Anda di halaman 1dari 23

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

EPISTAKSIS

Oleh:

Cristian Bungin 1910017071

Pembimbing:
dr. Muchammad Buchori, M.Sc, Sp.A

LABORATORIUM / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Juni 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat mengenai
“Epistaksis”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Muchammad
Buchori, M.Sc, Sp.A selaku dosen pembimbing klinik yang telah memberikan
banyak bimbingan, perbaikan dan saran penulis sehingga referat ini dapat
diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari masih terdapat banyak
ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan
saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat
ini menjadi ilmu bermanfaat bagi para pembaca

Samarinda, Juni 2020


Penulis,

Cristian Bungin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Tujuan........................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3

2.1 Definisi......................................................................................................3

2.2 Etiologi......................................................................................................3

2.3 Epidemiologi.............................................................................................8

2.4 Patofisiologi...............................................................................................8

2.5 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan.........................................................10

2.5.1 Anamnesis........................................................................................10

2.5.2 Pemeriksaan Fisik............................................................................11

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang...................................................................11

2.6 Penatalaksanaan Epistaksis pada Anak...................................................15

2.6.1 Manajemen bedah............................................................................17

BAB 3 PENUTUP.................................................................................................19

3.1 Kesimpulan..............................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian
lebih dari biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting
terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kaya dengan
pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi
rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut
pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-
cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri
sphenopalatina. Jika pembuluh darah ini pecah, maka akan menimbulkan
perdarahan yang disebut dengan epistaksis.
Epistaksis atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang
keluar melalui lubang hidung. Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung;
merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit. Perdarahan dari hidung
dapat merupakan gejala yang cukup mengganggu, dan dapat pula mengancam
nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis
secara efektif.. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam
keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong
Perdarahan ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik dan
sumber perdarahan yang paling sering adalah dari pleksus Kiesselbach. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90
% dapat berhenti sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia kurang dari 10
tahun dan di atas 50 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma,kelainan anatomi,kelainan pembuluh darah,infeksi lokal, benda
asing,tumor,pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti
penyakit kardiovaskuler,kelainan darah,infeksi sistemik, perubahan tekanan
atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

1
Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa
juga sedikit dan berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu
memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali.
Pengobatan yang tepat pada kasus epistaksis adalah dilakukan penekanan pada
pembuluh darah yang berdarah. Hampir 90% kasus epistaksis anterior dapat
diatasi dengan tekanan yang kuat dan terus menerus pada kedua sisi hidung tepat
diatas kartilago ala nasi. Bila hal ini tidak berhasil maka diperlukan tindakan-
tindakan lain yang perlu dan dapat dilakukan. Sangat penting penetalksanaan yang
tepat pada kasusu epistaksis agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan kematian.
Karena itu akan kita bahas mengenai epistaksis pada makalah ini.

1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui epistaksis dan
terutama mengenai diagnosis dan penanganannya pada anak.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epistaksis atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang
keluar melalui lubang hidung. Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung;
merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit. Epistaksis banyak dijumpai
sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis jarang mengancam
nyawa tetapi dapat menyebabkan kekhawatiran, terutama di antara orang tua
kepada anak kecilnya. Sekitar 90% epistaksis adalah ringan dan dapat berhenti
sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, dan terjadi secara spontan, tapi ada
beberapa yang terjadi berulang. Epistaksis yang berat jarang ditemukan namun
merupakan masalah kedaruratan medis yang dapat berakibat fatal bila tidak segera
ditangani. Sebagian besar penyebab epistaksis tidak dapat diketahui, tapi
seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain (Nizar &
Mangunkusumo, 2003).

2.2 Etiologi
Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi kelainan lokal (trauma, iritasi
mukosa, obat-obatan, kelainan septum, peradangan, tumor, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, dan pengaruh udara
lingkungan), kelainan sistemik (kelainan darah, penyakit kardiovaskuler,
kelainan kongenital, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, dan
kelainan hormonal), dan idiopatik. Penyebab tersering adalah trauma lokal,
diikuti oleh trauma fasial, benda asing, infeksi nasal atau sinus, dan inhalasi
udara kering yang berkepanjangan. Anak kecil biasanya mengalami epistaksis
karena iritasi lokal atau infeksi saluran nafas atas.

