Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
STRIKTUR URETRA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra menyempit. Striktur uretra bisa
terjadi secara kongenital maupun karena trauma. Namun, kejadian striktur uretra pada laki-laki
jarang yang bersifat kongenital dan diakibatkan oleh trauma yang bersifat iatrogenik
(kateterisasi, prosedur endoskopik, atau rekonstruksi uretra sebelumnya) atau karena trauma
(fraktur pelvis). Sedangkan striktur uretra pada wanita diakibatkan oleh adanya deformitas dari
uretra yang berputar dan mengalami penyempitan (spinning top). (Prabowo & Pranata, 2014:
144)
Striktur uretra dapat disebabkan karena suatu infeksi, trauma pada uretra, dan kelainan bawaan.
Infeksi yang paling sering menimbulkan striktur uretra adalah infeksi oleh kuman gonokokus
yang telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya. Keadaan ini sekarang jarang dijumpai
karena banyak pemakaian antibiotika untuk memberantas uretritis. Proses radang akibat trauma
atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan
sikatrik pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. (Purnomo,
2011: 141)
1. Batasan Masalah
Masalah pada pembahasan ini di batasi pada konsep teori penyakit dan konsep asuhan
keperawatan klien yang mengalami striktur uretra.
1. Rumusan Masalah
2. Bagaimana konsep penyakit striktur uretra?
3. Bagaimana pengkajian pada pasien dengan striktur uretra?
4. Bagaimana diagnosa keperawatan pada pasien dengan striktur uretra?
5. Bagaimana intervensi pada pasien dengan striktur uretra?
1. Tujuan
2. Tujuan Umum
Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem perkemihan dengan striktur
uretra menggunakan proses pendekatan keperawatan.
2. Tujuan Khusus
3. Mengetahui dan memahami tentang konsep penyakit dari striktur uretra
4. Melakukan pengkajian pada pasien gangguan sistem perkemihan dengan striktur uretra
5. Melakukan diagnosa pada pasien gangguan sistem perkemihan dengan striktur uretra
6. Melakukan intervensi pada pasien gangguan sistem perkemihan dengan striktur uretra
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. KONSEP PENYAKIT
2. Definisi
Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra menyempit. Berbeda dengan
obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur uretra merupakan adanya oklus dari
dari meatus uretralis karena adanya jaringan yang fibrotik dengan hipertrofi. Jaringan fibrotik
yan tumbuh dengan abnormal akan menutupi/ mempersempit meatus uretralis, sehingga aliran
urine (urine flow) akan menurun. (Prabowo & Pranata, 2014: 144)
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya. Penyempitan
lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah
terjadi fibrosis korpus spongiosum. (Purnomo, 2011: 153)
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan kontriksi.
(Suharyanto & Madjid, 2013: 271)
Dari beberapa definisi tersebut, kelompok kami menyimpulkan bahwa Striktur uretra merupakan
penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari lumen uretra akibat adanya
obstruksi kemudian terbentuk jaringan fibrotik (jaringan parut) pada daerah uretra.
2. Etiologi
1. Kongenital
Pertumbuhan dan perkembangan meatus uretralis semenjak janin mengalami gangguan, sehingga
tidak terbentuk sempurna. Pembentukan yang tidak sempurna tersebut akan memperseempit
jalan urine, sehingga terjadi obstruksi-obstruksi jaringan. (Prabowo & Pranata, 2014: 144-145)
Jaringan parut ini dipicu oleh adanya perlukaan karena suatu penyakit. Infeksi jaringan
(Gonorrhea) oleh diplococcusneisseria gonorrhea akan melukai jaringan uretra. Perlukaan yang
kronis akan menyebabkan jaringan fibrosa mengalami penebalan, sehingga terjadila striktur
fibrosa pada uretra posterior. (Prabowo & Pranata, 2014: 145)
Banyak tindakan yang memicu terjadinya striktur, misalnya pemasangan kateter yang lama,
pembedahan dengan bakat keloid, dan evakuasi benda asing/ batu dengan perlukaan. (Prabowo
& Pranata, 2014: 145)
Berdasarkan letak striktur, maka dimungkin beberapa penyebab yang berbeda, antara lain:
1. Pars Membranosa
Dikarenakan trauma panggul kateterisasi yang salah jalur sehingga menimbulkan kerusakan
integritas membran uretralis.
