Anda di halaman 1dari 3

D.

Analisis Multikulturalisme dalam Lalita

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan tentang ragam
kehidupan di dunia, atau juga kebijakan budaya yang membahas tentang penerimaan terhadap
perbedaan, dan berbagai macam budaya yang ada di dalam kehidupan masyarakat. , dan politik
yang mereka anut. Dalam studi gender, multikulturalisme disejajarkan dengan kesetaraan gender
para tokohnya. Berbeda dengan jenis kelamin, gender adalah pandangan masyarakat tentang
perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
konstruksi sosial dan dapat diubah sesuai perkembangan zama. Konsep gender adalah pembedaan
sifat, sikap dan peran yang terikat pada laki-laki dan perempuan (Handayani dan Sugiarti, 2002).
Berbeda dengan jenis kelamin yang membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan
struktur biologisnya, yaitu perempuan dapat menghasilkan anak, sementara laki-laki tidak.
Kesetaraan jender merupakan bagian dari multikulturalisme yang menitik beratkan pada pengakuan
terhadap semua kelompomk maupun individu yang terdapat dalam masyarakat, yang lebih
mementingkan relasi hubungan antartokoh. Bagaimana Tokoh utama dalam karya sastra yang
merupakan entitas khusus yang ada dalam hubungan yang sesuai. Tokoh utama novel ini, Lalita,
percaya bahwa ia pernah hidup di zaman empat. Yang pertama adalah pada abad ke 5 dengan
pengaturan Nepal dan Sriwijaya, abad ke 10 di Jawa Tengah sekitar Magelang, Yogyakarta dan
Muntilan, abad ke 15 sebagai drakula di Transylvania, dan abad ke 20 di Nusantara. Berikut ini
analisis masalah gender yang terdapat dalam novel Lalita. Seperti karya-karya sebelumnya, dalam
karyanya kali ini pun Ayu Utami menantang konstruksi gender melalui karakter tokoh-tokoh yang ia
ciptakan. Lalita, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang wanita yang sangat cantik dan
menawan, seperti terlihat dalam kutipan berikut ini. Tubuhnya sangat ramping, jika tidak ramping.
Sabuk lebarnya kemerlip, la pakai tanktop ungu yang kontras dengan kulit kuningnya dan celana jins
ketat. Dari bawah jins yang menyembulkan yang berjinjit dalam balutan sepatu bertemali dengan
hak lancip: Kuku-kukunya bercat, merah darah di waktu malam. Jari-jarinya panjang dan lentik.
Sempurna seperti peri yang tak pernah menginjak tanah. Diikat kaki kanannya melekatkan gelang
emas dengan genta kecil. Genta yang berdenting mengiringi langkahnya. Rambutnya bagai benang-
benang sutra yang disetrika dan digulung di bagian ujung. (Utami, 2012, 8) Gambaran atas
penampilan Lalita sebagai perempuan yang memiliki penampilan fisik yang sangat menarik dan
modern. Sosok yang dideskripsikan dalam penggalan cerita di atas mewakili perempuan
metropolitan masa kini yang ditampilkan tampil trendi. Lalita adalah seorang wanita dengan
dandanan menarik, berbalut busana ketat, memakai tas dan sepatu senada hasil rancangan desainer
terkemuka, dan menghisap rokok ramping ungu. Benda-benda yang dikenakannya bernuansa
keunguan, sehingga tokoh Sandi Yuda menjulukinya dengan sebutan "Perempuan Indigo".
Kehadiran Lalita mampu menyihir orang-orang yang datang. Sandi Yuda sembari mengumpamakan
wajah Lalita sebagai topeng cantik. Semua pada wajah itu dilukis dan dibubuhkan dengan sangat
rapi sehingga Anda melihat sebentuk topeng cantik, Kau takjub kau tak bisa membayangkan wajah
mamusia di balik lukisan itu. Inilah muka paling aneh yang pernah kau lihat. Cantik, namun begitu
tak wajar. Sangat vulgar. (Utami, 2012, 8-9)

Lalita menghargai perempuan cantik, tetapi ia memiliki kepribadian yang cukup kuat dan juga pintar.
la adalah seorang primadona. Oleh para perempuan lain, putusan pengadilan dipertimbangkan
sebagai putusan pengadilan dan putusan pengadilan berat. Grup yang tidak tahan melihat pemain
baru, yang datang tidak melalui jalur yang sama. Pemain baru ini mengendarai BMW Marun,
memakai tanktop ketat ungu, kaki berjinjit pada stileto Christian Louboutin 12cm, juga ungu, tas
Louis Vuitton, dan dengan make-up panggung tahan hujan. Lonceng di kaki. Lebih menjengkelkan
lagi, perempuan ungu ini bukan perempuan dungu yang hanya mengandalkan dandanan. Ia seorang
kurator dan dealer seni, memiliki galeri di Singapura dan Hongkong, berbakasa Inggris sangat fasih
dan sedikit Prancis, membaca sastra dan filsafat. Lalita Vistara sangat canggih. (Utami, 2012, 24).

