Anda di halaman 1dari 13

SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 11 Nomor 1 Edisi Juni 2014 (73—85)

MERANTAU KE DELI KARYA HAMKA


DALAM PERSPEKTIF INTERKULTURALISME
(Merantau ke Deli, a Hamka’s Novel in Interculturalism Perspective)

Daratullaila Nasri, Muchlis Awwali


Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat, Simpang Alai Cupak Tangah, Pauh Limo, Pauh,
Padang 25162, Pos-el: daratullailanasri@gmail.com, HP: 081218186237;
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Limau Manis, Padang 25162,
1966muchlis@gmail.com; HP: 081374273461
(Naskah diterima: 3 Februari 2014, Disetujui: 27 Maret 2014)

Abstract
Merantau Ke Deli is one of the stories which raise the issue of inter-ethnic existing in Indonesia.
The emergence of a new culture of which could be due to the occurrence of intercultural
contact. There are times when even this intercultural contact received by a culture and society
as the owner often also rejected. This writing aims to answer the question ‘why a culture can
be accepted or rejected in a society? To know that, the approach used in this writing is
interculturalism. This approach focuses the study of the origin culture which is different,
must be understanding, evaluating, accepting, or rejecting in one perspective and one action
of certain culture. Through this writing it can be prooved that religion is one aspect of culture
that can make difference culture united. Besides, tradition is also an aspect of culture that
can be accept or reject another culture. From this research it can be concluded that inter-
ethnic culture differences show diversity and richness in culture which exist in Indonesia.
Inter-culture differences not only separated but also can unite the owner of the culture.
Keywords: Interculturalism, religion, tradition

Abstrak
Merantau Ke Deli merupakan salah satu kisah yang mengangkat persoalan antaretnik yang
ada di Indonesia. Munculnya sebuah kebudayaan baru di antaranya bisa disebabkan terjadinya
kontak antarbudaya. Kontak antarbudaya ini pun adakalanya diterima oleh suatu kebudayaan
dan tidak jarang juga ditolak. Tulisan ini bertujuan menjawab pertanyaan mengapa sebuah
budaya bisa diterima atau ditolak dalam suatu masyarakat? Untuk mengetahui hal tersebut
digunakan pendekatan interkulturalisme. Pendekatan ini (interkulturalisme) dalam karya sastra
menfokuskan kajiannya pada berbagai asal budaya yang berbeda dipahami, dinilai, diterima,
atau dikeluarkan (ditolak) dalam satu perspektif dan tindakan budaya tertentu. Melalui tulisan
ini dapat dibuktikan bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dapat
mempersatukan budaya yang berbeda. Selain itu, tradisi juga merupakan unsur kebudayaan
yang dapat menolak dan menerima kebudayaan lain. Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa perbedaan budaya antaretnik memperlihatkan keberagaman dan kekayaan budaya yang
hidup di Indonesia. Perbedaan antarbudaya tidak hanya dapat memisahkan, tetapi juga dapat
mempersatukan pemilik kebudayaan tersebut.
Kata kunci: Interkulturalisme, agama, dan tradisi

73
SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 11 Nomor 1 Edisi Juni 2014 (73—85)

1. Pendahuluan pemerintah Inggris saat itu mendatangkan kuli


Tanah Deli khususnya dan Sumatra dari daerah lain, seperti Jawa dan dari dataran
Timur umumnya telah terbuka sejak Cina (Stoler dalam Azwar, 2004:3).
seratus tahun yang lalu, terbuka bagi Kehidupan masyarakat yang beragam
pengusaha-pengusaha besar bangsa tersebut telah menginspirasi Hamka dalam
asing, menanam tembakau, karet, ceritanya yang berjudul Merantau ke Deli,
benang nenas dan kelapa sawit. Maka sebagaimana yang dikemukakan oleh Hamka
berduyunlah datang ke sana orang yang dalam kutipan berikut ini.
mengadu untungnya, dari setiap suku Pada perasaan saya, di antara buku-buku
bangsa kita. Kuli-kuli kontrak dari Jawa, roman yang saya tulis, “Merantau ke
saudagar-saudagar kecil dari Deli” inilah yang lebih memuaskan hati.
Minangkabau, Tapanuli, Bawean, Sebab bahannya semata-mata saya dapati
Banjar dan Betawi (Jakarta) dan lain- dalam masyarakat sendiri, yang saya lihat
lain. setelah menempuh berbagai macam dan saksikan. Sebelum saya memimpin
kesulitan, timbullah suatu asimilasi Majalah “Pedoman Masyarakat” (1936),
(perpaduan) bangsa. Timbullah akhirnya sebalik saya pulang dari Mekkah di tahun
satu keturunan (generasi) baru yang 1928, berbulan-bulan saya menjadi Guru
dinamai “Anak Deli”; dan “Anak Deli” Agama di satu pekan kecil, tempat hidup
inilah satu tunas yang paling mekar pedagang-pedagang kecil, bernama
daripada pembangunan bangsa Pekan Bajalinggai dekat Tebing Tinggi,
Indonesia! (Hamka,1977:7) Deli. Saya saksikan dan saya pergauli
kehidupan pedagang kecil dan saya
Kutipan di atas merupakan gambaran saksikan serta saya lihat kehidupan kuli-
keberagaman etnik yang hidup di negeri Deli. kuli kontrak yang diikat oleh “Poenale
Kehadiran mereka di tanah Deli saat itu atas Sanctie” yang terkenal dahulu itu. Maka
dasar kepentingan ekonomi karena di daerah daripada kehidupan yang demikian saya
tersebut pada tahun 1863 telah dibuka mendapat pokok bahan dari ceritera
perkebunan tembakau. Perkebunan itu dibuka “Merantau ke Deli” ini (Hamka, 1977:7).
oleh Jacob Nienhuys, seorang bangsa Belanda.
Komoditas itu mulai mendapat pasaran di akhir Apa yang telah dilakukan Hamka tersebut
abad ke 19 karena merokok mulai menjadi erat kaitannya dengan karya sastra sebagai
gaya hidup bagi kaum laki-laki dan termasuk cermin masyarakat (Damono, 1984:12).
sebagian kecil kaum perempuan. Apalagi bagi Namun, kehidupan masyarakat yang
masyarakat yang hidup di daerah yang bersuhu dikisahkan pengarang tidaklah fotokopi dari
dingin, rokok sudah menjadi suatu kebutuhan. realitas, tetapi fakta yang difiksikan. Realitas
Perkebunan tersebut berkembang pesat adalah produk dan konstruksi manusia. Pada
sehingga perlu mendatangkan tenaga kerja dari tingkat paling ketat kita hanya dapat
berbagai daerah. Pada awalnya, para kuli mengatakan bahwa fakta itu ada, yakni
didatangkan dari Singapura dan Malaka. kenyataan, peristiwa, dan pengalaman yang
Mereka adalah orang-orang Cina yang tinggal kompleks, multifaset, senantiasa mengalir,
di kedua negara tersebut. Karena perlakuan tidak pernah habis terumuskan oleh khazanah
yang tidak manusiawi dari tuan kebun, upah pola ungkap manusia (kata, nada, gerak, rupa,
yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, serta dan sebagainya). Artinya realitas adalah objek
angka kematian kuli yang meningkat, para kuli karya sastra (Kuntowijoyo, 2012).
semenanjung tidak mau lagi bekerja di Karya sast ra sebagai media unt uk
perkebunan Deli. Sementara itu, perusahaan menyampaikan ide-ide, pemikiran, kritik,
perkebunan terus berkembang dan kebutuhan hiburan, pesan-pesan dan sebagainya atas
akan pekerja semakin meningkat sehingga fenomena yang tertangkap oleh indera si

