia, PDB per kapita Indonesia, perubahan impor
garmen bekas Indonesia,dummy integrasi perdagangan TPT dunia, dan lag permintaan garmen
Indonesia. Terdapat tiga dari lima peubah yang berpengaruh secara nyata terhadap perubahan
permintaan garmen Indonesia.

Harga adalah faktor penting yang mempengaruhi pergerakan permintaan, begitu pula
dari hasil penelitian ini. Harga garmen Indonesia berpengaruh nyata secara statistik dengan
hubungan yang negatif. Sedangkan berdasarkan elastisitasnya, maka elastisitas jangka pendek
sebesar 0,387 persen dan jangka panjang sebesar 0,553 persen. Hal ini dapat diartikan secara
khusus, bahwa apabila ada kenaikan harga garmen Indonesia sebesar US$ 10 per ton, maka
akan menurunkan permintaan garmen Indonesia sebesar 3.870 ribu ton dalam jangka pendek
dan sebesar 5.530 ribu ton dalam jangka panjang, ceteris paribus.

PDB per kapita Indonesia juga berpengaruh nyata dengan hubungan yang searah dengan
perubahan permintaan garmen Indonesia. Bila PDB per kapita Indonesia meningkat sebesar
Rp. 1 miliar, maka keadaan tersebut akan menstimulasi peningkatan permintaan garmen
Indonesia sebesar 0,011 ribu ton, ceteris paribus. Responsi permintaan garmen Indonesia
terhadap PDB per kapita Indonesia adalah inelastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.

Kebijakan kuota impor TPT bersifat diskriminasi. Pasar-pasar tradisional, seperti Amerika
Serikat, Kanada, Uni Eropa, Finlandia, Norwegia, dan Turki membatasi jumlah impor yang berasal
dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, disebutkan bahwa pada saat integrasi perdagangan
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 395
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

TPT dunia diterapkan, maka akan menaikan permintaan garmen Indonesia sebesar 66.548
ribu ton, ceteris paribus. Selain itu lag permintaan garmen Indonesia juga berpengaruh nyata
terhadap permintaan garmen Indonesia tahun berikutnya. Jika lag permintaan garmen Indonesia
naik sebesar 1 000 ton, maka akan menaikkan permintaan garmen Indonesia tahun berikutnya
sebesar 0,300 ribu ton, ceteris paribus.

l. Impor Garmen Indonesia


Impor garmen Indonesia dijelaskan oleh harga impor garmen Indonesia (dalam Rupiah),
perubahan harga garmen dunia, lag tarif impor garmen, lag produksi garmen Indonesia,
lag jumlah penduduk Indonesia, rasio PDB Indonesia dengan lag PDB Indonesia, dan lag
impor garmen Indonesia. Peubah yang berpengaruh nyata adalah perubahan harga garmen
dunia, lag tarif impor garmen, lag produksi garmen Indonesia, dan lag impor garmen
Indonesia.

Koefisien parameter dugaan perubahan harga garmen dunia adalah sebesar 0,006 dengan
arah yang berlawanan. Artinya jika perubahan harga garmen dunia meningkat US$ 10 per ton,
maka impor garmen Indonesia akan menurun sebesar 0,064 ribu ton, ceteris paribus. Sedangkan
responsi impor garmen Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang adalah
inelastis.

Lag tarif impor garmen mempengaruhi impor garmen Indonesia dengan arah yang
berlawanan. Artinya jika ada kenaikan besaran lag tarif impor garmen sebesar 1 persen, maka
akan menurunkan impor garmen Indonesia sebesar 2.119 ribu ton, ceteris paribus. Baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, impor garmen Indonesia bersifat elastis terhadap lag
tarif impor garmen.

Impor garmen Indonesia juga dipengaruhi oleh lag produksi garmen Indonesia. Jika lag
produksi garmen Indonesia meningkat sebesar 1 000 ton, maka impor garmen Indonesia
akan menurun sebesar 0,221 ribu ton, ceteris paribus. Responsi impor garmen Indonesia
terhadap lag produksi garmen Indonesia adalah elastis, baik dalam jangka pendek dan jangka
panjang.

Peubah lainnya yang juga signifikan secara statistik adalah lag impor garmen Indonesia.
Koefisien lag impor garmen Indonesia bertanda positif dan sebesar 0,615. Artinya jika lag
impor garmen Indonesia bertambah 1 000 ton, maka impor garmen Indonesia tahun berikutnya
akan meningkat sebesar 0,615 ribu ton, ceteris paribus.
396 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

4.2. Validasi Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia


Dari 30 persamaan yang membentuk model, 27 persamaan memiliki nilai RMSPE di bawah
50 persen, dan 1 persamaan mempunyai nilai RMSPE antara 50 persen sampai 100 persen, serta
2 persamaan memiliki nilai RMSPE di atas 100 persen. Artinya nilai prediksi dapat mengikuti
kecenderungan data historisnya dengan baik Sedangkan berdasarkan nilai U-theil, 29 persamaan
memiliki nilai U-theil di bawah 0,20, dan ada 1 persamaan yang memiliki nilai U-theil di atas 0,20.
Artinya bahwa simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik. Berdasarkan semua kriteria
di atas, maka model ekonomi yang dibangun mempunyai daya ramal yang cukup valid untuk
melakukan simulasi alternatif kebijakan makroekonomi melalui simulasi peramalan (ex-ante).

4.3. Hasil Simulasi Peramalan Perkembangan Industri Tekstil dan Produk


Tekstil Indonesia Tahun 2007-2012
Pada Tabel 2 disajikan hasil simulasi kebijakan makroekonomi terhadap perkembangan
TPT di Indonesia.

Tabel 2.
Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Perubahan Nilai Rata-Rata
Peubah Endogen Tahun 2007-2012
Perubahan Akibat Simulasi (%)
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6
Produksi Tekstil Indonesia (PTDt) 0.0000 0.1936 -25.4114 -0.2904 -25.4114 12.8267
Produksi Garmen Indonesia (PGDt) -0.0049 -0.0018 -12.6301 0.0013 -12.6298 1.5850
Permintaan Tekstil Indonesia (DTDt) 0.0000 -0.2822 -73.4549 0.3763 -73.4562 0.8467
Permintaan Garmen Indonesia (DGDt) 0.0002 0.1286 -0.2371 -0.0917 3.2676 3.4647
Penawaran Tekstil Indonesia (STDt) 0.0567 -11.9239 -34.3066 12.4333 -34.1153 29.7464
Penawaran Garmen Indonesia (SGDt) 0.0002 -63.9076 -18.7352 21.9497 -18.5225 22.4123
Harga Tekstil Indonesia (HTDRt) 0.0000 0.5344 1.8036 -0.6012 1.7368 -1.5364
Harga Garmen Indonesia (HGDRt) 0.0000 -0.7217 1.2831 0.4812 1.4435 0.3208
Ekspor Tekstil Indonesia (XTIt) 0.0000 6.0591 -8.9655 0.1478 -8.9655 4.9261
Impor Tekstil Indonesia (MTIt) -0.0021 0.1675 0.5522 13.7351 0.7630 13.5237
Harga Tekstil Dunia (HTWRt) -0.0580 -2.2042 2.9582 2.0302 2.9582 2.2622
Harga Garmen Dunia (HGWRt) 0.0000 -11.5351 2.4718 0.2168 2.4718 -18.6904
Ekspor Garmen Indonesia (XGIt) -0.0032 21.6763 -4.7985 -0.0237 -4.8009 1.5617
Impor Garmen Indonesia (MGIt) 0.0789 -5.1755 125.1513 179.8909 126.8318 172.2973
Ekspor Tekstil Dunia (XTWt) 0.0000 0.1970 -0.2845 0.0031 -0.2845 0.8880
Impor Tekstil Dunia (MTWt) 0.0000 0.0304 -0.0138 0.3367 -0.0083 2.1058
Ekspor Garmen Dunia (XGWt) 0.0000 0.3160 -0.0683 -0.0020 -0.0683 0.6573
Impor Garmen Dunia (MGWt) 0.0000 0.0072 0.0018 0.0045 0.0018 0.0573
Keterangan:
Simulasi 1 : Suku bunga bank turun 5 persen.
Simulasi 2 : Penyesuaian nilai tukar Rupiah=Rp. 9 000/US$.
Simulasi 3 : Upah tenaga kerja industri tekstil dan garmen naik 14.5 persen dan 15 persen.
Simulasi 4 : Liberalisasi perdagangan.
Simulasi 5 : Kombinasi 4, PDB Indonesia naik 8 persen, dan populasi Indonesia naik 1.1 persen.
Simulasi 6 : Kombinasi 3, 5, PDB Indonesia naik 8 persen, populasi Indonesia naik 1.1 persen, PDB Amerika Serikat naik 3.1
persen, dan PDB Cina naik 8.5 persen.
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 397
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

a. Penurunan Tingkat Suku Bunga Bank


Kebijakan menurunkan suku bunga bank sebesar 5 persen merupakan salah satu kebijakan
moneter yang dapat meningkatkan produksi tekstil Indonesia. Industri tekstil adalah industri
yang bersifat padat modal (capital intensive) dibandingkan dengan industri garmen. Namun
demikian penurunan suku bunga bank hanya sebesar 5 persen tidak direspon oleh produsen
tekstil di Indonesia dengan menaikan produksi tekstilnya. Produksi tekstil Indonesia yang tidak
berubah juga menyebabkan ekspor tekstil Indonesia tidak berubah. Sedangkan impor tekstil
Indonesia menurun sebesar 0,002 persen. Secara total penawaran tekstil Indonesia meningkat
sebesar 0,057 persen. Sedangkan penurunan penawaran tekstil Indonesia tidak merubah
volatilitas harga tekstil Indonesia sehingga permintaan tekstil Indonesia juga tidak berubah.

Harga garmen Indonesia yang tidak berubah, sebagai harga output bagi industri garmen,
berkontribusi dalam menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 0,005 persen. Penurunan
produksi garmen pada tahap selanjutnya akan mendorong penurunan ekspor garmen Indonesia
sebesar 0,003 persen. Di sisi lain impor garmen meningkat sebesar 0,079 persen. Secara total,
penawaran garmen Indonesia sedikit meningkat sebesar 0,0002 persen. Penurunan suku bunga
bank sebesar 5 persen menyebabkan masyarakat cenderung tidak melakukan saving. Hal
tersebut membuat permintaan garmen meningkat sebesar 0,0002 persen.

b. Penyesuaian Nilai Tukar Rp. 9 000 terhadap US$


Nilai tukar yang relatif tidak berfluktuasi akan membantu produsen dalam menghitung
dan menentukan biaya produksi dan risiko usaha. Oleh sebab itu kebijakan moneter ini mampu
meningkatkan ekspor tekstil dan garmen Indonesia, masing-masing sebesar 6.059 persen dan
21.676 persen. Secara bersama-sama pula juga meningkatkan impor tekstil sebesar 0,167
persen dan menurunkan impor garmen sebesar 5.175 persen. Total penawaran tekstil dan
garmen Indonesia menurun, masing-masing sebesar 11.924 persen dan 63.908 persen.

Penawaran tekstil Indonesia yang menurun menyebabkan harga tekstil Indonesia


meningkat sebesar 0,534 persen, sehingga permintaan tekstil Indonesia menurun sebesar 0,282
persen. Harga tekstil Indonesia yang meningkat pada gilirannya akan membuat produksi garmen
Indonesia menurun sebesar 0,002 persen.

Kebijakan penyesuaian nilai tukar juga mendorong ekspor garmen Indonesia sebesar
21.676 persen. Penurunan harga garmen Indonesia sebesar 0,722 persen makin menstimulasi
peningkatan eksportasi, menurunkan impor garmen Indonesia sebesar 5.175 persen, dan
meningkatkan permintaan garmen Indonesia sebesar 0,129 persen. Selain itu dampak lainnya
398 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

adalah penurunan produksi garmen Indonesia sebesar 0,002 persen. Secara total penawaran
garmen Indonesia menurun sebesar 63.908 persen.

c. Kenaikan Upah Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Garmen


Industri tekstil dan garmen banyak menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita.
Kebijakan peningkatan upah tenaga kerja di kedua sektor tersebut masing-masing sebesar
14.5 persen dan 15 persen akan mendorong penurunan produksi tekstil dan garmen. Produksi
tekstil Indonesia menurun sebesar 25.411 persen. Ekspor tekstil Indonesia akan terdorong turun
sebesar 8.965 persen dan impor tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,552 persen. Secara
total penawaran tekstil Indonesia menurun sebesar 34.307 persen.

Penurunan penawaran tekstil Indonesia akan menaikan harga tekstil Indonesia sebesar
1.804 persen. Dampak selanjutnya permintaan tekstil Indonesia menurun sebesar 73.455 persen.
Bagi produksi garmen Indonesia, kenaikan harga tekstil Indonesia akan menurunkan produksi
garmen Indonesia sebesar 12.630 persen. Ekspor garmen Indonesia pada tahap selanjutnya
ikut mengalami penurunan, yaitu sebesar 4.798 persen. Impor garmen Indonesia akan meningkat
sebesar 125.151 persen, sehingga secara total penawaran garmen Indonesia menurun, sebesar
18.735 persen.

Selain itu harga garmen Indonesia naik sebesar 1.283 persen, sebagai akibat tidak langsung
dari kenaikan upah tenaga kerja. Pada akhirnya hal ini akan membuat permintaan garmen
Indonesia menurun sebesar 0,237 persen.

d. Liberalisasi Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil


Liberalisasi perdagangan dengan penurunan tarif hingga nol persen sebagai salah satu
bentuk kebijakan perdagangan, ternyata memberikan dampak pada peningkatan impor tekstil
Indonesia sebesar 13.735 persen. Penurunan produksi tekstil dalam negeri sebesar 0,290 persen
makin memperbesar peningkatan impor tersebut. Peningkatan impor tekstil Indonesia akan
meningkatkan penawaran tekstil Indonesia sebesar 12.433 persen. Peningkatan penawaran
tekstil ternyata menurunkan harga tekstil Indonesia sebesar 0,601 persen, sehingga permintaan
tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,376 persen. Harga tekstil Indonesia yang menurun juga
direspon oleh ekspor tekstil Indonesia yang meningkat sebesar 0,148 persen.

Penurunan tarif impor garmen hingga nol persen akan meningkatkan impor garmen
Indonesia sebesar 179.891 persen, sehingga secara total penawaran garmen Indonesia
meningkat sebesar 21.950 persen. Di sisi lain, harga garmen Indonesia yang meningkat sebesar
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 399
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

0,481 persen membuat permintaan garmen Indonesia menurun sebesar 0,092 persen.
Peningkatan harga garmen Indonesia menjadi insentif bagi produsen garmen Indonesia untuk
meningkat produksinya, yaitu sebesar 0,001 persen. Selain itu harga garmen Indonesia yang
meningkat juga mendorong peningkatan ekspor sebesar 0,024 persen di masa mendatang

e. Kenaikan Upah Tenaga Kerja di Sektor Tekstil dan Garmen, Kenaikan PDB
Indonesia, dan Kenaikan Jumlah Penduduk Indonesia
Kombinasi kebijakan kenaikan upah tenaga kerja di sektor tekstil dan garmen, kenaikan
PDB Indonesia sebesar 8 persen, dan kebijakan demografi melalui peningkatan jumlah penduduk
sebesar 1.1 persen menjadikan produksi tekstil Indonesia menurun sebesar 25.411 persen
sehingga mendorong penurunan ekspor tekstil Indonesia sebesar 8.965 persen. Di samping itu
impor tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,763 persen. Secara total penawaran tekstil Indonesia
menurun sebesar 34.115 persen. Penurunan penawaran tekstil ini akan meningkatkan harga
tekstil Indonesia sebesar 1.737 persen. Pada gilirannya keadaan tersebut membuat permintaan
tekstil Indonesia menurun sebesar 73.456 persen.

Peningkatan PDB dan pertumbuhan penduduk Indonesia secara alami mendorong


peningkatan permintaan garmen Indonesia sebesar 3.268 persen. Keadaan ini membuat harga
garmen Indonesia meningkat sebesar 1.443 persen. Selain itu juga diakibatkan upah tenaga
kerja di sektor garmen cukup mendominasi dalam biaya produksi yang pada akhirnya
meningkatkan harga output industri garmen.

Peningkatan harga tekstil Indonesia sebagai harga input industri garmen dapat
menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 12.630 persen. Sedangkan ekspor garmen
Indonesia menunjukkan penurunan sebesar 4.801 persen. Hal ini karena harga garmen di
dalam negeri yang meningkat ternyata menarik bagi produsen garmen Indonesia untuk
menggarap pasar Indonesia. Di samping itu impor garmen Indonesia meningkat sebesar 126.832
persen. Secara total penawaran garmen Indonesia menurun sebesar 18.522 persen

f. Kenaikan Harga BBM, Liberalisasi Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil,


Kenaikan PDB Indonesia, Amerika Serikat, dan Cina serta Kenaikan Jumlah
Penduduk Indonesia
Kebijakan kenaikan harga BBM sebesar 8.5 persen, liberalisasi perdagangan, kenaikan
PDB Indonesia sebesar 8 Persen, peningkatan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1.1 Persen,
kenaikan PDB Amerika Serikat sebesar 3.1 Persen, dan PDB Cina sebesar 8.5 persen ternyata
400 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

mampu menaikan produksi tekstil Indonesia, masing-masing sebesar 12.827 persen dan 1.585
persen. Oleh sebab itu ekspor tekstil Indonesia juga meningkat sebesar 4.926 persen dan
sekaligus meningkatkan impor tekstil Indonesia sebesar 13.524 persen. Jadi secara total penawar
tekstil Indonesia meningkat sebesar 29.746 persen. Keadaan ini membuat harga tekstil Indonesia
menurun sebesar 1.536 persen, sehingga permintaan tekstil dalam negeri meningkat sebesar
0,847 persen.

Di sisi kenaikan PDB Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia akan mendorong
peningkatan permintaan garmen Indonesia sebesar 3.465 persen, sehinnga harga garmen
Indonesia juga meningkat sebesar 0,321 persen. Eksportasi garmen Indonesia masih
menunjukkan peningkatan sebesar 1.562 persen begitu pula dengan importasi garmen Indonesia
yang meningkat sebesar 172.297 persen. Secara total penawaran garmen Indonesia meningkat
sebesar 22.412 persen.

Peningkatan PDB Amerika Serikat dan Cina akan meningkatkan impor tekstil Amerika
Serikat sebesar 1.341 persen dan impor tekstil Cina sebesar 5.746 persen. Oleh sebab itu total
impor tekstil dunia akan meningkat sebesar 2.106 persen sehingga harga tekstil dunia meningkat
sebesar 2.262 persen. Peningkatan harga ini akan berdampak pada peningkatan harga garmen
Indonesia. Sedangkan di sisi garmen, peningkatan PDB Amerika Serikat akan mendorong
peningkatan total impor garmen dunia sebesar 0,057 persen. Pada akhirnya peningkatan impor
garmen dunia tersebut belum mampu meningkatkan harga garmen dunia. Hal ini terjadi karena
total ekspor dunia meningkat lebih besar daripada impornya. Penurunan harga garmen dunia
sebesar 18.690 persen akan berdampak pada penurunan harga tekstil Indonesia dan
peningkatan harga garmen Indonesia.

4.4. Diskusi
Kenaikan produksi industri tekstil dan garmen pada umumnya terkait dengan peningkatan
penyerapan tenaga kerja. Sedangkan ekspor industri tekstil dan garmen berhubungan dengan
perolehan devisa yang diperlukan untuk menunjang pembangun ekonomi Indonesia. Kebijakan-
kebijakan yang dapat menurunkan produksi dan sekaligus ekspor pada industri tekstil dan juga
garmen adalah kebijakan menaikan upah tenaga kerja di sektor tekstil dan garmen masing-
masing sebesar 14.5 persen dan 15 persen (simulasi 3) dan liberalisasi perdagangan, kenaikan
PDB Indonesia dan jumlah penduduk (simulasi 5). Salah satu komponen biaya produksi yang
berperan besar dalam keberlanjutan produksi tekstil dan garmen adalah upah tenaga kerja.
Tenaga kerja yang dibutuhkan, khususnya pada industri garmen, adalah pekerja dengan
keterampilan tertentu tanpa harus dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Oleh sebab itu
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 401
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

peningkatan penyerapan tenaga kerja industri TPT pada akhirnya dapat mengurangi jumlah
pengangguran di masyarakat yang notabene muncul sebagai akibat keterbatasan mengenyam
pendidikan tinggi. Kebijakan menaikkan upah tenaga kerja yang disebabkan oleh adanya
kebijakan pemerintah, seperti kenaikan upah minimum regional, akan menstimulasi penurunan
produksi dan ekspor, serta rasionalisasi tenaga kerja. Liberalisasi perdagangan TPT yang ditandai
dengan penghapusan tarif hingga nol persen justru cenderung meningkatkan volume impor
tekstil dan garmen Indonesia. Namun demikian di sisi lain ekspor tekstil Indonesia masih
menunjukkan peningkatan, tapi tidak dengan ekspor garmen Indonesia. Hal ini terjadi terjadi
persaingan yang semakin ketat antar negara produsen TPT di dunia, terutama Cina dan negara-
negara di Asia Selatan.

Kebijakan yang hanya mampu meningkatkan produksi dan ekspor di salah satu sektor
adalah kebijakan menaikkan tingkat suku bunga (simulasi 1). Kebijakan ini menurunkan produksi
dan ekspor garmen Indonesia dan membuat produksi dan ekspor tekstil stagnan. Industri TPT
merupakan salah satu dari industri yang berisiko tinggi, sehingga

bank kurang tertarik memberikan kredit investasi. Pada umumnya bank hanya memberikan
pinjaman atau kredit jangka pendek (90 persen) dan jangka menengah (10 persen) kepada
industri TPT. Sementara restrukturisasi permesinan industri TPT membutuhkan bentuk pinjaman
dalam jangka panjang antara 10 sampai 15 tahun. Industri tekstil bersifat padat modal
dibandingkan industri garmen, sehingga permasalahan restrukturisasi lebih banyak dirasakan
oleh industri tekstil. Permesinan yang sudah usang dan teknologi yang tidak modern dapat
mempengaruhi produktivitas industri TPT.

Kebijakan yang masih mampu meningkatkan produksi dan ekspor di kedua sektor adalah
simulasi ke 2, yaitu kebijakan moneter melalui penyesuaian nilai tukar Rupiah terhadap US$
dan simulasi ke 6, yaitu kombinasi kebijakan upah, liberalisasi, dan kenaikan PDB Indonesia
serta beberapa negara maju. Semenjak Indonesia menganut floating exchange rate regime,
nilai tukar Rupiah menjadi berfluktuasi sepanjang waktu. Meskipun demikian, bank Indonesia
masih dapat melakukan intervensi untuk menstabilkannya melalui instrumen kebijakan moneter.
Nilai tukar Rupiah yang stabil membantu eksportir dan importir dalam menghitung dan
memprediksikan biaya dan sekaligus keuntungan di masa mendatang.
402 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

V. KESIMPULAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri TPT Indonesia adalah sebagai
berikut:
1. Produksi tekstil Indonesia dipengaruhi oleh lag harga kapas dunia dan perubahan lag upah
tenaga kerja di sektor industri tekstil dengan hubungan yang negatif. Produksi garmen
Indonesia dipengaruhi oleh lag upah tenaga kerja di sektor garmen.
2. Ekspor tekstil Indonesia ke pasar dunia bersifat elastis dalam jangka panjang terhadap
perubahan harga tekstil Indonesia. Sedangkan ekspor garmen Indonesia di pasar dunia
dipengaruhi oleh lag nilai tukar terhadap US$ dengan hubungan yang positif.
3. Permintaan tekstil Indonesia mempunyai respon yang elastis terhadap lag upah tenaga kerja
di sektor industri tekstil dan permintaan garmen Indonesia dipengaruhi oleh pendapatan
per kapita penduduk Indonesia dengan hubungan yang positif.

Berdasarkan simulasi kebijakan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:


1. Kebijakan yang dapat meningkatkan produksi dan ekspor di industri tekstil dan garmen
adalah (1) kebijakan tunggal melalui penyesuaian nilai tukar Rupiah terhadap US$ dan (2)
kombinasi kebijakan menaikkan upah, kebijakan liberalisasi perdagangan, dan kenaikan
PDB Indonesia serta beberapa negara maju sebagai bentuk potensi pasar TPT dunia.
2. Kebijakan menurunkan produksi dan ekspor di industri tekstil dan garmen adalah (1) kebijakan
tunggal melalui kenaikan upah tenaga kerja di industri tekstil dan garmen dan (2) kombinasi
kebijakan menaikan upah tenaga kerja di industri tekstil dan garmen, kenaikan PDB Indonesia,
dan kebijakan demografi melalui pertumbuhan penduduk Indonesia.

Secara keseluruhan dari hasil pendugaan koefisien parameter dan simulasi kebijakan
menunjukkan bahwa menaikkan suku bunga bank untuk kegiatan investasi, BBM, dan juga
upah tenaga kerja di sektor industri tekstil dan garmen, dapat menurunkan produksi tekstil
dan garmen domestik di masa depan. Harga kapas dunia juga mempengaruhi penurunan
ekspor tekstil dan garmen Indonesia. Sedangkan penyesuaian nilai tukar Rupiah akan mendorong
peningkatan ekspor tekstil dan garmen Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2012.

