Anda di halaman 1dari 69

ANALISIS MANAJEMEN OBAT

DI UPTD. INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN

KABUPATEN MURUNG RAYA

TAHUN 2019

DISUSUN OLEH :

Amalianti Susila Putri

NIM : SF19204

STIKES BORNEO LESTARI BANJARMASIN

PROGRAM ALIH JENJANG

S1 FARMASI

2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat merupakan salah satu komponen penting dan barang yang tidak tergantikan dalam

pelayanan kesehatan, karena digunakan sebagai intervensi mengatasi masalah kesehatan. Dengan

pemberian obat penyakit yang diderita oleh pasien dapat diukur tingkat kesembuhannya. Selain

itu obat merupakan kebutuhan pokok masyarakat, maka persepsi masyarakat tentang hasil yang

diperoleh dari pelayanan kesehatan adalah menerima obat setelah berkunjung ke sarana kesehatan

baik rumah sakit, puskesmas, maupun poliklinik. Selain itu, pengelolaan dan pengadaan obat

dalam pelayanan kesehatan juga merupakan indikator untuk mengukur tercapainya efektifitas dan

keadilan dalam pelayanan kesehatan.

Manajemen pengelolaan obat merupakan rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek

perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penghapusan obat yang dikelola

secara optimal demi tercapainya ketepatan jumlah dan jenis obat dan perbekalan kesehatan.

Pengelolaan obat ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar bagi

masyarakat yang membutuhkan di Puskesmas. Tujuan dari pengelolaan obat adalah untuk

menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dengan jenis dan jumlah yang

cukup, sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat. Oleh karena itu, obat perlu

dikelola dengan baik, efektif dan efisien. (Rosmania dan Supriyanto, 2015).

Pengelolaan obat yang tidak optimal disebabkan oleh SDM yang kurang, perencanaan

obat hanya berdasarkan estimasi tahun sebelumnya, dan sarana yang tidak memadai untuk proses

penyimpanan dan pendistribusian obat, serta tidak pernah dilakukan penghapusan obat

dikarenakan tidak ada panitia penghapus dan penilai harga. Dengan munculnya pernyataan ini,

maka dibentuklah pedoman perencanaan dan pengelolaan obat tahun 1990. (Depkes RI, 1990).

Departemen Kesehatan RI mengemukakan ketersediaan obat essensial generik di sarana

pelayanan kesehatan harus sebesar 95%. Anggaran untuk obat essensial generik di sektor publik

sebesar Rp.20.000,-/kapita/tahun yaitu setara dengan 2 US$ yang diasumsikan bahwa 1 US$

sebesar Rp.10.000. (Permenkes RI, 2010).


Pada Tahun 2018, target Indonesia dalam indikator persentase instalasi farmasi

kabupaten/kota yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar sebesar

90%. Realisasi indikator tersebut sebesar 92,83%dan capaian ketersediaan obat dan vaksin

sebesar 103,14% (Kemenkes RI, 2018).

Pada Tahun 2018 persentase pencapaian ketersediaan obat dan vaksin di Provinsi

Kalimantan Tengah sebesar 85,4 %. Sementara target nasional untuk persentase ketersediaan obat

dan vaksin sekitar 70%. Jika dibandingkan pencapaian yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah

dengan target nasional suadah sangat mencukupi target yang ditentukan. (Laporan Kinerja

Kemenkes RI, 2018).

Dinas Kesehatan Kabupaten adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah Kabupaten yang

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Dinas

Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah dan tugas pembantuan

di bidang kesehatan. (UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah).

Dinas Kesehatan dalam hal ini bertanggung jawab dan membawahi Instalasi Farmasi

dalam tugas pengelolaan obat di kabupaten. Dalam pengelolaan obat ini, sumber daya manusia

yang seharusnya tersedia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian yaitu Apoteker dan Tenaga

Teknis Kefarmasian (Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga

Menengah Farmasi/Asisten Apoteker). Proses manajemen pengelolaan obat ini meliputi proses

perencanaan, pengadaan dan penghapusan obat dilakukan di Dinas Kesehatan dan proses

penyimpanan dan pendistribusian obat dilakukan di gudang farmasi kabupaten. (UU RI, 2009).

Sesuai dengan Permenkes RI No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban

Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, dinyatakan bahwa

ketersediaan obat generik dalam jumlah dan jenis yang cukup, terjangkau oleh masyarakat serta

terjamin mutu dan keamanannya, perlu digerakkan dan didorong penggunaannya pada fasilitas

pelayanan kesehatan pemerintah, dengan harapan penggunaan obat generik dapat berjalan dengan

efektif.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014

menyatakan, Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan era JKN diberikan wewenang melakukan

pelayanan kesehatan primer mencakup 155 macam diagnosis penyakit. Pernyataan ini

memberikan makna bahwa Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
wajib menangani pelayanan kesehatan mencakup 155 jenis diagnosis penyakit dan tidak boleh

dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut kecuali dalam kondisi darurat.

Dalam rangka pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional pengadaan obat - obatan

mengacu kepada Peraturan Formularium Nasional yang merupakan daftar obat terpilih yang

dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Daftar obat yang diberikan untuk

program rujuk balik sesuai formularium nasional yaitu obat untuk penyakit diabetes melitus,

hipertensi, jantung, asma, PPOK, epilepsi, systemic lupus erythematosus, scizofrenia, dan stroke.

(Kemenkes Nomor 159/MENKES/SK/V/2014). Kabupaten Murung Raya adalah salah satu

kabupaten pemekaran di Provinsi Kalimantan Tengah. Letak Kabupaten Murung Raya secara

astronomis terletak di daerah Khatulistiwa. (Profil Murung Raya, 2016)

Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya merupakan pelaksana teknis bidang

pembangunan kesehatan membawahi 15 Puskesmas (8 Puskesmas rawat inap dan 7 Puskesmas

non rawat inap) pada 10 kecamatan. Tugas dan Fungsi Dinas Kesehatan Murung Raya salah

satunya yaitu pengelolaan obat di tingkat kabupaten. Dalam hal ini, salah satu sarana penunjang

upaya kesehatan pada dinas kesehatan adalah gudang farmasi, yang selanjutnya direvitalisasi

sebagai UPTD. Instalasi Farmasi Kabupaten Murung Raya dengan harapan lebih mengedepankan

fungsi dan strukturnya. Keberadaan UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten

Murung Raya mempunyai peranan penting dalam pengelolaan obat dan vaksin skala

Kabupaten/Kota. (Profil Dinkes Murung Raya, 2016).

Selama ini, metode yang digunakan dalam perencanaan obat adalah metode konsumsi.

Perencanaan kebutuhan obat berdasarkan tahun sebelumnya dan skala prioritasnya juga

berdasarkan kepada 10 penyakit terbesar pada Puskesmas. Kemudian kebutuhan obat Puskesmas

disampaikan melalui Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) ke UPTD.

Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya yang pengadaan dan itemnya merujuk pada

DOEN.

Sedangkan pengadaan obat menggunakan dana APBD Kab, BOK Program, dan BPJS.

Proses pengadaan obat dilakukan dengan prosedur e-purchasing berdasarkan sistem e-catalogue

yang menjelaskan bahwa pengadaan obat dilakukan secara online pada website pelelangan

elektronik dan dilaksanakan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(LKPP). Melalui sistem e-catalogue obat ini maka Dinas Kesehatan Murung Raya tidak perlu
melakukan proses pelelangan dan langsung dapat memanfaatkan sistem e-catalogue dengan

prosedur e-purchasing.

Selanjutnya, obat yang telah tersedia disimpan di UPTD. Instalasi Farmasi, dimana

gudang farmasi terpisah tidak jauh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya. Dalam hal

penyimpanan, UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya sudah memenuhi syarat

penyusunan obat secara FEFO dan FIFO. Dan sudah tersedianya kulkas dan lemari khusus untuk

obat-obatan jenis narkotika.

Proses pendistribusian dilakukan 1 bulan sekali untuk puskesmas yang dekat dan 2 bulan

sekali untuk puskesmas yang jauh. Dalam hal pendistribusian obat, setiap puskesmas mengantar

laporan obat dan permintaan obat dengan membawa LPLPO dan SPT ke UPTD. Instalasi

Farmasi dan pihak UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya akan memproses

permintaan obat tersebut dan mepersiapkan obat sesuai permintaan, kemudian petugas akan

membuatkan SBBK (Surat Bukti Barang Keluar) untuk Puskesmas. Dan untuk selanjutnya

pendistribusian obat dilakukan oleh pihak UPTD. Instalasi Farmasi, karena sudah tersedianya

anggaran untuk pendistibusian obat, SDM dan alat transfortasi roda 4 (Mobil Operasional

Instalasi Farmasi Dinkes Kabupaten Murung Raya) .

Berdasarkan survei pendahuluan di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Murung

Raya, persentase ketersediaan obat pada tahun 2018 sebesar 85,4 %. Berdasarkan hasil

wawancara di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya ditemukan masalah

belum memiliki sumber daya manusia yang cukup di UPTD. Instalasi Farmasi, maupun di

beberapa Puskesmas terkait dengan kurangnya kelengkapan pencatatan dan pelaporan obat, tidak

terbentuk tim perencanaan obat, kekosongan obat, penyimpanan obat tidak secara alfabetis

dikarenakan obat selalu datang dalam jumlah banyak, tidak ada lemari khusus untuk menyimpan

obat yang khusus, dan lemari penyimpanan yang bersekat-sekat, transportasi yang tidak memadai

di beberapa puskesmas.

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk

menganalisis Manajemen Logistik Obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten

Murung Raya Tahun 2019.


1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian pada latar belakang maka dikemukakan permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana ketersediaan input (Sumber Daya Manusia, Sumber Anggaran, Data) pada

pelaksanaan manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan

Kabupaten Murung Raya pada tahun 2019.

2. Bagaimana pelaksanaan proses (Perencanaan, Pengadaan, Penyimpanan, Pendistribusian

dan Penghapusan) sebagai fungsi manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi

Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya pada tahun 2019.

3. Bagaimana output (Tersedianya Obat Yang Dibutuhkan Puskesmas) yang dicapai dari

pelaksanaan manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan

Kabupaten Murung Raya pada tahun 2019.

1.3 Hipotesis

1. Ketersediaan input (Sumber Daya Manusia, Sumber Anggaran, Data) pada pelaksanaan

manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Murung

Raya pada tahun 2019 sudah terpenuhi meliputi: adanya SDM khusus untuk penginputan

manajemen logistik, tersedianya anggaran khusus dari Pemerintah Pusat untuk manajemen

logistik, dan data untuk manajemen logistik pun sudah dikelola dengan baik.

2. Pelaksanaan proses (Perencanaan, Pengadaan, Penyimpanan, Pendistribusian dan

Penghapusan) sebagai fungsi manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas

Kesehatan Kabupaten Murung Raya pada tahun 2019 belum berjalan dengan semestinya,

karena keterbatasan anggaran pengadaan obat, anggaran penghapusan dan anggaran untuk

sarana dan prasaranan dalam penyimpanan dan pendistribusian.

3. Output (Tersedianya Obat Yang Dibutuhkan Puskesmas) yang dicapai dari pelaksanaan

manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Murung

Raya pada tahun 2019 masih belum semuanya bisa terpenuhi, karena keterbatasan anggaran

pengadaan obat.
1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mendapatkan gambaran manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas

Kesehatan Kabupaten Murung Raya.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi unsur input (SDM, Sumber Anggaran, Data) dalam manajemen

logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya.

2. Untuk mengidentifikasi unsur proses manajemen logistik obat (Perencanaan, Pengadaan,

Penyimpanan, Pendistribusian, dan Penghapusan) di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas

Kesehatan Kabupaten Murung Raya.

3. Untuk mengidentifikasi unsur output (Tersedianya Obat Yang Dibutuhkan Puskesmas)

yang dicapai dari pelaksanaan manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas

Kesehatan Kabupaten Murung Raya.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi pimpinan Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya dalam

manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan agar obat yang

diperlukan selalu tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup dan mutu terjamin untuk

mendukung pelayanan yang bermutu.

2. Sebagai bahan masukan bagi UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Murung

Raya dalam manajemen logistik obat agar obat yang diperlukan selalu tersedia setiap saat

dalam jumlah yang cukup dan mutu terjamin untuk mendukung pelayanan yang bermutu.

3. Sebagai referensi bagi mahasiwa dan dosen mengenai manajemen logistic obat.

4. Sebagai referensi yang dapat dijadikan bacaan dan panduan oleh peneliti selanjutnya dalam

melakukan penelitian yang berhubungan dengan manajemen logistik obat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah satuan kerja pemerintahan daerah kabupaten/kota

yang bertanggung jawab menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang kesehatan di

kabupaten/kota. Sesuai dengan visi pembangunan kesehatan kabupaten yang berbunyi

“Masyarakat Murung Raya yang Sehat , Mandiri , Berkualitas dan Berkeadilanyakni Masyarakat

Murung Raya memiliki kondisi sehat baik secara fisik, mental,spritual mupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis, dan bisa

memberdayakan diri sendiri dalam bidang kesehatan dengan sadar, mau dan mampu untuk

mengenali,mencegah, dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga bebas dari

ganguan kesehatan, memenuhi standart sehat dan produktif, dan mempunyai akses pelayanan

yang merata,setara sesuai dengan haknya (equity dan equality) (Profil Dinkes Murung Raya,

2018)

2.2 Instalasi Farmasi

2.2.1 Pengertian Instalasi Farmasi

Instalasi Farmasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu bagian atau unit pelaksana

fungsional dibawah pimpinan seorang apoteker yang memenuhi syarat peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan

yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas

perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pengendalian mutu dan pendistribusian serta penggunaan

seluruh perbekalan kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten. (Permenkes RI No. 58 Tahun

2014)

2.2.2 Tujuan Instalasi Farmasi

Tujuan pembentukan Instalasi Farmasi Kabupaten adalah untuk melaksanakan pengelolaan

obat secara berdaya guna dan berhasil guna agar obat tersedia dalam jumlah dan jenis yang cukup

dan pada waktu yang tepat, serta melaksanakan pemeliharaan mutu obat untuk menunjang

pelaksanaan upaya kesehatan yang menyeluruh, terarah dan terpadu di Kabupaten.


Proses pengelolaan obat dapat terwujud dengan baik apabila didukung dengan adanya

ketersediaan dan kemampuan sumber daya dalam suatu sistem. Dalam Permenkes RI No.

HK.02.02/MENKES/068/2010, dinyatakan bahwa suatu tujuan pengelolaan obat Kabupaten/Kota

adalah tersedianya obat dengan kualitas baik, tersebar secara merata, jenis dan jumlah yang

sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di unit pelayanan

kesehatan.

Pengelolaan obat yang efisien dan efektif dilakukan dengan harapan dapat menjamin :

1. Tersedianya rencana kebutuhan jenis dan jumlah obat sesuai dengan kebutuhan pelayanan

kesehatan dasar Kabupaten/Kota.

2. Tersedianya anggaran pengadaan obat yang dibutuhkan tepat pada waktunya.

3. Terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien.

4. Terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu yang baik.

5. Terjaminnya pendistribusian obat yang baik dengan waktu tunggu yang pendek.

6. Terpenuhinya kebutuhan obat yang mendukung pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan

jenis, jumlah dan waktu yang dibutuhkan.

7. Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dalam jumlah dan kualifikasi yang tepat.

8. Digunakannya obat secara rasional sesuai dengan pedoman yang disepakati. Tersedianya

informasi pengelolaan dan penggunaan obat yang sahih, akurat dan mutakhir.

2.2.3 Kedudukan Instalasi Farmasi

Instalasi Farmasi merupakan unit pelaksana dibawah Seksi Farmasi dalam lingkungan

Dinas Kesehatan yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota.

2.2.4 Struktur Organisasi. (Kemenkes RI Nomor 633/Menkes/S.K./IV/2012)

Susunan Sruktur Organisasi Gudang Farmasi di Kabupaten terdiri dari :

1. Kepala Gudang Farmasi.

Kepala Gudang Farmasi dalam melaksanakan tugasnya berada dibawah dan bertanggung

jawab langsung kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten.