1. Trauma
Trauma yang disebabkan diri sendiri karena mengorek
hidung terus-menerus dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan
septum anterior. Skenario ini sering terjadi pada anak kecil. Benda
asing di rongga hidung (nasogastric tube dan nasotracheal tube)
dapat juga menyebabkan epistaksis walaupun jarang. Trauma

3
ringan dapat juga disebabkan karena benturan ringan, bersin, atau
mengeluarkan ingus terlalu keras. Trauma akut fasial dan nasal
sering menyebabkan epistaksis. Pendarahan yang berasal dari
laserasi minor pada mukosa biasanya terbatas. Namun, trauma
fasial yang lebih luas atau berat (kena pukul, jatuh, kecelakaan lalu
lintas) dapat menyebabkan pendarahan berat yang memerlukan
tampon nasal. Pada pasien tersebut, epistaksis tertunda dapat
menandakan adanya aneurisma traumatik.
Trauma nasal dapat terjadi karena benda asing yang tajam
atau trauma pembedahan, oleh karena itu pasien yang akan
menjalankan operasi nasal perlu diingatkan potensi terjadinya
epistaksis. Pendarahan pada trauma nasal dapat berkisar dari ringan
(karena laserasi mukosa) hingga berat (karena transeksi pembuluh
darah besar). Spina septum yang tajam dapat juga menyebabkan
epistaksis, pendarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau
pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang
membengkak (Nizar & Mangunkusumo, 2003).

2. Udara Kering
Kelembapan udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa, oleh karena itu epistaksis lebih lazim pada iklim kering
dan saat cuaca dingin dimana sistem pemanas rumah akan
menyebabkan dehumidifikasi mukosa nasal (Nizar &
Mangunkusumo, 2003).

3. Obat-obatan
Obat-obatan nasal topikal seperti anti-histamin dan
kortikosteroid dapat menyebabkan iritasi mukosa, terutama ketika
digunakan langsung ke septum nasal daripada dinding lateral
sehingga dapat menyebabkan epistaksis. Obat-obatan seperti
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), terutama aspirin
juga sering terlibat karena aspirin menyebabkan asetilasi dari

4
enzim cylooxygenase secara ireversibel sehingga berdampak pada
gangguan agregasi platelet (Hilger, 2016).

4. Kelainan Septum
Deviasi dan taji septum nasi dapat mengganggu aliran
udara nasal sehingga menyebabkan kekeringan dan epistaksis.
Lokasi pendarahan biasanya terletak di depan taji pada sebagian
besar pasien. Ujung dari perforasi septum sering mengandung
permukaan keras dan menjadi sumber epistaksis (Schlosser, 2013)

5. Inflamasi / Infeksi Lokal


Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi dapat menyebabkan
inflamasi mukosa sehingga terjadi epistaksis. Pendarahan pada
kasus ini biasanya ringan dan sering muncul sebagai bercak darah
pada sekret nasal. Penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis,
granulomatosis Wegener, tuberkulosis, sifilis, dan rinoskleroma
sering menyebabkan mukosa menjadi kering dan rapuh sehingga
menjadi penyebab epistaksis berulang. Bayi dengan
gastroesophageal reflux (GERD) ke hidung dapat mengalami
epistaksis karena inflamasi (Hilger, 2016).

6. Tumor
Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi epistaksis.
Pasien yang terkena dapat juga mengalami tanda dan gejala
sumbatan nasal dan rhinosinusitis, seringnya unilateral. Epistaksis
berat dapat timbul pada hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma.
Rabdomiosarkoma intranasal, walaupun jarang, sering mulai di
nasal, orbital, atau area sinus pada anak kecil. Angiofibroma nasal
juvenilis pada remaja laki-laki dapat menyebabkan epistaksis berat
sebagai gejala awalnya (Record, 2015).

