Anda di halaman 1dari 7

PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS STEM UNTUK

MATERI PENANGGULANGAN LIMBAH POLIMER

Makalah
Seminar Nasional Peran Penelitian dan Pendidikan Kimia dalam
Penanggulangan Limbah Polimer, Bandung, 4 Agustus 2018

Harry Firman
Departemen Pendidikan Kimia FPMIPA UPI
Jl. Setiabudi No. 229 Bandung (40154), Telp. 022-2000579
Email: harry.firman@hotmail.com & harry_firman@upi.edu

Abstrak
Seiring dengan meningkatnya produksi dan penggunaan polimer sintetik, khususnya plastik, dampak
negatif limbah polimer sintetik yang dibuang ke tanah semakin meluas. Untuk menunjang
penanggulangan limbah polimer di masyarakat pembelajaran kimia topik polimer tidak cukup hanya
memahamkan pengetahuan peserta didik tentang plastik, melainkan harus membangkitkan kesadaran
tentang dapak pengelolaan limbah plastik yang tidak baik, serta kemampuan mereka untuk terlibat
dalam pemecahan masalah limbah plastik. Pembelajaran materi polimer dalam mata pelajaran kimia
di SMA berbasis STEM merupakan model pembelajaran Abad ke-21 yang tepat untuk
mengembangkan kemampuan tersebut, sebab model pembelajaran ini dikreasi untuk mengembangkan
kemampuan mengintegrasikan pemahaman sains, pemikiran saintifik, keterampilan matematika,
kemampuan melakukan proses desain rekayasa (engineering design process) untuk mengkreasi
produk inovatif (desain, sistem, peralatan) yang efektif dalam pemecahan masalah otentik di
lingkungan.
Kata kunci: Pendidikan STEM, pembelajaran kimia, limbah polimer sintetik.

1. Pendahuluan
Kompleksitas kehidupan dan persaingan di Abad ke-21melahirkan tantangan bagi dunia
pendidikan dalam Abad tersebut. Dunia pendidikan global merespon tantangan Abad ke-21 dengan
menjadikan keterampilan Abad ke-21 (21st Century Skills) sebagai tujuan global pendidikan.
Greenstein (2012) menyatakan bahwa keterampilan Abad 21 terdiri atas tiga komponen besar, yakni
Thinking, Acting, dan Living in the World (Greenstein, 2012:19-33). Komponen thinking meliputi
berpikir kritis, memecahkan masalah (problem solving), mengkreasi (mencipta), dan metakognisi.
Komponen acting meliputi komunikasi, kolaborasi, literasi digital, literasi teknologi, fleksibilitas dan
adaptabilitas, inisiatif dan mengarahkan sendiri. Komponen living in the world meliputi
tanggungjawab sosial, pemahaman global, kepemimpinan, dan kesiapan karir. Pembelajaran Abad ke-
21 bercirikan pembelajaran yang berorientasi pada penumbuhan keterampilan-keterampilan berpikir,
bertindak, dan hidup di dunia sebagaimana dinyatakan sebagai keterampilan Abad ke-21.
Berbagai reformasi dan inovasi dilakukan sejumlah negara maju untuk mewujudkan pendidikan
yang berorientasi keterampilan Abad ke-21, antara lain pendidikan STEM (STEM Education). STEM
adalah akronim dari science, technology, engineering, dan mathematics. Kata STEM diluncurkan oleh
National Science Foundation AS pada tahun 1990-an sebagai sebagai tema gerakan reformasi
pendidikan dalam keempat bidang disiplin tersebut untuk menumbuhkan angkatan kerja bidang-
bidang STEM, serta mengembangkan warga negara yang melek STEM, serta meningkatkan daya
saing global AS dalam inovasi iptek (Hanover Research, 2011).