Kesimpulan ini memberikan beberapa implikasi sebagai berikut:


1. Produksi industri TPT Indonesia yang meningkat dapat mendorong peningkatan penyerapan
tenaga kerja. Oleh sebab itu diperlukan insentif ekonomi, antara lain melalui penurunan
suku bunga bank untuk investasi.
2. Ekspor TPT Indonesia yang meningkat dapat meningkatkan penerimaan devisa negara.
Peningkatan ekspor TPT dapat dipacu melalui penyesuaian nilai tukar Rupiah Rp 9 000/US$.
Nilai tukar Rp/US$ yang relatif stabil akan membantu produsen TPT dalam menghitung
biaya bahan baku dan keuntungan.
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 403
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

3. Pengembangan tanaman kapas, sebagai salah satu bahan baku utama, perlu segera
diwujudkan. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kapas impor dapat menurunkan
posisi daya saing TPT Indonesia di pasar dunia.
404 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

DAFTAR PUSTAKA

Agustineu, S. D. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Tekstil di


Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
BPS. 2009. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
. 2010. Indikator Ekonomi, Buletin Statistik Bulanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
CIC. 2004, Prospek Industri Garmen Indonesia. Indocommercial, No. 350. PT. Capicorn Indonesia
Consultant, Inc, Jakarta.
Dunn, R. M. Jr. and J. H. Mutti. 2004. International Economics. Sixth Edition. Routledge Tailor
and Francis Group, London.
Gonarsyah, I. 1987. Landasan Perdagangan Internasional. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan
Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Henderson, J. M. and R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory, A Mathematical Approach.
McGraw Hill International Book Company, London.
Houck, J. P. 1986. Elements of Agricultural Trade Policies. MacMillan Publishing Company, New
York.
Istojo, D. 2002. Analisis Struktur Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia terhadap WTO
2005. Tesis Magister Manajemen. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Koutsoyiannis, A. 1978. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics
Methods. Second Edition. Harper & Row Publishers, Inc., Barner & Noble Import Division,
New York.
Krantz, O., 2006, ≈Small European Countries in Economic Internationalisation: An Economic
Historical PerspektiveΔ. Umea Universitet, Umea-Swedia. Umea Papers in Economic History.
Mlachila, M. and Y. Yang, 2004, ≈The End of Textiles Quotas: A Case Study of the Impact of
BangladeshΔ. International Monetary Fund, Washington DC. IMF Working Paper No. 04/
108.
PRB. 2009. World Population Data Sheet 2009. Population Reference Bureau and USAID,
Washington DC.
Pracoyo, A. 1995. Pengaruh GATT terhadap Perekonomian Indonesia, Studi Kasus Ekspor Industri
Tekstil. Tesis Magister Manajemen. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 405
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

Sinaga, B. M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Products Industry: A


Policy Simulation Analysis. PhD, Dissertation. University of The Philippines, Los Banos.
Sunarno, S. 2008. ASEAN, Basis Produksi TPT Dunia. Indonesian Textile Serial Online. http://
indonesiatextile.com/index.php?option=com_content& task=view&id=73&Itemid=50.
Diakses tanggal 17 Maret 2010.
. 2008 Amankan Pasar Dalam Negeri. Indonesia Textile Serial Online. http://
indonesiatextile.com/index.php?option=com_content&task =view&id=76&Itemid=50,
Diakses Tanggal 17 Maret 2010.
Thoburn, J., 2010, ≈The Impact of World Recession on the Textile and Garment Industries of
AsiaΔ. United Nations Industrial Development Organization, Vienna. Working Paper No. 17.
UNCTAD. 2005. TNCs and the Removal of Textiles and Clothing Quotas. United Nations
Conference on Trade and Development, Geneva.
VBN. 2011. Vietnam Textile and Garment Export Cross $ 11.2 Biliion in 2010. Vitenam Business
News. Serial Online, http://vietnambusiness.asia/vietnam-textile-and-garment-exports-cross-
11-2b-in-2010/. Diakses tanggal 10 Januari 2011.
Wintala. 1999. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Tekstil Indonesia: Ke Amerika
Serikat, Inggris dan Jepang Tahun 1978-1997. Tesis Magister Manajemen. Program
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
WTO. 2005. International Trade Statistics 2005. World Trade Organization, Geneva.
406 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Lampiran

Tabel 1.
Keterangan Peubah Endogen dan Eksogen yang Digunakan dalam Model

PTDt : Produksi tekstil domestik tahun t (1 000 ton)


PTDt-1 : Produksi tekstil domestik tahun t-1 (1 000 ton)
PGDt : Produksi garmen domestik tahun t (1000 ton)
PGDt-1 : Produksi garmen domestik tahun t-1 (1000 ton)
HTDRt : Harga riil tekstil domestik tahun t (USD/ton)
HTDRt-1 : Harga riil tekstil domestik tahun t-1 (USD/ton)
HCWRt-1 : Harga riil kapas dunia tahun t-1 (cent/pound)
HTWRt : Harga riil tekstil dunia tahun t (USD/ton)
HTWRt-1 : Harga riil tekstil dunia tahun t-1 (USD/ton)
HMTIRt-1 : Harga impor tekstil Indonesia tahun t-1 (USD/ton)
HGDRt : Harga riil garmen domestik tahun t (USD/ton)
HGDRt-1 : Harga riil garmen domestik tahun t-1 (USD/ton)
HGWRt : Harga riil garmen dunia tahun t (USD/ton)
HGWRt-1 : Harga riil garmen dunia tahun t-1 (USD/ton)
HMGIRt : Harga riil impor garmen Indonesia tahun t (USD/ton)
IRRt : Tingkat suku bunga riil bank tahun t (%/tahun)
IRRt-1 : Tingkat suku bunga riil bank tahun t-1 (%/tahun)
UTKTRt-1 : Upah riil tenaga kerja industri tekstil tahun t-1 (Rp juta)
UTKGRt-1 : Upah riil tenaga kerja industri tahun t-1 (1 000 Rp)
BBMRt : Harga riil BBM tahun t (Rp/liter)
BBMRt-1 : Harga riil BBM tahun t-1 (Rp/liter)
T : Tren waktu
XTIt : Ekspor tekstil Indonesia tahun t (1 000 ton)
XTIt-1 : Ekspor tekstil Indonesia tahun t-1 (1 000 ton)
XGIt : Ekspor garmen Indonesia tahun t (1 000 ton)
XGIt-1 : Ekspor garmen Indonesia tahun t-1(1 000 ton)
ERIRt : Nilai tukar riil Rupiah terhadap USA tahun t (Rp/USD)
ERIRt-1 : Nilai tukar riil Rupiah terhadap USA tahun t-1 (Rp/USD)
DKG : Dummy integrasi perdagangan TPT dunia
STDt : Penawaran tekstil domestik tahun t (1 000 ton)
SGDt : Penawaran garmen domestik tahun t (1 000 ton)
Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi 407
Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

Tabel 1.
Keterangan Peubah Endogen dan Eksogen yang Digunakan dalam Model (lanjutan)

MTIt : Impor tekstil Indonesia tahun t (1 000 ton)


MTIt-1 : Impor tekstil Indonesia tahun t-1 (1000 ton)
MGIt : Impor garmen Indonesia tahun t (1 000 ton)
MGIt-1 : Impor garmen Indonesia tahun t-1 (1 000 ton)
DTDt : Permintaan tekstil domestik tahun t (1 000 ton)
DTDt-1 : Permintaan tekstil domestik tahun t-1 (1000 ton)
DGDt : Permintaan garmen domestik tahun t (1000 ton)
DGDt-1 : Permintaan garmen domestik tahun t-1 (1 000 ton)
TFTt-1 : Tarif impor tekstil tahun t-1 (%/tahun)
TFGt : Tarif impor garmen tahun t (%/tahun)
GDPIRt : PDB riil Indonesia (Rp 1000)
GDPIRt-1 : PDB riil Indonesia t-1 (Rp 1000)
POPIt : Jumlah penduduk indonesia tahun t (juta jiwa)
POPt-1 : Jumlah penduduk Indonesia tahun t-1 (juta jiwa)
MGBt : Impor garmen bekas tahun t (1 000 ton)
MGBt-1 : Impor garmen bekas tahun t-1 (1 000 ton)
XTWt : Ekspor tekstil dunia tahun t (USD/ton)
MTWt : Impor tekstil dunia tahun t (1 000 ton)
MTWt-1 : Impor tekstil dunia tahun t-1 (USD/ton)
XTGt : Ekspor tekstil Jerman tahun t (1 000 ton)
XTAt : Ekspor tekstil USA tahun t (1 000 ton)
XTCt : Ekspor tekstil China tahun t (1 000 ton)
XTRt : Sisa ekspor tekstil dunia tahun t (1 000 ton)
MTLt : Impor tekstil Italia tahun t (1 000 ton)
MTAt : Impor tekstil USA tahun t (1 000 ton)
MTCt : Impor tekstil China tahun t (1 000 ton)
XGWt : Ekspor garmen dunia tahun t (1 000 ton)
MGWt-1 : Impor garmen dunia tahun t-1 (1 000 ton)
XGWt : Ekspor garmen dunia tahun t (1 000 ton)
MGWt : Impor garmen dunia tahun t (1 000 ton)
MGWt-1 : Impor garmen dunia tahun t-1 (1 000 ton)
XGCt : Ekspor garmen China tahun t (1 000 ton)
408 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Tabel 1.
Keterangan Peubah Endogen dan Eksogen yang Digunakan dalam Model (lanjutan)

XGTt : Ekspor garmen Turki tahun t (1 000 ton)


XGRt : Sisa ekspor garmen dunia tahun t (1 000 ton)
MGGt : Impor garmen Jerman tahun t (1 000 ton)
MGAt : Impor garmen USA tahun t (1 000 ton)
MGJt : Impor garmen Jepang tahun t (1 000 ton)
MGRt : Sisa impor garmen dunia tahun t (1 000 ton)
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 409

DAMPAK DEPRESIASI NILAI TUKAR DAN


PERTUMBUHAN UANG BEREDAR TERHADAP INFLASI:
APLIKASI THRESHOLD MODEL 1

Rizki E. Wimanda 2

Abstract

This paper investigates the impact of exchange rate depreciation and money growth to the CPI
inflation in Indonesia. Using monthly data from 1980:1 to 2008:12, our econometric evidence shows
that there are indeed threshold effects of money growth on inflation, but no threshold effect of exchange
rate depreciation on inflation. Even though the threshold value for exchange rate depreciation is found
at 8.4%, the F-test suggests that there is no significant difference between the coefficient below and
that above the threshold value. While, two threshold values are found for money growth, i.e. 7.1% and
9.8%, and they are statistically different. The impact on inflation is high when money grows by up to
7.1%, it is moderate when money grows by 7.1% to 9.8%, and it is low when money grows by above
9.8%.

JEL Classification: C22; E31; E51.


Keywords: Inflation, Threshold Effect; Indonesia

1 Disarikan dari Wimanda (2010), Doctoral Thesis, Bab 4, yaitu ≈Threshold Effects of Exchange Rate and Money Growth on InflationΔ.
2 Peneliti Ekonomi di Bank Indonesia, email: rizki@bi.go.id.
410 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

I. PENDAHULUAN
Perhatian terhadap inflasi begitu besar sejak Indonesia mengadopsi inflation targeting pada
tahun 2000. Salah satu topik studi yang penting adalah meneliti faktor-faktor penyebab inflasi.

Wimanda (2010)3 menemukan bahwa inflasi di Indonesia dipengaruhi secara signifikan


oleh ekspektasi inflasi (backward-looking dan forward-looking), output gap, depresiasi nilai
tukar, dan pertumbuhan uang beredar. Analisis terhadap sample bulanan mulai dari awal tahun
1980 sampai dengan akhir tahun 2008 menunjukkan bahwa pembentukan ekspektasi inflasi
di Indonesia masih didominasi oleh ekspektasi inflasi ke belakang (backward-looking) dengan
porsi sekitar 0.7, sementara porsi ekspektasi inflasi ke depan (forward-looking) sekitar 0.2.
Dalam analisisnya dia juga menemukan bahwa dampak nilai tukar lebih besar dibandingkan
dengan dampak pertumbuhan uang beredar (M1). Analisis tersebut mengasumsikan bahwa
dampak kedua variable tersebut adalah linear, dalam arti dampaknya adalah konstan untuk
setiap tingkat depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar.

Dengan menggunakan threshold model paper ini menguji apakah dampak nilai tukar
dan pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi linear atau tidak. Selanjutnya, akan diuji apakah
terdapat nilai threshold, berapa banyak nilai threshold yang dapat diidentifikasi, dan berapa
berapa besar dampaknya.

Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut. Studi literatur akan dibahas
pada bagian kedua. Metodologi dan data akan dibahas pada bagian ketiga dari paper ini.
Sementara hasil estimasi dan kesimpulan akan dipaparkan pada bagian keempat dan kelima.

II. TEORI
2.1. Pass-through Nilai Tukar
Salah satu isu sentral di ekonomi internasional adalah pass-through nilai tukar dimana
didefinisikan sebagai dampak dari 1 persen depresiasi nilai tukar pada inflasi domestik. Secara
umum, untuk menguji pass-through nilai tukar adalah dengan mengetimasi pada persamaan
berikut:

πt = α + γet + δxt + εt (1)

dimana πt adalah inflasi domestik, et adalah depresiasi nilai tukar (nominal), dan adalah variabel-
variabel control lainnya (dalam bentuk pertumbuhan).

3 Pada Bab 3 Doctoral Thesis, yaitu ≈Determinants of Inflation and The Shape of Phillips CurveΔ.
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 411

Secara umum, studi mengenai pass-through nilai tukar ini dapat dikelompokkan menjadi
3. Kelompok pertama adalah studi dampak nilai tukar pada harga impor industri tertentu,
misalnya Bernhofen and Xu (1999) and Goldberg (1995). Kelompok kedua adalah studi dampak
nilai tukar pada harga import secara aggregat, misalnya Hooper dan Mann (1989) dan Campa
dan Goldberg (2005). Dan kelompok ketiga adalah studi dampak nilai tukar pada CPI atau
WPI, misalnya Papell (1994) dan McCarthy (2000).

Meskipun literatur pada pass-through nilai tukar ini sangat banyak, namun studi empiris
yang ada lebih banyak fokus pada negara-negara maju. Sebuah survey yang dilakukan oleh
Menon (1995) menunjukkan bahwa dari 48 studi mengenai pass-through nilai tukar sebagian
besar adalah Amerika dan Jepang. Begitu pula dengan Goldberg dan Knetter (1997) yang
menyatakan bahwa studi pass-through nilai tukar selama tahun 1980-an didominasi oleh Amerika.

Untuk negara-negara yang bergabung dalam OECD, studi dampak pass-through nilai
tukar pada harga impor dilakukan oleh Campa dan Goldberg (2005). Mereka menemukan
bahwa pass-through nilai tukar adalah parsial, dimana harga impor mencerminkan 60 persen
pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek dan hampir 80 persen dalam jangka panjang.
Mereka juga menemukan bahwa negara-negara yang memiliki volatilitas nilai tukar yang rendah
dan inflasi yang rendah memiliki dampak pass-through nilai tukar yang rendah.

Menggunakan data 71 negara dari tahun 1979 sampai dengan 2000, Choudhri dan
Hakura (2006) memperlihatkan bahwa ada hubungan positif yang kuat antara pass-through
nilai tukar dengan rata-rata inflasi. Negara-negara yang memiliki inflasi yang rendah cenderung
memiliki pass-through nilai tukar yang rendah. Begitu pula sebaliknya.

Hubungan nilai tukar dan inflasi di Malaysia, Philipines, dan Singapore diteliti oleh Alba
dan Papper (1998) selama periode 1979:Q1 sampai dengan 1995:Q2. Mereka menemukan
bahwa pass-through nilai tukar untuk Philipina lebih tinggi dibandingkan Malaysia, sementara
pass-through nilai tukar untuk Singapore justru bernilai negatif.

Untuk mensupport argumen Δfear of floatingΔ, Calvo dan Reinhart (2000) meneliti hal
yang sama untuk sejumlah negara maju dan berkembang, termasuk Malaysia dan Indonesia.
Dengan menggunakan data bulanan dari Agustus 1997 sampai November 1999, mereka
menemukan pass-through nilai tukar di Indonesia adalah 0.062.

2.2. Hubungan antara Uang dan Inflasi


Teori kuantitas dan persamaan pertukaran memberikan kerangka yang berguna untuk
menganalisa secara empiris relevansi uang di dalam perekonomian. Hubungan uang dan inflasi
dapat diturunkan dari persamaan permintaan uang. Masyarakat ingin memegang uang untuk
412 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

membeli barang dan jasa. Jika harga barang dan jasa naik, masyarakat cenderung akan
memegang uang lebih banyak. Faktor yang paling penting dalam permintaan uang adalah
pendapatan. Pada saat pendapatan masyarakat naik, masyarakat akan cenderung untuk
berbelanja lebih. Pengeluaran yang lebih banyak berhubungan dengan memegang uang yang
lebih banyak. Dengan demikian, hubungan ini dapat ditulis sebagai:

Μ
= k Y, (2)
P

dimana M adalah uang nominal, P adalah tingkat harga berdasarkan CPI atau deflator PDB, Y
adalah pendapatan dan k merupakan faktor proporsi. Persamaan (2) dapat ditulis ulang menjadi:

1 Μ
P= (3)
k Y

Dengan mengasumsikan adanya kausalitas dari M ke P, persamaan (3) menyebutkan


bahwa kuantitas uang menentukan level harga, namun uang bukan merupakan satu-satunya
faktor. Misalnya, pendapatan dan faktor lainnya yang terrefleksi dalam k tidak berubah, pada
saat kuantitas uang meningkat, maka level harga akan meningkat.

Milton Friedman (1968) berargumen bahwa inflasi merupakan fenomena moneter. Studi-
studi yang dilakukan oleh Lucas (1980), Dwyer dan Hafer (1988), Friedman (1992), Barro (1993),
McCandless dan Weber (1995), Dewald (1998), Rolnick dan Weber (1997) dan lainnya
berkesimpulan bahwa perubahan kuantitas uang dan perubahan harga mempunyai hubungan
yang erat.

Dwyer dan Hafer (1999) memperlihatkan level harga mempunyai hubungan yang positif
dan proporsional dengan kuantitas uang di Amerika, Inggris, Jepang, Brazil, dan Chile selama
abad 20. Mereka juga menunjukkan bahwa dalam jangka waktu yang lebih pendek, yaitu 5
tahun, hubungan pertumbuhan uang dan inflasi tetap berlaku.

Studi empiris hubungan antara pertumbuhan uang (M1 dan M2) dan inflasi pada 160
negara dilakukan oleh De Grauwe dan Polan (2005). Mereka menunjukkan bahwa selama
kurun waktu 30 tahun, hubungan pertumbuhan uang beredar dan inflasi masih berlaku. Namun
demikian, setelah membagi sampel berdasarkan tingkat inflasi, mereka menunjukkan bahwa
negara-negara yang memiliki inflasi yang rendah (di bawah 10%) hubungan kedua variabel
tersebut melemah. Sebaliknya, hubungan tersebut kuat untuk negara-negara yang tingkat
inflasinya tinggi. Namun demikian, studi ini tidak menentukan pada level berapa uang beredar
akan memberikan dampak yang berbeda pada inflasi.
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 413

2.3. Aplikasi Threshold Model


Threshold model merupakan kasus spesial dari kerangka statistik yang kompleks, seperti
mixture model, switching model, Markov-switching model, dan smooth transition threshold
model (Hansen, 1997).

Threhold model dapat diaplikasikan pada banyak kasus. Misalnya, Galbraith (1996)
melakukan studi mengenai hubungan antara uang dan output. Dengan menggunakan data
Amerika dan Canada, dia menemukan bahwa uang memiliki pengaruh yang kuat pada output
pada saat pertumbuhan uang di bawah nilai theshold tertentu. Hasil ini konsisten dengan
proposisi bahwa kebijakan moneter mempunyai dampak yang kecil atau bahkan tidak memiliki
dampak sama sekali pada saat pertumbuhan uang sangat tinggi.

Khan dan Senhadji (2001) meneliti hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi
pada 140 negara selama periode 1960 sampai dengan 1998. Mereka berargumentasi bahwa
inflasi memiliki dampak yang negatif terhadap perekonomian manakala inflasi di atas nilai
threshold tertentu. Sebaliknya, inflasi memberikan dampak yang positif bagi perekonomian
manakala inflasi di bawah nilai thresholdnya. Mereka menemukan bahwa nilai threshold untuk
negara maju adalah 1-3 persen, sementara untuk negara berkembang nilai threholdnya adalah
11-12 persen.

Threshold model juga digunakan Papageorgiou (2002) dalam mengevaluasi tingkat


keterbukaan terhadap perekonomian. Foster (2006) menguji hubungan ekspor dan pertumbuhan
ekonomi untuk negara-negara Afrika. Evaluasi terhadap defisit fiskal juga dilakukan dengan
menggunakan threhold model, misalnya untuk kasus Amerika (lihat Arestis, Cipollini dan Fattouh,
2004) dan untuk kasus Spanyol (lihat Bajo-Rubio, Diaz-Roldan and Esteve, 2004).

Sementara itu, studi mengenai threshold nilai tukar ke inflasi dan threhold uang beredar
ke inflasi, sepanjang pengetahuan kami, belum ada. Untuk itu, studi ini dilakukan dengan
maksud mengisi gap literatur.

III. METODOLOGI
3.1. Model Empiris dan Teknik Pengolahan Data
Studi ini menggunakan threshold model untuk menjawab pertanyaan di atas. Threshold
model merupakan sebuah kasus spesial dari kerangka statistika yang kompleks, seperti mixture
models, switching models, Markov-switching models, dan smooth transition threshold models.
Secara umum, threshold model dapat ditulis seperti berikut:
414 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

yt = β‘j xt + δ1ztI (tht < λ) + δ2 zt I (tht > λ) + μt (4)

dimana adalah dependent variable, adalah explanatory variable yang ingin diuji, adalah vektor
dari explanatory variable yang lain, adalah fungsi indikator, adalah variabel threshold, dan adalah
nilai dari threshold. Pada persamaan di atas, observasi dibagi menjadi dua regime tergantung
pada apakah variable threshold lebih kecil atau lebih besar dari nilai.

Untuk mengestimasi model, nilai threshold dan nilai parameter slope diestimasi secara
bersamaan. Hansen (1997) merekomendasikan untuk mencari estimasi dengan mencari nilai
dari sum of squared errors yang minimal. Untuk meyakinkan bahwa jumlah observasi di tiap
regime adalah cukup, maka model diestimasi untuk semua nilai threshold dari variabel threshold
antara 10th dan 90th percentile.

Setelah ditemukan nilai threshold, kita perlu menguji apakah nilai tersebut signifikan
secara statistik atau tidak. Dalam hal ini, apakah hipotesa nol dari ditolak atau diterima. Satu
hal yang menjadi komplikasi adalah nilai threshold tidak terindentifikasi pada hipotesa nol. Hal
ini berimplikasi bahwa classical test tidak memiliki distribusi yang standar, sehingga nilai-nilai
kritis tidak dapat diperoleh dari tabel distribusi standar.

Studi ini mengikuti Hansen (1997, 2000) dalam pencarian multiple regimes pada data
dengan menggunakan depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan M1 sebagai threshold variable.
Metode yang berdasarkan asymptotic distribution ini dapat menguji signifikansi dari regime
yang terpilih oleh data.

Dalam studi ini, kami tidak mengevaluasi hubungan jangka panjang dari nilai nilai tukar
dan uang beredar kepada tingkat harga, namun kami lebih tertarik untuk melihat hubungan
jangka pendek dari depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi.

Untuk menguji keberadaan threshold effect dari depresiasi nilai tukar pada inflasi, model
hybrid NKPC Phillips curve ini akan diestimasi adalah sebagai berikut:

e
πt = c + α1πt - 1 + α2πt + 1 + βgapt + γ1(1 - dt ) [(ert)I (ert > er*)] +
γ2dt [(ert)I (ert < er*)] + θmt + δ1crisis + δ2 fuel + δ3 fitri + εt
(5)

dimana , πt adalah inflasi, πt - 1 adalah ekspektasi inflasi backward-

looking, adalah πte+ 1 ekspetasi inflasi forward-looking, gapt adalah output gap, ert adalah
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 415

depresiasi nilai tukar4, er* adalah nilai threshold dari nilai tukar, mt adalah pertumbuhan uang
beredar (M1), crisis adalah dummy variable untuk menangkap krisis finansial tahun 1997-
1998, fuel adalah dummy variable untuk menangkap kenaikan harga BBM pada bulan Januari
2005 dan Oktober 2005, dan fitri adalah dummy variable untuk menangkap fenomena hari
raya Idul Fitri.

Kami menggunakan Instrumental variables (IV) estimators, yaitu two stage least squares
(TSLS). Metode estimasi ini dapat mengatasi endogeneity problems mengingat model yang
digunakan terdapat nilai inflasi di masa datang.

Estimasi model dilakukan dengan metode conditional least squares yang dapat dijelaskan
sebagai berikut: Untuk setiap nilai threshold ert*, model diestimasi melalui TSLS, kemudian
diperoleh sum of squared residuals (SSR). Estimasi least squares dari ert* diperoleh dengan
memilih nilai threshold ert* dimana yang memiliki nilai SSR yang minimum. Jika kita
menempatkan seluruh observasi nilai threshold ke dalam vector, maka notasi kompak dari
persamaan (2) adalah sebagai berikut:

y = xβer + ε , er = er,....er , (6)

dimana βer = ( c α1 α2 β γ1 γ2 θ δ1 δ2 δ3 )’ adalah vektor dari parameter, y adalah dependent


variable, dan x adalah matrix dari explanatory variables. Patut dicatat bahwa koefisien vector β
di-index-kan dengan er untuk memperlihatkan ketergantungannya pada nilai threshold, dimana
berkisar dari er sampai er . Kita definisikan S1 (er) sebagai SSR dengan nilai threshold depresiasi
nilai tukar pada er. Nilai estimasi er* threshold yang diperoleh adalah nilai threshold yang
mempunyai nilai yang minimal, yaitu:

er* = argmin [ S1(er), er = er,....,er ] (7)

Setelah nilai threshold diperoleh, kita perlu menguji apakah threshold effect-nya signifikan
secara statistic atau tidak. Pada persamaan (2), untuk menguji apakah threshold effectnya ada
atau tidak kita perlu menguji hipotesa nol, yaitu H0 : γ1 = γ2. Hansen (1997, 2000) menyarankan
metode bootstrap untuk mensimulasikan asymptotic distribution dari likelihood ratio test dari
H0 sebagai berikut:

4 Nilai tukar didefinisikan sebagai mata uang domestic per mata uang asing. Dalam hal ini digunakan Rp/USD. Dengan demikian, nilai
er yang negatif berarti depresiasi, sementara nilai er yang positif berarti apresiasi.
416 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

(S0 - S1)
LR0 = n , (8)
S1

dimana S0 and S1 adalah SSR untuk H0 : γ1 = γ2 dan H1 : γ1 = γ2. Dengan kata lain, S0 dan S1 adalah
SSR dari persamaan (2) tanpa threshold effect dan dengan threshold effects. Distribusi
asymptotic dari LR0 adalah non-standard dan mendominasi distribusi χ2. Distribusi dari secara
umum tergantung pada moments of sample, sehingga nilai-nilai kritis tidak dapat ditabulasikan.

Mengingat γ belum terindentifikasi, distribusi asymptotic dari LR0 bukanlah χ2. Hansen
(1997) memperlihatkan bahwa hal ini dapat di-aproksimasi dengan menggunakan prosedur
bootstrap berikut ini:
1. Tetapkan μt* , t = 1,....,n sebagai angka random yang diambil dari distribusi normal yang
mempunyai rata-rat nol dan varian satu, yaitu i.e. N(0,1).
2. Tetapkan yt* = μt*.
3. Dengan menggunakan observasi xt, t = 1,....,n regres yt* pada xt dan dapatkan residual

variance σn∗2 dari model linear, dimana .

4. Dengan menggunakan observasi xt, t = 1,....,n regres yt* pada xt ( γ ) dan dapatkan residual
∼ ∗2
variance σ n (γ)
dari threshold model, dimana ,

dan γ adalah threshold value.

5. Hitung =
.
6. Ulangi langkah nomor 4 dan 5 untuk γ yang lain.

7. Cari

8. Ulangi langkah ke-1 sampai ke-7 berulang kali.

Hansen (1997) juga memperlihatkan bahwa pengambilan sample yang berulang-ulang


dari Fn∗ dapat digunakan sebagai aproksimasi untuk distribusi asymptotic dari Fn. Adapun p-
value dari test ini adalah dengan menghitung prosentase dari bootstrap sample yang nilai Fn∗ -
nya melebihi LR0 (lihat persamaan (5)).
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 417

Studi ini mengikuti Hansen (2000) dalam membentuk confidence region untuk er*.
Confidence intervals untuk threshold parameter dibangun dengan meng-inversi distribusi
asymptotic dari statistik likelihood ratio. Dalam hal ini, kami menguji hipothesa nol H0 : er* = er
dengan menghitung likelihood test sebagai berikut:

S1(er) - S1(er*)
LR(er) = n , (9)
S1(er*)

dimana S1(er) and S1(er*) adalah SSR dari persamaan (II.2) dengan threshold er and er*. Tetapkan
cξ (β ) sebagai β-level nilai kritikal untuk ξ dari Table 1 pada Hansen (2000). Tetapkan

Γ = [er : LR(er) < cξ (β )] (10)

Hansen (2000) memperlihatkan bahwa adalah asymptotically valid untuk β-level


confidence pada er. Untuk mendapatkan confidence interval, kami plot likelihood ratio LR(er)
dengan threshold value (er), tarik garis lurus pada cξ (β ), dan beri tanda pada nilai threshold
dengan likelihood ratio yang berada di bawah nilai kritikal. Perlu diperhatikan bahwa LR(er)
akan sama dengan nol pada saat er = er*.

Untuk menguji keberadaan threshold effect dari money growth terhadap inflasi, kami
menggunakan model yang sama, namun kami mengganti depresiasi nilai tukar dengan
pertumbuhan uang beredar sebagai threshold variable. Model berikut selanjutkan akan
diestimasi:
e
πt = c + α1πt - 1 + α2πt + 1 + βgapt + γert + θ1(1 - dt ) [(mt ) I (mt > m*)]
+ θ2dt [(mt)I (mt < m*)] + δ1crisis + δ2 fuel + δ3 fitri + εt (11)

dimana

Adapun prosedur estimasi dan pengujian untuk threshold pertumbuhan uang beredar adalah
sama seperti prosedur di atas.

3.2. Data
Kami menggunakan data CPI, output gap, nilai tukar, dan M1. Data-data tersebut kami
peroleh dari Bank Indonesia (BI) dan BPS. Untuk analisis, kami menggunakan data bulanan dari
1980 sampai dengan 2008 (lihat Tabel 1).
418 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Tabel 1. Data
No Data Frequency Periode Sumber
1 Inflasi CPI Bulanan 1980:1 to 2008:12 BPS dan BI
2 Output gap Bulanan 1980:1 to 2008:12 Penulis
3 Nilai Tukar Bulanan 1980:1 to 2008:12 BI
4 M1 Bulanan 1980:1 to 2008:12 BI

Tabel 2.
Statistik deskriptif data (year-on-year)
1980 - 1997 1998 1999 - 2008
Data
Mean Std Dev Mean Std Dev Mean Std Dev
CPI Inflation 9,01 3,37 57,59 23,28 10,52 9,52
Exchange Rate Depreciation -6,63 10,67 -67,97 13,04 1,32 18,91
M1 Growth 19,53 11,52 29,17 9,02 17,70 6,39
Output Gap - HPA 0,19 3,39 -11,76 1,97 -2,31 3,25
Output Gap - Peak-to-Peak -2,50 1,54 -13,13 2,03 -5,20 3,29

IV . HASIL DAN ANALISIS


4.1 Threshold Effect pada Depresiasi Nilai Tukar
Tabel 3 di bawah ini menunjukkan hasil estimasi TSLS dari persamaan (2) tanpa adanya
threshold effect (dengan men-set γ1 = γ2). Dari table tersebut dapat kita lihat semua parameter
signifikan, kecuali konstanta. Dengan menggunakan adjusted HP filter sebagai proxy dalam
perhitungan potensial output, kami menemukan bahwa koefisien dari depresiasi nilai tukar
(yoy) adalah sebesar -0,050 dan koefisien dari pertumbuhan M1 adalah 0,021. Hasil ini

Tabel 3.
Phillips Curve Tanpa Threshold
Coef Std. Error t-Statistic Prob.
Constant -0.148 0.141 -1.051 0.294
Inflation (-1)0.710 0.042 17.078 0.000
Inflation(1) 0.225 0.058 3.911 0.000
Output Gap (-9) 0.062 0.023 2.703 0.007
Exchange Rate Dep(-1) -0.050 0.009 -5.223 0.000
M1 Growth(-2)
Table 1: Robustness 0.024 Phillips
check untuk 0.007
curve dengan 3.261 depresiasi
threshold 0.001
nilai tukar
Dummy Crisis 1.293 0.539 2.400 0.017
Dummy Fuel 2.940 0.676 4.349 0.000
Dummy Fitri 0.548 0.213 2.567 0.011

Adjusted R-squared 0.991


S.E. of regression 1.093
SSR 393.024
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 419

Tabel 4.
Phillips curve dengan threshold depresiasi nilai tukar
Coef Std. Error t-Statistic Prob.
Constant -0.169 0.144 -1.179 0.239
Inflation(-1) 0.719 0.045 16.071 0.000
Inflation(1) 0.211 0.062 3.382 0.001
Output Gap(-9) 0.064 0.024 2.703 0.007
Exchange Rate Dep(-1) <= -8.4% -0.056 0.012 -4.652 0.000
-8.4% > Exchange Rate Dep(-1) -0.045 0.010 -4.567 0.000
M1 Growth(-2) 0.026 0.008 3.294 0.001
Dummy Crisis 1.154 0.547 2.109 0.036
Dummy Fuel 2.973 0.693 4.293 0.000
Dummy Fitri 0.548 0.218 2.516 0.012

Adjusted R-squared 0.991


S.E. of regression 1.116
SSR 408.247

menunjukkan bahwa secara rata-rata dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi lebih besar
dibandingkan dengan dampak pertumbuhan uang beredar.