Adapun tugas dari Kepala Gudang Farmasi Kabupaten adalah :


1) Menyusun rencana kebijaksanaan di bidang sediaan farmasi dan bahan medis habis

(BMHP) pakai dalam rangka penetapan kebijakan oleh Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten.

2) Membagi tugas dan mengkoordinasikan Sub bagian dan Seksi-seksi dalam pelaksanaan

tugasnya agar terjalin hubungan kerja yang harmonis.

3) Menilai prestasi kerja bawahan berdasarkan hasil yang dicapai agar sesuai dengan

rencana.

4) Menegakkan disiplin, semangat kerja dan ketenagaan kerja untuk memungkinkan

tercapainya produktivitas tinggi.

5) Merencanakan, mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan tugas-tugas keuangan,

kepegawaian, tata usaha dan urusan dalam satuan kerja.

6) Melakukan pembinaan pemeliharaan mutu dan memberikan informasi mengenai

pengelolaan obat kepada unit-unit pelayanan kesehatan.

7) Melakukan penyusunan rencana kebutuhan, pencatatan dan pelaporan mengenai

persediaan dan penggunaan obat.

8) Menyelenggarakan tata buku pergudangan yang cukup jelas dan mudah dikontrol, serta

membukukan setiap mutasi barang.

9) Megevaluasi hasil kegiatan Gudang Farmasi secara keseluruhan.

10) Menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan berdasarkan laporan

bawahan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten.

2. Petugas Tata Usaha.

Sub Bagian Tata Usaha dipimpin oleh seorang Kepala Bagian yang berada di bawah dan

bertanggung jawab langsung kepada Kepala Gudang Farmasi.

Tugas dari petugas tata usaha yaitu :

1) Menyusun rencana Sub Bagian Tata Usaha berdasarkan data program Gudang Farmasi.

2) Membagi tugas kepada bawahan agar pelaksanaan tugas dapat dilaksanakan.

3) Melaksanakan urusan kepegawaian dan kesejahteraannya.

4) Melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan dalam dan keamanan.

5) Melaksanakan tata usaha perkantoran satuan kerja.

6) Mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan rencana.

7) Membuat laporan pelaksanaan kegiatan untuk disampaikan kepada atasan.


3. Seksi Penyimpanan dan Pendistribusian.

Seksi Penyimpanan dan Pendistribusian dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di

bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Gudang Farmasi. Tugas dari seksi

penyimpanan dan pendistribusian yaitu :

1) Menyusun rencana kegiatan seksi Penyimpanan dan Pendistribusian berdasarkan data

program Gudang Farmasi.

2) Membagi tugas kepada bawahan agar pelaksanaan tugas dapat dilaksanakan.

3) Mengatur dan mendistribusikan tugas, memberi petunjuk sesuai dengan petunjuk kerja

agar tercapai keserasian dan kebenaran kerja.

4) Melaksanakan penerimaan, menyimpan, pemeliharaan dan pengeluaran obat.

5) Melaksanakan kegiatan pengamatan terhadap mutu dan khasiat obat yang ada dalam

persedian dan yang akan didistribusikan.

6) Melakukan pembinaan pemeliharaan mutu obat yang ada di Unit Pelayanan Kesehatan.

7) Mengumpulkan data tentang kerusakan obat dan obat yang tidak memenuhi syarat

serta ada efek samping obat dan melaporkan kepada atasan.

8) Melaksanakan pencatatan barang-barang yang disimpan.

9) Melakukan pencatatan segala penerimaan dan pengeluaran barang.

10) Melakukan penyiapan surat kiriman barang.

11) Mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan rencana.

12) Membuat laporan pelaksanaan kagiatan untuk disampaikan kepada atasan.

4. Sub Seksi Pencatatan dan Evaluasi.

Seksi Pencatatan dan Evaluasi dipimpin oleh seorang kepala seksi yang berada di bawah

dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Gudang Farmasi. Tugas dari seksi

pencatatan dan evaluasi adalah :

1) Menyusun rencana kegiatan Seksi Pencatatan dan Evaluasi berdasarkan data program

Gudang Farmasi.

2) Membagi tugas kepada bawahan agar pelaksanaan tugas dapat dilaksanakan.

3) Mengatur dan mendistribusikan tugas, memberi petunjuk kerja agar tercapai keserasian

dan kebenaran kerja.

4) Melaksanakan kegiatan pencatatan dan evaluasi dari persediaan barang di Gudang

Farmasi dan Unit Pelayanan Kesehatan serta penggunaan obat.


5) Melakukan persiapan penyusunan rencana kebutuhan obat dan bahan medis habis

pakai yang diperlukan daerah.

6) Melaksanakan pengelolaan dan pencatatan penerimaan obat dan bahan medis habis

pakai.

7) Melaksanakan administrasi atas semua barang yang diterima, disimpan maupun yang

akan didistribusikan ke Unit Pelayanan Kesehatan.

8) Menyiapkan dokumen mutasi barang dan surat-surat perintah penerimaan,

penyimpanan dan pengeluaran barang.

9) Menyiapkan laporan mutasi barang secara berkala dan laporan pencatatan obat akhir

tahun anggaran.

10) Mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan rencana dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

11) Membuat laporan pelaksanaan kegiatan untuk disampaikaan kepada atasan.

2.3 Sumber Daya Manusia

Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai

dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan daripada

Instalasi Farmasi tersebut. (Permenkes RI No. 58 Tahun 2014).

UU No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menjelaskan bahwa sumber daya

manusia yang harus tersedia dalam hal pengelolaan obat sebanyak 13 orang dan yang berperan

sebagai tenaga kefarmasian adalah yang berlatar belakang Apoteker dan Tenaga Teknis

Kefarmasian.

1. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

sumpah jabatan Apoteker.

2. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani

pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis

Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.


2.4 Manajemen

2.4.1 Pengertian manajemen

Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur. Pengaturan dilakukan

melalui proses dan diatur berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen. Manajemen adalah

ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya

secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Hasibuan, 2009)

Manajemen pada umumnya dikaitkan dengan aktivitas-aktivitas perencanaan,

pengorganisasian, pengendalian, penempatan, pengarahan, pemotivasian, komunikasi, dan

pengambilan keputusan yang dilakukan oleh setiap organisasi dengan tujuan untuk

mengkoordinasikan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan sehingga akan

dihasilkan suatu produk atau jasa secara efisien. (Sekula, 2010)

Menurut G.R. Terry dalam bukunya Principle of Management menyatakan bahwa

manajemen adalah suatu proses tertentu yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian,

pergerakan, dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya.

2.4.2 Pentingnya Manajemen

Pada dasarnya kemampuan manusia itu terbatas (baik fisik, pengetahuan, waktu, dan

perhatian) sedangkan kebutuhannya tidak terbatas. Usaha untuk memenuhi kebutuhan dan

terbatasnya kemampuan dalam melakukan pekerjaan mendorong manusia untuk membagi

pekerjaan, tugas, dan tanggung jawab.

Dengan adanya pembagian kerja, tugas, dan tanggung jawab ini maka terbentuklah kerja

sama dan keterikatan formal dalam suatu organisasi. Menurut Malayu S.P. Hasibuan tentang

manajemen sumber daya manusia menyatakan bahwa pada dasarnya manajemen itu penting

dikarenakan :

1. Pekerjaan berat sulit dikerjakan sendiri, sehingga diperlukan pembagian kerja, tugas, dan

tanggung jawab dalam penyelesaiannya.

2. Perusahaan akan dapat berhasil baik jika manajemen diterapkan dengan baik.

3. Manajemen yang baik akan meningkatkan daya guna dan hasil guna semua potensi yang

dimiliki.

4. Manajemen yang baik akan mengurangi pemborosan-pemborosan.


5. Manajemen menetapkan tujuan dan usaha untuk mewujudkan dengan memanfaatkan 6M

dalam proses manajemen.

6. Manajemen perlu untuk kemajuan dan perkembangan.

7. Manajemen mengakibatkan pencapaian tujuan secara teratur.

8. Manajemen merupakan suatu pedoman pikiran dan tindakan.

9. Manajemen selalu dibutuhkan dalam setiap kerja sama sekelompok orang.

2.4.3 Asas-asas Manajemen

Dalam buku F.W. Taylor menunjukan bahwa asas- asas dasar ilmu manajemen dapat

dipakai untuk segala macam kegiatan manusia. Taylor juga menunjukkan suatu filsafat

manajemen yang baru, yaitu manajer akan lebih banyak bertanggung jawab dalam perencanaan

dan pengendalian dalam menafsirkan kepandaian-kepandaian para pekerja dan mesin-mesin

menurut aturan-aturan, sehingga dengan jalan demikian akan membantu pekerja-pekerja

melakukan pekerjaannya.

F.W. Taylor mengemukakan asas-asas manajemen, yaitu:

1. Pengembangan metode-metode kerja yang terbaik.

2. Pemilihan serta pengembangan para pekerja.

3. Usaha untuk menghubungkan serta mempersatukan metode kerja yang terbaik serta para

pekerja yang terpilih dan terlatih.

4. Kerja sama yang harmonis antara manajer dan non manajer, meliputi pembagian kerja dan

tanggung jawab manajer untuk merencakan pekerjaan.

2.5 Manajemen Logistik Obat

2.5.1 Pengertian Manajemen Logistik

Manajemen logistik merupakan proses pengelolaan yang strategis mengatur pengadaan

bahan (procurement), perpindahan dan penyimpanan bahan, komponen dan penyimpanan barang

jadi dan informasi terkait melalui organisasi dan jaringan pemasarannya dengan cara tertentu

sehingga keuntungan dapat dimaksimalkan baik jangka waktu sekarang maupun waktu yang akan

datang melalui pemenuhan pesanan dengan biaya efektif. (Tunggal, 2010)

Manajemen logistik adalah manajemen yang mengendalikan barang-barang layanan dan

perlengkapan mulai dari akuisisi sampai disposisi. (Sabarguna, 2009).


Manajemen logistik merupakan suatu ilmu pengetahuan atau seni dalam proses

perencanaan dan penentuan kebutuhan pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan

pemeliharaan serta penghapusan material atau alat-alat.

Manajemen logistik mampu menjawab tujuan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut

dengan ketersediaan bahan logistik setiap saat bila dibutuhkan dan dipergunakan secara efisien

dan efektif. Keberhasilan suatu organisasi mencapai tujuan juga didukung oleh pengelolaan

faktor-faktor antara lain Man, Money, Machine, Methode dan Material. Pengelolaan yang baik

dan seimbang pada kelima faktor tersebut akan memberikan kepuasan kepada konsumer, baik

konsumer internal maupun eksternal (Subagya, 1994).

Gambar siklus administrasi manajemen logistik sebagai berikut :

Gambar 2.4 Siklus Administrasi Manajemen Logistik (Subagya, 1994)

2.5.2 Pengertian Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau keadaan patologi dalam rangka penetapan

diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk

manusia. (Permenkes RI No. 16 tahun 2013).

Obat merupakan suatu bahan atau campuran bahan yang dipergunakan dalam menentukan

diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala

penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia maupun hewan, termasuk

dengan tujuan untuk memperoleh tubuh atau bagian tubuh manusia. Dalam hal ketersediaan,

pemerataan dan keterjangkauan obat diutamakan pada obat esensial, sedangkan dari aspek

jaminan mutu diberlakukan pada semua jenis obat. Obat esensial adalah obat yang paling banyak

dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat dan tercantum dalam Daftar Obat Esensial

Nasional (DOEN) dan obat generik adalah obat dengan nama resmi untuk zat berkhasiat yang

dikandungnya. (Syamsuni, 2005)

2.5.3 Alur Manajemen Logistik Obat


Gambar 2.1

Alur Manajemen Logistik Obat

2.6 Proses Manajemen Logistik Obat

2.6.1 Perencanaan

Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan menentukan jumlah obat dalam

rangka pengadaan. (Depkes RI, 1990)

Perencanaan kebutuhan farmasi merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode

pengadaan Sediaan Farmasi sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin

terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan

untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat

dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi,

epidemiologi, kombinasi (metode konsumsi dan epidemiologi) dan disesuaikan dengan anggaran

yang tersedia. (Permenkes RI N0. 58 tahun 2014)

Menurut Depkes RI Tahun 1990, tujuan dari perencanaan obat adalah untuk mendapatkan :
1. Jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai kebutuhan.

2. Menghindari terjadinya kekosongan obat.

3. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional.

4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat.

Dalam tahapan perencanaan logistik, perencanaan logistik dikatakan baik apabila mampu

menjawab hal-hal sebagai berikut :

1. Apa yang dibutuhkan untuk menentukan jenis barang yang tepat (what).

2. Berapa yang dibutuhkan untuk menentukan jumlah yang tepat (how much).

3. Bila mana dibutuhkan untuk menentukan waktu yang tepat (when).

4. Dimana dibutuhkan untuk menentukan tempat yang tepat (where).

5. Siapa yang mengurus dan siapa yang menggunakan untuk menentukan orang atau unit yang

tepat (who).

6. Bagaimana diselenggarakan untuk menentukan proses yang tepat (how).

7. Mengapa dibutuhkan untuk memeriksa apakah keputusan yang diambil sudah tepat (why).

Perencanaan pengadaan obat dilakukan melalui 2 tahapan yaitu tahap persiapan dan tahap

perencanaan kebutuhan obat. Pada tahap persiapan ada dua kegiatan yang dilakukan yaitu :

A. Pembentukan tim perencana obat

Langkah-langkah :

a. Mengevaluasi terhadap semua masukan, proses dari semua aspek perencanaan dan

pengadaan obat tahun sebelumnya.

b. Evaluasi dilakukan terhadap ketersediaan anggaran, jumlah pengadaan, jumlah yang

didistribusikan, jumlah yang digunakan di unit pelayanan kesehatan.

c. Rencana kebutuhan obat didasarkan atas hasil estimasi kebutuhan obat.

d. Penyempurnaan perencanaan kebutuhan obat untuk mengetahui jenis kebutuhan dana

untuk anggaran berikutnya.

B. Penyusunan Rencana Kerja Operasional.

Langkah-langkah :

a. Melakukan kompilasi data pemakaian obat (LPLPO).

b. Melakukan kompilasi data penyakit dari Puskesmas.

c. Menyiapkan data tentang obat yang akan diterima.


d. Menyiapkan daftar harga jenis obat.

Sedangkan pada tahap proses perencanaan kebutuhan obat ada 5 kegiatan yang dilakukan

yaitu :

1. Tahap pemilihan obat

Fungsi seleksi adalah untuk menentukan obat yang benar-benar diperlukan sesuai dengan

populasi penduduk berdasarkan pola penyakit dengan prinsip dasar:

1) Menentukan jenis obat (beberapa jenis item obat yang akan digunakan/dibeli)

2) Obat memiliki manfaat terapi yang jauh lebih besar dibanding resiko dan efek

sampingnya.

3) Merupakan obat terbaik yang memiliki manfaat.

Seleksi/pemilihan obat didasarkan pada obat generik terutama yang tercantum dalam Daftar

Obat Esensial Nasional (DOEN) yang masih berlaku dengan patokan harga sesuai dengan

keputusan Menteri Kesehatan.

2. Tahap komplikasi pemakaian obat

Komplikasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian perbulan masing-

masing jenis obat di unit pelayanan kesehatan selama setahun sebagai data pembanding bagi stok

optimum.

3. Tahap perhitungan kebutuhan obat

Cara terbaik untuk menentukan kebutuhan obat dengan pendekatan dapat dilakukan melalui

metode konsumsi, epidemiologi, dan morbiditas.

1) Metode Konsumsi

Didasarkan atas analisa data konsumsi perbekalan farmasi pada tahun sebelumnya.