2. Pars Bulbosa
3. Meatus
Manifestasi klinis pada umumnya mirip dengan obstruksi saluran kemih lainnya, misalnya BPH.
Namun ada beberapa yang khas dari klien striktur uretra, yaitu pancaran urine yang kecil dan
bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/ obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan
menurunkan patensi urine low dan obstruksi yang berada di medial akan membuat alira urine
terpecah, sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah dua. Gejala yang lain dari striktur uretra
antara lain:
1. Frekuensi
Merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan frekuensi untuk berkemih
pada klien striktur uretra dikarenakan tidak tuntasnya klien untuk mengosongkan vesika,
sehingga masih terdapat residu urine dalam vesika. Hal inilah yang kemudian mendorong
m.detrusor untuk berespon mengosongkan vesika.
2. Urgensi
Merupakan perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak berkemih.
Akumulasi yang kronis pada klien striktur uretra adalah mengakibatkan iritabilitas vesika
urinaria meningkat. Hal ini akan merangsang persarafan yang mengontrol eliminasi uri untuk
mengosongkan melalui efek kontraksi pada bladder. Dengan demikian keinginan untuk miksi
akan terjadi terus-menurus pada striktur uretra.
3. Disuria
Merupakan rasa sakit dan kesulitan untuk melakukan miksi. Klien striktur urtra akan mengalami
iritabilitas mukosa, baik pada uretra maupun pada vesika urinaria. Hal ini dikarenakan akumulasi
urine yang melebihi kapasitas bladder dan sifat pH dari urine yang cenderung asam/ basa akan
melukai mukosa saluran kemih. Selain itu, relaksasi vesika yang melebihi dari kemampuan otot
vesika akan menimbulkan inflamasi dan nyeri.
4. Inkontenensia urine
Merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol miksi ( bahasa awam : ngompol ) kejadian ini
pada klien striktur uretra dipicu oleh iritabilitas sayaraf perkemihan sehingga kemampuan untuk
mengatur regulasi miksi menurun.
5. Urine menetes
Merupakan dampak dari residu urine dan adanya obsruksi pada meatus uretralis, sehingga
pancara urine melemah dan pengosongan tidak bisa spontan.
6. Penis membengkak
Bendungan urine dan obstruksi pada saluran uretra akan menyebabkan resistensi kapiler jaringan
sekitar meningkat dengan gejala inflamasi yang jelas, sehingga penis akan membengkak.
7. Infiltrat
Jika obstruksi pada klien striktur uretra tidak tertangani dengan baik dan terjadi dalam jangka
waktu yang lama, maka kemungkinan infeksi pada striktur akan terjadi mengingat urine
merupakan media untuk pertumbuhan kuman yang baik. Jika hal ini terjadi, inflamasi jaringan
striktu akan menjadi abses dan infiltrasi akan terjadi pula.
8. Abses
Diakibatkan oleh invasi bakteri melalui urine kepada jaringan obstruksi striktur.
9. Fistel
Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha secara patologis untuk mencari jalan keluar. Oleh
karena itu, iritabilitas jaringan sekitar akan terus terjadi untuk membuat saluran baru, sehingga
kemungkinan akan terbentuk fistel sebagai jalan keluar urine baru.
Striktur yang total akan menghambat secara total aliran urine, sehingga urine tidak akan keluar
sedikit pun dan terakumulasi pada vesika urinaria.
Pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/ obstruksi pada saluran
meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine low dan obstruksi yang berada di
medial akan membuat alira urine terpecah, sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah dua.
(Prabowo & Pranata, 2014: 146)
4. Patofisiologi
Residu urine yang sedikit mungkin akan menimbulkan gangguan, namun jika banyak dan
melebihi batas kapasitas vesika memungkinan terjadinya refluks dan jika berlangsung kronis
kemungkinan menimbulkan hidronephrosis. Selain itu, stagnansi urine yang lama menimbulkan
sedimentasi sehingga kemungkinan akan terjadi urolithiasis. Hal yang paling kompleks dari
dampak striktur adalah terjadinya gagal ginjal. Hal ini dikarenakan refluks pada ginjal akan
memperberat kerja ginjal untuk melakukan fungsinya.