Untuk mengestimasi threshold depresiasi nilai tukar, kami menggunakan persamaan (2).
Nilai threshold dicari mulai dari -30% s.d. 0%; dengan kenaikan 0,06% terdapat 500 kandidat
nilai threshold. Dari 500 nilai threshold tersebut, ditemukan nilai SSR yang paling minimum, yaitu
408,25, pada nilai -8,4%. Hal ini berarti threshold depresiasi nilai tukar adalah sebesar 8,4%.

Tabel 4 menunjukkan hasil estimasi model dengan menggunakan adjusted HP filter untuk
menghitung output potensial. Dari table dapat kita lihat bahwa dampak depresiasi nilai tukar
pada inflasi pada saat tingkat depresiasi nilai tukar lebih besar atau sama dengan 8,4% adalah
sebesar 0,056, sedangkan dampaknya pada saat tingkat depresiasi nilai tukar di bawah 8,4%
adalah sebesar 0,045. Kedua koefisien tersebut di atas adalah signifikan pada tingkat 1%.

Garis horizontal pada Grafik 1 menunjukkan 90% confidence interval. Daerah di bawah
garis horizontal membentuk daerah penerimaan. Statistik LR(γ) akan bernilai nol pada threshold
yang optimal. Dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa confidence interval untuk threshold
nilai tukar ini terlalu lebar. Daerah di bawah garis dimana LR(γ) = 5,945 bernilai -23,52% s.d.
-2,64%. Hal ini menunjukkan bahwa estimasi nilai threshold effect untuk depresiasi nilai tukar
adalah kurang akurat.

Untuk menguji apakah benar terdapat perbedaan antara model linear dengan model
threshold, kami melakukan bootstrapping sebanyak 1.000 kali. Kami mengikuti prosedur yang
disarankan oleh Hansen (1997) untuk menghasilkan nilai kritis.

5 Ini adalah nilai kritis untuk 90% confidence interval dari Table 1 Hansen (2000).
420 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

LR ( γ )
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
-29.94
-28.86
-27.78
-26.70
-25.62
-24.54
-23.46
-22.38
-21.30
-20.22
-19.14
-18.06
-16.98
-15.90
-14.82
-13.74
-12.66
-11.58
-10.50
-9.42
-8.34
-7.26
-6.18
-5.10
-4.02
-2.94
-1.86
-0.78
Threshold (%)
Grafik 1. Nilai likelihood ratio dan 90%
confidence interval untuk threshold
depresiasi nilai tukar

Ditemukan bahwa sebagian besar Fsup berada di atas nilai Fo , yaitu -12,12, dimana nilai
p-value sebesar 0,957. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak dapat menolak hipotesa nol
dimana γ1 = γ2. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan dampak
depresiasi nilai tukar yang signifikan terhadap inflasi pada level di bawah threshold dan di atas
threshold. Dengan kata lain, dampak depresiasi nilai tukar pada inflasi adalah linear, yaitu
sebesar 0,05% untuk setiap 1% tingkat depresiasi.

Sebagai robustness check, kami menggunakan berbagai model alternatif, yaitu model
dengan menggunakan peak-to-peak output gap dan model dengan mengadopsi hubugan
asymmetris antara inflasi dan output, yaitu L-shaped function6. Adapun alternative model dapat
dilihat pada Tabel 5.

Tabel 6 menunjukkan hasil estimasi dengan dan tanpa threshold effect. Dari table tersebut
dapat kita lihat bahwa koeffisien dari depresiasi nilai tukar di bawah atau sama dengan nilai

Tabel 5.
Model alternative untuk threshold depresiasi nilai tukar
Model Output Gap Measurement Output Gap Function ER Dep.Threshold

1 Peak-to-Peak Linear No
2 Peak-to-Peak Linear Yes
3 Adjusted HP Filter Non-Linear No
4 Adjusted HP Filter Non-Linear Yes

6 Menurut hasil dari Bab 3 Doctoral Thesis Wimanda (2010), Phillips curve di Indonesia lebih cocok dimodelkan dengan L-shape
function dengan wall parameter sebesar 8.5%. Funsi ini sebenarnya adalah fungsi parabola dimana dampak output gap kepada
inflasi akan sangat besar jika output gap mendekati 8.5%.
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 421

Tabel 6.
Robustness check untuk Phillips curve dengan threshold depresiasi nilai tukar
Variable Model-1 Model-2 Model-3 Model-4
Constant 0.007 0.011 -0.325*** -0.358***
(0.186) (0.192) (0.122) (0.127)
Inflation (-1) 0.714*** 0.730*** 0.694*** 0.705***
(0.043) (0.048) (0.037) (0.041)
Inflation(1) 0.223*** 0.199*** 0.249*** 0.233***
(0.059) (0.067) (0.051) (0.056)
Output Gap Linear (-9) 0.071** 0.081**
(0.03) (0.032)
Output Gap Non-Linear(-9) 0.0003** 0.0004**
(0.00016) (0.00017)
Exchange Rate Dep(-1) -0.048*** -0.047***
(0.009) (0.009)
Exchange Rate Dep(-1) <= Threshold -0.057*** -0.054***
(0.013) (0.011)
Threshold < Exchange Rate Dep(-1) -0.041*** -0.041***
(0.009) (0.009)
M1 Growth(-2) 0.027*** 0.030*** 0.027*** 0.031***
(0.008) (0.009) (0.008) (0.008)
Dummy Crisis 1.228** 1.154** 0.652 0.462
(0.536) (0.547) (0.405) (0.422)
Dummy Fuel 2.944*** 2.973*** 2.772*** 2.805***
(0.683) (0.693) (0.648) (0.665)
Dummy Fitri 0.551** 0.548** 0.554*** 0.554***
(0.215) (0.218) (0.208) (0.213)
Adjusted R-squared 0.991 0.991 0.992 0.991
S.E. of regression 1.103 1.116 1.066 1.091
SSR 400.161 408.247 373.986 390.569
Threshold ER -8.40 -8.40
p-value 0.999 0.966

Catatan:
- Angka dalam tanda kurung adalah standard error.
- ***, **, dan * mengindikasikan tingkat signifikansi pada level 1%, 5%, dan 10%.

threshold-nya (γ1 ) dan di atas nilai threshold-nya pada model 2 dan model 4 (γ2 ) adalah negative
dan signifikan. Kami menemukan bahwa nilai threshold adalah sama dengan nilai threshold
pada model sebelumnya, yaitu -8,4%. Nilai koeffisien γ1 berada pada kisaran -0,054 sampai
dengan -0,057, sementara nilai koefisien γ2 relative sama, yaitu -0,041.

Setelah melakukan bootstrapping sebanyak 1.000 kali, model 2 and model 4


menghasilkan kesimpulan yang sama dengan model utama. Secara keseluruhan, dari bootstrap
test statistics pada variabel ini tidak ditemukan adanya signifikansi secara statistik. Nilai p-
values berkisar antara 0,966 dan 0,999. Hal ini mengimplikasikan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan antara dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi pada di atas dan di bawah
nilai threshold-nya.
422 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Apabila kita membandingkan model 1 dan model 2, begitu pula model 3 dan model 4,
dapat kita lihat bahwa nilai SSR untuk threshold model adalah lebih besar dibandingkan dengan
nilai SSR pada model linear. Hal ini mengkonfirmasi kesimpulan di atas.

Inflation (%)
1,4

1,2

0,8

0,6

0,4

0,2
-8.4 ER (%)
0
-25,0 -23,8 -22,5 -21,3 -20,0 -18,8 -17,5 -16,3 -15,0 -13,8 -12,5 -11,3 -10,0 -8,8 -7,5 -6,3 -5,0 -3,8 -2,5 -1,3 0,0

Grafik 2. Dampak Depresiasi Nilai Tukar


pada Inflasi: Sebuah Ilustrasi

Grafik 2 di atas menggambarkan dampak depresiasi nilai tukar pada inflasi. Dari gambar
tersebut, dapat kita lihat bahwa kemiringan (slope) garis warna biru solid adalah sama untuk
setiap titik. Dampak linear tersebut (garis biru solid) lebih preferable dibandingkan dampak
non-linear (garis coklat putus-putus).

4.2 Threshold Effect pada Pertumbuhan Uang


Untuk mengestimasi nilai threshold untuk pertumbuhan uang beredar, kami menggunakan
persamaan (8) dengan output gap dihitung berdasarkan adjusted HP filter. Pencarian nilai
threshold dilakukan mulai dari 0% sampai dengan 40%, dengan kenaikan sebesar 0,08. Hal
ini berarti terdapat 500 kandidat nilai threshold. Kami menemukan bahwa nilai threshold untuk
pertumbuhan M1 adalah 9,84%7.

Tabel 7 menunjukkan hasil estimasi threshold dengan menggunakan adjusted HP filter


sebagai pengukuran output gap. Mengingat hasil dari variable utama cukup robust, yaitu semua
koefisien signifikan secara statistik, maka kita dapat langsung menganalisa hasil thresholdnya.
Dari table tersebut, koefisien pertumbuhan uang beredar pada saat di bawah atau sama dengan
9,84% ( θ1 ) adalah 0,099, sedangkan koefisien pertumbuhan uang beredar pada saat di atas
9,84% ( θ2 ) adalah 0,032. Kedua koefisien tersebut signifikan pada level 1%.

7 Nilai ini menghasilkan angka SSR yang terkecil.


Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 423

Tabel 7.
Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Pertama
Coef Std. Error t-Statistic Prob.
Constant -0.361 0.150 -2.405 0.017
Inflation(-1) 0.695 0.039 17.947 0.000
Inflation(1) 0.241 0.054 4.468 0.000
Output Gap(-9) 0.053 0.022 2.455 0.015
Exchange Rate Dep(-1) -0.047 0.009 -5.257 0.000
M1 Growth(-2) <= 9.84% 0.099 0.030 3.341 0.001
9.84% < M1 Growth(-2) 0.032 0.008 3.877 0.000
Dummy Crisis 1.229 0.516 2.384 0.018
Dummy Fuel 2.983 0.656 4.549 0.000
Dummy Fitri 0.583 0.207 2.821 0.005

Adjusted R-squared 0.992


S.E. of regression 1.057
SSR 366.404

Hasil ini berimplikasi bahwa ada perbedaan dampak dari pertumbuhan M1 terhadap
inflasi pada saat di atas atau di bawah nilai thresholdnya, yaitu 9,84%. Sebagai ilustrasi, apabila
M1 tumbuh sebesar 5% di bulan ini, maka terdapat tambahan inflasi sebesar 0,5% di dua
bulan yang akan datang. Sedangkan apabila M1 tumbuh 10% di bulan ini, maka akan ada
tambahan inflasi rata-rata sebesar 0,98% pada 2 bulan mendatang.

LR ( γ )
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
11,28
12,88
14,48
16,08
17,68
19,28
20,88
22,48
24,08
25,68
27,28
28,88
30,48
32,08
33,68
35,28
36,88
38,48
0,08
1,68
3,28
4,88
6,48
8,08
9,68

Threshold (%)
Grafik 3. Nilai Likelihood Ratio dan 90%
Confidence Interval untuk Threshold
Pertumbuhan M1: Titik Pertama

Setelah nilai threshold diidentifikasi, maka pertanyaan penting berikutnya adalah seberapa
akurat estimasi tersebut. Hal ini membutuhkan perhitungan daerah kepercayaan (confidence
region) di sekitar nilai threshold. Grafik 3 mengilustrasikan nilai likelihood ratio dan nilai
424 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

threshold, serta 90% confidence intervals. Seperti yang dijelaskan di atas, confidence region
dihitung dengan mengambil nilai-nilai pertumbuhan M1 dimana nilai LR(M1) terletak di bawah
garis horizontal. Dari gambar tersebut terlihat bahwa confidence interval untuk pertumbuhan
uang adalah cukup sempit, yaitu 7,12% - 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai threshold
yang diestimasi tersebut adalah cukup akurat.

Langkah selanjutnya adalah menguji apakah nilai threshold tersebut ada atau tidak dengan
melakukan bootstrapping. Dengan men-generate sample baru dan diulangi sebanyak 1.000
kali untuk keperluan estimasi percentile dari asymptotic null distribution Fn*, kami mendapatkan
bahwa nilai dari p-value adalah 0,001. Dengan demikian, hipotesa nol (model linear) dapat
ditolak dan disimpukan bahwa ada nilai threshold untuk pertumbuhan M1.

Setelah menemukan nilai threshold yang pertama, kami mencari kemungkinan adanya
nilai threshold yang lain. Kita dapat mencari 3 regime pada saat bersamaan, namun cara ini
sangat tidak efisien dalam hal waktu perhitungan. Chong (1994) dan Bai (1997) menunjukkan
bahwa estimasi secara sekuensial adalah konsisten, sehingga hal ini dapat menghindari dari
masalah perhitungan. Hal ini berarti kita dapat mem-fix-kan angka threshold yang pertama
kemudian mencari nilai threshold kedua dengan mengasumsikan bahwa threshold pertama
sudah fix.

Kami memulainya dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya nilai threshold yang


lain antara 9,84% sampai dengan 40%. Dengan penambahan nilai sebanyak 0,075 terdapat
400 kandidat nilai threshold. Ditemukan bahwa SSR terkecil pada threshold 17,13%. Hal ini
berarti bahwa 17,13% adalah kandidat threshold kedua. Hasil estimasi TSLS dapat dilihat pada
Tabel A (lihat Lampiran). Meskipun semua koefisien pertumbuhan M1 tersebut signifikan pada
level 1%, namun setelah melakukan bootstrapping kami mendapatkan nilai p-value sebesar
0,177 yang mana agak lebih besar dari 10%. Dengan demikian, hipotasa nol dari 2 regime
threshold tidak dapat ditolak. Dengan kata lain, hubungan antara inflasi dan pertumbuhan M1
adalah linear pada saat M1 tumbuh di atas 9,84%.

Usaha pencarian kandidat threshold berikutnya adalah antara 0% sampai dengan


9,84%. Kami menyeleksi 350 nilai dan menemukan SSR yang paling minimal ada pada titik
7,08%. Hasil estimasi TSLS dengan 2 threshold, yaitu 9,84% dan 7,08% dapat dilihat pada
Tabel 8. Dari table tersebut dapat kita perhatikan bahwa koefisien dari pertumbuhan M1
pada saat tumbuh di bawah 7,08% adalah 0,146; pada saat tumbuh antara 7,08% dan
9,84% koefisiennya adalah 0,088; dan pada saat tumbuh di atas 9,84% koefisiennya turun
menjadi 0,033. Semua koefisien tersebut di atas adalah signifikan padal level 1%. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan M1, dampaknya terhadap inflasi akan
semakin berkurang.
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 425

Tabel 8.
Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Ke Dua
Coef Std. Error t-Statistic Prob.
Constant -0.404 0.151 -2.671 0.008
Inflation(-1) 0.687 0.038 18.160 0.000
Inflation(1) 0.252 0.053 4.772 0.000
Output Gap(-9) 0.049 0.021 2.318 0.021
Exchange Rate Dep(-1) -0.045 0.009 -5.152 0.000
M1 Growth(-2) <= 7.08% 0.146 0.049 2.997 0.003
7.08% < M1 Growth(-2) <= 9.84% 0.088 0.030 2.922 0.004
9.84% < M1 Growth(-2) 0.033 0.008 4.003 0.000
Dummy Crisis 1.151 0.506 2.276 0.024
Dummy Fuel 2.954 0.645 4.580 0.000
Dummy Fitri 0.602 0.204 2.951 0.003

Adjusted R-squared 0.992


S.E. of regression 1.041
SSR 354.107

Grafik 4 menunjukkan bahwa likelihood ratio minimum ditemukan pada titik threshold
7,08%. Adapun 90% confidence interval-nya cukup sempit, yaitu antara 6,94% sampai dengan
8,04%. Hal ini mengindikasikan bahwa 7,08% adalah kandidat yang potensial untuk threshold
kedua.

LR ( γ )
25

20

15

10

0
0,03
0,39
0,76
1,12
1,49
1,86
2,22
2,59
2,95
3,32
3,68
4,05
4,41
4,78
5,14
5,51
5,88
6,24
6,61
6,97
7,34
7,70
8,07
8,43
8,80
9,17
9,53

Threshold (%)

Grafik 4. Nilai Likelihood Ratio dan 90%


Confidence Interval untuk Threshold
Pertumbuhan M1: Titik Kedua

Uji secara formal dilakukan dengan bootstrapping sample. Dengan mereplikasi sample
dan mengulanginya sebanyak 1.000 kali, kami mendapatkan p-value sebesar 0,004. Dengan
demikian, kami menolak hypothesa nol dari 2 regime. Atas dasar test tersebut, kami
menyimpulkan bahwa terdapat 3 regime threshold untuk pertumbuhan M1.
426 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Selanjutkan kami mencari kandidat nilai threshold yang lain di antara 0% dan 7,08%.
Dengan penambahan sebesar 0,028%, kami mengevaluasi 250 kandidat. Dari 250 kandidat
tersebut, kami menemukan nilai SSR yang paling minimum terdapat pada titik 4,93%.

Tabel B (lihat Lampiran) melaporkan hasil estimasi TSLS dengan empat regime. Semua
koefisien signifikan, kecuali koefisien untuk pertumbuhan M1 antara 0% sampai dengan 4,93%
(p-value = 0,273). Adapun test formal melalui bootstrapping menghasilkan p-value sebesar
0,191. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan inflasi dengan pertumbuhan M1 adalah linear
pada saat M1 tumbuh antara 0% sampai dengan 7,12%. Mengingat threshold ketiga ini tidak
signifikan, kita tidak mungkin memisahkan sample lebih jauh lagi.

Tabel 9.
Model Alternative untuk Threshold Pertumbuhan M1
Model Output Gap Measurement Output Gap Function M1 Threshold

5 Peak-to-Peak Linear No
6 Peak-to-Peak Linear Yes
7 Adjusted HP Filter Non-Linear No
8 Adjusted HP Filter Non-Linear Yes

Sebagai robustness check, kembali kami menggunakan berbagai model dengan perbedaan
terletak pada pengukuran output gap dan non-linear Phillips curve. Tabel 9 menunjukkan
perbedaan tersebut.

Seperti terlihat pada Tabel 10, hasil empiris ini menghasilkan beberapa hal yang menarik.
Pertama, semua koefisien, kecuali konstanta dan dummy variabel untuk krisis pada sebagian
model, adalah signifikan. Kedua, estimasi dari nilai threshold adalah sama, yaitu 9,84% and
7,08%. Ketiga, koefisien dari threshold effect agak berbeda, namun perbedaannya sangat
kecil. Koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh di bawah 7,08% adalah berkisar
0,156-0,160; koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh antara 7,08% dan 9,84%
berkisar 0,094-0,096; dan koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh di atas 9,84%
adalah berkisar 0,035-0,037.

Mengingat semua nilai p-values dari bootstrapping kurang dari 1%, maka kita dapat
menolak hipotasa nol untuk dua regime dan prefer kepada tiga regime. Selain itu, jika
dibandingkan nilai SSR pada threshold model (model 6 dan model 8) dan nilai SSR pada linear
model (model 5 dan model 7), kami menemukan bahwa model threshold lebih baik dari
model linear.
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 427

Tabel 10:
Robustness check untuk threshold pertumbuhan M1
Variable Model-1 Model-2 Model-3 Model-4

Constant 0.062 -0.284 -0.279** -0.559***


(0.187) (0.183) (0.12) (0.137)
Inflation (-1)0.714*** 0.689*** 0.694*** 0.672***
(0.043) (0.039) (0.037) (0.034)
Inflation(1) 0.223*** 0.250*** 0.251*** 0.273***
(0.059) (0.053) (0.051) (0.047)
Output Gap Linear(-9) 0.074** 0.060**
(0.03) (0.028)
Output Gap Non-Linear(-9) 0.000334** 0.00033**
(0.000161) (0.000153)
Exchange Rate Dep(-1) -0.048*** -0.043*** -0.047*** -0.042***
(0.009) (0.008) (0.009) (0.008)
M1 Growth(-2) 0.024*** 0.026***
(0.007) (0.007)
M1 Growth(-2) <= 2nd Threshold 0.156*** 0.160***
(0.049) (0.048)
2nd Threshold < M1 Growth(-2) <= 1st Threshold 0.096*** 0.094***
(0.031) (0.03)
1st Threshold < M1 Growth(-2) 0.035*** 0.037***
(0.008) (0.008)
Dummy Crisis 1.235** 1.122** 0.644 0.633
(0.539) (0.503) (0.406) (0.386)
Dummy Fuel 2.929*** 2.968*** 2.752*** 2.819***
(0.685) (0.65) (0.649) (0.619)
Dummy Fitri 0.550** 0.608*** 0.553*** 0.611***
(0.216) (0.205) (0.209) (0.199)

Adjusted R-squared 0.991 0.992 0.992 0.992


S.E. of regression 1.107 1.045 1.070 1.014
SSR 403.146 357.419 376.347 336.461

1st Threshold 9.84 9.84


2nd Threshold 7.08 7.08
p-value 0.005 0.005

Catatan:
- Angka dalam tanda kurung adalah standard error.
- ***, **, dan * mengindikasikan tingkat signifikansi pada level 1%, 5%, dan 10%.

Dari hasil analisis dan uji di atas, hasil empiris ini memberikan bukti yang kuat bahwa
hubungan pertumbuhan M1 dan inflasi dapat digambarkan dengan tiga regime. Grafik 5
mengilustrasikan hubungan tersebut. Dari gambar tersebut, dapat kita lihat bahwa kemiringan
dari garis solid warna coklat ketika M1 tumbuh sampai dengan 7,1% adalah lebih curam
dibandingkan dengan garis ketika M1 tumbuh antara 7,1%-9,8%. Demikian pula pada saat
M1 tumbuh lebih dari 9,8%, kemiringan garis menjadi lebih landai.
428 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Inflation (%)
2,0
1,8
1,6
1,4
1,2
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
Th-1 = 9,84
Th-2 = 7,08
0,0
0,0 1,3 2,5 3,8 5,0 6,3 7,5 8,8 10,0 11,3 12,5 13,8 15,0 16,3 17,5 18,8 20,0 21,3 22,5 23,8 25,0
Money (%)

Grafik 5. Dampak pertumbuhan M1


pada Inflasi: sebuah Ilustrasi

V. KESIMPULAN
Paper ini memberikan kontribusi pada literatur yang ada dimana penentuan threshold
dilakukan dengan menggunakan teknik yang dikembangkan oleh Hansen (1997, 2000).
Dibandingkan dengan penentuan threshold yang dilakukan secara arbitrary, teknik ini
memberikan keuntungan dimana nilai threshold dapat ditentukan oleh karakteristik data itu
sendiri. Lebih jauh lagi, teknik ini memungkinkan untuk mendeteksi kemungkinan nilai threshold
lainnya. Apabila nilai threshold ditetapkan satu, padahal sebenarnya terdapat lebih dari satu,
maka nilai koefisiennya dapat under/over estimate.

Paper ini memberikan pemahaman mengenai threshold effect dari depresiasi nilai tukar
dan pertumbuhan uang beredar (M1) terhadap inflasi di Indonesia. Dengan menggunakan
data bulanan dari 1980:01 sampai 2008:12 model ini memberikan bukti yang kuat bahwa
terdapat threshold effect dari pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi, namun tidak
ditemukan threshold effect antara depresiasi nilai tukar dan inflasi.

Seluruh eksperimen dilakukan sebanyak 1.000 kali. Dengan menggunakan dua


pengukuran output gap yang berbeda, yaitu adjusted HP filter dan peak-to-peak method, dan
dua jenis hubungan inflation-output, yaitu linear and L-shape function, kesimpulan kami adalah
sama. Nilai threshold dari depresiasi nilai tukar adalah 8,4%. Namun demikian, koefisien dari
nilai tukar pada saat tingkat depresiasi di bawah 8,4% ( γ1 ) dan koefisien dari nilai tukar pada
saat di atas 8,4% ( γ2 ) tidak berbeda banyak. F-test memberikan kesimpulan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara γ1 dan γ2. Dengan demikian, dampak depresiasi nilai tukar
pada inflasi adalah linear untuk semua tingkat depresiasi (yaitu 0,05).

Untuk pertumbuhan uang beredar, kami menemukan bukti bahwa ada dua nilai threshold,
yaitu 7,1% and 9,8%. F-tests memberikan kesimpulan bahwa efek dari ketiga regime tersebut
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 429

adalah berbeda secara signifikan. Hasil empiris ini menunjukkan bahwa dampak pertumbuhan
uang beredar terhadap inflasi tidaklah linear. Dampak terbesar pada saat uang beredar tumbuh
antara 0% s.d. 7,1% (yaitu 0,15), dampak moderat terjadi pada saat uang beredar tumbuh
antara 7,1% s.d. 9,8% (yaitu 0,09), dan dampak terendah pada saat uang beredar tumbuh di
atas 9,8% (yaitu 0,03). Semakin tinggi uang beredar yang tumbuh, maka dampaknya terhadap
inflasi akan semakin berkurang.

Secara umum, temuan kami ini sejalan dengan Galbraith (1996) yang melakukan studi
hubungan antara uang beredar dengan output. Dia menemukan bahwa uang mempunyai
dampak yang besar pada output jika pertumbuhan uang beredar di bawah nilai threshold-nya
dibandingkan dengan di atas threshold. Temuan kami dan temuannya adalah konsisten dengan
proposisi bahwa kebijakan moneter mempunyai pengaruh yang kecil atau tidak memberikan
pengaruh pada saat pertumbuhan uang beredar sangat tinggi.

Hasil temuan ini memberikan kesimpulan bahwa dampak uang beredar pada inflasi pada
saat uang beredar tumbuh di bawah 9,8% akan lebih besar dibandingkan dengan dampak
depresiasi nilai tukar terhadap inflasi. Kesimpulan ini berbeda dengan studi sebelumnya yang
tidak memasukkan threshold effect, dimana dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi adalah
lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan uang beredar pada setiap tingkat.

Meskipun dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi adalah linear, tidak berarti bahwa,
sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia dapat mengesampingkan tingkat depresiasi nilai tukar
mengingat dampaknya yang moderat. Lebih jauh lagi, studi ini menyarankan Bank Indonesia
sebaiknya memperhatikan pertumbuhan uang beredar, dalam hal ini M1, mengingat dampak
pertumbuhan M1 cukup besar pada saat berada pada tingkat di bawah nilai thresholdnya.
Meskipun dampak pertumbuhan M1 pada inflasi tidak linear dengan dampak yang lebih kecil
pada saat M1 tumbuh di atas nilai thresholdnya, studi ini tidak berarti menyarankan untuk
membiarkan M1 agar tumbuh pesat.

Hasil temuan kami di atas berdasarkan methodology yang diajukan oleh Hansen (1997,
2000). Namun demikian, studi ini tidak menjelaskan mengapa pertumbuhan uang beredar
yang semakin tinggi memberikan dampak yang lebih mild kepada inflasi. Dengan demikian,
studi lanjutan di masa mendatang untuk area ini sangat diperlukan untuk menjelaskan alasan
dampak yang asimetris ini.

