Anda di halaman 1dari 16

2.

5 Managemen Kehamilan Post-Matur

2.5.1 Pemantauan Janin Antenatal

Dalam kebanyakan kasus, penyedia layanan kesehatan akan

merekomendasikan tes pada janin jika kehamilan melampaui batas waktu. Tes-tes

ini memberikan informasi tentang kesehatan janin dan tentang risiko membiarkan

kehamilan berlanjut. Tes-tes ini dimulai pada atau di luar usia kehamilan 41 minggu.

Banyak ahli merekomendasikan pengujian dua kali seminggu, termasuk pengukuran

volume cairan ketuban. Pengujian dapat mencakup mengamati denyut jantung janin

menggunakan monitor janin disebut tes non-stres atau mengamati aktivitas bayi

dengan ultrasound disebut profil biofisik (Norwitz, 2020):

 Tes non-stres

Tes non-stres dilakukan dengan memantau detak jantung bayi

dengan alat kecil yang diletakkan di perut ibu. Perangkat ini

menggunakan gelombang suara (ultrasound) untuk mengukur

perubahan denyut jantung bayi dari waktu ke waktu, biasanya selama

20 hingga 30 menit. Biasanya, denyut jantung awal bayi harus antara

110 dan 160 denyut per menit dan harus meningkat di atas garis

dasar paling sedikit 15 kali per menit selama 15 detik beberapa kali

selama tes. Tes ini dianggap meyakinkan (disebut "reaktif") jika dua

atau lebih denyut jantung janin meningkat (disebut "akselerasi")

terlihat dalam periode 20 menit. Pengujian lebih lanjut mungkin


diperlukan jika peningkatan ini tidak diamati setelah pemantauan

selama 40 menit.

Tabel 2.1 Kriteria Tes Non-stres


(Briscoe et al., 2005)

 Profil biofisik

Skor profil biofisik (BPP) dihitung untuk menilai kesehatan

janin. Ini terdiri dari lima komponen, pengujian non-stres dan

pengukuran ultrasonik dari empat parameter janin: gerakan tubuh

janin, gerakan pernapasan, tonus janin (fleksi dan ekstensi lengan,

tungkai, atau tulang belakang), dan volume cairan ketuban. Setiap

komponen dinilai secara individual, 2 poin jika normal dan 0 poin jika

tidak normal. Skor maksimum yang mungkin adalah 10. Terkadang

komponen pengujian non-stres dari pengujian dihilangkan. Dalam

kasus ini, skor maksimum yang mungkin adalah 8. Volume cairan

ketuban adalah variabel penting dalam BPP karena volume rendah


disebut dengan oligohidramnion mungkin merupakan tanda

perubahan dalam sirkulasi fetoplasenta. Tingkat cairan ketuban dapat

menjadi berkurang dalam waktu singkat, bahkan beberapa hari.

Tabel 2.2 Estimasi Ultrasound terhadap Volume Cairan


Amnion
(Briscoe et al., 2005)

2.5.2 Induksi Persalinan

Waktu optimal untuk melahirkan bayi pada wanita yang mengalami postterm

terkadang sulit ditentukan. Penyedia layanan kesehatan dan wanita harus

mempertimbangkan risiko dan manfaat dari melanjutkan kehamilan, hasil tes

antenatal, dan kondisi serviks yaitu bagian bawah uterus, yang membuka ke dalam

vagina. Biasanya, serviks mulai dilatasi atau membuka dan menipis menjelang akhir

kehamilan wanita. Menginduksi persalinan lebih cenderung memakan waktu lama

pada wanita yang serviksnya tidak membuka atau menipis (Norwitz, 2020).

Sebagian besar penyedia layanan kesehatan akan menginduksi persalinan

jika tidak dimulai secara spontan pada usia kehamilan 41 hingga 42 minggu. Untuk

seorang wanita yang serviksnya tidak menguntungkan, persalinan dapat diinduksi

dengan obat yang diberikan langsung ke serviks atau di vagina, yang menyebabkan
serviks melunak dan dilatasi. Kadang-kadang obat diberikan secara oral. Perubahan

serviks juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode mekanis seperti Foley

catheter bulb (Norwitz, 2020).