1
2. Pendidikan STEM
Sebagai komponen dari STEM, sains adalah kajian tentang fenomena alam yang melibatkan
observasi dan pengukuran, sebagai wahana untuk menjelaskan secara obyektif alam yang selalu
berubah. Terdapat beberapa domain utama dari sains pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
yakni fisika, biologi, kimia, serta ilmu pengetahuan kebumian dan antariksa. Teknologi adalah tentang
inovasi-inovasi manusia yang digunakan untuk memodifikasi alam agar memenuhi kebutuhan dan
keinginan manusia, sehingga membuat kehidupan lebih baik dan lebih aman. Teknologi-teknologi
membuat manusia dapat melakukan perjalanan secara cepat, berkomunikasi langsung dengan orang di
tempat yang berjauhan, mendapati makanan yang sehat, serta alat-alat keselamatan. Enjiniring
(engineering) adalah pengetahuan dan keterampilan untuk memperoleh dan mengaplikasikan
pengetahuan ilmiah, ekonomi, sosial, serta praktis untuk mendesain dan mengkonstruksi mesin,
peralatan, sistem, material, dan proses yang bermanfaat bagi manusia secara ekonomis dan ramah
lingkungan. Selanjutnya, matematika adalah ilmu tentang pola-pola dan hubungan-hubungan, dan
menyediakan bahasa bagi teknologi, sains, dan enjiniring.
Pendidikan STEM tidak bermakna hanya penguatan praksis pendidikan dalam bidang-bidang
STEM secara terpisah, melainkan mengembangkan pendekatan pendidikan yang mengintegrasikan
sains, teknonogi, enjiniring, dan matematika, dengan memfokuskan proses pendidikan pada
pemecahan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan profesi (National STEM
Education Center, 2014). Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan STEM
bertujuan mengembangkan peserta didik yang melek STEM (Bybee, 2013:5), yang mempunyai:
(1) pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk mengidentifikasi masalah dalam situasi
kehidupannya, menjelaskan fenomena alam, mendesain, serta menarik kesimpulan berdasar bukti
mengenai isu-isu terkait STEM;
(2) memahami karakteristik fitur-fitur disiplin STEM sebagai bentuk-bentuk pengetahuan,
penyelidikan, serta desain yang digagas manusia;
(3) kesadaran bagaimana disiplin-disiplin STEM membentuk lingkungan material, intelektual dan
kultural,
(4) mau terlibat dalam kajian isu-isu terkait STEM (misalnya efisiensi energi, kualitas lingkungan,
keterbatasan sumberdaya alam) sebagai warga negara yang konstruktif, peduli, serta reflektif
dengan menggunakan gagasan-gagasan sains, teknologi, enjiniring dan matematika.
Pendidikan STEM memberikan peluang bagi guru untuk memperlihatkan kepada peserta didik
betapa konsep, prinsip, dan teknik dari sains, teknologi, enjiniring, dan matematika digunakan secara
terintegrasi dalam pengembangan produk, proses, dan sistem yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Oleh karenanya, Reeve (2013) mengadopsi definisi pendidikan STEM sebagai
pendekatan interdisiplin pada pembelajaran, yang di dalamnya peserta didik menggunakan sains,
teknologi, enjiniring, dan matematika dalam konteks nyata yang mengkoneksikan antara sekolah,
dunia kerja, dan dunia global, sehingga mengembangkan literasi STEM yang memampukan peserta
didik bersaing dalam era ekonomi baru yang berbasis pengetahuan.

3. Urgensi dan Kelayakan Pendidikan STEM di Indonesia


Dewasa ini konsep Pendidikan STEM diadopsi oleh banyak negara sebagai cetak-biru inovasi
pendidikan pendidikan, sehingga muncul sebagai gerakan global untuk menjembatani kesenjangan
antara kebutuhan dan ketersediaan keahlian yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di Abad
ke-21. Biro Statistika Tenaga Kerja AS pada tahun 2011 menguraikan bahwa di lingkup global pada
satu dekade mendatang struktur lapangan pekerjaan STEM akan meningkat sebesar 17%, sedangkan
lapangan pekerjaan non-STEM hanya meningkat 10% (Kompas 12 Juli 2015).
Dalam menghadapi era persaingan global, Indonesia pun perlu menyiapkan sumberdaya
manusia yang handal dalam disiplin-disiplin STEM secara kualitas dan mencukupi secara kuantitas.
Sebagaimana dirilis dalam Surat Kabar Kompas (Juli 2015) Indonesia mengalami kendala
kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan SDM. Merujuk data Badan Pusat Statistik 2010,
sumber daya manusia Indonesia masih didominasi tenaga kera kurang terampil (sebanyak 88 juta),

