Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Disusun oleh :
Michael Olivier Wijaya - 07120120080

Pembimbing :
dr. Bambang Nurcahtjono, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN & KANDUNGAN


RUMKITAL MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 18 MEI – 31 JULI 2016
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu masalah kesehatan utama pada


wanita yang bersifat mengancam kehamilan dan berisiko bagi janin. Selain itu,
hipertensi dalam kehamilan juga merupakan salah satu dari 3 penyebab utama
morbiditas dan mortalitas marternal dan perinatal disamping infeksi dan perdarahan.
Kejadian hipertensi dapat ditemukan pada 5-15% dari seluruh kehamilan. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi hipertensi dalam
kehamilan di Indonesia yaitu sebesar 1.062 kasus, yaitu 12.7%. Dalam perjalanan
penyakitnya, hipertensi dalam kehamilan tidak selalu menimbulkan gejala yang khas
sehingga seringkali sulit dikenali. Pada umumnya gejala baru ditimbulkan ketika sudah
menimbulkan komplikasi berupa kerusakan organ, atau menimbulkan masalah terhadap
janin seperti IUGR.
Oleh sebab itu, tatalaksana yang optimal dalam menindaklanjuti masalah
kesehatan ini adalah dengan observasi ketat terhadap tanda-tanda serta melakukan
monitoring sebelum muncul tanda-tanda adanya masalah dalam kehamilan dengan
melakukan pemeriksaan antenatal yang adekuat. Hal ini memerlukan kesadaran dan
keterampilan dari para pemberi layanan kesehatan untuk melakukan deteksi dini
terhadap hipertensi dalam kehamilan, khususnya pada wanita yang memiliki faktor
risiko, seperti primigravida, usia lebih dari 35 tahun, kehamilan ganda, obesitas, dan
memiliki riwayat hipertensi dalam kehamilan dalam keluarga. Maka referat ini akan
memberikan informasi yang lebih berfokus kepada tingginya angka kejadian hipertensi
dalam kehamilan di Indonesia, pemeriksaan yang sedang dikembangkan untuk
memprediksi hipertensi dalam kehamilan, aspek klinik, serta tatalaksananya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Hipertensi didiagnosis secara empiris ketika tekanan darah sistolik
dan diastolik yang diukur secara tepat mencapai 140/90 mmHg atau
lebih. Pengukuran tekanan darah yang tepat berdasarkan rekomendasi
terbaru yaitu, antara lain:1
- Pengukuran tekanan darah dilakukan setelah pasien diberikan
kesempatan duduk tenang dalam waktu 15 menit
- Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam posisi duduk dengan
lengan diposisikan setinggi jantung
- Menggunakan manset yang ukurannya sesuai (panjang manset
1,5 kali keliling lengan)
- Korotkoff fase V (hilangnya bunyi) digunakan untuk
menentukan tekanan diastolik
- Apabila tekanan darah selalu lebih tinggi pada salah satu sisi
lengan, nilai tekanan darah yang lebih tinggi yang dijadikan
acuan dalam pengukuran tekanan darah
- Tekanan darah dapat diukur menggunakan sphygmomanometer
merkuri, sphygmomanometer aneroid yang sudah dikalibrasi,
atau alat pengukur tekanan darah otomatis yang sudah divalidasi
untuk pengukuran pada pasien preeklampsia.

2.2. Klasifikasi
Hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan menjadi 4 kategori berdasarkan
The Working Group of the National High Blood Pressure Education program.
Kategori tersebut antara lain:2

3
2.2.1 Hipertensi Gestasional
Hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria
dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan atau
kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria,
seperti nyeri epigastrium atau trombositopenia.
2.2.2 Preeklampsia dan Eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥1+ pada
dipstik. Sedangkan eklampsia adalah preeklampsia yang disertai
dengan kejang.
2.2.3 Hipertensi Kronik dengan Superimposed Preeklampsia
Hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau
hipertensi kronik disertai proteinuria.
2.2.4 Hipertensi Kronik
Hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau
hipertensi yang didiagnosis pertama kali setelah usia kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.

2.3. Epidemiologi
Hipertensi merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada
kehamilan, dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3% kehamilan. Penyakit
ini menyebabkan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi, sehingga
merupakan masalah kesehatan dalam masyarakat. Kejadian hipertensi pada
kehamilan sekitar 5-15% dan merupakan satu di antara 3 penyebab mortalitas
dan morbiditas ibu bersalin di samping infeksi dan perdarahan.
Berdasarkan penelitian analisis lanjut riset kesehatan dasar (Riskesdas)
2007 yang dilakukan terhadap seluruh rumah tangga di Indonesia, dengan
sampel perempuan berusia 15-54 tahun, sudah menikah dan sedang hamil,
ditemukan sebanyak 8.341 kasus (1.51%) ibu hamil dari semua sampel
perempuan yang berusia 15-54 tahun. Diantaranya, didapatkan prevalensi

4
hipertensi pada ibu hamil sebesar 1.062 kasus (12.7%). Dari 1.062 kasus ibu
hamil dengan hipertensi, ditemukan 125 kasus (11.8%) yang pernah didiagnosis
menderita hipertensi oleh petugas kesehatan.
Tabel 1 menunjukkan sebaran hipertensi di 32 provinsi di Indonesia.
Persentase ibu hamil dengan hipertensi terbanyak terdapat di provinsi Sumatera
Selatan (18.0%), sedangkan persentase terendah ditemukan di Papua Barat
(4.9%).
Rerata umur respondon adalah 28.6 (±7.5) tahun. Tabel 2
memperlihatkan bahwa persentase ibu hamil dengan hipertensi pada usia < 19
dan > 35 tahun (kelompok usia berisiko tinggi terkena eklampsia) sebesar
24.3%, lebih tinggi dibandingkan kelompok usia 18-35 tahun (9.8%). Hipertensi
pada ibu hamil berusia >35 tahun (36.6%) jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan usia <18 tahun (3.7%). Responden lebih banyak berdomisili di pedesaan
(5.239 orang). Persentase ibu hamil dengan hipertensi juga lebih tinggi di daerah
pedesaan (15.0%).
Dari tingkat pendidikan, ditemukan hipertensi lebih banyak pada ibu
hamil yang berpendidikan rendah (14.5%). Persentase ibu hamil dengan
hipertensi terbesar pada buruh/tani (16.8%) sedang pada yang tidak bekerja dan
pegawai hampir sama. Dari status sosial-ekonomi responden, persentase ibu
hamil dengan hipertensi lebih banyak pada responden miskin (13.4%)
dibandingkan dengan yang tidak miskin (12.0%).3

5
Tabel 1. Sebaran Ibu Hamil dengan Hipertensi di Indonesia Menurut Provinsi

Tabel 2. Persentase Hipertensi pada Ibu Hamil Menurut Karakteristik


Responden

6
2.4. Faktor Risiko
Preeklampsia seringkali menyerang wanita berusia muda yang
merupakan primigravida dan primipaternitas. Namun wanita yang berusia tua
berisiko lebih besar untuk terkena hipertensi kronis dengan superimposed
preeklampsia. Selain itu, insidensi dari hipertensi dalam kehamilan ini juga
dipengaruhi oleh ras dan etnis tertentu yang berarti ditentukan oleh faktor
predisposisi genetik. Faktor lainnya termasuk riwayat preeklampsia/eklampsia
dalam keluarga, kehamilan ganda, usia ekstrim (lebih dari 35 tahun), penyakit-
penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil, obesitas, faktor
lingkungan, sosioekonomik, dan juga pengaruh musim.2

2.5. Etiologi
Hipertensi dalam kehamilan tidak berdiri sebagai satu penyakit, melainkan
terbentuk sebagai kumpulan dari beberapa faktor yang melibatkan faktor
maternal, plasenta, dan janin. Berikut beberapa etiologi dari hipertensi dalam
kehamilan.2,4
2.5.1. Invasi trofoblas yang abnormal
Pada proses implantasi normal, arteria spiralis mengalami proses
remodeling akibat terinvasi oleh trofoblas. Invasi trofoblas ini
menyebabkan jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan
lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis akan menurunkan tekanan darah,
menurunkan resistensi vaskular, dan meningkatkan aliran darah
uteroplasenta. Dengan begitu, aliran darah ke janin menjadi adekuat
dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga pertumbuhan janin
terjamin dengan baik.
Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks
sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis tetap kaku dan keras, tidak
memungkinkan mengalami distensi serta vasodilatasi. Akibatnya,

7
arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, mengalami kegagalan
remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta
menurun, menyebabkan terjadinya hipoksia dan iskemia plasenta. Hal
ini memicu pengeluaran debris plasenta yang merupakan pencetus
terjadinya respon inflamasi sistemik.

Gambar 1. Invasi Trofoblas pada Arteri Spiralis Normal dan


Preeklampsia

2.5.2. Intoleransi imunologik antara janin dan ibu


Beberapa studi menghasilkan fakta-fakta yang menunjukkan
bahwa faktor imunologik turut berperan terhadap hipertensi dalam
kehamilan. Risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan pada
primigravida lebih besar dibandingkan dengan multigravida. Ibu
multipara yang menikah lagi juga mempunyai risiko lebih besar
terkena hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami
yang sebelumnya.
Pada wanita yang hamil normal, terdapat human leukocyte
antigen protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam modulasi
respons imun sehingga tidak terjadi penolakan hasil konsepsi
(plasenta). HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari

8
lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu. HLA-G juga akan
mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu.
Pada hipertensi dalam kehamilan, plasenta mengalami penurunan
ekspresi HLA-G, sehingga menghambat invasi trofoblas ke dalam
desidua.
Selain itu, pada kehamilan normal, sel limfosit T-helper (Th)
diproduksi dengan perbandingan aktivitas Th2 lebih tinggi dibanding
Th1. Namun pada hipertensi dalam kehamilan, di awal trimester
kedua, terjadi perubahan perbandingan antara aktivitas Th1 dan Th2, di
mana Th1 menjadi lebih tinggi dari Th2.
2.5.3. Aktivasi sel endotel
Akibat iskemia pada plasenta karena kegagalan invasi trofoblas,
maka plasenta akan menghasilkan oksidan. Oksidan adalah penerima
elektron atau atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak
berpasangan. Salah satu contohnya adalah radikal hidroksil yang
bersifat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh
darah. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, mengubah asam
lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak yang merusak membran
sel, nukleus, dan protein sel endotel. Kerusakan sel endotel akan
mengakibatkan disfungsi sel endotel sehingga terjadi: (1) gangguan
metabolisme prostaglandin yaitu menurunnya produksi prostasiklin,
suatu vasodilator kuat; (2) agregasi sel trombosit pada daerah endotel
yang mengalami kerusakan sehingga memproduksi tromboksan, suatu
vasokonstriktor kuat yang memicu terjadinya kenaikan tekanan darah;
(3) perubahan pada sel endotel kapiler glomerulus; (4) peningkatan
permeabilitas kapiler; (5) peningkatan produksi bahan vaspresor yaitu
endotelin yang merupakan vasokonstriktor; dan (6) peningkatan faktor
koagulasi.

9
2.5.4. Faktor genetik
Hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu penyakit
multifaktorial dan bersifat poligenik. Suatu studi menyatakan bahwa
risiko penurunan preeklampsia dari ibu yang mengalami preeklampsia
kepada anak perempuannya yaitu sebesar 20-40%, dan 22-47% antara
saudara kembar. Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi
dalam kehamilan secara familial, jika dibandingkan dengan genotipe
janin.
2.5.5. Faktor nutrisi
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia
karena mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit,
dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Defisiensi kalsium
pada diet perempuan hamil juga akan meningkatkan risiko terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.

2.6. Patofisiologi 2,4


2.6.1 Volume Plasma
Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna
(hipervolemia), untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin.
Peningkatan tertinggi volume plasma terjadi pada usia kehamilan 32-
34 minggu. Namun pada hipertensi dalam kehamilan terjadi
penurunan volume plasma antara 30-40% dibanding hamil normal,
disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan vasokonstriksi
yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah.
2.6.2 Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda terpenting dalam penegakkan
diagnosis hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik
menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik

10
menggambarkan besaran curah jantung. Tekanan darah bergantung
terutama pada curah jantung, volume plasma, resistensi perifer, dan
viskositas darah. Hipertensi dapat terjadi akibat vasospasme
menyeluruh dengan ukuran tekanan darah ≥140/90 mmHg selang 6
jam.
2.6.3 Fungsi Ginjal
Perubahan fungsi ginjal terjadi akibat menurunnya aliran darah
ke ginjal akibat hipovolemia, sehingga terjadi oliguria, bahkan anuria;
kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas
membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan
proteinuria; terjadi pembengkakan disertai deposit fibril sehingga
menyebabkan adanya endoteliosis kapiler glomerulus; gagal ginjal
akut akibat nekrosis tubulus ginjal; serta adanya kerusakan intrinsik
jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh darah.

Gambar 2. Endoteliosis Kapiler pada Preeklampsia

2.6.4 Elektrolit
Kadar elektrolit total menurun pada waktu hamil normal. Pada
hipertensi dalam kehamilan, elektrolit total sama seperti hamil normal,
kecuali bila diberi diuretikum banyak, restriksi konsumsi garam, atau

11
pemberian cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik. Preeklampsia
berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan
keseimbangan asam basa. Kejang pada eklampsia menyebabkan kadar
bikarbonat menurun akibat adanya asidosis laktat dan kompensasi
hilangnya karbon dioksida.
2.6.5 Tekanan Osmotik Koloid Plasma/Tekanan Onkotik
Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada usia
kehamilan 8 minggu. Pada preeklampsia tekanan onkotik makin
menurun karena kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas
vaskular.
2.6.6 Koagulasi dan Fibrinolisis
Gangguan koagulasi pada preeklampsia, misalnya
trombositopenia yang pada umumnya bersifat ringan namun sering
dijumpai. Pada preeklampsia terjadi peningkatan Fibrin Degradation
Products (FDP), penurunan antitrombin III, dan peningkatan
fibronektin.
2.6.7 Viskositas Darah
Komponen yang menentukan viskositas darah adalah volume
plasma, molekul makro: fibrinogen dan hematokrit. Pada hipertensi
dalam kehamilan, terjadi peningkatan viskositas darah yang
meningkatkan resistensi perifer serta menurunkan aliran darah ke
organ.
2.6.8 Hematokrit
Pada kehamilan fisiologis, terjadi penurunan hematokrit karena
hipervolemia, kemudian meningkat lagi pada trimester III akibat
peningkatan produksi urin. Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi
peningkatan hematokrit karena hipovolemia.
2.6.9 Edema
Edema seringkali dijumpai pada kehamilan, 40% edema terjadi
pada hamil normal, 60% pada kehamilan dengan hipertensi, dan 80%

12
pada kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria. Edema terjadi
akibat hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapiler. Edema
yang bersifat patologik adalah edema yang nonedependen pada muka
dan tangan, atau edema generalisata, dan disertai dengan kenaikan
berat badan yang cepat.
2.6.10 Hematologik
Perubahan hematologik terjadi oleh karena adanya hipovolemia
akibat vasospasme, hipoalbuminemia, hemolisis mikroangiopatik
akibat spasme arteriol dan hemolisis akibat kerusakan endotel. Hal ini
akan menyebabkan peningkatan hematokrit. Terkadang pada
hipertensi kehamilan dapat terjadi penurunan trombosit <100.000
sel/ml yang disebut dengan trombositopenia, yang dapat mengarah
kepada hemolisis dan destruksi eritrosit.
2.6.11 Hepar
Hepar mengalami perubahan akibat adanya vasospasme, iskemia,
dan perdarahan. Perdarahan pada periportal lobus perifer akan
menyebabkan nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar.
Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar
(subkapsular hematoma) yang menimbulkan rasa nyeri di daerah
epigastrium dan dapat menyebabkan ruptur hepar, sehingga perlu
dilakukan pembedahan.
2.6.12 Neurologik
Perubahan neurologik yang terjadi pada hipertensi dalam
kehamilan yaitu nyeri kepala akibat edema vasogenik oleh karena
hiperperfusi otak; gangguan visus karena spasme arteri retina dan
edema retina; hiperrefleksia; kejang eklamptik; dan perdarahan
intrakranial yang dapat terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia.
2.6.13 Kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan afterload
akibat hipertensi dan penurunan preload akibat hipovolemia.

13
2.6.14 Paru
Penderita preeklampsia berat berisiko mengalami edema paru
akibat payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pembuluh darah
kapiler paru, dan menurunnya diuresis.
2.6.15 Janin
Preeklampsia dan eklampsia umumnya menyebabkan penurunan
perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme dan kerusakan sel
endotel pembuluh darah plasenta. Oleh sebab itu seringkali dijumpai
janin mengalami intrauterine growth restriction (IUGR) dan
oligohidramnion, kelahiran prematur, yang berarti meningkatkan
morbiditas dan mortalitas janin.

2.7. Aspek Klinik


2.7.1 Hipertensi Gestasional
Diagnosis hipertensi gestasional ditegakkan ketika tekanan darah
mencapai 140/90 mmHg atau lebih saat pertama kali setelah
kehamilan 20 minggu, tanpa adanya proteinuria. Sekitar setengah dari
kelompok ini akan berkembang menjadi preeklampsia, dengan gejala
seperti proteinuria, trombositopenia, nyeri kepala, dan nyeri
epigastrium. Hipertensi gestasional akan mengalami reklasifikasi
menjadi hipertensi transien apabila terbukti tidak ada tanda-tanda
preeklampsia dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu
pasca persalinan.2

2.7.2 Preeklampsia
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang bersifat akut
dan dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Melalui gejala-gejala
klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan
berat. Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan
dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya

14
vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. Preeklampsia berat
adalah suatu preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih 5
g/24 jam.4
Kriteria diagnosis preeklampsia ringan dan berat adalah seperti
yang tercantum pada tabel berikut ini.2

Tabel 3. Kriteria Diagnosis Preeklampsia Ringan dan Berat


Abnormalitas Ringan Berat
TD diastolik <110 mmHg ≥110 mmHg
TD sistolik <160 mmHg ≥160 mmHg
Proteinuria ≤2+ ≥3+
Nyeri kepala Tidak ada Ada
Gangguan penglihatan Tidak ada Ada
Nyeri epigastrium Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang Tidak ada Ada
Serum kreatinin Normal Meningkat
Trombositopenia Tidak ada Ada
Serum transaminase Minimal Signifikan
Restriksi pertumbuhan janin Tidak ada Jelas
Edema paru Tidak ada Ada

Preeklampsia berat dapat dibagi menjadi 2 kategori. Pertama,


preeklampsia berat tanpa impending eclampsia, dan kedua preeklampsia
berat dengan impending eclampsia yang ditandai dengan gejala-gejala
subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah,
nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.4
Prediksi preeklampsia dan eklampsia pada awal kehamilan atau
selama kehamilan dengan menggunakan berbagai macam markers yang
terlibat dalam patofisiologi terjadinya preeklampsia saat ini sedang
dalam pengembangan. Beberapa upaya deteksi dini sedang
dikembangkan untuk mengidentifikasi marker terhadap plasentasi yang
abnormal, gangguan perfusi plasenta, aktivasi dan disfungsi sel endotel,

15
serta aktivasi koagulasi. Berikut adalah faktor-faktor prediktif yang dapat
dievaluasi untuk memprediksikan preeklampsia dan eklampsia.1,2,7
I. Perfusi Plasenta / Uji Resistensi Vaskular
A. Provocative Pressor Tests
Pemeriksaan ini akan mengevaluasi peningkatan
tekanan darah sebagai respons terhadap stimulus.
Pemeriksaan yang pertama adalah roll-over test
yang mengukur respons hipertensif pada wanita
dengan kehamilan 28-32 minggu yang awalnya
berada dalam posisi miring kiri, kemudian
digulingkan sampai posisinya menjadi terlentang.
Pemeriksaan kedua yaitu isometric exercise test,
dengan melakukan gerakan yang menganut prinsip
kontraksi otot statis tanpa adanya gerakan pada
sudut sendi, contohnya adalah meremas bola
tangan. Pemeriksaan ketiga adalah angiotensin II
infusion test yang mengukur respons hipertensif
terhadap pemberian IV yang perlahan-lahan
ditingkatkan.
B. Velosimetri Doppler Arteri Uterina
Gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis
menyebabkan penurunan perfusi plasenta dan
peningkatan resistensi arteri uterina. Adanya
peningkatan velosimetri arteri uterina yang
ditentukan dengan pemeriksaan Doppler pada
trimester pertama atau kedua merupakan suatu
tanda prediktif untuk preeklampsia. Peningkatan
resistensi aliran arteri uterina akan menghasilkan
suatu pola gelombang yang abnormal, yaitu dalam
bentuk peningkatan resistensi, atau indeks pulsasi,

16
atau diastolic notch persisten baik unilateral
maupun bilateral. Doppler arteri uterina lebih baik
dalam memprediksi preeklampsia dini. Beberapa
penelitian telah melakukan pengkajian terhadap
nilai prediktif terhadap preeklampsia dini dan
menemukan bahwa likelihood ratio (LR) positif
yaitu antara 5.0-20, dan LR negatif berkisar 0.1-
0.8. Pemeriksaan Doppler arteri uterina sendiri
saat ini dikatakan mempunyai nilai prediktif yang
rendah terhadap preeklampsia dini. Kekurangan
dari pemeriksaan ini adalah tidak selalu akurat dan
begitu luasnya variabilitas salah satunya yaitu
sangat bergantung dengan ekspertise operator.

II. Disfungsi Renal


A. Asam Urat
Salah satu dari manifestasi laboratorik yang
muncul adalah hiperurisemia. Hal ini terjadi akibat
menurunnya klirens asam urat karena gangguan
filtrasi glomerulus, peningkatan reabsorpsi tubulus,
dan menurunnya sekresi. Sensitivitasnya yaitu
sebesar 0-55% dan spesifisitasnya 77-95%.

17
III. Disfungsi Endotel dan Stress Oksidan
A. Fibronektin
Fibronektin merupakan suatu glikoprotein yang
berperan dalam memenuhi fungsi selular, termasuk
adhesi dan morfologi, migrasi, fagositosis, serta
hemostasis. Fibronektin dikeluarkan dari sel
endotel dan matriks ekstraseluler apabila terjadi
kerusakan pada endotel. Pada preeklampsia,
terdapat kerusakan pada endotel, sehingga akan
menyebabkan peningkatan konsentrasi fibronektin
dalam plasma.
B. Aktivasi Koagulasi
Trombositopenia dan disfungsi platelet merupakan
suatu tanda dari preeklampsia. Aktivasi platelet
akan menyebabkan peningkatan destruksi dan
penurunan konsentrasi. Namun sering terjadi
overlap dalam pemeriksaan kadar trombosit pada
wanita hamil yang normotensif, sehingga jarang
digunakan lagi untuk memprediksi adanya
preeklampsia.
C. Stress Oksidatif
Penanda dari stress oksidatif yaitu adanya
peningkatan peroksida lemak bersamaan dengan
penurunan aktivitas antioksidan dapat menjadi
suatu prediksi adanya preeklampsia. Contoh
marker dari peroksidasi lemak adalah
malondialdehida. Selain itu, pada preeklampsia
terjadi hiperhomosisteinemia yang dapat
menyebabkan stress oksidatif dan disfungsi sel
endotel. Wanita hamil dengan homosistein yang

18
meningkat mempunyai 3-4 kali lipat risiko terjadi
preeklampsia.
D. Faktor Angiogenik
Sebelum terjadi onset preeklampsia, konsentrasi
faktor proangiogenik dalam darah seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan placental
growth factor (PIGF) akan menurun. Namun pada
saat yang sama, konsentrasi faktor antiangiogenik
dalam darah seperti soluble endoglin (sEng) dan
soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) akan
meningkat. Pengukuran faktor-faktor ini dapat
memprediksikan terjadinya preeklampsia.

Penatalaksanaan preeklampsia dibagi berdasarkan derajat ringan


atau beratnya. Tujuan utama dari tatalaksana preeklampsia adalah untuk
mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi
organ vital, dan melahirkan bayi sehat.1,4,5
I. Manajemen Preeklampsia Ringan
A. Manajemen Umum
Pada setiap kehamilan disertai penyulit suatu
penyakit akan selalu dipertimbangkan:
- Sikap terhadap penyakitnya: pemberian
obat-obatan, atau terapi medikamentosa
- Sikap terhadap kehamilannya: terdapat 2
pilihan perawatan yaitu apakah kehamilan
akan diteruskan sampai aterm (perawatan
konservatif atau ekspektatif), atau akan
diterminasi (perawatan aktif atau agresif).

19
B. Rawat Jalan (ambulatoar)
Preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat
jalan. Anjuran yang harus diberikan antara lain,
banyak istirahat (berbaring/tidur miring). Posisi
tidur miring dianjurkan karena dapat mengurangi
vasospasme dan memperbaiki kondisi janin dalam
rahim. Diet diberikan cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak, garam secukupnya yang tidak
perlu direstriksi, dan roboransia prenatal. Tidak
perlu diberikan obat-obatan diuretik,
antihipertensi, dan sedatif. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium Hb, Ht, fungsi hati, urin lengkap, dan
fungsi ginjal.

C. Rawat Inap
Kriteria preeklampsia ringan harus dirawat di
rumah sakit adalah: (1) tidak ada perbaikan:
tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu;
(2) adanya 1 atau lebih gejala dan tanda-tanda
preeklampsia berat. Selama perawatan dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang
laboratorium, pemeriksaan USG dan Doppler
untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah
cairan amnion, serta dilakukan pemeriksaan non
stress test (NST) setiap 2 kali seminggu, dan
konsultasi dengan bagian mata, jantung, dll.

20
D. Perawatan Obstetrik yaitu Sikap terhadap
Kehamilannya
Pada kehamilan preterm (<37 minggu), apabila
tekanan darah mencapai normotensif selama
perawatan, maka persalinannya ditunggu hingga
aterm. Sementara pada kehamilan aterm (>37
minggu), persalinan ditunggu sampai onset
persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan
induksi persalinan pada taksiran tanggal
persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara
spontan.

II. Manajemen Preeklampsia Berat


Manajemen preeklampsia berat dan eklampsia
mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi,
pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit
organ yang terlihat, dan saat yang tepat untuk persalinan.
Selain itu juga dilakukan observasi harian tentang tanda-
tanda klinik berupa nyeri kepala, gangguan visus, nyeri
epigastrium, dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu
dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran
proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan
laboratorium, USG, dan NST.
A. Manajemen Umum
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi 2
unsur:
- Sikap terhadap penyakitnya: obat-obatan
- Sikap terhadap kehamilannya: terminasi
kehamilan setiap saat bila keadaan
hemodinamika sudah stabil.

21
B. Sikap terhadap Penyakit (Medikamentosa)
- Pasien dianjurkan untuk segera masuk rawat
inap dan melakukan tirah baring miring kiri.
Perawatan terpenting yang diberikan adalah
pengelolaan cairan dengan cara monitoring
input dan output cairan. Cairan yang
diberikan dapat berupa (a) 5% Ringer-
dekstrose atau cairan garam faali <125
cc/jam atau (b) infus Dekstrose 5% yang tiap
1 liternya diselingi dengan infus Ringer
Laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.
- Diberikan antasida untuk menetralisir asam
lambung untuk menghindari risiko aspirasi
asam lambung apabila terjadi kejang.
- Diet cukup protein rendah lemak,
karbohidrat, dan garam.
- Pemberian obat anti kejang
Obat anti kejang pilihan pada ibu hamil
adalah MgSO4. Namun obat lain yang dapat
digunakan adalah Diazepam dan Fenitoin.
Cara pemberian MgSO4 menurut pedoman
WHO yaitu sebagai berikut.5,6

22
Apabila terjadi kejang berulang setelah 15 menit
pemberian dosis awal, berikan 2 g larutan
MgSO4 (5 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan
dengan 10 ml akuades secara IV selama 15-20
menit. Hentikan pemberian MgSO4 jika refleks
patella negatif, bradipnea (<16 x/menit).
Apabila terjadi henti napas, bantu pernapasan
dengan ventilator dan berikan Ca Glukonas 1 gr
(20 ml dalam larutan 10%) IV perlahan sampai
pernapasan dimulai lagi.
- Diuretikum Furosemida diberikan bila ada
edema paru, payah jantung kongestif, atau
edema anasarka. Namun efek samping dari
pemberian diuretikum dapat memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi utero-
plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,

23
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan
menurunkan berat janin.
- Pemberian antihipertensi
Penentuan batas tekanan darah untuk pemberian
antihipertensi adalah ≥160/110 mmHg dan
MAP ≥126 mmHg. Pilihan obat yang dapat
digunakan yaitu:
(1) Nifedipin: 4 x 10-30 mg PO (short acting),
1x 20-30 mg PO (long acting)
(2) Nikardipin: 5 mg/jam, dapat dititrasi 2,5
mg/jam tiap 5 menit hingga maks. 10 mg/jam
(3) Metildopa: 2 x 250-500 mg PO (dosis maks
2000 mg/hari)
- Glukokortikoid untuk pematangan paru janin
tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan
32-34 minggu, 2 x 24 jam obat ini juga
diberikan pada sindroma HELLP.

C. Sikap terhadap Kehamilannya


Sikap terhadap kehamilan pada preeklampsia berat
selama perawatan dibagi menjadi 2: perawatan aktif
dan konservatif.
- Perawatan Aktif: kehamilan segera diterminasi
bersamaan dengan pemberian pengobatan.
Indikasi Ibu:
o Usia kehamilan ≥37 minggu
o Adanya tanda-tanda impending
eclampsia
o Kegagalan terapi perawatan konservatif

24
o Terjadi solusio plasenta
o Timbul onset persalinan, ketuban pecah,
atau perdarahan

Indikasi Janin:
o Adanya tanda-tanda gawat janin
o Adanya tanda-tanda IUGR
o NST nonreaktif
o Oligohidramnion

Indikasi Laboratorik:
o Adanya tanda-tanda sindroma HELLP,
khususnya penurunan trombosit dengan
cepat
- Perawatan Konservatif: kehamilan tetap
dipertahankan bersamaan dengan pemberian
pengobatan.
Indikasi: bila kehamilan preterm ≤37 minggu
tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia
dengan keadaan janin baik.
Pada perawatan konservatif, loading dose
MgSO4 tidak diberikan secara IV, cukup IM
saja, kemudian dihentikan bila ibu sudah
mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
tidak ada perbaikan setelah 24 jam, dianggap
sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa
dan harus diterminasi.

25
Upaya pencegahan dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
preeklampsia pada perempuan hamil yang berisiko terkena
preeklampsia. Pencegahan dapat dilakukan dengan 2 cara:9
I. Pencegahan non medikal
- Tirah baring
- Manipulasi diet: konsumsi minyak ikan yang kaya
akan asam lemak tidak jenuh misalnya omega-3.
II. Pencegahan dengan medikal
- Kalsium: 1.500-2.000 mg/hari
- Zink 200 mg/hari
- Magnesium 365 mg/hari
- Obat antitrombotik: Aspirin 50-150 mg/hari atau
Dipiradamole.
- Antioksidan: vitamin C, vitamin E, beta-karoten,
CoQ10, N-Asetilsistein, asam lipoik.

2.7.3 Eklampsia
Eklampsia kasus akut pada penderita preeklampsia yang disertai
dengan kejang generalisata dan koma. Eklampsia dapat terjadi
antepartum, intrapartum, atau postpartum. Seringkali eklampsia terjadi
pada trimester akhir dan akan semakin meningkat frekuensinya ketika
mendekati usia kehamilan aterm. Pada eklampsia dapat disertai
dengan tanda-tanda khas sebagai tanda prodoma akan terjadinya
kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini
disebut dengan impending eclampsia atau imminent eclampsia.2
Perawatan dasar eklampsia yang utama adalah terapi suportif,
berfokus pada stabilisasi fungsi vital yang meliputi Airway,
Breathing, Circulation (ABC), mencegah kejang, mengatasi
hipoksemia dan asidemia, mencegah trauma pada pasien pada waktu
kejang, mengendalikan tekanan darah, melahirkan janin pada waktu

26
yang tepat dan dengan cara yang tepat. Tatalaksana khusus meliputi
manajemen kejang yaitu dengan pemberian MgSO4 sebagai pilihan
utama obat antikejang, dan perawatan edema paru dengan diuretikum.4

2.7.4 Hipertensi Kronik


Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah hipertensi yang
didapatkan sebelum timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui
adanya hipertensi sebelum kehamilan, maka hipertensi kronik
didefinisikan bila didapatkan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
diastolik ≥90 mmHg sebelum usia kehamilan 20 minggu. Sebesar
90% hipertensi kronik bersifat idiopatik, dan 10% disebabkan
sekunder oleh karena penyakit ginjal, vaskular kolagen, endokrin, dan
pembuluh darah.7
Diagnosis ditegakkan berdasarkan definisi dari hipertensi kronik,
yaitu bila didapati hipertensi telah timbul sebelum kehamilan, atau
timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu. Ciri-ciri dari hipertensi
kronik antara lain: terjadi pada usia ibu relatif tua yaitu di atas 35
tahun, tekanan darah sangat tinggi, umumnya terjadi pada multipara,
disertai dengan kelainan jantung, ginjal, dan diabetes melitus,
obesitas, pasien menggunakan obat-obat antihipertensi sebelum
kehamilan, dan hipertensi akan menetap pasca persalinan.4
Dampak yang ditimbulkan dari hipertensi kronik terhadap
kehamilan terbagi menjadi 2, yaitu dampak bagi ibu dan janin.
Dampak pada ibu sebenarnya tidak terlalu buruk selama ibu hamil
mendapatkan monoterapi untuk pengendalian tekanan darahnya, dan
tekanan darah dapat terkendali. Namun ibu tetap mempunyai risiko
terjadinya solusio plasenta ataupun superimposed preeklampsia.
Dampak yang ditimbulkan oleh hipertensi kronik terhadap janin ialah
peningkatan persalinan preterm dan pertumbuhan janin terhambat

27
(IUGR) akibat menurunnya perfusi uteroplasenta sehingga
menimbulkan insufisiensi plasenta.4
Tatalaksana hipertensi kronik pada kehamilan adalah pemberian
obat antihipertensi sedini mungkin (TD ≥140/90 mmHg), serta apabila
terjadi disfungsi end organ. Obat antihipertensi yang digunakan antara
lain: (1) α-Metildopa: 3 x 500 mg/hari (maks 3 gr/ hari); (2) Nifedipin:
30-90 mg/hari. Dilakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
elektrokardiografi, USG, dan NST.4,10

2.7.5 Hipertensi Kronik dengan Superimposed Preeklampsia


Semua pasien hipertensi kronik yang didasari oleh penyebab
apapun dapat menjadi predisposisi untuk terjadinya superimposed
preeklampsia. Pada umumnya, tekanan darah akan secara fisiologis
menurun pada trimester kedua dan awal trimester ketiga baik pada
normotensif maupun pada wanita hipertensi kronik. Pada trimester
ketiga, ketika tekanan darah kembali menjadi hipertensif, akan sulit
menentukan apakah hipertensi dipicu oleh kehamilan atau memang
pasien sudah mempunyai hipertensi kronik. Diagnosis akan sulit
ditegakkan karena sebagian besar wanita dengan hipertensi kronik
tidak menunjukkan tanda-tanda yang khas, dan tidak ada tanda-tanda
kerusakan end organ yang terlihat seperti hipertrofi ventrikel,
perubahan vaskular retinal kronik, atau disfungsi ginjal.2,4
Pada sebagian wanita dengan hipertensi kronik (sudah ada
sebelum usia kehamilan 20 minggu), tekanan darah terus meningkat
dengan tes celup urin menunjukkan proteinuria >1+ atau dapat disertai
dengan trombosit <100.000 sel/uL, peningkatan enzim liver yang
abnormal, nyeri perut kanan atas, nyeri kepala, pada usia kehamilan
>20 minggu.1,10

28
2.7.6 Sindroma HELLP
Sindroma HELLP adalah preeklampsia-eklampsia disertai
timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan
trombositopenia. H: Hemolysis, EL: Elevated Liver Enzyme, LP: Low
Platelets Count. Kematian ibu bersalin pada sindroma HELLP cukup
tinggi, yaitu sebesar 24%. Penyebab kematian dapat berupa kegagalan
kardiopulmonar, gangguan pembekuan darah, perdarahan otak, ruptur
hepar, dan kegagalan organ multipel. Kematian perinatal pada
sindroma HELLP juga cukup tinggi karena persalinan preterm.4,8
Diagnosis sindroma HELLP ditegakkan dengan adanya tanda-
tanda sebagai berikut.
- Diawali dengan tanda dan gejala yang tidak khas, seperti
malaise, lemah, nyeri kepala, mual, muntah
- Adanya tanda dan gejala preeklampsia
- Hemolisis intravaskular yang ditandai dengan kenaikan LDH,
AST, dan bilirubin indirek
- Kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar yang ditandai dengan
kenaikan AST, ALT, LDH
- Trombositopenia (≤150.000/ml
- Keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen harus
dipertimbangkan sebagai salah satu tanda sindroma HELLP.
Sindroma HELLP terbagi menjadi 3 kategori. Klasifikasi
Mississippi membagi sindroma HELLP berdasarkan kadar trombosit
darah. Berikut adalah klasifikasinya.4,9
- Klas 1
Kadar trombosit: ≤50.000/ml
LDH ≥600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥40 IU/l
- Klas 2
Kadar trombosit > 50.000 ≤ 100.000/ml

29
LDH ≥600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥40 IU/l
- Klas 3
Kadar trombosit > 100.000 ≤ 150.000/ml
LDH ≥600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥40 IU/l
Tatalaksana yang diberikan pada sindroma HELLP juga dibagi
menjadi sikap terhadap penyakitnya dan sikap terhadap kehamilannya.
Terapi medikamentosa yang diberikan mengikuti terapi preeklampsia-
eklampsia, yaitu:4,8,9
- Terapi cairan dengan Ringer-dekstrose 5%, bergantian
dengan RL 5% dengan kecepatan 100 ml/jam.
- Dapat pula diberikan plasma exchange dengan fresh frozen
plasma dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa hemolisis
mikroangiopati.
- Doublestrength dexamethasone diberikan 10 mg IV setiap 12
jam segera setelah diagnosis ditegakkan.
- Melakukan pemantauan terhadap kadar trombosit setiap 12
jam.
o Bila trombosit <50.000/ml atau adanya tanda
koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu
protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan
fibrinogen.
o Bila trombosit <100.000/ml atau 100.000-150.000/ml
dengan disertai tanda-tanda, eklampsia, hipertensi
berat, nyeri epigastrium, maka diberikan
deksametason 10 mg IV setiap 12 jam.

30
- Pada postpartum deksametason diberikan 10 mg IV setiap 12
jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg IV setiap 12 jam 2 kali
(tapering off).
- Terapi deksametason dihentikan ketika terjadi perbaikan
laboratorium, yaitu trombosit >100.000/ml dan penurunan
LDH serta perbaikan klinis preeklampsia-eklampsia.
- Bila trombosit <50.000/ml maka dapat dipertimbangkan
pemberian transfusi trombosit dan antioksidan.
- Bila terjadi ruptur hepar sebaiknya segera dilakukan
pembedahan lobektomi.
Sikap terhadap kehamilannya yaitu perawatan aktif, kehamilan akan
diterminasi tanpa memandang usia kehamilan. Persalinan dapat
dilakukan pervaginam atau perabdominam.

31
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan masalah kesehatan utama pada ibu


hamil, dan salah satu dari penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas marternal dan
perinatal. Kejadian hipertensi ditemukan pada 5-15% dari seluruh kehamilan, dengan
prevalensinya di Indonesia mencapai 1.062 kasus, yaitu sebesar 12.7%. Hipertensi dapat
menimbulkan komplikasi pada 2-3% kehamilan. Hipertensi adalah tekanan darah
sistolik dan diastolik yang diukur secara tepat mencapai 140/90 mmHg atau lebih.
Sedangkan yang termasuk hipertensi dalam kehamilan antara lain hipertensi gestasional,
preeklampsia dan eklampsia, hipertensi kronik, dan hipertensi kronik dengan
superimposed preeklampsia.
Faktor risiko dari hipertensi dalam kehamilan antara lain primigravida dan
primipaternitas, usia ekstrim (lebih dari 35 tahun), riwayat eklampsia/preeklampsia
dalam keluarga, faktor predisposisi genetik, kehamilan ganda, penyakit ginjal dan
hipertensi yang sudah ada sebelum hamil, obesitas, dan lain-lain. Adapun beberapa
etiologi dari hipertensi dalam kehamilan yaitu adanya invasi trofoblas yang abnormal,
intoleransi imunologik antara janin dan ibu, aktivasi sel endotel, faktor genetik, dan
faktor nutrisi. Beberapa perubahan yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi dalam
kehamilan adalah volume plasma jadi hipervolemia, hipertensi, penurunan fungsi ginjal,
gangguan elektrolit, penurunan tekanan onkotik, gangguan koagulasi dan fibrinolysis,
peningkatan viskositas darah, peningkatan hematokrit, edema, gangguan hematologic
seperti trombositopenia, perubahan pada hepar, perubahan neurologik, kardiovaskular,
edema paru, dan gangguan pertumbuhan janin.
Ditinjau dari perjalanan penyakitnya, tidak semua ibu hamil dengan hipertensi
akan menunjukkan gejala yang khas. Umumnya gejala baru timbul ketika sudah terjadi
komplikasi berupa kerusakan organ. Oleh sebab itu, deteksi dini terhadap hipertensi
pada kehamilan sangat penting dilakukan. Beberapa uji yang sedang dikembangkan saat
ini untuk melakukan prediksi terhadap preeklampsia dan eklampsia antara lain:
provocative pressor tests, velosimetri Doppler arteri uterina, pemeriksaan asam urat

32
untuk melihat fungsi ginjal, serta pemeriksaan disfungsi endotel dan stress oksidan
dengan fibronektin, aktivasi koagulasi, stress oksidatif, dan faktor angiogenik.
Secara umum, manajemen hipertensi dalam kehamilan dibagi menjadi 2: (1)
sikap terhadap penyakitnya, dengan pemberian obat antihipertensi (nifedipin), terapi
cairan, perawatan edema paru dengan diuretikum (furosemida), pemberian obat anti
kejang (MgSO4), glukokortikoid untuk pematangan paru janin pada kehamilan 32-24
minggu; (2) sikap terhadap kehamilannya yaitu dapat diberikan perawatan aktif atau
konservatif. Sedangkan untuk pencegahan terhadap preeklampsia, dapat dilakukan
dengan 2 cara: non medikal dan medikal. Pencegahan non medikal yang dapat
dilakukan yaitu tirah baring dan konsumsi minyak ikan. Sedangkan pencegahan medikal
dapat dilakukan dengan konsumsi kalsium, zink, magnesium, aspirin, dan antioksidan.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Magee LA, Anouk P, Michael H, et al. Diagnosis, Evaluation, and Management


of the Hypertensive Disorders of Pregnancy: Executive Summary. SOGC
Clinical Practice Guideline. 2014 May; 307: 416-438.
2. Cunningham FG, Kenneth JL, Steven LB, et al. 2014. Williams Obstetrics. 24 th
ed. United States: McGraw-Hill.
3. Sirait AM. Prevalensi Hipertensi pada Kehamilan di Indonesia dan Berbagai
Faktor yang Berhubungan (Riset Kesehatan Dasar 2007). Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan. 2012 Apr; 15(2): 103-109.
4. Prawirohardjo S. 2014. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
5. Saiffudin AB, Gulardi HW, Biran A, et al. 2014. Buku Panduan Praktis
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
6. World Health Organization. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 1st ed. Jakarta: WHO Indonesia.
7. Roberts JM, Phyllis AA, George B, et al. 2013. Hypertension in Pregnancy.
Washington: The American College of Obstetricians and Gynecologists.
8. Taylor RN, James MR, Gary C, et al. 2015. Chesley’s Hypertensive Disorders in
Pregnancy. 4th ed. Oxford: Elsevier.
9. Belfort MA, George S, Michael RF, et al. 2010. Critical Care Obstetrics. 5 th ed.
Chichester: Wiley-Blackwell.
10. Heazell A, Errol RN, Louise CK, et al. 2010. Hypertension in Pregnancy. 1 st ed.
New York: Cambridge University Press.

34

Anda mungkin juga menyukai