Anda di halaman 1dari 46

DIKTAT KULIAH

FILSAFAT ILMU
1

Oleh

Prof. Dr. Drs.I Made Dira Swantara, M.Si.

Program Studi Magister Kimia Terapan


Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Denpasar
2015

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/

Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat beliaulah kami dapat menyelesaikan

penyusunan diktat ini. Diktat ini, yang diberi judul Filsafat Ilmu 1 dimaksudkan untuk

memberikan pemahaman tentang filsafat dan filsafat ilmu, pengertian ilmu dan

pengetahuan kepada mahasiswa tingkat Magister di Program Studi Magister Kimia

Terapan, Universitas Udayana.

Sudah tentu diktat ini masih banyak kekurangannya baik dari segi kuantitas

maupun kualitasnya. Untuk itu, kritik dan saran demi penyempurnaan buku ini, kami

sangat harapkan.

Sebagai akhir kata, kami menunggu saran dari pembaca diktat ini.

Denpasar, Nopember 2015

Penulis,

2
DAFTAR ISI

Halaman
Judul ……………………………………………………………………. 1
Kata Pengantar …………………………………………………………. 2
Daftar Isi ……………………………………………………………….. 3
BAB I Filafat dan Filsafat Ilmu …………………………………… 4
1. 1 Pendahuluan ............................................................... 4
1. 2 Pengertian Filsafat ...................................................... 5
1. 3 Filsafat Ilmu ............................................................... 10
BAB II Ilmu dan Pengetahuan ……………………………………. 15
2. 1 Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan ............................... 15
2. 2 Sumber-Sumber Pengetahuan ……………………….. 20
2. 3 Sifat-sifat dan Asumsi Dasar Ilmu ............................. 21
2. 4 Anatomi/Komponen Ilmu .......................................... 22
2. 5 Hubungan Ilmu dengan Nilai-nilai Kehidupan ………. 23
2. 6 Ilmu Tidak Dapat Dipisahkan Dari Nilai Hidup …….. 24
BAB III Dasar-Dasar Pengetahuan ………………………………….. 27
3. 1 Pendahuluan ................................................................ 27
3. 2 Pengetahuan Manusia .................................................. 30
3. 3 Hakekat Penalaran ....................................................... 32
3. 4 Logika dan Kriteria Kebenaran .................................... 35
3. 4. 1 Logika ...................................................................... 35
3. 4. 2 Kriteria Kebenaran .................................................. 37
3. 5 Sumber Pengetahuan .................................................. 42
Daftar Pustaka …………………………………………………………. 46

3
BAB I
FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU

1. 1. Pendahuluan
Berbicara tentang filsafat, dapat mengundang keakraban atau dapat juga
membuat jarak, atau mungkin dijauhi oleh objek yang dibicarakan. Hal ini
bergantung kepada suasana dalam mengkomunikasikannya, termasuk bahasa yang
digunakan, gaya presentasi, dan penyesuaian psikologis seketika dengan respon
peserta.
Pengalaman menunjukkan bahwa untuk memupuk semangat membaca buku
filsafat, perlu pengenalan esensial dengan bahasa yang sederhana. Antara lain filsafat
dipandang suatu keunikan yang dinikmati seseorang tatkala ia menghadapi sesuatu
peristiwa yang sesaat mendorongnya untuk melepaskan diri dari keterbenaman
kegiatan rutin. Pada saat yang sama ia dibawa kepada renungan sebagai upaya
pemahaman untuk memperoleh makna yang terdalam, yang pada gilirannya
melandasi pertimbangan yang seksama bagi kelayakan tindakan dari segi normatif,
etika, dan estetika.
Adapun yang direnungkannya itu ialah segala masalah yang mungkin ditelaah
oleh jangkauan pikiran manusia, secara menyeluruh dan mendasar, selaras dengan
titik tolaknya yang spekulatif. Sifatnya yang spekulatif mempunyai implikasi
terhadap kebenaran yang dicapainya yang tidak akan pernah merupakan kebenaran
mutlak; melainkan hanya probabilistik. Oleh karena itu kegiatan telaah filsafat tidak
pernah kunjung selesai, yaitu usai menggarap aspek yang satu berlanjut kepada yang
lain, apalagi telaahan yang mempersoalkan siapakah manusia itu.
Kini timbul pertanyaan apa saja yang menjadi bidang telaah filsafat itu?
Sejalan dengan fungsi filsafat sebagai perintis, dalam perjalanannya itu mengalami
berbagai tingkat perkembangan ruang lingkup dan aksentuasi. Tujuannya yang
mempersoalkan masalah pokok mendorong berlangsungnya dinamika proses berpikir
yang menjawab masalah yang satu berlanjut kepada yang berikutnya secara terus
menerus sampai memperoleh jawaban yang umum seumum-umumnya.

4
Seperti telah disinggung di atas, dari jaman ke jaman sejalan dengan
perubahan yang dialami telahaan filsafat, terjadi pergantian aksentuasi objek
permasalahan, yang satu menyusul yang lain dengan topik yang berbeda. Secara
historis dapat kita ikuti perkembangan objek telahaan cabang filsafat. Mula-mula
hanya menyangkut tiga cabang, yaitu (1) Epistimologi atau filsafat pengetahuan, (2)
Etika atau filsafat moral, dan (3) Estetika atau filsafat seni. Kemudian bertambah
dengan munculnya cabang filsafat, (4) Metafisika, yaitu yang mengkaji segala sesuatu
yang ada dari segi hakikat keberadaan zat dengan pikiran serta hubungan antara zat
dengan pikiran. Disusul dengan cabang filsafat (5) Politik, yaitu yang mengkaji
organisasi sistem pemerintahan yang ideal. Kemudiaan menyusul cabang lain lagi
seperti filsafat agama, dan cabang-cabang lain yang spesifik termasuk filsafat ilmu.

1. 2. Pengertian Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal
dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas duakata: philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan shopia(hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti
cinta kebijaksanaan ataukebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos
(filosof) dalampengertian pencinta kebijaksanaan.
Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh
para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan
pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis
adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki
jiwa yang independen dan bersifat spiritual. Sebelum Socrates ada satu kelompok
yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka
menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah
yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna
yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan
menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya

5
disebut dengan seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak
pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki
manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan
filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmupengetahuan alam, seperti: fisika,
biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3)
ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma
(akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Secara umum filsafat berarti
upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis.
Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti
pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan
tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian
filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafah pula.
Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat)
sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi
paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang
didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan,
tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya
dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika
ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap
tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya,
hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.