74
Daratullaila Nasri, Muchlis Awwali: Merantau ke Deli Karya Hamka dalam Perspektif Interkulturalisme

pengarang. Perlakuan pengarang terhadap Minang. Anak yang lahir dari perkawinan
fenomena tersebut dapat diklasifikasikan atas tersebut akan mewarisi suku ibunya. Tidak
beberapa bagian. Pertama, Apabila karya demikian halnya apabila laki-laki Minang
tersebut semata-mata melukiskan tanpa menikahi perempuan di luar budaya
menyatakan sikap pada sistem sosial (sekadar Minangkabau. Perkawinan tersebut akan
menyajikan gejala sosial) disebut sebagai mengubah struktur adat karena anak yang lahir
sastra simtomatik. Kedua, sastra yang dari perkawinan itu tidak akan mewarisi apa
menganalisis masyarakat dan menyatakan pun dari budaya Minangkabau.
pendapatnya secara sadar dapat disebut Keputusan Leman menikah untuk kedua
sebagai sastra diaknostik karena mencoba kali itu menimbulkan konflik dalam rumah
merekayasa masyarakatnya. Ketiga, apabila tangga mereka. Leman menikahi perempuan
sastra menjadi kritik sosial dan melakukan sekampungnya karena tidak bisa lepas dari
analisis dengan penuh perlawanan terhadap ikatan budaya yang membesarkannya, karena
masyarakatnya ia disebut sastra dialektik set iap insan yang berbudaya pasti
karena sistem simbol dan sistem sosial mendefinisikan dirinya dengan kebudayaannya
dipertentangkan. Keempat, sastra (sebagai) sendiri. Ikatan budaya pada diri seseorang
alternatif, yang mencoba untuk membebaskan mempengaruhi bagaimana ia mengekspresikan
sastra sebagai sist em simbol dari diri di tengah masyarakat. Demikian juga
masyarakatnya, sastra yang mencari otonomi halnya dengan Leman. Ia tidak mungkin mau
penuh dan berdiri sebagai sistem tandingan keluar dari budaya Minangkabau. Sikap
(Kuntowijoyo, 2006:196). memihak terhadap budaya yang dianut itu
Merujuk pendapat Kontowijoyo tersebut, memaksa Leman harus memilih salah satu
Hamka memposisikan karyanya pada poin perempuan yang telah dinikahinya, yaitu
ketiga. Melalui novel Merantau ke Deli, Mariatun, perempuan sekampung dan
Hamka menyorot sebagian kecil fenomena sebudaya dengannya.
kehidupan masyarakat Deli dan sekaligus Persoalan perkawinan antaretnik, seperti
mengkritik sikap chauvinistik dan egosentris yang dialami Leman dan Poniem tersebut
orang Minangkabau. Dalam novel tersebut menarik dilihat dari sudut pandang
Hamka mengisahkan pertemuan dua anak interkulturalisme. Kontak antarkultur atau
manusia yang berasal dari etnik yang berbeda. antarbudaya dalam sejarah kebudayaan
Mereka adalah Leman, perantau Minang yang tertentu adalah suatu hal yang tidak dapat
hidup sebagai pedagang dan Poniem, dihindari. Terjadinya kontak antarbudaya
perempuan Jawa yang menjadi gundik di merupakan suatu hal yang nyata. Kontak
perkebunan Deli. Perbedaan budaya dari kedua ant arbudaya tersebut bisa melalui
insan tersebut tidak menjadi penghalang bagi perseorangan, seperti lewat pengajaran,
mereka untuk menjalani hidup berumah perjalanan, perdagangan, pelayaran,
tangga. Semula pernikahan Leman dan Poniem permukiman, dan penaklukan (Yusuf, 1991:4).
berjalan dengan bahagia. Namun, kebahagiaan Kontak antarbudaya tersebut dapat direkam
itu tidak berlangsung lama karena Leman melalui catatan sejarah dan goresan pena para
memutuskan beristri lagi dengan orang sastrawan pada suatu zaman.
sekampungnya. Penelit ian sast ra dalam perspektif
Hal itu dilakukan Leman karena dalam interkulturalisme belum banyak ditemukan.
pandangan masyarakat Minangkabau Salah satu pendeteksi hal itu adalah dengan
perkawinan ideal bagi mereka adalah memanfaatkan media internet. Ketika kita
perkawinan antara “awak sama awak”, mencoba searching di int ernet dan
perkawinan sesama orang Minang (Navis, mengentrikan kata interkulturalisme dalam
1984:194). Melalui perkawinan tersebut akan karya sastra atau perspektif interkulturalisme
tercipta identitas baru bagi seorang laki-laki dalam karya sastra, tidak banyak esai yang

