Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sekitar delapan juta perempuan pertahun mengalami komplikasi kehamilan
dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di
Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan
di Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan.

Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan di


Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama kehamilan
dan nifas. AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara
Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Tren AKI
di Indonesia menurun sejak tahun 1991 hingga 2007, yaitu dari 390 menjadi 228
per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan kawasan ASEAN, AKI pada tahun
2007 masih cukup tinggi, AKI di Singapura hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup,
Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000 kelahiran hidup,
serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per 100.000 kelahiran
hidup. Meskipun, Millenium development goal (MDG) menargetkan penurunan
AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, namun pada tahun
2012 SDKI mencatat kenaikan AKI yang signifikan yaitu dari 228 menjadi 359
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Peningkatan jumlah penduduk dan
jumlah kehamilan berisiko turut mempengaruhi sulitnya pencapaian target ini.
Berdasarkan prediksi Biro Sensus Kependudukan Amerika, penduduk Indonesia
akan mencapai 255 juta pada tahun 2015 dengan jumlah kehamilan berisiko
sebesar 15 -20 % dari seluruh kehamilan.

1
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam
kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus preeklampsia
tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi
preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang
adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273
pertahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir
ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia,
berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun sesuai dengan
perkembangan temuan antibiotik.

Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat


kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia
berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan
masalah pasca persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko
penyakit kardiometabolik dan komplikasi lainnya. Hasil metaanalisis
menunjukkan peningkatan bermakna risiko hipertensi, penyakit jantung iskemik,
stroke dan tromboemboli vena pada ibu dengan riwayat preeklampsia dengan
risiko relatif. Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah akibat persalinan
prematur atau mengalami pertumbuhan janin terhambat, serta turut
menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal. Penyakit
hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering kedua morbiditas dan
mortalitas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah atau mengalami
pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit metabolik pada saat
dewasa.

Penanganan preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia masih beragam di


antara praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan hanya karena belum ada
teori yang mampu menjelaskan patogenesis penyakit ini secara jelas, namun juga
akibat kurangnya kesiapan sarana dan prasarana di daerah.

2
Selain masalah kedokteran, preeklampsia juga menimbulkan masalah
ekonomi, karena biaya yang dikeluarkan untuk kasus ini cukup tinggi. Dari analisis
yang dilakukan di Amerika memperkirakan biaya yang dikeluarkan mencapai 3
milyar dollar Amerika pertahun untuk morbiditas maternal, sedangkan untuk
morbiditas neonatal mencapai 4 milyar dollar Amerika per tahun. Biaya ini akan
bertambah apabila turut menghitung beban akibat dampak jangka panjang
preeklampsia.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. L
Umur : 25 Tahun
Status Pernikahan : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Gegutu Dayan Aik Kekeri Gunungsari
Nama Suami : Tn. M
Tanggal Mrs : 12 Maret 2020 (13.30 wita)
Tanggal Periksa : 13 Maret 2020

2.2 ANAMNESA
Keluhan Utama
Nyeri kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang melalui IGD RSI Mataram, rujukan dari dokter spesialis kandungan
agar melakukan persalinan di Rumah Sakit pada tanggal 13 Maret 2020, keluhan
sekarang kepala terasa sakit. Blood slime: (-), cairan putih jernih: (-), nyeri perut:
(+) jarang, gerakan janin: (+), trauma: (-), demam: (-), keputihan: (+) normal.
Riwayat Menstruasi
Pasien mengalami menstruasi pertama kali pada usia 14 tahun, pasien mengatakan
siklus menstruasi tidak teratur. Lamanya menstruasi 6-7 hari dengan volume ±
50cc. keluhan pada saat menstruasi yaitu nyeri perut dan pinggang.
Hari pertama haid terakhir pada tanggal 16 Juni 2019 dengan taksiran persalinan
tanggal 23 Maret 2020.