Langkah-langkah metode ini adalah :

a. Pengumpulan dan pengolahan data, yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan

informasi baik kartu stock, buku penerimaan dan pengeluaran serta catatan harian

penggunaan obat.

b. Analisa data untuk informasi dan evaluasi.

c. Perhitungan perkiraan kebutuhan obat.


Dalam perhitungan perkiraan kebutuhan obat, langkah-langkah yang harus dilakukan

adalah :

a) Menghitung pemakaian nyata pertahun.

b) Menghitung pemakaian rata-rata perbulan.

c) Menghitung kekurangan jumlah obat.

d) Menghitung kebutuhan obat sesungguhnya pertahun.

e) Menghitung kebutuhan obat tahun yang akan datang.

f) Menghitung leadtime (waktu tunggu).

g) Menentukan stok pengaman.

h) Menghitung kebutuhan obat yang akan diprogramkan untuk tahun yang akan datang.

i) Menghitung jumlah obat yang perlu diadakan pada tahun anggaran yang akan datang.

d. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana.

Jenis data yang diperlukan untuk metode konsumsi yaitu : alokasi dana, daftar obat, stok

awal, LPLPO, sisa stok, obat hilang/rusak, kadaluarsa, kekosongan obat, pemakaian rata-

rata/pergerakan obat pertahun, lead time, stok pengaman dan perkembangan pola kunjungan di

puskesmas.

2) Metode Epidemiologi

Didasarkan pada data jumlah kunjungan, frekuensi penyakit dan standar pengobatan yang

ada. Langkah-langkah metode ini adalah :

a. Pengumpulan dan pengolahan data.

b. Menyediakan pedoman/standar pengobatan yang digunakan sebagai perencanaan

c. Menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi.

d. Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia.

3) Metode Kombinasi

Merupakan kombinasi metode konsumsi dan metode epidemiologi. Berupa perhitungan

kebutuhan obat yang telah mempunyai data konsumsi yang jelas namun kasus penyakit

cenderung berubah.

4) Tahap proyeksi kebutuhan obat

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menetapkan rancangan stok akhir periode

yang akan datang. Rancangan stok akhir diperkirakan sama dengan hasil perkalian antara waktu

tunggu dan estimasi pemakaian rata-rata/bulan ditambah stok penyangga, menghitung rancangan
pengadaan obat periode tahun yang akan datang dan menghitung rancangan anggaran untuk total

kebutuhan serta pengalokasian kebutuhan obat persumber anggaran.

5) Tahap penyesuaian rencana pengadaan obat.

Ada beberapa teknik manajemen dalam penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi

dana, yaitu :

a. Analisa ABC

Analisa ABC dilakukan dengan cara mengelompokkan jumlah dana yang diserap untuk

setiap jenis obat dalam 3 kelompok, yaitu :

Kelompok A : kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan

penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah dana obat keseluruhan.

Kelompok B : kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaan menunjukkan

penyerapan dana sekitar 20% dari jumlah dana obat keseluruhan.

Kelompok C : kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaan menunjukkan

penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana obat keseluruhan.

b. Analisa VEN

Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat yang terbatas adalah

dengan mengelompokkan obat yang didasarkan kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan.

Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat dikelompokkan kedalam 3 kelompok,yaitu:

Kelompok V : kelompok obat-obatan yang sangat esensial.

Yang termasuk dalam kelompok ini yaitu:

a) Obat penyelamat.

b) Obat-obatan untuk pelayanan kesehatan pokok (Vaksin).

c) Obat-obatan untuk mengatasi penyakit-penyakit penyebab kematian terbesar.

Kelompok E : obat-obatan yang bekerja pada sumber penyebab penyakit.

Kelompok N : obat-obatan yang kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan

kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan.

2.6.2 Pengadaan

Pengadaan adalah suatu proses untuk mengadakan obat yang dibutuhkan di unit pelayanan

kesehatan. (Depkes RI, 1990)Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk


merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,

jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan

merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang

dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan

pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran

(Permenkes RI No. 58 Tahun 2014).

Menurut Depkes RI Tahun 1990, tujuan dari pengadaan obat adalah tersedianya obat

dengan jenis dan jumlah yang tepat dengan mutu yang tinggi dan dapat diperoleh pada waktu

yang tepat.

Didalam Permenkes RI No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di

Rumah Sakit dijelaskan bahwa pelaksanaan pengadaan obat dilakukan dengan memperhatikan:

1. Pemilihan metode pengadaan.

1) Lelang

2) Penunjukan langsung

3) Swakelola

2. Sumber Dana.

3. Penerimaan dan pemeriksaan obat

Pada tahap pelaksanaan pengadaan obat, ada beberapa metode yang digunakan dalam

pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan, tetapi hendaknya dipilih metode yang sesuai

dengan kebutuhan. Dengan pemilihan metode hendaknya mempertimbangkan jenis, sifat nilai

barang yang akan dibeli. Dalam memilih dan menetapkan metode pengadaan harus mengikuti

ketentuan-ketentuan pemerintah yang berlaku. Proses pengadaan hendaknya dilaksanan dengan

prinsip efisien, efektif, transparan, dan adil.

Berdasarkan Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah, obat pada dasarnya termasuk dalam kriteria barang/jasa khusus, karena jenis, jumlah

dan harganya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sehingga dapat dilakukan pengadaan

melalui penunjukan langsung. Dengan telah terbangunnya sisteme-Catalogue obat, maka

Lembaga/Dinas/Instansi tidak perlu melakukan proses pelelangan, namun dapat langsung

memanfaatkan sistem e-Catalogue obat dengan prosedur e-Purchasing.

E-Purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa berdasarkan e-Catalogue obat.

Sedangkan e-Catalogue obat adalah sistem informasi elektonik yang memuat daftar , jenis,
spesifikasi teknis dan harga obat dari berbagai penyediaanbarang/jasa tertentu. Dengan

dikembangkannya sistem e-Catalogueobat tersebut, maka pengadaan obat oleh

Lembaga/Dinas/Instansi dapat dilaksanakan dengan:

1. Pengadaan obat yang tersedia dalam daftar e-Catalogue Portal Pengadaan Nasional

dilakukan dengan e-Purchasing.

2. Pengadaan obat yang belum ada dalam daftar e-Catalogue menggunakan proses pengadaan

sesuai dengan Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pengadaan diantaranya (Anief, 2005) adalah :

1. Waktu pembelian mencegah terjadinya kekosongan persediaan.

2. Lokasi produksi farmasi berada, apabila waktu yang diperlukan untuk mengirimnya singkat

maka waktu pembelian dapat dilakukan pada saat barang hampir habis.

3. Frekuensi dan volume pembelian; makin kecil volume barang/jumlah barang yang dibeli

makin tinggi frekuensi dalam melakukan pembelian.

2.6.3 Penerimaan

Penerimaan merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam menerima obat-obat baik dari

pemasok maupun dari gudang obat dati II atau dari suatu unit pelayanan kesehatan kepada unit

pelayanan kesehatan lainnya dalam rangka memenuhi pesanan atau permintaan obat dari yang

bersangkutan. Maksud dan tujuan penerimaan ini adalah obat yang diterima baik jenis dan

jumlahnya sesuai dengan dokumen yang menyertai. (Depkes RI, 1990)

Kegiatan penerimaan obat meliputi :

1. Penyusunan rencana pemasukan barang.

Ini berdasarkan pemberitahuan dari Pimpro/Kepala Kantor/satuan kerja mengenai akan

datangnya obat-obatan dari pemasok, maka disusun rencana pemasukan obat, personil, peralatan,

dan tempat penyimpanan.

2. Pemeriksaan dan penerimaan obat

Obat yang baru diterima ditempatkan di ruang khusus sampai pemeriksaan dan penerimaan

obat selesai dilaksanakan. Pemeriksaan dilakukan setelah dokumen obat lengkap. Selanjutnya

panitia memeriksa/meneliti surat kontrak, surat pesanan, surat kiriman, sertifkat analisa, jumlah

kemasan, berat masing-masing kemasan, jenis dan jumlah obat, kemasan, dan bentuk obat.
3. Berita acara dan penerimaan obat.

Obat-obat yang diterima dibuatkan berita acara penerimaan dan pemeriksaan obat sesuai

dengan hasil pemeriksaan. Berita acara pemeriksaan penerimaan obat adalah dokumen tanda

bukti pemeriksaan pada penerimaan keadaan, banyaknya, dan sumber yang bersangkutan dengan

obat.

4. Untuk obat-obatan yang tidak memenuhi syarat baik dari segi mutu, tanggal kadaluarsa,

jumlah isi dalam satu kemasan maupun jumlah sautan kemasan harus diajukan klaim

5. Pencatatan harian penerimaan obat.

Obat-obatan yang telah diterima dan diperiksa harus segera dicatat dan bukukan pada buku

harian penerimaan obat mengenai data obat dan dokumen obat tersebut. Buku harian ini berisi

nomor urut, tanggal penerimaan, nama dan alamat pengirim, nomor dokumen, tanggal dokumen,

nama barang, nomor kode, banyak barang, nomor berita acara dan serah terima, dan keterangan.

2.6.4 Penyimpanan

Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan dengan cara menempatkan obat-obatan

yang diterima pada tempat yang dinilai aman. (Depkes RI, 1990)Dalam Permenkes No. 35 Tahun

2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dijelaskan bahwa penyimpanan obat

harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.

Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus

dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah

sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Semua

obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan

stabilitasnya.

Persyaratan Gudang Farmasi pada proses penyimpanan obat : (Depkes RI, 2003)

1. Cukup luas minimal 3x4 m2.

2. Ruangan kering tidak lembab.

3. Ada ventilasi agar ada aliran udara dan tidak lembab/panas.

4. Perlu cahaya yang cukup, namun jendela harus mempunyai pelindung untuk

menghindarkan adanya cahaya langsung dan berteralis.

5. Lantai dibuat dari tegel/semen yang tidak memungkinkan bertumpuknya debu dan kotoran

lain. Bila perlu diberi alas papan (palet).


6. Dinding dibuat licin.

7. Hindari pembuatan sudut lantai dan dinding yang tajam.

8. Gudang digunakan khusus untuk penyimpanan obat.

9. Mempunyai pintu yang dilengkapi kunci ganda.

10. Tersedia lemari/laci khusus untuk narkotika dan psikotropika yang selalu terkunci.

11. Sebaiknya ada pengukur suhu ruangan.

Pengaturan Proses Penyimpanan Obat harus : (Depkes RI, 2003)

1. Obat di susun secara alfabetis.

2. Obat dirotasi dengan sistem FIFO dan FEFO.

3. Obat disimpan pada rak.

4. Obat yang disimpan pada lantai harus di letakkan diatas palet.

5. Tumpukan dus sebaiknya harus sesuai dengan petunjuk.

6. Cairan dipisahkan dari padatan.

7. Sera, vaksin, supositoria disimpan dalam lemari pendingin.

Menurut Depkes RI Tahun 1990, ada empat kegiatan yang dilakukan pada proses

penyimpanan obat antara lain : pengaturan tata ruang, penyusunan stok obat, pencatatan stok obat

dan pengamatan mutu obat.

Pengaturan tata ruang dilakukan untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan,

penyusunan pencarian dan pengawasan obat-obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang

dengan baik. Adapun faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang gudang adalah

sebagai berikut :

1. Kemudahan bergerak

Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata dengan menggunakan sistem satu

lantai dan jangan menggunakan sekat-sekat karena akan membatasi pengaturan tata ruangan.

2. Sirkulasi udara yang baik

Salah satu faktor penting dalam merancang gudang adanya sirkulasi udara yang cukup di

dalam ruangan gudang, sirkulasi yang baik akan memaksimalkan umur hidup dari obat sekaligus

bermanfaat dalam memperpanjang dan memperbaiki kindisi kerja. Idealnya didalam gudang

terdapat AC, namun biayanya akan menjadi mahal untuk ruangan gudang yang luas. Alternatif

lain adalah menggunakan kipas angin dan jika belum cukup makan perlu ventilasi melalui atap.
3. Rak

Penempatan rak yang tepat akan dapat meningkatkan sirkulasi udara dan gerakan stok obat.

4. Kondisi penyimpanan khusus

a. Vaksin memerlukan “cold chain” khusus dan harus dilindungi dari kemungkinan

putusnya aliran listrik.

b. Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu

terkunci.

c. Bahan-bahan yang mudah terbakar seperti alkohol dan eter harus disimpan dalam

ruangan khusus, sebaiknya disimpan dalam bangunan khusus terpisah dari gudang

induk.

5. Pencegahan kebakaran

Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti kardus,

mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup.

Dalam penyusunan stok obat dilakukan menurut bentuk sdiaan dan alfabetis. Untuk

memudahkan pengendalian stok maka langkah yang dilakukanadalah menggunakan prinsip FIFO

dan FEFO dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa kadaluwarsanya lebih awal harus

digunakan lebih awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal, gunakan lemari

khusus untuk menyimpan narkotika, simpan obat yang dapat dipengaruhi oleh temperatur dan

cahaya serta kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai, simpan obat dalam rak dan berikan

nomor kode dengan memisahkan obat dalam dengan obat-obatan untuk pemakaian obatluar

cantumkan nama masing-masing obat dengan rapi dan apabila persediaan obat cukup banyak dan

dengan membiarkan obat tetap dalam box masing-masing.

Dalam pencatatan kartu stok induk maka kartu stok induk diletakkan di Ruang Kepala

Gudang Farmasi, dimana kegiatan pencatatan dilakukan secara rutin dan setiap terjadi mutasi

obat, pengeluaran, hilang, rusak langsung dicatat didalam kartu stok induk serta penerimaan dan

pengeluaran dijumlahkan setiap akhir bulan.

Untuk kegiatan pengamatan mutu obat, jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan

yang tidak dapat ditetapkan dengan cara organoleptik harus dilakukan dengan pengujian

laboratorium.
2.6.5 Pendistribusian

Pendistribusian merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan pengiriman

obat-obatan yang bermutu dari instalasi farmasi dalam pemenuhan pesanan atau permintaan unit-

unit pelayanan kesehatan dengan tujuan terlaksananya penyebaran obat secara merata dan teratur

serta dapat diperolehpada saat dibutuhkan, terjaminnya mutu, keabsahan obat dan ketepatan,

kerasionalan serta efisiensi penggunaan obat. (Permenkes RI No. 58 Tahun 2014)

Penyaluran atau distribusi merupakan kegiatan atau usaha untuk mengelola pemindahan

barang dari satu tempat ketempat lainnya. (Subagya, 1994 dalam Febriwati, 2013)

Tahapan dsitribusi antara lain :

1. Semua jenis logistik yang dibeli atau diadakan baik melalui pihak ketiga maupun

pembelian sendiri harus melalui dan diterima oleh Panitia Penerima Barang.

2. Sebelum Panitia Penerima Barang menerima logistik yang diserahkan, terlebih dahulu

diwajibkan kepada Timnya untuk melakukan pemeriksaan atas logistik yang diserahkan

tersebut, dengan melakukan pengecekan secara cermat terhadap jenis barang apakah sudah

sesuai dengan kontrak, baik jenis, spesifikasi dan jumlahnya.

3. Kelengkapan dokumen pengiriman seperti faktur, agar sesuai dengan kontrak (nama

rekanan, tanggal pengiriman, jenis dan jumlah).Dilihat apakah pengiriman telah melampaui

batas waktu sesuai dengan batas waktu yang tertera dalam kontrak. Jika melampaui, maka

Panitia Penerima Barang membubuhkan tanggalnya sesuai dengan tanggal pada saat barang

tersebut diterima. Jangan pernah menyesuaikan tanggal penerimaan barang dengan tanggal

yang tertera dalam kontrak.

2.6.6 Penghapusan

Penghapusan adalah serangkaian kegiatan dalam pembebasan barang/obatobatan milik

kekayaan negara dari pertanggung-jawaban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (Subagya, 1994).

Menurut Depkes RI Tahun 1990, tujuan dari penghapusan obat yaitu :

1. Penghapusan pertanggung jawaban para petugas terhadap barang/obatobatan yang

diurusnya.

