Disusun oleh :
dr. Zulfahmi
Pendamping :
dr. H.M. Suaidi
Ro Thorax
- tidak dilakukan pemeriksaan
Tatalaksana
Medikamentosa
- IVFD RL 20tpm
- Inj. Pantoprazole 2 x 1 amp
- Inj. Metoklopramid 3 x 1
Follow up
29/01/2020
S BAB ampas (+) sebanyak 3 kali, demam (-)
O Ku : CM
TD : 120/90 RR : 20x/m
Nadi : 76x/m
S :36,70C
Mata : CA -/- , SI -/-
Pul : Ves +/+, Rh -/- , Wh -/-
Abd : BU (+), NT (+), supel
Eks : akral hangat (+), CRT <2s
A GERD
P - IVFD NaCl 0,9% : Futrolit (2:1)
- Omeprazole 1 x 1 caps PO
- Sucralfat Syr 3 x C1 PO
Hasil Pembelajaran
1. Manifestasi klinis dan diagnosis GERD
2. Patologi GERD
3. Pemeriksaan penunjang GERD
4. Faktor resiko GERD
5. Tatalaksana GERD
2. Obyektif
Pemeriksaan fisik ; Ku : compos mentis, Tekanan darah : 120/90mmHg, Nadi : 76x/menit,
Pernapasan : 20x/menit, suhu : 36,70C Kepala : CA (-/-), Thorax : dbn, Abd : turgor kulit baik
(+), soepel, BU (+) normal, Nyeri tekan epigastrium (+).
3. Assessment
Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease) adalah suatu
keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dan berbagai
gejala yang timbul akibat keterlibatan esophagus, faring, laring dan saluran nafas.
Etiologi
Gatroesophageal Reflux Disease (GERD) bersifat multifactorial. Esofagitis dapat terjadi
sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak dalam waktu yang lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esophagus dan terjadinya penurunan resistensi jaringan mukosa walaupun
kontak antara bahan refluksat dan mukosa esophagus tidak cukup lama.
Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini
akan dapat dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegard yang terjadi pada saat
sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila
tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD
terjadi melalui 3 mekanisme yaitu, refluks spontann pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat,
aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, dan meningkatnya
tekanan intra abdomen.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang khas dari GERD adalah nyeri atau rasa tiddak enak di daerah
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa
terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.
Diagnosis
Diagnosis GERD dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik
yang seksama. Selain anamnesa dan pemeriksaan fisik yang seksama diagnose GERD dapat
ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang seperti endoskopi saluran cerna bagian
atas dan esofagoskopi dengan barium.
Tatalaksana
Penyakit GERD merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian, namun tetap
memerlukan penatalaksaan yang adekuat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut seperti
ulserasi, striktur esophagus maupun baret esofagus yang bisa menjadi suatu keganasan. Prinsip
penatalaksaan GERD yaitu modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah dan
terapii endoskopik.
Edukasi
a. Memperhatikan kebersihan untuk bayi ataupun anaknya.
b. Memberikan ASI eksklusif untuk mencegah terjadinya diare.
c. Memberikan makanan yang higienis, disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang
dimasak terlebih dahulu.
d. Membiasakan mencuci tangan sebelum makan dan memegang peralatan makanan.
e. Disarankan juga untuk konsultasi dengan dokter atau tenaga medis lainnya untuk
pencegahan diare.
f. Edukasi orang tua pasien diare tentang tata cara penanganan awal diare pada anak di
rumah.
1.1 Definisi
Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan GERD di Indonesia tahun 2013,
GERD atau penyakit refluks gastroesofageal didefinisikan sebagai suatu gangguan
berupa isi lambung yang mengalami refluks berulang ke dalam esofagus sehingga
menyebabkan gejala dan atau komplikasi yang mengganggu.1
Sedangkan menurut American College of Gastroenterology, GERD adalah suatu
keadaan fisik dimana cairan asam lambung mengalir kembali ke esofagus. Jadi, GERD
adalah suatu keadaan patologis di mana cairan asam lambung mengalami refluks
sehingga masuk ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala.2
1.2 Epidemiologi
1.4 Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu
normal, pemisah ini akan dapat dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran
antegard yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah
(<3mmHg).2,4
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme yaitu,
refluks spontann pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, aliran retrograd yang
mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, dan meningkatnya tekanan intra
abdomen. Berdasarkan hal tersebut dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya
GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor
ofensif dari bahan refluksat.4
Pemisah antirefluks merupakan faktor defensif esofagus. Pemeran terbesar
pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurutnya tonus LES dapat menyebabkan
timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Namun
dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-
kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses
refluks ini adalah Transient LES Relaxation (TLESR).4
Transient LES Relaxation (TLESR) yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui
bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada
hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed gastric emtying) dan
dilatasi lambung.4
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial.
