Smester 6
Dosen Pembimbing :
Lutfiyah Nur Aini S.kep.Ners.M.Kes
Di susun oleh :
Inayatul karomah ( 0117047 )
Kelas : 3B
1|Page
A.KONSEP MEDIS
a. Definisi
Keterlambatan (speech delay) bicara dan berbahasa pada anak, menggambarkan
kemampuan (skill) anak yang berkembang, tetapi pada tingkat yang lebih lambat dari anak-
anak sebayanya sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Masalah keterlambatan
bicara dan berbahasa ini, bisa ringan, sedang, atau berat.
b. Etiologi
1. Faktor genetik
Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan
patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Seperti sindrom Down, sindrom
Turner yang disebabkan oleh kelainan kromosom.
2. Faktor lingkungan
3. Sosial ekonomi kurang
Anak dengan keluarga sosial ekonomi kurang akan mengalami keterlambatan dalam
berbahasa karena fasilitas berbahasa dan pendidikan yang rendah pulan dari orang tua.
4. Faktor psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, hukuman yang wajar,
kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang, kualitas interaksi anak-orang
tua.
5. Faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain: pekerjaan/ pendapatan keluarga, pendidikan
ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah tangga,
kepribadian ayah/ibu, adat-istiadat, norma-norma, agama, urbanisasi, kehidupan politik
dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak, angaran, dan lain-lain
(Soetjiningsih, 1998).
c. Patofisiologi
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan yang
masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke area
Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian
melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan
2|Page
artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses
enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan
berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat
pembicara.
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu pemindahan atau
penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut pembicara
dan telinga pendengar. Proses decode-encode diatas disimpulkan sebagai proses
komunikasi. Dalam proses perkembangan bahasa, kemampuan menggunakan bahasa
reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik.
d. Pathway
Gangguan bicara
3|Page
Resiko ketergantungan
f. Komplikasi
1. Gangguan bahasa ekspresif
2. Gangguan bahasa reseptif ekspresif
3. Gangguan phonological
4. Gagap
4|Page
g. Pemeriksaan Penunjang
1. TES BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR (Auditory Brainstem
Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga luar) sampai ke
otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik pada frekuensi yang berbeda–beda
pada tingkat kekerasan yang berbeda–beda pula responnya ditangkap langsung oleh
sensor di otak. Tesnya tidak menyakitkan (un-invasive), tidak perlu respon aktif dari
pasien dan hasilnya menyeluruh. Tes ini adalah tes paling umum dalam mendeteksi
gangguan pendengaran.
2. TES OAE (Oto Acoustic Emission)
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput tetapi terutama
rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada murni ke telinga dan menangkap
responnya melalui perubahan tekanan di saluran telinga. Tesnya juga tidak
menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif dari pasien serta obyektif. Biasanya
digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran khususnya akibat gangguan di
telinga tengah karena OME, OMA atau sensorinerual hearing loss (SNHL) yaitu
kerusakan sel saraf di rumah siput.
3. Tes Tympanometri
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah (tulang
sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari defleksi (perubahan gerak)
gendang telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan, obyektif dan tidak perlu respon aktif
dari pasien. Biasanya digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan gangguan telinga
tengah jika hasil OAE menunjukkan respon negatif.
4. Tes Audiometri
5. Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara, dan pasien yang
kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah :
a. Audiometri nada murni, Audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya gangguan
pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan mendengar nada murni yang
diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui sebuah headphone atau ear phone.
Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi sampai ambang dengar, titik dimana
5|Page
suara terkecil yang dapat didengar akan diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam
desibel (dB) dan dimasukkan ke bentuk audiogram.
Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui earphone (direct to ear)
ataupun speaker (free field test) dan meminta respon balik dari pasien apakah bunyi
terdengar atau tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak subyektif dan
memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan khususnya untuk anak-
anak.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada
stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekwensi yang berbeda-beda.
Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya
terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan dengan earphone (air conduction)
dan skull vibrator (bone conduction).
Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai
ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
Untuk anak–anak biasanya dilakukan “Play Audiometri” yaitu uji pendengaran
dengan bermain dan diperlukan audiologist yang berpengalaman untuk
mendapatkan hasil yang baik. Biasanya untuk menguji kemajuan/kemunduran
fungsi pendengaran terutama pada pasien gangguan pendengaran. Sedangkan pada
audiometric tutur dites seberapa banyak kemampuan mengerti percakapan pada
intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari sejumlah kata-kata tertentu yang diberikan
melalui headphone atau pengeras suara free field. Kata-kata tersebut harus diulangi
oleh orang yang dites. Setelah selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang
dengan benar dapat diketahui.
6. TES ASSR (Auditory Steady State Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai ke otak. Cara
kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada murni seperti layaknya tes
audiometri. Namun tidak diperlukan partisipasi aktif dari pasien karena respon
langsung dicatat oleh sensor yang menangkap aktifitas otak. Tes ini tidak menyakitkan
dan tidak memerlukan respon aktif namun pasien harus diam dan tenang dalam waktu
yang cukup lama, kurang lebih 1 jam.