7. Kelainan darah
Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu
dengan riwayat keluarga positif, mudah lebam, atau pendarahan

5
yang lama dari trauma ringan atau pembedahan. Contoh kelainan
pendarahan kongenital adalah hemofilia dan penyakit von
Willebrand.

Koagulopati yang didapat bisa primer (karena penyakit)


atau sekunder (karena perawatannya). Koagulopati didapat yang
sering adalah trombositopenia dan penyakit liver yang disertai
pengurangan signifikan dari faktor-faktor pembekuan darah.
Walaupun tanpa penyakit liver, peminum alkohol sering
berhubungan dengan koagulopati dan epistaksis. Obat antikoagulan
oral juga menjadi faktor resiko epistaksis (Record, 2015)

8. Kelainan pembuluh darah


Pembuluh darah yang arteriosklerotik dipertimbangkan
sebagai penyebab prevalensi epistaksis yang tinggi pada orang usia
lanjut. Hereditary hemorrhagic telangiectasia (HHT; Osler-
Weber-Rendu Syndrome) adalah penyakit autosomal dominan yang
berhubungan dengan pendarahan berulang dari anomali pembuluh
darah. kondisi ini dapat berdampak pada pembuluh darah mulai
dari kapiler hingga arteri sehingga menyebabkan pembentukan
telangiektasia dan malformasi arteri-vena. Pemeriksaan patologi
dari lesi ini mengungkapkan kurangnya elastisitas atau jaringan
muskular pada dinding pembuluh darah, sehingga pendarahan
dapat terjadi dengan mudah dari trauma ringan dan cenderung tidak
berhenti spontan. Berbagai sistem organ seperti pernafasan,
gastrointestinal, dan alat kelamin-saluran kencing dapat terlibat.
Derajat keparahan epistaksis pada individual tersebut beragam tapi
hampir semuanya berulang. Kelainan pembuluh darah lainnya yang
memiliki faktor resiko epistaksis adalah neoplasma pembuluh
darah, aneurisma, nefritis kronis, sirosis hepatis, diabetes mellitus,
dan endometriosis (Record, 2015).

6
9. Migrain
Anak kecil dengan migrain memiliki angka kejadian yang
lebih tinggi untuk epistaksis berulang daripada yang tanpa migrain.
Pleksus Kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem
trigeminovaskular, telah terlibat dalam patogenesis migrain
(Nguyen, 2020).
10. Hipertensi

Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering


disalahpahami. Pasien dengan epistaksis sering muncul dengan
tekanan darah yang tinggi. Epistaksis lebih sering pada pasien
hipertensi, yang mungkin dikarenakan kerapuhan vaskular karena
penyakitnya yang kronis.
Hipertensi walaupun demikian, jarang menjadi penyebab
langsung epistaksis. Umumnya, epistaksis disertai kegelisahan
menyebabkan peningkatan akut tekanan darah. Penanganannya,
oleh karena itu, harus difokuskan pada pengendalian pendarahan
dan mengurangi kegelisahan yang ditujukan untuk menurunkan
tekanan darah. Batuk berlebihan yang menyebabkan hipertensi
vena nasal dapat diperhatikan pada pertusis atau cystic fibrosis
(Nguyen, 2020).

11. Infeksi Sistemik


Demam berdarah sering menyebabkan epistaksis, penyakit
lainnya adalah demam tifoid, influensa, dan morbili (Nguyen,
2020)

12. Gangguan hormonal


Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause
karena pengaruh perubahan hormonal (Nguyen, 2020)

13. Idiopatik

7
Penyebab epistaksis tidak selalu langsung dapat dikenali.
Sekitar 10% pasien epistaksis tidak dapat diketahui penyebabnya
walaupun setelah dilakukan evaluasi lengkap (Nguyen, 2020).