Tubuh manusia memiliki banyak cara untuk mengatasi masalah, begitu pula dengan akumulasi
urine yang semakin bertambah dengan adanya striktur. Urine yang bersifat asam/ basa akan
berusaha mencari jalan baru sebgai saluran dengan meningkatkan iritabilitas pada mukosa
jaringan sekitar dan terbentukla fistel. (Prabowo & Pranata, 2014: 147-149)
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan
sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine
hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat tersumbat mencari jalan keluar di tempat lain
(di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi
menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada
keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.
(Purnomo, 2011: 144)
5. Klasifikasi
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu
derajat:
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang
dikenal dengan spongiofibrosis. (Purnomo, 2011: 144)
6. Komplikasi
Komplikasi dari striktur uretra disebabkan oleh akumulasi urine/ residu urine yang berlebih dan
kronis pada vesika urinaria. Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada
klien dengan striktur uretra:
Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti infeksi oleh kuman
gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika dan atau non gonorrhoika telah mengifeksi
uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang sudah akibat pemaikaian anti biotik,
kebanyakan striktur ini terletak di parsmembranasea, walaupun juga terdapat pada temapat lain;
infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindrai
ontak dengan indivdu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.
Adanya sumbatan pada uretra , tekanan intravesika yang meninggi maka bisa timbul inhibisi
urine keluar buli-buli dari strikture uretra. Urine yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra
menyebabkan timbulnya infiltrat urine akan timbul abses (penumpukan nanah). Jika abses pecah
timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.
3. Hidronephrosis
Terjadi karena obstruksi sepanjang saluran kemih proksimal terhadap kandung kemih dapat
mengakibatkan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter.
4. Gagal Ginjal.
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satucara tubuh mempertahankan
buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat mengosongkan buli-buli waktu
buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-
buli mudah terkenan infeksi. Adanya kuman-kuman yang berkembangbiak dibuli-buli dan timbul
refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal
dengan segala akibatnya. (Prabowo & Pranata, 2014: 150)
Angka kejadian striktur uretra lebih banyak pada pria daripada wanita. Hal ini terkait dengan
anatomi uretra pria lebih panjang daripada wanita, dan uretra pria lebih beresiko untuk terkena
infeksi dan trauma. Usia tidak terlalu signifikan dala kejadian striktur uretra, namun kejadian
pada masa anak-anak sering dipicu karena trauma yan kontinyu, sedangkan pada masa lansia
sering diakibtakan karena dapmak pemakaian kateter jangka panjang (iritabilitas mukosa
meningkat dan tumbuhnya jaringan parut/ keloid). (Prabowo & Pranata, 2014: 151)
Keluhan Utama
Keluhan utama pada gangguan sistem perkemihan, meliputi keluhan sistemik, antara lain
gangguan fungsi ginjal (sesak napas, edema, malaise, pucat, dan uremia) atau demam disertai
menggigil akibat infeksi/urosepsis; dan keluhan lokal pada saluran perkemihan antara lain nyeri
akibat kelainan pada saluran perkemihan, keluhan miksi (keluhan iritasi dan keluhan obstruksi),
hematuria, inkontinensia, disfungsi seksual, atau infertilitas. (Muttaqin, 2012: 269-270)
Adanya rasa nyeri: lokasi, karakter, durasi, dan faktor yang memicunya. (Suharyanto & Madjid,
2013: 49)
Perawat menanyakan tentang penyakit-penyakit yang pernah dialami sebelumnya, terutama yang
mendukung atau memperberat kondisi gangguan gangguan sistem perkemihan pada klien saat ini
seperti pernahkah klien menderita penyakit kencing manis, riwayat kaki bengkak (edema),
hipertensi, penyakit kencing batu, kencing berdarah, dan lainnya. Tanyakan apakah klien pernah
dirawat sebelumnya, dengan penyakit apa, apakah pernah mengalami sakit yang berat, dan
sebagainya. (Muttaqin, 2012: 273)
Riwayat penyakit pada keluarga yang memicu terajadinya striktur misalnya batu ginjal.
