Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Mual dan muntah (Morning Sickness, Emesis Gravidarum) adalah mual

dan muntah selama kehamilan yang terjadi antara 4 dan 8 minggu kehamilan dan

terus berlanjut hingga 14-16 minggu kehamilan dan gejala biasanya akan

membaik. Mual dan muntah selama kehamilan dapat berupa gejala yang ringan

hingga berat. Mual dan muntah adalah keluhan utama pada 70 %-80 %

kehamilan.1,4

Hiperemesis gravidarum menyebabkan tidak seimbangnya cairan,

elektrolit, asam-basa, defisiensi nutrisi dan kehilangan berat badan yang cukup

berat. Pada hiperemesis gravidarum dapat terjadi dehidrasi, asidosis akibat

kelaparan, alkalosis akibat hilangnya asam hidroklorida pada saat muntah,

hipokalemia dan ketonuria, sehingga mengharuskan pasien masuk dan dirawat di

rumah sakit.2,9,10

2.2 Faktor Predisposisi

Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti.1,2 Tidak

ada bukti bahwa penyakit ini disebabkan oleh faktor toksik juga tidak ditemukan

kelainan biokimia, perubahan-perubahan anatomik yang terjadi pada otak,

jantung, hati dan susunan syaraf, disebabkan oleh kekurangan  vitamin serta zat-

zat lain akibat kelemahan tubuh karena tidak makan dan minum. 1 Hiperemesis

tampaknya berkaitan dengan kadar gonadotropin korionik atau estrogen yang

tinggi atau meningkat pesat.7

3
Beberapa faktor predisposisi dan faktor lain yang telah ditemukan oleh

beberapa sebagai berikut:

1. Faktor predisposisi yang sering dikemukakan adalah primigravida, mola

hidatidosa dan kehamilan ganda. Frekuensi yang tinggi pada mola

hidatidosa dan kehamilan ganda menimbulkan dugaan bahwa faktor

hormon memegang peranan karena pada kedua keadaan tersebut hormon

khorionik gonadotropin dibentuk berlebihan.5,6 Ditemukan peninggian

yang bermakna dari kadar serum korionik gonadotropin total maupun β-

subunit bebasnya pada ibu dengan hiperemesis dibandingkan dengan yang

hamil normal.4

2. Masuknya vili khorialis dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik

akibat hamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap

perubahan ini merupakan faktor organik. 5,6

3. Alergi, sebagai salah satu respon dari jaringan ibu terhadap anak, juga

disebut sebagai salah satu faktor organik. 5,6

4. Faktor psikologik memegang peranan yang penting pada penyakit ini,

rumah tangga yang retak, kehilangan pekerjaan, takut akan kehamilan dan

persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai ibu, dapat

menyebabkan konflik mental yang dapat memperberat mual dan muntah

sebagai ekspresi tidak sadar terhadap keengganan menjadi hamil atau

sebagai pelarian kesukaran hidup. 5,6

5. Faktor endokrin lainnya: hipertiroid, diabetes, dan lain-lain. Gejala mual-

muntah dapat juga disebabkan oleh gangguan traktus digestivus seperti

pada penderita diabetes melitus (gastroparesis diabeticorum). Hal ini

4
disebabkan oleh gangguan motilitas usus pada penderita ini atau setelah

operasi vagotomi.5

6. Hubungan psikologik dengan hiperemesis gravidarum belum diketahui

pasti. Tidak jarang dengan memberikan suasana baru, sudah dapat

membantu mengurangi frekuensi muntah.5

2.3 Etiologi

Hingga saat ini penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara

pasti dan multifaktorial. Walaupun beberapa mekanisme yang diajukan bisa

memberikan penjelasan yang layak, namun bukti yang mendukung untuk setiap

penyebab hiperemesis gravidarum masih belum jelas. Beberapa teori telah

diajukan untuk menjelaskan penyebab hiperemesis gravidarum. Teori yang

dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis hiperemesis gravidarum, yaitu