2. Menghindarkan pembiayaan.

3. Menghindarkan kerugian negara akibat hancurnya barang tersebut.


4. Menjaga keselamatan kerja dan pengotoran lingkungan.

5. Sebagai sumber dana bagi negara.

Alasan penghapusan barang antara lain :

a. Barang hilang, akibat kesalahan sendiri, kecelakaan, bencana alam, administrasi yang salah,

tercecer atau tidak ditemukan.

b. Tekhnis dan ekonomis : setelah nilai barang dianggap tidak ada manfaatnya disebabkan

faktor-faktor kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, kadaluwarsa, menguap atau handling,

busuk karena tidak memenuhi spesifikasi sehingga barang tidak dapat dipergunakan lagi.

c. Surplus dan akses.

d. Tidak bertuan : Barang-barang yang tidak diurus.

e. Rampasan yaitu barang-barang bukti dari suatu perkasa Program.

Penghapusan dapat ditinjau dari 2 aspek, yaitu :

1. Aspek yuridis, administrasi dan prosedur

Dalam aspek yuridis mencakup hal-hal pembentukan panitia penilai, identifikasi dan

inventarisasi peraturan-peraturan yang mengikat, persyaratan atau ketentuan terhadap

barang yang dihapus, penyelesaian kewajiban sebelum barang dihapus.

2. Aspek rencana pelaksana teknis

Evaluasi, rencana pemisahan dan pembuangan serta rencana tindak lanjut.

Dalam Permenkes No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik

diatur mengenai penghapusan, bahwa obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai

dengan jenis dan bentuk sediaan. Penghapusan atau pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak

yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh

tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan

dibuktikan dengan berita acara pemusnahan menggunakan formulir pemusnahan.

Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 tahun dapat dimusnahkan.

Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain

dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara

Pemusnahan Resep menggunakan Formulir pemusnahan resep dan selanjutnya dilaporkan kepada

Dinas Kesehatan Kab/Kota.


Cara-cara penghapusan yang lazim dilakukan antara lain :

1. Pemanfaatan langsung; usaha merehabilitasi/merekondisi komponen komponen yang masih

dapat digunakan kembali dan dimasukkan sebagai persediaan baru.

2. Pemanfaatan kembali; usaha meningkatkan nilai ekonomis dari barang yang dihapus

menjadi barang lain.

3. Pemindahan; mutasi kepada instansi yang memerlukan dalam rangka pemanfaatan

langsung.

4. Hibah; pemanfaatan langsung atau peningkatan potensi kepada badan atau pihak di luar

instansi (Pemerintah).

5. Penjualan/pelelangan; dijual baik di bawah tangan atau dilelang.

6. Pemusnahan; menyangkut keamanan dan keselamatan lingkungan.

2.7 Puskesmas

2.7.1 Pengertian Puskesmas

Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya

kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama, dengan lebih

mengupayakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya di wilayah kerjanya. (Permenkes RI No. 75 Tahun 2014)

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan

pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan

sehat.

2.7.2 Fungsi Puskesmas

Sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya, puskesmas

merupakan sarana pelayanan kesehatan pemerintah yang wajib menyelenggarakan pelayanan

kesehatan secara bermutu, terjaungkau, adil dan merata. Pelayanan kesehatan yang

diselenggarakan adalah pelayanan kesehatandasar yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar

masyarakat dan sangat strategis dalam upaya peningkatan status kesehatan masyarakat umum.

Puskesmas juga diharapkan dapat bertindak sebagai motivator, fasilitator dan turut serta

memantau terselenggaranya proses pembangunan di wilayah kerjanya agar berdampak positif

terhadap kesehatan masyarakat. Hasil yang diharapkan dalam menjalankan fungsi ini antara lain
adalah terselenggaranya pembangunan diluar bidang kesehatan yang mendukung terciptanya

lingkungan dan perilaku sehat. Sebagai pusat pembangunan berwawasan kesehatanpuskesmas

harus secara pro aktif menjalin kemitraan dengan bidang pembangunan (sektor) lain ditingkat

kecamatan melalui pertemuan-pertemuan koordinasi membahas situasi dan upaya peningkatan

kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat masyarakat.

2.7.3 Program Puskesmas

Upaya pelayanan yang diselenggarakan meliputi :

1. Program Kesehatan Masyarakat Esensial

Puskesmas memiliki program esensial yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan sebagian

besar masyarakat Indonesia dengan kemampuan dalam mengatasi permasalahan kesehatan

nasional dan internasional yang berkaitan dengan kesakitan, kecacatan dan kematian.

Program esensial tersebut antara lain : (a) promosi kesehatan, (b) kesehatan lingkungan, (c)

kesehatan Ibu dan Anak, termasuk keluarga berencana, (d) perbaikan gizi, (e) pemberantasan

penyakit menular, dan (f) pengobatan. Rincian masing-masing kegiatan dari program esensial

tersebut diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bersama dengan puskesmas

mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan serta sesuai dengan

kemampuan dan potensial setempat.

2. Program Kesehatan Masyarakat Pengembangan

Program pengembangan merupakan program yang disesuaikan dengan permasalahan

kesehatan masyarakat setempat dan sesuai dengan tuntutan masyarakat sebagai program inovatif

dengan mempertimbangkan kemampuan sumber daya yang tersedia dan dukungan dari

masyarakat.

Program kesehatan pengembangan tersebut antara lain : (a) usaha kesehatan sekolah, (b)

usaha kesehatan olah raga, (c) perawatan kesehatan masyarakat, (d)kesehatan kerja, (e) kesehatan

gigi dan mulut, (f) kesehatan jiwa, (g) kesehatan mata, (h) kesehatan usia lanjut, (i) pembinaan

pengobatan tradisional. (Permenkes RI No. 75 Tahun 2014)


2.8 Landasan Teori

Teori manajemen menurut Ivancevich et al (2007) yang meliputi masukan, proses serta

keluaran merupakan acuan atau landasan teori yang diimplementasikan dalam manajemen

logistik obat di dinas kesehatan. Skema landasan teori seperti diuraikan berikut ini :

Gambar 2.7 Landasan Teori

2.9 Kerangka Pikir

Pengelolaan obat yang baik demi terwujudnya pemenuhan kebutuhan obat puskesmas

sebagai pelaksana pelayanan kesehatan dasar masyarakat tergantung kepada ketersediaan obat

yang ada di instalasi farmasi Kab/kota. Sebagai kerangka pikir penelitian disajikan sebagai

berikut :

Gambar 2.9 Kerangka Pikir Pelaksanaan Manajemen Logistik Obat

Berdasarkan gambar diatas, dapat dirumuskan definisi fokus penelitian yaitu :

1. Masukan (Input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dalam melaksanakan perencanaan

obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya, meliputi :

a. Sumber daya manusia adalah orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan di instalasi

farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya.

b. Sumber Anggaran adalah ketersediaan alokasi sumber dana dalam menunjang proses

pengelolaan obat.

c. Data adalah bahan acuan atau informasi untuk melakukan proses

pengelolaan obat.
2. Proses (process) adalah kegiatan-kegiatan dalam manajemen logistik obat di Dinas

Kesehatan Kabupaten Murung Raya, meliputi :

a. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan menentukan jumlah obat

dalam rangka pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya.

b. Pengadaan adalah proses untuk pengadaan obat yang dibutuhkan di Puskesmas wilayah

kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya.

c. Penyimpanan adalah kegiatan pengamanan dengan cara menempatkan obatobatan yang

diterima pada tempat yang dinilai aman di gudang farmasi kabupaten.

d. Pendistribusian adalah rangkaian kegiatan dalam pengeluaran dan pengiriman obat-

obatan yang bermutu dari gudang obat secara merata ke seluruh Puskesmas wilayah

kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya.

e. Penghapusan adalah kegiatan dalam rangka pembebasan obat-obatan milik kekayaan

negara yang sudah kadaluwarsa.

3. Keluaran (Output) adalah hasil dari manajemen logistik obat di Dinas Kesehatan

Kabupaten Murung Raya yaitu tersedianya obat yang dibutuhkan di Puskesmas.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian bersifat kualitatif yaitu untuk melihat atau

menggambarkan pelaksanaan manajemen logistik obat di U P T D . Instalasi Farmasi Dinas

Kesehatan Kabupaten Murung Raya.

Menurut Sugiyono (2015), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat postpositivisme dan digunakan untuk meneliti pada kondisi objek

yang alamiah.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Murung

Raya, dengan pertimbangan manajemen logistik obat di UPTD. Instalasi Farmasi diasumsikan

belum terlaksana dengan baik dan belum mampu dalam memenuhi kebutuhan obat Puskesmas.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari survei pendahuluan yang dimulai dari bulan Juni

2018 s/d Juli 2019.

3.3 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah seluruh pengelola obat di wilayah kerja Dinas

Kesehatan Kabupaten Murung Raya, yaitu unsur dari pihak Dinas Kesehatan Serta unsur

dari pihak Puskesmas Kabupaten Murung Raya. Informan dari pihak Dinas Kesehatan

terdiri dari : (a) Kepala Dinas Kesehatan, (b) Kepala UPTD. Instalasi Farmasi Dinas

Kesehatan, (c) 5 orang staf UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan, (d) Informan dari

Puskesmas adalah 1 orang Kepala Puskesmas dan (5) 1 orang petugas penanggung jawab

pengelola obat Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya.
3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dengan cara :

a. Wawancara

Cara yang digunakan adalah wawancara mendalam dan terbuka.

b. Pengamatan (Observasi)

Pengamatan dilakukan dengan melihat langsung proses kegiatan di lapangan.

Dengan pengamatan diharapkan peneliti lebih jelas mengetahui proses

pelaksanaan kegiatan yang terjadi di lapangan meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Kegiatan yang sudah berjalan dengan baik.

2. Kegiatan-kegiatan yang belum dapat dilaksanakan (sebagian atau

seluruhnya).

3. Kendala-kendala yang dihadapi di Lapangan.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari bagian UPTD. Instalasi Farmasi Murung Raya berupa:

a. Struktur organisasi dan ketenagaan dari UPTD. Instalasi Farmasi.

b. Usulan obat per-tahun UPTD. Instalasi Farmasi.

c. Laporan penerimaan dan pengeluaran obat Puskesmas.

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa voice recorder, notes dan daftar

pertanyaan sebagai pedoman wawancara kepada informan.

3.6 Triangulasi

Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data

yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang

telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya

peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data yaitu mengecek

kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data. Dalam
penelitian ini, triangulasi yang digunakan peneliti adalah triangulasi sumber yang berarti untuk

mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. (Sugiyono,

2015)

3.7 Metode Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2015) analisis data kualitatif

terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu :

1. Reduksi data

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal

yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan

pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian data

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data berupa teks yang bersifat naratif. Data- data

untuk membuat narasi berasal dari temuan di lapangan.

3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi

Kesimpulan awal masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-

bukti yang kuat dan mendukung. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan

adalah temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau

gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah

diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Murung Raya

4.1.1 Letak dan Geografis

Kabupaten Murung Raya adalah salah satu kabupaten pemekaran di Provinsi Kalimantan

Tengah dengan total luas wilayah sebesar ± 2.370.000 Ha. Letak Kabupaten Murung Raya

secara astronomis terletak di daerah Khatulistiwa, pada posisi 00º47’25,24” Lintang Utara,

00º51’51,87” Lintang Selatan, 113º12’40,98” Bujur Timur, dan 115º08’6,52” Bujur Timur.

Berdasarkan geografis, Kabupaten Murung Raya adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi

Kalimantan Barat dan Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan

Timur

Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat Provinsi

KalimantanTimur

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Barito Utara Kabupaten Kapuas

dan Kabupaten Gunun Mas

Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten

Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat

Secara administratif Kabupaten Murung Raya terdiri dari 10 Kecamatan, yaitu Kecamatan

Kecamatan Permata Intan, Kecamatan Babuat, Kecamatan Murung, Kecamatan Laung Tuhup,

Kecamatan Barito Tuhup Raya, Kecamatan Tanah Siang, Kecamatan Tanah Siang Selatan,

Kecamatan Sumber Barito, Kecamatan Seribu Riam dan Kecamatan Uut Murung.
Berikut merupakan peta administrasi Kabupaten Murung Raya :

Tabel 4. 1 Luas Wilayah dan Jumlah Desa/ Kelurahan per Kecamatan di Wilayah

Kabupaten Murung Raya

Jumlah Luas Wilayah

Kecamatan Ibukota Desa/Kelurahan (Km2)

Permatan Intan Tumbang Lahung 12 804

Sungai Babuat Tumbang Bantian 6 423

Murung Puruk Cahu 15 730

Laung Tuhup Muara Laung 26 1611

Barito Tuhup Raya Makunjung 11 1500

Tanah Siang Saripoi 27 1239

Tanah Siang Selatan Dirung Lingkin 6 310

Sumber Barito Tumbang Kunyi 9 2797

Seribu Riam Muara Joloi 7 7023

Uut Murung Tumbang Olong 5 7263

Jumlah/ Total 124 23.700

Sumber: Kabupaten Murung Raya Dalam Angka 2015

4.1.2 Kependudukan

Jumlah penduduk keseluruhan di Kabupaten Murung Raya pada tahun 2013 yaitu

sebanyak 105.100 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan struktur jenis kelamin yaitu meliputi

komposisi jumlah penduduk laki-laki yaitu sebanyak 54.600 jiwa. Sedangkan komposisi jumlah

penduduk perempuan yaitu sebanyak 50.500 jiwa.

Secara administratif pemerintahan Kabupaten Murung Raya terbagi menjadi 10

kecamatan. Sampai sekarang persebaran penduduk Murung Raya masih tidak merata. Hal ini

akibat kondisi sarana jalan darat yang menghubungkan antar kecamatan atau desa kadang-

kadang tidak memungkinkan untuk dilalui bahkan belum ada. Hal ini menyebabkan kepadatan

penduduk untuk kecamatan dengan sarana transportasi kurang baik sangat kecil. Sedangkan

sarana transportasi air masih sangat terbatas. Padahal jumlah desa yang terdapat di pinggiran
sungai lumayan cukup banyak. Seperti di Kecamatan Murung, Permata Intan, Sumber Barito,

bahkan sampai Seribu Riam dan Uut Murung yang medannya di kenal sangat sulit.

4.2 Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya

4.2.1 Visi, Misi, dan Motto Dinas Kesehatan Murung Raya

Dinas Kesehatan Murung Raya dalam menjalankan tugasnya memiliki visi, misi dan

motto yaitu :

a. Visi

“Masyarakat Murung Raya yang Sehat, Mandiri, Berkualitas dan Berkeadilan” “ yaitu

Tercapainya Derajat Kesehatan Masyarakat di Kabupaten Murung Raya yang oftimal dengan

gambaran masyarakat yang memiliki kondisi sehat baik secara fisik,mental,spritual maupun

sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis dan

bisa memberdayakan diri sendiri dalam bidang kesehatan dengan sadar,mau dan mampu untuk

mengenali,mencegah, dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehinga

bebas dari gangguan kesehatan akibat bencana maupun lingkungan dan prilaku yang tidak

mendukung untuk hidup sehat, pelayanan yang merata,setara sesuai dengan haknya (equity dan

equality ) , guna terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan bermartabat dengan berbasis

pembangunan perdesaaan menuju cita-cita yang lebih tinggi lagi yaitu ‘Murung Raya Emas

2030’.

Sehat adalah masyarakat yang memiliki kondisi sehat baik secara fisik,mental,spritual maupun

sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Mandiri adalah masyarakat Murung Raya yang bisa memberdayakan diri sendiri dalam

bidang kesehatan dengan sadar, mau dan mampu untuk mengenali,mencegah, dan mengatasi

permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga bebas dari gangguan kesehatan akibat

bencana maupun lingkungan dan prilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat.

Berkualitas adalah keadan yang memenuhi standar sehat dan produktif.