Banyak pasien GERD yang padda pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia,
namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus
hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari
esofagus serta menurunkan tonus LES.4
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari lumen esofagus adalah
gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian
besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.4
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan
refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar kemungkinan
terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit
esofagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik
esofagus yang minimal. Refluks malam hari lebih besar menimbulkan kerusakan
esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak
aktif.4
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux
turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Bahan refluksat yang tidak
bersifat asam atau refluks gas termasuk dalam non-acid reflux. Dalam keadaan ini,
timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.4
1.6 Diagnosis
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal
Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American College of Gastroenterology tahun
1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan:2,5
1. Empirical Therapy
2. Use of Endoscopy
3. Ambulatory Reflux Monitoring
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi untuk
eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang
berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya skleroderma)
Terapi empirik merupakan upaya diagnostic yang dapat diterapkan di pusat
pelayanan kesehatan primer karena upaya diagnostiknya sederhana dan tidak
membutuhkan alat penunjang diagnostik.2,5
Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis dan
pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (Proton Pump Inhibitor).
Selain itu, gejala klasik GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux
Disease – Questionnairre (GERD-Q). GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang
terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas
hidup penderita serta efek penggunaan obat obatan terhadap gejala dalam 7 hari
terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut.
Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau
respons terapi.2,5
Upaya diagnostik berdasarkan gejala klasik GERD ini juga didukung oleh
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia
(Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013). Dalam konsensus ini disebutkan
bahwa penderita terduga GERD adalah penderita dengan gejala klasik GERD yaitu
heartburn, regurgitasi, atau keduanya yang terjadi sesaat setelah makan (terutama
makan makanan berlemak dan porsi besar).2,5
Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI. Uji terapi PPI
merupakan suatu terapi empirik dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2
minggu tanpa pemeriksaan endoskopi sebelumnya. Indikasi uji terapi PPI adalah
penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm. Tanda-tanda alarm
meliputi usia >55 tahun, disfagia, odinofasia, anemia defisiensi besi, BB turun, dan
adanya perdarahan (melena/hematemesis). Apabila gejala membaik selama
penggunaan dan memburuk kembali setelah pengobatan dihentikan, maka diagnosis
GERD dapat ditegakkan.2,5
Selain itu, pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosa
GERD adalah endoskopi saluran cerna bagian atas yang merupakan standar baku
untuk menegakkan dianosa GERD dan dapat ditemukan mucosal break pada esofagus.
Selain endoskopi dapat pula dilakukan esofagografi dengan barium, pemantauan pH
24 jam dan tes Bernstein.4
1.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan
mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan Guidelines
for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995
dan revisi tahun 2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan:2
1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification
2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: Acid Suppression
4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy
5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7. Treatment Guideline VII: Refractory GERD
Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan kesehatan primer
berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal
Reflux Disease adalah dengan melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi
medikamentosa GERD. Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup
yang dapat dilakukan dengan:2,4
1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai
dengan IMT ideal.
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi
berbaring.
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur.
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman
mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak - asam – pedas.
Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-obatan. PPI
merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki keefektifan serupa
dengan terapi pembedahan. Jika dibandingkan dengan obat lain, PPI terbukti paling
efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esophagitis, yang termasuk obat-
obat golongan PPI adalah omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30
mg, esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya
diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan dosis ganda diberikan pagi
hari sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan malam.2,4
Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
di Indonesia tahun 2013, terapi GERD dilakukan pada pasien terduga GERD yang
mendapat skor GERD-Q > 8 dan tanpa tanda alarm. Penggunaan PPI sebagai terapi
inisial GERD menurut Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease dan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit
Refluks Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis tunggal selama 8 minggu. Apabila
gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8 minggu atau gejala terasa
mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan dosis ganda selama 4 – 8
minggu. 2,4,5
Bila penderita mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat dimulai kembali dan
dilanjutkan dengan terapi maintenance. Terapi maintenance merupakan terapi dosis
tunggal selama 5 – 14 hari untuk penderita yang memiliki gejala sisa GERD. Selain
PPI, obat lain dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan
prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin). Antagonis reseptor
H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks yang ringan dan untuk
terapi maintenance dikombinasi dengan PPI. Berikut yang termasuk ke dalam
antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1 x 800 mg atau 2 x 400mg), ranitidin (2 x
150 mg), farmotidin (2 x 20 mg), dan nizatidin (2 x 150 mg).2,4,5
Prokinetik merupakan golongan obat yang berfungsi mempercepat proses
pengosongan perut, sehingga mengurangi kesempatan asam lambung untuk naik ke
esofagus. Obat golongan prokinetic termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan
metoklopramid (3 x 10 mg).2,4,5
1.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah strikturr dan perdarahan. Sebagai
dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esofagus, dapat
terjadi perubahan mukosa esofagus dari skuamosa menjadi epitel kolumnar yang
metaplastic. Keadaan ini disebut sebagai Barret’s Esophagus dan merupakan suatu
keadaan premaligna. Risiko terjadinya karsinoma pada Barret’s Esophagus adalah
sampai 30-40 kali dibandingkan populasi normal. Selain Barret’s Esophagus
komplikasi yang mungkin terjadi adalah striktur esofagus dan ulcerasi gaster hingga
perdarahan.3,4
1.9 Prognosis
Penanganan pada yang optimum pada pasien GERD umumnya lebih dari 90%
memiliki prognosis yang baik dengan gejala GERD yang terkontrol. Meskipun
demikian komplikasi dari GERD mungkin akan tetap terjadi seperi perdarahan,
striktur, ulserasi, dan malignansi atau keganasan.3
DAFTAR PUSTAKA