(Suharyanto & Madjid, 2013: 50)
Riwayat Pengobatan
Adanya riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol. Perawat perlu mengklarifikasi pengobatan
masa lalu dan riwayat alergi, catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu dan penting
perawta ketahui bahwa klien mengacaukan suatu alergi dengan efek samping obat. (Muttaqin,
2012: 273)
1. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
1. Kesadaran
Pasien dalam keadaan stranguria yaitu nyeri sangat hebat seperti ditusuk-tusuk. Pasien juga
merasakaan keluhan pada saat miksi meliputi keluhan akibat suatu tanda adanya iritasi,
obstruksi, inkontenensia, dan enuresia. (Muttaqin, 2012: 270)
1. Tanda-tanda vital
Adanya sensasi nyeri yang hebat menyebabkan pasien mengalami peningkatan tekanan darah
>120/80mmHg, suhu > 37,50C, peningkatan nadi >100x /menit, dan biasanya RR normal.
(Muttaqin, 2012: 270)
Body System
1. Sistem Pernapasan
Pada klien dengan striktur uretra, biasanya fungsi pernapasan normal kecuali disertai oleh
penyakit penyerta lainnya. Namun, pada klien post op businasi/ striktur uretra pengkajian
pernapasan harus dilakukan dengan optimal karena mempengaruhi proses sistemik. (Prabowo &
Pranata, 2014: 151)
1. Sistem Kardiovaskuler
Pada klien post op kaji warna konjungtiva, warna bibir dan distensi/ kolaps vena jugularis.
Monitoring nadi dan tekanan darah secara periodik untuk memantau hemodinamika tubuh.
(Prabowo & Pranata, 2014: 152)
1. Sistem Persarafan
Tidak ada gangguan kecuali ada penyakit penyerta. Jika penyempitan lumen uretra dikarenakan
kontraksi otot-otot genetalia, bisa terjadi striktur karena penyempitan saluran kemih, misalnya
pria pismus. (Prabowo & Pranata, 2014: 152-153)
1. Sistem Perkemihan
Eksternal pada meatus uretralis eksternus biasanya sering ditemukan lesi, eritemia karena aliran
urine yang tidak lancar dan adanya inflamasi internus.
Pada uretra medialis (lebih mudah pada pria) menimbulkan nyeri. Observasi pada aliran meliputi
pancaran urine, jumlah urine output, warna urine, kekuatan miksi, dan kepuasan pasca miksi.
(Prabowo & Pranata, 2014: 152)
1. Sistem Pencernaan
Tidak ada gangguan kecuali ada penyakit penyerta lainnya. Palpasi abdomen regio vesika
urinaria (hipogastric) terjadi distensi karena bendungan urine pada bladder, nyeri (+).
Menunjukkan bunyi yang redup, ballotement (+). Jika berlanjut pada kondisi hidroneprhosis
(komplikasi) biasanya ditemukan nyeri daerah pinggang dan nyeri ketok (jika terjadi batu ginjal/
ureter). Gangguan sering diakibatkan karena dampak sekunder dari penyakit, misalnya nyeri
(disuria) sering menyebabkan anoreksia, sehingga HCL meningkat dan terjadilah nausea dan
vomiting. Pada klien post op striktur uretra kaji peristaltik usus untuk tolok ukur normalisasi
pasca operasi. (Prabowo & Pranata, 2014: 152)
1. Sistem Integumen
Pada sistem integumen turgor kulit buruk, kering, bersisik, rambut kusam, kuku tidak berwarna
pink, serta suhu badan klien biasanya meningkat secara signifikan namun hilang timbun.
(Muttaqin, 2012: 125)
1. Sistem Muskuloskeletal
Secara fisiologis tidak ada gangguan, namun intoleransi sering terjadi karena klien mengalami
nyeri. Intoleransi akan meningkat jika distensi vesika tidak segera diatasi. (Prabowo & Pranata,
2014: 152)
1. Sistem Endokrin
Tidak terdapat pembesaran tiroid, nafas tidak berbau keton, tidak terdapat luka gangren.