Analisis di atas berdasarkan analisis parsial, yaitu menggunakan single equation model,
meskipun pada kenyataannya nilai tukar dan uang beredar tidak independen. Penggunaan
model yang lebih kompleks dimana nilai tukar dan uang beredar dijadikan sebagai variable
endogen dan mengevaluasi nilai threshold, sebagaimana yang ditemukan di studi ini, akan
menjadi studi yang menarik. Hal ini patut direserve untuk studi lanjutan.
430 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

DAFTAR PUSTAKA

Alba, J. D., Papell, D. (1998), «Exchange Rate Determination and Inflation in Southeast Asian
Countries», Journal of Development Economics, 55(2), 421-437.
Arestis, P., Cipollini, A., Fattouh, B. (2004), «Threshold Effect in the U.S. Budget Deficit», Economic
Inquiry, 42(2), 214-222.
Bai, J. (1997), «Estimating Multiple Breaks One at a Time», Econometric Theory, 13, 315√52.
Bajo-Rubio, O., Diaz-Roldan, C., Esteve, V. (2004), «Searching for Threshold Effects in the Evolution
of Budget Deficits: An Application to the Spanish Case», Economics Letters, 82, 239-243.
Barro, R. J. (1993), Macroeconomics, 4th edition, New York: Wiley
Bernhofen, D. M., Xu, P. (2000), «Exchange Rates and Market Power: Evidence from the
Petrochemical Industry», Journal of International Economics, 52, 283-297.
Calvo, G. A., Reinhart, C. M. (2000), «Fixing for Your Life», NBER Working Paper, 8006.
Campa, J. M., Goldberg, L. S. (2005), «Exchange Rate Pass-Through into Import Prices: A Macro
or Micro Phenomenon?», Review of Economics and Statistics, 87(4), 679-690.
Chong, T.T.L. (1994), «Consistency of Change-Point Estimators when the Number of Change-
Points in Structural Change Models is Underspecified», Working Paper, Chinese University
of Hong Kong.
Choudhri, E. U., Hakura, D. S. (2006), «Exchange Rate Pass-through to Domestic Prices: Does
the Inflationary Environment Matter?», Journal of International Money and Finance, 25,
614-639.
De Grauwe, P., Poland, M. (2005), «Is Inflation always and Everywhere a Monetary Phenomenon?»,
Scandinavia Journal of Economics, 107(2), 239-259.
Dewald, W. G. (1998), «Money Still Matters», Federal Reserve Bank of St. Louis Review, 80, 13√
24.
Dwyer, G. P., Hafer, R. W. (1988), «Is Money Irrelevant?», Federal Reserve Bank of St. Louis
Review, (May/June), 3√17.
Dwyer, G. P., Hafer, R. W. (1999), «Are Money Growth and Inflation Still Related?», Economic
Review, Federal Reserve Bank of Atlanta, Second Quarter.
Foster, N. (2006), «Export, Growth and Threshold Effects in Africa», Journal of Development
Studies, 42(6), 1056-1074.
Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 431

Friedman, M. (1968), «The Role of Monetary Policy», American Economic Review, 58(1): 1-17.
Friedman, M. (1992), Money Mischief: Episodes in Monetary History, New York: Harcourt Brace
Jovanovich
Galbraith, J.W. (1996), «Credit Rationing and Threshold Effects in the Relation between Money
and Output», Journal of Applied Econometrics, 11(4), 419-429.
Goldberg, P. K. (1995), «Product Differentiation and Oligopoly in International Markets: the
Case of the U.S. Automobile Industry», Econometrica, 63(4), 891-951.
Goldberg, P. K., Knetter, M. (1997), «Goods Prices and Exchange Rates: What Have We Learned?»,
Journal of Economic Literature, 35, 1243-1272.
Lucas, R. E. (1980), «Two Illustrations of the Quantity Theory of Money», American Economic
Review, 70, 1005√14.
Hansen, B.E. (1997), «Inference in TAR Models», Studies in Nonlinear Dynamics and Econometrics,
2(1), 1-14.
Hansen, B.E. (2000), «Sample Splitting and Threshold Estimation», Econometrica, 68(3).
Hooper, P., Mann, C. L. (1989), «Exchange Rate Pass-Through in the 1980s: the Case of U.S.
Imports of Manufactures», Brookings Papers of Economic Activity, 1.
Khan, M. S., Senhadji, A.S. (2001), «Threshold Effect in the Relation between Inflation and
Growth», IMF Staff Paper, 48(1).
McCandless, G. T., Weber, W. E. (1995), «Some Monetary Facts», Federal Reserve Bank of
Minneapolis Quarterly Review, 19(3), 2√11.
McCarthy, J. (2000), «Pass-Through of Exchange Rates and Import Prices to Domestic Inflation
in Some Industrialized Economies», Federal Reserve Bank of New York Staff Report, 3.
Menon, J. (1995), «Exchange Rate Pass-Through», Journal of Economic Surveys, 9(2), 197-231.
Papageorgiou, C. (2002), «Trade as Threshold Variable for Multiple Regimes», Economics Letters,
77, 85-91.
Papell, D. H. (1994), «Exchange Rates and Prices: An Empirical Analysis», International Economic
Review, 35(2), 397-410.
Rolnick, A. J., Weber, W. E. (1997), «Money, Inflation, and Output under Fiat and Commodity
Standards», Journal of Political Economy, 105(6): 1308√21.
Wimanda, R.E. (2010), «Inflation and Monetary Policy Rules: Evidence from Indonesia», Doctoral
Thesis, Loughborough University.
432 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Lampiran

Tabel A.
Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Ke Dua di Atas
Coef Std. Error t-Statistic Prob.
Constant -0.571 0.190 -3.000 0.003
Inflation(-1) 0.689 0.0371 8.537 0.000
Inflation(1) 0.248 0.052 4.751 0.000
Output Gap(-9) 0.052 0.021 2.447 0.015
Exchange Rate Dep(-1) -0.045 0.009 -5.302 0.000
M1 Growth(-2) <= 9.84% 0.127 0.035 3.502 0.001
9.84% < M1 Growth(-2) <= 17.13% 0.057 0.018 3.079 0.002
17.13% < M1 Growth(-2) 0.038 0.009 3.977 0.000
Dummy Crisis 1.219 0.508 2.400 0.017
Dummy Fuel 2.835 0.643 4.406 0.000
Dummy Fitri 0.543 0.206 2.639 0.009

Adjusted R-squared 0.992


S.E. of regression 1.047
SSR 358.479

Tabel B.
Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Ketiga
Coef Std. Error t-Statistic Prob.
Constant -0.387 0.152 -2.549 0.011
Inflation(-1) 0.684 0.037 18.475 0.000
Inflation(1) 0.256 0.052 4.972 0.000
Output Gap(-9) 0.049 0.021 2.317 0.021
Exchange Rate Dep(-1) -0.045 0.009 -5.186 0.000
M1 Growth(-2) <= 4.93% 0.085 0.077 1.097 0.273
4.93% < M1 Growth(-2) <= 7.08% 0.169 0.055 3.094 0.002
7.08% < M1 Growth(-2) <= 9.84% 0.085 0.030 2.848 0.005
9.84% < M1 Growth(-2) 0.031 0.008 3.900 0.000
Dummy Crisis 1.116 0.498 2.242 0.026
Dummy Fuel 2.926 0.639 4.576 0.000
Dummy Fitri 0.600 0.203 2.963 0.003

Adjusted R-squared 0.992


S.E. of regression 1.034
SSR 348.456
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 433

KETANGGUHAN APBN
DALAM PEMBAYARAN UTANG

Haryo Kuncoro 1

Abstract

This paper is designed to analyze the sustainability of the central government budget in the case of
Indonesia over the period of 1999-2009. First, we explore the theoretical background of the fiscal
sustainability. Second, we develop a model to capture some factors determining the fiscal sustainability.
Unlike the previous studies, we use both domestic debt and foreign debt to assess the fiscal solvency.
Finally, we estimate it empirically.

Based on the quarterly data analysis, we concluded that the government budget is unsustainable.
This is associated with domestic debt rather than foreign debt. They imply that the central government
should manage the debts carefully including re-profile, re-schedule, and re-structure them in order to
spread the excess burden in the future. Also, the fiscal risks should be calculated comprehensively in order
to maintain solvency.

Key words: Domestic debt, Foreign debt, Fiscal sustainability, Primary balance
JEL Classification: E62, H63

1 Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (har_kun@feunj.ac.id)


434 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

I. PENDAHULUAN
Ketangguhan fiskal (fiscal sustainability) sedang menjadi topik diskusi yang intensif di
kalangan ekonomi makro baik di negara maju maupun negara berkembang. Pembahasan
semakin kencang terutama sejak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 dan berulang lagi
tahun 2008. Krisis ekonomi ditandai dengan meningkatnya belanja pemerintah terutama untuk
penanggulangan dampak krisis. Di sisi lain, penerimaan pemerintah mengalami penurunan
yang sangat drastis.

Keadaan di atas juga dihadapi Indonesia. Krisis ekonomi telah membuat pemerintah
Indonesia terbelit utang yang berat untuk menutup defisit APBN. Utang pemerintah telah
bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga
perempat dari pertambahan ini merupakan utang dalam negeri yang harus dibayar untuk
restrukturisasi perbankan (Boediono, 2009).

Kewajiban-kewajiban penutupan utang (bunga dan amortisasi) akan melebihi 40 persen


dari penerimaan pemerintah selama beberapa tahun, sedangkan kebutuhan pembiayaan baru
(baik dari luar maupun dalam negeri) di tahun-tahun mendatang masih tetap dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan pengeluaran. Hal ini akan sangat membatasi ruang gerak fiskal (fiscal
space) pada masa pemerintahan sekarang ini, sehingga telah menggeser permasalahan dari
stimulus fiskal menjadi sustainabilitas fiskal (Rahmany, 2004).

Secara konseptual, APBN dikatakan berkesinambungan apabila ia memiliki kemampuan


untuk membiayai seluruh belanjanya selama jangka waktu yang tidak terbatas (Langenus, 2006;
Yeyati dan Sturzenegger, 2007). Konsekuensinya, kesinambungan fiskal harus mampu pula
memperhitungkan risiko fiskal. Risiko fiskal muncul tatkala terjadi kewajiban langsung (direct
liabilities) yang dapat diperkirakan sebelumnya dan kewajiban kontingensi (contingent liabilities)
akibat suatu peristiwa di luar kendali (Brixi dan Mody, 2002).

Lebih lanjut, isu mengenai risiko fiskal ini merupakan bagian integral dari pembahasan
mengenai kemampuan bayar utang (solvency) dalam jangka panjang. Ketidakmampuan
menyeimbangkan melonjaknya beban pengeluaran dengan peningkatan penerimaan jelas
sangat membahayakan kemampuan anggaran negara dalam membayar utang. Untuk menjaga
solvensi fiskal, keuangan negara harus surplus (Chalk dan Hemming, 2000).

Problem utama kelangsungan APBN adalah masih adanya defisit anggaran. Persoalannya
adalah bagaimana dapat menjaga defisit anggaran pada tingkat yang aman sehingga defisit
tersebut masih dapat dicarikan pembiayaannya. Penjelasan Pasal 12 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi
maksimal sebesar 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 435

Terjadinya risiko fiskal yang tidak diantisipasi dengan baik akan membebani anggaran
dan mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi dengan cakupan dan kedalaman efek yang
berbeda antara negara maju dengan negara sedang berkembang. Risiko fiskal yang terjadi
pada negara-negara maju akan menimbulkan beban pada anggaran dan berpeluang
menghambat pertumbuhan ekonomi.

Pada negara-negara berkembang implikasinya lebih berat. Terjadinya risiko fiskal yang
membebani anggaran akan menjalar dengan cepat pada perekonomian secara keseluruhan,
mendorong pelarian modal (capital outflow), dan bahkan mengubah arah pertumbuhan
ekonomi. Lebih jauh, pada negara-negara berkembang dengan kelembagaan ekonomi yang
masih lemah, ekspektasi terjadinya risiko fiskal akan mempengaruhi perilaku agen-agen ekonomi
sehingga berpeluang menghambat pertumbuhan ekonomi kendati risiko fiskal tersebut belum
terjadi sesungguhnya (Barnhill dan Kopits, 2003).

Paper ini berupaya mengkaji ketangguhan fiskal dengan kasus Indonesia. Untuk sampai
pada target tersebut, pada awalnya profil utang pemerintah akan diamati. Berikutnya, tinjauan
konsepsional ketangguhan fiskal akan diulas beserta studi-studi yang pernah dilakukan
sebelumnya. Metode penelitian dihantarkan pada bagian keempat. Hasil estimasi empirik
ditampilkan pada bahasan di bawahnya. Akhirnya, paper ini akan ditutup dengan beberapa
catatan.

II. PROFIL UTANG INDONESIA


Utang merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal dalam kerangka kebijakan
pengelolaan ekonomi secara keseluruhan. Utang menjadi konsekuensi dari postur APBN yang
mengalami defisit.

Konfigurasi antara defisit dan utang (dari dalam dan luar negeri) dapat diamati pada
Grafik 1. Selain untuk menutup defisit, utang juga dipergunakan untuk membayar kembali
utang yang jatuh tempo (debt refinancing).

Jumlah nominal utang Indonesia yang besar berakumulasi dari warisan rejim pemerintahan
sebelumnya. Jika ditilik ke belakang, sejak rezim Orde Lama, Indonesia telah menggunakan
pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan. Utang luar negeri digunakan selama
periode pertama tahun 1966 untuk merekonstruksi ekonomi setelah gejolak politik. Setelah
itu, rezim Orde Baru memiliki negara donatur tetap yang tergabung dalam IGGI
(Intergovernmental Group on Indonesia). Setiap tahun, IGGI menyediakan dana (dari ADB,
Bank Dunia, IMF, UNDP, dan beberapa negara maju besar) untuk membiayai belanja
pembangunan dirancang dalam anggaran negara.
436 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Triliun Rupiah % thd. PDB


140 134
7
- Sejak tahun 2005 SBN menjadi instrumen utama pembiayaan APBN
120 - Kenaikan SBN periode 2005-2010, antara lain untuk refinancing utang lama 6
yang jatuh tempo, dan refinancing dilakukan dengan utang baru yang 108
mempunyai terms & conditions yang lebih baik. 99
100 5
83 89
80 4.0 4
60 57 3
44 60
40 2.4 38 42 29 2.1
40 35 1.7 30 2
29 30 24 20
24 25
20 1.3 1.1 1423 20 1.3 1.6
1
1418 1.2 17
10 8 10 7 7 0.9 9
1 0.5 0.1 1
- -
(2) (3) (1) 4
(20) (10) (18)
(1)
(24) (18)
(29) (27)
(40) (2)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010+
Deflait (Surplus) APBN Non-Utang-neto
SBN - Nato Deflait APBN, % thd. PDB (RHS)
Pinjaman DN & LN -neto
Sumber : Kementrian Keuangan
Catatan : APBN 1996-2008 adalah
angka PAN/LKPP-Audited + APBN 2010

Grafik 1. Defisit dan Utang


Pemerintah Indonesia, 1999-2010

Selama boom minyak di tahun 1970-an utang luar negeri meningkat pesat untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Harga minyak tinggi diikuti oleh utang yang tinggi pula.
Sebagai salah satu negara pengekspor minyak (pada waktu itu), Indonesia memiliki windfall
profit sebagai semacam ≈jaminanΔ untuk memperoleh pinjaman baru dari negara-negara
kreditor (Kuncoro, 1997). Utang luar negeri dan pendapatan minyak yang tinggi telah berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada periode itu, tingkat pertumbuhan ekonomi
mencatat rekor tertinggi, pada rata-rata 20 persen setahun.

Anehnya, ketika harga minyak menurun pada paruh pertama tahun 1980-an tetap saja
utang bertambah. Resesi ekonomi dunia dan proteksi perdagangan yang diberlakukan oleh
sebagian besar negara mitra dagang adalah penyebab utama. Persentase utang luar negeri
total terhadap PDB meningkat dari 26,8 persen pada tahun 1980 menjadi 53,6 persen pada
tahun 1986.

Pada akhir 1980-an dan selama boom ekonomi pada pertengahan 1990-an, utang luar
negeri jangka panjang yang dilakukan oleh perusahaan milik negara khususnya dan swasta.
Utang pemerintah meningkat karena PERTAMINA sebagian besar diperluas. BULOG mengambil
utang luar negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan sendiri. Akibatnya, rasio pengembalian
utang terhadap ekspor pada akhir 1980-an, naik menjadi rata-rata 40 persen. Pada tahun
1992, IGGI dibubarkan dan diganti menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia).
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 437

Ketika krisis keuangan Asia pada pertengahan 1997, utang luar negeri meningkat secara
signifikan dari lebih dari USD 136 milyar pada tahun 1997 menjadi lebih dari Rp 151 miliar
pada tahun 1998, terutama disebabkan oleh depresiasi Rupiah. Ketika itu, pemerintah Indonesia
mengalami penurunan penerimaan dan, di sisi lain, peningkatan belanja pemerintah untuk
menanggulangi dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari krisis.

Dalam era reformasi, pemerintah dan DPR membuat keputusan politik yaitu defisit harus
dibiayai oleh sumber keuangan domestik. Oleh karena itu, CGI dibubarkan pada tahun 2007.
Akibatnya, jumlah stok utang dalam negeri (Surat Berharga Negara) telah melejit hingga sepuluh
kali (100 triliun pada tahun 1998 menjadi hampir 1,000 triliun pada tahun 2009). Hanya dalam
satu dekade, utang domestik telah lebih tinggi dari utang luar negeri (Gambar 2). Akibatnya,
bunga utang publik juga meroket. Pembayaran bunga utang dalam negeri pun dua kali lipat
lebih besar daripada utang luar negeri.

1800
1600 Sutar Berharga Negara
1400 Pinjaman Luar Negeri
1200
1000
800
600
400
200
0
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009

(dalam %) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pinj. LN 100% 82% 47% 47% 48% 47% 47% 49% 47% 43% 42% 45% 43%
SBN 0% 18% 53% 53% 52% 53% 53% 51% 53% 57% 58% 55% 57%
Sumber : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI

Grafik 2. Saldo Utang Pemerintah Indonesia,


1997-2009 (Triliun Rupiah)

Sebagian besar utang pemerintah jatuh tempo pada awal tahun 2000. Konsekuensinya,
pembayaran suku bunga dan amortisasi menelan porsi sekitar 40 persen dari total pengeluaran
APBN. Pengeluaran penting lainnya adalah pendidikan (20 persen) subsidi untuk pupuk dan
energi (15 persen) dan transfer ke pemerintah daerah (26 persen). Komposisi pengeluaran di
atas, tentu saja, sangat terbatas pada ruang gerak fiskal.

Kendati ruang gerak fiskal mengalami penurunan, rasio utang Indonesia telah
menunjukkan tren penurunan yang konsisten selama satu dasa warsa terakhir (Grafik 3). Sejalan
438 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

%
6000 100
89%
Hutang 90
5000 85%
PDB
80
77% PDB
4000 67% 70
61%
57% 60
3000 47% 50
39%
35% 33% 40
2000 32%
30
20
1000
10
0 0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI

Grafik 3.
Rasio Utang Indonesia, 1999-2009

dengan pemulihan ekonomi yang terus berlangsung, pendapatan nasional mengalami tren
pertumbuhan yang mantab (rata-rata 4,5 persen pertahun). Dengan kondisi ini, pada tahun
2000, misalnya, rasio total utang Indonesia mencapai 89 persen dan menurun hingga 32 persen
pada tahun 2009.

Angka rasio utang tersebut jauh lebih baik daripada negara-negara lain yang mengalami
dampak krisis. Diperbandingkan dengan beberapa negara dengan tingkat pendapatan
perkapitanya yang relatif sama, seperti Phillipina, Argentina, dan Turki, rasio utang Indonesia
juga lebih baik, bahkan dengan negara maju seperti Amerika, Inggris, Itali, dan Jepang
(Grafik 4).

198.8
180

140
121.3

100
82.8

62.2
60.3
60 54.9
50.7
25.5
20
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Argentina Turki Indonesia Inggris


Jepang Italia Filipina Amerika Serikat
Sumber : Economist Intelligence Unit

Grafik 4. Rasio Utang


Beberapa Negara Terpilih, 1999-2010
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 439

III. TEORI
Peta utang pemerintah di atas menimbulkan kerisauan atas seberapa jauh ketangguhan
APBN untuk menanggulangi semua kewajiban yang ditimbulkannya. Secara teoretis, sejauh ini
belum ada batasan tentang ketangguhan fiskal yang secara umum dapat diterima. Literatur
ekonomi makro mengenalkan tiga pendekatan definisi tentang ketangguhan fiskal. Pendekatan
pertama berlandaskan pada kaidah akuntansi yang menghubungkan antara kondisi fiskal dan
utang:

Dt+1 = (1+r) Dt + (Rt – Gt) (1)

Jika defisit (selisih antara penerimaan dan belanja, R – G) pada tahun anggaran yang sedang
berjalan dibiayai dengan utang sebesar D, maka besar utang pada periode anggaran berikutnya
(t+1) akan menjadi sebesar D itu sendiri ditambah dengan beban tingkat bunganya (r).

Suku (R – G) adalah keseimbangan primer (primary balance, PB) di luar pembayaran


bunga utang. Dengan menata ulang persamaan (III.1) di atas diperoleh

Dt+1 – Dt ≡ D Dt = r Dt-1 – PBt (2)

Dari persamaan (2) di atas dapat disimpulkan beberapa hal:


a.Ω Apabila PBt = 0, maka utang akan bertambah sebesar bunga atas utang sebelumnya;
b.Ω Apabila PBt < 0, maka Δ Dt positif, yang berarti pokok utang pemerintah terus meningkat;
c.Ω Apabila PBt > 0, maka Δ Dt negatif, yang berarti pokok utang pemerintah terus menurun.

Mengikuti pendekatan akuntansi ini, ketangguhan fiskal dapat dicapai jika tidak ada
utang. Kalaupun pemerintah harus berutang, kondisi ketangguhan fiskal masih dapat
dipertahankan apabila besaran tambahan utang harus sebanding dengan nilai surplus PB.

Persamaan (2) jika diungkapkan dalam bentuk relatif terhadap pendapatan nasional (PDB
atau Y) akan menjadi

Δ [D / Y]t = r [D / Y]t-1 – [PB / Y]t (3a)

Δ dt = r dt-1 – pbt (3b)

Dalam konteks ini, ketangguhan fiskal terjadi jika posisi keseimbangan fiskal sekarang
(dan prospeknya ke depan) tumbuh lebih lambat daripada kenaikan rasio utang terhadap PDB
(Ouanes dan Thakur, 1997).
440 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Definisi pendekatan sustainabilitas fiskal yang kedua dijelaskan melalui keterkaitannya


dengan solvabilitas. Dinh (1999) menyatakan solvabilitas fiskal suatu negara sangat tergantung
pada aset dan kewajiban negara, yang secara sederhana dapat didefinisikan net worth = assets
√ liabilities. Jika net worth menunjukan nilai negatif maka negara tersebut dalam kondisi insolven.

Mengikuti (3), pembagian terhadap PDB membawa konsekuensi bahwa pertumbuhan Y


juga harus diperhitungkan. Jika Y tumbuh sebesar g, maka penambahan utang akan menjadi

r–g
Δ dt = dt-1 – pbt (4)
1+g

Apabila tidak ada penambahan utang baru (Δ dt = 0), maka

r–g
pbt = dt-1 (5)
1+g

Dari definisi (5) di atas, suatu negara dapat dikatakan sebagai net debtor (yang dicerminkan
melalui dt > 0 ) akan menghadapi dua kemungkinan sebagai berikut:
a. Jika (r–g) > 0, maka untuk mencapai solvabilitas fiskal dibutuhkan surplus dalam
keseimbangan primer sejumlah nilai pb.
b. Jika (r–g) < 0, meskipun suatu negara sudah memiliki stok pinjaman sejumlah dt, masih
dimungkinkan memiliki defisit anggaran (diukur dalam keseimbangan primer) tanpa
membahayakan solvabilitas fiskal asal defisit tersebut tidak melebihi nilai pb.

Dengan demikian, besarnya pinjaman suatu negara, tidak secara langsung dapat
menggambarkan kesinambungan fiskal. Suatu negara yang memiliki tingkat pinjaman rendah
namun masih tetap menghadapi masalah solvabilitas fiskal, apabila prospek perekonomian
negara tersebut buruk yang dicerminkan (r–g) > 0. Sebaliknya, suatu negara bisa memiliki
tingkat pinjaman yang relatif tinggi tanpa membahayakan solvabilitas fiskal karena memiliki
prospek perekonomian yang cerah secara teknis dicerminkan (r–g) < 0. Namun patut dicatat
bahwa hal semacam ini bukan berarti suatu negara dapat memiliki tingkat pinjaman yang
terlalu tinggi. Risiko paling berat adalah ketika suku bunga tinggi dan prospek pertumbuhan
ekonomi yang rendah.

Definisi pendekatan ketangguhan fiskal yang ketiga mengembangkan pendekatan


akuntansi dengan mensyaratkan faktor diskonto atas utang. Metode ini dikenal dalam literatur
ekonomi sebagai pendekatan kendala nilai sekarang (present value constraint approach) atas
utang. Inovasi yang dilakukan adalah melakukan iterasi ke depan sampai k periode terhadap
persamaan (1), menjadi sebagai berikut:
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 441

1
Dt = Σ { Dt+1+k – PBt+k } (6)
1+k
(1+r)

Nilai limit untuk waktu yang tak terhingga atas suku pertama pada bentuk di sebelah
kanan persamaan (6) akan berakhir (asimtotis) sama dengan nilai nol (converges to zero)2.
Persamaan yang masih tersisa tinggal

1
Dt = − Σ PBt+k (7)
(1+r)1+k

Sebagai catatan nilai minus PB adalah defisit dan nilai plus adalah surplus.

Persamaan di atas disebut jugaΩsebagai kendala pembiayaan pemerintah antarwaktu


(intertemporal government financing constraint). Persamaan (7) ini menyatakan bahwa jumlah
utang pemerintah pada saat tertentu harus sama besar dengan nilai sekarang dariΩdefisit
keseimbangan primer di masa mendatang (Cuddington, 1996). Artinya, pertumbuhan utang
harus lebih rendah daripada pertumbuhan tingkat bunga (Buiter, 2002). Apabila kondisi tersebut
terpenuhi maka kebijakan anggaran dikatakanΩberkelanjutan.

Ketiga definisi di atas memberikan pemahaman yang sama, yaitu bahwa sustainabilitas
fiskal adalah kemampuan fiskal untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan dan program
pemerintah dengan mempertahankan stabilitas makro ekonomi dengan titik berat memelihara
agar rasio utang negara terhadap PDB relatif konstan. Beberapa konsep yang dikemukakan di
atas kemudian mengilhami berbagai riset empirik untuk mengkaji ketangguhan fiskal.

Secara umum, riset yang berkembang dapat dikategorikan ke dalam empat perspektif
(Arnone, Bandiera, dan Presbitero, 2005), yaitu (1) model optimasi, (2) model non optimasi, (3)
model ruang gerak fiskal, dan (4) model efek disinsentif. Model optimasi menelaah sustainabilitas
fiskal dengan memberikan penekanan pada biaya pinjaman. Model non optimasi melihat
dinamika utang dengan menghubungkannya pada tingkat pertumbuhan bunga pinjaman.

Model (3) mengamati perubahan ruang gerak fiskal akibat beban pengeluaran untuk
bunga pinjaman. Pada akhirnya model ini hendak mendeteksi konsekuensi terhadap
pertumbuhan ekonomi apabila pemerintah memelihara ruang gerak fiskal guna
mempertahankan sustainabilitas fiskal. Lebih mendalam, model (4) meluaskan analisis dampak

2 Persamaan yang bersangkutan ketika tidak sama dengan 0 (nol) menunjukkan adanya Ponzi Game. Sebuah istilah yang diambil dari
nama pencetusnya, Charles Ponzi (1919) untuk menyatakan utang baru untuk menutup utang lama sedemikian rupa sehingga hasil
akhir sebesar nilai tertentu yang tidak sama dengan nol.
442 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

depresiasi mata uang, defisit, inflasi, dan ketidakpastian pada sustainabilitas fiskal. Tampak
sekilas model (1) merupakan operasionalisasi empiris atas pendekatan akuntansi. Sementara,
model (2), (3), dan (4) menjabarkan pendekatan solvabilitas dan pendekatan kendala nilai
sekarang.

Hamilton dan Flavin (1986) adalah orang yang pertama kali meneliti kesinambungan
fiskal. Dalam kerangkan model optimasi, pertanyaan yang diajukannya adalah apakah defisit
yang berlangsung terus-menerus masih tetap dalam kendali sustainabilitas anggaran jangka
panjang. Mereka menggunakan suku bunga tetap dalam analisisnya untuk data Amerika.
Simpulannya adalah adanya kesesuaian antara defisit dengan kemampuan membayar utang.

Wilcox (1989) mengembangkan pendekatan Hamilton dan Flavin (1986) dengan


menganggap suku bunga tidak lagi tetap. Hasil studinya dengan model non optimasi
menunjukkan utang Amerika tetap berkesinambungan sejauh fluktuasi perubahan suku bunga
stasioner. Kedua studi tersebut menegaskan sustainabilitas jangka panjang (kemampuan
membayar utang) tercapai melalui sustainabilitas jangka pendek (pengendalian stabilitas
defisit).