6|Page
Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika memang sulit,
diminta untuk tetap tenang dan diam. Digunakan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran pada bayi dan anak - anak yang masih kecil.
h. Penatalaksanaan
1. Terapi :
a. Terapi wicara
b. Terapi okupasi
2. Edukasi
a. Motivasi keluarga untuk menstimulasi bahasa, bicara secara intensif
b. Secara teratur membawa anak untuk mengikuti terapi
c. Konseling
7|Page
B. KONSEP KEPERAWATAN
a. Pengkajian
a. Identitas pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah,
agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan
pasien
b. Riwayat penyakit
c. Keluhan utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau
berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan
berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat
tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
d. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tandatanda seperti batuk,
sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya.
e. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni,
gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya faktor predisposisi.
f. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakitpenyakit yang
disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain
sebagainya .
g. Riwayat psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta
bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
h. Pengkajian pola fungsi
Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat. Adanya tindakan medis danperawatan di rumah
sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat
8|Page
kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor
predisposisi timbulnya penyakit.
i. Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi
badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien.
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan
effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan
pada struktur abdomen.
Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura
keadaan umumnyalemah.
j. Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan
sesudah MRS.
Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan
menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
k. Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada.
Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
l. Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat
Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke
lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain
sebagainya.
m. Pemeriksaan fisik
Status kesehatan umum tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien
secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien
9|Page
terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan
ketegangan pasien.
n. Sistem respirasi
Inspeksi Pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar,
ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah
hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung
meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc.
Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada
dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi
penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan
ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-
Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas
makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan
ditemukan tanda tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.
o. Sistem kardiovaskuler
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS – 5 pada linea
medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya pembesaran jantung.
Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman
dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran
ictuscordis.
Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini
bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi
jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan
adanya peningkatan arus turbulensi darah.
p. Sistem pencernaan
10 | P a g e
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut
menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada
tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35kali per
menit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen adakah massa
(tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar
teraba. Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan
suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).
q. Sistem neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji disamping juga diperlukan pemeriksaan GCS.
Adakah composmentis atau somnolen atau koma. Pemeriksaan refleks patologis dan refleks
fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
r. Sistem mskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial . Palpasi pada kedua ekstremetas
untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refiltime..
Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan
antara kiri dan kanan.
s. Sistem integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada
pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport
O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam).
Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat
hidrasi seseorang.
11 | P a g e
b. Diagnosa Keperawatan
c. Perencanaan
N0 Intervensi Rasional
1.
1.2. Lakukan latihan komunikasi dengan Latihan bicara yang sesuai dengan
memperhatikan perkembangan perkembangan anak akan menghindari
mental anak ekploatasi yang berakibat penekanan
fungsi mental anak
12 | P a g e
4.4. Berikan lebih banyak kata meskipun
2. Anak lebih suka mendengarkan kata-kata
anak belum mampu mengucapkan dari pada mengucapkan karena biasanya
dengan benar. kesulitan dalam mengucapkan.
3. Ukur TB,BB dan lingkar lengan kiri Gambaran dari status gizi anak yang
berpengaruh terhadap proses tumbuh
kembang anak
13 | P a g e
keterampilan berkomunikasi secara efektif akan menghasilkan penyampaian
asertif, berikan dorongan untuk yang mudah di mengerti.
memulai suatu percakapan.
6. Kolaborasi untuk pemeriksaan CT Mendeteksi kemungkinan adanya kelainan
scan, EEG, EMG. penyebab gangguan bicara di otak dan
untuk memudahkan intervensi
selanjutnya.
N0 Intervensi Rasional
14 | P a g e
4. Gangguan komunikasi berhubungan dengan hambatan bahasa
N0 Intervensi Rasional
N0 Intervensi Rasional
15 | P a g e
6. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan komunikasi verbal berhubungan dengan
stimulus lingkungan yang kurang.
N0 Intervensi Rasional
16 | P a g e
d. Implementasi
Serangkaian kegiatan yang di lakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik meggambarkan kriteria hasil yang di
harapkan ( Gordon ,1994 dalam potter & perry, 1997 ). Ukuran intervensi keperawatan yang
diberikan kepada klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki
kondisi pendidikan untuk klien keluarga atautindakan untuk mencegah masalah yang muncul di
kemudian hari.
e. Evaluasi
Merupakan tahap ahir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna apakah tujuan dari
tindakan keperawatan yang telah di lakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Sesuai dengan
rencana tindakan yang telah di berikan dilakukan penilaian untuk melihat keberhasilannya.
17 | P a g e
C. LITERATUR
Joni, J ( 2015 ) Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangan Bahasa Anak
Suparmiati, A., Ismail, D., & Sitaresmi,.M.N ( 2016 ) Hubungan ibu bekerja dengan
keterlambatan bicara pada anak
Ediyati, Asri. (2018) Upaya ZeeZee Shahab Atasi anaknya yang sempat Speech Delay
Fitriani, Sumantri, Supena ( 2018 ) Gambaran perkembangan Berbahasa pada anak dengan
keterlambatan bicara Speech Delay.
18 | P a g e