6
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda
katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat. Plato (427–348 SM) menyatakan
filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli.
Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan
yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106-
043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat
ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan
di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Sedangkan
Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya 4
persoalan yaitu:
a. Apakah yang dapat kita ketahui?
Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika.
b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan?
Jawabannya termasuk dalam bidang etika.
c. Sampai di manakah harapan kita?
Jawabannya termasuk pada bidang agama.
d. Apakah yang dinamakan manusia itu?
Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal
ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari
sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini
akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa
sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates
menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar.
Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut
dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti

7
sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik
yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah
lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif
baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana
yang logis atau tidak.
Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal, President of the
Royal Society memiliki ketiga karakteristik ini. Ada banyak penyempurnaan
penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang dilakukannya. Dalam pencariannya
akan ilmu, Newton tidak hanya percaya pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada
saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian terdahulu seperti logika
aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak,
cahaya, dan struktur kosmos. “Saya tidak mendefenisikan ruang, tempat, waktu dan
gerak sebagaimana yang diketahui banyak orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada
keparipurnaan, yang ada hanya pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan
tak pernah selesai.“ku tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu
sampai cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai betul-betul
terang”.
Istilah filsafat sering digunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari,
baik secara sadar atau tidak disadari. Dalam penggunaan yang populer, filsafat dapat
diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu), dan dapat juga disebut pandangan
hidup (masyarakat). Misalnya secara populer kita sering berkata atau mendengar
“Saya tidak suka terhadap filsafat anda tentang bisnis”, “Pancasila adalah satu-
satunya falsafah hidup bangsa Indonesia”.
Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi
terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi hidup. Di pihak lain ada yang
beranggapan bahwa filsafat dianggap sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu
pandangan atau teori yang tidak memiliki kegunaan praktis. Dan banyak lagi
pengertian filsafat yang dikemukakan oleh beberapa orang pakar. Dari beberapa
pengertian tentang filsafat yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli maka dapat
dikemukakan disini bahwa Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan

8
menggunakan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum-hukum dan
sebagainya dari segala sesuatu yang ada di alam semesta; atau mengenai kebenaran
dan arti tentang adanya sesuatu.
Orang yang berfilsafat dapat diumpamakan orang yang berpijak di bumi
sedang tengadah kebintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam
kesemestaan galaksi. Atau seseorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang
ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan
kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat
menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang
ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang
lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia
ingin yakin bahwa apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir
memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari
lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada
pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika. Mereka para
ahli dapat diumpamakan berada dalam tempurung ilmunya masing-masing, sebaiknya
menengadah kebintang-bintang dan tercengang: Lho, kok masih ada langit lain di luar
tempurung kita. Dengan demikian kita menyadari kebodohan kita sendiri. Sehingga
tepatlah dikatakan oleh para ilmuwan: “Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa”.
Seorang yang berpikir filsafati selain tengadah ke bintang-bintang, juga
membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir
filsafati yang kedua yaitu sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya bahwa ilmu itu
benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah
lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Menyusur sebuah lingkaran kita harus
mulai dari satu titik, yang menjadi awal dan sekaligus akhir. Lalu bagaimana
menentukan titik awal yang benar? Karena kita tidak mungkin dapat menjangkau
pengetahuan secara keseluruhan, dan tidak yakin kepada titik awal yang menjadi
jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita berspekulasi, dan inilah yang
merupakan ciri filsafat yang ketiga yakni sifat spekulatif.

9
Ciri berfikir kefilsafatan:
1. Radikal: artinya sampai keakar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau
substansi yang dipikirkan
2. Universal: artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia.
Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada aspek
keumumannya.
3. Konseptual; artinya merupakan hasil generalisasi dan abstarksi pengalaman
manusia. Misalnya: apakah kebebasan itu ?
4. Koheren dan Konsisten [runtut]: Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah
berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5. Sitematik: artinya pendapat merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan
tertentu.
6. Komprehensif; artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara
kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara
keseluruhan
7. Bebas : artinya samapai batas-batas yang luas, pemikiran kefilsafatan boleh
dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-
prasangka sosial, histories, cultural, bahkan religius.
8. Bertanggungjawab : artinya seorang orang yang berfilsafat adalah orang yang
berpikir sekaligus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling
tidak terhadap hati nuraninya sendiri.

1. 3 Filsafat Ilmu
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai
pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji
kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005). Menurut kamus
Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya
mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering
diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau

10
kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna
sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan
percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa
yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang
artinya mengetahui.
Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari
kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains).
Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme–positiviesme sedangkan ilmu
melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika.
Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas
filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy
mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk
pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di
antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.
Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari
pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural
philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac
Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis
Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi
menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of
Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Agus Comte dalam Scientific Metaphysic,
Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu
pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas religilah
yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran
religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan
wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan
mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir
adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji
secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah
karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika.

11
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti
knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali
dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni
epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori
tentang apa).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini
berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang
tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu
akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa;
sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan
normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi
kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah.
Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh,
baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh
secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh
nabi).
Filsafat ilmu termasuk bagian dari filsafat pengetahuan atau lazim disebut
epistimologi. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab
beberapa pertanyaan mengenai hakekat ilmu itu seperti:
1. Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut?
Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia? (berpikir,
merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri?
Apakah kriterianya? cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?

12
3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik/prosedur yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/profesional?
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok pertanyaan yang
pertama disebut landasan ontologis; kelompok yang dua adalah epistemologis; dan
kelompok ketiga adalah aksiologis. Semua pengetahuan (ilmu, agama, seni, dan lain-
lain) pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini.
Secara sederhana yang disebut filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti
bahwa ada pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong
pengetahuan ilmiah ialah yang disebut ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah
disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas
pengaturan secara prosedural, metodologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan
demikian, teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau validitas
ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan. Sedang pengetahuan tak-
ilmiah adalah yang masih tergolong pra ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan
hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh baik yang telah lama maupun baru
didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau diluar kesadaran
seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif,
sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan tehnis, tidak bersifat acak,
kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.
Sedangkan pengetahuan yang pra-ilmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh dengan
sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang bersifat intuisi,
sehingga tidak dimasukkan ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena
tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya
pengetahuan “naluriah”.
Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara
benar dan salah, baik dan buruk, serta indah dan jelek. Sekiranya kita ingin

13
melakukan penilaian sebuah pertanyaan ilmiah apakah pertanyaan itu benar atau salah
maka kemana kita mesti berpaling? Tentu saja penilaian tentang sebuah pertanyaan
ilmiah tidak dapat dilakukan oleh ilmu itu sendiri sebab penilaian yang dapat
diandalkan biasanya diberikan oleh pihak lain. Demikian juga halnya dengan
penilaian tentang kaidah moral apakah pesan yang dibawanya bersifat baik atau buruk
serta penilaian tentang sebuah karya seni apakah produk yang dihasilkannya itu indah
atau jelek. Mesti ada pihak lain yang mampu memberikan penilaian secara obyektif
dan tuntas dan pihak lain yang melakukan penilaian itu dan sekaligus memberikan
arti adalah pengetahuan yang disebut filsafat.
Filsafat meletakkan dasar-dasar suatu pengetahuan, jadi filsafat ilmu adalah
pengetahuan yang membahas dasar-dasar ujud keilmuan. Pertanyaan-pertanyaan
seperti apa yang disebut ilmu? Ciri-ciri apa yang membedakan ilmu dan pengetahuan
yang lainnya? Bagaimana cara menarik kesimpulan ilmiah secara benar? Sarana-
sarana apa yang diperlukan dalam kegiatan berfikir ilmiah? Semua pertanyaan
semacam ini termasuk kedalam bidang kajian filsafat ilmu.