4
Riwayat Perkawinan
Pasien menikah 1 kali dengan suami sekarang, lama menikah 2 tahun, usia saat
menikah 23 tahun.
Riwayat Obstetri
1. Hamil saat ini
Riwayat Antenatal Care (ANC)
Pasien melakukan antenatal care sebanyak lebih dari 10 kali di bidan, dan
melakukan pemeriksaan kandungan dengan USG di dokter spesialis kandungan
sebanyak 5 kali.
Riwayat Kontrasepsi
Pasien mengatakan tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi sebelumnya.
Riwayah Penyakit Terdahulu
Riwayat asma, tekanan darah tinggi, dan kencing manis di sangkal oleh pasien,
pasien juga tidak memiliki alergi makanan ataupun obat-obatan.
Riwayat Sosial
Riwayat asma, tekanan darah tinggi, dan kencing manis dalam keluarga di sangkal,
pasien bukan perokok dan peminum alkohol, suami pasien perokok.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


KEADAAN UMUM : Baik
KESADARAN : Compos Mentis
TANDA VITAL
TEKANAN DARAH : 160/100 mmHg
NADI : 90x/menit
RR : 20x/menit
SUHU : 36 ֯C
BERAT BADAN : 78,2 kg
TINGGI BADAN : - cm

5
STATUS GENERAL
MATA : anemis -/-, icterus -/-
THT : T1/T1
THORAX COR : S1 S2 tunggal reguler, murmur –
PULMU : Vaskular +/+, ronchi -/-
MAMAE : Dalam batas normal
ABDOMEN : Sesuai status obstetri
EKSTREMITAS : Hangat +/+, Edema -/-

STATUS OBSTETRI
ABDOMEN
INSPEKSI : Perut tampak membesar, strae gravi (+)
PALPASI
TFU : Tinggi fundus 34 cm
LEOPOLD : 1: kesan bokong
2: punggung (kanan), ekstremitas (kiri)
3: kesan kepala
4: masuk PAP
HIS : (+) Jarang
AUSKULTASI : DJJ (+) 144x/menit
VAGINA : Pendarahan aktif (-), blood slime (-),
INSPEKSI air (-)

INSPEKULUM : Tidak dilakukan


VAGINAL TOUCHER : Pembukaan 1cm, porsio lunak, eff
25%, air ketuban (+)

6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Hasil Darah Lengkap (12 Maret 2020)
WBC : 8.48 103/ 𝜇𝐿
RBC : 4,85 106/𝜇𝐿
HGB : 11.8 g/dL
HCT : 35.5 %
PLT : 237 103/ 𝜇𝐿

 Urin Lengkap (12 Maret 2010)


pH : 6,5
Berat Jenis : 1.020
Protein : +/-
Glukosa : Negatif
Keton : +2
Leukosit : Negatif
Darah : Negatif

 Faal Hemostasis (12 Maret 2020)


BT : 2’00” (1-4 menit)
CT : 9’00” (3-15 menit)

2.5 DIAGNOSIS
G1P0A0H0 umur kehamilan 37-38 minggu T/H + PEB

2.6 PENATALAKSANAAN
Pax : MRS, Rencana persalinan pervaginam
Tx : Konsul dr Spesialis Obgyn
- IVFD Rl 20 tpm

7
- Terapi sesuai PEB (Loading Dose: 4gr MgSO4 40%
dilarutkan dalam normal saline I.V/10-15 menit.
Maintenance dose: 6gr MgSO4 40% dilarutkan dalam
normal saline diberikan perinfuse dengan tetesan 28 tpm
dalam 6 jam)

Mx : Observasi keluhan, Tanda Vital, Pengeluaran pervaginam

2.7 FOLLOW UP

12 Maret 2020, pukul 14.30 WITA


S : Nyeri kepala (+), Nyeri perut (+) jarang.
O : Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis
TD : 156/100 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,°C
Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Jantung : S1S2 Tunggal Regular, gallop (-), murmur (-)
Pul : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Sesuai kehamilan
St. Obs. : His (+) jarang, DJJ (+) 140x/ menit
VT : Cairan (-), Darah (-), Pembukaan 1 cm, Pres. Kepala
A : G1P0A0H0 uk 37-38 minggu + PEB
P : Konsul dr. Spesialis Obgyn → Rencana pervaginam dengan induksi
Terapi lanjut

