Anda di halaman 1dari 7

Analisis Kebijakan Penerapan Full Day School (FDS) Pada

Pendidikan Menengah

Abstrak: Full Day School (FDS) merupakan sebuah penyelenggaraan program sekolah
yang mana proses pembelajarannya dilaksanakan seharian penuh, yaitu dari pukul tujuh
pagi sampai dengan empat sore dengan durasi istirahat setiap dua jam mata pelajaran.
Dasar hokum yang menjadi pegangan dalam penerapan FDS adalah Peraturan Menteri
Pendidikan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 mengenai Hari Sekolah yang mengatur
waktu belajar 8 jam selama 5 hari dalam sepekan. Peraturan tersebut resmi diterapkan
pada tahun ajaran baru 2017-2018. Di Indonesia sendiri penyelenggaraan FDS tidak
dapat diberlakukan secara menyeluruh untuk semua sekolah dikarenakan beberapa
alasan. Oleh karena itu, Permendikbud ini dibatalkan dan digantikan oleh Perpres No 87
tahun 2017 pasal 9 yang mengatakan bahwa sistem pendidikan FDS hanya bersifat
opsional dan tidak wajib diterapkan diseluruh Indonesia.
Kata Kunci: Full Day School, Perpres, Permendikbud

Pendahuluan

Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan suatu bangsa. Pada


praktek pendidikan di Indonesia, dari tahun ketahun sering kali diwarnai dengan
perubahan berbagai kebijakan, dari sistem penerimaan peserta didik baru hingga
kurikulum nasional sebagai upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Salah satu
perubahan yang dilakukan oleh pemerintah adalah pelaksaan full day school (FDS).

Full Day School (FDS) merupakan sebuah penyelenggaraan program sekolah


yang mana proses pembelajarannya dilaksanakan seharian penuh, yaitu dari pukul tujuh
pagi sampai dengan empat sore dengan durasi istirahat setiap dua jam mata pelajaran
(Andrianingsih, 2016; Baharudin, 2010). Pengaturan jadwal pelajaran dan pendalaman
materi pelajaran merupakan hal yang diutamakan di FDS, oleh karena itu sekolah
mempunyai kuasa untuk mengatur jadwal pelajaran yang disesuaikan dengan bobot
mata pelajaran (Baharudin, 2010). Konsep FDS itu sendiri bukanlah hal baru dalam
dunia pendidikan, negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang yang
penyelenggaraan proses pembelajarannya dilaksanakan selama kurang lebih 8 jam/hari
(Risnita dan Asvio, 2019).
Di Indonesia, gagasan FDS dikemukan oleh Muhadjir Effendi yang saat itu
menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Gagasan FDS ini merupakan
respon dari program nawacita Presiden Joko Widodo yang menyangkut pendidikan
karakter dan budi pekerti, yang ketika diterapkan maka peserta didik mendapat jam
tambahan mengenai pendidikan karakter (Hunowu, 2016). FDS mengarah pada
beberapa tujuan, yaitu untuk memberikan penggayaan dan pendalaman materi yang
yang telah ditetapkan sesuai dengan jenjang pendidikan, memberikan penggayaan
pengalaman melalui pembiasaan-pembiasaan hidup yang baik dan kemudian diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, melakukan pembinaan kejiwaan, mental dan moral peserta
didik disamping mengahasah otak agar seimbang kebutuhan jasmani dan rohani, dan
terakhir adalah pembinaan spiritual intelegence peserta didik melalui penambahan
materi-materi agama dan kegiatan dasar dalam bersikap dan berperilaku (Rossidy,
2009)

Gagasan FDS ini merupakan hal yang baru dipendidikan Indonesia dan tentunya
menimbulkan pro dan kontra diberbagai kalangan masyarakat. Namun, hal tersebut
tidak menyurutkan keinginan pemerintah untuk menyelenggarakan FDS. Konsep FDS
telah diterapkan di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah, namun artikel ini akan
berfokus pada kebijakan FDS pada tingkat sekolah menengah.

Dasar Hukum

Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 mengenai


Hari Sekolah yang mengatur waktu belajar 8 jam selama 5 hari dalam sepekan.
Peraturan tersebut resmi diterapkan pada tahun ajaran baru 2017-2018.

Pasal 2
Ayat 1 “hari sekolah dilaksanakan 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam dalam lima hari
dalam satu minggu”
Ayat 2 “ketentuan pada ayat 1 termasuk waktu istirahat selama 0,5 jam dalam 1 hari
atau 0,25 jam selama lima hari dalam 1 minggu”
Ayat 3 “Dalam hal tersebut diperlukan penambahan waktu istirahat sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 sekolah dapat menambah waktu istirahat melebihi 0,5
jam dalam 1 hari atau 2,5 jam selama 5 hari dalam 1 minggu”
Ayat 4 “Penambahan waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tidak
termasuk dalam perhitungan jam sebagaimana dimaksud pada ayat 1”