2.3 Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar kejadiannya
sembuh dengan perawatan oleh diri sendiri sehingga tidak terlaporkan. Tetapi,
ketika beberapa sumber ditinjau, angka kejadian epistaksis dalam populasi umum
sekitar 60%, dengan kurang dari 10% yang mencari pertolongan medis. Distribusi
umur bersifat bimodal, dengan puncak pada anak kecil (2-10 tahun) dan individu
usia lanjut (50-80 tahun). Epistaksis jarang pada bayi yang tanpa penyakit
koagulopati atau patologi nasal (atresia koanal, neoplasma). Trauma lokal
(mengorek hidung) tidak terjadi hingga nanti pada usia balita. Anak yang lebih tua
dan remaja juga memiliki angka kejadian yang rendah. Harus dipikirkan
penggunaan kokain pada anak remaja. Prevalensi epistaksis cenderung lebih
tinggi pada laki-laki (58%) daripada wanita (42%) (Hilger, 2016).

2.4 Patofisiologi
Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai
bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis
eksterna dan cabang-cabang utamanya (Nguyen, 2020)
Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding
hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini
saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di
sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian
anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus Kiesselbach. Karena
ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma fisik
dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering (Nizar
& Mangunkusumo, 2003)

8
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.
1. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga
berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana
(Nguyen, 2020).

Gambar 2.1. Epistaksis anterior

2. Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri


ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang
berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi
dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular (Nguyen, 2020).

9
Gambar 2.2. Epistaksis posterior
Pendarahan biasanya terjadi ketika mukosa ter-erosi dan pembuluh darah
menjadi terpajan kemudian pecah. Lebih dari 90% pendarahan terjadi di
daerah anterior dan berasal dari area Little dimana terbentuk pleksus
Kiesselbach di septum. Pleksus Kiesselbach adalah dimana pembuluh dari
Arteri karotis interna (Arteri etmoidalis anterior dan posterior) dan eksterna
(cabang Arteri maksilaris interna) berkumpul. Pendarahan kapiler atau vena
tersebut mengalir secara perlahan walaupun pemompaan darah yang besar
pada arteri asalnya. Pendarahan anterior dapat juga berasal dari konka inferior
bagian depan (Nizar & Mangunkusumo, 2003)
Pendarahan posterior terjadi lebih jauh di belakang rongga hidung,
biasanya terjadi lebih berat dan sering berasal dari arteri (contoh: cabang
Arteri sfenopalatina di rongga hidung posterior atau nasofaring). Sumber
posterior mendatangkan resiko yang lebih tinggi akan terjadinya sumbatan
jalan nafas, aspirasi darah, dan kesulitan mengendalikan pendarahan (Nizar &
Mangunkusumo, 2003).

2.5 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan

2.5.1 Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Pada
anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan,
frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya.
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh
mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat
pengeringan mukosa hidung berlebihan (Nguyen, 2020)
Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang
berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan
juga megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan

10
perdarahan misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat
perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan
obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta
kebiasaan merokok dan minum-minuman keras (Hilger, 2016)

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
speculum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain
kassa. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung (Svider, Arianpour, &
Mutchnick, 2018)
Spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua
kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku;
sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari
tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan,
dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan
pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke
dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10
sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi (Record,
2015)

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan
pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
1. Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur
dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum
nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa
dengan cermat.

11
Gambar 2.3. Rinoskopi Anterior

2. Rinoskopi posterior : Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi


posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret
hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

Gambar 2.4. Rinoskopi Posterior

3. Pengukuran tekanan darah : Tekanan darah perlu diukur untuk


menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat
menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang (Nguyen,
2020)

4. Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI : Rontgen sinus dan CT-Scan
atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi (Nguyen, 2020)

12
Gambar 2.5 . Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor dengan masa
tumor dan epistaksis dan Gambaran angiogram angiofibroma juvenil dengan
obstruksi hidung dan epistaksis

5. Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan


penyakit lainnya (Lubis & Saragih, 2016)

Gambar 2.6. Tampilan endoskopi epistaksis posterior

6. Skrining terhadap koagulopati : tes yang bisa dilakukan yaitu waktu


protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan
waktu perdarahan (Lubis & Saragih, 2016).