75
SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 11 Nomor 1 Edisi Juni 2014 (73—85)

didapatkan berkaitan dengan subjek entri budaya, dan cara kehidupan dipraktikkan. Hal
tersebut. Faktor inilah mendorong penulis ini berangkat dari asumsi bahwa manusia
untuk membuat sebuah tulisan yang berkaitan (pengarang) merupakan proses panjang hasil
dengan menerapkan teori interkulturalisme interkulturalisasi sehingga karya sastra secara
terhadap karya Hamka ini. inheren merupakan produk interkultural.
Sehubungan dengan hal tersebut, Hamka Kedua, Jika diandaikan teks sastra sebagai
melalui karya sastra telah menyajikan kepada suatu yang mandiri maka karya sastra dapat
pembaca sebuah cerita yang tokoh dit empatkan sebagai medan t ekst ual
protagonisnya berasal dari budaya berbeda. bagaimana secara instrinsik budaya-budaya
Perkawinan antara Leman dan Poniem adalah yang berbeda diposisikan, dikelola, dinilai, dan
atas dasar saling menyukai, bukan paksaan. kemudian dinarasikan. Hal itu terjadi jika
Kehidupan rumah tangga mereka berjalan dalam karya sastra tersebut terdapat berbagai
bahagia. Kebahagian itu berjalan sesaat karena karakter (tokoh-tokoh) yang berasal dari
Leman menikahi lagi perempuan budaya ataupun setting yang berbeda. Suatu
sekampungnya. Dari perkawinan Leman dan kajian tentang posisi, pengelolaan, penilaian,
Poniem tersebut dapat ditarik dua hal penting. dan kontekstualisasi fakta cerita dalam karya
Pertama, perbedaan budaya tidak menjadi sastra tersebut merupakan kajian yang penting
persoalan dalam rumah tangga mereka. Kedua, untuk mengetahui bagaimana kultur yang
perbedaan budaya pada akhirnya memisahkan berbeda saling dipertemukan, saling mengisi,
kehidupan keluarga mereka. atau saling dipertentangkan. Ketiga, karya
Terkait dengan kedua hal tersebut batasan sastra dapat ditempatkan sebagai karya
masalah tulisan ini dapat dirumuskan. Pertama, “etnografis” tertentu, sebagai satu tulisan
faktor apa yang mempersat ukan relasi persentuhan antarbuadaya, antara pengarang
antarbudaya kedua tokoh protagonis tersebut. dan budaya tertentu. Misalnya, seorang
Kedua, faktor apa yang memisahkan hubungan pengarang dari Minang menulis tentang
antarbudaya kedua tokoh itu. Dengan masyarakat Jawa. Cara pandang, narasi-narasi,
demikian, penelitian ini bertujuan dan artikulasi merupakan masalah yang penting
mendeskripsikan fenomena budaya tertentu untuk dikaji karena karya sastra menjadi wadah
dan kontak antarbudaya sehingga kebudayaan negosiasi antara dua kultur (atau lebih) yang
yang satu diterima oleh kebudayaan yang lain berbeda. Kajian terhadap karya sastra itu
atau malah sebaliknya, kebudayaan tersebut menjadi penting untuk mengetahui bagaimana
ditolak oleh kebudayaan yang lain. kebudayaan yang berbeda dipahami, dinilai,
Interkulturalisme dalam karya sastra atau bahkan untuk “tidak disukai” dalam satu
adalah “bagaimana berbagai (asal) budaya yang perspektif budaya tertentu yang berbeda.
berbeda dipahami, dinilai, diterima, atau Keempat, mengkaji dan menafsirkan karya
dikeluarkan (ditolak) dalam satu perspektif dan sastra dalam perspektif budaya penafsir.
tindakan budaya tertentu (penulisan sastra) Misalnya, orang Batak membaca karya sastra
sehingga dalam proses tersebut secara Madura.
imajinatif menuju dan menjadi satu bentuk cara Sudut pandang interkulturalisme adalah
kehidupan tertentu yang berbeda dengan suatu upaya yang mencoba menjelaskan relasi-
kenyataan sesungguhnya” (Salam, 2011:41). relasi antarbudaya, proses-proses negosiasi
Lebih lanjut, Salam menyatakan bahwa dan hal-hal apa saja yang berpengaruh terhadap
interkulturalisme menjelaskan faktor-faktor, relasi dan negosiasi tersebut, dan mengapa hal
proses dan mekanisme, atau ke arah mana tersebut terjadi. Sejumlah fakt or yang
proses interkulturalitas dalam karya sastra. berpengaruh terhadap relasi-relasi antarbudaya
Menurut Salam (2011:42) ada empat antara lain faktor politik, ekonomi, pendidikan,
sudut pandang interkulturalisme dalam agama, teknologi, seksualitas, tradisi, dan
penelitian sastra. Pertama, sastra Indonesia gender. Faktor-faktor tersebut berperan
merupakan proses interkulturalisasi berbagai memasukkan dan mengeluarkan kelompok

76
Daratullaila Nasri, Muchlis Awwali: Merantau ke Deli Karya Hamka dalam Perspektif Interkulturalisme

atau individu ketika t erjadinya kontak kejadian imajinatif dari semua cerita (Stanton,
antarbudaya (Salam, 2011:44). 2007:22). Elemen-elemen tersebut adalah
Yunus (1991:18) dalam sebuah tulisannya karakter (tokoh-tokoh), alur dan latar. Melalui
membagi beberapa bentuk kontak budaya. elemen-elemen tersebut disajikan kultur yang
Pertama, kontak budaya tidak hanya berbeda saling dipertemukan, saling mengisi,
berlangsung dalam relasi saling memusnahkan, dan dipertentangkan.
tetapi dapat pula berlangsung dalam relasi Kontak antarbudaya tidak saja terjadi
saling mengisi atau saling melengkapi antara dalam suatu kelompok masyarakat, tetapi juga
satu kelompok dengan kelompok lainnya. terjadi sesama individu. Dalam konteks tulisan
Dalam relasi tersebut, takaran dominasi bisa ini, kontak antarbudaya yang dibicarakan,
berjalan seimbang. Namun, tidak sedikit juga yakni yang terjadi pada tingkat individu dan
terjadi ketimpangan relasi karena suatu kelompok. Pada tingkat individu, misalnya
kelompok lebih senang mengikuti pola dan relasi yang terjadi antara Leman dan Poniem.
sistem nilai kelompok lain. Kedua, kontak Kemudian, pada tingkat kelompok, bagaimana
budaya juga dapat memisahkan antara masyarakat (orang-orang) di lingkungan
kelompok satu dengan kelompok lain, baik keluarga Leman memandang Poniem, yang
secara fisik maupun secara psikis. Relasi yang berbeda budaya dengan mereka. Dengan
terjadi dalam kontak budaya ini tidak dalam melihat relasi kontak antarbudaya pada tingkat
bentuk pemusnahan, tetapi terjadi pemisahan individu dan kelompok, kita akan mengetahui
oleh suatu kelompok tertentu atas kelompok faktor-faktor yang mempersatukan dan
lainnya (kelompok yang lebih lemah), baik memisahkan budaya yang berbeda tersebut.
pemisahan dalam permukiman maupun dalam Selain itu, akan diketahui efek atau akibat yang
penggunaan fasilitas sosial lain. Ketiga, kontak ditimbulkan kontak antarbudaya tersebut.
budaya mampu menghasilkan masyarakat baru Metode penelitian yang digunakan adalah
dengan membangun sistem nilai baru untuk metode deskriptif analisis. Metode dengan cara
dipegang bersama. menguraikan sekaligus analisis (Ratna,
Kemudian, Yusuf mengemukakan bahwa 2006:39). Lebih lanjut Ratna menjelaskan
pada tingkat individu, kontak budaya bisa bahwa metode deskriptif analisis dilakukan
terjadi dalam mempertahankan nilai budaya dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang
asli, menanggalkan kebudayaan asli dan lain kemudian disusul dengan analisis (Ratna,
sebagainya. Tindakan-tindakan individu 2006:53). Deskripsi di sini bukan berarti hanya
tersebut bisa mengarah kepada patologi- menguraikan saja, melainkan juga memberikan
sosial. Hal ini mengacu kepada sifat dasar pemahaman dan penjelasan secukupnya.
bawaan individu yang bersangkutan. Bisa pula
hasil pembentukan kebudayaan aslinya sendiri 2. Hasil dan Pembahasan
yang begitu ekslusif membentuk manusia- Pada bagian ini terlebih dahulu disajikan
manusianya. ringkasan cerita Merantau ke Deli. Hal itu
Mengacu pada pendapat Salam dan Yusuf diperlukan agar pembaca lebih mudah
di atas, tulisan ini berusaha menjabarkan relasi memahami analisis yang disajikan. Teknik
antarbudaya yang terdapat dalam novel penyajian analisis dalam esai ini adalah
Merantau ke Deli. Sudut pandang mengikuti alur cerita. Konsep budaya
interkulturasi yang diterapkan adalah poin Minangkabau yang digunakan dalam analisis
kedua yang dikemukakan oleh Salam. Karya berdasarkan konteks masa lalu atau mengacu
sastra \merupakan salah satu media yang pada konteks latar cerita. Konsep tersebut
memuat terjadinya kontak antarbudaya suku mungkin tidak ditemui lagi pada masa kini.
bangsa. Dalam teks sastra, kontak antarbudaya
tersebut dapat dilihat melalui fakta cerita yang 2.1 Ringkasan Cerita Merantau ke Deli
membangun karya tersebut. Fakta cerita adalah Hamka, dalam novel Merantau ke Deli
elemen-elemen yang berfungsi sebagai catatan mengisahkan perkawinan dua budaya yang