Sebagian besar wanita, termasuk yang serviksnya baik, juga akan

memerlukan obat intravena seperti oksitosin yang akan merangsang uterus untuk

berkontraksi, dimana kontraksi uterus lebih lanjut akan membuat serviks menjadi

menipis dan dilatasi. Jika induksi persalinan tidak sepenuhnya membuat serviks

menipis dan dilatasi, atau jika komplikasi berkembang yang mengharuskan bayi

dilahirkan dengan cepat, biasanya sesar dapat dilakukan. Beberapa pasien mungkin

memilih untuk menjalani persalinan sesar, terutama jika janin makrosomik

(didefinisikan sebagai perkiraan berat janin lebih dari atau sama dengan 4.500 gram,

atau mereka memiliki riwayat persalinan sesar sebelumnya, atau untuk alasan

pilihan pribadi (Norwitz, 2020).

2.5.3 Algoritma Tatalaksana Kehamilan Post-Matur


Gambar 2.1 algoritma tatalaksana kehamilan post-term

(Briscoe, 2005)

Kehamilan postterm merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai

saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan

pendapat. Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa pada setiap kehamilan postterm

dengan komplikasi spesifik seperti diabetes mellitus, kelainan faktor Rhesus atau

isoimunisasi, preeklampsia eklampsia, dan hipertensi kronis yang meningkatkan

risiko terhadap janin, kehamilan jangan dibiarkan berlangsung lewat bulan. Demikian

pula pada kehamilan dengan faktor risiko lain seperti primitua, infertilitas, riwayat

obstetrik yang jelek. Tidak ada ketentuan atau aturan yang pas dan perlu

dipertimbangkan masing-masing kasus dalam pengelolaan kehamilan postterm.

Beberapa masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm

antara lain sebagai berikut: (Prawirohardjo, 2008)

o Pada beberapa penderita umur kehamilan tidak selalu dapat ditentukan

dengan tepat, sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang

diperkirakan.

o Sukar menentukan apakah janin akan mati, berlangsung tems, atau

mengalami morbiditas serius bila tetap dalam rahim.

o Sebagian besar janin tetap dalam keadaan baik dan rumbuh terus sesuai

dengan tambahnya umur kehamilan dan tumbuh semakin besar.

o Pada saat kehamilan mencapai 42 minggu, pada beberapa penderita

didapatkan sekitar 70 % serviks belum matang (unfavourable) dengan nilai

Bishop rendah sehingga induksi tidak selalu berhasil.


o Persalinan yang berlarut-larut akan sangar merugikan bayi posmarur.

o Pada postterm sering terjadi disproporsi kepala panggul dan distosia bahu

(8 % pada kehamilan genap bulan, 14 % pada postterm).

o Janin postterm lebih peka terhadap obat penenang dan narkose, sehingga

perlu penetapan jenis narkose yang sesuai bila dilakukan bedah sesar

(risiko bedah sesar 0,7 % pada genap bulan dan 1,3 % pada postterm).

o Pemecahan selaput ketuban harus dengan pertimbangan matang. Pada

oligohidramnion pemecahan selaput ketuban akan meningkatkan risiko

kompresi tali pusat tetapi sebaliknya dengan pemecahan selaput ketuban

akan dapat diketahui adanya mekonium dalam cairan amnion.

Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat dalam pengelolaan

kehamilan postterm. Pengelolaan aktif yaitu dengan melakukan persalinan anjuran

pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil risiko terhadap janin.

Pengelolaan pasif/menunggu/ekspektatif didasarkan pandangan bahwa persalinan

anjuran yang dilakukan semata-mata atas dasar postterm mempunyai

risiko/komplikasi cukup besar temtama risiko persalinan operatif sehingga

menganjurkan untuk dilakukan pengawasan terus-menerus terhadap kesejahteraan

janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan

sendirinya atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan (Prawirohardjo, 2008).

Sebelum mengambil langkah, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

pengelolaan kehamilan postterm adalah sebagai berikut: (Prawirohardjo, 2008)


 Menentukan apakah kehamilan memang telah berlangsung lewat bulan

(postterm) atau bukan. Dengan demikian, penatalaksanaan ditujukan kepada

dua variasi dari postterm ini.

 Identifikasi kondisi janin dan keadaan yang membahayakan janin.

- Pemeriksaan kardiotokografi seperti nonstress res, (NST) dan contraction

stress test dapat mengetahui kesejahteraan janin sebagai reaksi terhadap

gerak janin atau kontraksi utems. Bila didapat hasil reaktif, maka nilai

spesifisitas 98,8 % menunjukkan kemungkinan besar janin baik.

Pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan besar janin, denyut jantung

janin, gangguan pertumbuhan janin, keadaan dan derajat kematangan

plasenta, jumlah (indeks cairan amnion) dan kualitas air ketuban.

- Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan seperti pemeriksaan

kadar Estriol.

- Gerakan janin dapat ditentukan secara subjektif (normal rata-rata 7 kali/20

menit) atau secara objektif dengan tokografi (normal 10 kali/20 menit).