sesuai dengan pasal 2 bahwa sekolah dilaksanakan selama 8 jam dalam satu hari
atau 40 jam selama 5 hari dalam 1 minggu, dengan demikian ketentuan waktu istirahat
selama 0,5 jam atau 2,5 jam selama 5 hari. Namun hal istirahat dapat melebihi
ketentuan pada pasal 2 namun tidak termasuk dalam perhitungan jam sebagaimana
dimaksud pada ayat 1. Menurut Mufidati (2013) bahwa sistem pembelajaran dalam full
day school menerapkan konsep dasar Integrated-Activity dan Integrated-Curriculum.
Hal inilah yang membedakan dengan sekolah pada umumnya. Dalam full day school
semua program dan kegiatan siswa di sekolah, baik belajar, bermain, beribadah dikemas
dalam sebuah sistem pendidikan. Hal yang ditekankan adalah siswa selalu berprestasi
dengan pembelajaran yang berkualitas dan diharapkan akan terjadi perubahan positif
dari setiap siswa.

Pasal 10
Ayat 1 “Guru pada Sekolah yang belum dapat melaksanakan ketentuan Hari Sekolah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetap melaksanakan ketentuan
40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu untuk memenuhi beban kerja guru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).”
Ayat 2 “Peserta Didik pada Sekolah yang belum dapat melaksanakan ketentuan Hari
Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetap melaksanakan
ketentuan jam sekolah sesuai dengan beban belajar pada kurikulum dan dapat
melaksanakan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler.”

Hilalah (2012) dalam Risnita dan Asvio (2019) mengemukakan Faktor


penunjang pelaksanaan full day school yakni: a) Lingkungan sekolah yang kondusif
dimana lingkungan ini dapat terwujud apabila kepala sekolah memiliki kecerdasan
emosi tinggi dan gaya kepemimpinan yang tepat. (b) Kompetensi manajerial kepala
sekolah yang meliputi kemampuan manajemen dan kepemimpinan, yang dilengkapi
keterampilan konseptual, insani, dan teknis. (c) Profesionalisme guru, guru diharapkan
mampu memberikan pengaruh positif terhadap keberhasilan proses belajar mengajar
serta mampu memaksimalkan perkembangan anak didik dengan sebaik-baiknya. d.
Kelengkapan sarana dan prasarana Sarana dan prasarana berupa buku bacaan, ruang
belajar, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, dan lain-lain. Semua itu sangat
berguna sebagai pendukung pelaksanaan full day school bahkan menjadi faktor yang
sangat penting dalam kelancaran proses belajar mengajar. e. Partisipasi orang tua
meliputi hubungan baik antara sekolah dengan orangtua/wali siswa akan mempengaruhi
hasil pendidikan di sekolah. Mereka saling memberikan informasi tentang
perkembangan anaknya baik di sekolah maupun di keluarga sehingga memperoleh hasil
yang maksimal

Pada pasal 10 dijabarkan bahwa bagi guru dan siswa yang belum dapat
melaksanakan ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 tetap
melaksanakan ketentuan jam sekolah sesuai dengan beban belajar dan tetap untuk
melaksanakan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. Untuk sekolah yang mungkin
masih memiliki keterbatasan untuk melaksanakan FDS dapat tetap melaksanakan
kegiatan pembelajaran selama 6 (enam) hari dalam seminggu sebagaimana biasanya.
Sehingga dapat dikatakan ketentuan yang tertera pada pasal 2 tidak diberlakukan secara
wajib untuk seluruh sekolah yang ada di Indonesia.

Pro dan Kontra

Kebijakan pemerintah dalam menerapkan FDS tentunya memiliki tujuan yang


baik bagi pendidikan nasional. Namun, kebijakan ini menimbulkan polemik
dimasyarakat. Terdapat pihak yang pro terhadap kebijakan FDS, ada pula yang kontra
dengan berbagai argumentasi yang dimiliki. Pihak pro kebijakan FDS berpendapat
bahwa waktu peserta didik akan banyak dihabiskan didalam kelas yang akan bermuara
pada produktifitas tinggi dan terhindar dari penyimpangan karena keseharian peserta
didik berada di dalam lingkungan sekolah dan dalam pengawasan guru (Hunowu,
2016). Karena peserta didik berada seharian disekolah maka para orang tua
kekawatirannya berkurang terutama orang tua yang kedua-duanya berkarir.
Pihak pro FDS juga berpendapat bahwa dengan FDS peserta didik dapat mendapat
metode pembelajaran yang bervariasi dibanding sekolah reguler yang mana aspek
perkembangan minat, bakat, dan kecerdasan peserta didik terekan sejak dini melalui
pemantauan program bimbingan dan konseling serta meningkatkan gengsi orang tua
yang memiliki orientasi terhadap hal-hal yang bersifat prestigious (Baharun dan
Alawiyah, 2018). Kebijakan FDS juga dapat dirasakan oleh para peserta didik karena
mereka mendapat pengatahuan yang lebih karena dapat mengulang pelajaranyang lalu,
meningkatkan silaturahmi dengan warga sekolah baik guru, peserta didik, staf sekolah
dan lainnya (Negoro, 2014)

Sedangkan pihak kontra memiliki argumen yang cukup keras disbanding pihak
pro kebijakan FDS. Menurut Risnita dan Asvio (2019), berdasarkan Permendikbud No.
23 tahun 2017 peserta didik diwajibkan belajar 8 jam disekolah selama 5 hari, hal ini
dinilai mengekang peserta didik untuk menerima pemikiran-pemikiran bahwa sekolah
itu identik dengan nilai saja. Padahal peserta didik seharusnya bebas berkarya dan
belajar diluar sekolah, peserta didik dianggap unggul apabila mampu mengembangkan
potensi intelektual, emosional, dan spiritual dimana mereka berada (Hasan, 2015).