(Muttaqin, 2012: 125)
1. Sistem Reproduksi
Adanya atau riwayat lesi pada genital atau penyakit menular seksual. (Suharyanto & Madjid,
2013: 50)
1. Sistem Penginderaan
1. Sistem Imun
1. Pemeriksaan Penunjang
2. Uroflometri alat untuk mengetahui pola pancaran urine secara obyektif, dapat diukur
dengan cara sederhana. Derasnya pancaran dapat diukur dengan membagi volume urine
yang dikeluarkan pada saat miksi dibagi dengan lama prose miksi. Kecepatan pancaran
pria normal adalah 20ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik
menandakan ada obstruksi. (Purnomo, 2011: 145)
3. Foto Uretrografi untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra
dibuat. Lebih lengkap lagi mengenai panjang striktura adalah dengan membuat foto
bipolar sisto-uretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari
buli-buli dan secara retrograd dari uretra. (Purnomo, 2011: 145)
4. Uretroskopi alat yang digunakan untuk melihat penyumbatan uretra secara langsung
dilakukan, yaitu melihat striktura transuretra. Jika diketemukan striktura langsung diikuti
dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai
pisau sachse. (Purnomo, 2011: 145)
5. Radiology kontras. Secara klinis pemeriksaan yang membantu untuk menegakkan
diagnosa adalah dengan dengan teknik Retrograde Urethrogram (RUG) with Voiding
Cystourethrogram (VCUG). (Prabowo & Pranata, 2014: 150)
6. Saat ini pemeriksaan untuk urologi telah berkembang dan pemeriksaan terkini tidak
memerlukan tindakan invasi bedah. Dengan sistoskopi maka akan terlihat gambaran dan
karakteristik dari striktur. (Prabowo & Pranata, 2014: 149-150)
1. Penatalaksanaan
1. Bougie (Dilatasi)
Tindakan bougie ini merupakan upaya untuk melebarkan saluran uretra yang mengalami striktur
dengan bahan bougie yang terbuat dari logam. Bougie memliki ukuran dan struktur yang berbeda
disesuaikan dengan kondisi striktur. Pelaksanaan bougie harus dilakukan dengan hati-hati,
karena tindakan yang kasar akan mengakibatkan perlukaan dan akan menimbulkan striktur baru
terlebih pada klien dengan bakat keloid. (Prabowo & Pranata, 2014: 150)
2. Uretrotomi Interna
Tindakan ini dibantu dengan alat endoskopi dan optik untuk memotong jaringan sikatrik uretra
dengan pisau otis/ sachse, atau dengan kauter. Tindakan ini memliki keuntungan karena tidak
memerlukan tindakan pembedahan terbuka, sehingga meminimalisir perlukaan. Tindakan dengan
elektrokauter akan meminimalisir perdarahan karena efek koagulan dari kauter. (Prabowo &
Pranata, 2014: 150)
3. Uretrotomi Eksterna
Tindakan ini dilakukan dengan pembedahan terbuka. Tindakan awal adalah dengan pemotongan
jaringan striktur yang fibrosis dan dilanjutkan dengan tindakan anastomosis (tidak bisa dilakukan
jika daerah striktur lebih dari 1 cm). (Prabowo & Pranata, 2014: 150)
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut PPNI (2016) diagnosa keperawatan striktur uretra yang muncul antara lain :
1. Nyeri akut
Definisi: Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual
atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab
Subjektif
1. Mengeluh nyeri
Objektif
1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindrom koroner akut
5. Glaukoma (PPNI, 2016: 172)
1. Risiko infeksi
Faktor Risiko
1. Gangguan peristaltik
2. Kerusakan integritas kulit
3. Perubahan sekresi pH
4. Penurunan kerja siliaris
5. Ketuban pecah lama
6. Ketuban pecah sebelum waktunya
7. Merokok
8. Statis cairan tubuh
1. Penurunan hemoglobin
2. Imunosupresi
3. Leukopenia
4. Supresi respon inflamasi
5. Vaksinasi tidak adekuat
1. AIDS
2. Luka bakar
3. Penyakit paru obstruktif kronis
4. Diabetes mellitus
5. Tindakan invasif
6. Kondisi penggunaan terapi steroid
7. Penyalahgunaan obat
8. Ketuban Pecah Sebelum Waktunya (KPSW)
9. Kanker
10. Gagal ginjal
11. Imunosupresi
12. Lymphedema
13. Leukositopenia
14. Gangguan fungsi hati (PPNI, 2016: 304)
1. Retensi Urine
Penyebab
Objektif
Subjektif
1. Dribbling
Objektif
1. Inkontinensia berlebih
2. Residu urine 150ml atau lebih
1. Inkontinensia Urine
Definisi: keluarnya urin tidak terkendali sesaat setelah keinginan yang kuat untuk berkemih
(kebelet).