13
Gambar 2.7 Hasil skrining perdarahan dengan kemungkinan diagnosis

Gambar 2.8. Alur diagnosis dan tatalaksana pada epistaksis

14
2.6 Penatalaksanaan Epistaksis pada Anak
Mayoritas epistaksis pada anak-anak berasal dari septum kaudal anterior
sehingga perdarahan vena akan sering berhenti dengan cubitan lubang hidung
dalam posisi tegak. Darah segar dan gumpalan harus diangkat dengan pengisapan.
Vasokonstriktor, pengemasan, dan kauterisasi topikal akan menghentikan
perdarahan secara efektif pada 85% kasus. Seringkali sulit untuk menemukan
sumber perdarahan dan ada sedikit peningkatan dalam pengacakan acak pleksus
Kiesselbach pada septum hidung. Kauterisasi secara kimia dan diatermi telah
terbukti sama efektifnya dan epistaksis idiopatik tanpa komplikasi dapat berhasil
dikelola dengan aplikasi topikal mupirocin (Bactroban), asam fusidic (Fucidin)
atau neomycin (Naseptin) selama 30 hari. Estrogen sistemik dan topikal
dicadangkan untuk pengelolaan telangiektasis hemoragik herediter dan tidak
boleh digunakan secara rutin dalam manajemen epistaksis umum. Diatermi
dengan anestesi lokal dapat menjadi pengalaman traumatis bagi seorang anak dan
umumnya tidak dianjurkan, setidaknya tidak tanpa sedasi. Diatermi simultan dari
kedua sisi septum hidung tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan perforasi
septum. Karena epistaksis posterior jarang terjadi, jarang diperlukan untuk
menggunakan tamponade balon pada anak-anak, meskipun kemudahan insersi
relatif menjadikannya berguna. Setiap pasien yang menerima paket posterior
harus dirawat di rumah sakit. Pengepakan posterior dibiarkan di hidung selama 2 -
3 hari, terus menerus mengurangi volume balon untuk menghindari nekrosis
jaringan lokal (Jacques, 2003).
Hal yang paling penting adalah memiliki perlengkapan yang memadai
untuk mengelola epistaksis secara efektif dan dengan percaya diri, dan hal-hal
berikut akan terbukti bermanfaat (dapat dilihat pada gambar ): Headlamp,
lidokain 2%, sarung tangan, gaun, topeng, kateter Foley ukuran 14F, peralatan
hisap, gel K-Y, pengisap McGill, elastoplast (lebar 25 mm), spekulum hidung,
jarum suntik 5 ml spatel lidah, bismuth iodoform paraffin paste (BIPP), forceps
Tilley/ forceps bayonet, kasa pita 20 mm, kapas, merocel, kasa, tampon balon,
gunting, dan bengkok (Jacques, 2003)

15
Gambar 2.9. Alat yang digunakan untuk melakukan tampon
Cara memasang tampon adalah sebagai berikut
1. Hisap hidung.
2. Lepaskan ujung kateter Foley ke balon, karena mengiritasi
tenggorokan.
3. Majukan kateter Foley melalui saluran hidung yang berdarah, hingga
terlihat di orofaring.
4. Isi balon dengan 4 ml air, dan tarik ke nasofaring.
5. Masukkan pita BIPP / Vaseline berlapis-lapis dalam saluran hidung di
sekitar kateter.
6. Sambil mempertahankan sedikit daya tarik pada kateter, bungkus
Elastoplast 25 mm di sekitar kateter di lubang hidung untuk membuat
sumbat (Record, 2015).