faktor endokrin dan faktor non endokrin. Yang terkait dengan faktor endokrin

antara lain Human Chorionic Gonodotrophin, estrogen, progesteron, Thyroid

Stimulating Hormone, Adrenocorticotropine Hormone, human Growth Hormone,

prolactin dan leptin. Sedangkan yang terkait dengan faktor non endokrin antara

lain immunologi, disfungsi gastrointestinal, infeksi Helicobacter pylori, kelainan

enzym metabolik, defisiensi nutrisi, anatomi dan psikologis.2

Ada yang menyatakan bahwa perasaan mual adalah akibat dari

meningkatnya kadar estrogen, oleh karena keluhan ini terjadi pada trimester

pertama. Pengaruh fisiologik hormon estrogen ini tidak jelas, mungkin berasal

dari sistem sarafpusat atau akibat berkurangnya pengosongan lambung.

Penyesuaian terjadi pada kebanyakan wanita hamil, meskipun demikian mual dan

muntah dapat berlangsung berbulan-bulan.5,6

5
Notes : –→ previous publications, - - → hypotheses
Gambar 2.1. : Etiologi Hiperemesis Gravidarum.11

2.4 Patofisiologi

6
Hiperemesis gravidarum yang merupakan komplikasi mual dan muntah

pada hamil muda, bila terjadi terus-menerus dapat menyebabkan dehidrasi dan

tidak imbangnya elektrolit dengan alkalosis hipokloremik. Belum jelas mengapa

gejala-gejala ini hanya terjadi pada sebagian kecil wanita, tetapi faktor psikologik

merupakan faktor utama, di samping pengaruh hormonal. Yang jelas, wanita yang

sebelum kehamilan sudah menderita lambung spastik dengan gejala tidak suka

makan dan mual, akan mengalami emesis gravidarum yang lebih berat.5,6

Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat

dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang

tidak sempurna, terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseton-asetik, asam

hidroksibutirik dan aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan

kehilangan cairan karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan

ekstraseluler dan plasma berkurang. Natrium dan khlorida darah turun, demikian

pula khlorida air kemih. Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi,

sehingga aliran darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat

makanan dan oksigen ke jaringan mengurang pula dan tertimbunnya zat metabolik

yang toksik. Kekurangan kalium sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya

ekskresi lewat ginjal, menambah frekuensi muntah-muntah yang lebih banyak,

dapat merusak hati dan terjadilah lingkaran setan yang sulit dipatahkan. Di

samping dehidrasi dan terganggunya keseimbangan elektrolit, dapat terjadi

robekan pada selaput lendir esofagus dan lambung (Sindrom Mallory-Weiss),

dengan akibat perdarahan gastrointestinal. Pada umumnya robekan ini ringan dan

perdarahan dapat berhenti sendiri. Jarang sampai diperlukan transfusi atau

tindakan operatif.5,6

7
Banyak studi berusaha menilai kejadian dan prevalensi infeksi H. pylori,

cara penularannya dan setiap faktor risiko yang turut mendukung perkembangan

infeksi. Kejadian per tahun yang dilaporkan untuk infeksi H. pylori sebagai salah

satu penyebab hiperemesis gravidarum di negara-negara maju adalah 0,3 %- 0,5

% per tahun, sedangkan di negara-negara yang sedang berkembang 10 %-20 %.11

Reaksi tubuh terhadap infeksi H. Pylori pada wanita hamil, dapat berupa

kerusakan langsung pada mukosa lambung yang disebabkan oleh perubahan

dalam pH lambung atau melewati reaksi immunologik. Manifestasi infeksi H.

pylori bisa merupakan akibat dari perubahan pH lambung karena peningkatan

akumulasi cairan yang disebabkan peningkatan hormon steroid pada wanita

hamil. Perubahan pH pada saluran pencernaan diduga dapat menyebabkan

manifestasi infeksi subklinis H. pylori yang menimbulkan gejala gastrointestinal.2

Lambung merupakan sebuah organ yang berisi cairan asam, yang

menyebabkan sebagian besar mikroorganisme tidak mampu berkolonisasi di sini.