8
12 Maret 2020, pukul 17.30 WITA
S : Nyeri kepala (-), Nyeri perut (+) jarang.
O : Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis
TD : 150/90 mmHg
Nadi : 93 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,°C
Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Jantung : S1S2 Tunggal Regular, gallop (-), murmur (-)
Pul : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Sesuai kehamilan
St. Obs. : His (+) jarang, DJJ (+) 140x/ menit
VT : Cairan (-), Darah (-), Pembukaan 1 cm, Pres. Kepala
A : G1P0A0H0 uk 37-38 minggu + PEB
P : IVFD RL + drip oxytocin 5 IU

13 Maret 2020, pukul 14.30 WITA


S : Nyeri kepala (-), Nyeri perut (+) jarang.
O : Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis
TD : 142/78 mmHg
Nadi : 89 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,°C
Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Jantung : S1S2 Tunggal Regular, gallop (-), murmur (-)
Pul : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

9
Abdomen : Sesuai kehamilan
St. Obs. : His (+) jarang, DJJ (+) 140x/ menit
VT : Cairan (-), Darah (-), Pembukaan 1 cm, Pres. Kepala
A : G1P0A0H0 uk 37-38 minggu + PEB + Gagal Drip
P : Konsul dr Spesialis Obgyn
IVFD RL 20 tpm + drip oxy → stop
Drip MgSo4 40% → stop
Rencana SC
Pre OP inj. Claneksi 2 gr

13 Maret 2020, pukul 18.00 WITA


S : Nyeri post sc
O : Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis
TD : 141/87 mmHg
Nadi : 67 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,°C
Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Jantung : S1S2 Tunggal Regular, gallop (-), murmur (-)
Pul : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : nyeri tekan (+), bekas operasi (+) tertutup perban, BU (+) N
St. Obs. : TFU 3 Jari diatas simpisis
A : P1A0H1 + Post SC hr 1
P : IVFD RL
Jika MAP ≥ 130 mmHg → Nipedipin 3 x 10 mg
Jika MAP ≥ 160 mmHg → MgS04

10
Drip Fentanyl 100 mg + oxy 10 IU
Injeksi Parasetamol 1gr/8jam
Cefadroxil Tab 500mg/12 jam
KIE: Pasien terlentang hingga 9 jam post op
Bila kaki sudah bisa digerakkan, boleh miring kanan atau kiri
Setelah 1 hari post op belajar duduk dan berjalan bertahap
Awasi ketat tekanan darah, nadi, respirasi dan kontraksi uterus

14 Maret 2020, pukul 09.00 WIB


S : Nyeri post sc
O : Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,°C
Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Jantung : S1S2 Tunggal Regular, gallop (-), murmur (-)
Pul : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Mamae : pengeluaran ASI +/+, Colostrum +/+
Abdomen : nyeri tekan (+), bekas operasi (+) tertutup perban, BU (+) N
St. Obs. : TFU 3 Jari diatas simpisis
Genitalia : Perdarahan (+) sedikit, lochea rubra
A : P1001 + Post SC hr 2
P : IVFD RL 20 tpm
Cefadroxil Tab 500mg/12 jam
Parasetamol Tab 500 mg/ 8 jam

11
KIE: Awasi ketat tekanan darah, nadi, respirasi dan kontraksi uterus
15 Maret 2020, pukul 09.00 WIB
S : Nyeri post sc berkurang
O : Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,°C
Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Jantung : S1S2 Tunggal Regular, gallop (-), murmur (-)
Pul : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Mamae : pengeluaran ASI +/+, Colostrum +/+
Abdomen : nyeri tekan (+), bekas operasi (+) tertutup perban, BU (+) N
St. Obs. : TFU 3 Jari diatas simpisis
Genitalia : Perdarahan (+) sedikit, lochea rubra
A : P1001 + Post SC hr 3
P : Cefadroxil Tab 500mg/12 jam
Parasetamol Tab 500 mg/ 8 jam
Boleh Pulang