2
dan diprediksi 2020 akan ada 50% kekurangan tenaga kerja untuk mengisi lowongan jabatan di
struktur lapangan kerja. Namun, jalan untuk mengatasi persoalan ini bukanlah perkara mudah, sebab
tanpa upaya mengembangkan kemampuan dasar, soft skills (kolaborasi, komunikasi, kreativitas,
pemecahan masalah), dan nilai-nilai prasyarat memasuki profesi STEM pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah, sukar untuk mengharapkan generasi muda yang bermotivasi dan siap menekuni
bidang-bidang STEM.
Kurikulum 2013 yang baru saja diluncurkan tidak akan dapat mengatasi permasalahan kualitas
dan kuantitas sumberdaya manusia Indonesia yang berdaya siang global, jika tidak secara sistematik
menyiapkan mereka mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dipersyaratkan
dunia kerja Abad ke-21, sebagaimana diwujudkan dalam Pendidikan STEM. Untuk mengatasi hal
tersebut Pendidikan dengan pendekatan STEM bisa menjadi kunci bagi menciptakan generasi penerus
bangsa yang mampu bersaing di kancah global. Oleh sebab itu, Pendidikan STEM perlu menjadi
kerangka-rujukan bagi proses pendidikan di Indonesia ke depan.
Sebagaimana dinyatakan dalam Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 Jenjang Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (Kemdikbud, 2013), bahwa kurikulum 2013 bertujuan
untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga
negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Dinyatakan pula dalam
dokumen tersebut bahwa salah satu pola pikir baru yang digunakan sebagai dasar pengembangan
Kurikulum 2013 adalah pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi
pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidiscipline). Rumusan tujuan dan pola pikir dalam
pengembangan Kurikulum 2013 yang dikemukakan tersebut mengisyaratkan bahwa Kurikulum 2013
memberikan ruang bagi pengembangan dan implementasi pendidikan STEM dalam konteks
implementasi Kurikulum 2013, yang mengutamakan integrasi S, T, E dan M secara multi- dan trans-
disiplin serta pengembangan pemikiran kritis, kreativitas, inovasi, dan kemampuan memecahkan
masalah.

4. Fitur Pembelajaran Kimia Berbasis Pendidikan STEM


Salah satu karakteristik Pendidikan STEM adalah mengintegrasikan sains (termasuk kimia),
teknonogi, enjiniring, dan matematika dalam memecahkan masalah nyata. Namun demikian, terdapat
beragam cara digunakan dalam praktik untuk mengintegrasikan disiplin-disiplin STEM, dan pola dan
derajad keterpaduannya bergantung pada banyak faktor (Roberts, 2012). Jika mata pelajaran sains,
teknologi, enjiniring, dan matematika diajarkan sebagai mata-mata pelajaran yang terpisah satu sama
lain dan tidak terintegrasi (disebut sebagai “silo”), keadaan ini lebih tepat digambarkan sebagai S-T-
E-M daripada STEM (Dugger, n.d). Cara kedua adalah mengajarkan masing-masing disiplin STEM
dengan lebih berfokus pada satu atau dua dari disiplin-disiplin STEM. Cara ketiga adalah
mengintegrasikan satu ke dalam tiga disiplin STEM, misalnya konten enjiniring diintegrasikan ke
dalam mata pelajaran kimia, teknologi, dan matematika. Cara yang lebih komprehensif adalah
melebur keempat-empat disiplin STEM dan mengajarkannya sebagai mata pelajaran terintegrasi,
misalnya konten teknologi, enjiniring dan matematika dalam sains, sehingga guru sains
mengintegrasikan T, E, dan M ke dalam S.
Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah umum di banyak negara, termasuk Indonesia,
hanya mata-mata pelajaran sains dan matematika yang menjadi bagian dari kurikulum konvensional,
sementara mata pelajaran teknologi dan enjiniring hanya bagian minor atau bahkan tidak ada dalam
kurikulum. Oleh sebab itu Pendidikan STEM lebih terpumpu pada sains dan matematika. Dalam
kaitan ini Bybee (2013) mengkonseptualisasi suatu kontinum keterpaduan STEM yang terdiri atas
sembilan pola keterpaduan, mulai dari disiplin S-T-E-M sebagai “silo” (mata pelajaran berdiri sendiri)
hingga STEM sebagai mata pelajaran transdisiplin.
Pengintegrasian yang lebih mendalam ke dalam bentuk mata pelajaran transdisiplin
memerlukan restrukturisasi kurikulum secara menyeluruh, sehingga relatif sukar dilaksanakan dalam
konteks struktur kurikulum konvensional di Indonesia. Salah satu pola intergasi yang mungkin
dilaksanakan tanpa merestrukturisasi kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia adalah
menginkorporasi konten enjiniring, teknologi, dan matematika dalam pembelajaran sains (termasuk
kimia) berbasis pendidikan STEM, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 1.