Selain faktor-faktor yang telah baku di atas, beberapa peneliti mulai berupaya
mengidentifikasi faktor lainnya dalam kerangka model ruang gerak fiskal. Buiter (1993)
mengidentifikasi tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan defisit primer melalui penurunan
nilai riil atas penerimaan pajak. Akibatnya, negara pengutang mengalami kesulitan dalam operasi
fiskalnya. Konsekuensinya, penyesuaian maturitas utang dengan jangka waktu penerimaan
pajak (tax smoothing) akan menjadi solusi bagi ketangguhan fiskal (Barro, 1997).

Chouraqui, Hagemann, dan Sartor (1999) menekankan pentingnya konsistensi kebijakan


fiskal. Penerapan kebijakan yang berubah-ubah akan menyulitkan pengukuran kinerja.
Tampaknya mereka mencoba memasukkan faktor kelembagaan ke dalam analisisnya. Dalam
observasinya terhadap sejarah fiskal negara-negara OECD tersebut, mereka menemukan bahwa
Cyclically-Adjusted Budget Balance (CAB) merupakan cara efektif untuk saling mengontrol
kestabilan fiskal masing-masing negara anggota.

Buiter (1997) mengidentifikasi faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi kesinambungan


fiskal, yaitu nilai tukar, cadangan devisa, belanja konsumsi, dan belanja investasi pemerintah.
Dalam kompleksitas masalah semacam ini, Buiter (2002) menyarankan utang pemerintah
digunakan hanya untuk keperluan belanja investasi guna mendorong konservatisme fiskal.
Sementara, pertambahan pajak hanya sebagai bagian yang konstan dari PDB.

Dalam hubungannya dengan nilai tukar, Turner (2002) mencatat bahwa permintaan
obligasi berdenominasi Dolar Amerika Serikat biasanya akan meningkat bila rezim moneter
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 443

menggunakan nilai tukar bebas (mengambang). Hal ini disebabkan karena kepercayaan terhadap
nilai tukar di negara berkembang dan pasar yang tengah berkembang (emerging market)
umumnya masih rendah.

Calvo (2003) menemukan contoh menarik tentang dampak perekonomian terhadap


beban fiskal. Pada tahun 1981-83 Meksiko mengalami mandeg seketika (sudden stop), yaitu
terhentinya aliran modal masuk ke negeri itu dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan menurunnya
kepercayaan investor terhadap kinerja perekonomian dan situasi politik yang tidak menentu.
Akibatnya, cadangan devisa Mexico mengalami penurunan 20 persen dari PDB.

Mendoza dan Oviedo (2004) mempelopori analisis kesinambungan utang luar negeri
dengan mengintroduksikan batas utang alami (natural debt limit, NDL). Batas utang alami
adalah nilai anuitas keseimbangan fiskal pada saat terjadi krisis fiskal. Hasil studinya untuk
empat negara di Amerika Latin menunjukkan rasio utang terhadap PDB bervariasi yang berada
di atas NDL, sehingga solvabilitasnya juga berbeda-beda.

Penelitian serupa untuk kasus negara-negara sedang berkembang telah pula dilakukan,
misalnya oleh Yamauchi (2004) untuk kasus Eritrea, Yilanci dan Ozcan (2008) untuk negara
Turki, dan Makin (2005) untuk negara-negara Asia tenggara. Studi-studi tersebut tidak
memberikan satu simpulan yang tegas tentang ketangguhan fiskal. Keragaman hasil ini lebih
disebabkan oleh karakteristik kebijakan fiskal dan lingkungan ekonomi makronya yang khas
terjadi di tiap negara.

Riset yang dilakukan di Indonesia tentang utang khususnya utang dalam negeri masih
jarang dilakukan. Hal ini bisa dimaklumi karena pasar obligasi pemerintah dalam negeri baru
dimulai pada tahun 2001. Konsekuensinya, sebagian besar riset yang berkembang di Indonesia
masih tercurah pada utang luar negeri. Kuncoro (1999) memperoleh fakta empirik kebijakan
defisit yang dibiayai dari utang luar negeri mendesak keluar (crowd out) investasi swasta yang
membawa konsekuensi pada minimnya peran utang luar negeri pada pertumbuhan ekonomi.
Saleh (2002) meneliti peran utang luar negeri dalam perekonomian Indonesia dengan hasil
yang juga negatif. Nihilnya kontribusi utang disebabkan karena utang luar negeri tidak cukup
mampu menciptakan penerimaan dalam negeri.

Di Indonesia, risiko fiskal itu sendiri baru muncul secara eksplisit ke dalam APBN tahun
2008. Sebelumnya, risiko fiskal dinyatakan secara implisit bahkan sedikit perhatian yang ditujukan
kepadanya. Kesadaran akan risiko fiskal mencuat setelah krisis ekonomi tahun 1997. Studi
Soelistijaningsih (2002) menunjukkan risiko utang bisa berkurang dengan mendiversifikasi mata
uang pinjaman. Hasil ini didukung oleh temuan Mark (2004). Ketangguhan fiskal Indonesia
hanya dapat dipelihara jika tidak terjadi depresiasi yang berat.
444 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

PPE UGM dan BAF (2004) menyimpulkan utang luar negeri Indonesia yang besar karena
biaya peminjamannya lebih murah daripada biaya utang dalam negeri. Hal ini pulalah yang
menyebabkan rendahnya efisiensi utang luar negeri. Kendati demikian, PPE UGM dan BAF
(2004) menegaskan utang Indonesia masih cukup aman dari risiko gagal bayar. Di sisi lain, Ulfa
dan Zulfadin (2004) mendapatkan hasil yang mendua. Beberapa kebijakan fiskal yang mereka
identifikasi (seperti reformasi penganggaran) berhasil mengurangi kewajiban kontingensi berupa
penurunan utang, di sisi lain beberapa kebijakan fiskal justru memperbesar kewajiban kontingensi
(yaitu berupa penjaminan simpanan).

Dalam kaitannya dengan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001, Kuncoro (2005) meneliti
dampak kewajiban kontingensi berupa transfer terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas
regional. Hasil studinya membuktikan bahwa pemerintah daerah merespon transfer secara
overaktif. Implikasinya, pemerintah pusat dituntut untuk mengalokasikan transfer dalam jumlah
yang semakin besar guna mengurangi disparitas antardaerah.

Hanni (2006) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi sustainabilitas fiskal Indonesia.


Hasil studinya menyimpulkan beberapa variabel ekonomi makro eksternal menjadi determinan
penting bagi kesinambungan fiskal. Jha (2009) memasukkan faktor harga minyak ke dalam
analisis kesinambungan fiskal. Hasil analisis untuk 32 negara Asia (termasuk Indonesia)
menegaskan bahwa fluktuasi harga minyak secara signifikan berpengaruh pada ketangguhan
fiskal melalui jalur besaran subsidi dan perolehan penerimaan pemerintah.

Berbekal dari hasil identifikasi faktor-faktor penentu kesinambungan fiskal, riset yang
berkembang belakangan mengarah pada deteksi kerentanan fiskal (fiscal vulnerability) akibat
beban utang. Ciarlone dan Trebeschi (2006) meneliti beban utang luar negeri negara-negara
berkembang. Mereka menemukan sedikit kesuksesan faktor-faktor kunci tersebut dalam
memperkirakan terjadinya krisis utang.

Tunner dan Samake (2006) menemukan probabilitas terjadi kerentanan fiskal bisa dikurangi
dengan melakukan penyesuaian fiskal (fiscal adjustment). Celasun, Debrun, dan Ostry (2007)
mengamati kemungkinan kesinambungan fiskal di 5 negara berkembang. Temuannya yang
paling menarik adalah bahwa kebijakan fiskal itu sendiri menjadi faktor penting dalam
menciptakan risiko terjadinya kerentanan fiskal.

IV. METODOLOGI
Banyak studi di atas menyarankan beberapa hal penting. Pertama bahwa konfigurasi
anggaran pemerintah akan membawa dampak yang sangat besar bagi perekonomian. Kedua,
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 445

faktor-faktor eksternal tampak lebih dominan dalam mempengaruhi kondisi fiskal suatu negara.
Ketiga, sejauh ini belum ada studi di Indonesia yang khusus memperkirakan kondisi fiskal ke
depan terkait dengan integrasi seluruh faktor-faktor eksternal tadi.

Penelitian ini berupaya menutup kesenjangan empirik dalam studi tentang kebijakan
fiskal di Indonesia dengan mengambil sudut kajian yang bersifat sintesa. Tidak seperti model
pada riset-riset sebelumnya, inovasi pertama penelitian ini dalam menganalisis permasalahan
adalah penggunaan 2 jenis utang, yaitu utang dalam negeri (DD) dan utang luar negeri (FD).

Dtotal = DD + FD (8)

Mengikuti persamaan (2), model dasar ketangguhan fiskal Indonesia (8) dapat dituliskan
sebagai

Δ Dtotal = f (DDt-1, FDt-1, PBt) (9)

Persamaan (9) ini masih dalam bentuk absolut. Tanpa bermaksud mengubahnya, ia dapat
diubah ke dalam bentuk relatif ke dalam rasio terhadap PDB.

Δ (RDtotal)t = α0 + α1 (RDD)t-1 + α2 (RFD)t-1 + α3 (RPB)t + μt (10)

Persamaan (10) yang diturunkan dari persamaan (5) secara implisit mengasumsikan tingkat
bunga dan pertumbuhan ekonomi (EG) bersifat konstan.

Asumsi ini akan dibongkar dengan memunculkannya secara eksplisit sebagai variabel
penjelas. Selanjutnya, beberapa variabel lain dimasukkan ke dalam model sebagai kontrol.
Terkait dengan dua macam utang, suku bunga luar negeri (r) dan suku bunga dalam negeri
(SBI) akan ditampilkan. Sehubungan dengan utang luar negeri yang diukur dengan mata uang
domestik, depresiasi (Dep) juga dijadikan sebagai variabel penjelas. Model selengkapnya adalah:

Δ (RDtotal)t = α0 + α1 (RDD)t-1 + α2 (RFD)t-1 + α3 (RPB)t

+α4 (r)t + α5 (SBI)t + α6 (EG)t + α7 (Dep)t + μt (11)

Inovasi kedua penelitian ini adalah ketangguhan APBN diestimasi dengan data kuartalan
selama periode pasca krisis (1999-2009). Data yang diperlukan untuk keperluan studi ini pada
umumnya sudah tersedia secara triwulanan sehingga memudahkan pelaksanaan eksekusi model.
Satu perkecualian terjadi pada keseimbangan primer. Data yang tersedia dari publikasi secara
resmi adalah data tahunan. Data tersebut kemudian diinterpolasi secara linier sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan data lainnya.
446 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Secara umum, data tersebut diperoleh dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan (cq
DMO, Debt Management Office), dan Badan Pusat Statistik. Variabel yang akan dipergunakan
dispesifikasikan sebagai berikut. Utang yang dianalisis di sini adalah utang pemerintah pusat
(tidak termasuk Bank Indonesia, BUMN, BUMD, ataupun pemerintah daerah). Suku bunga
Federal Amerika dipakai sebagai perwakilan suku bunga luar negeri. Suku bunga SBI jangka
waktu 3 bulan didudukkan sebagai suku bunga dalam negeri3. Depresiasi dihitung sebagai
prosentase perubahan kurs tengah Rupiah terhadap Dolar Amerika publikasi resmi BI. Demikian
pula, pertumbuhan ekonomi dihitung sebagai prosentase perubahan PDB atas harga konstan
2000.

V. HASIL DAN ANALISIS


Hasil penaksiran model ketangguhan fiskal disajikan pada Tabel 1 berikut. Dengan
signifikansi 92 persen, utang dalam negeri dipercaya mendorong peningkatan total utang
pemerintah sebesar rata-rata 36 persen. Di sisi lain, dengan signifikansi yang lebih kecil, utang
luar negeri mendorong penurunan total utang pemerintah sebesar 20 persen. Hasil terakhir ini
mendukung klaim pemerintah bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB menunjukkan
penurunan yang konsisten.

Peningkatan suku bunga luar negeri cenderung mengurangi rasio tingkat utang total
sebesar 22 persen. Mengikuti kerangka teoretis, pengaruh suku bunga ini terhadap perubahan
utang seharusnya positif. Untungnya, koefisien ini secara statistik tidak signifikan pada tingkat
keyakinan 95 persen. Intepretasi yang paling memungkinkan adalah bahwa nilai negatif ini
semata-mata terkait dengan penurunan rasio utang pemerintah yang tengah terjadi. Di sisi
lain, suku bunga luar negeri selama periode analisis mengalami tren peningkatan.

Perubahan suku bunga SBI menambah beban utang total (terutama utang yang berasal
dalam negeri) sebesar 27 persen. Apabila diperbandingkan, koefisien pengaruh kenaikan suku
bunga dalam negeri (secara absolut) lebih tinggi daripada pengaruh kenaikan suku bunga luar
negeri. Hasil ini mendukung temuan studi PPE UGM dan BAF (2004) bahwa biaya utang luar
negeri lebih murah daripada pembiayaan utang dalam negeri sedemikian rupa sehingga
efisiensinyapun juga lebih tinggi.

3 Suku bunga yang lebih cocok sebetulnya adalah BI rate sebagai suku bunga kebijakan. BI rate itu sendiri baru diintroduksikan sejak
2005. Oleh karena itu, suku bunga SBI dapat dianggap merepresentasikan suku bunga kebijakan.
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 447

Tabel 1.
Hasil Estimasi Tingkat Utang Total Pemerintah, 1999(1)-2009(4)
Dependent Variable: D(RDTOT)
Method: Least Squares
Date: 03/17/10 Time: 04:38
Sample(adjusted): 1999:1 2009:4
Included observations: 44 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.


C 0.487018 0.911836 0.534107 0.5966
RDD(-1) 0.365373 0.200261 1.824487 0.0764
RDF(-1) -0.200480 0.142465 -1.407227 0.1679
R -0.219580 0.143448 -1.530730 0.1346
SBI 0.270587 0.123241 2.195586 0.0347
DEP 0.144565 0.022899 6.313181 0.0000
EG 0.047568 0.028054 1.695606 0.0986
RPB -0.614607 0.205085 -2.996836 0.0049

R-squared 0.668796 Mean dependent var -0.319798


Adjusted R-squared 0.604396 S.D. dependent var 1.789638
S.E. of regression 1.125630 Akaike info criterion 3.237529
Sum squared resid 45.61356 Schwarz criterion 3.561927
Log likelihood -63.22564 F-statistic 10.38493
Durbin-Watson stat 2.099574 Prob(F-statistic) 0.000000

Depresiasi Rupiah terhadap mata uang luar negeri secara signifikan membawa peningkatan
rasio stok utang pemerintah total sebesar 14 persen. Nilai utang pemerintah sebagian besar
didenominasikan ke dalam mata uang Dolar Amerika. Dengan jumlah utang luar negeri yang
sama, beban pemerintah akan 14 persen lebih berat dengan menurunnya 1 persen depresiasi
Rupiah terhadap Dolar Amerika. Hasil ini juga sejalan dengan hasil studi Soelistijaningsih (2002)
dan Mark (2004) bahwa diversifikasi utang ke dalam beberapa mata uang asing akan
meringankan beban utang pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi juga membawa dampak pada peningkatan rasio utang luar negeri
pemerintah sebesar 5 persen. Pertumbuhan ekonomi mencerminkan dinamika kekuatan
ekonomi masyarakat. Peningkatan kekuatan ekonomi ini membawa dampak pada peningkatan
permintaan masyarakat akan barang dan jasa, tidak terkecuali kepada barang publik yang
dipasok pemerintah. Konsekuensinya, pemerintah dituntut untuk meningkatkan pasokannya
dalam bentuk peningkatan belanjanya. Ketika besarnya belanja tidak bisa ditopang oleh
penerimaan dalam negeri, peningkatan utang menjadi alternatif terakhir yang tak terelakkan.

Apabila diperbandingkan dengan koefisien suku bunga SBI, besaran pengaruh


pertumbuhan ekonomi ini lebih kecil sedemikian rupa sehingga koefisien (SBI √ EG) > 0. Kondisi
ini merupakan prasyarat untuk mencapai solvabilitas fiskal dengan asumsi sementara dukungan
konfigurasi APBN yang tidak mengalami perubahan. Hasil ini menunjukkan tampaknya kondisi
APBN masih cukup aman untuk memenuhi kewajiban utang pemerintah.
448 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Variabel terakhir sebagai penentu utang total pemerintah dalam model di atas adalah
surplus primer APBN. Koefisien RPB memperlihatkan nilai minus. Hasil ini sudah sesuai dengan
hasil penelusuran teori pada bagian sebelumnya. Apabila surplus keseimbangan primer dapat
dipelihara kenaikannya, misalnya 1 persen, maka tambahan utang pemerintah dapat diturunkan
rata-rata sebesar 61 persen. Hal ini, sekali lagi, berarti penurunan beban utang mensyaratkan
keharusan surplusnya keseimbangan primer melalui disiplin anggaran.

Surplusnya keseimbangan primer ini juga mempertontonkan posisi ruang gerak fiskal
yang sesungguhnya. Sayangnya, surplus primer selama periode analisis masih relatif minim
(rata-rata hanya 6.84 persen dari angka PDB). Minimnya volume surplus primer mengakibatkan
kecilnya ketersediaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pembayaran utang apabila
ada gejolak yang tidak terantisipasi sebelumnya. Konsekuensi lainnya, stimulus perekonomian
di dalam negeri untuk meredam dampak krisis guna memacu pertumbuhan ekonomi juga
tidak memadahi. Dengan demikian, upaya pelestarian surplus keseimbangan primer menjadi
kunci kebijakan pengelolaan APBN.

Syarat kedua ketangguhan fiskal adalah koefisien PB sebesar -1 (satu). Pengujian dilakukan
melalui 2 prosedur, yaitu dengan uji ANOVA dan c2 untuk membuktikan apakah koefisien pada
PB benar-benar memenuhi kaidah sama besar dengan -1. Hasil pengujian disodorkan pada
Tabel 2.

Tabel 2.
Pengujian Ketangguhan APBN, 1999(1)-2009(4)
Wald Test:
Equation: Untitled

Test Statistic Value df Probability


F-statistic 3.531335 (1, 36) 0.0683
Chi-square 3.531335 1 0.0602

Null Hypothesis Summary:

Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.


1 + C(4) 0.385393 0.205085

Restrictions are linear in coefficients.

Pengujian kedua prosedur menghasilkan nilai F dan c2-hitung masing-masing sebesar


3.3513. Dengan hipotesis awal C(4) = 1, simpulan untuk menerimanya diperlukan tenggat
derajad kepercayaan sebesar 90-an persen. Artinya, dengan risiko kesalahan sebesar 5 persen,
ketangguhan APBN tidak didukung oleh data. Apabila risiko kesalahan dinaikkan jadi sebesar
10 persen, ketangguhan APBN baru dapat diterima.
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 449

Hasil pengujian di atas memberi pesan singkat bahwa ketangguhan APBN masih sangat
rapuh. Kerapuhan ini sangat terkait dengan situasi dan kondisi perekonomian yang akan terjadi.
Konsekuensinya, risiko kerapuhan fiskal ini perlu diantisipasi sejak dini. Antisipasi yang bisa
ditempuh adalah (jika keputusan politik memang mendukung) dengan menyusun anggaran
mengikuti sistem multitahun. Artinya, APBN untuk 3 tahun ke depan, misalnya, ditetapkan
pada tahun yang sedang berjalan. Pengalaman Australia, Kanada, Jerman, dan Belanda dalam
penyusunan anggaran negara layak menjadi model yang dapat diadopsi pemerintah.

Sebagai gambaran tambahan, Australia dan New Zealand telah memasukkan kewajiban
kontingensi eksplisit dan belanja kontingensi dalam laporan keuangan pemerintah. Italia dan
Amerika Serikat memasukkannya dalam persetujuan anggaran berbagai pinjaman dengan
melakukan present value atas besaran nilainya. Perkembangan seperti ini kemudian menjalar
ke berbagai negara berkembang lainnya seperti Kolombia, Malaysia, dan Filipina khususnya
untuk risiko proyek-proyek infrastruktur yang dijamin oleh pemerintah (Subyantoro, 2008).
Kesemuanya ini diproyeksikan guna meminimisasi berbagai macam risiko yang potensial akan
muncul.

Terlepas dari semua itu, simpulan utama studi ini bertolak belakang dengan hasil penelitian
di Indonesia sebelumnya yang pada umumnya menemukan sustainabilitas fiskal. Perbedaan
simpulan tersebut dimungkinkan karena perbedaan data, metode, dan definisi yang
dipergunakan. Penggunaan data tahunan (seperti yang dilakukan riset-riset sebelumnya)
cenderung akan menghilangkan fluktuasi dalam kurun waktu 1 tahun sedemikian rupa sehingga
pada umumnya memberikan gambaran ketangguhan fiskal. Penelitian ini justru meliput fluktuasi
yang terjadi dalam periode kuartalan dan ternyata memberikan gambaran yang berbeda.

VI. KESIMPULAN
Paper ini telah memberikan fakta empirik tentang ketangguhan fiskal dengan studi kasus
di Indonesia. Kajian atas data kuartalan memberikan hasil yang berbeda dengan studi-studi
setema sebelumnya yang berbasis pada data tahunan. Temuan utama adalah bahwa
ketangguhan fiskal Indonesia tidak/belum tercapai kendati memiliki solvensi untuk pembayaran
utang domestik dan utang luar negeri. Sumber ketidaksinambungan ini adalah beban utang
dalam negeri yang peningkatannya jauh lebih pesat daripada peningkatan utang luar negeri.

Studi ini memberikan implikasi bahwa penerbitan Surat Utang Negara perlu dilakukan
dengan kehatihatian dengan mempertimbangkan beban pembayaran SUN yang jatuh tempo.
Saat jatuh tempo SUN sepatutnya disesuaikan dengan kemampuan APBN pada tahun yang
bersangkutan. Dalam kaitan ini, telaah yang cermat beban-beban APBN lain perlu dikalkulasi
450 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

dengan lebih matang. Untuk itu, eksposure risiko fiskal sepantasnya menjadi panduan dalam
setiap penerbitan SUN.

Dalam hal utang luar negeri, penggeseran beban utang dapat dilakukan melalui penataan
ulang (reprofiling), penjadwalan kembali (rescheduling), dan restrukturisasi utang agar bebannya
bisa disebar sesuai dengan maturitas jatuh temponya. Beban tersebut perlu diselaraskan pula
dengan beban jatuh tempo utang dalam negeri. Rasio utang luar negeri pemerintah memang
menunjukkan tren penurunan. Momentum ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya guna
meminimisasi risiko utang yang masih tersisa. Untuk tujuan ini, koordinasi kebijakan sektoral,
regional, fiskal, moneter, dan luar negeri perlu disinergikan secara optimal.

Turunnya rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak berarti terjadi peningkatan posisi
keuangan pemerintah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan negara,
penipisan sumber-sumber kepemilikan publik, dan penurunan modal tetap pemerintah.
Kemungkinan lain yang perlu diwaspadai adalah mencari utang baru, terutama yang di luar
anggaran (off budget) untuk menutup utang lama dengan jumlah yang sama.

Selain kesinambungan fiskal, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan beban


fiskal yang lain jika perekonomian mengalami gangguan internal. Aktivitas semi-fiskal (quasi
fiscal) Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD dapat merupakan kewajiban kontingensi jika mereka
tidak dikelola dengan benar. Keuangan internal Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD memang
terpisah dari keuangan negara, tetapi aktivitasnya dalam utang dan bisnis juga merupakan
public and publicly guaranteed dan semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik saham
dan alasan ≈too big to failΔ.

Studi lebih lanjut tentang ketangguhan fiskal Indonesia masih terbuka untuk dilakukan.
Kajian yang lebih mendalam dapat dilakukan untuk memeriksa sumber-sumber kerapuhan
fiskal. Studi ketaangguhan fiskal dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi yang dipergunakan
dalam setiap penyusunan APBN, seperti harga minyak dan produksi minyak (oil lifting) tentu
menarik untuk disimak. Kelemahan yang masih tersisa pada studi ini dapat ditutup dengan
memasukkan faktor-faktor dari besaran sisi moneter.
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 451

DAFTAR PUSTAKA

Barnhill, T.M. dan G. Kopits, 2003, ≈Assessing Fiscal Sustainability under UncertaintyΔ, IMF
working paper.
Barro, R., 1997, ≈Optimal Management of Indexed and Nominal Debt,ΔΔNBER, working paper
No. 6197.
Boediono, 2009, Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?, Kumpulan Esai Ekonomi, KPG & Freedom
Institute, Jakarta.
Buiter, W. H., 1993, ≈Public Debt in the USA: How Much, How Bad, and Who Pays?Δ, NBER,
working paper No. 4362.
Buiter, W.H., 1997,
≈Aspects of Fiscal Performance in some Transition Economies under Fund √ Supported Programs,Δ
IMF Policy Discussion Paper.
Buiter, W. H., 2002, ≈The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique,Δ Economic Journal, Royal
Economic Society, 112(127): 459-480.
Celasun, O., X. Debrun, dan J.D. Ostry, 2007, ≈Primary Surplus Behavior and Risks to Fiscal
Sustainability in Emerging Market Countries: A ≈Fan-ChartΔ ApproachΔ, IMF working paper.
Chalk, N., dan R. Hemming, 2000, ≈Assessing Fiscal Sustainability in Theory and PracticeΔ, IMF
working paper.
Chouraqui, J.C., R.P. Hagemann, dan N. Sartor, 1999, ≈Indicators of Fiscal Policy: A
Reexamination,ΔΔOECD Working Paper, No. 78.
Ciarlone, A. dan G. Trebeschi, 2006, ≈A Multinomial Approach to Early Warning System for
Debt CrisesΔ, Banca D»Italia, working paper no. 588.
Cuddington, J.T., 1996, ≈Analysing the Sustainability of Fiscal Deficits in Developing Countries,Δ
WP6.0:sustain7.wpd, Economics Department Georgetown University, Washington, D.C.,
USA.
Brixi, P.H. dan A. Mody, 2002, ≈Dealing with Government Fiscal Risk: An OverviewΔ, dalam
Government at Risk, World Bank & Oxford University Press.
Dinh, H.T., 1999, Fiscal Solvency and Sustainability in Economic Management. The World Bank,
1999.
Enders, W., 2004, Applied Econometric Time Series, Second edition, John Wiley & Sony Inc.
452 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Hamilton, J.D. dan Flavin, M.A., 1986, ≈On the Limitations of Government Borrowing: A
Framework for Empirical Testing,Δ American Economic Review, American Economic
Association, 76(4), September: 808-19.
Hanni, U., 2006, ≈Sustainabilitas Fiskal Indonesia dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhinya,
JurnalΩKeuanganΩPublik, 4(2), September: 19-37
Jha, S., 2009, ≈Macroeconomic Uncertainties, Oil Subsidies and Fiscal Sustainability in AsiaΔ,
ADB Research Paper.
Kuncoro, H., 1999, Dampak Kebijaksanaan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia, Tesis M.Si., Sekolah Pascasarjana UGM, tidak dipublikasikan.
Kuncoro, H., 2005, Pengaruh Transfer Antarpemerintah terhadap Kinerja Fiskal Pemerintah
Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, dan Disparitas Pendapatan Regional, Kota dan Kabupaten
di Indonesia, Disertasi Doktor Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana UGM, tidak dipublikasikan.
Langenus, G., 2006, ≈Fiscal Sustainability Indicators and Policy Design in the Face of AgeingΔ,
working paper, National Bank of Belgium.
Makin, T., 2005, ≈Fiskal Risk in ASEANΔ, Agenda, 12(3): 227-38.
Mark, S.V., 2004, ≈Fiscal Sustainability and Solvency: Theory and Recent Experience in IndonesiaΔ,
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40(2), Agustus: 227-42.
Ouanes, A and S. Thakur, 1997, Macroeconomic Accounting and Analysis in Transition
Economies, International Moneteray Fund, Washington D.C.
PPE UGM dan BAF, 2004, Studi Manajemen Utang Luar Negeri dan Dalam Negeri Pemerintah
dan Assessment terhadap Optimal BorrowingΔ, Laporan Akhir Penelitian.
Rahmany, F.A., 2004, ≈Ketangguhan Fiskal dan Manajemen Utang Dalam Negeri PemerintahΔ,
dalam Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan Implementasinya, Kompas, Jakarta.
Saleh, S., 2002, Pengaruh Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah terhadap Perekonomian
Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Ekonomi, UGM, Yogyakarta, tidak diterbitkan.
Soelistijaningsih, L., 2002, Model Portofolio dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri sebagai
Alternatif mengurangi Gejolak Eksternal: Kasus Indonesia, Disertasi Doktor, Universitas
Indonesia.
Subyantoro, H., 2008, ≈Adakah Persoalan≈Contingent Liabilities dan Fiscal Risk di Indonesia?:
Sebuah Pelajaran yang Sangat BerhargaΔ, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas
Borobudur, Jakarta, 23 Desember.
Tunner, E. dan I. Samake, 2006, ≈Probabilistic Sustainability of Public Debt: A Vector
Autoregression Approach for Brazil, Mexico, and TurkeyΔ, IMF working paper.
Turner, P., 2002,Δ≈Bond Markets in Emerging Economies: an Overview of Policy Issues,ΔΔBank
for International Settlement, No. 11, Basel, Switzerland.
Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 453

Ulfa, A. dan R. Zulfadin, 2004, ≈Seberapa Seriuskah Perhatian Indonesia terhadap Isu-isu
Kontingensi Fiskal?Δ, Kajian Ekonomi dan Keuangan, 8(2), Juni.
Wilcox, D., 1989, ≈The Sustainability of Government Deficits: Implications of the Present-Value
Borrowing ConstrainΔ, Journal of Money, Credit and Banking, 3: 291-306.
Yamauchi, A., 2004, ≈Fiscal Sustainability, the Case of EritreaΔ, IMF working paper.
Yeyati, E. L. dan F. Sturzenegger, 2007, ≈A Balance-Sheet Approach to Fiscal Sustainability»,
working paper, Universidad Torcuato Di Tella.
Yilanci, V. dan B. Ozcan, 2008, ≈External Debt Sustainability of Turkey: A Nonlinear ApproachΔ,
International Research Journal of Finance and Economics, 20: 91-98.
454 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

halaman ini sengaja dikosongkan


Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 455

MONETARY TRANSMISSION
OF PERSISTENT SHOCK TO THE RISK PREMIUM:
THE CASE OF INDONESIA

Akhis R. Hutabarat 1

Abstract

This paper investigates the relative importance of monetary transmission channel to inflation of
passing persistent shock to the risk premium. The findings show that nominal exchange rate depreciation,
triggered by a more persistent shock to interest risk premium, worsens the state of the economy in the
short- and long-run. Such distinctive shocks effect is transmitted through the economy that typifies lack
of response of consumer price disinflation to interest rate tightening caused by high real rigidity, strong
cost channel of interest rate, strong cost channel of exchange rate pass-through and weak demand-side
channel of exchange rate pass-through. This study suggests a proper monetary policy response, which is
the smallest interest rate increases within the feasible set of monetary policy responses that the model
recommends, to minimize the adverse effects of the shocks.