Berkeadilan adalah pelayanan yang merata,setara, sesuai dengan haknya (equity dan

equality.
b. Misi

Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk

mewujudkan visi, dalam mewujudkan Visi tersebut ditetapkan delapan misi, yaitu sebagai

berikut:

1. Melaksanakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu melalui penguatan dan

revitalisasi Puskesamas Rawat Inap.

2. Mengupayakan pelayanan kesehatan rujukan yang paripurna

3. Melaksanakan penaggulagan masalah kesehatan dan penyehatan lingkungan.

4. Meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pemberdayaan dan kemitraan di

bidang kesehatan.

5. Mengupayakan tersedianya pembiayaan jaminan kesehatan yang menyeluruh.

6. Mengupayakan Ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan yang

bermutu.

7. Melaksanakan pengawasan dan pengaturan di bidang kesehatan.

8. Menyelenggarakan manajemen informasi kesehatan dan penilitian di bidang

kesehatan.

c. Motto

Dinas Kesehatan Murung Raya memiliki motto “SMART”

S = Sederhana

M = Mudah

A = Akurat

R = Ramah

T = Tepat Waktu
4.2.2 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Murung Raya

Berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 25 Tahun 2018 tentang Rincian Tugas Pokok

dan Fungsi Dinas Kesehatan Murung Raya bahwa organisasi Dinas Kesehatan Murung Raya

terdiri dari :

1. Kepala Dinas Kesehatan

2. Sekretariat terdiri dari Sub Bagian Perencanaan dan Keuangan, dan Sub Bagian

Kepegawaian dan Umum.

3. Bidang Kesehatan Masyarakat terdiri dari Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi

Masyarakat, Seksi Promosi dan Pemberdayaan Masyarakat, Seksi Kesehatan Lingkungan,

Kesehatan Kerja dan Olahraga.

4. Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit terdiri dari Seksi Surveilens dan

Imunisasi, Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, dan Seksi Pengendalian

Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa.

5. Bidang Pelayanan dan Sumber Daya Kesehatan terdiri dari Seksi Pelayanan

Kesehatan, Seksi Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dan Seksi Sumber Daya Manusia

Kesehatan.

6. Kelompok Jabatan Fungsional.

7. UPTD Instalasi Farmasi

4.2.3 Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Murung Raya

Sampai tahun 2019, jumlah Puskesmas di Kabupaten Murung Raya adalah sebanyak 15

unit, dengan rincian 8 unit Puskesmas rawat inap dan 7 unit Puskesmas non rawat inap serta

Puskesmas Pembantu sebanyak 119 unit.

Distribusi Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Murung Raya dapat dilihat pada tabel

berikut ini.
Tabel 4.2 Distribusi Puskesmas di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan

Kabupaten Murung Raya

No. Kecamatan Puskesmas Status


1. Murung Puruk Cahu Rawat Inap

Puruk Cahu Seberang Non Rawat Inap

2.Tanah Siang Selatan Datah Kotou Non Rawat Inap

Mangkahui Non Rawat Inap

3. Tanah Siang Saripoi Rawat Inap

Konut Non Rawat Inap

4. Laung Tuhup Muara Laung Rawat Inap

Muara Tuhup Non Rawat Inap

Maruwei Rawat Inap


5. BaritoTuhup Makunjung Rawat Inap

Raya
6. Permata Intan Tumbang Laung Rawat Inap

7. Sumber Barito Tumbang Kunyi Rawat Inap

8. Sungai Babuat Tumbang Bantian Non Rawat Inap

9. Seribu Riam Muara Joloi Non Rawat Inap

10. Uut Murung Tumbang Olong Rawat Inap

4.2.4 Tenaga Kefarmasian di Fasilitas Kesehatan Kabupaten Murung Raya

Berdasarkan data dari kepegawaian pada akhir tahun 2019, tenaga kefarmasian

yang bekerja di institusi pelayanan kesehatan pemerintah (Dinas Kesehatan, Puskesmas,

UPTD di Kabupaten Murung Raya) sebanyak 29 orang. Dengan sebaran 3 orang

apoteker di Dinas Kesehatan yang memegang jabatan kepala Bidang Pengembangan

Sumber Daya Manusia Kesehatan, 1 orang Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit dan 1 o r a n g kepala UPTD. Instalasi Farmasi, 3 orang TTK sebaai staf di Bidang

Pengembangan Sumber Daya Manusia Kesehatan serta 3 orang TTK sebagai staf UPTD.

Instalasi Farmasi. Bila dibandingkan dengan wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Murung Raya yang membawahi 15 Puskesmas, hal ini dapat dikatakan minim tenaga

kefarmasian. Distribusi tenaga kefarmasian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.3 Distribusi Tenaga Kefarmasian di Fasilitas Kesehatan

Kabupaten Murung Raya

UNIT KERJA TENAGA TEKNIS


NO APOTEKER TOTAL
(PUSKESMAS) KEFARMASIAN
1. Puruk Cahu 1 1 2
2. Puruk Cahu Seberang 1 1 2
3. Konut 1 1 2
4. Saripoi - 1 1
5. Datah Kotou 1 1 2
6. Mangkahui 1 - 1
7. Tumbang Bantian - - -
8. Muara Laung - 1 1
9. Muara Tuhup 1 - 1
10. Maruwei - 1 1
11. Makunjung - 1 1
12. Tumbang Lahung 1 1 2
13. Tumbang Kunyi - 1 1
14. Muara Joloi 1 - 1
15. Tumbang Olong 1 1 2
Jumlah 9 11 20

4.3 Gambaran UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya

UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya merupakan unit pelaksana

Kesehatan yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya terpisah tidak

jauh dari Dinas Kesehatan. Tujuan adanya instalasi ini yaitu untuk melaksanakan

pengelolaan obat dengan baik dan tersedia dalam jumlah dan jenis yang cukup pada waktu

yang tepat. Berikut Struktur Organisasi UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehata Kabupaten

Murung Raya
2.3 Struktur Organisasi UPTD. Instalasi Farmasi

4.4 Karakteristik Informan

Umur Jenis
No. Informan Jabatan Pendidikan
1. Informan 1 Kepala Dinas Kesehatan (Tahun) Kelamin Dokter
50 Thn Laki-laki
2. Informan 2 Kepala Instalasi Farmasi 40 Thn Perempuan Apoteker
3. Informan 3 Petugas Instalasi Farmasi 31 Thn Perempuan TTK
4. Informan 4 Petugas Instalasi Farmasi 34 Thn Laki-laki TTK
5. Informan 5 Petugas Instalasi Farmasi 31 Thn Perempuan TTK
6. Informan 6 Petugas E-Logistik Instalasi Farmasi 27Thn Laki-laki Diploma III
7. Informan 7 Petugas E-Logistik Instalasi Farmasi 29 Thn Laki-laki SMA
8. Informan 8 Kepala Puskesmas 40 Thn Laki-laki Dokter
9. Informan 9 Pengelola Obat Puskesmas 30 Thn Perempuan Apoteker

4.5 Masukan (Input)

Input merupakan komponen yang memberikan masukan untuk berfungsinya satu

sistem seperti pelayanan kesehatan terhadap beberapa aspek yang dikategorikan

sebagai input dalam analisis manajemen logistik obat yaitu sumber daya manusia, sumber

anggaran, dan data.

4.5.1 Sumber Daya Manusia

Berdasarkan hasil penelitian di Dinas Kesehatan Murung Raya dengan wawancara

mendalam terhadap Kepala Dinas Kesehatan, Kepala UPTD. Instalasi Farmasi,Petugas UPTD.

Instalasi Farmasi, Kepala Puskesmas dan Pengelola Obat Puskesmas diperoleh hasil

mengenai sumber daya manusia instalasi farmasi sebagai berikut.

4.5.1.1 Kualitas Sumber Daya Manusia


Hasil wawancara tentang kualitas sumber daya manusia pengelola obat di Dinas

Kesehatan dijelaskan oleh Kepala Dinas Kesehatan dan pihak Puskesmas sebagai berikut :

“Sumber daya manusia yang seharusnya ada di puskesmas dalam pengelolaan obat adalah

yang berlatar belakang ahli kefarmasian. Tapi pada kenyataannya ada puskesmas yang

masih memberdayakan tenaga medis lainnya seperti bidan, perawat dan lainnya dalam

pengelolaan obat.” (Informan 1)

“Sumber daya manusia yang ada di instalasi farmasi bisa dikatakan kurang karena di

Dinas Kesehatan ini yang pendidikan berlatar belakang apoteker dan tenaga teknis

kefarmasian hanya ada 4 orang dan selebihnya memberdayakan tenaga kesehatan yang

ada. Begitu juga di Puskesmas. Dari 15 Puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan

Murung Raya hanya ada 11 orang Apotekerdan 9 orang Tenaga Teknis Kefarmasian untuk

pengelolaan obat tingkat puskesmas”. (Informan 1)

Pernyataan informan tersebut didukung oleh pernyataan Kepala UPTD. Instalasi

Farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya yang menegaskan bahwa memang benar sumber

daya manusia khususnya tenaga kefarmasian di Dinas Kesehatan dan Puskesmas masih

kurang. Demikian kutipan pernyataan tersebut.

“Dikatakan sumber daya manusia nya kurang, karena yang sebenarnya pengelola obat di

dinas dan puskesmas seharusnya adalah Apoteker. Pada kenyataannya dari 15 puskesmas

hanya ada 11 orang Apoteker, selebihnya Tenaga Teknis Kefarmasian untuk pengelola

obat, bahkan ada beberapa puskesmas yang masih memberdayakan tenaga medis lainnya

seperti bidan, perawat dan lainnya dalam pengelolaan obat. Tetapi mengingat dan

menimbang keterbatasan sumber daya manusia maka diberdayakanlah tenaga kesehatan

yang ada”. (Informan 2)

Berdasarkan pernyataan informan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber daya

manusia yang ada di instalasi farmasi dinas kesehatan maupun puskesmas dalam pengelolaan

obat menyebabkan terjadinya perangkapan tugas.

4.5.1.2 Pelatihan Sumber Daya Manusia

Hasil wawancara terhadap pelatihan sumber daya manusia dalam pengelolaan obat

di dinas kesehatan dijelaskan oleh kepala instalasi farmasi, sebagai berikut :


“Pelatihan sumber daya manusia untuk pengelola obat di dinas kesehatan dan puskesmas

tidak pernah dilakukan. Hanya saja yang seharusnya setiap 1 tahun sekali dilakukan

pertemuan di U P T D . Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan yang diikuti oleh Kepala

Dinas Kesehatan,, Kepala UPTD. Instalasi Farmasi yang ada di Dinas Kesehatan ditambah

15 orang Kepala Puskesmas di wilayah kerja dinas kesehatan Murung Raya dan 15 orang

Pengelola Obat Puskesmas murung Raya”. (Informan 2)

Berdasarkan kutipan diatas dapat diperoleh informasi bahwa pengelola obat di Dinas

Kesehatan Murung Raya tidak pernah mendapat pelatihan. Kutipan ini didukung dengan

pernyataan :

“Pelatihan memang belum pernah dilakukan. Yang dilakukan hanya pertemuan yang yang

diikuti oleh Kepala Dinas Kesehatan,, Kepala UPTD. Instalasi Farmasi yang ada di Dinas

Kesehatan ditambah 15 orang Kepala Puskesmas di wilayah kerja dinas kesehatan

Murung Raya dan15 orang Pengelola Obat Puskesmas murung Raya”. (Informan 3)

Berdasarkan pernyataan informan di atas dapat disimpulkan bahwa belum pernah

dilakukan pelatihan untuk pengelola obat yang ada di dinas kesehatan maupun di

puskesmas.

4.5.2 Sumber Anggaran

Hasil penelitian mengenai sumber anggaran di Dinas Kesehatan Murung Raya untuk

proses pengelolaan obat di instalasi farmasi dinyatakan oleh staf UPTD. Instalasi Farmasi.

Berikut ini kutipan dari informan :

“Kalau untuk anggaran obat, sumber anggarannya diperoleh dari APBD, BOK Program

dan BPJS. Masalah besarannya saya tidak tahu.” (Informan 4)

“Selama ini sumber dana berasal dari APBD, BOK Program dan BPJS. Besarannya saya

juga tidak tahu. Karena setelah di rencanakan obatnya langsung di usulkan ke bagian

keuangan untuk menyesuaikan dengan dana yang tersedia. setahu saya, untuk obat hanya

10% dari dana APBD yang tersedia. Masalah dana BOK Program itu langsung dari

pemerintah obatnya datang. Jadi saya tidak tahu berapa besarannya. Begitu juga untuk

dana BPJS.” (Informan5)


Berdasarkan pernyataan informan 4 dan 5 di atas, diperoleh informasi bahwa sumber

anggaran di Dinas Kesehatan Murung Raya untuk proses pengelolaan obat berasal dari dana

APBD, BOK Program dan BPJS.

4.5.3 Data

Berdasarkan hasil wawancara, data yang sudah tersedia belum memadai dan belum

membantu dalam proses pengelolaan obat di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan

Murung Raya. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut ini :

“Data untuk proses pengelolaan obat belum lengkap. Memang kartu stok sudah ada, tapi

belum cukup untuk proses pengelolaan obat. (Informan 6)

“Data pada proses penyimpanan belum begitu lengkap. Hanya ada data kartu stock dan

kumpulan LPLPO dari puskesmas.” (Informan7)

“Untuk proses pendistibusian obat, data yang diperlukan sudah cukup memadai.”

(Informan 5)

Berdasarkan kutipan di atas diperoleh informasi bahwa data dalam proses

pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya belum tersedia secara

keseluruhan sehingga proses pengelolaan obat belum berjalan dengan baik. Kutipan di atas

ditambahkan oleh informan 2 yang mengemukakan bahwa :

“Kartu stock dan data untuk proses distribusi obat memang sudah tersedia, tetapi data

yang lain banyak yang tidak ada. Data lain yang belum tersedia seperti data lead

time (waktu tunggu) tidak ada.” (Informan 2)

Berdasarkan pernyataan informan di atas dapat disimpulkan bahwa data yang

belum tersedia secara keseluruhan sangat berpengaruh dalam proses pengelolaan obat. Hal ini

akan mengakibatkan proses pengelolaan obat tidak berjalan dengan baik.

4.6 Proses (Process)

4.6.1 Perencanaan Obat

Kegiatan perencanaan obat yang dilakukan di UPTD. Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan

Murung Raya dimulai dengan pemilihan jenis obat, dan perhitungan perkiraan jumlah

kebutuhan obat. Dalam hal ini, perencanaan obat dilakukan oleh Kepala UP T D . Instalasi

Farmasi dan perwakilan 15 petugas obat puskesmas. Dalam perencanaan obat di Dinas
Kesehatan idealnya harus ada terbentuk tim perencanaan terpadu. Pada kenyataannya tim

perencanaan terpadu tidak terbentuk.