3
KIMIA

T E M

Gambar 1. Pendidikan Kimia Berbasis STEM

Pola integrasi secara penuh relatif lebih mudah dilakukan pada jenjang sekolah dasar, ketika
peserta didik diajar oleh seorang guru kelas. Sementara itu, bentuk “embedded STEM” lebih tepat
dilakukan pada jenjang sekolah menengah. Pendidikan STEM terwujud dalam situasi tertentu ketika
pembelajaran sains (termasuk kimia) atau matematika melibatkan akitivitas pemecahan masalah
otentik dalam konteks sosial, kultural, dan fungsional (Roberts, 2012). Sains (termasuk kimia) dan
matematika dipandang tepat untuk menjadi kendaraan untuk membawa Pendidikan STEM, sebab
kedua mata pelajaran ini merupakan mata pelajaran pokok dalam pendidikan dasar dan menengah,
dan menjadi landasan bagi peserta didik untuk memasuki karir dalam disiplin-disiplin STEM, yang
dipandang fundamental bagi inovasi teknologi dan produktivitas ekonomi bangsa.
Dalam kaitan dengan implementasi pendidikan STEM, Bybee (2013) menyatakan bahwa dalam
pembelajaran STEM, peserta didik pada jenjang pendidikan menengah perlu ditantang untuk
melakukan tugas-tugas rekayasa otentik, sebagai komplemen dari pembelajaran sains melalui
kegiatan-kegiatan proyek yang mengintegrasikan sains (termasuk kimia), enjiniring, teknologi, dan
matematika. Pendidikan kimia berbasis STEM menuntut pergeseran moda proses pembelajaran dari
moda konvensional yang berpusat pada guru (teacher centered) yang mengandalkan transfer
pengetahuan ke arah moda pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centered) yang
mengandalkan keaktifan, hands-on, dan kolaborasi peserta didik.
Pembelajaran kimia berbasis STEM perlu dilaksanakan dalam unit-unit pembelajaran berbasis
proyek (project-based learning) atau pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), yang
di dalamnya peserta didik ditantang secara kritis, kreatif, dan inovatif untuk memecahkan masalah
nyata, yang melibatkan kegiatan kelompok (tim) secara kolaboratif. Pembelajaran kimia berbasis
STEM dalam kelas didesain untuk memberi peluang bagi peserta didik untuk mengaplikasikan
pengetahuan akademik dalam dunia nyata. Pembelajaran kimia berbasis STEM teleah dikembangkan
untuk topik-topik membersihkan uang logam, mengkonstruksi sel volta dari buah lemon, dan daur
ulang batere bekas (Firman, 2017).
Pengalaman belajar kimia berbasis STEM diharapkan sekaligus dapat mengembangkan
pemahaman peserta didik terhadap konten kimia dan aplikasinya, kemampuan merekayasa untuk
inovasi dan pemecahan masalah, serta soft skills (antara lain kreativitas, komunikasi, kerjasama,
kepemimpinan). Dampak lebih lanjut dari pembelajaran kimia berbais STEM adalah meningkatnya
minat dan motivasi peserta didik untuk melanjutkan studi dan berkarir dalam bidang profesi sains dan
teknologi, sebagaimana dibutuhkan negara saat ini dan di masa datang.