14
BAB II
ILMU DAN PENGETAHUAN

2. 1. Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan

Seperti telah disinggung di atas bahwa ilmu itu adalah pengetahuan ilmiah,
jadi ilmu adalah bagian dari pengetahuan sehingga dapat dikatakan bahwa tidak
semua pengetahuan itu merupakan ilmu. Dengan demikian jelaslah bahwa terdapat
dua jenis pengetahuan yaitu pengetahuan ilmiah atau disebut ilmu (science, sain) dan
pengetahuan tidak ilmiah atau disebut pengetahuan (knowledge). Penegertian-
pengertian dari pengetahuan di atas adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan (knowledge) adalah pembentukan pemikiran asosiatif yang
menghubungkan atau menjalin sebuah pikiran atau kenyataan atau dengan pikiran
lain berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang tanpa pemahaman mengenai
sebab-akibat (kausalitas) yang hakiki dan universal.
2. Ilmu (sain) adalah akumulasi pengetahuan yang menjelaskan hubungan sebab-
akibat (kausalitas) yang hakiki dan universal dari suatu objek menurut metode-
metode tertentu yang merupakan satu kesatuan yang sistematis.
Pengetahuan (knowledge) merupakan suatu yang dikejar manusia untuk
memenuhi keingintahuannya (curiosity). Lebih jauh dikatakan ilmu (sain) adalah
pengetahuan keilmuan yang diperoleh dari pengetahuan melalui metode ilmu yang
ditandai dengan “presisi” (tingkat ketepatan), baik tentang “apa” maupun tentang
“mengapa” (kausalitas).
Perbedaan antara pengetahuan keilmuan dengan pengetahuan lainnya
misalnya seni, agama, dan lainnya dapat dilihat dari upaya-upaya memperolehnya.
Pada prinsipnya adalah sebagai berikut: Gejala-gejala yang terdapat di alam semesta
ini ditangkap oleh manusia melalui pancainderanya, bahkan ada pula yang ditangkap
oleh indera keenamnya (extra cencory) yaitu berupa intuisi. Segala yang ditangkap
oleh indera-inderanya itu dimasukkan ke dalam pikiran dan perasaannya. Dengan
segala keyakinan dan kepercayaannya ditariklah kesimpulan yang benar.
Kesimpulan-kesimpulan yang benar ini dijadikan pengetahuannya (ilmu, agama, dan

15
seni itu). Dalam upaya memperoleh pengetahuan itu dapat dibedakan antara upaya
yang bersifat aktif dan pasif.
Upaya aktif yaitu upaya dengan mempergunakan penalaran pikiran dan
perasaan. Sedangkan upaya pasif yaitu upaya dengan menggunakan keyakinan dan
kepercayaan terhadap kebenaran sesuatu yang diwartakan (misalnya wahyu Tuhan
melalui Nabi atau ilmu dan pengetahuan lain). Baik secara aktif maupun secara pasif,
keyakinan atau kepercayaan itu memegang peranan penting. Bedanya adalah bahwa
kesimpulan yang diperoleh malalui alur penalaran pikiran (secara aktif) adalah
bersifat logis dan analitis; sedangkan yang diperoleh melalui perasaan (pasif)
dilandaskan pada emphaty, ialah meletakkan perasan pada objek yang ingin diketahui
atau dimengertinya itu; hal ini terdapat pada seni, agama, dan kepercayaan.
Dari uraian di atas dapatlah diketahui tentang kedudukan ilmu dalam
pengetahuan dan perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan lainnya.

Pengetahuan Manusia
Pengetahuan Obyek Paradigma Metode Kreteria
Sains Empiris Sains Metode ilmiah Rasional empiris
Filsafat Abstrak rasional Rasional Metode Rasional
Rasional
Mistis Abstrak Mistis Latihan percaya Rasa, iman, logis,
suprarasional kadang empiis

Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif,


sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak,
kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.
Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara
sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi,
sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah
karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung
menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.

16
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-
mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga
untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh
kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam
kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya.
Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi
sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan
untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena
tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai
organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan.
Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain
sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan
sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala
masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah
terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak
dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui
status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status
ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan
tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan
pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir
secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses
berpikir secara analisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika
berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini
mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada
sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan
kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan
lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-
premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian
kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–

17
abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini
mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional
dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan
umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap
akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas
dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan
ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu
tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan
manusia dalam kehidupannya.
Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel
aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme
terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut
pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan
sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada
pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi
dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan
demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya
dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain
perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang
menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif
mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek
prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim
disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya, termasuk
proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang
digunakannya.
Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung
di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.

18
Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi
Tahapan
Ontologi Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
(Hakikat Ilmu) Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan
yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya?
Epistimologi Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan
(Cara yang berupa ilmu?
Mendapatkan Bagaimana prosedurnya?
Pengetahuan) Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan dengan benar?
Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
Apa kriterianya?
Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?
Aksiologi Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
(Guna Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-
Pengetahuan) kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-
pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/profesional?

Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban


”TIDAK”, kita tidak akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di

19
balik pengaman dan ide kita. Sedangkan teori pengetahuan yang bersifat obyektif
akan memberikan jawaban ”YA”.

2. 2 Sumber-Sumber Pengetahuan
Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama,
mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum
rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan
empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang diangapnya jelas dan dapat
diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah
ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme).
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi
atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses
penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan
pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi atau gap
antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu yang
paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan sekuler)
satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi
melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan
nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut
mereka, setinggitingginya pencapaian akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang
terlalu spekulatif untuk bisa mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta
kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi
atau ilusi belaka. Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap
sebagai sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus
memperoleh limpahan cahaya Ilahi.
Masalah berikutnya adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek
ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the observables) atau
diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan dari filosof logika positivisme yang
menganggap segala pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai

20
nonsens. Perbedaan ini melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap
science).
Masalah lainnya adalah munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu.
Penekanan sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu
nonfisik bergeser secara signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif
bahwa bidang kajian agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan
Freud yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatic bertanggung
jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak didik untuk bertanya
secara kritis.
Masalah lainnya yang muncul adalah menyangkut metodologi ilmiah. Sains
pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau eksperimen. Sedangkan
agamawan mengembangkan metode lainnya seperti metode intuitif. Masalah terakhir
adalah sulitnya mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan
intuisi sebagai pengalaman legitimate dan riil dari manusia.

2. 3. Sifat-sifat dan Asumsi Dasar Ilmu


Seperti telah disinggung terdahulu bahwa ilmu dapat menjelaskan/
menerangkan segala yang ada di alam semesta. Maka sebagai sifat pertama dari ilmu
adalah bahwa ilmu menjelajah dunia empirik tanpa batas, sejauh dapat ditangkap oleh
indera manusia. Namun karena indera manusia terbatas, maka sebagai sifat kedua dari
ilmu adalah bahwa tingkat kebenaran yang dicapainya adalah relatif atau tidak sampai
pada kebenaran yang mutlak. Sebagai sifat ketiga dari ilmu adalah bahwa ilmu
menemukan preposisi-preposisi (ungkapan yang terdiri dari dua variabel atau lebih
yang menyatakan kualitas) yang teruji secara empirik.
Sebagai asumsi dasar dari ilmu sehubungan dengan ketiga sifatnya itu adalah
pertama, bahwa dunia ini ada (manipulable); sebagai asumsi kedua adalah percaya
kepada kemampuan indera manusia yang menangkap fenomena-fenomena itu.
Asumsi dasar ketiga adalah bahwa fenomena-fenomena itu terjadi di dunia
“manipulable” itu berhubungan satu sama lain. Lebih lanjut diterangkan, sehubungan
dengan asumsi dasar ketiga itu, bahwa ilmu itu “belief system” artinya ilmu itu
kebenarannya didasarkan kepada keyakinan atau kepercayaan, meskipun

21
kebenarannya bersifat relatif. Selain itu telah dikatakan bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang sistematis; atau ilmu itu merupakan sistem.