JEL Classification: F41; E52; D58


Keywords: Exchange rate, Balance of Payment, Monetary transmission and policy, Dynamic General
Equilibrium.

1 Ekonom senior, Bank Indonesia, email akhis@bi.go.id. Makalah ini berdasarkan hasil penelitian di Departemen Ekonomi, University
of Leicester antara 2006 dan 2008. Pendapat yang muncul di makalah ini merupakan opini penulis dan tidak merepresentasikan
pandangan Bank Indonesia
456 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

I. PENDAHULUAN
Guncangan yang berpengaruh negatif pada nilai tukar kerap melanda Indonesia.
Guncangan seperti ini dapat terjadi dalam sekali waktu atau dapat pula bertahan dalam jangka
waktu yang lebih lama. Krisis mata uang yang menimpa Indonesia pada tahun 1997-1998
dapat dianggap sebagai guncangan parah terhadap premi resiko yang mendevaluasi nilai tukar
dan mengubah keseimbangan dinamis perekonomian nasional. Kita harus terus belajar untuk
mencapai pengelolaan moneter yang lebih baik dalam mengantisipasi kemungkinan terulangnya
krisis tersebut. Karenanya, pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme transmisi moneter
dan konsekuensinya terhadap keterbatasan kebijakan moneter menjadi suatu kebutuhan yang
akan bermanfaat.

Jalur biaya transmisi kebijakan moneter telah banyak dieksplorasi dalam kasus-kasus
perekonomian negara-negara maju. Barth dan Ramey (2001) memberikan bukti empiris untuk
jalur biaya kebijakan moneter berdasarkan data pada level industri. Ravenna dan Walsh (2006)
menunjukkan bahwa jika penyesuaian tingkat suku bunga nominal secara langsung
mempengaruhi biaya marjinal riil, maka kebijakan tingkat suku bunga secara langsung akan
mempengaruhi inflasi. Mereka juga menunjukkan bahwa setiap guncangan ekonomi yang
disertai kehadiran saluran tersebut akan menghasilkan trade-off antara stabilisasi inflasi dan
stabilisasi kesenjangan output. Chowdhury, et al. (2006) menerapkan pendekatan struktural
untuk menemukan bahwa efek perkiraan biaya langsung dari tingkat suku bunga nominal
jangka pendek secara signifikan akan memberikan kontribusi pada dinamika inflasi di sebagian
besar negara-negara G7. Agénor dan Montiel (2008) mencatat bahwa saluran biaya suku bunga
telah diusulkan sebagai penjelasan atas fenomena ≈price puzzle ≈, istilah yang diberikan oleh
Eichenbaum (1992), mengacu pada adanya korelasi positif antara peningkatan suku bunga
dalam jangka pendek dengan tingkat harga di hasil temuan anomali empiris dari Sims «(1992).

Studi empiris mengenai transmisi moneter di Indonesia yang disusun oleh Warjiyo dan
Juda Agung (2002), tidak menyertakan saluran biaya suku bunga. Namun, penelitian ini, yang
memakai metode VAR, menemukan ≈price puzzleΔ dalam kaitannya dengan pengetatan
kebijakan moneter. Fenomena ini biasanya dihubungkan dengan kesalahan spesifikasi pada
VAR atau adanya kemungkinan jalur biaya kebijakan moneter yang kuat. Sebagai kekuatan
ekonomi yang muncul dengan produktivitas tenaga kerja relatif rendah, ada kemungkinan
dimana akumulasi modal telah menjadi sumber utama pertumbuhan output di Indonesia. Hossain
(2006) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dan menemukan bahwa akumulasi modal
merupakan 60 persen sumber pertumbuhan di Indonesia selama empat puluh tahun terakhir.
Dalam tulisannya, Young (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan di negara-negara Asia Timur
terutama didorong oleh tingginya tingkat pembentukan modal. Dikombinasikan dengan suku
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 457

bunga pinjaman yang lebih tinggi, produktivitas modal yang lebih rendah, dan upah lebih
rendah dibandingkan dengan negara maju, kita dapat berargumen bahwa pangsa modal
(pendapatan pemilik modal sebagai fraksi dari PDB) lebih besar daripada pangsa tenaga kerja.
Argumen ini mendorong pentingnya menyelidiki saluran biaya transmisi kebijakan moneter.

Penelitian ini menggunakan model keseimbangan umum dinamis New Keynesian pada
perekonomian kecil yang terbuka yang melibatkan empat pelaku ekonomi domestik, yaitu
rumah tangga, perusahaan-produsen, pemerintah, dan bank sentral, yang berinteraksi dengan
ekonomi asing. Model ini mencirikan uang yang dimasukkan kedalam fungsi kepuasan rumah
tangga (money in utility function) dan elastisitas substitusi yang konstant dalam proses produksi
perusahaan yang menggunakan tenaga kerja, barang modal, dan bahan baku domestik dan
impor. Kebijakan tingkat suku bunga diterjemahkan ke inflasi jenis kurva New Keynesian Phillips
melalui saluran permintaan agregat, pass-through nilai tukar, dan biaya modal. Penulis berasumsi
bahwa saluran ekspektasi atas kebijakan moneter sepenuhnya kredibel. Hal ini terkait dengan
harapan rasional agen terhadap harga dan otoritas moneter yang sangat kredibel, yang
menerapkan aturan kebijakan suku bunga yang sederhana pada saat guncangan terjadi.
Guncangan terhadap premi resiko suku bunga diberlakukan melalui penetapan nilai tukar sesuai
paritas terlindung suku bunga (covered interest rate parity). Model ini diadaptasi dan
dikembangkan dari model optimasi dengan kondisi staggered price dan staggered wage, yang
telah banyak digunakan dalam literatur mengenai inflasi dan kebijakan moneter2.

Model ini digunakan untuk melihat pengaruh shock yang pesisten dalam jangka pendek
terhadap premi resiko dari performa perekonomian, yang dimaksudkan agar lebih dekat dengan
struktur dan perilaku ekonomi Indonesia. Fokus penelitian ini pertama adalah urutan pentingnya
jalur-jalur transmisi moneter yang menyalurkan guncangan dan respon suku bunga terhadap
inflasi dan kedua, bagaimana kebijakan moneter merespon secara optimal terhadap jenis dan
keadaan guncangan tertentu, dan dengan kondisi jalur transmisi moneter yang berbeda-beda.

Paper ini menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar nominal yang dipicu oleh guncangan
persisten pada premium resiko bunga, akan memperburuk kondisi perekonomian dalam jangka
pendek dan jangka panjang. Guncangan ini mempengaruhi perekonomian yang ditandai dengan
kurangnya respon disinflasi harga konsumen terhadap kontraksi kebijakan moneter. Hal ini
disebabkan oleh kekakuan riil yang tinggi, saluran biaya suku bunga yang kuat, saluran biaya
dari pass-through nilai tukar yang kuat, lemahnya saluran sisi permintaan atas pass-through
nilai tukar, dan lemahnya saluran penawaran agregat dari suku bunga.

2 Lihat,£ sebagai contoh,£ Ravenna dan Walsh (2006), Christiano et al. (2005), Smets dan Wouters (2003), Erceg dan Levin ( 2003),
Woodford ( 2003), dan Murchison ( 2004). Dua saluran biaya bunga pertama yang disertakan pada kebijakan moneter.
458 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Studi ini menunjukkan respon kebijakan moneter yang tepat adalah dalam bentuk
peningkatan suku bunga sekecil mungkin diantara set pilihan respon kebijakan moneter yang
layak yang direkomendasikan oleh model untuk meminimalisasi dampak guncangan. Kebijakan
ekonomi lainnya mungkin diperlukan untuk melengkapi ruang yang terbatas dari kebijakan
moneter, yang pada gilirannya dapat membantu memperkuat saluran permintaan agregat dari
suku bunga. Yang paling penting adalah kebijakan yang dapat membantu mengurangi pangsa
modal dari output perekonomian dan secara berurut dapat melemahkan saluran biaya dari
suku bunga.

Susunan makalah ini adalah sebagai berikut: Bagian kedua menyajikan model
keseimbangan dinamis dalam kondisi harga dan upah yang kaku. Bagian ketiga menyajikan
skenario simulasi, kalibrasi parameter dan solusi model. Bagian keempat menganalisis hasil
simulasi, sementara bagian kelima menyimpulkan hasil penelitian dan menyimpulkan beberapa
rekomendasi kebijakan.

II. TEORI
Tulisan ini meneliti pentingnya saluran transmisi moneter untuk inflasi dalam meneruskan
guncangan yang persisten kepada premi resiko. Ada banyak literatur mengenai topik ini dan
salah satu pendekatan yang berkembang cepat adalah kerangka keseimbangan umum dinamis.

Penelitian ini memperluas model ekuilibrium umum dinamis yang digunakan dan dijelaskan
rinci oleh Hutabarat (2007) dan makalah ini memperbesar jangkauan model dengan
memasukkan premi suku bunga resiko atas aset mata uang asing sebagai fungsi dari rasio
utang luar negeri bersih terhadap PDB. Kemudian, neraca blok pembayaran dikembangkan
yang menghasilkan persamaan neraca berjalan, neraca modal, neraca perdagangan dan jasa,
dan aset asing bersih. Selain itu, penulis berasumsi bahwa pemerintah juga mengumpulkan
pajak penghasilan atas barang pemilik modal dan dividen pemilik perusahaan selain pajak
pendapatan upah dalam model sebelumnya. Penulis juga mengubah teknologi produksi Cobb-
Douglas dengan teknologi Constant Elasticity Substitution (CES) untuk memungkinkan elastisitas
permintaan input yang lebih rendah terhadap harga. Pengembangan model ini diuraikan dalam
bagian lebih lanjut.

2.1 Rumah Tangga


Kendala dinamis anggaran dinyatakan dalam mata uang domestik nominal dan riil sebagai
berikut.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 459

H*
Pt ct + ( M td − M td−1 ) + ( BtHG − BtHG −1 ) + ( st Bt − st −1 BtH−1* ) + Pt (k t − (1 − δ )k t −1 ) (1)
~* H*
≤ it −1 BtHG
−1 + it −1 st Bt −1 + Pt imt + (1 − τ t )(Wt lt + z t −1 Pt k t −1 + Pt Π t )
m

H*
ct + (mtd − mtd−1 ) + (btHG − btHG
−1 ) + ( qt bt − qt −1btH−1* ) + (kt − (1 − δ )kt −1 ) ≤ (2)
πt ~* H*
− mtd−1 + rt −1btHG
−1 + rt −1qt −1bt −1 + pt imt + (1 − τ t )( wt lt + zt −1kt −1 + Π t )
m

1+ πt

Sumber pendapatan rumah tangga adalah pendapatan dari penyediaan jasa tenaga kerja
(upah), penjualan barang impor, penyewaan barang modal ke perusahaan, kepemilikan
perusahaan (dividen) dan penjualan barang modal yang susut pada periode sebelumnya, serta
pendapatan bunga atas obligasi pemerintah dan aset asing.

Penulis berasumsi bahwa aset asing bersih dari rumah tangga berada dalam posisi negatif,
(Bt H*
< 0) yang berarti rumah tangga merupakan debitur bersih dari aset asing. Penulis lebih
lanjut berasumsi bahwa investor asing memerlukan premi resiko, κt , untuk tingkat suku bunga,
it * , dari pinjaman dalam mata uang asing yang disalurkan ke rumah tangga domestik, sehingga
(1+ it * ) = (1+ it * ) (1+ κt). Dengan demikian, maka pendapatan pokok dan bunga dari aset
asing sebesar (1+ i*t-1 ) = (1+ κt-1 )stBt-1
H*
< 0.

Penulis mengikuti Al-EYD dan Hall (2006), Murchison, et. al (2004), dan Schmitt-Grohe
dan Uribe (2003) dalam menentukan premi resiko negara tertentu, κt , yang bergantung pada
rasio utang bersih asing terhadap PDB. Premi resiko juga terpengaruh oleh guncangan, εκt ,
mewakili perubahan yang tidak dapat diperkirakan dalam preferensi investor asing terhadap
aset domestik.

⎛ − st Bt* ⎞
⎜ Py ⎟ κ
κ t = ς ⎜ e t t − 1⎟ + ε t (3)
⎜ ⎟
⎝ ⎠
dimana ς merupakan scaling parameter. Persamaan diatas menjelaskan bahwa premi resiko
suku bunga dari aset asing tergantung pada utang luar negeri bersih, nilai tukar, output, dan
guncangan eksogen pada premi resiko: Sebuah peningkatan pada utang luar negeri bersih
(atau penurunan aset luar negeri bersih) secara negatif mempengaruhi kemampuan masyarakat
untuk membayar utang.; Penyusutan nilai tukar akan meningkatkan jumlah mata uang domestik
yang dibutuhkan untuk membayar utang luar negeri dan, pada gilirannya, memperburuk
kemampuan masyarakat untuk membayar utang luar negeri mereka,; Penurunan pendapatan
riil turut memperburuk kemampuan perekonomian dalam membayar utang luar negeri.
460 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Premi resiko pada utang luar negeri tidak muncul saat aset luar negeri seimbang dengan
utang luar negeri dan bernilai negatif jika aset luar negeri bersih bernilai positif. Kondisi ini
berarti bahwa rumah tangga domestik dapat menikmati tarif yang lebih rendah dari bunga
dunia untuk utang luar negeri mereka.

Dari maksimisasi fungsi utilitas rumah tangga yang berkenaan dengan penawaran tenaga
kerja dan konsumsi, kita dapat menurunkan biaya kerja marjinal riil dalam bentuk sebagai
berikut:
1
⎛A λ (ν −1) σ λ ⎞ +1
νλ
ct (α L yt ) ⎟
mct = ⎜ t
w (4)
⎜ 1−τt ⎟
⎝ ⎠

Rumah tangga menyewakan barang modal kepada perusahaan dengan tingkat sewa modal
riil, Zt, yang diperoleh dengan menggabungkan kondisi turunan pertama dari maksimisasi utilitas
terhadap stok modal riil dan obligasi domestik nominal sebagai berikut:

rt + δ
zt = (5)
1 − Etτ t +1

Harga sewa riil dari modal yang dikenakan oleh pemilik modal rumah tangga kepada perusahaan
harus mencakup tingkat bunga riil, tingkat depresiasi modal dan tarif pajak yang diharapkan
kedepannya.

Biaya marjinal riil dari impor setara dengan persamaan harga impor riil ketika harga
sepenuhnya fleksibel, yang sama dengan nilai tukar riil.

mctm = qt (6)

Nilai tukar nominal diperoleh dengan menggabungkan kondisi turunan pertama dari maksimisasi
utilitas rumah tangga, terhadap obligasi nominal dalam dan luar negeri. Kondisi ini
mencerminkan paritas suku bunga terlindung (covered interest rate parity),

⎛ 1 + it* ⎞
st = Et st +1 ⎜ ⎟(1 + κ t ) (7)
⎜ 1 + it ⎟
⎝ ⎠

Dalam rangka mendapatkan aset keuangan dan neraca keuangan rumah tangga, kita
bisa menguraikan persamaan kendala anggaran nominal (persamaan 2) dengan mengganti
keuntungan riil perusahaan, (Πt = yt - wtlt - ptmimt - zt-1kt-1), persamaan akumulasi modal, [ kt = (1
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 461

- δ)kt-1 + ivt ], dan dekomposisi dari investasi riil menjadi barang modal dalam negeri dan impor
(ivt = ivtd + imtkg) . Selanjutnya kita dapat menggantikan dekomposisi barang impor sebagai
barang jadi, barang setengah jadi dan barang modal (imt = imtrm + imtcg + imtkg ), termasuk
mendekomposisi output domestik, yt, menjadi bagian yang dipasok kepada rumah tangga
domestik sebagai barang konsumsi (cdt), kepada perusahaan sebagai barang modal tambahan
(ivtd), kepada pemerintah sebagai barang konsumsi dan investasi (gt), dan kepada importir luar
negeri sebagai barang ekspor (xt). Substitusi ini menghasilkan batasan anggaran riil dinamis
dari rumah tangga yang dapat disusun kembali untuk mendapatkan aset keuangan riil dari
rumah tangga dalam bentuk:

* H* ⎛ d md ⎞
bt = ( xt − qt imt ) + g t + [(1 + rt −1 )bt −1 + (1 + rt −1 )(1 + κ t −1 )qt bt −1 ] − τ t yt − ⎜ mt − t −1 ⎟
H HG
⎜ ⎟ (8)
⎝ 1+ πt ⎠

dimana btH adalah investasi keuangan riil dari rumah tangga dalam bentuk obligasi pemerintah
dan obligasi luar negeri pada periode t. Hal ini sama dengan pendapatan bersih riil mereka
sebagai eksportir dan importir dan sebagai pemasok barang kepada pemerintah, ditambah
dengan pendapatan pokok dan pendapatan bunga riil dari investasi keuangan pada periode
sebelumnya, dikurangi pengeluaran pajak penghasilan riil dan perubahan dalam kepemilikan
uang riil.

2.2 Perusahaan-Produsen
Perusahaan menghasilkan output dengan menggunakan teknologi produksi Constant
Elasticity of Substitution (CES) yang menggunakan tenaga kerja, modal, dan barang setengah
jadi baik yang diproduksi di dalam negeri dan dari luar negeri sebagai input produksi. Output
riil agregat dari perekonomian mengikuti Murchison et al. (2004) untuk mendapatkan bentuk:

ν
⎛ 1 ν −1 1 ν −1 1 ⎞
ν −1 ν −1
yt = ⎜⎜ α L ν ( At ltd ) ν + α K ν (ut k t −1 ) ν + α M ν (imtrm ) ν ⎟⎟ (9)
⎝ ⎠

di αL, αK, αM mana merupakan pangsa tenaga kerja, modal dan impor, yang masing-masing
diasumsikan konstan dan membentuk teknologi produksi Constan Return to Scale (CRS), dan
v merupakan elastisitas subtitusi antara input. Tujuan perusahaan adalah untuk memilih tingkat
input yang memaksimalkan present value dari keuntungan riil seumur hidup, yang merupakan
selisih dari pendapatan riil total terhadap total biaya riil.
462 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

ν
⎛ 1 ν −1 ν −1 ν −1 ⎞ν −1
1 1
⎜ d ν ν rm ν ⎟
Π t = α Lν ( At lt ) + α K ν (ut kt −1 ) + α M ν (imt )
d m rm
− wt lt − pt imt − zt −1kt −1 (10)
⎜ ⎟
⎝ ⎠
Persamaan permintaan tenaga kerja diperoleh dari turunan pertama terhadap tenaga kerja:

d α L Atν −1 yt
lt = (11)
wtν
Dari kondisi turunan pertama dari maksimisasi keuntungan perusahaan, kita bisa mendapatkan
permintaan untuk barang setengah jadi impor dalam bentuk

rm α M yt
imt = (12)

pt

Stok barang modal perusahaan yang dibutuhkan untuk produksi diperoleh dari turunan pertama
dari maksimisasi keuntungan perusahaan terhadap modal:

βα K Et ut +1ν −1Et yt +1
kt = (13)
ztν

Biaya marjinal riil dari produksi barang diturunkan dari proses minimisasi biaya riil dimana
perusahaan memilih tingkat input yang meminimalkan total biaya riil, tct = wtlt + ptmimtrm +zt-1kt-1,
dengan kendala fungsi produksi CES (persamaan 9). Biaya marjinal riil agregat dari perusahaan,
mctd, dinyatakan sebagai fungsi dari upah riil, harga sewa riil dari modal, harga impor riil dan
tingkat teknologi dalam bentuk:
1

⎛ ν −1 ⎛ ν −1 ν −1 ⎞ ⎞ ν −1
⎛ 1 ⎞
wt ⎜ 1 ⎛ wt ⎞ ⎜ ⎛⎜ ut ⎞⎟ ⎟⎟
+ αM ⎜ m ⎟
d
mct = 1+ ⎜ ⎟⎟ ⎜⎜ α K ⎜ z ⎟
1 ⎜
⎜ α L ⎜⎝ At ⎠ ⎝ t −1 ⎠ ⎜p ⎟
⎝ t ⎠
⎟⎟ ⎟⎟ (14)
Atα Lν −1 ⎝ ⎝ ⎠⎠

Deviasi Kurva Phillips Keynesian yang baru dari kondisi steady state, mengikuti mekanisme
staggered price dari Calvo (Calvo, 1983).

⎛ (1 − θ )(1 − βθ ) ⎞ ˆ d
πˆtd = βEtπˆ td+1 + ⎜ ⎟mct (15)
⎝ θ ⎠
dimana, πtd = ln Ptd - ln Pdt-1, πtd = Pdt - Pdt-1 dan θ merupakan derajat kekakuan harga barang
yang diproduksi di dalam negeri.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 463

Mengganti biaya marjinal riil dengan perbedaan output aktual dengan output alami
(kesenjangan output) dianggap tidak tepat dalam model kesetimbangan dinamis umum karena
kesenjangan output (yt / ytn) pada model tersebut bukanlah suatu ukuran dari siklus bisnis
yang bisa dikaitkan dengan pergerakan biaya marjinal riil. Output alami akan unggul jika
kekakuan nominal tidak hadir. Sebagai contoh, Clarida, et al. (1999, hal 1665) mendefinisikan
≈tingkat outputalamiahΔ sebagai ≈tingkat output yang akan timbul jika upah dan harga sangat
fleksibelΔ. Kita dapat menafsirkan output alami sebagai output yang sesuai dengan kondisi
dimana semua perusahaan menjadi kompetitif dengan cara menetapkan harga mereka pada
biaya marjinal nominal, yang menyiratkan mark-up yang konstan. Output alami ( ytn ) dalam
model ekuilibrium umum dinamis tidak merepresentasikan tingkat kecenderungan dari output
aktual di pasar kompetitif yang monopolistik dengan kekakuan nominal.

2.3 Otoritas Fiskal


Pengeluaran pemerintah dibiayai melalui pajak penghasilan yang ditarik dari importir,
pemilik barang modal, dividen pemilik perusahaan atau dari penerbitan obligasi dalam mata
uang domestik dan asing. Batasan anggaran dinamis nominal dari pemerintah dinyatakan
sebagai berikut:

GH G* s s GH * G*
Bt + st Bt + τ t Pt yt + M t − M t −1 = (1 + it −1 ) Bt −1 + (1 + it −1 )(1 + κ t −1 ) st Bt −1 + Pt g t (16)

dimana BtG = BtGH + stBtG* adalah penerimaan pemerintah dari penerbitan obligasi domestik
(BtGH ) dan obligasi asing (BtG* ), τtPtyt merupakan pendapatan pajak, ( Mts- Mts-1 ) merupakan
pendapatan hak pemilik tanah, gt adalah belanja riil pemerintah, dan st merupakan nilai tukar
nominal. Utang riil pemerintah, yang meliputi utangnya kepada rumah tangga dan perekonomian
asing, btG = btGH + qtbtG* , dapat diformulasikan sebagai berikut

G
bt = gt + ( GH
(1 + rt −1 )bt −1
* G*
+ (1 + rt −1 )(1 + κ t −1 )bt −1qt ) ⎛ s mts−1
− τ t yt − ⎜ mt −
⎜ 1+ πt



(17)
⎝ ⎠
Aturan kebijakan fiskal mengambil bentuk berupa fungsi reaksi laju pajak yang menjamin
keberlanjutan keseimbangan fiskal. Tujuan pemerintah adalah untuk mencapai dan
mempertahankan rasio tetap dari defisit fiskal primer terhadap PDB.

⎛ g − τ t yt ⎞
τ t = τ t −1 + Θ⎜⎜ t − ψ ⎟⎟ (18)
⎝ yt ⎠
464 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

dimana τt adalah respon atas kebijakan tarif pajak, gt adalah konsumsi riil pemerintah, yt adalah
output riil, Θ adalah parameter respon kebijakan fiskal, dan ψ adalah parameter konstan yang
mewakili target dari rasio defisit fiskal primer riil terhadap PDB.

2.4 Utang Riil Bersih Luar Negeri dan Neraca Keuangan


Utang riil bersih luar negeri, dt* , diperoleh dari batasan anggaran riil dari rumah tangga
dan pemerintah. Hal ini digunakan untuk membiayai defisit perdagangan dan membayar utang
luar negeri dari periode sebelumnya.

* * *
d t = (imt − xt / qt ) + (1 + rt −1 )(1 + κ t −1 )d t −1 (19)

Neraca keuangan (aliran utang luar negeri), , adalah total perubahan pada utang luar
negeri bersih pemerintah dan perubahan dalam utang luar negeri bersih dari sektor swasta.
Kita bisa mendapatkan aliran utang nasional dari rumah tangga dan batasan anggaran nominal
pemerintah dengan mengasumsikan bahwa utang dalam negeri pemerintah sama dengan
kepemilikan rumah tangga pada obligasi pemerintah ( BtGH = BtHG ), dan bahwa warga asing
tidak memiliki obligasi pemerintah dalam mata uang dalam negeri, serta terciptanya
keseimbangan pasar uang.

FAt = ( Pt*imt − Pt xt / st ) − [(1 + it*−1 )(1 + κ t −1 ) − 1]Bt*−1 (20)

2.5 Kesetimbangan Pasar Barang


Kesetimbangan pasar barang didefinisikan oleh batasan sumber daya yang
menyeimbangkan permintaan agregat dengan penawaran agregat dari output (persamaan 9)
dalam bentuk berikut
ν
⎛ 1 ν −1 ν −1 ν −1 ⎞ν −1
1 1
ct + g t + ivt + ⎜ d ν
xt − imt = α Lν ( At lt ) + α K ν (ut kt −1 )ν
+ α M ν (imt ) ν ⎟
rm
(21)
⎜ ⎟
⎝ ⎠

2.6 Kebijakan Moneter


Bank sentral secara implisit merupakan bagian dari pemerintah yang mengedarkan uang
ke rumah tangga melalui konsumsi pemerintah. Karenanya, saluran peminjaman bank tidak
ada dalam model ini.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 465

Bank sentral mempengaruhi inflasi melalui permintaan agregat, penawaran agregat, nilai
tukar, dan saluran biaya atas kebijakan tingkat suku bunga. Bank Sentral menggunakan aturan
kebijakan tingkat bunga tipe Taylor yang bersifat forward looking, sebagaimana didefinisikan
oleh Clarida, et al. (1999). Ini adalah respon tingkat bunga nominal jangka pendek terhadap
perkiraan kesenjangan inflasi periode berikutnya, yang merupakan deviasi dari proyeksi inflasi
ke depan dari target inflasi, yang juga mempertimbangkan kelancaran pergerakan tingkat
bunga.

it = χit −1 + (1 − χ )[r + π + απ (π t +1 − π tT+1 )] (22)

dimana r adalah tingkat kondisi steady state dari suku bunga riil dan πtT merupakan jalur target
inflasi pada periode t, χ adalah smoothing parameter untuk tingkat suku bunga, dan απ
merupakan parameter respon kebijakan moneter.