- Amnioskopi. Bila ditemukan air ketuban yang banyak dan jernih mungkin

keadaan janin masih baik. Sebaliknya, air ketuban sedikit dan mengandung

mekonium akan mengalami risiko 33 % asfiksia.

 Periksa kematangan serviks dengan skor Bishop. Kematangan serviks ini

memegang peranan penting dalam pengelolaan kehamilan postterm.

Sebagian besar kepustakaan sepakat bahwa induksi persalinan dapat

segera dilaksanakan baik pada usia 41 maupun 42 minggu bilamana serviks

telah matang.
Pada umumnya penatalaksanaan sudah dimulai sejak umur kehamilan

mencapai 41 minggu dengan melihat kematangan serviks, mengingat dengan

bertambahnya umur kehamilan, maka dapat terjadi keadaan yang kurang

menguntungkan, seperti janin tumbuh makin besar atau sebaliknya, terjadi

kemunduran fungsi plasenta dan oligohidramnion. Kematian janin neonatus

meningkat 5 -7 % pada persalinan 42 minggu atau lebih (Prawirohardjo, 2008).

 Bila serviks telah matang (dengan nilai Bishop > 5) dilakukan induksi

persalinan dan dilakukan pengawasan intrapartum terhadap jalannya

persaiinan dan keadaan janin. Induksi pada serviks yang telah matang akan

menurunkan risiko kegagalan ataupun persalinan tindakan.

 Bila serviks belum matang, periu dinilai keadaan janin lebih lanjut apabila

kehamilan tidak diakhiri:

- NST dan penilaian volume kantong amnion. Bila keduanya normal,

kehamilan dapat dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan seminggu

dua kali.

- Bila ditemukan oligohidramnion (< 2 cm pada kantong yang vertikal atau

indeks cairan amnion < 5) atau dijumpai deselerasi variabel pada NST, maka

dilakukan induksi persalinan.

- Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes pada kontraksi

(CST) harus dilakukan. Bila hasil CST positif, terjadi deselerasi lambat

berulang, variabilitas abnormal (< 5/20 menit) menunjukkan penurunan

fungsi plasenta janin, mendorong agar janin segera dilahirkan dengan

mempertimbangkan bedah sesar. Sementara itu, bila CST negatif kehamilan


dapat dibiarkan berlangsung dan penilaian janin dilakukan lagi 3 hari

kemudian.

- Keadaan serviks (skor Bishop) harus dinilai ulang setiap kunjungan pasien

dan kehamilan dapat diakhiri bila serviks matang.

 Kehamilan lebih dari 42 minggu diupayakan diakhiri.

2. 6 Komplikasi

2.6.1 Komplikasi Janin dan Neonatal

Angka kematian perinatal pada usia kehamilan 42 minggu dua kali lebih

tinggi daripada saat aterm. Menurut beberapa data juga menunjukkan bahwa tingkat

kematian janin dan neonatal meningkat tajam setelah usia kehamilan 40 minggu.

Diduga bahwa penyebab utama meningkatnya angka kematian perinatal adalah

insufisensi utero-plasenta, aspirasi mekonium, dan infeksi intrauterin (Galal et al.,

2012).

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada

kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Penurunan fungsi plasenta

dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan plasental laktogen. Perubahan

yang terjadi pada plasenta sebagai berikut: (Prawirohardjo, 2008)

 Penimbunan kalsium. Pada kehamilan postterm terjadi peningkatan

penimbunan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat menyebabkan gas/at ianin

dan bahkan kematian janin intrauterin yang dapat meningkat sampai 2 - 4

kali lipat. Timbunan kalsium plasenta meningkat sesuai dengan progresivitas


degenerasi plasenta. Namun, beberapa vili mungkin mengalami degenerasi

tanpa mengalami kalsifikasi. .

 Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang.

Keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transpor plasenta.

 Terjadi proses degenerasi jaringan piasenta seperti edema, timbunan

fibrinoid, fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili.

 Perubahan biokimia. Adanya insufisiensi plasenta menyebabkan protein

plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan konsentrasi RNA

meningkat. Transpor kalsium tidak terganggu, aliran natrium, kalium, dan

glukosa menumn. Pengangkutan bahan dengan berat molekul tinggi seperti

asam amino, lemak, dan gama globulin biasanya mengalami gangguan

sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.