2. 4. Anatomi/Komponen Ilmu

Anatomi/komponen ilmu dibangun dari realita alam semesta. Dikatakan


bahwa komponen-komponen itu merupakan aspek dinamis dari perwujudan ilmu
yang bersifat abstrak tetapi general (berlaku umum). Komponen-komponen itu
seolah-olah perkembangan dari alam konkrit (realita) sampai pada alam abstrak
(ilmu). Komponen-komponen yang menjembataninya itu ialah: fenomena, konsep,
dan atau variabel, proposisi, fakta dan teori. Penjelasan setiap komponen, disajikan
pada bagan skematis di bawah ini:

Bagan skematis komponen ilmu


Alam nyata (realitas)
(sebagai pengetahuan)
Fenomena Adalah kejadian atau gejala-gejala yang ditangkap indra manusia dan
dijadikan masalah karena belum diketahui (apa, mengapa, bagaimana)
adanya.
Konsep Adalah istilah atau simbol yang mengandung pengertian singkat dari
fenomena; atau abstarksi dari fenomena
Variabel Adalah variasi sifat, jumlah atau besaran yang mempunyai nilai
katagorial (bertingkat) baik kualitatif maupun kuantitatif, sebagai hasil
penelaahan mendasar dari konsep.
Proposisi Adalah kalimat ungkapan yang terdiri dari dua variabel atau lebih,
yang menyatakan hubungan sebab-akibat (kausalitas).
Fakta Adalah prosisi yang telah diuji secara empiris (hubungan yang
ditunjang oleh data empiris)
Teori Adalah jalinan fakta menurut kerangka bermakna (meaningfull
construct).

Alam abstrak
(sebagai ilmu)

Dari bagan skematis di atas dapat diuraikan bahwa fenomena yang ditangkap
oleh indera manusia dari alam nyata itu diabstraksikan pada konsep-konsep
(fenomena menyumbangkan ide, materi, atau tenaga pada suatu kegiatan bagi
kepentingan umum diabstraksikan kepada konsep partisipasi. Proses terjadinya gula

22
dan oksigen dari karbon dioksida dan air pada hijau daun dengan bantuan sinar
matahari diabstraksikan dalam konsep asimilasi dan sebagainya).
Penelaahan mendasar dari konsep-konsep itu akan sampai pada variabel-
variabel (yaitu variasi sifat, jumlah atau besaran yang bernilai katagoris). Jika
variabel-variabel (dua variabel atau lebih) digolongkan pada golongan penentu
(determinant) dan golongan yang ditentukan (result), kemudian dihubungkan
(korelasi atau “relationship”) terjalinlah ungkapan atau kalimat yang menyatakan
hubungan sebab-akibat; hal ini disebut proposisi. Proposisi itu merupakan kesimpulan
penalaran pikiran, yang tingkat kebenarannya masih sementara (hipotesis). Jika
proposisi itu teruji secara (dengan data) empiris maka proposisi hipotesis itu menjadi
fakta. Jalinan fakta dalam kerangka penuh arti atau makna (meaningfull construct)
disebut teori. Teori-treori ini yang sebenarnya merupakan ilmu. Secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa teori itu adalah seperangkat konsep-konsep dan/atau variabel-
variabel dari suatu fenomena, dan proposisi-proposisi yang bersambungan satu sama
lain yang tersusun secara sistematis, dan bertujuan dapat menjelaskan atau
menerangkan (explanation) dan meramalkan (prediction) ataupun mengendalikan
(control) fenomena-fenomena itu. Kesimpulan teori-teori adalah ilmu yang bersifat
general (berlkaku umum) dan abstrak.

2. 5. Hubungan Ilmu dengan Nilai-nilai Hidup


Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis
sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan lebih
lanjut ilmu dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut
kegiatan keilmuan maupun penggunaan ilmu, yang berarti dalam pengembangannya
harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bersifat universal, bertanggungjawab pada kepentingan umum, dan
kepentingan generasi mendatang.
Tanggung jawab ilmu menyangkut juga hal-hal yang akan dan telah
diakibatkan ilmu dimasa lalu, sekarang maupun akibatnya di masa mendatang,
berdasarkan keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan baru dalam ilmu
terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan nilai-nilai hidup baik alam maupun

23
manusia. Hal ini tentu menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar yang
diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi
perkembangan ilmu itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara
utuh.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu secara
tepat dalam kehidupan manusia, melainkan harus menyadari apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat
manusia seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan
dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap
Khaliknya.
Jadi perkembangan ilmu akan mempengaruhi nili-nilai kehidupan manusia
tergantung dari manusianya itu sendiri, karena ilmu dilakukan oleh manusia dan
untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang ilmu
memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, karena tugas
terpenting ilmu adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-
sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya.

2. 6 Ilmu Tidak Dapat Terpisahkan dengan Nilai-nilai Hidup


Ilmu dapat berkembang dengan pesat menunjukkan adanya proses yang tidak
terpisahkan dalam perkembangannya dengan nilai-nilai hidup. Walaupun ada
anggapan bahwa ilmu harus bebas nilai, yaitu dalam setiap kegiatan ilmiah selalu
didasarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Anggapan itu menyatakan bahwa ilmu
menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu
itu sendiri, yaitu ilmu harus bebas dari pengandaian, pengaruh campur tangan politis,
ideologi, agama dan budaya, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu
terjamin, dan pertimbangan etis menghambat kemajuan ilmu.
Pada kenyataannya, ilmu bebas nilai dan harus menjadi nilai yang relevan,
dan dalam aktifitasnya terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai hidup harus
diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu jika praktiknya mengandung tujuan
yang rasional. Dapat dipahami bahwa mengingat di satu pihak objektifitas merupakan
ciri mutlak ilmu, sedang dilain pihak subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan

24
pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang
dibuatnya.
Setiap kegiatan teoritis ilmu yang melibatkan pola subjek-subjek selalu
mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu
pekerjaan yang merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa yang
merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, dan otoritas yang merupakan
kepentingan ilmu sosial.
Dengan bahasan diatas menjawab pertanyaan mengapa ilmu tidak dapat
dipisahkan dengan nilai-nilai hidup. Ditegaskan pula bahwa dalam mempelajari ilmu
seperti halnya filsafat, ada tiga pendekatan yang berkaitan dengan kaidah moral atau
nilai-nilai hidup manusia, yaitu:

1. Pendekatan Ontologis
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam
kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah
oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya
pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam
menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang
bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri
permasalahan kehidupan.

2. Pendekatan Epistemologi
Epistemologis adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal mula,
sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitannya
dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan proses yang memungkikan
dipelajarinya pengetahuan yang berupa ilmu.
Dalam kaitannya dengan moral atau nilai-nilai hidup manusia, dalam proses
kegiatan keilmuan, setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran,
yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung

25
tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi
ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.

3. Pendekatan Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum.
Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu dipergunakan. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan
untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana
atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk itu ilmu
yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal
berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang
berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu
tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.

26
BAB III
DASAR-DASAR PENGETAHUAN

3. 1 Pendahuluan
Seni, agama, dan ilmu itu semua adalah pengetahuan. Masing-masing jenis
pengetahuan ini mempunyai landasan-landasan ontologis, epistimologis dan
aksiologisnya sendiri. Ilmu berusaha memahami alam dan sebagaimana adanya, dan
hasil-hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan mengendalikan
gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan sari penjelasan mengenai alam,
yang sifatnya umum dan impersonal. Sebaliknya, seni bersifat subyektif dan berusaha
memberikan makna sepenuh-penuhnya mengenai objek yang diungkapkannya.
Seandainya seseorang berkata kepada kita bahwa dia tahu bagaimana cara
bermain gitar, maka seorang lainnya mungkin akan bertanya: apakah pengetahuan
anda itu merupakan ilmu? Tentu saja dengan mudah ia dapat menjawabnya bahwa
pengetahuan bermain gitar itu bukanlah ilmu malainkan seni. Demikian juga
sekiranya seseorang bahwa sesudah mati semua orang akan dibangkitkan kembali,
akan timbul pertanyaan serupa: apakah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat
transental yang menjorok keluar batas pengalaman manusia dapat disebut ilmu?
Tentu saja jawabannya adalah “bukan” sebab pengetahuan yang berhubungan dengan
masalah semacam itu adalah agama. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan
segenap apa yang kita ketahui tentang suatu tertentu, termasuk di dalamnya adalah
ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia
disamping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bahkan seorang
anak kecilpun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap
pertumbuhan dan kecerdasannya.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau
tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana
kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan
merupakan sumber jawaban dari segala pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Apa yang harus kita lakukan sekiranya anak kita demam panas dan menderita kejang?
Lagu nina bobo apa yang harus kita nyanyikan agar dia tertidur lelap. Sekiranya insan