12
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 PREEKLAMSIA
Preeklampsia didefinisikan dengan adanya hipertensi dimana tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang diukur dua kali
dengan selang waktu 4-6 jam, menetap sekurang-kurangnya selama 7 hari, disertai
proteinuria (≥ 30 mg/liter urin atau ≥ 300 mg/24 jam) yang didapatkan setelah
umur kehamilan 20 minggu, dan semua kelainan ini akan menghilang sebelum 6
minggu post partum.
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia
ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan
disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20
minggu.
Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan
proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with
proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai
gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan,
untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.
Penyebab preeklampsia berat belum sepenuhnya diketahui, berbagai
komplikasi preeklampsia terhadap ibu dapat berupa gagal ginjal akut, eklampsia,
edema paru, penyakit hepar akut, hemolisis dan trombositopenia. Tiga tanda yang
terakhir disebutkan muncul bersama-sama sebagai bagian dari sindroma HELLP

13
(haemolysis, elevated liver enzymes and low platelets). Komplikasi terhadap janin
meliputi prematuritas, gangguan perkembangan janin, oligohidramnion, dan
solusio plasenta.

3.2 PREVALENSI
WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara
berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju
adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden
preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273 pertahun atau sekitar 5,3%.

Kejadiaan preeklampsia sebesar 4,4-17,5% dari ibu hamil. Pada primipara


3-7 % dan multipara 1-3 % di negara berkembang 16 % dari kematian maternal
disebabkan preeklampsia, kematian maternal lain disebabkan perdarahan 13 %,
abortus 8 %, dan sepsis 2 %.

Di Indonesia angka kejadian preeklampsia 3-10% dan memberikan


kontribusi sebesar 39,5% pada angka kematian ibu pada tahun 2001 dan meningkat
tajam menjadi 55,56% pada tahun 2002.

3.3 KLASIFIKASI
Hipertensi dalam kehamiln terdiri atas:

1. Gestasional hipertensi:
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kalinya pada
kehamilan > 20 minggu tanpa disertai dengan proteinuria dan tekanan darah
kembali normal < 12 minggu post partum.
2. Hipertensi kronis:
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20
minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu post partum.

14
3. Preeklampsia:
a. Preeklampsia ringan
Tekanan darah sistol ≥140 sampai < 160 mmHg, tekanan diastolik ≥ 90
sampai < 110 mmHg dan proteinuria > 0,3 g/L atau kwalitatif +2
b. Preeklampsia berat
Tekanan darah sistol ≥160 mmHg, tekanan diastolik ≥ 110 mmHg dan
proteinuria > 5 gr/24 jam atau kwalitatif +4, oligouria, edema paru atau
sianosis, sindroma HELLP, dan tanda-tanda impending eklampsia.
4. Superimposed preeklampsia: preeklampsia pada pasien hipertensi kronis
5. Eklampsia: Preeklampsia disertai oleh kejang-kejang dan atau koma.

3.4 ETIOLOGI
Penyebab hipertensi kehamilan hingga saat ini belum di ketahui dengan
jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar.
Teori-teori yang sekarang dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi
trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arterialis. Invasi
trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan
matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami
distensi dan dilatasi. Hal ini memberi dampak penururnan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah
uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.
Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen

15
arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi, sehingga aliran
darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan (radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta
iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap
membran sel endotel pembuluh darah. Radikal ini akan merusak membran
sel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida
lemak. Peroksida lemak selain dapat merusak membran sel, juga akan
merusak nukleus dan protein sel endotel. Jika sel endotel terpapar terhadap
peroksida lemak maka akan terjadi disfungsi endotel, yang akan berakibat:
 Gangguan metabolisme prostaglandin
 Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan suatu
vasokonstriktor kuat. Pada hipertensi kehamilan kadar tromboksan
lebih tinggi sehingga terjadi vasokontriksi, dan terjadi kenaikan tekanan
darah
 Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus
 Peningkatan permeabilitas kapilar
 Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin
 Peningkatan faktor koagulasi
3. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, terdapat Human Leucocyte Antigen
Protein G (HLA-G) yang berfungsi melindungi trofoblas janin dari lisis oleh
sel Natural Killer (NK) ibu.Namun, pada plasenta hipertensi dalam
kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Penurunan HLA-G akan
menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Padahal Invasi trofoblas

