Anda di halaman 1dari 4

Kebijakan pertama pemerintah dalam merespon bencana semburan lapindo dengan dikeluarkannya

Keppres Nomer 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo di
Sidoarjo. Salah satu Isi dari Keppres No.13 Tahun 2006 butir keenam menyebutkan bahwa "biaya yang
diperlukan bagi pelaksanaan tugas tim nasional dibebankan pada anggaran PT.Lapindo Brantas”
Menurut saya apabila biaya untuk tim nasional dari PT.Lapindo Brantas maka Tim Nasional ini
berpotensi bersikap tidak independen dalam menjalankan tugasnya. Ketidakindependenan Tim Nasional
terlihat dari hasil laporan kerja yang dibuat oleh Tim Nasional tentang ketidakjelasan dalam
memutuskan penyebab dari bencana semburan lumpur lapindo sehingga membuat penanganan
masalah sosial dan lingkungan menjadi tidak terencana dengan baik. Hal ini sangat merugikan
masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan ekologi.

Kebijakan pemerintah berikutnya yang sangat mencerminkan ketidakberpihakan negara kepada


masyarakat yakni Perpres Nomer.14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
peraturan presiden (perpres) No 14 tahun 2007 tentang badan penanggulangan lumpur pasal 15 ayat 1
menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta wilayah yang terkena dampak
lumpur lapindo dibebankan kepada pemerintah. Sementara itu, Lapindo hanya menanggung ganti rugi
untuk warga yang ada di dalam peta Sidoarjo (BPLS).[2] Konsekeunsi dari kebijakan ini yakni jatah
anggaran untuk penanggulangan lumpur Lapindo lebih besar dari pada alokasi anggaran untuk
infrastruktur di daerah tertinggal (IDT) dimana anggarannya mencapai 3,79 Triliun Rupiah untuk tahun
2013, lain halnya dengan anggaran IDT yang hanya mencapai 3,20 Triliun Rupiah.[3] Selain itu Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dibentuk Presiden juga tidak bisa berjalan secara efektif.

Pada saat terjadinya bencana lumpur lapindo, Aburizal Bakrie (figur sentral di dalam grup bakrie) sedang
menjabat sebagai Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Mesko Kesra) pada kabinet Indonesia
Bersatu jilid 1 dibawah kepemimpinan SBY. Keberadaan Aburizal Bakrie dalam kabinet,
membuat  kebijakan pemerintah tidak memihak kepada masyarakat korban lumpur lapindo[4]. Pada
hari rabu tanggal 27 Februari 2008 di kantor kepresidenan. Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat, memimpin rapat tertutup tentang penanganan dampak sosial lumpur panas di
Sidoarjo. Presiden Yudhoyono meninggalkan ruangan untuk bertemu menteri luar negeri Jerman, Frank
Walter Steinmeier, setelah membuka rapat itu. Sebelum meninggalkan ruangan, presiden mengatakan
pada forum agar memberikan kompensasi pada penduduk tiga desa terdampak baru (Besuki, Pejarakan
dan Kedung Cangkring), yang tidak termasuk pada peta terdampak menurut Peraturan Presiden No.14
Tahun 2007, menggunakan dana dari APBN. Bakrie yang ditunjuk presiden untuk melanjutkan rapat
membuka forum dengan berkata, “Saya minta perintah bapak Presiden tadi segera dilaksanakan[5]”.

Kebijakan berikutnya yang dibuat oleh Presiden SBY yakni perpres nomer 48 tahun 2008. Jika dilihat dari
perspektif partisipasi, perpres ini cenderung mengabaikan untuk berdialog dengan publik dan
menimbulkan kekecewaan masyarkat korban lumpur lapindo. Selain itu, perpres ini juga hanya
melanjutkan dalam penanganan kasus lapindo.akibat kebijakan ini, anggaran negara terserap triliunan
dan hal ini sangat merugikan negara.

[1] http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/290.pdf, diakses pada tanggal 10 Juni 2013.


[2] Cisilia Andriani, “Dampak Sosial Bencana Lumpur Lapindo Dan Penanganannya Di Desa Renokenongo: Studi
Tentang Penanganan Ganti Rugi Warga Desa Renokenongo”, (Skripsi S1, Program Studi Ilmu Administrasi
Negara, Universitas Pembangunan Nasional, 2011).
[3]. D. Tiala, “Lumpur Lapindo Brantas  Inc: Konflik Kelas antara Pendekatan Psikososial dan Pendekatan Ekonomi
Politik”. “Jurnal Pemberdayaan Masyarakat”, Volume 03, (2011) Hal 12.
[4] Bosman Batubara, Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di
Sidoarjo, (Yogyakarta: Insist Pres, 2012), Hal 149.
[5] Anton Novenanto, “Melihat Kasus Lapindo Sebagai Bencana Alama”, “Jurnal Center for Religious and
Cross  cultural Studies”,  Volume 04, (2008) Hal 21.
[6] Ronald H. Chilcote. Teori Perbandingan Politik :Penelusuran Paradigma, (Raja Grafindo Persada:
Jakarta. 2007), Hal. 485.
[7] Ibid,. Hal. 485-486
10 Tahun lumpur lapindo

Menjelang 10 tahun semburan lumpur di Sidoarjo, PT Lapindo Brantas Inc tetap yakin pengeboran di
sumur baru akan aman. Lapindo juga telah menandatangi perjanjian yang menyatakan tanggung jawab
jika terjadi semburan lagi.

Vice President Corporate Communication PT Lapindo Brantas Inc, Hesti Armiwulan, mengatakan,
selama ini Lapindo mematuhi imbauan Kementerian ESDM agar tidak melakukan pengeboran sampai
kajian sosial dan teknis yang dilakukan tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) diselesaikan.

"Nah informasi yang kami terima, kenapa tidak boleh ngebor itu karena warga trauma takut peristiwa
2006 itu terulang kembali, nah atas dasar informasi itu maka kami dari lapindo kemudian melakukan
komunikasi dengan berbagai kalangan yang menyampaikan persiapan kami untuk pengeboran ini aman,
dg kualitas chasing secara operasional itu kami jelaskan kepada semua pihak," jelasnya saat bertemu
wartawan di Rumah Makan Ria Galeria Surabaya, Jumat (27/5).

Hesti menambahkan, Lapindo telah menyampaikan kepada masyarakat terkait perjanjian di depan notaris
yang menyatakan Lapindo akan bertanggung jawab jika peristiwa semburan lumpur terulang kembali
akibat kesalahan Lapindo.

Ia juga mengklaim Lapindo telah melakukan pendekatan ke warga di sekitat lokasi pengeboran. Selain itu
juga melakukan dialog dengan warga Kedungbanteng, Kalijawir dan Banjarasri.

"Pemikiran kami dengan komunikasi seperti itu kami sudah menjelaskan dengan terang bahwa ini aman,
kami berjanji bertanggung jawab," ucapnya.

Hesti menjelaskan, saat ini jumlah sumur yang beroperasi di Sidoarjo sebanyak 13 sumur dari 26 sumur
yang ada di Wunut dan Tanggulangin. Menurutnya, dengan tidak ada aktivitas pengeboran di
Tanggulangin sejak Januari 2016, perusahaan menderita kerugian. Sebab, Lapindo harus menanggung
biaya operasional perusahaan rig yang memenangkan tender.

Di sisi lain, hingga kini masih terdapat sekitar 30 berkas yang belum selesai proses ganti rugi. Sejak 2006
sampai sekarang, Lapindo telah mengeluarkan dana senilai Rp 8 triliun untuk ganti rugi warga yang
menjadi korban semburan lumpur. Kemudian, Lapindo juga mendapat pinjaman dari pemerintah senilai
Rp 781 miliar untuk menyelesaikan proses ganti rugi. Proses kompensasi dan ganti rugi ini ditangani oleh
PT Minarak Lapindo Jaya.

Menurutnya, kendala penyelesaian ganti rugi bukan dari Lapindo melainkan adanya berkas yang belum
selesai. Dia mencontohkan, warga mengklaim tanahnya kategori kering sementara PT MLJ menilai itu
tanah basah. Selain itu, ada dua orang yang mengaku sebagai ahli waris yang sah dari satu warga yang
mendapat ganti rugi.

"Kami dari Lapindo karena ini uang pinjaman dari pemerintah kami tidak bisa bawa uangnya terus-
menerus, dan tidak bisa dikembalikan ke bank. Kami belum mendapat informasi apakah persoalan ini
diselesaikan di pengadilan atau secara kekeluargaan," ungkapnya. 
Semburan lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2016. Pada Ahad (29/5) nanti tepat 10 tahun semburan
lumpur tersebut. 

Anda mungkin juga menyukai