77
SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 11 Nomor 1 Edisi Juni 2014 (73—85)

berbeda. Leman berlatarkan budaya memajukan usahanya suaminya, Poniem


Minangkabau, sedangkan Poniem adalah dengan ikhlas menyerahkan perhiasan emas
perempuan berasal dari suku Jawa. Kedua yang dimilikinya. Berkat kesungguhan Leman
tokoh protagonis ini bertemu di Tanah Deli. berusaha, perdagangan yang dijalankannya
Kehadiran mereka di tanah Deli adalah sebagai berjalan semakin maju sehingga ia memiliki
perantau. Leman seorang anak muda yang toko kain.
mencari hidup sebagai pedagang kecil di Kabar kesuksesan Leman sampai ke
perkebunan Deli. Poniem adalah kuli kontrak, kampungnya sehingga ia diminta pulang untuk
perempuan cantik dan masih muda, istri melihat sanak saudaranya. Poniem juga
“piaraan” atau “gundik” dari mandur besar menginginkan Leman pulang untuk melihat
perkebunan Deli. sanak saudaranya. Poniem ingin merasakan
Pada awalnya, hubungan di antara mereka kebersamaan berkeluarga karena ia sudah tidak
terjalin atas dasar pedagang dan pembeli. memiliki keluarga lagi. Poniem hidup sebatang
Lama-kelamaan, hubungan itu berubah kara. Kepulangan mereka di Minangkabau di
menjadi jalinan kasih antara laki-laki dan sambut baik oleh pihak keluarga jauh Leman.
perempuan. Mereka saling menyukai. Leman Akan tetapi, kehangatan persaudaraan dari
mengajak Poniem menikah secara Islam karena keluarga Leman berlangsung sesaat. Mereka
dia mengetahui bahwa hubungan Poniem tidak sepenuhnya dapat menerima Poniem
dengan Mandor Besar tidak sah secara agama. sebagai bagian dari keluarga mereka. Bagi
Ajakan Leman itu ditolak Poniem. Poniem mereka, Poniem tetap orang luar meskipun
bukan tidak ingin menikah secara agama, tetapi sudah menikah dengan Leman. Atas dasar itu
dia takut akan dikecewakan Leman. Poniem pulalah Leman dicarikan lagi istri oleh pihak
melihat bahwa “istri piaraan” mandor dikawini keluarganya. Bagi mereka, perkawinan yang
laki-laki luar (bukan pekerja di perkebunan ideal itu adalah perkawinan sesama orang
Deli) atas dasar emas yang dimilikinya. Setelah Minang. Leman menerima permintaan pihak
perhiasan emas yang dimiliki perempuan keluarganya. Leman menikahi Mariatun,
tersebut habis, perempuan itu diceraikan oleh perempuan sekampungnya. Perempuan itu
suaminya. Peristiwa it u sudah banyak diantarkan pihak keluarganya ke Medan,
disaksikan Poniem di perkebunan itu. sedangkan Leman dan Poniem telah lebih
Namun, Leman tidak menyerah begitu dahulu kembali ke kota itu.
saja atas penolakan Poniem. Leman meminta Semula, pernikahan Leman dan Mariatun
Poniem menjadi istrinya karena hati kecilnya tidak disetujui oleh Poniem, tetapi ia juga tidak
mengatakan bahwa Poniem adalah perempuan kuasa menentang kehendak suaminya. Suka
baik. Leman ingin mengeluarkan perempuan atau tidak suka, ia merelakan suaminya
itu dari kejahatan yang telah membelenggunya. menikahi Mariatun dengan syarat dirinya tidak
Leman tidak menikahi Poniem atas dasar diceraikan. Pada awalnya, kehidupan rumah
materi, tetapi ingin membawa perempuan itu tangga mereka baik-baik saja. Namun, hal itu
pada kehidupan yang lebih baik. tidak berlangsung lama. Perselisihan Mariatun
Pada akhirnya Poniem menerima dan Poniem dari hari ke hari tidak bisa
permintaan Leman tersebut. Untuk keluar dari diselesaikan. Klimaks dari perselisihan itu,
“penjara” perkebunan Deli itu, Poniem Leman menceraikan Poniem dan memilih
melarikan diri secara diam-diam. Mereka hidup dengan Mariatun.
melarikan diri ke Medan dan perkawinan di Namun, dengan berakhirnya perkawinaan
langsung di kota itu. Mereka menjalani hidup Leman dengan Poniem, perlahan-lahan
di kota Medan setelah menikah. Leman tetap berakhir pula kejayaan perdagangan Leman
bekerja sebagai pedagang kain. Dari hari ke sehingga jatuh bangkrut. Setelah bercerai
hari perdagangan Leman semakin menurun dengan Leman, Poniem menikah lagi dengan
karena modal yang tidak cukup. Untuk Suyono, pembantu yang pernah bekerja