27
yang sangat kita cintai itu kemudian meninggalkan kita maka ke mana kita mesti
berpaling dalam kemelut kesedihan?
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu
yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan
kita secara maksimal maka harus kita ketahui jawaban apa yang mungkin bisa
diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui
kepada pengetetahuan mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan.
Sekiranya kita bertanya: “Apakah yang akan terjadi sesudah mati?”, maka
pertanyaan itu tidak bisa diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab
secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam
lingkungan pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah
penjelajahan bersifat transendental yang berada di luar pengalaman kita. Ilmu tidak
bisa menjawab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya
memang tidak mencakup permasalahan tersebut. Atau jika kita memakai analogi
komputer maka komputer ilmu memang tidak diprogramkan untuk itu.
Tentu saja pada dasarnya kita boleh mengajukan pertanyaan kepada siapa saja
seperti kalau kita sesat dijalan dan bertanya kepada seseorang yang kebetulan
nongkrong di terminal Batubulan: Eh, tahukah anda jalan ke Padangsabian? Kalau
yang kita tanyai itu seorang yang ramah dan dididik bersimpati dengan orang yang
sedang kesusahan, serta suka menolong ala kadarnya maka barangkali ia akan
berkata: “Mungkin arah ke sana! Dan ditunjukkanlah jalan kearah Sanur sebab dia
sebenarnya tidak tahu arah ke Padangsambian, dan karena didorong oleh aspek
kulturalnya saja, maka ia menjawab begitu. Jawaban itu tentu saja tidak menolong
kita dari kesesatan, tetapi kita masih bisa tenang-tenang saja, toh kita masih di
Denpasar. Namun bagaimana jadinya kalau kita ingin ke sorga tetapi malah
ditunjukkan jalan ke neraka?
Jadi pada hakekatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, dan bukannya
jawaban yang sifatnya sembarang saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana caranya
kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafat
disebut epistimilogi, dan landasan epistimologi ilmu adalah metode ilmiah. Dengan
kata lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun

28
pengetahuan yang benar. Lalu apakah yang disebut benar sedangkan dalam khasanah
filsafat terdapat beberapa teori kebenaran?
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan itu
disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; jadi ontologi ilmu terkait dengan
epeistimologi ilmu dan epistimologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan
seterusnya.
Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya (das sain) dan terbatas pada
lingkup pengalaman kita. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk
menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia, dan untuk
digunakan dalam menawarkan kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah alias ilmu
dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan
yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan
mengontrol gejala alam. Oleh sebab itulah sering dikatakan bahwa dengan ilmu
manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam.
Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana
sebaiknya kita mengembangkan landasan epistimologi yang cocok? Persoalan utama
yang dihadapi oleh tiap epistimologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana
mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan
aksiologi masing-masing. Demikian pula halnya dengan masalah yang dihadapi
epistimologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk
menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat
untuk meramalkan dan menontrol gejala alam.
Agar kita mampu meramalkan dan mengontrol sesuatu maka pertama-tama
kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi. Mangapa terjadi tanah longsor?
Mengapa terjadi kekurangan makan di daerah gersang? Untuk bisa meramalkan dan
mengontrol sesuatu, maka kita harus menguasai pengetahuan yang menjelaskan
peristiwa itu. Dengan demikian maka penelahaan ilmiah diarahkan kepada usaha
untuk mendapatkan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Penjelasan yang dituju penelahaan ilmiah diarahkan kepada deskripsi
mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi yang

29
menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau mekanisme terjadinya gejala
itu. Misalnya kegiatan ilmiah ingin mengetahui mengapa secangkir kopi yang diberi
gula menjadi manis rasanya. Hubungan antara gula dan kopi yang menyebabkan rasa
manis itulah yang menjadi pokok pengkajian ilmiah. Ilmu tidak bermaksud untuk
mendeskripsikan betapa manisnya secangkir kopi yang diberi gula.
Seni, pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala
dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah
model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas
menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat
rasional, maka seni (paling tidak seni sastra) mencoba mengungkapkan objek
penelahaan itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang
meresapinya lewat berbagai kemampuan manusia untuk menangkapnya, seperti
pikiran, emosi, dan pancaindera. Seni, menurut Muchtar Lubis, merupakan produk
daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas dari cengkeraman dan belenggu
berbagai ikatan. Model pengungkapan realitas dalam seni, sekiranya karya seni dapat
diibaratkan sebuah model, bersifat penuh dan rumit namun tidak bersifat sistematik.
Oleh karena itu kita tidak bisa menggunakan model tersebut untuk meramalkan dan
mengontrol gejala alam. Tetapi memang bukan itulah tujuan sebuah kegiatan seni.
Karya seni ditujukan untuk manusia, dengan harapan bahwa pencipta dan objek yang
diungkapkan- nya mampu berkomunikasi dengan manusia yang memungkinkan dia
menangkap pesan yang dibawa karya seni itu.
Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan
yang bersifat umum dan impersonal. Sebaliknya, tetap bersifat individual dan
personal dengan memusatkan perhatiannya pada “pengalaman hidup manusia
perorangan”.

3. 2 Pengetahuan Manusia
Binatang mempunyai pengetahuan, tetapi hanya terbatas untuk
mempertahankan jenisnya. Manusia mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan
analitis. Karena kemampuannya menalar dan karena mempunyai bahasa untuk
mengkomunikasikan hasil pikirannya yang abstrak, maka manusia bukan saja

30
mempunyai pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkan- nya.
Pengetahuan itu diperoleh manusia bukan hanya dengan penalaran, melainkan juga
dengan kegiatan berpikir lainnya, dengan perasaan atau intuisi. Pengetahuan juga
dapat diperoleh lewat wahyu.
Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya. Dia mengetahui yang mana yang benar dan mana yang salah, mana
yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara
terus menerus dia dipaksa untuk mengambil pilihan: mana jalan yang benar dan mana
jalan yang salah dan seterusnya. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpaling
kepada pengetahuan.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini
secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan namun pengetahuan
ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Sebagai contoh seekor kera tahu
mana buah jambu yang enak, dan seekor anak tikus tahu mana kucing yang ganas.
Pengetahuan ini didapatkan dari pengalaman dan diajari oleh induknya. Berbeda
dengan manusia, anak tikus hanya diajari hal-hal yang menyangkut kelangsungan
hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan
kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena
dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia
mengembangkan kebudayaan; manusia memberi makna pada kehidupannya; manusia
“memanusiakan” diri dalam hidupnya; dan masih banyak lagi pernyataan semacam
ini, semua itu pada hakekatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya
mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya.
Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya, dan
pengetahuaan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi mahluk yang bersifat
khas di muka bumi ini.
Pengetahuan ini dapat dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama
yaitu: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan
informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua,
manusia mampu berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis

31
besar alur berpikir itu disebut penalaran. Binatang mampu berpikir namun tidak
mampu berpikir nalar. Perbedaan utama antara seorang profesor nuklir dengan anak
kecil yang membangun bom atom dari pasir di play-groupnya tempat dia melakukan
riset terletak pada kemampuannya dalam menalar. Instink binatang lebih peka dari
instink seorang insinyur geologi; binatang sudah jauh-jauh berlindung ketempat yang
aman sebelum gunung meletus. Namun binatang tak bisa menalar tentang gejala
tersebut: mengapa gunung meletus, faktor apa yang menyebabkannya, apa yang dapat
dilakukan untuk mencegah semua itu terjadi.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan
pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu
menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran; sebab
berpikirpun tidak semua berdasarkan penalaran. Manusia bukan semata-mata mahluk
yang berpikir; sekedar homo sepiens yang steril. Manusia adalah mahluk yang
berpikir, merasa, dan mengindera; dan totalitas pengetahuannya berasal dari tiga
sumber tersebut, disamping wahyu yang merupakan komunikasi Sang Pencipta
dengan mahluknya.