5. Materi Polimer dalam Kurikulum Mata Pelajaran Kimia SMA


Telah lama materi polimer menjadi bagian dari kurikulum sekolah menengah atas di Indonesia.
Dalam kurikulum mata pelajaran kimia tahun 1994 materi polimer diajarkan di kelas 3 SMA semester
genap, mencakup arti polimer, contoh polimer alam dan polimer sintetik, reaksi-reaksi polimerisasi
(polimerisasi adisi dan polimer kondensasi), bahan baku polimer, penggolongan polimer bedasarkan
monomer pembentuknya (homopolimer dan kopolimer), strukturnya (polimer lurus, bercabang,
jaringan), sifatnya (termoplastik dan termoset), penggunaannya (plastik, serat dan elestomer),
khususnya pengenalan terhadap sejumlah polimer yang aplikasinya luas di masyarakat, antara lain
polietilena (PE), polivinil klorida (PVC), polistirena (PS), polipropilena (PP), dan polietilena tereftalat

4
(PET). Dalam kurikulum 2013, materi polimer tetap diajarkan di kelas 3 SMA (kelas 12) semester
genap dengan lingkup dan kedalaman materi yang sama.
Lingkup dan kedalaman bahasan kimia polimer sebagaimana dikemukakan di atas memang
merupakan standar bagi kajian polimer di level sekolah menengah atas masa lalu, ketika masyarakat
mulai mulai menikmati manfaat serta sintetik dan plastik khususnya dalam berbagai aspek lingkungan
fisiknya. Namun dalam lebih dari satu dekade terakhir ini berbagai ancaman limbah polimer sintetik
mulai dirasakan masyarakat di berbagai negara, yang bersumber pada sifatnya yang non-
bioderadable. Sejak itu isu dan permasalahan penanggulangan limbah polimer sintetik masuk dalam
kurikulum sekolah menengah di banyak negara. Tujuannya adalah mengembangkan wawasan
pengetahuan dan kesadaran generasi muda tentang permasalahan limbah tersebut, dan berbagai jalan
penanggulangannya melalui pengurangan sumber (reduce), daur ulang (recycle), penggunaan ulang
(reuse), dan insinerasi (incineration), baik sisi keunggulan dan kelemahannya (Lister & Renshaw,
2009). Di sisi lain, ada buku-buku pelajaran tingkat sekolah menengah atas di negara maju yang
mengintegrasikan dimensi teknologi dalam bahasan polimer, antara lain Gallager & Ingram (2000)
yang memasukkan unsur pencetakan (moulding) termoplastik untuk memproduksi barang-barang jadi
plastik.
Oleh sebab posisinya dalam Kurikulum SMA di semester akhir, semester yang lebih banyak
dikorbankan untuk penyiapan peserta didik menghadapi ujian nasional atau ujian akhir sekolah
berstandar nasional, maka dalam prakteknya pembelajaran materi polimer tereduksi, kurang intensif,
bahkan dilewat, dengan alasan dapat dipelajari sendiri oleh peserta didik. Terbengkalainya
pembelajaran materi polimer dapat menyebabkan rendahnya literasi generasi muda ihwal polimer
sintetik, termasuk penanggulangan limbahnya, padahal materi tersebut sangat kontekstual, sebab
polimer sintetik terkait erat dengan kehadiran produk teknologi yang memodernisasi kehidupan
sehari-hari serta gaya hidup mereka (Stanitski, Eubanks, Middlecamp, Pienta, 2003).