4.6.1.1 Pemilihan jenis obat

Perencanaan jenis obat adalah suatu kegiatan memilih jenis obat yang diperlukan

Puskesmas. Adapun tujuan dari pemilihan jenis obat ini yaitu agar tersedianya jenis obat

yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan 1 tahun ke

depan di Puskesmas. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Dinas dan Puskesmas

diperoleh kutipan :

“Obat seharusnya direncanakan dari Puskesmas yang namanya bottom up. Pemilihan

jenis obatnya berdasarkan e-catalogue dan harus terkait dengan 155 jenis penyakit serta

sesuai dengan Fornas …” (Informan 5)

“Perencanaan obat dilakukan di Puskesmas. Puskesmaslah yang tau jenis obat apa saja

yang mereka butuhkan. Jenis obat yang dibutuhkan harus terkait 155 jenis penyakit yang

di tangani puskesmas dan mengacu kepada Fornas. Setelah ditentukan jenis obatnya

lalu disampaikan ke IFK namanya RKO dengan membawa LPLPO. Kemudian direkap

dan disesuaikan dengan anggaran yang ada.” (Informan 2)

“Alur perencanaannya dimulai dari rekapan LPLPO Puskesmas dan Pustu-Pustu,

disesuaikan dengan data penyakit yaitu 10 penyakit terbesar serta data-data kunjungan

pasien.”(Informan 6)

Pernyataan kedua informan tersebut dibenarkan oleh Kepala Dinas kesehatan bahwa

perencanaan pemilihan jenis obat memang berdasarkan Fornas dan harus terkait dengan 155

jenis penyakit yang ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Demikian kutipan

jawaban informan :

“Alur perencanaan dimulai dari bawah yaitu laporan Puskesmas (Bottom Up) dan di Dinas

Kesehatan menyesuaikan anggarannya (To Down) Perencanaan pemilihan jenis obat

disini berdasarkan e-catalogue dan terkait dengan 155 jenis penyakit yang ditangani di

Puskesmas serta dihubungkan dengan Fornas. Fornas disini untuk fasilitas kesehatan

tingkat pertama dan obatnya sudah tersedia.” (Informan 1)


Kesimpulan dari pernyataan informan diatas diperoleh informasi bahwasannya perencanaan

kebutuhan obat dimulai dari Puskesmas (Bottom Up) dengan membawa laporan LPLPO yang

selanjutnya dilaporkan ke dinas kesehatan (Top Down) dan pemilihan jenis obatnya

berdasarkan e-catalogue dan mengacu pada Fornas serta 155 jenis penyakit yang ditangani di

Puskesmas.

4.6.1.2 Perhitungan perkiraan kebutuhan obat

Dalam hal kegiatan perencanaan perhitungan perkiraan kebutuhan obat, perencanaan yang

dilakukan pihak dinas kesehatan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya dan pemakaian rata-

rata perbulan. Demikian kutipan jawaban informan :

“Sebenarnya kami tidak ada melakukan perhitungan perkiraan obat untuk rencana

berikutnya. Hanya saja untuk rencana kebutuhan obat tahun berikutnya dihitung

berdasarkan metode konsumsi dikurangi dengan sisa stok per 31 Desember. Sisa stok ini

ditulis setiap bulan dalam bentuk laporan yang namanya LPLPO. Untuk pemakaian rata-

rata perbulan didapat dari rekapan LPLPO.” (Informan 3)

“Perencanaan perkiraan kebutuhan obat ini berdasarkan jumlah pemakaian rata-rata

perbulan dikalikan dengan 18 bulan. Angka 18 ini diperoleh dari 1 tahun ada 12 bulan. Dari

12 bulan ini ada penambahan 6 bulan yang dijadikan sebagai buffer stok (stok

pengaman). Itulah yang kami lakukan dalam perencanaan obat untuk perhitungan

perkiraan obat.” (Informan 3)

Pernyataan informan 3 dibenarkan oleh informan 2 bahwa perencanaan perhitungan

perkiraan kebutuhan obat berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya dan pemakaian rata-rata

perbulan.

“Memang benar kami tidak melakukan perhitungan perkiraan kebutuhan obat. Kami

menghitung kebutuhan obat hanya berdasarkan pemakaian tahun lalu dikurangi dengan

sisa stok per 31 Desember. Intinya sih dalam hal perkiraan obat hanya melihat

pemakaian tahun sebelumnya saja……” (Informan 2)

“Pemakaian rata-rata per bulan didapat dari rekapan LPLPO. Perencanaan

perhitungan perkiraan obat ini yaitu jumlah pemakaian rata-rata perbulan yang

dikalikan dengan 18 bulan. Dalam 1 tahun ada


12 bulan dan 18 bulan diperoleh dari adanya penambahan 6 bulan dijadikan untuk

stok pengaman.” (Informan 2)

Kesimpulan dari kedua pernyataan informan diatas diperoleh informasi

bahwasannya dalam kegiatan perencanaan perhitungan perkiraan kebutuhan obat yang

dilakukan di dinas kesehatan berasal dari pemakaian tahun sebelumnya ditambah dengan

kompilasi rekapan LPLPO dari pihak puskesmas.

4.6.2 Pengadaan Obat

Hasil wawancara dari Kepala UPTD. Instalasi Farmasi tentang pengadaan obat diperoleh

informasi bahwa sistem pengadaan obat melalui sistem e-purchasing dan e-catalogue.

Kendala yang sering dalam pengadaan obat melalui e- purchasing ini yaitu pada

sistemnya. Realisasi pengadaan obatnya ada item obat yang tidak tersedia di e-catalogue.

Lama pengadaan obat melalui e-catalogue ini juga belum diketahui pasti. Sumber dana

pengadaan berasal dari dana APBD Kab, BOK Program, dan BPJS. Adapun kutipan jawaban

informan sebagai berikut :

“Pengadaan obatnya menggunakan e-catalogue dengan sistem e- purchasing. Sumber dana

berasal dari dana APBD Kab, BOK Program, dan BPJS. Manajemen alur pengadaan

obatnya yaitu obat dipesan ke Pusat (Kemenkes) dan dari sanalah obat berasal dan

masuk ke pbf-pbf yang ada, selanjutnya disampaikan ke gudang farmasi. Setelah sampai di

gudang farmasi kita sesuaikan dengan pesanan kita. Tetapi dalam penerimaan obat, obat

tidak langsung datang 100.000 tablet. Maksudnya gini, kita pesan 100.000 tablet Amoxillin

dan yang datang 25.000 tablet Amoxillin dulu. Baru 2 bulan kedepan datang lagi

50.000 tablet Amoxillin. Tapi di tahun ini klop 100.000 tablet Amoxillin. Prosesnya

bertahap gini karna sambil nunggu produksi. Begitu sih pengadaannya..”(Informan 2)

Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan bahwasannya

pengadaan obat dilakukan menggunakan e-catalogue dengan sistem e-purchasing. Sumber

dana untuk pengadaan obat ini berasal dari dana APBD Kab, BOK Program, dan BPJS.

Demikian kutipan jawaban dari Kepala Dinas Kesehatan :

“Sekarang ini pengadaan obatnya menggunakan e-catalogue dengan sistem e-

purchasing. Pengadaan obat ini dilakukan oleh PPTK. Sumber dana berasal dari APBD

Kab, BOK Program, dan BPJS. Dalam alur manajemen pengadaannya memang gak 100%
obat diterima dalam 1 kali datang. Tapi memang tetap terealisasi 100% dalam 1 tahun

ini……” (Informan 1)

Kesimpulan yang bisa diambil dari kedua pernyataan informan diatas adalah bahwa pengadaan

obat yang dilakukan di dinas kesehatan menggunakan e- catalogue dengan sistem e-

purchasing walaupun terkadang sistemnya ini terjadi masalah. Dana dalam pengadaan obat ini

bersumber dari dana APBD Kab, BOK Program, dan BPJS. Dimana dana APBD Kab untuk

obat generik dan BOK Program untuk obat TB Paru, HIV/AIDS, Malaria, Kecacingan,

dan Tablet Tambah Darah.

4.6.3 Penyimpanan Obat

Hasil penelitian mengenai penyimpanan obat, diperoleh informasi bahwa Dinas Kesehatan

memiliki 1 unit gudang farmasi yang terpisah tidak jauh dari Dinas Kesehatan. Berikut

kutipan dari informan :

“Obat disimpan di gudang farmasi. Gudang farmasi memang terpisah tidak jauh dari

dinas kesehatan. Penyimpanan obat ini lebih memperhatikan sistem FIFO. Dan obat

kulkas dan obat chold chain disimpan di kulkas ataupun chold chain. Ya beginilah kondisi

gudangnya. Bisa adek lihat sendiri….” (Informan 5)

“Dinas Kesehatan Murung Raya memiliki 1 unit gudang berupa rumah untuk

penyimpanan obat dan terpisah tidak jauh dari dinas kesehatan. Kulkas dan chold chain

sudah tersedia dan digunakan untuk menyimpan vaksin. Dalam hal penyimpanan obat tidak

secara alfabetis dan disusun berdasarkan bentuk sediaan. Bahkan rak penyimpanan obat

bersekat- sekat sehingga sulit untuk mengeluarkan obat. Kendala lain yaitu

sebagian AC rusak dan bangunan yang kurang besar ,Itu saja. (Informan 2)

Pernyataan dari Kepala Gudang Farmasi dan petugas penyimpanan gudang faramasi ini

dibenarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan bahwa penyimpanan obat di gudang farmasi

belum sepenuhnya benar. Hal ini terbukti dari cara penyusunan obat yang tidak teratur dan

menyebabkan sulitnya kontrol kadaluwarsa obat. Demikian kutipan dari Kepala Dinas

Kesehatan :

“Memang benar gudang farmasi untuk penyimpanan obat terpisah tidak jauh dari dinas.

Saya juga melihat bahwa sebagian AC rusak. Dan obat hanya disimpan berdasarkan
bentuk sediaan namun tidak secara alfabetis. Ketidakteraturan ini terkadang membuat

kesalahan dalam pengontrolan tanggal kadaluwarsa”. (Informan 1)

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa obat disimpan berdasarkan bentuk sediaan

saja dan tidak secara alfabetis.

4.6.4 Pendistribusian Obat

Hasil wawancara informan dari dinas kesehatan tentang pendistribusian obat ke

Puskesmas di wilayah kerja Kabupaten Murung Raya diperoleh informasi bahwa

pendistribusian obat dilakukan berdasarkan LPLPO Puskesmas yang diterima oleh

dinas. Obat yang diberikan untuk 1 bulan kedepan, pendistribusian dilakukan 1 bulan

sekali untuk puskesmas yang dekat dan setiap 2 bulan sekali untuk puskesmas yang jauh dimulai

dari bulan ganjil. Sistem distribusi yang dilakukan adalah Puskesmas mengambil sendiri

obat- obatan tersebut, dikarenakan keterbatasan anggaran. Berikut kutipan jawaban dari

informan :

“Pendistribusian obat ke Puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Murung Raya

dilakukan setiap 1 bulan sekali untuk puskesmas yang dekat (akses darat) dan setiap 2

bulan sekali untuk puskesmas yang jauh (akses air), yang dimulai dari bulan ganjil untuk

kebutuhan 2 bulan kedepan. Disini Obat Puskesmas di distribusikan oleh Instalasi

Farmasi dengan cara diantar ke puskesmas. Distribusi obat ke Puskesmas di wilayah kerja

Dinas Kesehatan Murung Raya dengan membawa SPT dan SBBK. Hal ini dilakukan

karena sudah tersedianya transportasi dinas dan anggaran khusus untuk distribusi obat

dengan menggunakan sumber dana BOK . (Informan 7)

Pernyataan Kepala UPTD. Instalasi Farmasi Farmasi tersebut dibenarkan oleh pihak

Puskesmas bahwa pendistribusian dilakukan setiap 1 bulan sekali u n t u k p u s k e s m a s

y a n g d e k a t dan setiap 2 bulan sekali u n t u k p u s k e s m a s y a n g j a u h . D a n

p e t u g a s U P T D . I n s t a l a s i F a r m a s i D i n a s K e s e h a t a n yang mengantarkan

sendiri obat- obatan ke masing – masing puskesmas. Berikut kutipan jawaban informan :

“UPTD. Instalasi Farmasi mengeluarkan obat-obatan setiap bulan, sesuai dengan

LPLPO kami yang juga dibuat untuk kebutuhan Puskesmas 1 bulan ke depan. Petugas

UPTD. Instalasi Farmasi sendiri yang mengantarkan obat-obatan ke puskesmas, dan


kami distribusikan ke pustu-pustu yang ada di wilayah kerja Puskesmas kami”.

(Informan 8)

Dari pernyataan-pernyataan diatas diperoleh kesimpulan bahwasannya pendistribusian obat-

obatan ke Puskesmas dilakukan setiap 1 bulan sekali u n t u k p u s k e s m a s y a n g d e k a t

dan setiap 2 bulan sekali u n t u k p u s k e s m a s y a n g j a u h , dimulai dari bulan ganjil.

Hal ini menurut pihak Dinas Kesehatan karena sudah di dukung dengan adanya anggaran

untuk pendistribusian obat.

4.6.5 Penghapusan Obat

Hasil wawancara informan dari pihak Puskesmas tentang penghapusan obat memberikan

informasi bahwa sudah pernah beberapa kali dilakukan penghapusan obat terhadap obat-obatan

yang kadaluwarsa. Namun beberapa tahun terakhir sudah tidak ada lagi penghapusan obat.

Obat-obatan yang kadaluwarsa hanya dikumpulkan pada satu tempat sampai menunggu

konfirmasi dari Dinas Kesehatan.

Berikut kutipan dari pihak Puskesmas :

“Sudah pernah pernah dilakukan penghapusan terhadap obat kadaluwarsa” (Informan 5)

“Sudah pernah dilakukan penghapusan obat terhadap obat kadaluwarsa dan beberapa

tahun terakhir tidak pernah dilakukan lagi.” (Informan 9)

Pernyataan pihak Puskesmas ini didukung oleh Kepala Dinas Kesehatan yang menyatakan

bahwa memang pernah dilakukan penghapusan obat kadaluwarsa di Dinas Kesehatan

maupun di puskesmas. Namun beberapa tahun terakhir sudah tidak ada lagi penghapusan obat.

Hal ini dikarenakan tidak ada lagi anggaran khusus penghapusan obat yang memerlukan tim

penghapusan dan biaya yang besar. Berikut kutipan dari pihak Dinas Kesehatan :

“Sudah pernah dilakukan penghapusan obat. Namun beberapa tahun terakhir sudah tidak

ada lagi penghapusan obat. Hal ini dikarenakan belum terbentuknya tim penghapusan

obat, baik di dinas maupun di puskesmas. Lagi pula terbentur dengan biaya penghapusan

itu sendiri..” (Informan 1)

4.7 Keluaran (Output)

4.7.1 Ketersediaan Obat Yang Dibutuhkan Puskesmas


Hasil wawancara maupun pengamatan peneliti kepada pihak Dinas Kesehatan

diperoleh informasi bahwa kebutuhan obat di Puskesmas masih dikatakan belum

tercukupi. Karena adanya keterbatasan anggaran sehingga terjadinya kekurangan atau

kekosongan obat.

Adapun kutipan pernyataan dari pihak dinas kesehatan sebagai berikut :

“Saya rasa selama ini belum bisa dikatakan mencukupi, itulah yang menjadi masalah.

(Informan 1)

Pernyataan tersebut dibenarkan oleh pihak Puskesmas yang menyatakan bahwa

ketersediaan kebutuhan obat di Puskesmas belumlah mencukupi. Terlihat dari indikator

masih adanya item obat yang tidak tersedia dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas

seperti obat gigi dan obat lainnya yang menyebabkan pasien mencari sendiri obat di apotek.

Berikut kutipan dari informan pihak Puskesmas :

“Bisa dikatakan tidak mencukupi karena ada jenis obat yang kami minta dan butuhkan

untuk pelayanan tidak diadakan, misalnya obat gigi. Untuk mengatasi hal itu kebijakan

pimpinan Puskesmas untuk mengadakannya dengan dana Puskesmas sendiri atau

pasien mencari dan membeli sendiri ke apotek”. (Informan 8)

Dari pernyataan-pernyataan diatas diperoleh kesimpulan bahwasannya ketersediaan kebutuhan

obat di Puskesmas belum bisa dikatakan cukup. Hal itu dapat dilihat dari indikator-indikator

seperti masih adanya pasien yang membeli obat sendiri di apotek luar, walaupun hal ini atas

kemauan pasien sendiri.

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Masukan (Input)

5.1.1 Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia yang bertugas dalam pengelolaan obat menjadi faktor yang sangat

penting dan berpengaruh dalam proses logistik obat. Menurut Undang-undang RI No. 51

Tahun 2009, sumber daya manusia yang harus tersedia dalam hal pengelolaan obat minimal

sebanyak 3 orang yang berlatar belakang Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Herman dkk (2010) yang menyatakan

bahwa sumber daya manusia minimal sebanyak 3 orang dalam pengelola obat di unit

kabupaten/kota dan dipimpin oleh apoteker ataupun tenaga teknis kefarmasian.