Kebijakan moneter tidak merespon perbedaan antara output aktual dan output alami
(kesenjangan output). Jika kebijakan moneter merespon suatu ukuran kesenjangan output,
tujuannya adalah untuk mencapai tingkat harga output yang fleksibel dalam pasar persaingan
sempurna, yang lebih tinggi dari tren output aktual dalam kondisi pasar persaingan monopolistic
dengan harga yang tidak fleksibel (ytn > yt). Jika otoritas moneter mencapai target output alami,
akan ada kecenderungan untuk melakukan kebijakan yang bias-inflasi karena akan bisa terus
menerus menghasilkan inflasi ( πt > Etπt ) , dengan besaran rata-rata guncangan suplai bernilai
nol (Sorensen et al, 2005.). Dengan menggunakan aturan kebijakan yang hanya tanggap
terhadap kesenjangan inflasi, maka diasumsikan bahwa kebijakan moneter tidak hanya bertujuan
untuk mencapai target inflasi secara langsung, tetapi juga menargetkan output secara tidak
langsung. Namun, target output untuk kebijakan stabilisasi yang dihasilkan dari New Keynesian
Phillip Curve, merupakan tren dari output aktual ( yt ).

Kebijakan tingkat suku bunga diteruskan ke permintaan agregat melalui tiga saluran
transmisi. Pertama, suku bunga riil yang mempengaruhi konsumsi melalui efek substitusi dan
pendapatan. Kedua, suku bunga riil yang menentukan biaya pengadaan barang modal, yang
mempengaruhi permintaan untuk investasi. Ketiga, kebijakan suku bunga yang memiliki efek
pada nilai tukar nominal dan kemudian ditransmisikan ke nilai tukar riil sebagai penentu
permintaan luar negeri untuk barang-barang domestik. Yang terakhir ini juga disebut sebagai
transmisi moneter melalui efek pass-through tidak langsung dari nilai tukar.

Kebijakan moneter ditransmisikan ke inflasi konsumen melalui tiga saluran. Pertama,


saluran permintaan agregat atas kebijakan tingkat suku bunga yang diteruskan ke inflasi
domestik melalui perubahan upah dan marjin profit. Saluran kedua adalah biaya bunga dari
466 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

saluran produksi, secara khusus yaitu biaya tingkat bunga dari pengadaan barang modal, baik
yang dibiayai oleh modal atau pinjaman3. Ketiga, kebijakan moneter yang mempengaruhi inflasi
konsumen melalui dua saluran nilai tukar. Yang pertama adalah melalui biaya impor barang
setengah jadi dengan harga dalam negeri dan satu lainnya adalah melalui inflasi dari barang-
barang konsumsi impor. Keduanya disebut sebagai, secara berturut-turut, intermediate direct
pass-through effect dan immediate direct pass-through effect dari nilai tukar terhadap harga
konsumen.

III. METODOLOGI
3.1. Metode Solusi Model
Penelitian ini memberikan solusi kondisi steady state statis dan model dinamik linear
dalam penyimpangan dari kondisi steady state dengan menggunakan solver CONOPT dibawah
sistem GAMS. Solver ini menggunakan metode solusi Generalized Reduced Gradient untuk
masalah pemrograman nonlinier (Rosenthal, 2006 dan Drud, 2006), dan didefinisikan sebagai:

min or max f(z)=J=0 (performance index) (23)

dengan kendala vektor fungsi log-linear implisit:

⎡ g1,t (y t −1 , y t , y t +1 , x t ; θ, y , x) ⎤
⎢ ⎥
g (z ) = gt (y t −1 , y t , y t +1 , xt ; θ, y, x) = ⎢ M ⎥= 0 (24)
⎢⎣ g m,t (y t −1 , y t , y t +1 , x t ; θ, y , x)⎥⎦
l<z<u (25)

dimana z adalah vektor variabel optimasi, l dan u merupakan vektor batas bawah dan batas
atas, yang beberapa di antaranya mungkin minus atau positif tak terhingga, dan f dan g adalah
fungsi nonlinear terdiferensialkan yang membentuk model. Kendala (6.2) adalah kendala umum
dan (6.3) adalah batasan variabel.

Fungsi objektif f adalah variabel yang akan diminimalisir atau dimaksimalkan, m adalah
jumlah persamaan dan n menunjukkan jumlah variabel. Vektor z terdiri dari yt-1, yt , yt+1 dan xt,

3 Biaya bunga saluran ekuitas modal juga dapat disebut ≈saluran profitabilitas perusahaan≈. Model ini mengasumsikan bahwa perubahan
suku bunga sepenuhnya secara simetris dilalui dalam jangka pendek untuk biaya modal ekuitas, yang juga menyebabkan penyesuaian
marjin laba. Dimasukkannya biaya ekuitas dalam saluran biaya bunga bergantung pada dua asumsi. Pertama, bahwa rasio utang
terhadap ekuitas dari perusahaan di unit bisnis non-keuangan di Indonesia lebih rendah dibandingkan di negara maju. Kedua,
bahwa kekuatan perusahaan dalam pasar perekonomian sebelumnya lebih kuat daripada di kemudian hari, yang menyebabkan
kemungkinan tingkat penegembalian ekuitas yang lebih besar dari pada biaya bunga ekuitas. Hal ini sejalan dengan pandangan
Chowdhury et al. (2006), yakni logika efek tingkat suku bunga pada biaya perusahaan juga berlaku bila perusahaan dibiayai
terutama oleh dana internal.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 467

yang secara berurut merupakan vektor dari variabel lag endogen, variabel endogen
contemporaneous, variabel lead endogen dan variabel eksogen yang telah ditentukan. θ adalah
vektor parameter, y adalah vektor nilai steady-state variabel endogen, dan x adalah vektor nilai
steady-state variabel eksogen. Untuk periode solusi T, seluruh persamaan implisit untuk semua
periode digabungkan untuk memperoleh sistem yang mengandung persamaan M = mT dan
variabel N = nT.

⎡ g1,1 (y 1,0 , y 1,1 , y 1,2 , x1,1 ) ⎤


⎢ ⎥
⎢ M ⎥
⎢ g m,1 (y m,0 , y m,1 , y m,2 , x m,1 ) ⎥
⎢ ⎥
⎢ g1,2 (y 1,1 , y 1,2 , y 1,3 , x1,2 ) ⎥
⎡ g1 (y 0,y 1 , y 2,x1 ; θ, y , x) ⎤ ⎢ ⎥
⎢ ⎥ ⎢ M ⎥
g (y y , y x ; θ, y , x)
g(z) = ⎢⎢ ⎥ = ⎢ g (y , y , y , x ) ⎥ = 0
2 1, 2 3, 2
⎥ ⎢ m,2 m,1 m,2 m,3 m,2 (26)
M ⎥
⎢ ⎥ ⎢ M ⎥
⎢⎣g T (y T -1,y T , y T +1,x T ; θ, y , x ⎥⎦ ⎢ ⎥
M
⎢ ⎥
⎢ g1,T (y 1,T−1 , y 1,T , y 1,T+1 , x1,T ) ⎥
⎢ ⎥
⎢ M ⎥
⎢g m,T (y m,T−1 , y m,T , y m,T+1 , x m,T )⎥
⎣ ⎦

Dimana y0 + yT+1 dan secara berurut merupakan vektor dari variabel lag endogen pada t = 1
dan vektor variabel lead endogen pada t = T, yang telah ditentukan sebelumnya dalam kondisi
steady state.

3.2. Skenario Simulasi dan Pengaturan Parameter


Penulis melakukan simulasi dengan memberikan satu persen guncangan eksogen positif
terhadap persamaan premi resiko selama delapan kwartal. Jenis, besar dan lamanya guncangan
dimaksudkan untuk menyerupai krisis mata uang rata-rata. Tujuan simulasi adalah untuk
mengevaluasi pengaruh guncangan tersebut terhadap kinerja ekonomi, khususnya nilai tukar,
neraca pembayaran dan respon kebijakan moneter. Dengan menerapkan satu jenis guncangan,
secara implisit diasumsikan bahwa tidak ada jenis lain dari guncangan dan perekonomian tidak
sedang menargetkan disinflasi.

Penulis menerapkan simulasi guncangan ke model versi log-terlinearisasi dalam


penyimpangan dari nilai-nilai kondisi steady state. Karena variabel-variabel lag dependen
mengambil nilai kondisi steady state mereka, itu berarti guncangan saat simulasi terjadi dalam
468 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

kondisi steady state ekonomi, di mana tingkat variabel riil dan variabel pertumbuhan, seperti
inflasi, tidak mengalami perubahan, dan tingkat pertumbuhan variabel nominal berada pada
tingkat yang konstan bukan nol. Oleh karenanya kita perlu menginterpretasikan hasil simulasi
untuk guncangan aktual yang menghantam perekonomian sebelum kondisi steady state, di
mana tingkat variabel riil dan nominal dapat tumbuh pada tingkat bukan-nol dan tingkat
pertumbuhan variabel tidak selalu konstan.

xt
Deviation of dynamic
equilibrium of the level of
real variable x from its
steady-state equilibrium
(xt - xss)

xss
A one-time shock in
steady-state contract
the level of xt

A one-time shock before


steady-state decreases
the growth of xt (can be
contracting) Steady-state
t
History Projection

Grafik 1.
Ilustrasi Simulasi Guncangan terhadap Suatu Variabel Riil

Ketika kita memberikan satu kali guncangan dalam kondisi steady state, deviasi yang
dihasilkan dari variabel riil dari nilai konstan kesetimbangan steady state dapat berarti ekspansi
atau kontraksi atas nilai variabel riil tersebut. Namun, ketika guncangan terjadi pada kondisi
dinamis perekonomian, sebelum kondisi steady state, biasanya akan timbul baik tingkat
percepatan atau perlambatan dari variabel rill kecuali jika guncangan cukup besar untuk
menggerakkan variabel rill. Oleh karenanya, kita bisa menafsirkan ekspansi atau kontraksi suatu
variabel riil dalam kondisi steady state sebagai peningkatan atau penurunan pertumbuhan
variabel riil sebelum kondisi steady state. Grafik 1 mengilustrasikan interpretasi dari efek kontraksi
pada variabel riil saat diberikan satu kali simulasi guncangan saat kondisi steady state. Kita bisa
menyimpulkan interpretasi yang sama untuk sebuah variabel nominal dalam kasus satu kali
guncangan, dalam kondisi steady state (Grafik 2). Sementara itu, penafsiran efek pada variabel
pertumbuhan atas satu kali guncangan pada saat kondisi steady state adalah sama dengan
satu kali guncangan sebelum kondisi steady state.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 469

xt
Deviation of dynamic equilibrium
of the level of nominal variable X
from its steady-state equilibrium
(Xt - Xtss)
Xtss

A one-time shock in
steady-state decreases
the growth of Xt (in
A one-time shock before this case, a negative
steady-state decreases the growth)
growth of Xt
Steady-state
t
History Projection

Grafik 2.
Ilustrasi Simulasi Guncangan terhadap Suatu Variabel Nominal

Tabel 1 menampilkan parameter kalibrasi. Keuntungan masa depan bagi perusahaan,


importir dan penentu upah didiskon dengan discount factor β = 0.99. Dari persamaan konsumsi
Euler, kita mendapatkan suku bunga riil kondisi steady state yang sama dengan tingkat preferensi
waktu dari rumah tangga. Pengaturan suku bunga riil pada angka 0,02 sesuai dengan discount
factor rumah tangga, ϑ, pada angka 0,98. Struktur output perekonomian dan permintaan
untuk output diasumsikan untuk mengikuti kisaran angka saat ini. Pangsa barang modal,
tenaga kerja dan barang setengah jadi yang diimpor dalam output agregat dari perekonomian
ditetapkan pada besaran αK = 0.5, αL = 0.35, dan αM = 0.15.

Rasio belanja pemerintah terhadap PDB ditetapkan pada level αg = 0,18 dan rasio ekspor
terhadap PDB pada. Pangsa barang konsumsi yang diimpor dalam total konsumsi, αmcg , dan
barang modal impor dalam total investasi, αmkg , keduanya sebesar 0,14. Bagian obligasi
pemerintah dalam aset rumah tangga, αHG , diasumsikan sama dengan 0,5, dan bagian utang
dalam negeri terhadap kewajiban pemerintah, αGH , adalah 0,6. Rasio utang terhadap PDB
dalam kondisi steady state adalah 20%.

Penulis mengatur elastisitas antarwaktu dari konsumsi riil dengan besaran substitusi pada
σ −1
= 0.004. Asumsi efek substitusi yang rendah ini sejalan dengan temuan Kusmiarso et al.
(2002) yang secara tersirat menunjukkan adanya efek pendapatan yang kuat. Studi mereka di
saluran suku bunga dari transmisi moneter dengan menggunakan VAR menemukan bahwa
peningkatan suku bunga pada awalnya direspon dengan pertumbuhan negatif dari konsumsi.
470 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Tabel 1.
Kalibrasi Model
Parameter Deskripsi Nilai
ϑ discount factor rumah tangga 0,98
β discount factorperusahaan, importir dan penentu tingkat upah 0,99
σ −1 elastisitas konsumsi antarwaktu dari substitusi 0,004
ρ −1 elastisitas suku bunga nominal dari kepemilikan uang riil 0,008
λ −1
elastisitas upah riil dari penawaran tenaga kerja 0,015
δ depresiasi tingkat modal 0,01
v elastisitas dari substitusi antara input faktor 0,3
αK pangsa modal 0, 5
αL pangsa tenaga kerja 0,35
αM pangsa barang setengah jadi 0,15
α∗M pangsa ekspor produk domestik dalam permintaan total dari seluruh dunia 0,00018
αmcg pangsa barang konsumsi impor 0,14
αmkg pangsa investasi barang modal impor 0,14
αg rasio pengeluaran-output pemerintah 0,08
αx rasio ekspor-output 0,28
η elastisitas nilai tukar riil dari ekspor 0,2
θ derajat kekakuan harga 0,35
θm derajat kekakuan harga impor 0,1
θw derajat kekakuan upah 0,75
γw derajat indeksasi upah terjadap lag inflasi 0,9
ψ target dari rasio defisit fiskal 2%
χ derajat inersia suku bunga 0,5
απ parameter respon kebijakan moneter large
Θ parameter respon kebijakan fiskal 0,5
ς parameter pengukuran premi resiko 0,00000001
αHG pangsa obligasi pemerintah pada aset rumah tangga 0,5
αGH pangsa obligasi domestik terhadap kewajiban pemerintahan 0,6

Namun, konsumsi rumah tangga ikut menurun ketika suku bunga mulai menurun. Elastisitas
suku bunga nominal dari kepemilikan uang riil ditetapkan sebesar ρ −1 = 0.008, yang
mencerminkan tingkat yang lebih rendah dari ekonomi tanpa uang cash dibandingkan dengan
negara-negara maju. Elastisitas terhadap nilai tukar riil dari ekspor ditentukan sebesar η = 0,2
sesuai dengan koefisien yang terkait dalam model makroekonometrik BI. Penulis mengkalibrasi
elastisitas upah riil dari penawaran tenaga kerja pada angka λ−1 = 0,002. Nilai ini jauh lebih
rendah dibandingkan dengan elastisitas di negara-negara maju yang biasa digunakan dalam
penelitian serupa. Hal ini mencerminkan pasar tenaga kerja yang ditandai dengan pendapatan
upah riil rendah, kelebihan pasokan tenaga kerja dan apresiasi rendah untuk waktu luang.
Elastisitas konstan dari substitusi antara input faktor ditetapkan sebesar v = 0,3.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 471

Tingkat kekakuan harga barang produksi dalam negeri, θ , dibuat sebesar 0,35 yang
berarti bahwa waktu rata-rata antara penyesuaian harga domestik adalah sekitar satu setengah
triwulan. Harga domestik dari barang impor dianggap lebih tidak kaku dibandingkan barang
produksi dalam negeri ( θ m = 0,1), yang menunjukkan bahwa durasi rata-rata dari suatu harga
impor adalah sekitar 3,3 bulan. Dalam menetapkan parameter kekakuan, penulis merujuk pada
survei penetapan harga usaha bagi perekonomian Indonesia oleh Darsono et al. (2002), yang
menemukan bahwa harga barang-barang manufaktur bertahan selama rata-rata 4,6 bulan
dan perubahan nilai tukar diteruskan kepada harga impor di triwulan yang sama. Kekakuan
upah diasumsikan sebesar θ w = 0,75, sesuai dengan perubahan upah nominal tahunan. Namun,
acuan untuk perubahan upah sangat bergantung pada inflasi upah sebelumnya, bukan pada
penetapan harga optimal yang bergerak maju. Fenomena ini tercermin dalam parameter γ w

pada kisaran nilai 0,9.

Parameter umpan balik inflasi dalam aturan suku bunga sederhana, ditetapkan pada
nilai yang meminimalkan nilai sekarang dari kerugian kesejahteraan dinamis terdiskon, setelah
lebih dari 100 triwulan pasca guncangan. Fungsi kerugian bersifat simetris dalam bentuk,

(
L = Et ∑ β L (π t + s − π ) 2 + ( yt + s − y ) 2
s
) di mana para pembuat kebijakan moneter memiliki
s =0

preferensi yang sama terhadap inflasi dan stabilisasi output. Koefisien umpan balik inflasi
bergantung pada besar dan luasnya guncangan terhadap premi resiko. Penulis mencari koefisien
umpan balik kebijakan yang optimal dengan menetapkan smoothing coefficient suku bunga
sebesar χ = 0,5, yang mencerminkan perilaku backward-looking dan forward-looking yang
sama dari otoritas moneter dalam merumuskan kebijakan tingkat suku bunga.

Loss
4

1 Infeasible
Solution
0

-1

-2

-3
-1 4 9 14 19 24 29 34 39 44 49 54 59 64 69 74 79 84 89 94 99
Response Parameter
Total PDV of welfare loss Sonsumer inflation gap at period 1
Interest rate gap at period 1 Output gap at period 1

Grafik 3. Jangkauan Parameter Respon


yang Dapat Digunakan
472 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Grafik 3 menunjukkan berbagai parameter umpan balik inflasi yang dapat digunakan
saat suku bunga menanggapi kesenjangan inflasi di waktu masa depan. Angka-angka diatas
menunjukkan bahwa himpunan dari respon otoritas moneter yang tepat terhadap kejutan
premi resiko adalah tingkat suku bunga yang menaik. Namun, respon yang optimal, yang
menghasilkan efek inflasi terendah dan kontraksi output terkecil dalam jangka pendek, adalah
kenaikan suku bunga terkecil diantara himpunan yang layak. Kenaikan suku bunga tertinggi
dalam himpunan tersebut berkesesuaian dengan respon yang paling tidak optimal. Jika
memungkinkan, respon yang optimal digambarkan oleh garis putus-putus pada grafik.

IV. HASIL DAN ANALISIS


4.1 Nilai Tukar dan Neraca Pembayaran
Grafik 4-5 dan Grafik 7-14 menunjukkan tanggapan variabel ekonomi terhadap satu
persen guncangan untuk premi resiko selama delapan triwulan. Nilai tukar nominal tertekan
diawal sebagai respon terhadap guncangan premi resiko, tetapi pengaruhnya diperkecil oleh
respon suku bunga yang cepat. Nilai tukar nominal pada akhirnya mencapai kondisi steady
state yang baru yang lebih lemah ketika suku bunga nominal kembali stabil pada tingkat awal,
dan meninggalkan jalur ekspektasi bekerja sendirian. Kesetimbangan jangka panjang nilai tukar
nominal menjadi lebih lemah untuk mengimbangi harga yang relatif lebih rendah dari barang
dalam negeri dan asing sehingga nilai tukar riil tidak berubah dalam jangka panjang.

Ekspor rill mengikuti pergerakan nilai tukar riil bila tidak ada perubahan permintaan
asing. Dengan elastisitas ekspor riil terhadap nilai tukar riil yang rendah, maka ekspor rill hanya
bergerak naik sekitar 0,027%, yang kemudian turun dibawah kondisi steady state awal saat

Percent Percent
Nominal Exchange Rate Real Exchange Rate
0.25 0.15
0.2
0.1
0.15
0.05
0.1
0.05 0
0
-0.05
-0.05
Optimal Response Optimal Response
-0.1
-0.1 Non Optimal Response Non Optimal Response
-0.15 -0.15
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Grafik 4. Respon Nilai Tukar terhadap Satu Persen Guncangan Premi Resiko
Selama Delapan Triwulan
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 473

Percent Percent
Real Exports Real Imports
0.03 1.5

1
0.02
0.5
0.01
0

0 -0.5

-1
-0.01
-1.5
-0.02 Optimal Response Optimal Response
Non Optimal Response -2
Non Optimal Response
-0.03 -2.5
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106

Percent Percent
Real Import Price Real Imported Intermediate Goods
1 1.5

1
0.5
0.5
0
0
-0.5
-0.5
-1
-1
-1.5 -1.5

-2 -2
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Grafik 5.
Respon Ekspor dan Impor

nilai tukar riil menguat beberapa triwulan setelah guncangan. Dalam Jangka Panjang, ekspor
kembali ke level kondisi steady state awal .

Menyusul peningkatan dari harga impor riil, impor riil turun sebesar 1,6%, jauh lebih
besar daripada pertumbuhan ekspor riil pada periode awal saat terjadinya guncangan. Nilai
harga asing dari impor juga menurun tajam sejak inflasi triwulan dari harga asing tidak mengalami
perubahan. Di sisi lain, nilai harga asing dari barang ekspor turut menurun seiring depresiasi
nilai tukar nominal yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pada ekspor riil dan
harga konsumen. Efek bersihnya adalah sebuah lompatan besar dalam surplus perdagangan,
yang menunjukkan fenomena kurva J-terbalik. Surplus perdagangan Indonesia serta ekspor
dan impor riil pada periode krisis mata uang, telah membuktikan hasil simulasi, pada sisi tertentu,
yakni dalam hal arah dari variabel yang terkait. Gambar 6 menunjukkan bahwa pada masa
setelah krisis moneter tahun 1998, ketika nilai tukar nominal tertekan 123%, ekspor riil
meningkat 11,2% dan impor riil menyusut 2,9%, mengakibatkan kenaikan surplus perdagangan
sebesar 83%.
474 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

log of billion Rp
10,5 6,6

6,4
10,0
6,2
9,5
6

9,0 5,8

5,6
8,5
Trade Surplus (US$)
5,4
Real Exports
8,0 Real Imports 5,2
Exchange Rate (Rp/US$)
7,5 5
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Grafik 6. Ekspor Riil, Impor Riil dan Surplus
Perdagangan Indonesia

Hasil ini sejalan dengan studi empiris pada efek kurva J. Dengan menggunakan model
VECM pada data triwulan Indonesia dan mitra-mitra dagang terkait, Husman (2005)
menyimpulkan bahwa fenomena kurva J tidak ditemukan dalam data tingkat agregat. Hal ini
hanya ditemukan dalam neraca perdagangan bilateral dengan Jepang, Korea Selatan dan Jerman.

Pergerakan output, harga impor riil dan inflasi konsumen mempengaruhi pola siklus
neraca perdagangan berikut ini. Impor riil mengalami rebound seiring dengan pulihnya
permintaan dan output agregat, serta turunnya harga impor riil, yang berakibat nilai impor
dalam mata uang asing yang lebih tinggi. Sebaliknya, permintaan eksternal untuk barang-
barang domestik menurun karena apresiasi nilai tukar riil yang menyebabkan nilai ekspor dalam
mata uang asing lebih rendah. Surplus perdagangan lebih rendah dibandingkan nilai awal
dalam jangka menengah dan akhirnya stabil dalam jangka-panjang pada tingkat yang sedikit
lebih rendah dari nilai kondisi steady state awal.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi dinamika surplus perdagangan. Depresiasi nilai


tukar lebih mempengaruhi volume impor dibandingkan ekspor karena harga impor lebih tidak
kaku dibandingkan harga barang domestik yang diekspor. Selain itu, impor jatuh secara lebih
signifikan dibandingkan peningkatan ekspor dalam jangka pendek karena komposisi impor
yang cukup tinggi dalam struktur produksi. Selain itu, elastisitas impor riil terhadap harga,
lebih tinggi dari elastisitas ekspor terhadap nilai tukar riil sehingga jumlah nilai elastisitas kurang
dari satu. Faktor terakhir ini menjelaskan mengapa kondisi Marshall-Lerner tidak bertahan.
Oleh karenanya guncangan premi resiko bisa memperburuk neraca perdagangan dalam jangka
panjang. Tidak seperti hasil simulasi model ini, Husman (2005) justru berpendapat bahwa kondisi
Marshall-Lerner terpenuhi dalam sampel secara keseluruhan, yang menunjukkan bahwa
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 475

Percent Percent
Trade Account Surplus Trade Account Surplus
12000
20
10000
0
8000
-20
6000
-40
4000
-60
2000

0 -80

-2000 -100
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percent Percent
Trade Account Surplus Service Account Deficit
25 12

20 10
8
15
6
10 4
5 2
0
0
-2
-5
-4
-10 -6
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percent Percent
Current Account Deficit Financial Account Surplus
2000 1600

0 1400
1200
-2000
1000
-4000 800

-6000 600
400
-8000
200
-1000
0
-12000 -200
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percent Percent
Financial Account Surplus Real Net Foreign Debt
1600 14
1400 12
1200 10
8
1000
6
800
4
600
2
400
0
200 -2
Optimal Response
0 -4 Non Optimal Response
-200 -6
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Grafik 7.
Respon Komponen Neraca Pembayaran
476 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

depresiasi nilai tukar Rupiah akan meningkatkan ekspor Indonesia dalam jangka-panjang.
Husman lebih lanjut menemukan bahwa meskipun kondisi Marshall-Lerner terpenuhi, elastisitas
nilai tukar dari neraca perdagangan bilateral cukup kecil. Satu persen perubahan nilai tukar riil
hanya akan meningkatkan rasio ekspor terhadap impor sebesar 0,37%. Temuan yang berbeda
mengenai kondisi Marshall-Lerner mungkin memperlihatkan over estimasi elastisitas harga dari
impor atau elastisitas harga dari ekspor yang under-estimated.

Perbaikan jangka-pendek dari surplus neraca perdagangan memungkinkan


perekonomian untuk mengurangi utang bersih luar negeri. Setelahnya, sebagaimana surplus
neraca perdagangan memburuk dalam jangka menengah dan pada akhirnya kembali stabil
di bawah tingkat kondisi steady state-nya, perekonomian harus meningkatkan utang luar
negeri bersih secara terus menerus dalam jangka-panjang. Sejalan dengan dinamika utang
luar negeri bersih, defisit neraca jasa membaik dalam jangka-pendek dan memburuk dalam
jangka-panjang, menjadi divergen dari tingkat kondisi steady state awal. Secara keseluruhan,
neraca berjalan yang defisit berkurang dalam jangka-pendek karena surplus neraca
perdagangan yang lebih baik, yang dipicu oleh defisit neraca jasa yang lebih kecil. Pada
akhirnya, defisit neraca berjalan menjadi stabil dalam jangka-panjang pada tingkat yang lebih
buruk. Surplus neraca keuangan mengalami penurunan dalam jangka-pendek, kemudian
meningkat dalam jangka menengah dan akhirnya mencapai surplus kondisi steady state yang
lebih tinggi dalam jangka-panjang.

4.2 Permintaan dan Penawaran Input-Output


Saluran permintaan agregat dari kebijakan tingkat suku bunga bekerja melalui ekspor,
konsumsi dan investasi. Konsumsi turun diawal sebagaimana konsumsi di masa datang yang
diperkirakan lebih rendah melampaui sedikit penurunan pada suku bunga riil saat ini. Lebih
lanjut terjadi penurunan di beberapa periode lainnya dikarenakan kenaikan suku bunga riil
pada periode tersebut. Saat suku bunga menjadi stabil dalam jangka-panjang, yang lebih rendah
dibandingkan saat kondisi steady state awal, maka konsumsi menjadi stabil pada kondisi steady
state baru yang lebih tinggi.

Permintaan stok barang modal untuk digunakan pada periode berikutnya mengalami
penurunan ketika guncangan terhadap premi resiko menghantam perekonomian. Permintaan
agregat yang diperkirakan melemah pada periode berikutnya merupakan penyebab dibalik
keputusan perusahaan untuk mengurangi stok modalnya. Hal ini sering disebut sebagai saluran
neraca perusahaan dari suku bunga terhadap permintaan agregat. Permintaan eksternal yang
lebih kuat terhadap barang domestik dan permintaan domestik untuk barang setengah jadi
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 477

Percent Percent
Real Consumption Real Investment
0.002 100
0.001 80

0 60
40
-0.001
20
-0.002
0
-0.003
-20
-0.004 -40
-0.005 -60
-0.006 -80
-0.007 -100
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percent
Real Output
1

0.5

-0.5

-1

-1.5
Optimal Response
-2
Non Optimal Response
-2.5
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106

Grafik 8.
Respon Permintaan dan Penawaran Output

dan barang jadi domestik, akan mengurangi kontraksi permintaan investasi. Efek bersihnya
adalah penurunan permintaan agregat terhadap output domestik setelah terjadinya guncangan.
Dengan demikian, depresiasi nilai tukar yang dipicu oleh guncangan sementara terhadap premi
resiko berakibat pada menyusutnya output.