Namun penelitian membuktikan bahwa masih cukup banyak spesies bakteri yang

dapat memanfaatkan lambung sebagai tempat tinggal mereka. Salah satu di

antaranya adalah kuman H. pylori. H. pylori mempunyai sifat khusus, tinggal di

bawah lapisan mukus di permukaan epitel atau di mukosa lambung. Bakteri H.

pylori ini mempunyai mekanisme resistensi asam, khususnya urease yang akan

menguraikan urea menjadi karbon dioksida dan ammonia. Ammonia dapat

menetralisir asam hidroklorida dan dengan netralisasi asam di lambung maka

bakteri dapat mencapai epitel gaster. Infeksi H. pylori membutuhkan interaksi

yang kompleks dari faktor bakteri dan host.11

8
Beberapa peneliti mengidentifikasi protein bakteri yang diperlukan untuk

kolonisasi H. pylori pada mukosa lambung, termasuk protein yang aktif dalam

pengangkutan organisme ke permukaan mukosa (misalnya, flagellin, yang

disandikan pada gen flaA dan flaB). Begitu berada di dalam mukosa lambung,

bakteri memicu hypochlorhydria dengan mekanisme yang tidak diketahui. Enzym

urease yang dihasilkan bakteri mengubah lingkungan untuk mempermudah

kolonisasi. Kemudian terjadi perlekatan melalui interaksi antara glycolipid

permukaan sel dan adhesin yang spesifik terhadap H. pylori. Juga ada peranan

protein yang disebut cecropin, yang dihasilkan H. pylori sehingga menghambat

pertumbuhan organisme pesaing, dan juga oleh adenosinetriphosphatase tipe P

yang membantu mencegah alkalinisasi berlebihan.11

Begitu melekat pada mukosa lambung, H. pylori menyebabkan cedera

jaringan dengan rangkaian kejadian yang kompleks yang tergantung pada

organisme dan host. H. pylori, seperti halnya semua bakteri Gram negatif,

mempunyai lipopolisakarida di dalam dinding selnya, yang bertindak merusak

keutuhan mukosa. Lebih jauh lagi, H. pylori melepaskan beberapa protein

patologi yang memicu cedera sel. Sebagai contoh misalnya, protein CagA, yang

dihasilkan cytotoxic-associated gene A (cagA), adalah protein yang sangat

immunogenik, selain itu, produk protein vacuolating cytotoxin A gene (vacA)

yang kontak dengan epithelium diketahui terkait dengan cedera mukosa. 11

Perubahan kekebalan humoral selama hamil juga bisa menyebabkan

peningkatan kerentanan terhadap infeksi H. pylori pada kehamilan. Begitu

kolonisasi mukosa lambung terjadi, sifat-sifat immunogenik dari H. pylori

memicu reaksi inflamasi yang menyebabkan manifestasi klinik dari infeksi.

9
Proses ini diperantarai oleh faktor host, termasuk IL- 1, 2, 6, 8 dan 12, interferon

gamma, TNF-α, limfosit T dan B serta sel-sel fagositik. Faktor ini mengantarai

cedera melalui pelepasan spesies oksigen reaktif dan cytokin inflamasi. 11

Selain menyebabkan cedera lokal mukosa lambung, H. pylori mengubah

sekresi lambung normal. Banyak studi menunjukkan bahwa pasien yang terinfeksi

H. pylori mengalami peningkatan kadar gastrin serum, yang pada gilirannya

menyebabkan peningkatan output asam. Kondisi ini menyebabkan atrophy sel-sel

parietal yang bertanggung jawab dalam memproduksi asam dan sel-sel yang

memproduksi gastrin dari antrum yang menstimulasi sekresi asam dan akhirnya

menghasilkan achlorhydria. 11

2.5 Gejala dan Tanda

Batas jelas antara mual dalam kehamilan yang masih fisiologik dengan

hiperemesis gravidarum tidak ada. Ada yang mengatakan, bisa lebih dari 10 kali

muntah; akan tetapi bila keadaan umum penderita terpengaruh, sebaiknya ini

dianggap sebagai hiperemesis gravidarum.5,11 Hiperemesis gravidarum, menurut

berat ringannya gejala dapat dibagi ke dalam 3 tingkatan:

2.5.1 Tingkat I. Ringan

Mual muntah terus-menerus yang mempengaruhi keadaan umum

penderita, ibu merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan

nyeri epigastrium. Frekuensi nadi meningkat sekitar 100 kali per menit, tekanan

darah sistolik menurun, turgor kulit berkurang, lidah kering dan mata cekung.5,6,11

2.5.2 Tingkat II. Sedang

10
Penderita tampak lebih lemah dan apatis, turgor kulit lebih mengurang

lidah mengering dan tampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik

dan mata sedikit ikteris. Berat badan turun dan mata cekung, tensi turun,

hemokonsentrasi, oliguria dan konstipasi. Dapat pula tercium aseton dalam hawa

pernapasan, karena mempunyai aroma yang khas dan dapat pula ditemukan dalam

kencing.5,6,11

2.5.3 Tingkat III. Berat

Keadaan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran menurun dari

somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi menurun.

Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai ensefalopati

Wernicke, dengan gejala nistagmus, diplopia dan perubahan mental. Keadaan ini

adalah akibat sangat kekurangan zat makanan, termasuk vitamin B komplek.

Timbulnya ikterus menunjukkan adanya payah hati.5

2.6 Diagnosis

Untuk diagnosis, pasien mana yang harus ditest, kapan ditest dan test apa

yang harus digunakan masih merupakan pertanyaan sulit. Jawaban pertanyaan ini

didasarkan pada keadaan pasien, biaya, ketersediaan test dan nilai prediktif positif

dan negatif dari test yang berbeda-beda. 11

Pada diagnosis harus ditentukan adanya kehamilan dan muntah yang terus-

menerus, sehingga mempengaruhi keadaan umum. Pemeriksaan fisik pada pasien

hiperemesis gravidarum biasanya tidak memberikan tanda-tanda yang khusus.

Lakukan pemeriksaan tanda vital, keadaan membran mukosa, turgor kulit, nutrisi

dan berat badan. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai penurunan berat badan 5

% dari berat sebelum hamil, dehidrasi, turgor kulit yang menurun, perubahan

11
tekanan darah dan nadi. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara

lain, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar elektrolit, keton urin, tes

fungsi hati, dan urinalisa untuk menyingkirkan penyebab lain. Bila

hyperthyroidism dicurigai, dilakukan pemeriksaan T3 dan T4. Lakukan

pemeriksaan ultrasonografi untuk menyingkirkan kehamilan mola. 2,9,10

2.7 Penatalaksanaan

Terdapat beberapa kontroversi mengenai tipe pengobatan yang harus

diberikan pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Terapi cairan dan

elektrolit parenteral pengganti, pemberian vitamin B6, antiemetik dan tirah

baring secara rutin digunakan pada hiperemesis gravidarum dan biasanya tanpa

perbaikan yang berarti. Hal ini tidak mengherankan, karena obat-obat tersebut

tidak ada yang mempengaruhi infeksi H. pylori.