Lalita berbicara sebagai seorang perempuan yang memiliki kendali atas orang-orang di sekitarnya. la
meminta orang-orang memberikan perhatian penuh. Terlebih lagi, ia sangat tidak suka pria yang
disenangi tidak memberikan perhatian sepenuhnya, Lalita adalah seorang rani - raja perempuan. la
berkeyakinan dalam kehidupan sebelumnya ia adalah seorang ratu (Utami, 2012, 24). Dalam Saman,
novelnya yang diterbitkan, Ayu Utami menyuarakan pandangan tentang perempuan, tubuh, dan
seksualitas. Seksualitas yang membantah dalam karya ini mendorong perjuangan untuk melepaskan
diri dari konstruksi sosial yang selama ini dibangun di masyarakat. Dalam Lalita, Ayu Utami juga
kembali menghadirkan wacana seksualitas. la menunjukkan keberaniannya mengungkap cerita
tentang hubungan seksual, sesuatu yang sampai saat ini masih dianggap tabu untuk dibicarakan.
Namun, Ayu mampu menyampaikannya dengan gaya bahasa yang sangat baik. Perempuan Indigo
menamainya "axis mundi kecil". lalah celah kecil lembut di antara tonjolan leher rahim dan dinding
terdalam vagina. Tapi untuk mencapainya, pihak kedua harus menjadi feminin dan maskulin
sekaligus. Titik ini mensyaratkan keseimbangan dan tak diizinkan dominasi. Hubungan seks bisa saja
terjadi oleh pemerkosaan, atau persetubuhan yang dangkal, dan sebagian pelakunya mengatakan itu
nikmat juga, tetapi axis mundi hanya bisa dicapai oleh kesetaraan antara lelaki-perempuan secara
mental maupun fisik. (Utami, 2012, 32) Penggalan adegan memberikan gambaran tersirat tentang
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kegiatan seksi. Secara keseluruhan, pengarang
ingin melakukan hubungan seksi yang diminta oleh salah satu pihak. Konstruksi yang dibangun oleh
masyarakat membentuk anggapan bahwa perempuan ideal adalah sosok yang pasif dan penurut,
termasuk untuk urusan ranjang. Seringkali yang terjadi, perempuan hanya menggunakan objek
kepuasan seksi untuk lelaki. Sebaliknya, pandangan yang berbeda dalam paragraf di atas, ingin
menyampaikan ide kesetaraan, tidak ada satu pihak pun yang dapat mendominasi pihak lain karena
sama-sama berkedudukan sebagai subjek. Seperti yang disampaikan selanjutnya oleh Ayu Utami,
"Poros dunia mensyaratkan simetri antara dua kutub yang komplementer. Langit-bumi. Pria-wanita.
Feminin-maskulin, Terang-hitam. 2012, 32-33). Lalita melakukan komunikasi dengan tokoh lain
seperti Sandi Yuda, dan Parang Jati. Kesetaraan jender yang merupakan manifestasi dari
multikulturalisme terjadi tatkala Yuda menyelamatkan Lalita dari permainan melayangnya piala
anggur yang ditontonnya. ke Rumah. Ajakan itu cukup mengejutkan bagi Yuda, la bahkan terlalu
mengejutkan wanita ini (Lalita) dan tidak bisa diduga. (Utami 2012, 25).

Selanjutnya, hubungan antara semakin intens, bahkan Yuda ingin ditolak- nya dengan halus.
Dikatakan pula bahwa Yuda belum ingin berselingkuh. la tidak sedang dalam mode berpetualang. la
tidak sedang haus perempuan. Ia masih memiliki Marja sebagai fokusnya. Dari teks ini dapat
dianalisis hubungan antara tokoh Lalita, Yuda, dan pacarnya Marja mengendalikan perilaku Yuda.
Upaya

untuk tidak berselingkuh yang dipikirkan oleh Yuda merupakan tindakan tokoh yang sederajat tidak
mengenal perbedaan, baik pangkat maupun derajat. Kesetaraan inilah yang menyebabkan semakin
intens dalam hubungan, yaitu dari hubungan pertemanan menjadi hubungan badan bagaikan suami-
isteri. Dalam bagian lain, bagikan antartokoh merupakan multikultur yang penuh makna yang
muncul dalam bermasyarakat, seperti yang ada dalam teks berikut, Kini Lalita berdiri di hadapannya
sambil berkacak pinggang dengan santai. "Minuman?" "S-aku tidak merokok. Tapi tolong."
Perempuan itu tersenyum. Tak diambilnya rokok. Seolah ia tahu, merokok adalah kebiasaan orang
gugup juga. la suka menganggap itu sama saja tidak gugup. la yang memegang kendali, (Utami
2012, 29) Tenggang rasa yang dilakukan baik oleh Yuda maupun Lalita tampak dalam kutipan
tersebut. Yuda mempersilakan Lalita untuk merokok, karena ia sendiri tidak merokok. Sementara
itu, Lalita yang ingin merokok, berhubung Yuda tidak merokok, mengurungkan niatnya untuk
merokok. Tenggang rasa di antara para pendukung sangat terasa, demikianlah keikhlasan untuk
berkomunikasi di antara yang menjadi semakin kuat dan semakin mendalam.

Anda mungkin juga menyukai