Penyebab
Subjektif
1. Keinginan berkemih yang kuat disertai dengan inkontinensia
Objektif
(tidak tersedia)
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
(tidak tersedia)
Definisi:
Kerusakan kulit (dermis dan/ atau epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia,
tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/ atau ligamen).
Penyebab
1. Perubahan sirkulasi
2. Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan)
3. Kekurangan/ kelebihan volume cairan
4. Penurunan mobilitas
5. Bahan kimia iritatif
6. Suhu lingkungan yang ekstrem
7. Faktor mekanis (mis. penekanan pada tonojolan tulang, gesekan) atau faktor elektris
(elektrodiatermi, energi bertegangan tinggi)
8. Efek samping terapi radiasi
9. Kelembaban
10. Proses penuaan
11. Neuropati perifer
12. Perubahan pigmentasi
13. Perubahan hormonal
14. Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahan/ melindungi integritas jaringan
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
1. Nyeri
2. Perdarahan
3. Kemerahan
4. Hematoma
1. Imobilisasi
2. Gagal jantung kongestif
3. Gagal ginjal
4. Diabetes mellitus
5. Imunodefisiensi (mis. aids).
Keterangan
3. Intervensi
4. Nyeri akut (Wilkinson & Ahern, 2013: 532-535)
Tujuan: Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebgai berikut
(sebutkan 1-5: sangat berat, berat, sedang, ringan atau tidak ada):
Gelisah
Kriteria hasil :
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
Pengkajian
1. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk mengumpulkan
informasi pengkajian
2. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyaman pada skala 0-10 (0 = tidak ada
nyeri atau ketidaknyamanan, 10 = nyeri hebat)
3. Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaraan nyeri analgesik dan kemungkinan
efek sampingnya
4. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan respon
pasien
5. Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai usia dan tingkat
perkembangan pasien
6. Manajemen nyeri (NIC) :
Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi karakteristik, awitan dan durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas, atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya
Observasi isyarat non verbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak mampu
berkomunikasi efektif.
1. Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus diminum, frekuensi
pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan
khusus saat mengonsumsi obat tersebut (misalnya, pembatasan aktivitas fisik,
pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi bila mengalami nyeri
membandel
2. Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada perawat jika peredaaan nyeri tidak
dapat dicapai.
3. Informasikan pada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan
strategi koping yang di sarankan
4. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opioid (misalnya, resiko
ketergantungan/ overdosis)
5. Manajemen Nyeri (NIC): berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa
lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.
6. Manajemen Nyeri (NIC):
Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis (misalnya, umpan balik biologis, transcutaneous
electrical nerve stimulation (TENS), hipnosis, relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi musik,
distraksi, trapi bermain, terapi aktivitas, akupresure, kompres hangat/ dingin, dan masase)
sebelum, setelah, dan jika memungkinkan, selama aktivitas yang menimbulkan nyeri; sebelum
nyeri terjadi atau meningkat; dan bersama penggunaan tindakan peredaan nyeri yang lain.
Aktivitas Kolaboratif
1. Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang terjadwal (misalnya, setiap
4 jam selama 36 jam) atau PCA
2. Manajemen nyeri (NIC):
Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat laporkan pada dokter
jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari
pengalaman nyeri di masa lalu.
Tujuan: Faktor resiko infeksi akan hilang, dibuktikan oleh pengendalian resiko
komunitas: penyakit menular; status imun; pengendalian resiko: penyakit menular
seksual dan penyembuhan luka: primer dan sekunder.
