Anda di halaman 1dari 4

Nama : Putri Rieka Fitri Hayati

Kelas : 2 KA

Npm : 061930400570

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia

Tanggal : 26 Juni 2020

TRISILA, EKASILA, QUO VADIS PANCASILA ?

Paragraf Pembuka (pernyataan umum) :

ADA yang coba mengutak-atik Pancasila menjadi Trisila dan akhirnya Ekasila:
Gotong-royong! Quo vadis (mau dibawa ke mana) Pancasila?

Pertanyaan ini perlu dilontarkan kepada wakil-wakil rakyat di Senayan, dan juga
kepada pemerintah yang sedang bersiap untuk membahas Rancangan Undang-undang
Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Paragraf pembuka (pernyataan tesis) :

Pada 12 mei 2020 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan RUU HIP ini
sebagai usul inisiatif mereka. RUU ini segera dibahas bersama pemerintah untuk kemudian
disahkan menjadi undang-undang.

Namun, suara-suara penolakan ramai digaungkan atas RUU yang dikhawatirkan akan
membangkitkan komunisme ini.

Paragraf Tubuh I :

Apa saja indikasi kebangkitan komunisme tersebut? Pertama, ketetapan MPRS No


XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI),
Pernytaan Sebagai Organisasi Terlarang di Sekuruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi
PKI, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau
ajaran komunisme-Marxisme-Leninisme, tidak dijadikan konsideran atau rujukan dalam
penyusunan RUU HIP ini.

Kedua, ada dugaan “pemerasan” sila-sila dalam pancasila menjadi Trisila (tiga sila)
bahkan akhirnya Ekasila (satu sila), yakni gotong-royong yang sering dikonotasikan dengan
paham dan ideologi sosialisme dan komunisme.

Ketiga, RUU HIP akan menimbulkan keracunan dalam sistem ketatanegaraan kita.
Bagaimana bisa Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang
keberadaannya termaktub di dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 diatur di
dalam UU? Ini dapat mendegradasi ekistensi Pancasila.

Pargaraf Tubuh II :

Lalu, apa itu Trisila? Ialah SosioNasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan ketuhanan yang
Berkebudayaan. Adapun Ekasila adalah Gotong-royong.

Dugaan “pemerasan” Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila ini berpotensi


melanggar Pancasila. Sebab, Pancasila merupakan “state fundamental norm” atau norma
dasar negara.

Bila kita bicara Pancasila, maka sila pertama dan utama dari Pancasila adalah
“ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan adanya sila pertama inilah Indonesia benar-benar
menjadi berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Di negeri kita ini segala sesuatu yang
menyangkut nilai-nilai kemanusiaan, persatuan dan kesatuan serta demokrasi dan keadilan
sosial, semua harus dijiwai oleh sila pertama Pancasila.

Pancasila melindungi hak asasi manusia (HAM), termasuk hak memeluk agama. Sila
pertama, “ketuhanan Yang Maha Esa” mewujud bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang beragama, dimana agama juga memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia
sebagai makhluk Tuhan.

Memeluk agama dan menganut kepercayaan adalah wujud pengakuan adanya


Tuhan, sebagaimana termaktub di dalam sila pertama Pancasila, dan hal itu diakui sebagai
kemerdekaan tiap-tiap penduduk, pengakuan mana kemudian tertuang di dalam pasal 29
ayat (2) UUD 1945.

Paragraf Tubuh III :

Dalam RUU HIP, ada indikasi prinsip-prinsip tersebut hendak dikesampingkan atau
bahkan dihilangkan, sehingga begitu RUU ini kelak disahkan menjadi UU maka negeri ini
akan berubah dari negara yang menghormati dan menjunjung tinggi agama menjadi negara
sekuler yang tidak lagi membawa-bawa agama dan Tuhan ke dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.

Maka, suara-suara penolakan pun digaungkan. Penolakan itu datang dari antara lain
para purnawirawan TNI/Polri, dan teranyar dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui
Maklumat Pimpinan Pusat MUI No Kep-1240/DM-MUI/VI/2020 tertanggal 12 Juni 2020.

Para purnawirawan yang antara lain diwakili Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden RI
dan mantan Panglima ABRI, serta Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI)
Saiful Sulun menilai RUU HIP akan menimbulkan “over lapping” atau tumpang-tindih serta
kekacauan dalam sistem ketatanegaraan maupun pemerintahan di Indonesia.

Memang, bila ideologi Pancasila sebagai landasan pembentukan UUD kemudian


diatur di dalam undang-undang maka itu adalah sebuah kekeliruan.
Adapun penolakan MUI disuarakan karena RUU HIP telah mendistorsi substansi dan
makna nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945
dan batang tubuhnya.

Menurut MUI, Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya telah memadai sebagai
tafsir dan penjabaran paling otoritatif dari Pancasila. Adanya tafsir baru dalam bentuk RUU
HIP justru akan mendegradasi eksistensi Pancasila.

MUI berpandangan RUU HIP akan “memeras” Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi
Ekasila yakni gotong-royong, yang nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan
penyimpangan makna dari Pancasila. Hal itu secara terselubung ingin melumpuhkan
keberadaan sila pertama Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang telah
dikukuhkan para founding fathers kita dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.

RUU HIP juga menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keberadaan Pembukaan UUD 1945
dan batang tubuhnya sebagai dasar negara sehingga bermakna pula sebagai pembubaran
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan pada lima sila dalam Pancasila
tersebut.

Para purnawirawan TNI/Polri adalah representasi generasi pejuang yang masih


memegang erat nasionalisme. MUI adalah representasi dari para ulama yang religius dan
banyak pengikutnya di masyarakat. Para ulama dulu juga berada di garda terdepan dalam
perjuangan mengusir penjajah. Kini, bila kaum nasionalis dan religius sudah bersuara sama
menolak RUU HIP, lalu apakah eksekutif dan legislatif akan tetap nekad?

Sejatinya hendak dibawa ke mana Pancasila dan NKRI ini, dengan RUU HIP yang
berpotensi melanggar Pancasila dan Tap MPRS No XXV/1966 itu?

Bila DPR RI dan pemerintah tetap keukeuh, jangan salahkan bila ada yang
berpandangan ada yang hendak mengaburkan fakta sejarah, terutama pengkhianatan
terhadap Pancasilan dan UUD 1945.

Cermati pula “ultimatum” MUI bahwa jika maklumatnya diabaikan oleh pemerintah
maka segenap Pimpinan MUI Pusat dan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia mengimbau
umat Islam Indonesia agar bangkit bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk
menjadi garda terdepan dalam menolak paham komunisme, demi terjaga dan terkawalnya
NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Paragraf Penutup :

Jika hal tersebut tak diindahkan, maka potensi konflik vertikal dan konflik horisontal
sudah membayang di depan mata. Bila sudah demikian, siapa yang akan rugi? Tentu kita
semua, segenap bangsa Indonesia.

Alhasil, hentikan pembahasan RUU HIP bahkan didrop dari Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) 2020-2024 bila tidak mencantumkan Tap MPRS No XXV/1966 dalam
konsiderannya. Jangan habiskan energi bangsa ini untuk hal-hal yang kontraproduktif,
apalagi energi bangsa ini sudah terkuras untuk menghadapi pandemi Covid-19.

Anda mungkin juga menyukai