H. pylori merupakan organisme yang hidup di dalam lingkungan yang

tidak mudah diakses banyak obat, selain itu karena resistensi bakteri yang muncul

menimbulkan tantangan tambahan. Lagipula, banyak aturan yang

direkomendasikan sulit dilaksanakan oleh pasien, yang menimbulkan masalah

dengan kepatuhan, dengan harus mengkonsumsi obat dalam jumlah besar

setidaknya dua kali sehari dan efek yang tidak menyenangkan, sehingga tidak

banyak berpengaruh dalam mendorong kerjasama pasien. Meskipun dengan

kendala-kendala ini, aturan pengobatan saat ini bisa memperoleh tingkat

kesembuhan lebih dari 85 % pada sebagian besar populasi pasien.11

2.7.1 Antibiotik

12
Sekarang ini obat antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi H. pylori

dan diberikan secara kombinasi dengan inhibitor pompa proton. Terapi obat

tunggal sudah jarang digunakan dikarenakan kurangnya efektifitas dan

perkembangan potensial resistensi.11

Metronidazole mempunyai aktivitas yang tidak tergantung pada pH, tetapi

resistensi terhadap obat sudah terjadi di Amerika Serikat. Dosis metronidazole 2

x 500 mg selama 10-14 hari. Metronidazole oleh Food and Drug Administration

(FDA) sebagai obat kategori C. Penggunaan pada trimester pertama dapat

menyebabkan kelainan kongenital berupa retardasi mental, dislokasi panggul,

hidrokel, bibir sumbing, holotelencephaly, atrofi organ penglihatan dan kelainan

pada tangan, sehingga di kontraindikasikan pada trimester pertama, tetapi dapat

digunakan pada trimester kedua dan ketiga jika pengobatan alternatif lain tidak

memberikan respon yang baik.11

Clarithromycin mempunyai tingkat resistensi yang lebih rendah kira-kira 7

%-11 % tetapi tidak stabil asam dan dengan harga yang lebih mahal daripada obat

antibiotik lainnya. Dosis clarithromycin 2 x 500 mg selama 10-14 hari.

Clarithromycin oleh FDA sebagai obat kategori C. Penggunaan pada trimester

pertama dapat menyebabkan efek teratogenik dan fetotoksik berupa kelainan

kardiovaskuler, bibir sumbing, dan Intrauterine Growth Retardation (IUGR). 11

Tetracycline mempunyai kelebihan berupa biaya murah dan dengan

kejadian resistensi yang juga rendah, tetapi bisa menyebabkan perubahan warna

gigi yang permanen pada anak, hipoplasia enamel dan reaksi photosensitivitas.

Dosis tetracycline 2 x 500 mg selama 10-14 hari. Tetracycline oleh FDA sebagai

obat kategori D. 11

13
Amoxicillin banyak digunakan, karena resistensi terhadap obat ini jarang,

tetapi obat ini biasanya mengharuskan pemberian secara bersamaan inhibitor

pompa proton, karena aktivitasnya yang tergantung pH. Dosis amoxicillin 2 x 1

gram selama 10-14 hari. Amoxicillin oleh FDA sebagai obat kategori B. 11

Erythromycin dapat digunakan pada pengobatan hyperemesis

gravidarum. Pasien dengan hyperemesis gravidarum yang terbukti seropositif

terhadap H. pylori dapat bereaksi secara baik terhadap terapi erythromycin oral

yang di konsumsi. Dosis erythromycin 4 x 500 mg selama 10-14 hari.

Erythromycin oleh FDA sebagai obat kategori B. 12

2.7.2 Inhibitor Pompa Proton

Obat paling populer yang digunakan saat ini secara kombinasi dengan obat

antibiotik untuk membasmi infeksi H. pylori adalah inhibitor pompa proton,

dengan omeprazole sebagai obat yang paling banyak distudi. Inhibitor pompa

proton yang lebih baru yaitu lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole juga sudah