Kriteria Hasil :
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
1. Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh, denyut jantung, drainase,
penampilan luka, sekresi, penampilan urine, suhu kulit, lesi kulit, keletihan, dan malaise)
2. Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi (misalnya, usia lanjut,
usia kurang dari 1 tahun, luluh imun, dan malnutrisi)
3. Pantau hasil laboratorium (misal, hitung darah lengkap, hitung granulosit absolut, hitung
jenis, protein serum, dan albumin)
4. Amati penampilan praktik higiene personal untuk perlindungan terhadap infeksi.
Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruang
pasien.
Aktivitas Kolaboratif
1. Ikuti protokol institusi untuk melaporkan infeksi yang dicurigai atau kultur positif
2. Pengendalian Infeksi (NIC): Berikan terapi antibiotik bila diperlukan
Tujuan: menunjukkan eliminasi urine, yang dibuktikan olh indikator berikut (sebutkan 1-
5: selalu, sering, kadang-kadang, jarang, atau tidak mengalami gangguan) : pola
eliminasi, mengosongkan kandung kemih secara tuntas.
Kriteria hasil:
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
1. Identifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan pola kandung kemih
2. Perawatan retensi urine (NIC) :
Pantau efek obat resep, seperti penyekat saluran kalsium dan anti kolnergik
1. Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang harus dilaporkan
(mis., demam, menggigil, nyeri pinggang, hematuria, serta perubahan konsistensi dan bau
urine)
2. Perawatan retensi urine (NIC): instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran
urine, bila diperlukan
Aktivitas Kolaboratif
Tujuan: menujukkan kontinensia urine yang dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan
1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu): mengidentifikasi keinginan
berkemih, berespon tepat waktu terhadap dorongan berkemih, mencapai toilet antara
waktu dorongan berkemih dan pengeluaran urine, menatalaksana pakaian secara mandiri,
melakukan eliminasi secara mandiri, mempertahankan pola eliminasi yang dapat diduga
Kriteria hasil:
Menggunakan peralatan adaptif untuk memanipulasi pakaian (melepas dan mengenakan kembali
pakaian untuk eliminasi) dan berpindah jika inkontinensia berhubungan dengan hambatan
mobilitas.
Intervensi (NIC)
Aktivitas Keperawatan
1. Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang cara memodifikasi lingkungan guna
mengurangi episode mengompol, pertimbangkan strategi berikut:
1. Anjurkan pasien dan keluarga untuk menetpkan rutinitas berkemih pada waktu tertentu
(sering diingatkan) berdasrakan pola eliminasi pasien untuk menurunkan episode
mengompol
2. Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan perawatan kulit dan higiene untuk
mencegah kerusakan kulit
3. Lakukan strategi manajemen kandung kemih selama melakukan aktivitas di tempat yang
jauh dari rumah
4. Ajarkan pasien dan pemberi asuhan tetang tanda dan gejala infeksi saluran kemih
5. Jelaskan perulunya untuk segera berespon terhadap keinginan berkemih
6. Jelaskan perlunya untuk segera berespon terhadap keinginan berkemih
7. Minta pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine (dan pola)
8. Ajarkan pasien untuk menhindari konsumsi cairan sebagai usaha untuk mencegah
inkontinensia.
9. Ajarkan pasien untuk minum 200ml cairan saat makan, diantara waktu makan, dan di
petang hari
Aktivitas kolaboratif
1. Konsultasikan dengan dokter dan ahli terapi okupasi untuk bantuan ketangkasan manual
2. Rujuk ke penyedia perawatan primer (atau minta pasien menghubungi penyedia) jika
tanda dan gejala infeksi saluran kemih terjadi. (Wilkinson & Ahern, 2016: 460-461)
Keutuhan kulit
Perfusi jaringan
Kriteria hasil:
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
Untuk aktivitas keperawatan yang spesifik, lihat pada dignosis keperawatan berikut ini:
Infeksi, risiko
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik. Jakarta : Salemba
Medika.
PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia .
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media.
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2013). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta:
EGC.