16
penting agar jaringan desidua lunak dan gembur sehingga memudahkan
dilatasi arteri spiralis.
4. Teori Adaptasi Kardiovaskuler
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopressor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih
tinggi untuk menimbulkan respon vasokontriksi. Terjadinya refrakter
pembuluh darah karena adanya sintesis PG pada sel endotel pembuluh darah.
Akan tetapi, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan daya
refrakter terhadap bahan vasokonstriktor dan terjadi peningkatan kepekaan
terhadap bahan vasopresor.
5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal. Telah
terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak
perempuan akan mengalami preeklampsia pula dan 8% anak menantu
mengalami preeklampsia.
6. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa hasil penetilian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi
gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan, seperti defisiensi
kalsium pada wanita hamil dapat mengakibatkan risiko terjadinya
preeklampsia/eklampsia.
7. Teori Stimulus Inflamasi
Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas,
sebagai sisa proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres
oksidatif. Bahan-bahan ini selanjutnya akan merangsang proses inflamasi.
Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar,
sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Hal tersebut
berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi
peningkatan stress oksidatif dan peningkatan produksi debris apoptosis dan

17
nekrotik trofoblas. Sehingga menjadi bebas reaksi inflamasi dalam darah ibu
sampai menimbulkan gejala-gejala preeklampsia padai ibu.

3.5 PATOFISIOLOGI
Dalam perjalanannya beberapa faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi
kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya
iskemia plasenta. Pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang mendasari
patogenesianya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi karena
berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan
invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal
trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan
sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus
diplasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta. Hipoksia plasenta yang
berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti sitokin, radikal bebas
dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan
terjadinya stress oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya
lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stress oksidatif pada tahap berikutnya
bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan
pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel yang dapat
terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ-organ
penderita preeklampsia.
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang
bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan
dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II
sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi.
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi,
sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara
keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita

18
preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ
seperti:
 Pada ginjal: hiperurisemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
 Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru
dan oedema menyeluruh.
 Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
 Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
 Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang,
kebutaan, pelepasan retina, dan pendarahan.
 Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta.

3.6 FAKTOR RESIKO


Faktor risiko adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk
menderita penyakit tertentu. Hal ini penting untuk diketahui agar pemberi layanan
kesehatan dapat melakukan tindakan preventif atau rencana tata laksana untuk
mencegah atau mengurangi derajat kesakitan penyakit tersebut. Faktor risiko pada
preeklampsia meliputi usia, paritas, riwayat preeklampsia sebelumnya, kehamilan
multipel, penyakit terdahulu, jarak antara kehamilan, indeks masa tubuh dan usia
kehamilan.
1. USIA
Ibu dengan usia ≥ 40 tahun memiliki risiko 2 kali lipat lebih besar
untuk mengalami preeklampsia. Dari penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa risiko preeklampsia meningkat hingga 30% setiap
penambahan 1 tahun setelah ibu mencapai usia 34 tahun. Sedangkan ibu
yang hamil di usia muda cenderung tidak mempengaruhi risiko terjadinya
preeklampsia.

19
2. PARITAS

Primigravida diartikan sebagai wanita yang hamil untuk pertama


kalinya. Preeklampsia tidak jarang dikatakan sebagai penyakit
primagravida karena memang lebih banyak terjadi pada primigravida
daripada multigravida. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa nuliparitas
meningkatkan kemungkinan terjadinya preeklampsia sebanyak 3 kali lipat.
Sedangkan ibu yang masuk ke dalam golongan multipara adalah ibu yang
sudah melahirkan lebih dari 1 kali dan tidak lebih dari 4 kali, memiliki
risiko sebesar 1% untuk mengalami preeklampsia.

3. RIWAYAT PREEKLAMPSIA SEBELUMNYA

Ibu yang mengalami preeklampsia pada kehamilan pertamanya, akan


memiliki risiko 7 kali lipat lebih besar untuk mengalami preeklampsia pada
kehamilan berikutnya.