6. Pembelajaran STEM untuk Materi Penanggulangan Limbah Polimer


a) Basis Masalah Otentik
Terdapat berbagai cara penanggulangan limbah polimer (pastik) melalui upaya pengurangan sumber
limbah plastik, penggunaan ulang botol-botol plastik, daur ulang limbah plastik, serta pembakaran
sampah plastik. Namun cara-cara penanggulangan yang dilakukan masih kurang efektif, sebab
berhadapan dengan beragam masalah yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, ekonomi, dan
teknologi. Masalah ini menantang kita, termasuk peserta didik untuk dapat meningkatkan nilai
manfaat dari sistem yang ada seraya mereduksi dampak negatif yang ditimbulkannya. Tantangan ini
dapat menjadi titik awal dari implementasi pembelajaran berbasis STEM untuk materi
penanggulangan limbah plastik. Memang dengan pengetahuan yang dimiliki dan fasilitas yang
tersedia tidak dapat diharapkan peserta didik sampai pada produk yang dapat dioperasikan, namun
paling sedikit pembelajaran berbasis STEM memberikan peluang bagi peserta didik untuk melakukan
proses rekayasa untuk memperoleh desain sistem dan instalasi yang mengoptimasi penanggulangan
limbah plastik (masalah nyata di masarakat) dengan mengaplikasikan pengetahuan kimia dan
matematika yang dimilikinya.
Solusi-solusi praktis atas masalah limbah polimer yang layak digagas peserta didik melalui
aktivitas pembelajaran kimia SMA dengan materi penanggulangan limbah polimer antara lain:
1. Bagaimana sistem pengelolaan limbah plastik sekolah untuk menunjang penanggulangan limbah
plastik secara lebih luas?
2. Bagaimana meningkatkan efektivitas upaya pengurangan sumber (reduce) limbah plastik daripada
yang dilakukan sekarang?
3. Bagaimana memperluas guna-ulang (reuse) dan daur-ulang (recycle) limbah plastik yang yang
lebih bernilai ekonomi?
4. Bagaimana model instalasi sederhana insinerasi limbah plastik yang aman dan efektif
mengkonversi limbah plastik menjadi energi?

b) Tujuan Pembelajaran:

5
Peserta didik mampu mengkreasi desain, metode, dan prototip instalasi pengolahan sampah plastik
untuk menanggulangi dampak negatif limbah plastik terhadap lingkungan sekitar dengan metode
reduksi (reduce), guna-ulang (reuse), daur-ulang (recycle), dan insinerasi (inceneration)

c) Pengetahuan Prasayarat:
Struktur, sifat, klasifikasi dan penggunaan plastik

d) Langkah Pembelajaran:
Oleh karena pembelajaran kimia berbasis STEM mengintegrasikan enjiniring ke dalam pembelajaran
kimia, maka langkah-langkah pembelajaran disarankan adalah mengikuti pola siklus belajar yang
secara meluas diadopsi dalam pembelajaran sains berbasis inkuiri, yakni siklus belajar (learning
cycle) the 5E (Engagement, exploration, explanation, elaborate, evaluation) (Bybee, Powell,
Trowbridge, 2014), inkuiri; dan enjiniring dimasukkan sebagai satu langkah kegiatan selepas
elaborasi, sehingga liklus belajar hasil integrasi ini dapat dinamnakan 5E+Enjiniring.

Engagement:
Pemantapaan pengetahuan prasyarat, produksi dan pengunaan plastik yang bertambah dari tahun ke
tahun, serta dampak-dampak negatif limbah plastik, khususnya pembuangn secara penimbunan
(landfill) yang diakibatkannya. Diskusi pada langkah ini menginspirasi peserta didik untuk mencari
penanggulangan limbah plastik tersebut.

Explorasi:
Dalam kelompok secara kolaboratif mengeksplor melalui www konsep-konsep baru terkait berbagai
macam cara pengelolaan limbah plastik, the 4R (rethink, reduce, reuse, recycle) serta insinerasi

Eksplanasi:
Guru membantu peserta didik untuk mensintesis pengetahuan yang dipelajari pada fase eksplorasi.

Elaborasi:
Memberi ruang bagi kelompok peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuannya, dengan
meminta kelompok secara kolaboratif memikirkan masalah limbah plastik mana yang akan
dipecahkan dan metode pemecahan masalah yang akan digunakan

Enjinir (rekayasa):
Terdapat empat tahap dalam langkah rekayasa, yang disebut Al-Atabi (2014) sebagai CDIO, yakni
conceive (mengonseptualisasi masalah dan output pemecahan masalah yang dikehendaki), design
(merancang sistem dan peralatan yang akan dikembangkan), implement (mewujudkan design menjadi
prototip sesuai desain), serta operate (menjalankan sistem dan peralatan yang dirancang).
Keterampilan praktis matematika dan teknologi diperlukan dalam perancangan dan implementasi.
Langkah ini diikuti presentasi produk kelompok dalam diskusi kelas, serta asesmen keberhasilan dan
kekurangan sistem dan peralatan yang dibuat ketika dioperasikan, untuk selanjutnya dilakukan
perbaikan-perbaikan.