78
Daratullaila Nasri, Muchlis Awwali: Merantau ke Deli Karya Hamka dalam Perspektif Interkulturalisme

dengannya ketika hidup bersama Leman. Leman tidak melihat perbedaan dirinya
Kehidupan Poniem dan Suyono sangat dan Poniem. Bagi Leman, manusia itu sama
berkecukupan. Mereka membantu Leman dan derajatnya di sisi Tuhan (Hamka, 1977:27).
Mariat un yang ketika itu hidup dalam Selain itu, Leman ingin mengangkat Poniem
kesusahan. Penderitaan hidup yang tidak menjadi perempuan yang mulia, memiliki hak
tertanggungkan di rantau membuat Leman dan atas dirinya sendiri. Pemikiran Leman tersebut
Mariatun pulang ke ranah Minang. berlandaskan pada agama yang diyakininya,
yaitu Islam. Islam atau agama apapun tidak
2.2 Agama: Mempersatukan Budaya pernah membedakan umatnya.
Berbeda Berbeda halnya dengan Poniem, semula
Perkawinan merupakan salah satu faktor ia tidak mudah mempercayai apa yang telah
yang dapat menjembatani terjadinya kontak dikatakan Leman kepadanya. Bagi Poniem,
antarbudaya. Sebagaimana firman Allah dalam dirinya tidak mungkin bisa hidup sebagai suami
Al Quran surat Ar Ruum ayat 21 yang artinya, istri dengan Leman karena ia berasal dari
‘Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya budaya dan kehidupan yang berbeda. Poniem
diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari sangat sadar dengan status dirinya, “gundik”
jenismu sendiri supaya kamu mendapat (Hamka, 1977:23) yang tidak mungkin bisa
ketenangan hati dan dijadikan-Nya kasih bersanding dengan laki-laki yang berlatar
sayang di antara kamu. Sesungguhnya yang belakang adat dan agama yang kuat. Menurut
demikian menjadi tanda-tanda bagi orang- Poniem, dirinya dimanfaat kan sampai
orang yang berpikir’. Dalam konteks ini, perhiasan emas yang dimilikinya diambil oleh
perkawinan tidak saja mempersatukan dua laki-laki yang pura-pura mencintainya. Oleh
insan yang berbeda karakt er, tetapi karena itu, Poniem pada awalnya menolak
menyatukan dua budaya yang berbeda. permintaan Leman.
Penyatuan di sini bukan berarti menghilangkan Namun, pemikiran Poniem tersebut dapat
perbedaan, tetapi bagaimana perbedaan itu dikalahkan oleh Leman dengan pandangan
dapat berjalan dalam kehidupan sehingga tidak agama sehingga mereka memutuskan untuk
melahirkan konflik bagi pelakunya. Sudah menikah. Poniem pun sebagai umat yang
pasti, strategi-strategi tertentu diperlukan beragama ingin hidup sesuai dengan peraturan
dalam menjalani kehidupan perkawinan yang yang digariskan agamanya. Kehidupan
berbeda budaya tersebut. menikah yang sah secara agama adalah
Perkawinan Leman dan Poniem impiannya. Oleh karena itu, untuk mencapai
merupakan salah satu contoh terjadinya kontak impian tersebut Poniem nekat melarikan diri
antarbudaya. Leman dan Poniem memiliki latar dari dunia perkebunan yang membelenggunya.
budaya dan kehidupan yang sangat berbeda. Uraian tersebut menggambarkan bahwa
Leman berlatarkan budaya Minangkabau, agama merupakan salah satu faktor yang
sedangkan Poniem berbudaya Jawa. Sebagai sangat berpengaruh terjadinya relasi
pribadi, Leman hidup sebagai pedagang yang antarbudaya. Agama formal dianggap sebagai
bebas dan tidak memiliki keterikatan kepada motor atau sumber inspirasi bagi berbagai
siapa pun. Berbeda halnya dengan Poniem, tindakan sosial dan ekonomi atau sebagai
yang bekerja sebagai kuli kont rak di konsep filosofi dan etik yang berpengaruh
perkebunan Deli. Di samping itu, ia juga “istri terhadap masyarakat (Weber dalam Salam,
piaraan” Mandor Besar di perkebunan 2011:45). Lebih lanjut dijelaskan Salam, bahwa
tersebut. Sebagai “istri piaraan” maupun kuli agama berperan sangat penting dalam berbagai
kontrak, ia tidak hidup merdeka. kebudayaan sehingga agama dianggap salah
Kehidupannya di bawah kekuasaan orang- satu pemicu berbagai tindakan kultural, dalam
orang yang menguasainya, salah satunya berbagai tujuan dan kepentingan. Tegasnya,
adalah Mandor Besar. untuk melihat praktik kebudayaan sebuah

79
SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 11 Nomor 1 Edisi Juni 2014 (73—85)

etnik, kita dapat mempelajari dan memahami Lantaran terpengaruh oleh adat
agama yang dianut etnik bersangkutan karena terbiasa di dalam negerinya, maka Leman
agama akan menjadi roh dalam setiap pun berniagalah, tetapi tidak dibawanya
aktivitasnya. Berdasarkan pembacaan isterinya serta di dalam urusan itu.
terhadap cerita Merantau ke Deli tersebut Isterinya tidak dibawanya berembuk, laba
terlihat jelas Leman dan Poniem sama-sama dan rugi tak usah istrinya tahu, isterinya
berpegang pada ajaran agama mereka. Semua hanya harus menerima yang ada saja.
perbedaan di antara mereka menjadi hilang Buruk baik akan ditanggungnya sendiri
karena pandangan hidup yang berlandaskan (Hamka, 1977:31).
agama tersebut.
“Adat kami Poniem, menurut adat
2.3 Tradisi: Memasukkan dan kami orang perempuan harus tahu beres
Mengeluarkan saja. Orang perempuan hanya menerima
Selain agama, tradisi merupakan faktor yang bersih, dia tidak perlu menghiraukan
lain yang berpengaruh t erhadap relasi kesusahan suaminya, yang perlu baginya
antarbudaya. Tradisi adalah adat kebiasaan hanya menanakkan nasi supaya suaminya
turun-temurun (dari nenek moyang) yang jangan lapar, menyediakan teh, dan
masih dijalankan dalam masyarakat. Tradisi mencucikan kain bajunya. Kerja laki-laki
tidak akan terlepas dari kehidupan pewarisnya, mencarikan buat dia, membuatkan rumah,
kecuali mereka sendiri yang meninggalkannya. mencarikan tambahan sawah ladangnya.
Tradisi akan selalu eksis sepanjang pewarisnya Kalau pekerjaan itu berhasil dia boleh
menghidupkan dalam diri dan tindakan pulang dengan bangga, kalau tidak, dia
mereka. Sejalan dengan pendapat Shils (dalam akan pulang juga dan suaminya akan terus
Sztompka, 2010:74) bahwa manusia tidak berusaha, dia akan pulang oleh karena
mampu hidup tanpa tradisi meskipun mereka dijemput oleh mamaknya”
sering merasa tidak puas terhadap tradisi (Hamka,1977:34).
mereka. Logikanya manusia tidak dapat
melepaskan tradisinya begitu saja karena ia Tindakan yang dilakukan Leman tersebut
telah berurat berakar dalam kehidupan mereka. tidak t erlepas dari tradisi dalam
Sebuah bukti bahwa seseorang tidak akan masyarakatnya. Sesuai dengan latar waktu
lepas dari tradisinya dapat dilihat dalam kisah cerita ini ditulis, hubungan suami-istri dalam
Merantau ke Deli. Ketika Leman dan Poniem tradisi masyarakat Minangkabau ketika itu
telah menjalani kehidupan berumah tangga, tidak terjalin dengan erat. Laki-laki tetap
masing-masing berperan berdasarkan tradisi menjadi dirinya sendiri. Ia tidak memiliki
atau kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam keterikatan yang kuat dengan istrinya karena
kebudayaan mereka. dalam pandangan adat, suami adalah orang luar
Leman sebagai seorang suami dari pihak keluarga istrinya. Kehadiran suami
memperlakukan istrinya seperti ia menikahi dalam keluarga istrinya hanya sebagai bapak
perempuan Minang. Hal itu terlihat ketika biologis, bukan bapak sosial (Syarifuddin,
Leman memiliki kendala dalam menjalankan 1984:185). Dia datang ke rumah istri malam
usaha perdagangannya. Usaha berjualan kain hari dan paginya kembali ke rumah orang
yang dilakukan Leman sudah hampir gulung tuanya (keluarga mastrilinealnya). Jadi,
tikar karena tidak memiliki modal yang cukup. kehadiran dan kebersamaan suami di rumah
Leman amat bersusah hati memikirkan hal itu. istri hanya pada malam hari (Pariaman,
Meskipun demikian, Leman tidak pernah 1989:186). Suami boleh berbuat demikian
menceritakan kesusahan hatinya itu kepada karena tanggung jawab untuk memenuhi
Poniem, istrinya. kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya dipikul
oleh mamak istrinya. Suami pun memikul