4. KEHAMILAN MULTIPEL
Ketika seorang ibu mengandung lebih dari 1 janin dalam
kandungannya, maka risiko ibu tersebut mengalami preeklampsia
meningkat hampir 3 kali lipat. Satu buah penelitian menunjukkan bahwa
ibu hamil dengan 3 janin berisiko mengalami preeklampsia 3 kali lipat lebih
besar dari pada ibu hamil dengan 2 janin.

5. RIWAYAT PENYAKIT

Jika sebelum hamil ibu sudah terdiagnosis diabetes, kemungkinan


terkena preeklampsia meningkat 4 kali lipat. Keadaan pada penyakit-
penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil juga akan
mingkatkan risiko preeklampsia.

20
6. JARAK ANTARA KEHAMILAN

Hubungan antara risiko terjadinya preeklampsia dengan interval


kehamilan lebih signifikan dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan
dari pergantian pasangan seksual. Ketika intervalnya adalah ≥ 10 tahun,
maka risiko ibu tersebut mengalami preeklampsia adalah sama dengan ibu
yang belum pernah melahirkan sebelumnya.

7. INDEKS MASA TUBUH

Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko munculnya


preeklampsia pada setiap peningkatan indeks masa tubuh. Sebuah studi
kohort mengemukakan bahwa ibu dengan indeks masa tubuh >35 memiliki
risiko untuk mengalami preeklampsia sebanyak 2 kali lipat. Sebuah studi
lain yang membandingkan risiko antara ibu dengan indeks masa tubuh
rendah dan normal menemukan bahwa risiko terjadinya preeklampsia
menurun drastis pada ibu dengan indeks masa tubuh <20.

3.7 PENEGAKAN DIAGNOSIS


Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin tidak
didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:

1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter


2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan
ginjal lainnya

21
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
3.8 PENEGAKAN PREEKLAMSIAO BERAT
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria
gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau
preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg


diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan
ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

22
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara
kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin
masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia
(preeklampsia berat).

Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan,


dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam
waktu singkat.

3.9 PENATALAKSANAAN
Pengelolaan preeklamsia berat sebelum 34 minggu masih kontroversial. Di
beberapa lembaga, persalinan dicapai terlepas dari kematangan janin. Di sisi lain,
persalinanan ditunda untuk jangka waktu terbatas untuk memungkinkan
pemberian kortikosteroid. Empat uji coba terkontrol acak luas yang
membandingkan magnesium sulfat dengan pengobatan metode lain untuk
mencegah kejang pada wanita dengan preeklamsia berat telah menunjukkan bahwa
magnesium sulfat dikaitkan dengan jumlah yang signifikan lebih rendah dari
eklampsia daripada tidak ada pengobatan atau nimodipin. Lucas dan rekan
melaporkan tidak ada kejang di antara 1.049 wanita preeklampsia yang menerima
profilaksis magnesium sulfat.
Kehamilan yang dipersulit hipertensi gestasional dikelola menurut tingkat
keparahan, umur kehamilan, dan adanya preeklampsia. Prinsip penatalaksanaan,
sebagaimana ditekankan sebelumnya, juga memperhitungkan cedera sel endotel
dan disfungsi multiorgan yang disebabkan oleh sindrom preeklamsia. Tujuan
pengelolaan dasar untuk setiap kehamilan yang dipersulit oleh preeklamsia
meliputi:
1. Terminasi kehamilan dengan meminimalisir kemungkinan trauma
terhadap ibu dan janin

23
2. Kelahiran bayi yang kemudian tumbuh subur
3. Restorasi lengkap kesehatan untuk ibu
Pada banyak wanita dengan preeklampsia terutama yang mendekati atau
pada aterm, ketiga tujuan didapat sama baiknya dengan induksi persalinan. Salah
satu pertanyaan klinis yang paling penting untuk penatalaksanaan yang sukses
adalah pengetahuan yang tepat dari usia janin.