digunakan. Inhibitor pompa proton bukan hanya bertindak dengan menghambat

enzym mikrosom bakteri secara langsung tetapi juga dengan menaikkan pH di

dalam lambung, yang dengan demikian memperlancar kerja obat antibiotik,

mengurangi sekresi lambung dan meningkatkan konsentrasi antibiotik di dalam

lambung. H. pylori dapat hidup dalam suasana asam, sehingga bila sekresi asam

menurun maka kolonisasi H. pylori juga akan berkurang. Tujuan pengobatan ini

adalah untuk menghilangkan keluhan, menyembuhkan ulkus peptikum dan

mencegah kekambuhan dan komplikasi.11

2.7.3 Terapi Tambahan

14
Pemberian cairan parenteral dan elektrolit yang sesuai merupakan regimen

terapi pada hiperemesis gravidarum. Diberikan larutan kristaloid intravena untuk

memperbaiki dehidrasi, ketonemia, defisit elektrolit, dan ketidakseimbangan

asam-basa. Cairan intravena diberikan hingga muntah dapat dikontrol. 12

Terapi tambahan lainnya meliputi antagonis reseptor histamin dan

ranitidine bismuth citrat, yang memiliki sifat antisekresi dan tindakan antibakteri

bismuth dengan mengganggu dinding sel bakteri. Akan tetapi, ranitidine bismuth

citrat tidak lagi ada tersedia di Amerika Serikat.11

Berbagai antiemetik dan asupan vitamin bisa diberikan sebagai terapi

tambahan. Promethazine, prochlorperazine, chlorpromazine, meclizine,

droperidol, diphenhydramine, dan metoclopramide adalah obat yang umum

digunakan secara rutin untuk meredakan mual dan muntah. Rute intravena atau

rektal bisa mula-mula digunakan dan diganti dengan rute oral bila gejala-gejala

mulai menghilang. Jika tidak ada ditemukan reaksi dalam beberapa hari dan

gejala-gejala tetap bertahan bahkan pada tingkat yang lebih berat, seperti

gastroenteritis, cholecystitis, pankreatitis, hepatitis, ulcus peptik, dan

pyelonephritis haruslah dimasukkan dalam diagnosis banding dan pasien harus

dinilai ulang. Dukungan psikologis dari tim medis dan keluarga pasien dapat

menambah pada penanganan pasien.12

Pasien harus menghindari bau-bau yang merangsang dan makanan yang

tidak diinginkan karena keduanya bisa memicu muntah. Setelah pulang dari

rumah sakit kekambuhan pada sebagian pasien dapat terjadi dan perawatan inap

ulang mungkin diperlukan. Selain obat antiemetik, pyridoxine tampaknya lebih

efektif dalam mengurangi keparahan mual. 12

15
Risiko relatif untuk terjadinya kelainan kongenital mayor pada anak dari

pasien yang terpapar pada antihistamin pada trimester pertama diteliti dengan

menilai 24 studi terkontrol yang melibatkan lebih dari 200.000 wanita. Tidak ada

ditemukan peningkatan risiko teratogenik, dan antihistamin terbukti aman bila

diresepkan selama kehamilan. 12

Pemberian infus droperidol dan diphenhydramine intravena bolus dikaji

pada hiperemesis gravidarum dan dibandingkan dengan pasien lain yang tidak

menerima obat. Kelompok studi menjalani masa yang lebih singkat di rumah sakit

dengan lebih sedikit masuk rumah sakit kembali. Pengobatan droperidol dan

diphenhydramine dilaporkan bermanfaat dengan biaya yang terjangkau. 12

Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine yang

digunakan untuk mencegah mual dan muntah berat selama kemoterapi dan pada

periode pascaoperatif. Obat ini oleh FDA didaftarkan sebagai obat kategori B.

Ondansetron bisa dicanangkan untuk kasus-kasus resisten. Tidak ada ditemukan

efek merugikan untuk ibu atau janin pada pasien yang diobati dengan obat ini

pada setiap trimester. Dilaporkan bila ondansetron dibandingkan promethazine

dengan cara double-blinded yang mencakup 15 pasien dalam masing-masing

kelompok. Tidak ada ditemukan perbedaan dalam peredaan mual, pertambahan

berat badan dan lama rawat inap. 12

Steroid bisa digunakan sebagai aturan pengobatan alternatif pada pasien

yang resisten terhadap terapi standar. Dilaporkan pertama kali pada tahun 1953

bahwa pengobatan cortisone menyebabkan berhentinya hiperemesis secara total.