80
Daratullaila Nasri, Muchlis Awwali: Merantau ke Deli Karya Hamka dalam Perspektif Interkulturalisme

tanggung jawab terhadap kemenakannya, yaitu dan adanya kontak dengan etnik. Sesuai
anak-anak dari saudara perempuannya. dengan pendapat yang dikemukakan oleh ahli
Demikian pula halnya dengan istri, dia tidak Antropologi William A Haviland (dalam Sahid.
merasa keberatan dan bahkan protes atas 2002:vii) bahwa ada dua hal yang menjadi
kondisi tersebut. “Ketiadaan” suami dalam faktor penyebab terjadinya perubahan
keseharian mereka tidak menjadi penghalang kebudayaan. Pertama, terjadinya perubahan
bagi mereka untuk menjalani kehidupan. Dia lingkungan yang dapat menuntut perubahan
mampu membesarkan anak-anaknya tanpa kebudayaan yang bersifat adaptif. Kedua,
harus bekerja sama dengan suaminya. Hal itu terjadinya kontak dengan bangsa lain yang
disebabkan keluarga matrilineal memiliki peran mungkin menyebabkan diterimanya asing
atas kehidupan rumah tangganya. Kebutuhan sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai
rumah tangga dapat dibiayai dari hasil harta dan tatakelakuan yang ada. Kemampuan
pusaka kaum. berubah merupakan sifat yang penting dalam
Lain halnya ketika perempuan yang kebudayaan manusia tanpa itu kebudayaan
dinikahi laki-laki Minang bukan orang Minang. tidak mampu menyesuaikan diri dengan
Seperti, Leman menikahi Poniem, perempuan keadaan yang senantiasa berubah. Leman dan
Jawa. Poniem tidak bisa menerima perlakuan Poniem sama-sama mengalami perubahan
suaminya. Dalam pandangan Poniem sebagai lingkungan, yaitu merantau ke negeri lain. Di
orang Jawa, perempuan yang telah menikah negeri tersebut mereka bergaul dan
adalah tanggung jawab suaminya. Demikian berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda
juga bagi perempuan tersebut, dia budaya dengan mereka. Perubahan lingkungan
menyerahkan dirinya seutuhnya kepada dan bergaul dengan orang-orang yang tidak
suaminya. Konsekuensi hidup menikah baik sebudaya dengan mereka telah membuat
senang maupun susah dipikul bersama. Suami- mereka berubah.
istri betul-betul menjadi satu. Atas dasar itu Namun, keharmonisan rumah tangga
pulalah Poniem dengan iklas menyerahkan Leman dengan Poniem hanya berjalan selama
semua perhiasaannya ketika Leman empat tahunan. Hal itu disebabkan perubahan
kekurangan modal untuk berdagang. sikap Leman yang dipengaruhi oleh tradisinya.
Pemikiran Poniem tersebut dapat dilihat dalam Leman yang telah berhasil melakukan
cerita Merantau ke Deli pada halaman 29— peleburan tradisi – Minangkabau – yang
34. melekat dalam dirinya ketika menjalani hidup
Uraian di atas memperlihatkan perbedaan dengan merantau, kemudian kembali lagi
sudut pandang tradisi dalam melihat dan kepada tradisi tersebut. Bagian-bagian dari
memaknai hubungan suami-istri dalam sistem nilai budaya Minangkabau masih tetap
menjalani hidup berumah tangga. Perbedaan tertinggal dalam mentalistas Leman.
itu tidak menciptakan konflik bagi pelaku Hal itu dipicu ketika Leman kembali
ketika hal tersebut dapat dikompromikan. melakukan kontak dengan orang-orang
Kedua belah pihak, baik suami maupun istri sebudaya dengan dirinya. Hubungan
sama-sama dapat menerima kesepakan yang komunikasi Leman dengan orang-orang di
mereka buat. Masing-masing tidak kampungnya kembali terjalin karena Leman
menonjolkan tradisi yang melatarbelakangi telah berhasil di rant au. Nama Leman
kehidupan mereka. Oleh karena itu, kontak gaungnya sudah sampai ke kampung
antarbudaya yang terjadi melalui perkawinan halamannya. Hal itu disebabkan Leman telah
dapat berjalan dengan harmonis. banyak membantu anak dagang yang datang
Dalam konteks tersebut dapat dilihat ke Deli mengadu nasib seperti dirinya. Sudah
bahwa masing-masing individu mengalami menjadi kebiasaan pada masyarakat ketika itu,
perubahan budaya. Perubahan budaya tersebut kalau seseorang berhasil di rantau, banyak
dapat terjadi disebabkan perubahan lingkungan orang yang mengakuinya tersebut sebagai

81
SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 11 Nomor 1 Edisi Juni 2014 (73—85)

keluarganya. Leman sendiri tidak merasa baiknya. Dia membiasakan dirinya dengan
keberatan membantu kerabat dekat ataupun tradisi Minang yang sungguh berbeda dengan
jauh. Leman dan istrinya t idak hanya tradisinya. Ia sanggup melakukannya. Hal itu
membantu orang Minang, tetapi orang Jawa terbukti dari pembicaraan kerabat Leman
yang kesusahan hidupnya juga ditolong bahwa Poniem “memang baik budinya dan
mereka. pandai bergaul, tahu dia seluk-beluk adat kita”
Kiprah Leman di perantauan (lihat dalam Hamka, 1977:48—49).
menggerakkan hati kerabatnya untuk meminta Meskipun Poniem telah meleburkan
Leman pulang ke kampung. Semula Leman dirinya dalam kebudayaan Minangkabau, ia
belum memenuhi permintaan tersebut karena tetap tidak diterima sepenuhnya oleh kerabat
usaha perdagangannya belum bisa suaminya. dia tetap dianggap orang luar oleh
ditinggalkan. Tiba saat yang tepat, Leman kelurga Leman, sebagaimana ungkapan
memenuhi permintaan kerabatnya dan juga mereka dalam teks tersebut, “meskipun
mewujudkan keinginan dirinya. Leman merasa budinya baik, kelakuannya terpuji, sayang dia
perlu pulang karena ia telah berhasil di rantau. tidak orang kita”. Dengan alasan inilah kerabat
Laki-laki yang pergi merantau dinasehatkan Leman meminta Leman untuk menikah lagi
jangan boleh pulang kalau belum berhasil. dengan perempuan Minang. Perkawinan
Maka jadilah dia seperti “the wandering Jew”, dengan orang luar tidak ideal bagi masyarakat
yang berkelana mencari sesuap nasi pagi dan Minangkabau.
petang, mencari punggung tidak bertutup Menurut Navis (1984:194) konsep
(Pariaman, 1989:197). Sebagai laki-laki perkawinan ideal bagi masyarakat
Minang, Leman tidak akan malu pulang ke Minangkabau adalah perkawinan antara
kampung halamannya karena keberhasilan keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak
yang ia peroleh di rantau. Dia telah dapat dan kemenakan. Perkawinan demikian lazim
menyumbangkan materi kepada masyarakat disebut sebagai pulang ke mamak atau pulang
sehingga keberadaanya sebagai laki-laki ke bako. Pulang ke mamak berarti mengawini
Minang tidak diabaikan lagi. Dihargai dan anak mamak (anak paman/anak saudara laki-
diakui keberadaannya oleh masyarakat laki ibu), sedangkan pulang ke bako ialah
merupakan suatu hal penting bagi laki-laki mengawini kemenakan ayah. Perkawinan
Minang perantau (Naim, 1984). dengan anak mamak atau dengan bako bersifat
Keinginan Leman pulang ke kampungnya mengawetkan hubungan suami istri itu agar
sangat didukung oleh Poniem istrinya. Poniem tidak terganggu oleh masalah yang mungkin
berkeinginan besar untuk pulang ke kampung timbul disebabkan campur tangan kerabat
halaman suaminya. Ia ingin merasakan kedua belah pihak. Meskipun ada nilai
kehangat bersaudara dengan keluarga positifnya, namun dalam perkawinan seperti
suaminya karena dia tidak memiliki siapa pun, ini juga terkandung nilai negatifnya. Nilai
kecuali suaminya. Sikap baiknya itu negatifnya terjadi jika perceraian, dampaknya
ditunjukkan Poniem dengan membangun kasih juga sangat berpengaruh terhadap hubungan
sayang terhadap keluarga suaminya. Salah satu kekerabatan antarsesama kaum. Fenomena ini
betuk penghubung untuk menjalin kasih sayang merupakan kondisi yang tidak dapat terelakkan
tersebut diwujudkan dengan memberikan oleh- jika melakukan perkawinan pulang ke mamak
oleh untuk kerabat di kampung. Dengan atau pulang ke bako.
barang yang tidak tinggi harganya itu dapat Sement ara itu, pemikiran t entang
menyatukan dirinya dengan kerabat suaminya. perkawinan eksogami yang mereka anut
Poniem berharap dapat diterima sepenuhnya sangat mudah berantakan apabila kerabat
oleh kerabat Leman, sebagimana ia dapat masing-masing tidak serasi. Oleh karena itu,
menerima mereka. perkawinan antara anak dan kemenakan
Ketika telah sampai di kampung Leman, menjadi sangat ideal karena dari perkawinan
Poniem berusaha berinteraksi dengan sebaik- itu efek-efek negatif pewarisan harta pusaka