Morbiditas janin juga meningkat pada kehamilan postterm dan kehamilan

yang berkembang di luar usia kehamilan 41 minggu. Ini termasuk lewatnya

mekonium, sindrom aspirasi mekonium, makrosomia, dan dismaturitas. Kehamilan

post term juga merupakan faktor risiko independen untuk tingkat pH tali pusat

rendah (asidemia neonatal), skor Apgar 5 menit yang rendah, ensefalopati neonatal,

dan kematian bayi di tahun pertama kehidupan. Meskipun beberapa kematian bayi

ini jelas disebabkan oleh komplikasi peripartum seperti sindrom aspirasi mekonium,

sebagian besar tidak diketahui penyebabnya (Galal et al., 2012).

Sindrom aspirasi mekonium merupakan suatu gangguan pernapasan

ditandai adanya takipnea, sianosis, dan penurunan compliance paru pada bayi baru

lahir yang terpapar oleh mekonium di uterus. Hal ini terlihat pada tingkat yang lebih
tinggi pada pada neonatus postterm. Intervensi konvensional seperti amnio-infusion

atau pengispan mekonium nasofaring dan orofaring secara rutin pada perineum

pada saat persalinan hanya memberikan kontribusi yang sangat sedikit (Galal et al.,

2012).

Bayi postterm lebih besar daripada bayi cukup bulan dan memiliki insiden

makrosomia janin yang lebih tinggi (2,5-10% pada postterm dibandingkan 0,8-1%

pada aterm). Makrosomia janin, didefinisikan sebagai perkiraan berat janin ≥ 4,5 kg,

dikaitkan dengan persalinan yang lama, disproporsi panggul, dan distosia bahu.

Distosia bahu dikaitkan dengan risiko cedera ortopedi (seperti Fraktur humerus dan

klavikula) serta cedera neurologis seperti cedera pleksus brakialis dan serebral palsi.

Namun, tidak ada bukti bahwa induksi persalinan sebagai tindakan pencegahan

dalam kasus ini berhubungan dengan penurunan tingkat komplikasi (Galal et al.,

2012).

Sekitar 20% janin postterm memiliki sindrom dismaturitas, yang merujuk

pada bayi dengan karakteristik yang menyerupai chronic intrauterine growth

restriction/pembatasan pertumbuhan intrauterin kronis dari insufisiensi utero-

plasenta. Termasuk gejalanya adalah gangguan pertumbuhan, deskuamasi

berlebihan akibat kulit yang kering, keriput seperti kertas (hilangnya lemak

subkutan), tubuh kurus (kurang gizi), rambut dan kuku panjang, oligohidramnion dan

sering lewatnya mekonium. Kehamilan-kehamilan ini berada pada tingkat risiko yang

tinggi terhadap kompresi tali pusat dari oligohidramnion, aspirasi mekonium, dan

komplikasi neonatal jangka pendek seperti hipoglikemia, kejang, dan insufisiensi

pernapasan. Tidak seluruh neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda


postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12 - 20 %

neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm (Galal et al., 2012;

Prawirohardjo, 2008).

Meskipun banyak hal yang telah dilakukan pada kehamilan postterm,

beberapa risiko seperti lahir mati, mekonium, dan asidemia neonatal telah

digambarkan lebih sering terjadi pada usia kehamilan 41 dan bahkan 40 minggu

dibandingkan dengan kehamilan 39 minggu. Sebuah studi dari Skotlandia yang

diterbitkan pada 2010 menunjukkan peningkatan risiko lahir mati (baik lahir mati

keseluruhan maupun yang tidak dijelaskan) karena kehamilan meningkat terutama

setelah usia kehamilan 39 minggu juga menunjukkan bahwa risiko kelahiran mati

yang tidak dapat dijelaskan naik empat kali lipat setelah 39 minggu menjadi

maksimum pada 41 minggu. Tingkat aspirasi mekonium dan asidemia neonatal

keduanya meningkat seiring kehamilan lanjut yang berlangsung di luar 38 minggu.

Morbiditas neonatal termasuk cedera saat lahir tampaknya muncul pada sekitar 38

minggu dan meningkat secara terus menerus sesudahnya (Galal et al., 2012).

2.6.2 Komplikasi pada Ibu

Risiko terhadap ibu terkait dengan ukuran janin postterm yang lebih besar

dan termasuk kesulitan selama persalinan, peningkatan cedera pada perineum

termasuk vagina, labia, dan rektum saat kelahiran vagina, dan peningkatan tingkat

kelahiran sesar dengan keterkaitannya, risiko perdarahan, infeksi, dan cedera pada

organ di sekitarnya (Norwitz, 2020).


