Anda di halaman 1dari 6

Sejak pertama kali kemunculannya di Wuhan, Desember 2019, virus

Corona terus menjangkit populasi manusia di dunia. Badan kesehatan


dunia dengan mempertimbangkan luas penyebarannya, menetapkan
status pandemi global terhadap penyebaran Covid-19. Empat bulan
berselang, lebih dari 120 negara dinyatakan positif terjangkit virus ini.

Hingga kini belum jelas sumber awal virus berasal. Meski sebagian
keterangan menyebutkan pasar hewan konsumsi di daerah Wuhan
sebagai sumber awal penyebaran virus, masih banyak pihak
menyangsikan kebenaran informasi ini. Atas ketidakjelasan ini, Amerika
Serikat telah meminta akses ke Wuhan agar dibuka oleh Pemerintah China
untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Tidak hanya itu, Inggris bahkan
berencana menggugat China ke Pengadilan Internasional (International
Court of Justice). Hal senada juga disampaikan sejumlah negara bagian
Amerika Serikat yang menggugat China untuk meminta ganti rugi.

Pertanyaan mendasarnya adalah, bisakah China digugat ke Pengadilan


Internasional akibat penyebaran Covid-19 ke negara-negara di dunia?
Akademisi dan Peneliti di Departemen Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran, Idris mengungkap salah satu prinsip hukum
perdata sic utere atau lengkapnya sic utere tuo ut alienum non laedas.

Menurut Idris, prinsip ini berawal dari hukum perdata Romawi. Dalam
sejumlah kasus di Pengadilan, prinsip ini masih dipakai. Idris menjelaskan
makna dari prinsip ini adalah “gunakan harta kita, properti kita, halaman
kita, tetapi jangan sampai merugikan orang lain,” ujar Idris dalam sebuah
diskusi daring, Jumat (24/4).

Dalam perkembangannya prinsip ini digunakan untuk menuntut


pertanggungjawaban negara terhadap situasi yang menimpa negara lain
akibat aktivitas dalam negara tersebut. Dalam kultur hukum anglo saxon
prinsip sic utere juga dikenal dengan good neighbourliness atau No harm
rule yangditerjemahkan “use your own property in such a manner as not to
injure that of another”. 

Menurut Idris, prinsip ini relevan digunakan untuk menggugat China jika
melihat penjelasan terkait kemunculan Covid-19. Aktivitas pasar hewan di
Wuhan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging di daerah tersebut,
dalam taraf tertentu telah berakibat menyebarnya virus yang hingga saat ini
telah merenggut ratusan ribu nyawa manusia di dunia dan menyebabkan
timbulnya krisis yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. “Mau tidak
mau ini termasuk ranah hukum internasional,” ujar Idris menyinggung
situasi yang terjadi. 

Ia menyebutkan, dalam kerangka hukum internasional,


pertanggungjawaban negara diatur khusus dalam resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 56/83 Tahun 2001. Dalam
Pasal 1 dan 2 Resolusi ini mengatur mengenai Responsibility of States for
Internationally Wrongful acts. Bentuk-bentuk tanggung jawab negara
menurut pasal 34 resolusi ini bisa restitusi maupun kompensasi. (Baca
juga: Hukumonline Luncurkan

Berita · Pusat Data · Jurnal · Klinik · Events · Produk · Pro
Senin, 27 April 2020Tanggapan

Kenali Prinsip Sic Utere Sebelum Menuntut


Tanggung Jawab Negara Asal Covid-19
 

Mengikat Semua Negara

Cuplikan pilihan dalam pasal 34 resolusi menyebutkan bentuk-bentuk


pertanggungjawaban negara bisa berbentuk restitusi maupun
kompensasi. “Full reparation for the injury caused by the internationally
wrongful act shall take the form of restitution, compensation and
satisfaction, either singly or in combination, in accordance with the
provisions of this chapter”.

Meskipun baru sebatas diatur dalam resolusi, namun prinsip ini sudah
sering digunakan oleh para hakim. Terlepas dari sebuah negara
mengetahui atau tidak mengenai prinsip tanggung jawab negara, tapi
hal ini mengikat semua negara. “Semacam asas fiksi hukum,” ujar Idris. 

Menurut Pasal 2 resolusi ini, unsur-unsur perbuatan salah yang dilakukan


oleh sebuah negara paling tidak terdiri atas perbuatan dan kelalaian.
Dalam konteks hukum Indonesia dikenal dengan perbuatan melawan
hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata. 

“Selain perbuatan ada kelalaian. Jadi seseorang karena lalai


mengakibatkan kerugian terhadap orang lain, otomatis dapat dimintai
pertanggungjawaban,” terang Idris.