82
Daratullaila Nasri, Muchlis Awwali: Merantau ke Deli Karya Hamka dalam Perspektif Interkulturalisme

akan dapat dihindarkan. Perkawinan antara menyulitkan kedua belah pihak, baik istri
anak dan kemenakan merupakan manifestasi maupun suami. Kesulitan itu amat terasa ketika
mamangan, “anak dipangku kemenakan mereka berada di kampung. Sebagai laki-laki
dibimbing”. Tingkat perkawinan ideal Minang, dia tidak memiliki kamar untuk
berikutnya adalah perkawinan ambil- digunakan secara pribadi di rumah ibunya
mengambil, yaitu kakak beradik laki-laki dan karena kamar hanya disediakan unt uk
perempuan A menikah secara bersilang dengan saudaranya yang perempuan (Naim, 1984:12).
kakak beradik laki-laki dan perempuan B. Ketika Leman membawa Poniem pulang ke
Urutan selanjutnya ialah perkawinan orang kampungnya, kerabat Leman menempatkan
sekorong, sekampung, senagari, seluhak, dan Poniem di ruang kosong di tengah Rumah
akhirnya sesama Minangkabau. Perkawinan Gadang. Di tempat itu Poniem tidur ditemani
tersebut secara keseluruhan dapat disebut saudara Leman. Barang-barang milik Poniem
“awak sama awak” (perkawinan sesama orang dan suaminya juga diletakkan di ruang tersebut
Minang). Pola perkawinan “awak sama awak” karena tidak tersedia ruangan yang bisa
bukan menggambarkan sikap eksklusif, tetapi dimanfaatkan secara pribadi. Poniem dan
berlat ar belakang sist em komunal dan Leman pun sulit untuk berkomunikasi secara
kolektivisme yang dianut masyarakat tersebut. pribadi karena Leman pulang hanya di malam
Sistem tersebut akan utuh apabila tidak hari.
dicampuri orang luar. Dalam pola perkawinan Efek lain bagi Leman menikahi
eksogami yang menjadikan ikatan suami istri perempuan di luar budayanya ialah ia harus
begitu semu itu diperlukan modus agar menerima tidak memiliki gelar secara adat.
lembaga perkawinan tidak menjadi rapuh, Gelar bagi laki-laki Minangkabau yang sudah
modus tersebut ialah perkawinan “awak sama menikah memiliki nilai filosofis yang sangat
awak” ‘kita sama kita’. Tambah dekat dalam. Gelar merupakan tersebut salah satu
hubungan awaknya, t ambah kukuhlah tanda bahwa laki-laki Minang sudah dewasa.
hubungan perkawinan itu. Keberadaannya sudah bisa diperhitungkan
Perkawinan dengan orang luar (bukan secara adat. Pendapat dan buah pikirannya
orang Minang) kurang disukai meskipun tidak dalam menangani persoalan layak
dilarang. Perkawinan dengan orang luar diperhitungkan.
dipandang sebagai perkawinan yang akan bisa Karena sudah merasakan akibat
merusak struktur adat (Navis, 1984:185). perkawinan tidak sebudaya itu, Leman
Lebih lanjut Navis menjelaskan bahwa anak memutuskan untuk menerima pinangan
yang lahir dari perkawinan itu bukanlah suku perempuan sekampungnya. Keputusan Leman
Minangkabau. Di samping itu, kehidupan istri berpoligami tidak lain disebabkan oleh tradisi
menjadi beban bagi suaminya, padahal setiap yang masih melekat dalam mentalnya. Sebagai
laki-laki juga memiliki tugas utama bagi laki-laki Minang yang merantau, dia tidak akan
kepentingan sanak saudaranya, kaumnya, dan mungkin “merantau Cina” (perantau yang
nagarinya. Oleh karena itu, kehadiran seorang tidak pulang ke kampung halamannya). Pulang
istri yang orang luar dipandang sebagai beban kampung di hari tua—paling tidak—impian
bagi seluruh keluarga pula. Bahkan, bisa pula mereka. Dengan menikahi perempuan yang
laki-laki itu akan menjadi “anak hilang” dari sebudaya dengannya, impian itu bisa terwujud.
kaumnya kerabatnya karena kepintaran Tidak demikian halnya dengan Poniem,
perempuan itu merayu suaminya. perempuan Jawa, yang akan seumur hidup di
Dalam novel Merantau ke Deli tersebut rantau. Apabila Poniem di bawa pulang tidak
secara eksplisit dikemukakan oleh pengarang ada kamar untuknya. Adapun uang untuk
pandangan orang Minang mengenai membelikan tanah bagi istrinya itu, tidak ada
perkawinan dengan orang luar. Berdasarkan kaum yang mau menjual karena tanah milik
fakta-fakta cerita, perkawinan tersebut kaum. Sementara itu, Leman adalah pewaris