Sejak itu, berbagai bentuk terapi digunakan. Masa pengobatan

methylprednisolone singkat, 16 mg tiga kali sehari, dengan penurunan bertahap/

16
tapering off selama masa dua minggu terbukti lebih efektif bila dibandingkan

dengan promethazine. Ada tingkat perbedaan yang signifikan dalam masuknya

kembali ke rumah sakit. Berat lahir dan skor Apgar tidak berbeda. Obat ini

memberikan efeknya melalui zona pemicu kemoreseptor yang berlokasi di

batang otak.

Model terapi ini bisa dimulai di rumah sakit dan terus berlanjut di

lingkungan rawat jalan dan untuk pasien yang resisten terhadap hidrasi intravena

standar dan antiemetik. Dalam studi lain hydrocortisone intravena diikuti dengan

prednisolone oral pada tujuh pasien dengan hiperemesis gravidarum resisten,

ditemukan muntah-muntah berhenti dalam tiga jam dosis pertama hydrocortisone

dan gejala-gejala sembuh dalam hitungan hari dengan mulainya kembali selera

makan yang normal dan kembalinya berat badan yang hilang. 12

2.7.4 Nutrisi Parenteral

Nutrisi parenteral mungkin diperlukan pada kasus berat. Pemberian

makanan enteral adalah pendekatan alternatif setelah gejala-gejala akut berakhir

dengan terapi awal. Bentuk nutrisi ini haruslah dipertimbangkan pada pasien yang

tidak bisa mentoleransi pemberian makanan oral meskipun dengan adanya

pengobatan antiemetik. Kadang-kadang sangat sulit bagi pasien makan dengan

beban mual dan muntah yang berat. Kuscu melakukan pemberian makanan

menggunakan pipa nasogastrik / Nasogastric Tube (NGT).pada tujuh wanita

dengan muntah-muntah yang berat untuk pemberian asupan gizi, ini terbukti

efektif dalam meredakan gejala-gejala hiperemesis gravidarum. 12

17
Aturan pengobatan saat ini di Amerika Serikat, bahwa pengobatan

mencakup 2 obat antibiotik dan 1 obat tambahan selama 14 hari. Studi di Eropa

menyebutkan angka kesembuhan terjadi dengan masa terapi 7 hari dengan 2 obat

antibiotik dan 2 obat tambahan.

Sebagian besar praktisi klinik mengobati infeksi H. pylori dengan

pendekatan obat rangkap tiga atau bahkan pendekatan obat rangkap empat.

Petunjuk dari American College of Gastroenterology tahun 1998 menggunakan 3

aturan berikut: 11

(1) pemberian inhibitor pompa proton, clarithromycin dan metronidazole

atau amoxicillin selama 2 minggu,

(2) pemberian ranitidine bismuth citrat, clarithromycin dan metronidazole,

amoxicillin atau tetracycline selama 2 minggu,

(3) pemberian inhibitor pompa proton, ranitidine bismuth citrat,

metronidazole dan tetracycline selama 2 minggu. Inhibitor pompa

proton yang digunakan adalah omeprazole 2 x 20 mg. Penggunaan

inhibitor pompa proton yang lebih baru yaitu lansoprazole 2 x 30 mg,

pantoprazole 2 x 40 mg, rabeprazole 2 x 20 mg.

Untuk pasien yang gagal dalam terapi obat rangkap tiga awal, terapi

selanjutnya akan melibatkan penggunaan kombinasi terapi rangkap empat, yang

meningkatkan durasi pengobatan. Kultur dengan pengujian sensitivitas haruslah

dilaksanakan setelah 2 kegagalan pengobatan.11

Nama Obat Dosis Kategori


FDA
Pyridoxine (Vitamin B6) 25 mg oral 3 x sehari A
Antiemetik
Chlorpromazine 10-25 mg oral, 2-4 kali C