3. 3. Hakekat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakekatnya merupakan mahluk yang
berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya bersumber pada
pengetahuan yang didapatkannya lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran
menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan
dengan peraaan, meskipun hati mempunyai logikanya sendiri. Meskipun demikian
patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri kepada
penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik
tertentu dalam menemukan kebenaran.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Apa yang disebut benar bagi setiap orang adalah tidak sama, oleh sebab itu
kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-
beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai kriteria kebenaran yang

32
merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan
suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai
kriteria kebenaran masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu.
Ciri yang pertama adalah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut
logika. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logika
tersendiri. Atau dapat pula disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu
proses berpikir logis, berpikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir
menurut suatu pola tertentu, atau dengan perkataan lain menurut logika tertentu.
Suatu kegiatan berpikir dapat disebut logis ditinjau dari suatu logika tertentu, dan
mungkin tidak logis bila ditinjau dari sudut logika yang lain. Ciri yang kedua dari
penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu
kegiatan berpikir yang menyandarkan diri pada suatu analisis, dan kerangka berpikir
yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.
Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan
logika ilmiah. Sifat analitik ini kalau kita kaji lebih jauh merupakan konsekwensi dari
adanya suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak
akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan
berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Seperti sudah disebutkan terdahulu tidak semua kegiatan berpikir
mendasarkan diri kepada penalaran. Berdasarkan kriteria penalaran tersebut di atas
maka dapat kita katakan bahwa tidak semua kegiatan berpikir bersifat logis dan
analitis. Atau lebih jauh dapat kita simpulkan: cara berpikir yang tidak termasuk ke
dalam penalaran, bersifat tidak logis dan tidak analitik. Dengan demikian maka kita
dapat membedakan secara garis besar ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan
berpikir yang bukan berdasarkan penalaran.
Perasaan merupakan penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran.
Kegiatan berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran, umpamanya adalah
intuisi. Intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang non-analitik yang tidak
mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu. Berpikir intuitif ini memegang
peranan penting dalam masyarakat yang berpikir non analitik, yang kemudian sering

33
bergalau dengan perasaan. Jadi secara luas dapat kita katakan bahwa berpikir
masyarakat dapat dikatagorikan kepada cara berpikir analitik yang berupa penalaran
dan cara berpikir yang non-analitik yang berupa intuisi dan perasaan.
Disamping itu masih terdapat bentuk lain dalam usaha manusia untuk
mendapatkan pengetahuabn yakni wahyu. Ditinjau dari hakekat usahanya, maka
dalam rangka menemukian kebenaran, kita dapat bedakan dua jenis pengetahuan.
Yang pertama adalah pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil usaha yang aktif
dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik melalui penalaran maupun lewat
kegiatan lain seperti perasaan dan intuisi. Dipihak lain terdapat bentuk pengetahuan
yang kedua yang bukan merupakan kebenaran yang didapat sebagai hasil usaha aktif
manusia. Dalam hal ini pengetahuan yang didapat itu bukan berupa kesimpulan
sebagai produk dari usaha aktif manusia, melainkan berupa pengetahuan yang
diwartakan atau yang diberitakan, umpamanya yang diberitakan Tuhan lewat
malaikat-malaikat dan nabi-nabinya. Manusia dalam menemukan kebenaran ini
bersifat pasif sebagai penerima pemberitaan tersebut, yang kemudian dipercaya atau
tidak dipercaya, berdasarkan masing-masing keyakinannya.
Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber
pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber
kebenaran mengembangkan paham yang kemudian disebut rasionalisme. Sedangkan
mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia
merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Penalaran yang akan dikaji dalam studi ini pada pokoknya adalah penalaran
ilmiah, sebab usaha kita dalam mengembangkan kekuatan penalaran merupakan
bagian dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi. Penalaran ilmiah
pada hahekatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif, di mana
lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme, dan penalaran induktif
dengan empirisme. Oleh sebab itu maka dalam rangka mengkaji penalaran ilmiah
maka kita terlebih dahulu harus menelaah secara seksama penalaran deduktif dan
induktif tersebut. Setelah itu akan ditelaah macam-macam sumber pengetahuan yang
ada yakni rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu. Pengetahuan mengenai hakekat hal-
hal tersebut memungkinkan kita untuk menelaah hakekat ilmu dengan seksama.

34
3. 4. Logika dan Kriteria Kebenaran
3. 4. 1 Logika
Alkisah, menurut cerita yang terdapat dalam khasanah humor ilmiah, seorang
peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu mabuk.
Untuk itu dia mengadakan penyelidikan dengan mencampur berbagai minuman keras.
Mula-mula dia mencampur air dengan wiski luar negeri yang setelah habis
diteguknya maka diapun terkapar mabuk. Setelah siuman dia mencampur air dengan
TKW (wiski lokal) yang diminum di pinggir jalan sambil mengisap kretek, ternyata
campuran inipun menyebabkan dia mabuk. Akhirnya dia mencampur air dengan tuak
yang dibelinya di “tajen”. Campuran ini juga seperti dua campuran terdahulu,
menyebabkan dia mabuk. Berdasarkan penelitian itu maka dia menyimpulkan bahwa
airlah yang menyebabkan manusia itu mabuk. Benar-benar masuk akal, bukan,
namun apakah hal itu benar?
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan.
Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka
proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Suatu cara penarikan
kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau penarikan kesimpulan tersebut
dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut
logika. Logika secara luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir
secara sahih. Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun agar
sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan
melakukan penelaahan yang seksama hanya pada dua jenis cara penarikan
kesimpulan yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat
hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata
menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan dipihak lain kita mempunyai
logika deduktif yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari yang bersifat
umum menjadi kasus-kasus bersifat individual.
Induktif merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif
dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang

35
lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan
pernyataan yang bersifat umum. Katakanlah kita mempunyai fakta bahwa kambing
mempunyai mata, gajah mempunyai mata, demikian juga dengan singa, kucing, dan
berbagai binatang lainnya. Dari pernyataan-pernyataan ini kita dapat menarik
kesimpulan yang bersifat umum yakni semua binatang mempunyai mata. Kesimpulan
yang bersifat umum ini penting artinya sebab mempunyai dua keuntungan.
Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini bersifat
ekonomis. Kehidupan yang beraneka ragam dengan berbagai corak dan segi dapat
direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia
bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta melainkan esensi dari fakta-fakta
tersebut. Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta yang dipaparkan,
pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari objek tertentu, melainkan
menekankan kepada struktur dasar yang menyangga wujud fakta tersebut. Pernyataan
bagaimanapun lengkap dan cermatnya tidak bisa mereproduksikan betapa manisnya
secangkir kopi atau pahitnya sebutir pil kina. Pengetahuan cukup puas dengan
pernyataan elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pil kina itu
pahit. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis dan berpikir teoritis.
Keuntungan kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah
dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun secara
deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat
disimpulkan perenyataan yang lebih umum lagi. Umpamanya melanjutkan contoh
kita terdahulu, dari kenyataan bahwa semua binatang mempunyai mata dan semua
manusia mempunyai mata, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua mahluk hidup
mempunyai mata. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya pengetahuan
secara sistematis yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang semakin lama
makin bersifat fundamental.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran
induktif. Deduksi adalah cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif
biasanya menggunakan pola berpikir yang dimanakan silogisme. Silogisme disusun