83
SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 11 Nomor 1 Edisi Juni 2014 (73—85)

kebudayaannya dan tidak mungkin bisa wawasan mental dan atau batin. Hal tersebut
melepaskan diri dari ikatan budayanya itu. Oleh mendasari segala gerak dan langkah orang
karena itu, untuk menyelesaikan konflik dalam Jawa dalam segala hal. Rila disebut juga eklas,
dirinya, Leman menikahi perempuan Minang yaitu kesediaan menyerahkan segala milik,
meskipun pilihan tersebut menciptakan konflik kemampuan, dan hasil karya kepada Tuhan.
baru bagi dirinya. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan
Uraian di atas menggambarkan penolakan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak,
sebuah budaya terhadap budaya lain. Kontak tetapi mengucapkan terima kasih. Sabar,
budaya tidak menciptakan keberagaman bagi menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan
mereka karena mereka melihat budaya lain dari ketaksabaran, ketiadaan nafsu yang bergolak.
sudut pandang budayanya sendiri. Bahkan, Poniem tidak hanya menerima Mariatun
sikap dan cara pandang tersebut mengarah sebagai madunya, tetapi juga menerima hidup
pada sikap chauvinistik. Sikap berbudaya yang serumah dengan madunya tersebut. Sikap yang
menganggap budaya yang dianutnya lebih baik ditunjukkan Poniem tersebut merupakan
dari budaya orang lain. Budaya lain dipandang gambaran dirinya sebagai orang Jawa yang
lebih rendah sedangkan budaya yang bertoleransi terhadap orang lain. Ben Anderson
diwarisinya lebih tinggi. (dalam Endraswara, 2006:40) yang malang
Meskipun tidak diterima sepenuhnya melintang ke Asia Tenggara, terutama ke Jawa
dalam budaya Minang, Poniem masih bisa telah mengakui sikap savoir vivre (lapang
toleransi terhadap Leman dan Mariatun selaku dada) orang Jawa. Sikap ini disebut juga
orang-orang yang berbeda budaya dengan dengan toleransi. Toleransi menjadi pokok
dirinya. Poniem dapat menerima Mariatun, (induk) sikap mental orang Jawa. Toleransi
sebagai madunya. Sebagai seorang boleh dikatakan reputasi dan “raport hijau”
perempuan, Poniem tentu tidak suka dimadu, bagi orang Jawa, menurut Endraswara
tetapi ia tidak kuasa menolak kemauan (2006:40). Orang Jawa dapat menerima dan
suaminya. Memenuhi permintaan Leman lebih hidup bersama dengan mesra, tanpa
baik bagi Poniem asalkan dirinya tidak mengunggulkan diri. Pluralitas budaya
diceraikan. Bagi Poniem, perkawinan adalah dianggap sebagai sebuah kesuburan budaya
suatu yang sakral. Oleh karena itu, dia takut yang tidak harus dipert entangkan.
dengan perceraian. Hal ini menggambarkan Kemajemukan budaya sebagai akibat
bahwa agama kembali menjadi pertimbangan persinggungan budaya mereka sikapi dengan
bagi seseorang untuk menerima orang lain arif kearifan inilah yang melahirkan toleransi
yang tidak sebudaya dengan dirinya. Poniem budaya.
meyakini dapat hidup dengan madunya karena Meskipun Poniem dapat menerima
dia telah terbiasa dipermadukan ketika menjadi madunya, bahkan berusaha memakai simbol
gundik. budaya yang dipakai orang Minang, seperti
Sikap menerima yang ditunjukkan memakai baju kurung dan berselendang,
Poniem tersebut menggambarkan sikap mental Poniem tetap tidak diterima dalam budaya
orang Jawa. Menurut Endraswara (2006:43), tersebut. Poniem dalam konteks tersebut sudah
sikap mental Jawa identik dengan pandangan berusaha membaurkan dirinya, tetapi budaya
hidup. Sikap mental analog dengan sikap penerima tetap menolaknya. Puncak dari
hidup. Sikap hidup manusia Jawa, antara lain penolakan itu terjadi pada saat pertengkaran
dapat dilihat lewat batinnya. Dengan demikian, antara Poniem dan Mariatun sehingga Leman
pola-pola batin dalam menghadapi hidup terpaksa menceraikan Poniem. Leman memilih
merupakan sikap hidup itu sendiri. Jong (dalam Mariatun karena perempuan tersebut sebudaya
Endraswara, 2006) mengemukakan bahwa dengannya. Ternyata, pilihan Leman juga tidak
unsur sentral kebudayaan Jawa adalah sikap menjamin kebahagiaanya. Leman dan
rila, nrima, dan sabar. Sikap ini merupakan Mariatun hidup tidak seiya sekata,

84
Daratullaila Nasri, Muchlis Awwali: Merantau ke Deli Karya Hamka dalam Perspektif Interkulturalisme

sebagaimana ketika ia menjalani hidup dengan Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi
Poniem. Jadi, pernikahan sebudaya tidak Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
menjadi jaminan untuk meraih kebahagian dan Jakart a: Pusat Pembinaan dan
hidup bersama orang yang berbeda budaya Pengembangan Bahasa.
bukan pula suatu hal buruk bagi kelangsungan Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafal Hidup
hidup. Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.
Dengan demikian, uraian di atas dapat Hamka. 1977. Merantau ke Deli. Jakarta:
disimpulkan bahwa tradisi dari sebuah budaya Bulan Bintang.
dapat memasukkan dan mengeluarkan budaya Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi
lain yang mengalami kontak budaya Suku Minangkabau.Yogyakarta: Gadjah
dengannya. Mada University Press.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi
3. Penutup Guru: Adat dan Kebudayaan
Dalam Merantau ke Deli, jelas sekali Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.
ideologi dan pandangan dunia Hamka Pariaman, H.H.B. Saanin Dt. Tan. 1989.
sekaligus nasionalismenya. Dapat kita “Kepribadian Orang Minangkabau dan
membaca apa yang ingin disampaikan Hamka Psikopatologinya” dalam M.A.W.
dalam novel itu. Melalui kegagalan perkawinan Brouwer et.al. (ed.) Kepribadian dan
tokoh Leman dan Mariatun, gadis Perubahannya. Jakarta: Gramedia.
sekampungnya, dan sebaliknya, malah bahagia Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode,
dalam perkawinannya bersama Poniem, gadis dan Teknik Penelitian Sastra: dari
imigran dari Jawa yang sederhana dan suka Strukturalisme hingga Postruksturalisme
bekerja keras. Melalui kisah tokoh-tokoh Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta:
cerita tersebut tergambar bahwa perbedaan Pustaka Pelajar.
budaya dapat tidak saling membedakan atas Sahid, Nur. 2000. “Catatan Pendahuluan:
dasar ajaran agama yang dipahami oleh pemilik Proses Dialog Budaya Tak Kunjung
kebudayaan tersebut. Pada masyarakat Padam dalam Teater Kita” dalam (Ed.)
tertentu, tradisi yang dianutnya, adakalanya Nur Sahid. Interkulturalisme (dalam)
bertoleransi terhadap budaya lain (seperti sikap Teater. Yogyakarta: Yayasan Untuk
Poniem, pewaris kebudayaan Jawa), dan di lain Indonesia.
pihak bahkan menolak perbedaan budaya Salam, Aprinus, Hendry Chambert-Loir, dan
tersebut (seperti sikap Leman, Mariatun, dan M. Haji Saleh (Ed). 2011. Jejak Sastra
pihak keluarga Leman) . Dalam Konteks ini, dan Budaya. Yogyakarta: Elmatera dan
barangkali, Hamka ingin mengeritik Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
eksklusifisme perkawinan Minangkabau yang Budaya, Universitas Gadjah Mada
merupakan bagian dari kebudayaan Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum
masyarakat tersebut. Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung
Daftar Pustaka Agung.
Sztompka, Piçtr. 2010. Sosiologi Perubahan
Azwar, T. Keizerina Devi. 2004. “Poenale Sosial. Jakarta: Prenada.
Sanctie Studi Tentang Globalisasi Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai
Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumatera Timur (1870—1950)”. Medan: Yusuf, Yusmar. 1991. Psikologi Antarbudaya.
Program Pascasarjana Universit as Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumatera Utara.

85

Anda mungkin juga menyukai