Namun bukan berarti China tidak bisa membela diri. Menurut Idris, China
masih bisa menggunakan dalil force majeure jika menghadapi gugatan dari
luar. Dengan situasi force majeure, China dapat menjelaskan
bahwa situasinya begitu sulit sehingga tidak sempat memberi notifikasi
terkait keberadaan Covid-19 di negaranya.

Terkait hal ini, Kepala Pusat Studi ICLOS FH Unpad, Gusman Siswandi
mengatakan pasal 75  International Health Regulation (IHR) mengatur
setiap sengketa terkait interpretasi atau penetapan konstitusi WHO yang
tidak dapat di selesaikan melalui negosiasi bisa diajukan ke hadapan
pengadilan internasional. 

Berita · Pusat Data · Jurnal · Klinik · Events · Produk · Pro
Senin, 27 April 2020Tanggapan

Kenali Prinsip Sic Utere Sebelum Menuntut


Tanggung Jawab Negara Asal Covid-19
 

Mengikat Semua Negara


Cuplikan pilihan dalam pasal 34 resolusi menyebutkan bentuk-bentuk
pertanggungjawaban negara bisa berbentuk restitusi maupun
kompensasi. “Full reparation for the injury caused by the internationally
wrongful act shall take the form of restitution, compensation and
satisfaction, either singly or in combination, in accordance with the
provisions of this chapter”.

Meskipun baru sebatas diatur dalam resolusi, namun prinsip ini sudah
sering digunakan oleh para hakim. Terlepas dari sebuah negara
mengetahui atau tidak mengenai prinsip tanggung jawab negara, tapi
hal ini mengikat semua negara. “Semacam asas fiksi hukum,” ujar
Idris. (Baca juga: 5 Pelajaran Penting dari Wabah Covid-19 untuk
Bisnis Jasa Hukum)

Menurut Pasal 2 resolusi ini, unsur-unsur perbuatan salah yang


dilakukan oleh sebuah negara paling tidak terdiri atas perbuatan dan
kelalaian. Dalam konteks hukum Indonesia dikenal dengan perbuatan
melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 KUH
Perdata. 

“Selain perbuatan ada kelalaian. Jadi seseorang karena lalai


mengakibatkan kerugian terhadap orang lain, otomatis dapat dimintai
pertanggungjawaban,” terang Idris.

 
Namun bukan berarti China tidak bisa membela diri. Menurut Idris,
China masih bisa menggunakan dalil force majeure jika menghadapi
gugatan dari luar. Dengan situasi force majeure, China dapat
menjelaskan bahwa situasinya begitu sulit sehingga tidak sempat
memberi notifikasi terkait keberadaan Covid-19 di negaranya.

Terkait hal ini, Kepala Pusat Studi ICLOS FH Unpad, Gusman Siswandi
mengatakan pasal 75  International Health Regulation (IHR) mengatur
setiap sengketa terkait interpretasi atau penetapan konstitusi WHO yang
tidak dapat di selesaikan melalui negosiasi bisa diajukan ke hadapan
pengadilan internasional. 

Menurut Gusman, pasal ini bisa menjadi pintu masuk membawa


persoalan penyebaran Covid-19 ke pengadilan internasional. ”Jadi mesti
bisa memastikan apakah ICJ bisa mengadili pandemi Covid-19. Bisa
saja pasal 75 menjadi jalan masuk membawa persoalan Covid ke
Mahkamah internasional asal semua persyaratannya dipenuhi,” ujarnya
dalam diskusi yang sama.
Berita · Pusat Data · Jurnal · Klinik · Events · Produk · Pro
Senin, 27 April 2020Tanggapan

Kenali Prinsip Sic Utere Sebelum Menuntut


Tanggung Jawab Negara Asal Covid-19
 

Namun, Gusman mengingatkan ketentuan pasal 56 IHR. Pasal ini


mengatur ketentuan tahap-tahap penyelesaian sengketa seperti biasa
yang dimulai dari negosiasi atau cara damai. Selain itu dapat juga
diajukan ke Direktur Jenderal WHO, serta menggunakan mekanisme
Arbitrase. 

Jika hendak menggunakan mekanisme Arbitrase, Gusman


mengingatkan prasyarat pernyataan dari para pihak menerima
penggunaan arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian. ”Terlebih
dahulu harus ada pernyataan dari negara pihak bahwa dia menerima
arbitrase sebagai mekanisme. Ini hal yang menjadi ganjalan kalau
misalnya China di bawa ke arbitrase,” terang Gusman.

Anda mungkin juga menyukai