Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHLUAN

RETENSIO URINE

Disusun Oleh :
TUTY HAYATI ANWAR
201703019

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI


PROGAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
RETENSIO URINE

A. Definisi
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi,
plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ
kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu
(Walyani dan Purwoastuti, 2015)
Retensio urine adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi
meskipun terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner &
Suddarth, 2015)
Retensio urin adalah ketidak-mampuan berkemih selama 24 jam yang
membutuhkan pertolongan kateter, dimana keadaan tidak dapat mengeluarkan
urin ini lebih dari 25-50 % kapasitas kandung kemih.
B. ETIOLOGI
Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang diikuti dengan
kontraksi otot-otot detroser. Pengosongan kandung kemih secara keseluruhan
dikontrol didalam pusat miksi yaitu diotak dan sakral. Terjadinya gangguan
pengosongan kandung kemih akibat dari adanya gangguan fungsi di susunan
saraf pusat dan perifer atau didalam genital dan traktus urinarius bagian
bawah.
Pada wanita, retensi urine merupakan penyebab terbanyak inkontinensia
yang berlebihan. Dalam hal ini terdapat penyebab akut dan kronik dari retensi
urine. Pada penyebab akut lebih banyak terjadi kerusakan yang permanen
khususnya gangguan pada otot detrusor, atau ganglion parasimpatis pada
dinding kandung kemih. Pada kasus yang retensi urine kronik, perhatian
dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical yang menyebabkan
reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi
ginjal.
Post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak
menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma
kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau
obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf
pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya
pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver
Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu
dan drainase kandung kemih yang adekuat.
C. TANDA DAN GEJALA

Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya:


 Kesulitan buang air kecil
 Pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus;
 Keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat
berkemih
 Rasa tidak puas setelah berkemih
 Kandung kemih terasa penuh ( distensi abdomen)
 Kencing menetes setelah berkemih
 Sering berkemih dengan volume yang kecil
 Nokturia lebih dari 2-3 kali yang tidak berhubungan dengan pemberian ASI
 Keterlambatan berkemih lebih dari 6 jam setelah persalinan
 Kesulitan dalam memulai berkemih setelah persalinan
 Letak fundus uteri tinggi atau tidak berpindah dengan kandung kenih yang
teraba ( terdeteksi melalui perkusi) dan kemungkinan sakit perut bagian
bawah.
Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis,
pemeriksaan neurologik, jumlah urine yang dikeluarkan spontan dalam 24
jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume residu
urine, sangat dibutuhkan.
Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan
uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding
cystourethrography. Dikatakan normal jika volume residu urine adalah
kurang atau sama dengan 50ml, sehingga jika volume residu urine lebih dari
200ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urine. Namun
volume residu urine antara 50-200ml menjadi pertanyaan, sehingga telah
disepakati bahwa volume residu urinenormal adalah 25% dari total volume
vesika urinaria.
D. KLASIFIKASI
Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu :
1) Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post
partum tanpa gejala klinis) Retensi urin post partum yang tidak
terdeteksi (covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert
dapat diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu setelah berkemih
spontan yang dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase kandung
kemih dengan kateterisasi. Wanita dengan volume residu setelah buang
air kecil ≥ 150 ml dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk
pada kategori ini.
2) Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis).
Universitas Sumatera Utara Retensi urin post partum yang tampak
secara klinis (overt) adalah ketidak-mampuan berkemih secara spontan
setelah proses persalinan. Insidensi retensi urin postpartum tergantung
dari terminologi yang digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat
berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan, telah dilakukan
penelitian analisis retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi urin
jenis yang tampak (overt) secara klinis dibawah 0,14%. Sementara itu,
untuk kedua jenis retensi urin, tercatat secara keseluruhan angka
insidensinya mencapai 0,7%.
E. FAKTOR RESIKO
1. Riwayat kesulitan berkemih
2. Primipara
3. Pasca anestesi blok epidural, spinal, atau pudenda
4. Persalinan yang lama dan/ atau distosia bahu
5. Kala II lama
6. Trauma perineal yang berat seperti sobekan para uretral, klitoris,
episiotomy yang besar, rupture grade 2 atau grade 3, oedem yang
signifikan
7. Kateterisasi selama atau setelah kelahiran
8. Perubahan sensasi setelah berkemih
9. Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
F. PATOFISIOLOGI
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran
kemih, sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang
menurunkan tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot detrusor
kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-
lahan. Akibatnya, wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika
vesika urinaria berisi 250-400 ml urin.
Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika
urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan memasuki 38
minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan,
memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika
urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi
dilahirkan, menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya
oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik dan cenderung
berlangsung beberapa lama.
Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari
otot detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang
tidak sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum
tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik.
G. KOMPLIKASI
Karena terjadinya retensi urine yang berkepanjangan, maka
kemampuan elastisitas vesica urinaria menurun, dan terjadi peningkatan
tekanan intra vesika yang menyebabkan terjadinya reflux, sehingga penting
untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal dan ureter atau dapat juga
dilakukan foto BNO-IVP.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
volume 2. Jakarta EGC
Santoso BI, Mengatasi Komplikasi Pasca Operasi Berupa Gangguan Miksi (Retensio
Urine) Dan Infeksi (Pemberian Antibiotic Profilaksis). Divisi Uroginekologi
Rekonstroksi Dept. Obstetric Dan Ginekologi FKUI, Jakarta :2011.
Walyani, S. E. & Purwoastuti, E. (2015). Asuhan Kebidanan Persalinan & Bayi. Baru
Lahir. Yogyakarta: Pustaka Bar

Anda mungkin juga menyukai