Penggunaan bersamaan dari terapi laser atau diatermi dengan endoskopi,


telah meningkatkan manajemen epistaksis. Intervensi bedah (ligasi arteri, reseksi
submukosa) dan embolisasi dicadangkan sebagai upaya terakhir dan jarang
diperlukan pada anak-anak.
Pasien dengan kondisi berikut memerlukan rujukan ke spesialis THT:
1. Epistaksis berulang dan bermasalah
2. Epistaksis yang tidak terkendali

16
3. Epistaksis posterior
a. Hemotimpanum
b. Perdarahan pada nasofaring/mulut
4. Penyebab yang dapat diidentifikasi membutuhkan manajemen spesialis
a. Trauma wajah
b. Polip
c. Tumor (Record, 2015)

2.6.1 Manajemen bedah


Secara historis, manajemen bedah epistaksis telah melibatkan beberapa
pendekatan, termasuk yang memerlukan sayatan sublabial (gingiva atas) untuk
mendekati arteri maksila internal dan sayatan wajah untuk mendekati arteri
ethmoidal. Dengan penyempurnaan teknologi endoskopi, kontrol transnasal
minimal epistaksis semakin banyak dilakukan dan sekarang dianggap secara
teratur dalam kondisi yang parah dan berulang.
Ligasi endoskopi arteri sfenopalatina transnasal (transnasal endoscopic
sphenopalatine artery ligation; TESPAL) secara rutin dilakukan di banyak
institusi, dan epistaksis yang berasal dari sumber lain (termasuk arteri etmoidal)
dapat ditangani secara endoskopi. Meskipun prosedur ini dapat dilakukan dengan
anestesi lokal dan sedasi, perdarahan yang signifikan banyak pasien sudah
mengalami memerlukan anestesi umum dan intubasi untuk perlindungan jalan
napas. Prosedur ini tidak melibatkan sayatan eksternal, dapat dilakukan secara
rawat jalan, dan tidak menimbulkan rasa sakit yang cukup besar. Ada banyak
penelitian yang menunjukkan analgesia pasca operasi yang memadai
menggunakan obat nonopioid pada pasien yang menjalani prosedur sinonasal
endoskopi epistaksis (Koputan, Apan, Öz, & Küse, 2012; Sanders & Dawes,
2016)
Selain utilitas dalam epistaksis yang sangat parah atau berulang, beberapa
pusat telah mengeksplorasi kontrol epistaksis endoskopi untuk meminimalkan
morbiditas dan ketidaknyamanan yang terkait dengan kemasan hidung. Dokter di
Universitas Pittsburgh mengeksplorasi penerapan jalur perawatan klinis
menggunakan TESPAL untuk epistaksis yang tidak dikendalikan dengan tindakan
konservatif dan pengemasan anterior. Penerapan algoritma ini mengurangi biaya,

17
lama tinggal, dan berhari-hari pengemasan (Sylvester et al., 2017). Analisis
keefektifan biaya lainnya telah menunjukkan TESPAL adalah terapi lini pertama
yang hemat biaya untuk pasien dengan epistaksis posterior (yaitu, episode yang
tidak dikontrol dengan pengemasan anterior yang sederhana). Analisis dan
algoritme efektivitas biaya yang mengeksplorasi penggunaan manajemen bedah
invasif minimal ini telah dipelajari pada orang dewasa, dan eksplorasi lebih lanjut
penggunaannya secara eksklusif pada anak-anak dan remaja diperlukan. Selain
itu, ada kontroversi tentang apakah paparan anestesi umum memiliki dampak
jangka panjang pada perkembangan neurokognitif pada anak-anak, dan risiko
potensial ini harus dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.
Adapun indikasi untuk operasi adalah sebagai berikut:
1. Kegagalan manajemen medis setelah 48 jam
2. Penolakan pasien terhadap manajemen medis
3. Kebutuhan akan transfusi darah (Svider et al., 2018).