Sedangkan menurut Hunowu (2016), pihak kontra kebijakan FDS memiliki


argumentasi bahwa FDS akan merampas hak anak dalam bersosialisasi dan bermain
dengan lingkungan sekitarnya, belum tersedianya sarana dan prasarana sekolah
disebagian besar seklah di Indonesia, dan juga karena FDS sulit dilakukan di daerah
pedesaan yang letak geografisnya berbeda dengan perkotaan. Pihak kontra bahkan
menggangas petisi penolakan yang digagas oleh Deddy Mahyarto Kresnoputro. FDS
juga berpotensia membuat peserta didik mengalami kejenuhan atau stress karena berada
disekolah sepanjang hari, apalagi bila pembelajaran yang dilaksakan kurang menarik
atau variatif. FDS juga menambah beban guru karena guru bukan hanya mengurus
muridnya disekolah tetapi juga harus mengurus keluarganya dirumah (Baharun dan
Alawiyah, 2018)

Bahkan pihak kontra menuding kebijakan FDS memiliki maksud tersembunyi


untuk menalienasi madrasah diniyah sore (TPA) atau intervensi mata pelajaran umum
ke pesamtren salafushalih sehinggah wajib diwaspadai sebagai korikulum tersembunyi
dalam rangka mengkontruksi pemikiran peserta didik agar mudah digiring menuju
pemikiran liberalism. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa kebijakan FDS
membuat Indonesia menuju negara sekuler dan dinilai berbahaya karena permendikbud
tersebut telanh menganggap bahwa menggampangkan urusan agama ().

Kebijakan ini dinilai menganggu kredibilitas dan elektibilitas Presiden Joko


Widodo karena kebijakan yang dikeluarkan mengundang kontroversi dan tidak mampu
memuaskan masyarakat. Dikarenakan Permendikbud No 23 tahun 2017 dinilai terlalu
meresahkan maka pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden dalam Pasal
9 No 87 tahun 2017 untuk membatalkan Permendikbud No 23 tahu 2017 tentang FDS.

Kesimpulan

Kebijakan FDS yang digagas oleh Mendikbud melalui Permendikbud No 23


Tahun 2017 dianggap meresahkan oleh berbagai pihak dan belum mampu diterapkan
diseluruh Indonesia karena sistem FDS ini memilikibanyak kelemahan sehingga masih
perlu untuk dikaji lagi. Oleh karena itu, Permendikbud ini dibatalkan dan digantikan
oleh Perpres No 87 tahun 2017 pasal 9 yang mengatakan bahwa sistem pendidikan FDS
hanya bersifat opsional dan tidak wajib diterapkan diseluruh Indonesia. Merujuk pada
negara maju seperti Jepang dan Finlandia yang tidak mewajibkan seluruh sekolahnya
melaksanakan FDS, bahkan Finlandia sebagai negara rangking pertama di dunia dalam
bidang pendidikan versi NF MED 2017 menyatakan anti terhadap FDS (Risnita dan
Asvio, 2019).

Daftar Pustaka

Andrianingsih. 2016. Full Day School, Model Alternatif Pembelajaran Karakter Di


Sekolah. Prosiding Seminar Nasional UM, hlm 01-05
Baharuddin. 2010. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Baharun, H. dan Alawiyah, S. 2018. Pendidikan Full Day School Dalam Perspektif
Epistemologi Muhammad ‘Abid Al- Jabiri. Jurnal Kependidikan Islam, vol 4, no
1
Hunowu, M. A. 2016. Konsep Full Day School dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan.
Jurnal Irfani, vol 12, no 1.
Mufidati, Khusnul. (2013). Full Day School dan Terpadu. Surabaya: Program Studi
Pendidikan Islam Program Pascasarjana STAIN Tulungagung.
Negoro, R. A. 2014. Persepsi Siswa Kelas XI Tentang Program Full Day School di
SMA Negeri 2 Sawahlunto. Skripsi
Risnita dan Asvio, N. 2019. Evaluasi Kebijakan Program Full Day School Pada Sekolah
Umum. Jurnal Manajemen, Kepemimpinan, dan Supervisi Pendidikan, vol 4, no
2.
Rossidy, I. 2009. Pendidikan Berparadigma Inklusif. Malang: UIN Press

Anda mungkin juga menyukai