36
dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mengandung
silogisme ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor
dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran
deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Dari contoh kita sebelumnya kita dapat
membuat silogisme sebagai berikut:
Semua mahluk mempunyai mata (Premis mayor)
Wayan Koyogan adalah seorang mahluk (Premis minor)
Jadi Wayan Koyogan mempunyai mata (Kesimpulan)
Kesimpulan yang diambil bahwa Wayan Koyogan mempunyai mata adalah
sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan yang ditarik secara logis dari dua
premis yang mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka hal ini
harus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua
premis yang mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang
ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua
premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga
hal yaitu: kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan
pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut
persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.
Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumentasi
matematik, seperti a sama dengan b; dan b sama dengan c, maka a sama dengan c
merupakan suatu penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru
bahwa a sama dengan c pada hakekatnya bukan merupakan pengetahuan baru dalam
arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsekwensi dari dua pengetahuan yang
sudah kita ketahui sebelumnya yakni bahwa a sama dengan b dan b sama dengan c.

3. 4. 2 Kriteria Kebenaran
a. Kriteria Kebenaran Logika Deduktif
Seorang anak kecil yang baru masuk sekolah, setelah tiga hari berselang,
mogok sekolah. Orang tuanya mencoba membujuk dia, tapi tetap tidak mempan.

37
Akhirnya setelah dibujuk dia berterus terang, bahwa dia sudah kehilangan hasratnya
untuk belajar, sebab ternyata ibu gurunya adalah seorang pembohong.
“Coba ceritakan bagaimana dia berbohong” pinta orang tuanya sambil
tersenyum.
“Tiga hari yang lalu ibu guru berkata bahwa 3 + 4 = 7. Dua hari yang lalu dia
berkata 5 + 2 = 7. Dan kemarin dia bilang 6 + 1 = 7. Bukankah semua itu tidak
benar?”
Permasalahan yang sederhana ini membawa kita kepada apa yang disebut
dengan teori kebenaran. Apakah persyaratannya agar suatu jalan pikiran
menghasilkan kesimpulan yang benar? Tidak semua manusia mempunyai persyaratan
yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar, termasuk anak kecil tadi, yang
dengan pikiran kekanak-kanakannya mempunyai kriteria kebenaran tersendiri. Bagi
kita tidak sukar untuk menerima kebenaran bahwa 3 + 4 = 7; 5 + 2 = 7; dan 6 + 1 = 7;
sebab secara deduktif dapat dibuktikan bahwa ketiga pernyataan itu adalah benar.
Mengapa hal ini kita sebut benar? Sebab pernyataan dan kesimpulan yang ditariknya
adalah konsisten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang telah dianggap
benar.
Teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria tersebut di atas disebut teori
koherensi. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koherensi ini
berdasarkan penalaran deduktif. Bila kita menganggap bahwa “Semua manusia akan
mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “I Gede Blondar” adalah
seorang manusia dan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua
adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama. Berdasarkan penalaran deduktif
kesimpulan yang diambil bahwa I Gede Blondar akan mati adalah sah, mengingat
kesimpulan tersebut diambil secara logis dari dua premis yang mendukungnya
Dari uraian di atas tampak bahwa ketepatan pengambilan kesimpulan
tergantung kepada tiga unsur kebenaran. Dalam hal ini kebenaran premis mayor,
kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Jadi, bila salah satu
unsur tersebut tidak terpenuhi persyaratannya, maka kesimpulan yang ditariknya akan

38
salah atau tidak syah. Adalah benar bila ada yang mengatakan bahwa logika deduktif
tidak akan menghasilkan kejutan-kejutan, karena kesimpulan logis yang ditariknya
sudah terkandung di dalam premis itu sendiri. Berarti jalinan logis antara premis-
premis dengan kesimpulan sangat erat, dibandingkan dengan yang dijumpai pada
penelaran induktif. Kebenaran yang diperoleh seperti itu disebut tautologis, yang
berarti kebenaran yang berulang atau kebenaran yang berlebihan. Adapun contoh
penalaran deduktif yang menonjol ialah matematika dan di antara yang klasik
elementer adalah sebagai berikut (seperti sudah dijelaskan di dalam logika di atas):
a = b (premis-1)
b = c (premis-2)
a = c (kesimpulan)
Jelas tidak ada kejutan yaitu a = c itu adalah konsekwensi dari dua pengetahuan yang
sudah diketahui sebelumnya (a=b, dan b=c).

b. Kriteria Kebenaran Logika Induktif


Seperti halnya dengan logika deduktif, bentuk penalaran induktif terdiri dari
dua atau lebih landasan pendukung yang disebut evidensi atau premis, ditambah
kesimpulan yang ditarik dari premis-premis tersebut. Dalam hal ini premis-premis
berfungsi sebagai fakta, sedangkan kesimpulan menjelaskan-nya. Perlu diingatkan,
bahwa berbeda dengan penalaran deduktif di mana premis mendukung kesimpulan di
antara keduanya sekaligus terdapat hubungan yang logis, maka tidak demikian halnya
dengan penalaran induktif. Pada penelaran induktif, premis memang menopang
kesimpulan, namun tidak perlu adanya hubungan logis di antara keduanya. Bila
kesimpulaan dduktif dapat dipastikan, maka kesimpulan induktif bersifat tentatif atau
sementara, sebagai peluang, sehingga bersifat probabilistik.
Ciri khas penalaran induktif adalah bahwa dari masing-masing premis yang
bersifat khusus, ditarik kesimpulan yang berupa generalisasi atau bersifat umum.
Berdasarkan contoh berikut yang termasuk salah satu contoh klasik, tidak tampak
main-main olah kata seperti pada penelaran deduktif, melinkan lebih realistik.
Premis-1 : Besi bila dipanasi memuai
Premis-2 : Tembaga dipanasi memuai

39
Premis-3 : Timah dipanasi memuai
Premis 4 : Perak dipanasi memuai
Kesimpulan : Semua logam dipanasi memuai.

Generalisasi semua logam, jelas tidak mewakili seluruh populasi, sebab hanya
didasarkan atas empat observasi terhadap besi, tembaga, timah, dan perak, jadi tidak
semua logam. Oleh karena itu kesimpulan yang ditariknya hanya bersifat peluang,
probabilistik atau sementara.
Perbedaan prinsipil antara penalaran deduktif dengan penalaran induktif
terletak pada kesimpulan yang ditariknya, yaitu bersifat pasti pada kesimpulan
deduktif dan bersifar probabilistik pada kesimpulan induktif. Adapun persamaannya
terletak pada inferensi atau penarikan kesimpulan yang didasarkan atas premis yang
mendahuluinya.

c. Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah


Penggunaan sesuatu sarana akan lebih bermakna bila dihayati fungsi
spesifiknya. Demikian pula halnya bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah dalam
menerapkan metode ilmiah dalam memperoleh pengetahuan secara ilmiah.
Dalam membandingkan manusia dengan binatang yang sama-sama mahluk
hidup, maka manusia mempunyai keunggulan kemampuam berpikir dan berbahasa.
Ada yang mengatakan bahwa keunikan manusia tidak semata-mata terletak pada
kemampuan berpikirnya, melainkan pada kemampuannya dalam berbahasa. Dalam
hal ini binatang akibat tidak diberkahinya dengan bahasa yang sempurna seperti yang
dimiliki oleh manusia, maka tidak mampu berpikir yang kondusif untuk
mengakumulasikan pengetahuan-pengetahuannya berupa ilmu sebagaimana yang
dikomunikasi-kan oleh manusia dari generasi ke generasi. Dengan kemampuan
berbahasa, disamping ilmu juga nilai-nilai budaya berlangsung dinamis dari generasi
ke generasi.
Dengan bahasa, manusia dimungkinkan untuk berpikir secara abstrak dengan
mentransformasikan gejala alam atau gejala sosial sebagai objek faktual menjadi
lambang bahasa yang abstrak melalui kata-kata. Untuk setiap objek faktual yang

40
diabstraksi diberi lambang bahasa tersendiri, berupa kata tertentu, yang setelah
dikomunikasikan mendapat kesepakatan mempunyai konotasi yang sama. Mula-mula
berupa kata dari bahasa sehari-hari, namun kemudian untuk komunikasi ilmiah,
menjadi istilah. Selama hayat dikandung badan, manusia mengumpulkan lambang-
lambang, sehingga tersusun perbendaharaan kata yang makin kaya. Dan melalui
perbendaharaan kata itu manusia berkomunikasi menfenai segenap pengalaman,
pengetahuan, pemikiran, sikap, dan perasaan. Dengan lain perkataan, dalam bahasa
komunikasi itu terkandung asfek informatif dan asfek emotif yang di dalam
prakteknya kedua macam aspek ini sulit untuk dipisahkan sepenuhnya secara tegas,
jadi informasi tercampur unsur emotif dan sebaliknya emosi mengandung unsur
informatif. Contoh sepenuhnya dari masing-masing aspek adalah seperti buku telpon
yang mewakili informatif tanpa unsur emotif, sedang musik mewakili aspek emotif
tanpa unsur informatif.
Dalam telaahan lebih lanjut, bahasa mengkomunikasikan buah pikiran,
perasaan, emotif, dan efektif, yang terutama menonjol dalam interaksi kehidupan
sosial-budaya. Sedang dalam komunikasi ilmiah dicanangkan terbebas dari dari unsur
emotif dan estetik , agar menonjol dengan unsur simbolik informstik, sehingga pesan-
pesan yang disampaikan dapat diterima secara reproduktif (identik).
Salah satu cara dalam mengkomunikasi ilmiah agar bersifat jelas dan obyektif,
bebas dari emotif dan estetik, ialah dengan menggunakan kata-kata yang secara
tersurat dan eksplisit jelas artinya, yaitu berupa definisi-definisi. Disamping
mengkomunikasikan pendapat atau buah pikiran secara jelas, karya ilmiah pada
asasnya merupakan kumpulan pernyataan yang menyampaikan informasi tentang
pengetahuan dan alur-alur jalan pikiran dalam memperoleh pengetahuan tersebut.
Agar komunikasi ilmiah itu bersifat efektif, maka harus memiliki keterpaduan
penguasaan materi ilmiah dengan penguasaan tata bahasa serta gaya bahasa yang
meluncur dan komunikatif. Ini berarti bahwa ilmuwan juga berkewajiban agar
mampu berkomunikasi dengan bahasa yang baik dan benar. Jadi tidak semata-mata
menguasai logika ilmu, melainkan juga logika bahasa.

41
3. 5. Sumber Pengetahuan
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penelarannya
mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar.
Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pertanyaan: bagaimanakah caranya kita
mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara yang
pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama
adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada
pengalaman. Kaum rasoinalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan
rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman
mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari idea yang
menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Idea ini menurut mereka bukanlah
ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha
memikirkan. Paham ini dikenal dengan nama idelisme. Fungsi pikiran manusia
hanyalah mengenali prinsip tersebut yang kemudian menjadi pengetahuannya. Prinsip
itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat
kemempuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan
justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran
rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam
sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa idea bagi kaum rasionalis adalah
bersifat apriori dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran
rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenal kriteria
untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu idea yang menurut seseorang adalah
jelas dan dapat dipercaya. Idea yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat
dipercaya, namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja bagi si B menyusun
sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan sistem pengetahuan si A karena si
B mempergunakan idea lain yang bagi si B merupakan prinsip yang jelas dan dapat
dipercaya. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari
kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penelaran deduktif. Karena premis-

42
premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan
terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab
itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan
mengenai satu objek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh
semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat
solipsistik (hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak
orang yang berpikir tersebut) dan subyektif.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak
namun lewat penalaran yang kongkrit. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum
empiris adalah bersifat kongkrit dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera
manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut mempunyai karakteristik tertentu
umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu
benda padat kalau dipanaskan akan memanjang. Langit mendung diikuti dengan
turunnya hujan. Demikian seterusnya dimana pengamatan kita akan membuahkan
pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Disamping
itu kita melihat adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan dan pengulangan
umpamanya saja bermacam-macam logam kalau kita panaskan akan memanjang. Hal
ini memungkinkan kita untuk melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang
telah terjadi. Dengan menggunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan
yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang
bersifat individual.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini
ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu
kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin
saja terdapat hal-hal yang kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan
antara berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang
sistematis.
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan
gejala yang tertangkap oleh pancaindera. Hal ini membawa kita kepada dua masalah.
Pertama, sekiranya kita mengetahui dua fakta yang nyata, umpamanya rambut kriting

43
dan intelensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenai kaitan antara kedua
fakta tersebut? Apakah rambut keriting dan intelegensi manusia mempunyai kaitan
satu sama lain dalam hubungan kausalita? Sekiranya kita mengatakan tidak,
bagaimana kalau penalaran induktif mengatakan sebaliknya?
Disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk
mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi
dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional maupun
secara empiris kedua-duanya merupakan dari sebuah penalaran. Intuisi merupakan
pengetahuan yang didapatkan tanpa melaui proses penalaran tertentu. Seseorang yang
sedang terpusat pikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban
atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba
saja dia sudah sampai disitu. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya
muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu. Atau bisa juga,
intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas
suatu permasalahan ditemukan tidak pada waktu orang tersebut secara sadar sedang
menggeluitnya. Suatu masalah yang kita sedang pikirkan, yang kemudian kita tunda
karena menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul dibenak kita yang lengkap dengan
jawabannya. Kita merasa yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun
kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai ke sana.
Kegiatan intuitif ini sangat bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat
diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis
selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya.
Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dalam menemukan
kebenaran.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada
manusia. Penetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang jaman.
Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang
terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat
transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan kemudian hari diakhirat
nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib

44
(supranatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan,
kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai
cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan
merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk
dapat diterima. Pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode yang lain.
Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang
terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Dipihak lain, secara empiris
bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak.
Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya
kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu
umpamanya, bertitik tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan
setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada
pendirian semula.

45
DAFTAR PUSTAKA

Anonim (1983) Materi Dasar Pendidikan Akta Mengajar V. Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan. Jakarta.
Atmadilaga, D. (1997) Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi. Pionir Jaya.
Bandung.
Bakhtiar, A. (2010) Filsafat Ilmu. Edisi 4. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lanur, A. (1983) Logika: Selayang Pandang. Kanisius, Yogyakarta.
Nasution, A.H. (1992) Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah Bagi Remaja.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Rapar, J.H. (1996) Pengantar Logika. Kanisius. Yogyakarta.
Salam, B. (1995) Pengantar Filsafat. Bumi Aksara. Jakarta.

46

Anda mungkin juga menyukai