18
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Epistaksis sering dijumpai pada anak dan angka kejadian epistaksis
menurun setelah pubertas. Epistaksis atau perdarahan dari hidung, dijumpai pada
60% dari populasi umum, insiden terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan
lebih dari 50 tahun. Seringkali seorang anak dibawa berobat ke Unit Rawat Jalan
dengan keluhan perdarahan dari hidung yang berulang. Tidak bergantung pada
tingkat keparahan perdarahan, hal ini selalu menimbulkan kecemasan pada orang
tua.
Berdasarkan atas daerah asal perdarahan epistaksis dibagi atas dua
kategori, yaitu epistaksis anterior dan posterior. Daerah asal perdarahan yang
paling sering adalah pleksus Kiesselbach, yaitu daerah septum anterior tempat
pembuluh darah yang berasal dari arteri karotid internal dan karotid eksternal
bertemu. Daerah ini memiliki mukosa tipis sehingga rentan terhadap paparan
udara dan trauma. Diagnosis dan penanganan epistaksis bergantung pada lokasi
dan penyebab perdarahan. Kebanyakan kasus epistaksis (80%-90%) merupakan
idiopatik.Epistaksis idiopatik berulang adalah perdarahan dari hidung dan
berulang, self limiting, yang penyebab spesifik tidak diketahui. Tidak ada konsensus
tentang frekuensi atau keparahan rekurensi. Penyebab epistaksis dapat berupa
penyebab lokal maupun sistemik. Penyebab lokal termasuk epistaksis idiopatik,
trauma, inflamasi, neoplasia, vaskular, iatrogenik, kelainan struktural, dan obat-
obatan seperti semprot hidung. Penyebab sistemik berupa kelainan hematologi,
lingkungan (temperatur, kelembaban dan ketinggian), obat-obatan (contoh
antikoagulan), gagal organ (uremia dan gagal hati), serta penyebab lain misalnya
hipertensi. Penatalaksanaan pada epistaksis meliputi penatalaksanaan tanpa bedah
dan penatalaksanaan dengan pembedahan.

19
DAFTAR PUSTAKA
Hilger, P. A. (2016). Penyakit Hidung. In H. Effendi (Ed.), Boeis: Buku Ajar Ilmu
Penyakit THT (6th ed., pp. 224–235). Jakarta: EGC.
Jacques, V. (2003). Epistaxis in children: approach and management. Soins.
Pédiatrie, Puériculture, (254), 43–44. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24172703
Koputan, M. H., Apan, A., Öz, G., & Küse, E. A. (2012). The effects of tramadol
and levobupivacaine infltration on postoperative analgesia in functional
endoscopic sinus surgery and septorhinoplasty. Balkan Medical Journal,
29(4), 391–394. https://doi.org/10.5152/balkanmedj.2012.027
Lubis, B., & Saragih, R. A. C. (2016). Tata Laksana Epistaksis Berulang pada
Anak. Sari Pediatri, 9(2), 75. https://doi.org/10.14238/sp9.2.2007.75-9
Nguyen, Q. A. (2020). Epistaxis. Retrieved June 26, 2020, from Medscape
website: https://emedicine.medscape.com/article/863220-overview#a5
Nizar, N. W., & Mangunkusumo, E. (2003). Epistaksis. In E. A. Soepardi & N.
Iskandar (Eds.), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher (5th ed., pp. 125–129). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Record, S. (2015). Practice Guideline: Epistaxis in Children. Journal of Pediatric
Health Care, 29(5), 484–488. https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2015.06.002
Sanders, J. G., & Dawes, P. J. D. (2016). Gabapentin for Perioperative Analgesia
in Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery: Systematic Review.
Otolaryngology - Head and Neck Surgery (United States), 155(6), 893–903.
https://doi.org/10.1177/0194599816659042
Schlosser, R. J. (2013). Epistaxis. 784–789.
Svider, P., Arianpour, K., & Mutchnick, S. (2018). Management of Epistaxis in
Children and Adolescents: Avoiding a Chaotic Approach. Pediatric Clinics
of North America, 65(3), 607–621. https://doi.org/10.1016/j.pcl.2018.02.007
Sylvester, M. J., Chung, S. Y., Guinand, L. A., Govindan, A., Baredes, S., &
Eloy, J. A. (2017). Arterial ligation versus embolization in epistaxis
management: Counterintuitive national trends. Laryngoscope, 127(5), 1017–
1020. https://doi.org/10.1002/lary.26452

20

Anda mungkin juga menyukai