Evaluasi:
Langkah evaluasi dalam siklus pembelajaran 5E tidak dilaksanakan sebagai bagian akhir dari proses
pembelajaran, melainkan terintegrasi pada setiap langkah. Jadi lebih berfungsi formatif (asesment for
learning) yang menekankan umpan balik (feedback). Asesmen formatif diwujudkan dalam bentuk
penilaian kinerja, baik aspek proses (bagaimana peserta didik bekerja dalam kelompok) maupun aspek
produk (sistem dan peralatan/prototipe yang dihasilkan).

7. Penutup

6
Pendidikan STEM merupakan gerakan global dalam praksis pendidikan yang mengembangkan
kualitas SDM yang sesuai dengan tututan keterampilan Abad ke-21. Pembelajaran kimia berbasis
pendidikan STEM kompatibel dengan sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia masa kini.
Pembelajaran kimia berbasis STEM adalah pembelajaran materi pokok kimia yang di dalamnya
terintegrasi perancangan desain-desain sistem dan penggunaan teknologi untuk pemecahan masalah
nyata, termasuk pemecahan masalah limbah polimer plastik yang semakin mengekskalasi sekarang
ini.
Penerapan pembelajaran berbasis STEM untuk materi penanggulangan limbah plastik diharapkan
dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan pentingnya penanggulangan limbah plastik, serta
mengembangkan kemampuan siswa mengolah limbah plastik melalui 4R (Rethink, Reduce, Reuse,
dan Recycle), yang selain dapat mengurangi dampak negatif limbah plastik juga dapat mendesain dan
menghasilkan produk-produk yang bernilai ekonomis.

Daftar Rujukan
Al-Atabi, M. (2014). Think like an engineer: Use systematics thinking to solve everyday challenges & unlock
the inherent values in them. Selangor: The Author.
Bybee, R. W. (2013). The case for STEM education: Challenges and opportunity. Arlington, VI: National
Science Teachers Association (NSTA) Press.
Bybee, R. W., Powell, J. C., & Trowbridge, L. W. (2014). Teaching secondary school science strategies for
developing scientific literacy. Harlow, UK: Pearson.
Dugger, Jr., W. E. (n.d.). Evolution of STEM in the United States. Retrieved July 20, 2015, from
http://www.iteea.org/Resources/PressRoom/AustraliaPaper.pdf.
Firman, H. (2017). STEM untuk pembelajaran kimia Abad ke-21. Makalah Kuliah Umum di Prodi Pendidikan
Kimia FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang, 23 September 2017.
Gallagher, R. M., & Ingram, P. (2000). Complete chemistry. Oxford, UK: Oxford University Press.
Greenstein, L. (2012). Asessing 21st Century skills: A guide to evaluating mastery and authentic learning.
Thousand Oaks, CA: Corwin.
Hanover Research (2011). K-12 STEM education overview. Diunduh dari https://www.yumpu.com/en/ [8
Oktober 2017]
Inovasi pendidikan tingkatkan daya saing (2015, Juli 15). Kompas, p.12.
Kemdikbud (2013). Lampiran Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang
Kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Jakarta:
Kemendikbud.
Lister, T., & Renshaw, J. (2009). AQA chemistry. Cheltenham, UK: Nelson Thornes.
National STEM Education Center (2014). STEM education network manual. Bangkok: The Institute for the
Promotion of Teaching Science and Technology (IPST).
Reeve, E. M. (2013) Implementing science, technology, mathematics and engineering (STEM) education in
Thailand and in ASEAN. Bangkok: Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology
(IPST).
Roberts, A. (2012). A justification for STEM education. Technology and Engineering Teacher, 74(8), 1-5.
Stanistki, C. L., Eubanks, L. P., Middlecamp, C. H., & Pienta, N. J. (2003). Chemistry in context: Applying
chemistry to society, a project of the American Chemical Society. New York, NY: McGraw Hill.

Anda mungkin juga menyukai