Cara pemberian MgSo4 awal

 4 gr MgSo4 (10cc MgSo4 40% + 10 cc Aquades atau 20 cc MgSo4 20%)


diberikan IV secara perlahan selama 10 – 15 menit
 Atau jika akses intravena sulit, berikan 5 gr MgSo4 40% (12,5 cc MgSo4
40%) IM di bokong kanan dan kiri

Cara membuat dosis rumatan MgSo4

 6 gr MgSo4 40% (15 cc MgSo4 40%) dan larutkan dalam 500 cc larutan
Ringer Laktat/Ringer Asetat lalu berikan melalui infus 28 tetes/menit
selama 6 jam (1gr/jam)
 Diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir (bila
eklampsia)

Syarat pemberian MgSo4

 Tersedia Ca glukonase 10%


 Adanya refleks patella
 Jumlah urin minimal 0,5 ml/kg/BB/jam

Preeklampsia berat memerlukan rawat inap. Persalinanan diindikasikan jika


usia kehamilan 34 minggu atau lebih, kematangan paru janin dapat dipastikan, atau
tampak perburukan status ibu atau janin. Pemeliharaan tekanan darah akut dapat
dicapai dengan hidralazine, labetalol, atau nifedifin. Tujuan terapi antihipertensi
adalah untuk mencapai tekanan darah sistolik < 160 mmHg dan tekanan darah

24
diastolik < 105 mmHg. Kontrol tekanan darah yang terlalu agresif dapat
mengganggu perfusi maternal ruang intravilus dan mempengaruhi oksgenasi janin.
Hidralazin adalah vasodilator perifer yang dapat diberikan dalam dosis 5 -10 mg
secara intravena (IV). Onsetnya adalah 10-20 menit, dan dapat diulang dalam 20 -
30 menit jika diperlukan. Labetalol dapat diberikan dalam dosis 5 - 20 mg IV
dengan tekanan lambat. Dosis dapat diulang dalam 10 - 20 menit. Nifedipin adalah
penghambat kanal kalsium yang dapat digunakan dalam dosis 5-10 mg oral.
Pemberian melalui sublingual tidak boleh digunakan. Dosis dapat diulang dalam
20 - 30 menit, sesuai kebutuhan.

Namun, kejang tonik-klonik dapat tetap terjadi meskipun menerima terapi


magnesium sulfat. Magnesium sulfat diberikan, status janin dipantau terus
menerus, dan obat antihipertensi digunakan untuk menjaga tekanan darah sistolik
<160 mmHg dan tekanan darah diastolik <105 mm Hg antara 33 dan 35 minggu,
pertimbangan harus diberikan untuk amniosentesis untuk studi kematangan paru.
Jika matur, persalinan segera diindikasikan. Jika imatur, diberikan kortikosteroid
dan jika mungkin, persalinan ditunda 24-28 jam. Antara 24 dan 32 minggu, terapi
antihipertensif diberikan sesuai indikasi, diberikan kortikosteroid, dan dilakukan
konseling ibu ekstensif untuk memperjelas risiko dan manfaat perpanjangan
kehamilan.

Meskipun berbagai pengobatan telah berhasil dikembangkan, morbiditas


dan kematian ibu yang disebabkan oleh preeklampsia belum menunjukkan
penurunan yang bermakna. Hal ini sebagian disebabkan oleh masih belum jelasnya
etiologi dan patogenesis/mekanisme penyakit ini. Saat ini terdapat banyak teori
etiologi yang mencoba menjelaskan patogenesis penyakit preeklamsia di
antaranya predisposisi genetik, trombofilia, endokrinopati, vaskulopati, iskhemi
plasenta, stres oksidatif dan maladaptasi imun.