2.7 Pencegahan

Untuk mencegah kehamilan post-term cara yang paling efektif adalah

dengan induksi persalinan sebelum usia kehamilan 42 minggu. Namun, karena

komplikasi meningkat saat kehamilan 40 dan 41 minggu dan adanya risiko induksi

persalinan, maka lebih baik untuk melakukan persalinan spontan pada usia

kehamilan 39 minggu. Sedangkan untuk intervensi invasiv secara minimal telah

direkomendasikan untuk mendorong timbulnya persalinan saat aterm dan mencegah

kehamilan post-term, yang termasuk diantaranya membrane stripping, unprotected

coitus, stimulasi putting dan akupunktur (Caughey, 2016; Galal et al., 2012).

Stripping membranes merupakan suatu metode yang digunakan untuk

memulai persalinan tanpa masuk rumah sakit dengan cara melakukan pemisahan

membran dari dinding serviks dan segmen uterus bagian bawah.menggunakan jari

pemeriksa yang dimasukkan kedalam serviks. Proses ini akan merangsang

pelepasan prostaglandin endogen dari serviks, dimana prostaglandin ini berfungsi

untuk membuat serviks menjadi lunak dan mempersiapkan uterus untuk kontraksi

dan akan membuat serviks menjadi dilatasi (Caughey, 2016; J Midwifery Womens

Health, 2009; Huizen, 2018).

Unprotected sexual intercourse atau hubungan seksual tanpa

kondom/proteksi diyakini akan menyebabkan timbulnya persalinan. Tindakan

hubungan seksual dalam merangsang persalinan masih belum jelas, sebagian

mungkin disebabkan oleh stimulasi fisik dari segmen uterus yang lebih rendah,
pelepasan oksitosin secara endogen sebagai hasil dari orgasme, aktivitas uterus

yang diduga dipicu oleh orgasme, atau dari aksi langsung prostaglandin dalam

semen dimana cairan semen manusia adalah sumber biologis yang diduga

mengandung konsentrasi prostaglandin tertinggi yang akan menyebabkan uterus

berkontraksi. Meskipun ada beberapa data yang saling bertentangan, tetapi diduga

koitus tanpa kondom menghasilkan onset persalinan yang lebih awal, penurunan

tingkat kehamilan postterm, dan intervensi yang lebih sedikit dengan induksi

persalinan (Caughey, 2016; Galal et al., 2012).

Stimulasi puting adalah intervensi non medis yang dianggap meningkatkan

onset persalinan dan telah disarankan sebagai sarana untuk menginduksi

persalinan. Stimulasi puting bermanfaat dalam pematangan serviks, induksi

persalinan, dan mengurangi jumlah wanita yang tidak mengalami proses persalinan

setelah 72 jam dan mengurangi tingkat perdarahan postpartum (Galal et al., 2012).

Akupunktur telah lama digunakan di Cina dan negara-negara Asia lainnya

untuk kondisi yang berhubungan dengan kehamilan, termasuk presentasi bokong,

nyeri persalinan, dan hiperemesis gravidarum. Pada Universitas Kedokteran

Tradisional di Shanghai merekomendasikan akupunktur untuk induksi persalinan,

dan digunakan secara rutin untuk induksi persalinan di beberapa masyarakat. Selain

itu, tampaknya tidak ada risiko ibu atau janin yang signifikan terkait dengan

akupunktur. Sebuah tinjauan tentang masalah ini menyimpulkan bahwa lebih sedikit

perempuan yang menerima akupunktur yang memerlukan induksi dibandingkan

dengan perawatan standar. Sebagai kesimpulan, akupunktur tidak dapat dinilai


secara pasti karena kurangnya data percobaan dan perlunya evaluasi lebih lanjut

(Galal et al., 2012).

Daftar Pustaka

Briscode, D., Nguyen, H., Mencer, M., Gautam, N., & Kalb, DB. 2005. Management of

Pregnancy Beyond 40 Weeks’ Gestation. CHRISTUS St. Joseph Hospital Family

Practice Residency, Houston, Texas.

Caughey, AB. 2016. Postterm Pregnancy. Obstetrics & Gynecology.

https://emedicine.medscape.com/article/261369-overview#a3

Galal, M., Symonds, I., Murray, H., Petraglia, F., & Smith, R. 2012. Postterm

pregnancy. Facts, Views, & Vision Issues in Obstetrics, Gynaecology and

Reproductive Health.

Huizen, J. 2018. What to know about membrane stripping. Medical News Today.

https://www.medicalnewstoday.com/articles/322701

J Midwifery Womens Health. 2009. Stripping Membranes.

https://www.medscape.com/viewarticle/703499

Norwitz, ER. 2020. Patient education: Postterm pregnancy (beyond the basics).

UpToDate.

Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta:P.T Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai