Anda di halaman 1dari 8

Kesiapan ancaman biologi: Kebutuhan akan

perubahan paradigma
ABSTRAK
India akhir-akhir ini rentan terhadap ancaman Kimia, Biologis, Radiologis, dan
Nuklir (CBRN), karena posisi geografisnya yang unik. Ancaman biologis akan
semakin nyata jika sampai di tangan teroris. Sistem kesehatan masyarakat di
negara kita sudah sangat terbebani karena perannya saat ini dan respons
terhadap ancaman biologi bukan merupakan prioritas. Makalah ini menyarankan
bahwa sebagai fokus utama adalah ancaman CR dan N dalam strategi
kesiapsiagaan CBRN yang terintegrasi dan bahwa keahlian khusus dan teknis
diperlukan untuk menghadapi ancaman biologi; karena itu perlu adanya
perubahan paradigma dalam kebijakan. Bidang penanganan ancaman biologi
perlu dipisahkan dari lingkup “CBRN”, dengan konsekuensi perubahan struktural
dan fungsional. Tenaga/kader khusus yang terpisah perlu dibentuk untuk
menangani ancaman biologi, dibentuk dari kumpulan dokter dan ilmuwan non-
medis dari AFMS dan DRDO. Perubahan struktural juga diperlukan dalam
organisasi, untuk mewadahi sumber daya NCDC, New Delhi untuk meningkatkan
kapasitas pengawasan penyakit dan menciptakan mitigasi ancaman biologis di
AFMC, Pune.

Pendahuluan
India, seperti kebanyakan negara lain di dunia, akhir-akhir ini rentan terhadap
ancaman Kimia, Biologis, Radiologis dan Nuklir (CBRN), karena posisi geografisnya
yang unik. Skala kerusakan yang ditimbulkan oleh senjata penghancur massal ini
tidak diragukan lagi sangat besar. Senjata nuklir menjadi yang sebelumnya
merupakan bencana paling menakutkan dan bagaimanapun kesiapan kita dalam
menghadapi ancaman nuklir kan tetap berdampak jika memang terjadi ledakan
nuklir. Namun, bagian baiknya adalah bahwa nuklir tidak mungkin digunakan
dalam perang karena dampak internasional yang ditimbulkan sesudahnya. Teroris
tentu saja bisa menggunakannya, tetapi akan membutuhkan banyak persiapan
dan mekanisme pengiriman yang canggih untuk mempraktikkannya.
Senjata kimia berpotensi digunakan dalam peperangan karena negara-negara
dapat dengan mudah menolak penggunaannya dan lolos begitu saja. Sisi
positifnya adalah Angkatan Bersenjata kami sudah dibekali untuk menangani
masalah ini baik dalam kondisi perang maupun kondisi damai. Sejumlah besar
latihan dengan skenario "serangan kimia" telah dilaksanakan sehingga Tim Reaksi
Cepat (QRTs), Tim Medis Reaksi Cepat (QRMT) dan rumah sakit yang kami miliki
sudah cukup siap jika diturunkan di daerah operasi.
Hal ini membawa kita semua ke dalam mitigasi bencana dimensi ketiga. Mungkin
dalam peperangan senjata biologi bukanlah pilihan, karena negara yang
menggunakannya juga takut jika pasukannya sendiri terkena dampaknya. Namun,
resiko digunakan oleh organisasi teroris sangatlah nyata. Karena patogen untuk
serangan biologi mudah untuk didapatkan, diolah, dan disebarluaskan. Salah satu
serangan agen biologi yang pernah terjadi adalah penyebaran bakteri salmonella
dalam salad di salah satu restoran di Oregaon, Amerika Serikat pada tahun 1984
dan surat yang berisi spora anthrax di tahun 2001 yang menyebabkan 5 orang
meninggal di Amerika Serikat. Seth Carus menyatakan “dengan berat yang sama,
senjata biologis berpotensi lebih mematikan daripada hulu ledak termonuklir.
WHO memperkirakan bahwa" 50 Kg spora anthrax yang dilepaskan pada sebuah
kota dengan setengah juta penduduk, akan membunuh setidaknya 95.000 orang
dan melumpuhkan 125.000 orang lainnya".
Prediksi ini didasarkan pada agen yang tidak menular. Jika menggunakan agen
menular, seperti cacar, penyakit ini bisa menyebar ke beberapa daerah dalam
hitungan jam dan menjadi pandemi di seluruh dunia dalam beberapa hari, karena
mobilitas masyarakat kita. Sistem kesehatan masyarakat yang ada saat ini masih
belum mampu untuk menghadapi ancaman biologi, selama wabah pada tahun
1995.
Hal ini dikarenakan banyaknya agensi/lembaga yang tidak jelas tugas pokoknya
sehingga digeneralisir, baik lembaga sipil maupun militer, yang pada akhirnya
mengakibatkan kurangnya koordinasi antar lembaga. Makalah ini menyarankan
bahwa strategi kesiapsiagaan CBRN terintegrasi yang saat ini lebih fokus pada CR
dan N membuat kita tidak siap untuk mengatasi ancaman biologi. Perlu adanya
perubahan paradigma dalam kebijakan untuk mengeluarkan ancaman 'B' yang
ada dalam ancaman ‘CBRN’ dengan perubahan struktural dan fungsional yang
konsekuen, sehingga kita mampu menghadapi ancaman biologi secara langsung
dan terfokus.
Dasar pemikiran untuk perubahan paradigma
Untuk mengelola setiap bencana CBRN, kesiapsiagaan, pencegahan, mitigasi dan
capacity building adalah pilar integral dari proses tanggap bencana. Dengan
meningkatnya persepsi ancaman, setidaknya ada kemajuan yang telah dicapai
dalam hal mitigasi bencana. Tapi ini umumnya hal tersebut masih terbatas pada
nuklir, kimia dan bidang radiologi. Sedangkan ancaman biologi selama ini hanya
sebatas teori dalam pengajaran di dalam kelas.
Kebijakan dan pedoman tata laksana memang sudah ada. Namun, saat ini masih
diprioritaskan ancaman nuklir dan kimia karena dalam penanggulangan ancaman
biologi dibutuhkan latar belakang relatif. Ini disebabkan karena faktanya tidak
seperti bencana nuklir-kimia yang menyebabkan korban langsung, ancaman
biologi pada dasarnya adalah keadaan darurat yang lambat berkembang.
Tindakan dalam merespon ancaman biologi merupakan operasi yang sangat
kompleks, membutuhkan koordinasi antar lembaga. Jaringan antar lembaga
kesehatan dengan komunikasi yang intesif merupakan hal penting saat
penganganan ancaman biologi tersebut.
QRMT telah dibentuk, dilatih dan diposisikan pada level korps tetapi adanya
penugasan ganda dari personel ini dan kurangnya peralatan, mengakibatkan tidak
efektifnya satuan ini. Selain itu, rumah sakit yang diperuntukkan resmi sebagai
rujukan saat krisis masih terkendala tenaga kerja terlatih dan logistik khusus.
Perlindungan pribadi, deteksi dini, vaksinasi, dan pemberian penangkal racun
merupakan persyaratan khusus dalam penatalaksanaan setiap korban serangan
biologi. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, hampir tidak ada produk baru yang
diperkenalkan untuk menghadapi ancaman biologi ini. Tidak sampai disitu, jalur
produksi untuk obat-obatan dan peralatan baru juga sudah menipis. Sehingga
penanganan ancaman biologi dan peralatan mitigasi lainnya masih terbatas pada
Kotak P3K Tipe A dan B.
Sebagai contoh, setelan baju NBC yang dipakai oleh tim respon cepat saat ini,
masih kurang memadai saat menangani korban perang biologi di lapangan, sangat
membatasi ruang gerak dan juga menyebabkan rasa panas bagi personel yang
menggunakannya. Kemudian beberapa peningkatan telah dilakukan seperti
mengurangi bobot hingga mencapai bobot total yang kurang dari 4 kg. Hal
tersebut dibutuhkan untuk mendukung pasukan di darat. Kedepannya,
diharapkan tim investigasi endemi pun akan memakai pakaian tersebut saat
menangani laporan kejadian khusus akibat penyakit walaupun tidak ada ancaman
bahan kimia maupun radioaktif. Mereka yang di lapangan membutuhkan baju bio-
suit yang ringan. Oleh sebab itu, memang harus diakui bahwa baju bio-suit
konvensional Sartoga NBC yang digunakan saat ini belum memadai untuk
digunakan dalam penanganan korban perang biologi di lapangan. Namun
demikian, prajurit dan tim reaksi cepat tetap dilatihkan dasar-dasar penanganan
dalam menghadapi kondisi ancaman kimia dan nuklir, walaupun untuk
perlindungan dalam penanganan kondisi ancaman biologi masih dianggap sebagai
kejadian khusus.
Otoritas Manajemen Bencana Nasional (NDMA) pada tahun 2008 telah
mengalokasikan Angkatan Bersenjata sebagai responder awal saat menanggapi
ancaman biologi di negara tersebut dan juga telah menyatakan bahwa pada tahun
2011 Angkatan Bersenjata akan memiliki laboratorium BSL 2 dan laboratorium
rujukan BSL 3 untuk mendeteksi agen ancaman biologi baru. Kami juga memiliki
personel yang telah diimunisasi vaksin antraks dan merevisi kebijakan dalam hal
persediaan obat-obatan untuk menanggapi ancaman biologis. Ada celah yang
harus diperbaiki, seperti pembuatan dan pemeliharaan stok vaksin adalah
keputusan kebijakan utama di tingkat Kementerian Pertahanan (Dephan),
mengingat umur simpan terbatas dan kendala keuangan.
Pendekatan terpadu CBRN secara ilmiah dinilai masih cacat, kesiapan penanganan
ancaman biologi sangat berbeda dengan penanganan yang diterapkan pada
ancaman Kimia, Nuklir, dan Radiasi. Ancaman biologi perlu penanganan khusus,
sehingga tidak dapat lagi dikelompokkan dalam lingkup “CBRN”. Saat ini dengan
kondisi bahwa telah terjadinya resistensi antimikroba karena telah bermutasinya
mikroba, maka ancaman biologi merupakan ancaman yang nyata dan harus
ditanggapi dengan serius, yang mana dibutuhkan pendekatan teknis dalam
penanganannya didukung dengan penelitian-penelitian untuk memelajari
“kecerdasan” mikroba, dll. Jika dihitung biaya yang dibutuhkan untuk membuat
senjata nuklir atau kimia adalah sekitar $600 - $2000/korban, sementara untuk
senjata biologi biayanya hanya $1/korban. Sangat murah namun dapat
menimbulkan dampak yang sangat merugikan bila teroris benar dapat menguasai
senjata biologi ini.
Kasus Untuk Fokus Khusus
Mempertimbangkan alasan-alasan diatas, penting untuk membentuk satuan
khusus yang terpisah guna menghadapi ancaman biologi. Sudah saatnya bidang
“B”dalam “CBRN”mendapatkan perhatian khusus dan mekanisme khusus, mulai
dari deteksi dini hingga mitigasi ancaman.
Hal penting yang perlu ditekankan adalah bahwa satuan khusus tersebut nantinya
perlu adanya peran eksekutif di dalamnya, sehingga saat terjadi suatu ancaman
biologi, tidak perlu membuang waktu banyak untuk berkoordinasi lintas sektoral.
Sehingga dapat bergerak cepat untuk menanggulangi ancaman biologi yang
terjadi.
NCDC, New Delhi yang ada saat ini berada di bawah Departemen Kesehatan dan
Organisasi Kesejahteraan Keluarga dimodelkan dengan mencontoh CDC yang ada
di Amerika. CDC Amerika menangani mitigasi ancaman biologi, sedangkan NCDC
India berkemampuan untuk deteksi dini dari epidemi apapun yang memiliki
kemungkinan ancaman biologi. Karena itu, lembaga ini perlu dijadikan ujung
tombak dalam kesiapsiagaan dan mitigasi ancaman biologi sehingga jangan
sampai terjadi duplikasi lembaga. Disamping itu, mereka juga didukung jaringan
laboratorium BSL 3 dan BSL 4 di sektor sipil.
Korps Insinyur di Angkatan Darat berisi prajurit profesional terbaik dengan
berorientasi tempur dan berkemampuan untuk melakukan mitigasi ancaman
nuklir dan kimia. Namun korps ini belum berkualifikasi untuk mengatasi ancaman
biologi. Mitigasi ancaman biologi merupakan bidang yang sangat terspesialisasi,
yang mana akan tepat jika diawaki oleh personel dengan latar belakang dokter
dan ilmuan non-medis di bidang mikrobiologi. DI India secara khusus ditangani di
bawah AFMS dan DRDO.
Perubahan struktural yang diusulkan dalam sipil dan Angkatan Bersenjata
Peringatan dini wabah atau epidemi adalah inti di balik penanganan ancaman
biologi. NCDC memiliki ambisi untuk membentuk lembaga tingkat nasional
“Integrated Disease Surveillance Project” (IDSP), yang mana secara realtime akan
mendata secara komputerisasi kejadian penyakit menular langsung dari level sub-
pusat ke tingkat atas. Aliran data ini merupakan data realtime dari seluruh
pelosok negara (untuk penyakit apa pun yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat luas) membuat NCDC memiliki keunggulan.
Data pengawasan ini dianalisis untuk mencari tahu kejadian tidak biasa dalam
setiap wilayah di dalam negara. Jika ada suatu kejadian yang tidak wajar maka tim
yang terdiri dari epidemiolog, ahli mikrobiologi, dokter dan ahli entomologi jika
diperlukan akan dikerahkan ke daerah tersebut untuk menyelidiki lebih lanjut
sebelum pecah menjadi wabah. Tim tersebut didukung infrastruktur teknis yang
dengan cepat dapat mengidentifikasi penyebab epidemi dan kemudian akan
memberi tahu institusi kesehatan setempat untuk mengambil tindakan
selanjutnya. Tim ini telah teruji dengan menangani wabah SARS, H1N1, Flu
Burung, dll dalam waktu cepat dan membantu mengendalikan situasi. Lembaga
ini karenanya merupakan agen yang paling tepat dalam tingkat institusi sipil untuk
dinominasikan memegang tanggung jawab dalam mitigasi ancaman biologi di
negara ini, yang kemudian bisa berkonsentrasi pada peran lainnya secara
eksklusif.
Di jajaran Angkatan Bersenjata, pengawasan penyakit menular adalah tanggung
jawab Kantor DGAFMS, yang merupakan markas terpadu medis untuk ketiga
matra. Mereka demikian idealnya ditempatkan untuk mengambil alih tanggung
jawab mitigasi ancaman biologi, sehingga menempatkan Korps Teknik (Zeni)
untuk berperan dalam mitigasi ancaman Kimia dan Nuklir, disamping tugas pokok
mereka sebagai satuan tempur vital tentara. Mereka menjaga hubungan baik
dengan NCDC disamping dengan IDSP. Mereka juga cocok untuk berkolaborasi
dengan para ilmuwan di DRDO untuk penelitian teknis berkelanjutan mengenai
mikroba. DGAFMS idealnya ditempatkan untuk membentuk “Wadah Berpikir”
untuk perencanaan kebijakan dalam mitigasi dan kesiapsiagaan ancaman biologi
yang memiliki spesialis dari berbagai bidang penelitian baik ilmuwan mikrobiologi,
kedokteran, epidemiologi, dan non-medis dari DRDO, selain anggota RVC yang
diadaptasi sebagai penanganan terjadinya zoonosis pada hewan. Peran utama
organisasi ini akan mewadahi kebijakan, perencanaan, pelatihan, pengadaan
peralatan khusus, obat - obatan dan vaksin.
Secara formal, lembaga ini akan menjadi penasihat teknis dalam bidang mitigasi
dan kesiapsiagaan ancaman biologi untuk Kementerian Pertahanan serta
Perencanaan Angkatan Darat dan jajaranya dalam satuan lainnya.
AFMC, Pune adalah tempat lahirnya pengetahuan medis dan penelitian di
Angkatan Bersenjata dan diakui oleh pemerintahan. Perguruan tinggi ini langsung
di bawah kontrol DGAFMS. Dan telah mendapat beragam tenaga teknis khusus
seperti spesialis kesehatan masyarakat, dokter, ahli epidemiologi dan ahli
mikrobiologi dengan peralatan canggih yang diperlukan untuk mengurangi
ancaman biologis. AFMC juga merupakan markas dari AFCESC yang memiliki
kemampuan untuk investigasi epidemi dan unit karantina dan siap digerakkan
kemanapun jika diperlukan. Baru-baru ini telah dilengkapi dengan laboratorium
lapangan State of the Art portabel, yang didanai oleh WHO. Karena semua tenaga
spesialis sudah terbentuk di AFMC, maka AFCESC dapat bergerak dengan cepat
dalam menangani kasus ancaman biologis.
Oleh sebab itu, tim mitigasi ancaman biologis ini harus dapat berdiri sendiri
mandiri, dalam hal mobilitas, logistik, peralatan pelindung, dan dapat mengatur
akomodasi sendiri, terutama saat mencapai daerah yang jauh bahkan saat sedang
terjadi konflik. Komponen paramedis juga harus terlatih. Secara individual,
mereka harus bisa multitask untuk anggota tim lainnya.
WHO merupakan lembaga internasional yang memantau ancaman biologi dan
epidemi penyakit menular. Walaupun WHO ragu-ragu dalam berurusan dengan
institusi militer, hal tersebut tidak menjadi masalah dalam mendukung pelatihan
dan penelitian yang dilakukan di AFMC karena AFMC adalah perguruan tinggi
kedokteran. AFMC berkolaborasi dan menjalin kerjasama dengan WHO di semua
spesialisasi. Jika struktur formal yang terintegrasi ditempatkan di bawah
perlindungan DGAFMS kemudian berkolaborasi dengan tidak hanya WHO tetapi
juga ICMR di bidang kesiapsiagaan ancaman biologi adalah suatu keniscayaan.
Secara bertahap, AFMC bahkan bisa menjadi pusat kolaboratif yang ditunjuk WHO
untuk Asia Tenggara di bidang mitigasi dan kesiapsiagaan ancaman biologi.
Peluang dalam hal peningkatan kemampuan teknis sendiri akan terbuka lebar.
Demikian pula dengan DRDO akan banyak dibutuhkan dorongan di bidang
penelitian. Obat-obatan dan vaksin baru dapat dikembangkan bekerja sama
dengan AFMC sebagai pengalaman dalam bioteknologi dan rekayasa genetika
dapat dikumpulkan. Begitu juga alat deteksi lapangan dan peralatan keselamatan
perorangan dapat dibuat khusus untuk negara India oleh DRDO. Perangkat
pengawasan dan peringatan dini bisa juga dikembangkan dengan kolaborasi
DRDO dan AFMC. NCDC dapat berkolaborasi dengan institut ICMR seperti
National Institute of Virology, Pune untuk pengawasan dan penelitian, dan hal
yang sama juga dapat dilakukan oleh AFMC.
Langkah Kedepan
Jika pertahanan efektif terhadap ancaman biologi harus ditetapkan, maka 'B'
harus dipisahkan dari keluarga CBRN. Ini adalah sebuah bidang yang terpisah,
dengan persyaratan keahlian yang khusus. Penanganan CBRN tidak dapat
disamakan dengan penanganan “B”.
Tujuan dibentuknya organisasi DGAFMS sebagai ujung tombak dari AFMC, RVC
dan DRDO saat ini diharapkan dapat menyelesaikan kebuntuan kebijakan
mengenai sektor ini dalam Pasukan bersenjata. Ini juga akan memberikan
dorongan yang sangat dibutuhkan serta kepemimpinan dalam tingkat sipil serta
memastikan alur komunikasi, koordinasi dan kerja sama pada tingkat yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Berbagi data intelijen akan semakin efektif dengan
adanya aliran informasi dari IDSP, yang merupakan pengembangan sayap dari
NCDC. Dalam pengaturan sipil ada kebutuhan mendesak untuk memberdayakan
gugus tugas nasional dalam biowarfare dan kolaborasi dengan NCDC, yang mana
dapat memiliki perwakilan dari Angkatan Bersenjata sebagai pengarah jalan.

Anda mungkin juga menyukai