18
sehari
Prochlorpromazine 5-10 mg oral, 3-4 kali C
sehari
Promethazine 12,5-25 mg oral,tiap 4-6 C
jam
Trimethobenzamide 250 mg oral 3-4 kali C
sehari
Ondansentron 8 mg oral, 2-3 kali sehari B
Droperidol 0,5-2 mg IV/IM, tiap 3-4 C
jam
Antihistamin dan Antikolinergik
Diphenhydramine 25-50 mg oral,tiap 4-8 B
jam
Meclizine 25 mg oral, tiap 4-6 jam B
Dimenhydrinate 50-100 mg oral, tiap 4-6 B
jam
Motility Drug
Metoclopramid 5-10 mg oral, 3 kali B
sehari
Kortikosteroid
MethylPrednisolone 16 mg oral, 3 kali sehari C
kemudian diturunkan
Tabel 2.1 Terapi Tambahan Vitamin, Antiemetik, Antihistamin dan

Kortikosteroid. 12

Proton Pump Inhibitors Dosis Kategori FDA


Lansoprazole 30 mg oral, 2 kali sehari B
Omeprazole 20 mg oral, 2 kali sehari B
Pantoprazole 40 mg oral, 2 kali sehari B
Raberprazole 20 mg oral, 2 kali sehari B

Tabel 2.2 Terapi Tambahan Inhibitor Pompa Proton

2.8 Komplikasi

Baik komplikasi yang relatif ringan maupun berat bisa disebabkan karena

hiperemesis gravidarum. Kehilangan berat badan, dehidrasi, acidosis akibat dari

gizi buruk, alkalosis akibat dari muntah-muntah, hipokalemia, kelemahan otot,

kelainan elektrokardiografi dan gangguan psikologis dapat terjadi. Komplikasi

yang mengancam nyawa meliputi ruptur esofagus yang disebabkan muntah-

19
muntah berat, Wernicke's encephalopathy (diplopia, nystagmus, disorientasi,

kejang, coma), perdarahan retina, kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan,

IUGR dan kematian janin. Pasien dengan hiperemesis gravidarum pernah

dilaporkan mengalami epistaksis pada minggu ke-15 kehamilan karena intake

vitamin K yang tidak adekuat yang disebabkan emesis berat dan

ketidakmampuannya mentoleransi makanan padat dan cairan. Dengan

penggantian vitamin K, parameter-parameter koagulasi kembali normal dan

penyakit sembuh. Vasospasme arteri cerebral yang terkait dengan hiperemesis

gravidarum juga ada dilaporkan pada beberapa pasien. Vasospasme didiagnosa

dengan angiografi Magnetic Resonance Imaging (MRI). 2,12

Tetapi bila semua bentuk pengobatan gagal dan kondisi ibu menjadi

mengancam nyawa, pengakhiran kehamilan merupakan pilihan. Verberg

melaporkan pilihan pengakhiran kehamilan kira-kira 2 % pada kehamilan yang

terkomplikasi dengan hiperemesis gravidarum.2

Namun demikian, Kuscu dan Koyuncu menilai luaran maternal dan

neonatal dari penderita hiperemesis gravidarum yang diteliti pada dua penelitian

berbeda yang melibatkan 193 dan 138 pasien. Dari 193 pasien, 24%

membutuhkan perawatan inap dan satu pasien membutuhkan nutrisi parenteral.

Berat lahir, usia kandungan, kelahiran preterm, skor Apgar, mortalitas perinatal

dan kejadian kelainan bawaan janin tidak berbeda antara pasien hiperemesis dan

populasi umum. Dalam studi lainnya, tidak ada terdeteksi peningkatan risiko

keterlambatan pertumbuhan, kelainan bawaan dan prematuritas. Umumnya

hiperemesis gravidarum dapat disembuhkan. Dengan penanganan yang baik

20
prognosis hiperemesis gravidarum sangat memuaskan. Namun pada tingkat yang

berat penyakit ini dapat mengancam jiwa ibu dan janin. 12

21

Anda mungkin juga menyukai