Sumber daya manusia dalam pengelolaan obat di instalasi farmasi Dinas Kesehatan

Kabupaten Murung Raya berjumlah 7 orang dengan 1 orang P N S sebagai Kepala Instalasi

Farmasi dengan pendidikan Apoteker, 3 orang PNS sebagai staf Instalasi Farmasi dengan

pendidikan Tenaga Tekhnis Kefarmasian, dan 3 orang honorer sebagai tenaga administrasi

dengan pendidikan Diploma III dan SMA/SMK serta 1 orang Petugas Kebersihan dan 1 orang

petugas keamanan. Dilihat dari tingkat pendidikan, petugas pengelola obat sudah

memenuhi ketentuan. Namun masih sangat kurang untuk mencukupi Sumber Daya Manusia di

UPTD. Instalasi Farmasi.

Untuk mendapatkan tenaga pengelolaan obat yang bermutu, maka diperlukan

adanya pelatihan sebagai kegiatan dalam pengembangan SDM. Dengan meningkatnya

mutu tenaga pengelola obat diharapkan tersedianya obat dengan kualitas baik, tersebar secara

merata, jenis dan jumlah sesuai dengan kebutuhan dalam rangka mewujudkan penggunaan obat

yang rasional bagi masyarakat dapat tercapai. (Permenkes RI, 2010)

Tenaga pengelola obat di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya sudah s e r i n g

mendapatkan pelatihan tentang manajemen pengelolaan obat yang diadakan oleh Dinkes

Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan adanya pelatihan yang diberikan, dapat dilihat bahwa

kemampuan tenaga pengelola obat sudah banyak mengalami peningkatan yang mengakibatkan

pengelolaan obat di instalasi farmasi dinas kesehatan Murung Raya sudah terlaksana secara

optimal.

Menurut Kemenkes RI (2012), tim perencanaan obat terpadu merupakan suatu

kebutuhan dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana melalui koordinasi

antar pihak yang terkait dengan perencanaan obat. Tim perencanaan obat terpadu di dinas

kesehatan dibentuk oleh kepala dinas kesehatan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Kepala

Dinas Kesehatan.
Pengelolaan obat di instalasi farmasi dinas kesehatan Murung Raya dalam hal

perencanaan obat tidak adanya dibentuk tim perencanaan obat terpadu. Tidak adanya tim

perencanaan obat terpadu disebabkan karena Kepala Dinas Kesehatan tidak ada membentuk

tim perencanaan obat. Sebenarnya pihak seksi kefarmasian sudah mengusulkan untuk

pembentukan tim perencanaan obat dan pada kenyataannya tidak terealisasi. Jadi dalam

melakukan perencanaan obat, Kepala Dinas Kesehatan menunjuk bagian kefarmasian yaitu

kepala Seksi Kefarmasian yang dibantu oleh Kepala Instalasi Farmasi. Wewenang yang

diberikan kepala dinas ini tanpa adanya Surat Keputusan penunjukan secara tertulis untuk

menjadi perencana obat. Jika dilihat dengan peraturan yang ada, hal ini dinilai tidak sesuai

dengan Kemenkes RI (2012), yang menyatakan bahwa tim perencanaan obat terpadu

sebagai suatu kebutuhan agar perencanaan obat dapat telaksana dan berjalan dengan

optimal dengan melibatkan semua pihak terkait dengan perencanaan obat yang terdiri

dari kepala seksi kefarmasian, kepala instalasi farmasi, petugas instalasi farmasi, kepala

bidang perencanan dinas kesehatan, kepala puskesmas dan pengelola obat puskesmas.

5.1.2 Sumber Anggaran

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti bahwa sumber anggaran yang

diperoleh dinas kesehatan Murung Raya dalam proses pengelolaan obat di instalasi farmasi

adalah berasal dari dana APBD, BOK Program, dan BPJS. Dari dana APBD untuk obat

sebesar 10% dari dana yang tersedia. Dana BOK Program tidak tahu berapa besarannya

karena obatnya langsung datang dari pusat. Begitu juga untuk dana BPJS. Pihak instalasi

farmasi tidak tahu karena mereka hanya merencanakan saja lalu diusulkan ke bagian keuangan

untuk menyesuaikan dengan anggaran yang ada.

Menurut Diah (2012), menyatakan bahwa mengenai anggaran tidak dapat dibahas secara

mendalam karena untuk hasil penelitian hanya sebatas pada sumber dana. Masalah-

masalah yang terkait dengan penganggaran hanya secara garis besarnya saja dan tidak dibahas

secara mendalam. Hal ini diketahui bahwa anggaran untuk pengelolaan obat merupakan bagian

dari anggaran yang diajukan oleh pihak instalasi farmasi ke bagian keuangan. Setelah disetujui,

maka instalasi farmasi dapat meminta kebutuhannya kepada bagian pengadaan, lalu bagian

pengadaan akan berkoordinasi dengan bagian keuangan dengan menggunakan dana APBD

untuk dapat merealisasikan permintaan dari instalasi farmasi.


5.1.3 Data

Data merupakan kunci dasar untuk menganalisa kebutuhan obat yang sesungguhnya

dalam melakukan pengelolaan obat. Jika ada data yang tidak tersedia maka akan

menyebabkan pengelolaan obat yang tidak baik.

Menurut Depkes RI (1990) pada pedoman perencanaan obat dan pengelolaan

obat, bahwa data yang harus dikumpulkan dan tersedia dalam proses pengelolaan obat yaitu

adanya data alokasi dana, daftar obat, stok obat, penerimaan, pengeluaran, sisa stok,

obat kadaluwarsa, obat kosong, pemakaian rata-rata tahunan, indeks, musiman, lead time, stok

pengaman, dan perkembangan pola kunjungan. Sumber data bisa berasal dari kartu stok.

Hasil penelitian yang dilakukan di instalasi farmasi dinas kesehatan Murung Raya

diketahui bahwa data yang digunakan masih belum sesuai dengan yang dibutuhkan sehingga

sangat berpengaruh dalam proses pengelolaan obat. Data yang tersedia di instalasi

farmasi dinas kesehatan Murung Raya dalam hal pengelolaan obat hanya data daftar stok

obat.

5.2 Proses (Process)

5.2.1 Perencanaan Kebutuhan Obat

Perencanaan kebutuhan obat merupakan kegiatan utama sebelum melakukan semua

proses pengelolaan obat. Kegiatan perencanaan obat yang dilakukan di Instalasi Farmasi

Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya dilakukan dengan pemilihan jenis obat, penentuan

jenis obat, dan perhitungan perkiraan kebutuhan obat.

5.2.1.1 Pemilihan Jenis Obat

Pada proses perencanaan pemilihan jenis obat selalu berkaitan dengan kartu stok dan

standar terapi. Obat yang terdapat di e-catalogue sangat banyak, maka kartu stok dalam

proses perencanaan obat ini diperlukan untuk melihat kebutuhan dan kekurangan obat yang

dibutuhkan. Selain itu, standar terapi juga digunakan dalam perencanaan pemilihan jenis obat

yang sangat dibutuhkan dalam keadaan mendesak. Standar terapi untuk tujuan perencanaan

obat harus berisikan nama penyakit, nama obat, kekuatan dan bentuk sediaan, dosis rata-rata,

jumlah dosis perhari, lama pemberian, dan jumlah obat yang dibutuhkan perepisode. (Depkes
RI, 1990)

Pemilihan obat didasarkan pada Formularium Nasional dan pada Daftar Obat

Esensial Nasional (DOEN) yang masih berlaku dengan patokan harga untuk Obat Pelayanan

Kesehatan Dasar (PKD) dan Obat Program Kesehatan. Pemilihan jenis obat dilakukan agar obat

yang tersedia benar-benar diperlukan sesuai dengan pola penyakit di pelayanan kesehatan.

Idealnya memilih obat dilakukan setelah mengetahui gambaran pola penyakit di wilayah kerja

masing-masing, karakteristik pasien yang dilayani maupun tenaga kesehatan yang melayani

karena senantiasa jenis obat dapat berubah dalam kurun waktu tertentu. (Kemenkes RI, 2015)

Berdasarkan hasil wawancara di dinas kesehatan Murung Raya diperoleh informasi bahwa,

pemilihan jenis obat yang dilakukan di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Murung Raya

berdasarkan yang ada di e-catalogue, Fornas dan 155 jenis penyakit yang ditangani di

puskesmas. Dalam merencanakan pemilihan jenis obat ini, perencanaan dimulai dari puskesmas

yang biasa disebut bottom up. Selanjutnya perencanaan yang berasal dari puskesmas di

ajukan ke dinas kesehatan untuk menyesuaikan dengan dana yang tersedia (to down) dalam

pengadaan obat berikutnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Rumbay dkk (2015) mengenai Analisis Perencanaan

Obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Tenggara menyatakan bahwa dalam tahap

pemilihan jenis harus berdasarkan pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan

Formularium Nasional (FORNAS). Apabila instalasi farmasi dinas kesehatan kabupaten

dalam pemilihan jenis obat tidak sesuai dengan DOEN, maka instalasi farmasi akan sulit

menentukan obat apa yang akan disediakan.

5.2.1.2 Perhitungan Perkiraan Kebutuhan Obat

Menurut Depkes RI (1990) pada pedoman perencanaan obat dan pengelolaan

obat, bahwa dalam perhitungan perkiraan kebutuhan obat harus sesuai dengan standar yang

ditetapkan. Ada beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan dalam perhitungan perkiraan

kebutuhan obat sesuai dengan peraturan Depkes RI (1990), yaitu :


1. Menghitung pemakaian nyata pertahun

Pemakaian nyata pertahun adalah jumlah obat yang dikeluarkan dengan kecukupan untuk

jangka waktu tertentu dan data dapat diperoleh dari kartu stok.

Pemakaian nyata per tahun = stok awal + jumlah yang diterima - sisa stok

(yang dihitung per 1 November) - jumlah obat yang

hilang/rusak/kadaluarsa.

2. Menghitung pemakaian rata-rata perbulan

Untuk mengetahui pemakaian rata-rata perbulan kita dapat menggunakan rumus sebagai

berikut :

Menghitung Pemakaian Rata-rata per bulan = pemakaian nyata obat

per tahun : berapa bulan obat habis dipakai

3. Menghitung kekurangan obat

Kekurangan obat adalah jumlah obat yang diperlukan pada saat terjadi kekosongan obat.

Menghitung kekurangan obat = waktu kekosongan obat x pemakaian rata-rata per bulan

4. Menghitung kebutuhan obat sesungguhnya (riil) pertahun

Merupakan jumlah obat yang sesungguhnya dibutuhkan selama 1 tahun.

Menghitung kebutuhan obat sesungguhnya per tahun =

angka pemakaian nyata per tahun + angka kekurangan obat.

5. Menghitung waktu tunggu (LeadTime)

Jumlah waktu tunggu adalah jumlah obat yang diperlukan sejak rencana kebutuhan

diajukan sampai dengan obat diterima.


Menghitung waktu tunggu = pemakaian rata-rata per bulan x waktu yang dibutuhkan sejak

rencana kebutuhan obat diajukan sampai dengan obat diterima.

6. Menentukan stok pengaman

Merupakan jumlah obat yang diperlukan untuk menghindari terjadinya kekosongan

obat. Nilai stok pengaman dapat diperoleh berdasarkan pengalaman dari monitoring

dinamika logistik.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dalam hal perkiraan perhitungan

kebutuhan obat di instalasi farmasi dinas kesehatan Murung Raya diketahui bahwa mereka

sudah melakukan perhitungan perkiraan kebutuhan obat yang seharusnya. Perencanaan

perhitungan perkiraan obat ini yaitu jumlah pemakaian rata-rata perbulan yang dikalikan

dengan 18 bulan. Dalam 1 tahun ada 12 bulan dan 18 bulan diperoleh dari adanya

penambahan 6 bulan dijadikan untuk stok pengaman. Dan dalam perencanaan kebutuhan obat

untuk tahun berikutnya berdasarkan pemakaian tahun lalu. Pemakaian tahun lalu ini dibuat

dalam bentuk laporan yang namanya LPLPO. LPLPO ini merupakan laporan bulanan dari

puskesmas. Setelah itu LPLPO ini dilaporkan ke UPTD Instalasi Farmasi Murung Raya setiap

bulan untuk direkap. Hasil rekapan LPLPO ini dilakukan perhitungan yaitu jumlah

pemakaian rata-rata per bulan dikalikan dengan 18 bulan. Pada kenyataannya kita tahu

bahwa dalam 1 tahun ada 12 bulan. Tetapi, 18 bulan ini diperoleh dari penambahan 6

bulan yang dijadikan sebagai stok pengaman (Buffer Stock).

5.2.2 Pengadaan Obat

Pada proses pengadaan obat menggunakan sistem e-purchasing. Pengadan obat juga

harus berdasarkan sistem ABC dan VEN untuk mengetahui berapa dana yang diperlukan dalam

pengadaan ini. Analisa ABC dilakukan dengan cara mengelompokkan jumlah dana yang

diserap untuk setiap jenis obat dengan kelompok A menyerap dana sekitar 70%,

kelompok B menyerap dana sekitar 20%, dan kelompok C menyerap dana sekitar 10%.

Sedangkan analisa VEN didasarkan kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan. Semua jenis

obat yang tercantum dalam daftar obat dikelompokkan dengan kelompok V merupakan

kelompok esensial, kelompok E merupakan kelompok bekerja pada sumber penyebab penyakit,

dan kelompok N yaitu obat yang kerjanya ringan. (Depkes RI, 1990)
Permenkes RI (2010) menyatakan bahwa pengadaan obat merupakan proses untuk

penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat yang

dilaksanakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pelaksanaan Pengadaan

Barang dan Jasa Instansi Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara. Ketentuan yang dijadikan pedoman dalam proses pengadaan obat dimulai dari

meninjau atau memeriksa kembali tentang proses pemilihan obat, menyesuaikan dengan dana,

memilih metode pengadaan, mengalokasikan dan memililih supplier, menentukan syarat-syarat

kontrak, memantau status pesanan, menerima dan mengecek obat, pembayaran,

mendistribusikan obat dan mengumpulkan informasi mengenai pemakaian. Tujuan dari

pengadaan obat ini adalah tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup, mutu obat

terjamin, dan obat dapat diperoleh pada saat dibutuhkan.

Dalam proses pengadaan obat di instalasi farmasi dinas kesehatan Murung Raya,

pengadaan obat menggunakan metode ABC dengan sistem e-purchasing. Metode ABC dalam

pengadaan obat di dinas kesehatan termasuk kedalam kelompok C yaitu dengan menyerap

dana 10% dari dana APBD. Alur pengadaan obat ini dimulai dari merencanakan obat yang

dilakukan oleh unsur seksi farmasi, instalasi farmasi, pemegang program, dan petugas obat

puskesmas. Sesudah direncanakan, obat diadakan dengan cara e-catalogue dan dikirim ke

gudang farmasi kabupaten. Setelah obat tersedia di gudang farmasi kabupaten selanjutnya obat

di distribusikan ke fasilitas kesehatan (Puskesmas) dengan alat distribusinya yaitu LPLPO.

Menurut Hartono (2010), berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa

manajemen alur pengadaan obat yang seharusnya dimulai dari puskesmas membuat usulan

untuk pengadaan obat, tim perencanaan obat kabupaten melakukan cek kebutuhan dengan

melakukan survei lapangan dan memverifikasi, sesudah di verifikasi langsung dibuat draft

untuk di usulkan ke pemda sekaligus pengesahan oleh bupati, pengadaan dengan metode

tender, tim pemeriksa menguji mutu balai POM, seteleh uji selesai langsung di distribusikan

ke gudang dan nantinya akan di distribusikan ke puskesmas.

5.2.3 Penyimpanan Obat

Proses penyimpanan obat merupakan tahapan yang harus dilakukan setelah proses

pengadaan. Menurut Permenkes RI No. 73 Tahun 2016, menyatakan bahwa obat harus

disimpan dalam wadah asli dari pabrik dan dalam hal pengecualian atau darurat dimana
isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis

informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor

batch dan tanggal kadaluwarsa. Dalam penyimpanan juga harus ada dibuat kartu stok. Semua

obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjadi keamanan dan stabilitasnya.