25
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 DIAGNOSIS
Diagnosis preeklmapsia dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis, keluahan-keluhan yang
dialami oleh pasien preeklampsia adalah adanya nyeri kepala, penglihayan kabur
atau nyeri perut kuadran kanan atas yang memperberat keluhan, dari anamnesis
juga perlu diketahui pada saat umur kehamilan berapa mulai terjadinya tekanan
darah tinggi, dan mengetahui umur kehamilan sekarang untuk menentukan
tindakan selanjutnya. Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan nyeri kepala,
tidak ada penglihatan kabur, pasien mengatakan tekanan darah tinggi mulai sejak
umur kehamilan 36 minggu. Dan sekarang umur kehamilan 38 minggu.
Dari pemeriksaan fisik pasien dengan preeklampsia dapat di tegakkan
dengan mengukur tekana darah yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140, diastolik ≥ 90
mmHg, edema paru atau sianosis. Pada pasien tersebut di dapatkan hasil
pemeriksaan tekana darah 160/100 mmHg, tidak ada edema paru dan tidak ada
sianosis.
Pada meriksaan penunjang, preeklampsia dapat terdiagnosis dengan
pemeriksaan proteinuria meningkat ≥ +2, Platelet < 100.000, SGOT/SGPT > 70,
Lactic Acid Dehydrogenase (LDH) > 600. Namun pada kasus ini, pemeriksaan
penunjang masih dalam batas normal.

4.2 PENATALAKSANAAN

Preeklampsia berat memerlukan rawat inap, penatalaksanaan yang utama


pada keadaan preeklampsia adalah menghindari terjadinya kejang pada wanita
hamil yaitu dengan menggunakan magnesium sulfat. Persalinanan diindikasikan
jika usia kehamilan 34 minggu atau lebih, kematangan paru janin dapat dipastikan,
atau tampak perburukan status ibu atau janin. Pemeliharaan tekanan darah akut

26
dapat dicapai dengan hidralazine, labetalol, atau nifedifin. Tujuan terapi
antihipertensi adalah untuk mencapai tekanan darah sistolik < 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik < 105 mmHg. Kontrol tekanan darah yang terlalu agresif
dapat mengganggu perfusi maternal ruang intravilus dan mempengaruhi oksgenasi
janin.

Pada kasus ini, wanita usia 25 tahun dengan umur kehamilan 38 minggu.
Dimana terapi utama ialah memberikan magnesium sulfat (Loading Dose: 4gr
MgSO4 40% dilarutkan dalam normal saline I.V/10-15 menit. Maintenance dose:
6gr MgSO4 40% dilarutkan dalam Ringer Dextrose 5% diberikan perinfuse
dengan tetesan 28 tpm dalam 6 jam), bertujuan menghindari kejang yang akan
memperberat keadaan. Setelah itu, karena umur kehamilan aterm direncanakan
persalinan pervaginam dengan persetujuan keluarga. Setelah percobaan
persalinam pervaginam dengan bantuan drip oxytocin tidak ada kemajuan, diaman
pembukaan masih tetap 1cm sehingga dilakukan persalinan secara caesar.

27
DAFTAR PUSTAKA

A.A Gde Kiki Sanjaya Dharma. Faktor Resiko, Patogenesis, Dan Penatalaksanaan.

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Report on the achievement of

millennium development goals Indonesia. Jakarta: Bappenas; 2010.

Cunningham FG, dkk. 2006. Kehamilan pada Manusia. Dalam Hartanto Huriawati,

editor. Obstetric Williams volume satu. Edisi ke-21. Jakarta: ECG.

Hadijanto B. 2014. Dalam ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo: Pendarahan

pada kehamilan muda. Edisi ke-4. Cetakan ke-4. Jakarta: Bina pustaka

Sarwono Prawirohardjo

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: 2015.

Mochtar, Rustam. 2005. Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis Obstetri Patologi Edisi

2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Saifuddin, Abdul bari. 2002. Buku Panduan Praktik Pelayanan Kesehatan Maternal

dan Neonatal. Jakarta: Bina pustaka Sarwono Prawirohardjo

Sastrawinata S. 2004. Ilmu kesehatan reproduksi obstetri patologi. Edisi ke-2.

Jakarta: EGC

28
World Health Organization (WHO). Dibalik angka - Pengkajian kematian maternal

dan komplikasi untuk mendapatkan kehamilan yang lebih aman. Indonesia:

WHO; 2007.

29

Anda mungkin juga menyukai