Permintaan untuk input faktor lainnya juga mengalami penurunan. Karena harga impor
lebih tidak kaku, nilai tukar riil yang tertekan menyebabkan harga impor riil menjadi lebih
mahal. Dikombinasikan dengan penurunan contemporaneous permintaan agregat, maka
permintaan terhadap barang impor setengah jadi akan mengalami penurunan.

Tingkat penyerapan tenaga kerja turut jatuh karena lebih dipengaruhi oleh permintaan
agregat yang menurun, dibanding karena upah riil yang sedikit lebih murah. Hasil ini disebabkan
oleh elastisitas permintaan tenaga kerja terhadapoutput riil yang bernilai satu dan rendahnya
elastisitas penawaran tenaga kerja terhadap upah riil.
478 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Percent Percent
Labour Demand Labour Supply
1 0.003

0.5
0.002
0

-0.5 0.001

-1
0
-1.5

-2 -0.001
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percent Percent
Unemployment Real Capital Goods
0.015 0.5
Optimal Response
Non Optimal Response
0.01 0

0.005 -0.5

0 -1

0.005 -1.5

-0.001 -2
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percentage Point
Real Rental Rate of Capital
0.25

0.2

0.15

0.1

1.05

-0.05
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Grafik 9.
Respon Permintaan dan Pasokan Input

4.3 Biaya, Harga dan Inflasi


Permintaan tenaga kerja yang menurun memberi tekanan menurun terhadap biaya kerja
marjinal riil. Di sisi lain, waktu luang juga menurun karena permintaan untuk konsumsi juga
menurun dan karenanya pasokan tenaga kerja meningkat dan menekan biaya marjinal riil
kerja. Karena upah nominal cukup rigid dan sangat terpaku pada inflasi di masa lampau, maka
upah nominal menjadi tidak responsif terhadap perubahan biaya kerja marjinal riil akibat
penyesuaian langsung pada konsumsi dan output.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 479

Percent Percent
Real Wage Nominal Wage
0.4 0.6
Optimal Response
0.3 0.5
Non Optimal Response
0.2 0.4

0.3
0.1
0.2
0
0.1
-0.1
0
-0.2 -0.1
-0.3 -0.2
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percent
Wage Inflation (qtq)
0.1

0.08
0.06

0.04

0.02

-0.02
-0.04

-0.06
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Grafik 10.
Respon Upah Riil dan Nominal terhdap Satu Persen Guncangan

Upah riil mengalami penurunan karena harga output yang naik dan lebih fleksibel
dibandingkan upah. Oleh karenanya, respon langsung inflasi domestik terhadap permintaan
agregat yang lebih rendah adalah mengalami penurunan. Pada periode guncangan berikutnya,
investasi mulai meningkat dan konsumsi menguat, yang menyebabkan tekanan ke atas terhadap
biaya kerja marjinal riil dan inflasi upah. Upah riil sementara waktu masih di bawah tingkat
kondisi steady state awal disebabkan oleh harga output yang lebih fleksibel dibandingkan
upah. Oleh karena itu, sepanjang sisa periode guncangan, respon dari inflasi domestik terhadap
permintaan agregat yang lebih tinggi adalah menurun.

Kekakuan yang rendah dari upah riil akibat kekakuan upah nominal yang tinggi dan
kekakuan harga yang rendah dapat dikaitkan dengan kekakuan riil yang tinggi. Romer (2006)
mendefinisikan kekakuan riil sebagai keengganan perusahaan untuk merubah harga relatif
mereka dalam merespon perubahan dalam output riil akibat variasi permintaan agregat riil.
Kekakuan riil yang lebih besar berarti pertimbangan yang lebih besar terhadap harga pesaing
dalam perilaku penetapan harga. Ini menunjukkan bahwa saat kekakuan riil tinggi, setiap
perusahaan ingin harganya bergerak lebih dekat dengan harga lainnya. Survei pengaturan
480 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

harga usaha oleh Bank Indonesia (Darsono et al, 2002.) mengungkapkan bahwa pendekatan
berbasis biaya adalah strategi penetapan harga yang paling banyak diadopsi oleh perusahaan-
perusahaan manufaktur dan perdagangan. Temuan ini dapat membenarkan keberadaan
kekakuan harga. Ini mencerminkan keengganan perusahaan untuk mengubah harga bila tidak
ada perubahan biaya yang terjadi. Survei tersebut juga menemukan bahwa strategi penentuan
harga berikutnya adalah «biaya plus marjin variabel dari profit» dan «harga pesaing» untuk
perusahaan manufaktur dan ritel, sementara «kondisi pasar» saat ini bukan faktor penting dalam
menetapkan kebijakan harga. Hasil survei ini dapat diartikan sebagai adanya kekakuan harga
yang rendah dalam menanggapi perubahan biaya dan perubahan harga pesaing. Yang terakhir
ini berarti kekakuan riil yang tinggi4.

Depresiasi niai tukar yang diakibatkan oleh premi resiko diteruskan ke inflasi barang-
barang buatan dalam negeri menggunakan tiga saluran. Pertama, direct pass-through melalui
biaya barang impor setengah jadi, yang berefek pada peningkatan inflasi domestik. Kedua,
indirect pass-through melalui permintaan untuk input impor, yang memiliki efek penurunan
terhadap inflasi domestik. Ketiga, indirect pass-through melalui permintaan eksternal untuk
output domestik. Yang terakhir ini memiliki pengaruh pada penurunan inflasi domestik
dikarenakan peningkatan ekspor akan memberikan sedikit tekanan ke atas terhadap upah
yang kaku. Sehingga, dengan harga output yang tidak terlalu kaku, akan ada penurunan biaya
riil dari penyerapan tenaga kerja.

Sebuah direct cost-push pass-through dari nilai tukar terhadap inflasi domestik sangat
mendominasi demand side pass-through yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konten
impor yang tinggi dalam struktur produksi. Kedua, elastisitas nilai tukar riil yang rendah dari
ekspor. Ketiga, tingkat kekakuan upah nominal yang tinggi, artinya elastisitas permintaan agregat
yang rendah terhadap inflasi upah. Keempat, elastisitas harga impor riil dari permintaan barang
impor setengah jadi. Nilai tukar yang diteruskan ke inflasi konsumen bahkan lebih tinggi karena
merupakan kombinasi dari net-cost push pass-through untuk inflasi domestik dan direct cost-
push pass-through dari barang impor konsumsi terhadap inflasi konsumen.

Besarnya biaya modal mencerminkan saluran biaya yang kuat dari kebijakan suku bunga,
yang memberikan tekanan ke atas terhadap inflasi domestik. Ini memperkuat yang perpanjangan
pass-through yang kuat dari depresiasi nilai tukar yang diakibatkan oleh premi resiko terhadap
harga dalam negeri yang lebih tinggi.

4 Romer (2006) menjelaskan bahwa, dengan asumsi kurva permintaan agregat yang sudah dimodifikasi, ln y = ln M - ln P (di mana
P mencerminkan faktor-faktor yang menggeser permintaan agregat), ekspresi kekakuan riil untuk harga relative yang memaksimalkan
keuntungan atas perwakilan perusahaan itu, ln Pi* - ln P = φ ln y, menunjukkan, ln Pi* = φ ln M + (1-φ) ln P di mana
kekakuan riil tinggi ditunjukkan dengan rendahnya φ.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 481

Percentage Point Percentage Point


Imported Goods Inflation (qtq) Domestic Inflation (qtq)
0.8 0.15
0.6
0.4 0.1

0.2
0.05
0
-0.2
0
-0.4
-0.6 -0.05
-0.8
-1 -0.1
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percent Percent
Real Marginal Cost Import Price
0.08 1
0.06
0.04 0.5

0.02
0
0
-0.02 -0.5
-0.04
-0.06 -1

-0.08
-1.5
-0.1
-0.12 -2
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percentage Point Percent


Consumer Inflation (qtq) Consumer Price
0.1 0.16
Optimal Response
0.14
0.08 Non Optimal Response
0.12
0.06
0.1
0.04 0.08

0.08
0.02
0.04
0 Optimal Response
0.02
Non Optimal Response
-0.02 0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percent Percent
Real Domestic Price Domestic Price
0.35 0.5
0.45 Optimal Response
0.3
Non Optimal Response
0.3 0.4
0.2 0.35
0.15 0.3
0.1 0.25
0.05 0.2
0 0.15
-0.05 0.1
-0.1 0.05
-0.15 0
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Grafik 11.
Respon Harga, Inflasi dan Biaya Marginal
482 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

4.4 Pajak dan Utang Pemerintah


Sebagai konsekuensi dari permintaan agregat yang lebih kecil dan tingkat suku bunga
yang lebih tinggi, pemerintah harus menghadapi basis pajak yang berkurang dan pembayaran
bunga yang lebih tinggi atas utang yang ada. Dengan demikian, otoritas fiskal perlu menaikkan
tarif pajak dan meningkatkan pembayaran utang untuk menjaga pengeluaran konsumsi agar
tetap konstan di tengah tekanan defisit primer yang meningkat. Karena aturan pajak merespon
defisit primer, pembayaran utang bunga yang lebih tinggi tidak memiliki efek penguatan pada
kenaikan pajak. Dengan demikian, utang pemerintah tetap berkelanjutan, tetapi perekonomian
memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan utang pemerintah.

Kenaikan tarif pajak memiliki efek kecil dalam meredam penawaran tenaga kerja yang
tidak elastis, dan menyebabkan sedikit tekanan ke atas terhadap biaya kerja marjinal riil. Namun,
besaran pass-through terhadap upah tetap jauh lebih kecil karena upah cukup kaku namun
terindeksasi oleh inflasi. Karena harga output lebih fleksibel dibandingkan upah, respon langsung
inflasi domestik terhadap suku bunga mengalami penurunan tetapi sangat lemah. Respon
langsung ini lebih tinggi melalui saluran penawaran tenaga kerja agregat atas kebijakan tingkat
suku bunga.

Percentage Point Percent


Tax Rate Fiscal Defisit
0.05 3

0.04 2.5
2
0.03
1.5
0.02 1
0.01 0.5

0 0
-0.5
-0.01
-1
-0.02 -1.5
-0.03 -0.03
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Percent
Governmen Debt
0.2
0.18 Optimal Response
0.16 Non Optimal Response
0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Grafik 12.
Respon Pajak, Utang Pemerintah dan Defisit Fiskal
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 483

4 .5 Suku Bunga
Model ini merekomendasikan bank sentral untuk menaikkan tingkat bunga pertahun
sampai ke tingkat yang lebih tinggi yakni 1,33 persen lebih tinggi dari tingkat awal setahun
setelah guncangan awal. Angka ini harus kembali diturunkan namun tetap di atas nilai kondisi
steady state selama sembilan triwulan sebelum akhirnya stabil di kisaran tingkat awal sebesar
7%. Respon suku bunga ini menyebabkan lompatan 0,09 persen pada inflasi konsumen tahun
ke tahun. Karena suku bunga nominal meningkat dengan lebih dari satu peningkatan inflasi
konsumen, suku bunga riil ex-ante naik sementara sampai tingkat 1,27 persen lebih tinggi di
atas level kondisi steady state awal sebesar 2%.

Penting untuk menyorot dampak pelaksanaan respon kebijakan moneter yang tidak
optimal, yang dikarenakan kenaikan suku bunga tertinggi di antara parameter respons yang
dapat digunakan. Hasil respon kebijakan macam ini memperburuk keadaan ekonomi dalam
jangka pendek dalam bentuk suku bunga nominal yang lebih tinggi, inflasi konsumen yang
lebih persisten, kontraksi output yang lebih dalam, lebih banyak pengangguran, neraca uang
yang lebih tinggi dan harga serta upah yang lebih mahal. Perekonomian juga menjadi lebih
buruk dalam jangka-panjang diakibatkan nilai tukar nominal yang susut, harga dan upah yang
lebih mahal, utang luar negeri bersih yang lebih tinggi, utang pemerintah yang lebih tinggi,
neraca uang riil yang lebih besar, surplus neraca perdagangan yang lebih kecil, defisit neraca
berjalan yang lebih besar dan surplus neraca finansial yang lebih besar.

Simulasi ini mengungkapkan seberapa kuat saluran biaya dari kebijakan moneter.
Peningkatan suku bunga menghasilkan tekanan pada inflasi domestik melalui peningkatan
biaya modal. Sumber utama tekanan ke bawah terhadap inflasi domestik dan konsumen adalah
biaya riil dari impor barang yang disebabkan oleh nilai tukar yang terapresiasi dalam

Percentage Point Percentage Point


Nominal Interest Rate (p.a) Real Interest Rate (p.a)
1.6 1.4
1.4 Optimal Response : 1.2 Optimal Response
Very Large Response Parameter Non Optimal Response
1.2 1
Non Optimal Response :
1 Smallest Feasible Response Parameter 0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0
0
-0.2 -0.2

-0.4 -0.4
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Grafik 13.
Respon Suku Bunga
484 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

perekonomian yang memiliki harga impor yang lebih fleksibel dibandingkan harga domestik,
serta konten impor yang tinggi. Saluran biaya yang kuat dari kebijakan tingkat suku bunga,
upah yang lebih kaku dibandingkan harga output dan indeksasi upah yang tinggi terhadap
inflasi masa lalu menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kurangnya respon disinflasi harga
konsumen terhadap kenaikan suku bunga. Hal ini sejalan dengan sifat-sifat model
makroekonometrik kecil Bank Indonesia yang memperkirakan lemahnya pengaruh dari
pengetatan suku bunga dalam menurunkan inflasi konsumen. Ini menunjukkan bahwa satu
persen kenaikan suku bunga hanya dapat mengurangi inflasi konsumen sekitar 0,06 persen.

4.6 Neraca Uang


Permintaan uang riil, menurun dalam jangka pendek dan mencapai nilai kondisi steady
state yang lebih tinggi dalam jangka panjang. Respon langsung tidak disebabkan oleh kenaikan
suku bunga melainkan hanya mengikuti pola konsumsi riil. Hal ini disebabkan oleh elastisitas
konsumsi riil yang tinggi terhadap permintaan uang riil yakni sebesar σ / ρ = 2,2.

Di sisi lain, elastisitas permintaan uang riil terhadap tingkat suku bunga nominal yang
rendah ( 1/ρ = 0,0083 ), meredam pengaruh kenaikan tingkat suku bunga yang relatif cukup
besar. Oleh karena itu, melemahnya permintaan atas barang konsumsi, akan berpengaruh
besar terhadap penurunan permintaan memegang uang.

Percent Percent
Real Money Balance Nominal Money Balance
0.008 0.16
0.14
0.004
0.12
0
0.1

-0.004 0.08

0.06
-0.008
0.04
-0.012 Optimal Response Optimal Response
Non Optimal Response 0.02
Non Optimal Response
-0.016 0
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Grafik 14.
Respon Neraca Uang

Dalam jangka pendek, penurunan permintaan uang riil, lebih rendah dibandingkan
kenaikan harga konsumen. Karenanya, ketika bank sentral merespon guncangan premi resiko
dengan menaikkan suku bunga, penawaran uang nominal harus lebih tinggi untuk
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 485

Tabel 2.
Korelasi antara Pertumbuhan Mata Uang dan Tingkat Bunga
Koefisien Korelasi
Periode
tingkat SBI 1 bulan tingkat deposit 3 bulan

1990Q1-1997Q2 -0,33 -0,65


1997Q3-1998Q4 0,84 0,42
1999Q1-2007Q1 -0,13 -0,28

meyeimbangkan pasar uang. Dalam hal ini, arah uang dan tingkat bunga saling berkebalikan,
dalam artian bahwa kebijakan moneter ketat terhadap tingkat suku bunga, namun longgar
terhadap pasokan uang.

Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat suku bunga berkorelasi positif dengan pertumbuhan
uang selama krisis. Namun, hubungan itu sebagian besar dikarenakan peningkatan besar-besaran
dalam bantuan likuiditas dikombinasikan dengan peningkatan suku bunga yang signifikan.
Lebih lanjut, Grafik 15 memperlihatkan bahwa kenaikan (atau penurunan) pada suku bunga
kebijakan Bank Indonesia (tingkat SBI), yang secara positif sangat berhubungan dengan
perubahan tingkat deposito, tidak serta merta memperlambat (atau mempercepat) pertumbuhan
mata uang yang beredar selama periode pasca-krisis. Korelasi negatif antara suku bunga dan
pertumbuhan mata uang melemah selama periode observasi seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 2. Karena pertumbuhan dan suku bunga kebijakan bisa bergerak dalam arah yang sama,
dan pengetatan atau pelonggaran kebijakan moneter seharusnya hanya diwakili dan jelas
dikomunikasikan dalam bentuk kebijakan suku bunga.

%
3.00

2.00

1.00

(1.00)

(2.00)
Increase (decrease) in SBI rate
Acceleration (deceleration) of Currency in Circulation
(3.00)
2000q01
2000q02
2000q03
2000q04
2001q01
2001q02
2001q03
2001q04
2002q01
2002q02
2002q03
2002q04
2003q01
2003q02
2003q03
2003q04
2004q01
2004q02
2004q03
2004q04
2005q01
2005q02
2005q03
2005q04
2006q01
2006q02
2006q03
2006q04
2007q01
2007q02

Grafik 15. Arah Suku Bunga dan


Pertumbuhan Mata Uang di Indonesia
486 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

V. KESIMPULAN
Studi ini menemukan bahwa meski dengan respon kebijakan moneter yang optimal,
depresiasi nilai tukar nominal yang dipicu oleh guncangan premi resiko suku bunga selama dua
tahun, memberikan dampak bagi perekonomian dalam bentuk inflasi yang lebih tinggi, output
yang lebih rendah, suku bunga riil dan nominal yang lebih tinggi, biaya modal yang lebih
tinggi, investasi yang lebih rendah, utang dan defisit pemerintahan yang lebih tinggi, tingkat
pajak yang lebih tinggi, dan pengangguran yang lebih tinggi.

Guncangan yang terus-menerus juga memperburuk perekonomian dalam jangka-panjang.


Hal ini ditandai dengan kesetimbangan jangka panjang nilai tukar nominal yang lebih lemah ,
harga domestik, impor serta upah yang lebih mahal, dan neraca pembayaran yang lebih buruk
(surplus neraca perdagangan yang lebih rendah, defisit neraca berjalan yang lebih tinggi, arus
masuk modal yang lebih tinggi, utang luar negeri bersih yang lebih besar, utang pemerintah
yang lebih tinggi namun berkelanjutan). Namun, respon kebijakan moneter yang tepat, yakni
kenaikan suku bunga terkecil dalam himpunan respon suku bunga yang layak, mampu
mengurangi dampak merugikan tersebut.

Karateristik guncangan seperti ini terjadi karena kurangnya respon disinflasi terhadap
kenaikan pada kebijakan suku bunga, yang disebabkan oleh kombinasi kekakuan riil yang
tinggi dan kuatnya saluran biaya atas suku bunga dan pass-through nilai tukar. Baik saluran
permintaan agregat atas suku bunga dan saluran sisi permintaan atas pass-through dari nilai
tukar mempunyai efek yang lemah terhadap inflasi.

Beberapa implikasi kebijakan mungkin sesuai, namun karakteristik transmisi moneter


seperti ini menyulitkan respon kebijakan moneter yang optimal. Akan lebih baik bagi bank
sentral untuk mengejar inflasi yang lebih rendah yang dipengaruhi oleh permintaan, ketika
guncangan yang merusak tidak muncul atau ketika terdapat guncangan pasokan yang
menguntungkan. Ketika disinflasi berhasil, suku bunga pada gilirannya dapat diturunkan dan
akhirnya dapat membantu mengurangi biaya jalur suku bunga dan memperkuat saluran
permintaan agregat.

Karena guncangan nilai tukar dan cost-push sering kali merugikan perekonomian, maka
diperlukan kebijakan lain untuk melengkapi kebijakan moneter untuk memperkuat saluran
permintaan agregat dari kebijakan moneter. Penting untuk diketahui bahwa saluran biaya suku
bunga perlu diturunkan. Ini menyiratkan bahwa proporsi pendapatan domestik untuk pemilik
modal, investor atau pemberi pinjaman, harus dikurangi. Perombakan struktur produksi dengan
menambah produsen barang yang padat karya, bisa menjadi kebijakan industri yang tepat
untuk membantu mengurangi proporsi modal dalam output.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 487

Kebijakan lain yang bisa diterapkan adalah yang terkait dengan upaya pengurangan
biaya modal. Model dan hasil simulasi tidak dapat merekomendasikan kebijakan yang secara
langsung dapat mengurangi biaya modal, karena tidak adanya saluran pinjaman bank yang
menunjukkan kesetaraan suku bunga kebijakan bank sentral dan suku bunga pinjaman bank.
Namun, ketika saluran itu muncul, rekomendasi kebijakan yang mendorong pengurangan biaya
marjin perantara keuangan dan marjin profit, mungkin dapat mengurangi biaya modal. Kebijakan
lainnya adalah yang membantu mengurangi inflasi yang disebabkan alasan non-moneter, yang
dalam praktiknya, secara tidak langsung akan mengurangi biaya modal pada tingkat bunga riil
tertentu dan spread antara pinjaman dan suku bunga deposito. Dalam kerangka pemodelan
dari studi ini, keberhasilan dari kebijakan ini secara langsung akan mengurangi baik suku bunga
pinjaman maupun suku bunga kebijakan. Mengingat bahwa harga sama dengan biaya marjinal
ditambah marjin keuntungan, kebijakan seperti ini dapat memiliki bentuk (i) mengurangi biaya
marjinal yang dipicu alasan non-moneter, (ii) mengurangi marjin profit, dan (iii) meningkatkan
fleksibilitas marjin profit terhadap peningkatan biaya5.

Biaya marjinal yang dipicu alasan non-moneter, yang tidak dimodelkan dalam penelitian
ini, mungkin mengambil bentuk biaya marjinal atas «tenaga kerja eksternal»6 dan juga penentu
lain dari biaya marjinal yang tidak dimasukkan dalam persamaan biaya marjinal (2.6).

Dan pada akhirnya, penting untuk menelusuri keterbatasan model yang harus
dipertimbangkan ketika menginterpretasikan hasil simulasi untuk tujuan pengeluaran kebijakan.
Model ini masih memiliki kekurangan di saluran pinjaman banknya yang berarti menyiratkan
tidak adanya bank dan bahwa bank sentral merupakan bagian dari pemerintah. Akan menarik
untuk mengetahui bagaimana perekonomian bereaksi dengan kehadiran bank sebagai perantara
keuangan.

5 Harga barang produksi dalam negeri dapat ditetapkan sebagai biaya marjinal nominal dikalikan dengan marjin laba kotor, P = MCd
( 1 + μ), yakni mcd = mcdm + mcdnm , di mana mcdm adalah biaya marjinal riil yang dipicu alasan moneter, seperti pada (II.14),
adalah biaya marjinal riil yang dipicu alasan non-moneter dan μ adalah marjin laba bersih .
6 Biaya « tenaga kerja eksternal « adalah biaya tambahan harus dikeluarkan perusahaan terus-menerus, untuk alasan apapun, bagi
orang-orang yang bukan pegawai perusahaan atau tidak memasok tenaga kerja mereka dalam bentuk input produksi.
488 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

DAFTAR PUSTAKA

Agénor, Pierre-Richard dan Peter J. Montiel (2008). Development Macroeconomics, Third Edition.
Princeton University Press.
Al-Eyd, Ali dan Stephen G. Hall (2006). ≈Financial Crisis, Effective Policy Rules and Bounded
Rationality in a New keynesian FrameworkΔ. NIESR Discussion Paper No. 272.
Barth, M.J., Ramey, V. (2001).Δ≈The Cost Channel of Monetary TransmissionΔ. NBER
Macroeconomic Annual,Δhal. 199√239.
Calvo, Guillermo (1983).√≈Staggered Process in A Utility Maximizing FrameworkΔ, Journal of
Monetary Economics 12 (1983), hal. 89-100.
Chowdhury, Ibrahim, Mathias Hoffmanna, dan Andreas Schabert (2006). ≈Inflation dynamics
and the cost channel of monetary transmissionΔ. European Economic Review 50, hal. 995√
1016
Christiano, Lawrence J., Martin Eichenbaum, dan Charles L. Evans (2005).√≈Nominal Rigidities
and the Effects of a Shock to Monetary Policy,ΔΔJournal of Political Economy, Vol. 113(1),
1"45.
Clarida, R., J. Gali, M. Gertler (1999). ≈The Science of Monetary Policy: A New Keynessia
PerspectiveΔ. Journal of Economic Literature, Vol.37, Issue 4, 1661-1707.
Darsono, Akhis R. Hutabarat, Diah Esti Handayani, Hery Indratno, Retno Muhardini (2002).
≈Survey of Bussiness Price Setting BehaviorΔ. Makalah dipresentasikan pada The 26th CIRET
Conference, Taipei, October 2002.
Drud, Arne (2006). ≈CONOPTΔ, GAMS √ The Solver Manuals, ARKI Consulting and Development
A/S, Bagsvaerd, Denmark.
Eichenbaum, M. (1992). ≈Comment on «Interpreting the macroeconomic time series facts: the
effects«of monetary policy» by C.A. SimsΔ.ΔEuropean Economic Review, 36, pp. 1001√1011.
Erceg, Christopher J., Andrew T. Levin (1983). ≈Imperfect credibility and inflation persistenceΔ,
Journal of Monetary Economics 50 (2003), hal. 915-955.
Hall, Simon, Mark Walsh, Anthony Yates (1997). ≈How do UK companies set prices?Δ. Bank of
England Working Paper 8905.
Hossain, A (2006). ≈Sources of Economic Growth in Indonesia, 1966-2003Δ Journal of Applied
Econometrics and International Development, Vol.6 Issue 2.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 489

Husman, Jardine A. (2005). ≈Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral
Indonesia: Kondisi Marshall-Lerner dan Fenomena J-CurveΔ. Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan Bank Indonesia (Volume 8 No.3).
Hutabarat, Akhis R. (2007). ≈Monetary policy response to transient exchange rate and cost
shocksΔ. Working Paper, University of Leicester.ΔTidak dipublikasikan.
Murchison, Stephen, Andrew Rennison, dan Zhenhua Zhu (2004). ≈A Structural Small Open-
Economy Model for CanadaΔ. Bank of Canada Working Paper 2004-4.
Ravenna, Federico, Carl E. Walsh (2006). ≈Optimal monetary policy with the cost channelΔ.
Journal of Monetary Economics Vol. 53, pp. 199-216.
Romer, D. (2006). Advanced Macroeconomics, 3rd edn. New York: McGraw-Hill.
Rosenthal, Richard E. (2006). ≈GAMS≈ƒ A User»s GuideΔ. GAMS Development Corporation,
Washington, DC, USA
Sims, Christopher A. (1992). ≈Interpreting the macroeconomic time series facts: the effects of
monetary policyΔ. European Economic Review, 36, hal. 975√1000.
Smets, Frank, dan Raf Wouters (2003). ≈An estimated stochastic dynamic general equilibrium
model of the Euro areaΔ, ECB Working Paper No.171. Sorensen, Peter Birch, Hans Jorgen
Whitta-Jacobsen (2005). ≈Introducing Advanced Macroeconomics √ Growth and Business
CyclesΔ. The McGraw-Hill Companies.
Young, Alwyn (1995).
≈The Tyranny of Numbers: Confronting the Statistical Realities of the East Asian Growth
ExperienceΔ. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 110, No.3, hal.641-680.
Woodford, M (2003). ≈Interest and Prices. Foundations of a Theory of Monetary PolicyΔ. Princeton
University Press.
Warjiyo, Perry dan Juda Agung (2002). ≈Transmission Mechanisms of Monetary Policy in
IndonesiaΔ, Bank Indonesia: Direktorat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
490 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

halaman ini sengaja dikosongkan


PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak
melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang
dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,
TETAP menjadi hak penulis.

2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial
sebesar Rp 2.500.000,-.

3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:

paper.bemp@gmail.com (Cc. to: tsubandoro@bi.go.id.)

Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan
melalui pos ke alamat redaksi berikut:

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN


Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia
Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2
Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394

4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan
ukuran font 12.

5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.

6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan
sebaliknya.

7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/
jel_class_system.html.

8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,


492 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, April 2011

I. JUDUL BAB

I.1. Sub Bab

I.1.1. Sub Sub Bab

9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.

10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,

a. Publikasi buku:
Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New
John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch
Jersey.

b. Artikel dalam jurnal:


Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with
Human CapitalΔ, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.

c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K.
≈Empirical Research on Nominal Exchange RatesΔ, dalam Gene Grossman dan Kenneth
Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,
hal. 397-416.

d. Kertas kerja (working papers):


Kremer, Michael dan Chen, Daniel
Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous
FertilityΔ. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper
No.7530, 2000.

e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John


John. ≈Can Parental Decision Explain
U.S. Income Inequality?Δ, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.

f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston
Heston, Alan
W. ≈Penn World Table, Version 5.6Δ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.

g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by KindnessΔ,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.

11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening
Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk
CV (curriculum vitae) lengkap.

Anda mungkin juga menyukai