Pada tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lain yang

menyebabkan kontaminasi. Dalam hal sistem penyimpanan obat dilakukan dengan

memperhatikan bentuk sediaan, disusun secara alfabetis serta pengeluaran obat memakai

sistem FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First In First Out).

Tempat penyimpanan obat narkotika dan psikotropika harus mampu menjaga

keamanan, khasiat, dan mutu obat. Tempat penyimpanan obat khusus narkotika dapat berupa

lemari khusus, gudang ataupun ruangan. Lemari khusus ini syaratnya harus terbuat dari bahan

yang kuat, diletakkan di tempat yang aman dalam ruangan khusus di sudut gudang dan tidak

terlihatn oleh umum, serta harus memiliki kunci yang khusus. Apabila tidak memiliki lemari

khusus setidaknya memiliki gudang ataupun ruangan untuk menyimpan khusus obat

narkotika.

Syarat yang harus dimiliki gudang ataupun ruangan khusus ini yaitu gudang tidak boleh

dimasuki orang lain tanpa izin penanggungjawab, dinding harus terbuat dari tembok dan

hanya mempunyai pintu yang dilengkapi dengan pintu jeruji besi dengan 2 buah kunci yang

berbeda, dan langit-langit dan ventilasi harus terbuat dari tembok besi serta harus dilengkapi

dengan kunci agar gudang terjaga keamanannya. (Permenkes RI, 2015)

Dalam hal penyimpanan obat di instalasi farmasi dinas kesehatan kabupaten membuat

kartu stok. Kartu stok obat dibuat setiap 1 jenis obat yang diterima dari proses pengadaan.

Hasil wawancara dan observasi menyatakan bahwa obat disimpan pada 1 gudang farmasi

yang tempatnya terpisah tidak jauh dari dinas kesehatan. Pada proses penyimpanan, obat

disusun berdasarkan bentuk sediaan tetapi tidak secara alfabetis, hanya lebih memperhatikan

sistem FIFO. Dalam penyimpanan obat di instalasi farmasi dinas kesehatan mempunyai 1 unit

gudang. Pada proses penyimpanannya disusun secara alfabetis, sudah memperhatikan

sistem FIFO dan FEFO, disusun berdasarkan bentuk sediaan,sudah memisahkan antara obat

dalam dan obat luar, dan apabila pada rak ada obat yang kosong maka sebagian obat diletakkan

ditempat yang kosong tersebut.


5.2.4 Pendistribusian Obat

Pendistribusian obat merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran obat

dan pengiriman obat-obatan yang bermutu dari instalasi farmasi dalam pemenuhan pesanan

atau permintaan unit-unit pelayanan kesehatan dengan tujuan terlaksananya penyebaran obat

secara merata dan teratur serta dapat diperoleh pada saat dibutuhkan, terjaminnya mutu,

keabsahan obat dan ketepatan, kerasionalan serta efisiensi penggunaan obat. (Permenkes RI

No. 58 Tahun 2014)

Menurut Permenkes RI (2010) menyatakan bahwa pendistribusian obat merupakan

proses untuk penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Sistem

distribusi obat dilakukan pertriwulan oleh pihak dinas kesehatan untuk puskesmas di

wilayah kerjanya dan untuk mempercepat proses sampai obat ke puskesmas harus dibuat jadwal

pengiriman. Obat-obat yang akan didistribusikan harus disertai dengan dokumen penyerahan

atau pengiriman obat- obatan. Sebelum dilakukan pengepakan atas obat-obatan yang akan

dikirim maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kualitas obat, dosis, isi kemasan, serta

kelengkapan dan kebenaran dokumen pengiriman obat. Dan setiap pengeluaran obat dari

gudang farmasi kabupaten harus dicatat pada kartu stok obat dan kartu induk persediaan obat

serta buku harian pengeluaran obat.

Berdasarkan hasil wawancara di instalasi farmasi dinas kesehatan kabupaten Murung

Raya diketahui bahwa jadwal distribusi obat sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan yaitu

, pendistribusian dilakukan 1 bulan sekali untuk puskesmas yang dekat dan setiap 2 bulan sekali

untuk puskesmas yang jauh dimulai dari bulan ganjil, jadi dalam setahun ada sebanyak 12 kali

proses distribusi untuk puskesmas yang dekat dan 6 kali proses distribusi obat untuk puskesmas

yang jauh. Sistem distribusi obat di dinas kesehatan menggunakan sistem p, artinya

pendirtribusian obat setiap periode. Sistem distribusi obat dilakukan oleh pihak Instalasi

Farmasi ke Puskesmas-Puskesmas di wilayah kerjanya.

5.2.5 Penghapusan Obat

Proses penghapusan obat merupakan kegiatan dalam pembebasan obat- obatan milik

kekayaan negara dari pertanggungjawaban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.
Menurut Permenkes RI (2016), menyatakan bahwa obat kadaluwarsa atau rusak

harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluarsa

atau rusak harus disaksikan oleh Kepala Dinas Kesehatan, Apoteker dan tenaga kefarmasian

yang lain serta dilengkapi dengan berita acara pemusnahan obat. Tahapan dalam proses

penghapusan obat yaitu dimulai dari menyusun daftar obat-obatan yang akan dihapus

dilengkapi dengan alasannya. Kemudian melaporkan kepada atasan mengenai barang yang

akan dihapuskan dan membentuk panitian pemeriksaan obat-obatan yang dilengkapi dengan

berita acara. Selanjutnya melaporkan hasil pemeriksaan tersebut kepada pihak yang berwenang

atau pemilik obat-obatan. Ketika sudah ada keputusan dari pihak yang berwenang barulah

dilakukan penghapusan obat-obatan yang kadaluwarsa ataupun rusak.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diketahui bahwa ada beberapa obat

yang kadaluwarsa ataupun rusak setiap tahunnya. Tetapi, obat yang kadaluwarsa ini

hanya dikumpulkan pada satu wadah dan sudah tidak pernah dilakukan penghapusan obat

lagi karena keterbatasan anggaran untuk penghapusan obat.

5.3 Keluaran (Output)

5.3.1 Ketersediaan Obat di Dinas Kesehatan Yang Dibutuhkan Puskesmas.

Output dari penelitian ini adalah mengetahui ketersediaan obat di dinas kesehatan yang

dibutuhkan Puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya dalam

melakukan pelayanan kesehatan tingkat pertama (FKTP).

Proses pengelolaan obat harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila

salah satu proses pengelolaan obat tidak berjalan dengan baik akan mengakibatkan adanya

obat yang tidak tersedia dengan jenis dan jumlah obat, serta diperoleh dalam waktu yang

lama.

Proses pengelolaan obat yang pertama dan paling utama adalah perencanaan obat. Pada

proses perencanaan obat ini harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan.

Ketika tahap perencanaan obat ini sudah terlaksana sesuai dengan ketentuan, maka tahapan

selanjutnya juga akan berjalan dengan baik. Tujuan dari pengelolaan obat ini adalah untuk

mendapatkan jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai dengan kebutuhan, untuk menghindari

kekosongan obat, untuk meningkatkan efisiensi penggunaan obat dan memenuhi kebutuhan

obat sesuai permintaan puskesmas. Dalam melakukan pengelolaan obat di dinas


kesehatan Murung Raya ditemukan kendala dan hambatan seperti data yang dibutuhkan untuk

perencanaan obat tidak lengkap, keterlambatan obat sampai ke dinas kesehatan dalam proses

pengadaan, jumlah obat yang datang tidak sesuai dengan permintaan sehingga dapat

menyebabkan terjadinya kekosongan obat di dinas kesehatan. Kendala yang terjadi ini juga

akan berdampak kepada puskesmas wilayah kerja dinas kesehatan Murung Raya dalam hal

ketersediaan obat yang dibutuhkan puskesmas.

Berdasarkan hasil wawancara dari pihak Puskesmas memberi informasi bahwa

ketersediaan obat-obatan yang diterima Puskesmas masih kurang lengkap dan belum sesuai

dengan permintaan mereka pada LPLPO. Keluhan dari Kepala Puskesmas dan petugas obat

yaitu obat-obatan yang diterima dari pengadaan tidak sesuai lagi dengan LPLPO kebutuhan

Puskesmas, sehingga pihak Puskesmas dalam pengadaan obatnya memberikan obat yang

ekuivalen dengan obat yang dibutuhkan pasien. Kebijakan lain yang dilakukan oleh pihak

puskesmas yaitu menggunakan dana puskesmas untuk menyediakan obat yang tidak

tersedia. Selain itu, alternatif lain yang dilakukan adalah pasien diberi resep dan disarankan

untuk membeli sendiri obat di apotek.

Selain itu, adanya obat yang kadaluwarsa juga menunjukkan bahwa

pengelolaan obat di dinas kesehatan Murung Raya tidak berjalan dengan baik. Obat yang

kadaluarsa ini disebabkan masa ED obat yang hanya diberikan 2 tahun dari waktu produksi.

Idealnya, pada tahap penyimpanan obat di gudang farmasi sudah memperhatikan sistem FIFO

(First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out).

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa obat yang kadaluarsa

dikarenakan masa ED obat yang hanya diberikan 2 tahun dari waktu produksi dan pola penyakit

di puskesmas berubah yang menyebabkan obat menumpuk. Walaupun diketahui ada obat yang

kadaluarsa, perlakuan yang dilakukan terhadap obat yang kadaluarsa ini hanya dikumpulkan

dan diletakkan di tempat terpisah dan sudah tidak pernah dilakukan pemusnahan obat lagi.

Pemusnahan obat tidak pernah dilakukan karena tidak adanya dana yang tersedia dan harus

ada panitia penghapusan obat.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwasannya manajemen

logistik obat di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya belum

sepenuhnya berjalan dengan baik, dapat dilihat dari uraian berikut ini :

1. Sumber daya manusia untuk pengelolaan obat di U P T D . I n s t a l a s i F a r m a s i

Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya dengan latar belakang kefarmasian sebanyak

5 orang dan sudah sering mendapat pelatihan unutuk pengelolaan obat.

2. Dana untuk pengelolaan obat diperoleh dari 10% dana APBD dinas kesehatan dan

berdampak pada adanya obat yang belum sesuai dengan permintaan.

3. Data untuk melakukan pengelolaan obat belum lengkap, yaitu tidak menggunakan

data standar terapi yang mengakibatkan pengelolaan obat tidak berjalan dengan

baik.

4. Proses perencanaan pemilihan jenis obat berdasarkan jenis obat yang ada di e-

catalogue, tetapi tidak sesuai permintaan sehingga menyebabkan obat kosong.

5. Pengadaan obat menggunakan sistem e-purchasing untuk pengadaan 1 tahun dengan

menyerap dana 10% untuk obat.

6. Penyimpanan obat dilakukan di gudang dengaan sistem p dan membuat kartu stok obat

setiap item obat.

7. Pendistribusian obat ke puskesmas dilakukan secara periodik dengan petugas Instalasi

Farmasi yang mendistribusikan / mengantar langsung obat ke puskesmas.

8. Penghapusan terhadap obat yang kadaluwarsa ataupun rusak sudah pernah

dilakukan m a s a E D o b a t y a n g h a n y a d i b e r i k a n 2 t a h u n d a r i

w a k t u p r o d u k s i dikarenakan tidak ada terbentuk panitia penilai dan panitia

penghapus dan terkendala oleh tidak adanya anggaran khusus untuk penghapusan obat.

9. Ketersediaan obat di Puskesmas tidak sesuai dengan permintaan, dikarenakan

banyaknya obat yang kosong.

6.2 Saran

1. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan untuk memberikan pelatihan kepada

pengelola obat puskesmas agar kemampuannya mengenai pengelolaan obat mengalami

peningkatan..
2. Dinas Kesehatan perlu membentuk tim perencana obat terpadu dalam perencanaan

obat.

3. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya untuk melengkapi

sarana untuk penyimpanan obat.

4. Diharapkan kepada dinas kesehatan untuk melakukan distribusi obat ke puskesmas.

5. Diharapkan kepada dinas kesehatan membentuk panitia penilai dan penghapusan

obat dalam rangka melakukan penghapusan obat.

6. Diharapkan bagi Puskesmas mencantumkan penggunaan riel sesungguhnya

dalam merencanakan obat.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 2005. Manajemen Farmasi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Depkes RI, 1990. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Obat.


, 2003. Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

di Puskesmas. Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Diah, Prihatiningsih. 2012. Gambaran Sistem Penyimpanan Obat di Gudang farmasi

Kab/Kota. Depok : FKM UI.

Dinas Kesehatan Kota Murung Raya. 2018. Profil Dinas Kesehatan Kota Murung

Raya Tahun 2018. Murung Raya : Dinas Kesehatan Kota Murung Raya.

Febriawati, H., 2013. Manajemen Logistik Farmasi Rumah Sakit, Yogyakarta : Gosyen

Publishing.

Hartono J.P., 2007. Analisis Proses Perencanaan Kebutuhan Obat Publik Untuk

Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) Di Puskesmas Se-Wilayah Kerja Dinas Kesehatan

Kota Tasikmalaya. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Semarang : Universitas

Diponegoro.

Hasibuan, Malayu S.P., Manajemen Sumber Daya Manusia : Dasar dan Kunci

Keberhasilan, Edisi Revisi Cetakan ke-8 . Jakarta : PT Bumi Aksara, 2009.

Herman, M.J. Handayani, R.S. (2010). Eksistensi Unit Pengelola Obat di Beberapa

Kabupaten/Kota Suatu Analisis Paska Desentralisasi. Badan Litbang Depkes RI. Vol 12.

Infarkes, 2014. Tata Laksana Pelayanan Obat Dalam Program JKN. Dirjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Buletin. Edisi I Pebruari 2014.

Kemenkes RI, Nomor 633/MENKES/SK/IV/2012 tentang Pembentukan Gudang

Perbekalan Kesehatan di Bidang Farmasi di Kabupaten/Kota.

, Nomor 1121/MENKES/SK/V/2013 tentang Pedoman Teknis

Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan

Dasar.

, Nomor 159/MENKES/SK/V/2014 tentang Formularium Nasional.

, Tahun 2015. Laporan Akuntabilitas Kinerja. Dirjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Kepmenkes RI, Nomor 81/MENKES/SK/1/2014 tentang Pedoman Penyusunan

Perencanaan SDM di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota.

Perbup, Nomor 2233 Tahun 2016 tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Dinas

Kesehatan Murung Raya


Permenkes RI, Nomor. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan

Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.

, Nomor 16 Tahun 2013 tentang Industri Farmasi.

, Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.

, Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotik.

, Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Rumah Sakit.

, Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat

(Puskesmas).

, Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,

Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Farmasi.

, Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek.

Perpres RI, Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah.

Rosmania, F.A. Supriyanto, S. (2015). Analisis Pengelolaan Obat Sebagai Dasar

Pengendalian Safety Stock Pada Stagnant Dan Stockout Obat. Jurusan Ilmu Kesehatan

Masyarakat Airlangga. Vol 3 (1).

Rumbay, I.N. Kandou, G.D. Soleman, T. (2015). Analisis Perencanaan Obat di Dinas

Kesehatan Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat

Sam Ratulangi Manado. Vol 5 (2b).

Sabarguna, B. S., 2009. Buku Pegangan Mahasiswa Manajemen Rumah Sakit, Jakarta :

Sagung Seto.

Sekula, Andrew F. Personnel, Administration, and Human Resources

Management. Canada, A. Wiley Trans-Edition., 2010

Sugiyono, 2015. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung : Alfabeta. Syamsuni., 2005.

Farmasi Dasar dan Hitungan Farmasi, Jakarta : ECG.


Terry, G. R., Principle og Management, 7th Ed., Homewood Illnois, Richard D.Irwin Inc.,

2009.

Tunggal, A. W., 2010. Global Supply Chain Management, Jakarta : Harvarindo. Undang

undang RI, Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

, Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai