Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Gagal Nafas

1. Definisi

Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup

masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung dan

otak, membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan baik.

Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat

membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida

dalam darah dapat membahayakan organ tubuh (National Heart, lung,

2011).

Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah yang

tidak adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan PH, PO2, dan

PCO2, darah arteri dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa

atau disertai hiperkapnia (Arifputera, 2014).

2. Klasifikasi gagal nafas

Menurut Syarani (2017), gagal nafas dibagi menjadi dua yaiitu gagal

nafas tipe I dan gagal nafas tipe II.

a. Gagal nafas tipe I

Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi

darah, ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau

menurun. Gagal napas tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner dan

10
11

tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme

terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat:

1) Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah

mengalir ke bagian paru yang ventilasinya buruk atau rendah.

Keadaan ini paling sering. Contohnya adalah posisi (terlentang

di tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli paru,

dysplasia bronkupulmonal.

2) Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane

alveolar atau pembentukan cairan interstitial pada sambungan

alveolar-kapiler. Contohnya adalah edema paru, ARDS,

pneumonia interstitial.

3) Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area

paru-paru yang tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya

adalah malformasi arterio-vena paru, malformasi adenomatoid

kongenital.

b. Gagal nafas tipe II

Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan

CO2, pada umumnya disebabkan olehkegagalan ventilasi yang

ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia)

disertai dengan penurunan PH yang abnormal dan penurunan PaO2

atau hipoksemia.

Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena

kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan


12

ekstrapulmonal dapat disebabkan karena penekanan dorongan

pernapasan sentral atau gangguan pada respon ventilasi.

Menurut Black and Hawks (2014), pada pasien gagal nafas akut

diklasifikasikan menjadi dua yaitu gagal nafas hipoksemia dan gagal

nafas ventilasi atau hiperkapnia.

a. Gagal nafas hipoksemia

Gagal nafas hipoksemia dapat disebabkan masalah difusi seperti

edema paru, nyaris tenggelam, sindrom gawat nafas (akut) dewasa

(adult/acute respiratory distress syndrome), masalah lokal seperti

pneumonia, pendarahan rongga dada dan tumor paru

b. Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia

Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia adalah ketika klien tidak

dapat mendukung pertukaran gas yang adekuat, menyebabkan

kenaikan kadar PaCO2 yang berakibat pada deprsi susunan saraf

pusat, ketidakmampuan neuromuscular untuk mempertahankan

pernafasan atau bebabn berlebih pada sistem pernafasan.

3. Etiologi

Etiologi gagal napas sangat beragam tergantung jenisnya. Gagal napas

dapat disebabkan oleh kelainan paru, jantung, dinding dada, otot

pernapasan, atau medulla oblongata. Berbagai penyebab gagal napas

dapat dilihat pada Tabel 2.1


13

Tabel 2.1
Penyebab gagal nafas berdasarkan tipe gagal nafas

Gagal nafas tipe I Gagal nafas tipe II


Asma akut Kelainan paru Kelainan SSP
ARDS Asma akut berat Koma
Pneumonia Obstruksi saluran Peningkatan TIK
napas akut
Emboli Paru PPOK Cedera kepala
Fibrosis Paru OSA Opioid dan obat
sedasi
Edema paru Bronkiektasis Kelainan
neuromuscular
PPOK Kelainan dinding dada Lesi medula spinalis
(trauma, polio atau
tumor)
Emfisema Flail chest Gangguan nervus
perifer(Sindrom
guillan-Barre atau
difteri)
Ruptur diafragma Gangguan
neuromuscular
junction (miastemia
gravis, botulisme,
pelemas otot)
Kifoskoliosis Distrofi muscular
Distensi abdomen
(asites,
hemoperioneum)
Obesitas
Sumber : Arifputra (2014)

Beberapa mekanisme timbulnya gagal napas pada beberapa penyakit

adalah sebagai berikut:

a. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan Asma

Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran

napas, fibrosis, destruksi parenkim membuat area permukaan

alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu


14

menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2

(Sundari, 2013).

b. Pneumonia

Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu

reaksi inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area

permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru

secara kontinu menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan

eliminasi CO2 (Sundari, 2013).

c. TB Pulmonal

Pelepasan besar mycobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan

terjadi peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membrane

alveolokapiler, sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu

(Raina et al., 2013).

d. Tumor paru

Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat

ventilasi dan perfusi tidak adekuat (American Association for

Respiratory Care, www.aarc.org American Lung Association,

2009).

e. Pneumotoraks

Pneumotoraks adalah adanya udara di dalam ruang pleura yang

menghalangi ekspansi paru sepenuhnya. Ekspansi paru terjadi jika

lapisan pleura dari dinding dada dan lapisan visera dari paru-paru

dapat memelihara tekanan negative pada rongga pleura. Ketika


15

kontinuitas sistem ini hilang, paru akan kolaps, menyebabkan

pneumothoraks (Black and Hawks, 2014).

f. Efusi Pleura

Efusi pleura adalah penumpukan cairan pada rongga pleura. Cairan

pleura normalnya merembes secara terus-menerus ke dalam rongga

dada dari kapiler-kapiler yang membatasi pleura parietalis dan

diserap ulang oleh kapiler dan sistem limfatik pleura viseralis.

Kondisi apapun yang mengganggu sekresi atau drainase dari cairan

ini akan menyebabkan efusi pleura (Black and Hawks, 2014).

4. Patofisiologi

Menurut Black and Hawks (2014), patofisiologi gagal nafas hipoksemia

dan Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia adalah sebagai berikut :

a. Gagal nafas hipoksemia

Pada gagal nafas hipoksemia salaha satu penyebabnya dalah edema

paru yang dapat diakibatkan bebererapa penyakit seperti acute

respiratory distress syndrome (ARDS). Normalnya cairan bergerak

dari ruang intertisial pada ujung arteri kapiler sebagai hasil dari

tekanan hidrostatik di pembuluh darah, dan kembali ke ujung vena

kapiler karena adanya tekanan onkotik dan peningkatan tekanan

hidrostatik intertisial. Pergerakan cairan dalam paru tidak berbeda,

sering ditemukan cairan di ruang intertisial paru. Normalnya cairan

tersebut keluar dari sirkulasi mikro dan masuk ke intertisial untuk

menyediakan nutrisi pada sel-sel paru.


16

Peningkatan tekanan hidrostatik di pembuluh darah paru

menyebabkan ketidakseimbangan gaya starling, mnyebabkan

peningkatan filtrasi cairan ke ruang intertisial paru sehingga mlebihi

kemampuan kapasitas jaringan limfatik untuk menyalurkan cairan

tersebut. Meningkatkan volume kebocoran k ruang alveolus. Sistem

limfatik berusaha mengkompensasi hal trsebut dengan

mengeluarkan cairan intertisial yang berlebih ke kelenjar getah

being hilus dan kembali ke sistem vaskuler. Bila jalur tersebut

terganggu, cairan bergerak dari intertisial pleura ke dinding

alveolus. Hipoksemia terjadi ketika membran alveolus menebal oleh

cairan, menghambat pertukaran oksigen dan CO2. Dengan cairan

menumpuk diintertisial dan ruang alveolus menurunkan daya

kembang paru dan difusi oksigen terganggu.

b. Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia

Ventilasi alveolus dijaga oleh susuan syaraf pusat (SSP) melalui

saraf dan otot pernafasan untuk mengontrok pernafasan. Kegagalan

ventilasi alveolus menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi

yang mengakibatkan hiperkapnia (kenaikan kadar CO2), dan

akhirnya terjadi asidosis. Bila tidak ditangani gagal ventilasi akut

dapat menyebabkan kematian.

Pada gagal ventilasi akibat obstruksi, tekanan residu diparu

mengganggu proses inhalasi dan meningkatkan beban kerja

pernafasan. ketika volume alveolus ekspirasi akhir tetap brada diatas


17

titik penutupan kritisnya, alvelous tetap terbuka dan berfungsi,

memungkinkan oksigen untuk berdifusi kedalam aliran darah. Jika

volume alveolus lebih rendah dari titik penutupan, alveolus akan

kolaps. Kolapsnya alveolus menyebabkan tidak ada aliran darah dan

oksigen yang masuk ke alveolus. Pada gagal ventilasi akut , volume

rsidu dan kapasitas resdiu fungsional munurun, menyebabkan

perfusi tanpa oksigenasi dan penurunan daya kembang.

5. Manifestasi Klinis

Menurut Arifputra (2014) Dikatakan gagal napas jika memenuhi salah

satu keriteria yaitu PaO2 arteri <60 mmHg atau PaCO2>45 mmHg,

kecuali peningkatan yang terjadi kompensasi alkalosis metabolic. Selain

itu jika menurut klasifikasinya sebagi berikut :

a. Gagal napas hipoksemia

Nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan nilai normal

atau rendah. Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia

arteri dan hipoksia jaringan, antara lain:

1) Dispneu (takipneu, hipeventilasi)

2) Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat

3) Sinosis di distal dan sentral (mukosa,bibir)

4) Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi

5) Hipotensi , bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga

gagal jantung dapat terjadi pada hipoksia berat


18

b. Gagal napas hiperkapnia

Kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam alveolus menyebabkan pO2

alveolus dari arteri turun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh

gangguan di dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak.

Contoh pada PPOK berat, asma berat, fibrosis paru stadium akhir,

ARDS berat atau landry guillain barre syndrome. Gejala

hiperkapnia antara lain penurunan kesadaran, gelisah, dispneu

(takipneu, bradipneu), tremor, bicara kacau, sakit kepala, dan papil

edema.

6. Pemeriksaaan penunjang

Menurut Syarani (2017), adapun pemeriksaaan penunjang untuk pasien

dengan gagal anafs adalah sebagai berikut :

a. Laboratorium

1) Analisa Gas Darah

Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik.

Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas

darah harus dilakukan untuk memastikan diagnosis,

membedakan gagal napass akut dan kronik. Hal ini penting

untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan

mempermudahkan peberian terapi. Analisa gas darah dilakukan

untuk patokan terapi oksigen dan penilian obyektif dalam berat

- ringan gagal napas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk

peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju


19

pernapasan. Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan

menilai gangguan respirasi akibat neuromuscular, misalnya

pada sindroma guillain-barre, dimana kapasitas vital berkurang

sejalan dengan peningkatan kelemahan. Interpretasi hasil

analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan

keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan.

2) Pulse Oximetry

Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan

melalui aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di

dapatkan berupa saturasi oksigen yang kontinyu dan non-

invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga atua

jari tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer

yang kecil, tidak akurat. Hubungan antara saturasi oksigen

dantekanan oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi

oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu

maka penurunan tekanan oksigen akan lebih menurunkan

saturasi oksigen.

3) Capnography

Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi

kadar karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya

antara lain untuk kofirmasi intubasi trakeal, mendeteksi

malfungsi apparatus serta gangguan fungsi paru.


20

b. Radiologi

1) Radiografi Dada

Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya

gagal napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema

pulmoner kardiogenik dan nonkardiogenik

2) Ekokardiografi

Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya

dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena

penyakit jantung. Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan

dinding dada yang abnormal atau regurgitasi mitral berat

menunjukkan edema pulmoner kardiogenik, Ukuran jantung

yang normal, fungsi sistolik dan diastolik yang normal pada

pasien dengan edema pulmoner menunjukkan sindromdistress

pernapasan akut. Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan

dan tekanan arteri pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan

gagal napas hiperkapnik kronik.

3) Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas

kronik

Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan

forced vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya

gangguan di pusat control pernapasan. Penurunan rasio FEV1

dan FVC menunjukkan obstruksi jalan napas, penurunan nilai

FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap menunjukkan


21

penyakit paru restriktif. Gagal napas karena obstruksi jalan

napas tidak terjadi jika nilai FEV1 lebih dari 1 L dan gagal

napas karena penyakit paru restriktif tidak terjadi bila nilai FVC

lebih dari 1 L.

7. Komplikasi

Komplikasi kegagalan pernapasan akut dapat berupa penyakit paru,

kardiovaskular, gastrointestinal (GI), penyakit menular, ginjal, atau

gizi.Komplikasi GI utama yang terkait dengan gagal napas akut

adalah perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan

pneumoperitoneum. Infeksi nosokomial, seperti pneumonia, infeksi

saluran kemih, dan sepsis terkait kateter, sering terjadi komplikasi

gagal napas akut.Ini biasanya terjadi dengan penggunaan alat

mekanis. Komplikasi gizi meliputi malnutrisi dan pengaruhnya

terhadap kinerja pernapasan dan komplikasi yang berkaitan dengan

pemberian nutrisi enteral atau parenteral (Kaynar, 2016).

Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru,

barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan

dengan mesin dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas

juga banyak menimbulkan komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri,

hipotensi, barotrauma, komplikasi yang ditimbulkan oleh

dipasangnya intubasi trakhea adalah hipoksemia cedera otak, henti

jantung, kejang, hipoventilasi, pneumotoraks, atelektasis. Gagal


22

napas akut juga mempunyai komplikasi di bidang gastrointestinal

yaitu stress ulserasi, ileus dan diare (Putri, 2013).

Kardiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan

curah jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal.Komplikasi

pada ginjal dapat menyebabkan acute kidney injury dan retensi

cairan. Resiko terkena infeksi pada pasien gagal napas juga cukup

tinggi yaitu infeksi nosokomial, bakteremia, sepsis dan sinusitis

paranasal (Putri, 2013).

8. Penatalaksanaan

Jika tekanan parsial oksigen kurang dari 70 mmHg, oksigen harus

diberikan untuk meningkatan saturasi mayor yaitu 90%. Jika tidak

disertai penyakit paru obstruktif, fraksi inspirasi O2 harus lebih besar dari

0,35. Pada pasien yang sakit parah, walaupun pengobatan medis telah

maksimal, NIV (Noninvasive ventilation) dapat digunakan untuk

memperbaiki oksigenasi, mengurangi laju pernapasan dan mengurangi

dyspnoea. Selain itu, NIV dapat digunakan sebagai alternatif intubasi

trakea jika pasien menjadi hiperkapnia (Forte et al., 2006).

Sedangkan menurut Gallo et, all (2013), penatalaksanaan pada gagal

nafas adalah

a. Memasang dan mempertahankan jalan nafas yang adekuat

b. Meningkatkan oksigenasi

c. Koreksi gangguan asam basa

d. Memperbaiki kesimbangan cairan dan elektrolit


23

e. Mengidentifikasi dan terapi kondisi mendasar yang dapat dikoreksi

dan pnyebab presipitasi

f. Pencegahan dan deteksi dini komplikasi potensial

g. Memberikan dukungan nutrisi

h. Pengkajian periodeik mengenai proses, kemajuan dan respon

terhadap therapy

i. Determinasi kebutuhan akan ventilasi mekanis

Menurut Black and Hawks (2014), pada penggunanan ventilasi

mekanis atau ventilator, jenis ventilator yang digunakan adalah

bertekanan positif dan bukan tekanan negative, dengan tujuan untuk

memaksa udara masuk kedalam apru-paru. Tekanan posisif

diprlukan untuk pertukaran gas dan untuk menjaga alveolus tetap

terbuka.

B. Ventilasi Mekanik

1. Definisi Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik adalah alat bantu nafas yang memberikan bantuan

nafas dengan cara membantu sebagian atau mengambil alih semua fungsi

pernafasan guna untuk mampertahankan hidup (Manjoer, 2010).

2. Fisiologi Pernafasan Pada Ventilasi Mekanik

Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot-otot

interkostalis, rongga dada mengembang karena terjadi tekanan negatif

sehingga aliran udara masuk ke paru-paru sedangkan fase ekspirasi


24

berjalan secara pasif, pada pernafasan ventilasi mekanik mengirimkan

udara dengan memompa ke paru- paru pasien sehingga tekanan selama

inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal

meningkat pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorak paling

positif (Sheen, 2009).

3. Indikasi Pemasangan Pada Ventilasi Mekanik

Indikasi pemasangan ventilasi mekanik adalah pada pasien yang

mengalami gagal nafas, henti jantung paru, trauma (terutama kepala,

leher, dan dada), gangguan kardiovaskular (stroke, tumor, infeksi,

emboli, trauma), penyakit neuromuskuler (guillainebare syndrome,

poliomylitis, myastenia), peningkatan tahanan jalan pernafasan (asma

berat) (Mansjoer, 2010).

4. Tujuan Ventilasi Mekanik

Manjoer (2010), mengatakan ventilasi mekanik bertujuan untuk:

a. Mengatasi hipoksemia

b. Mengatasi asidosis pernapasan akut

c. Meringankan gangguan pernapasan

d. Mencegah atelektasis

e. Mengistirahatkan otot-otot pernafasan

5. Cara Kerja Ventilasi Mekanik

Cara kerja ventilasi mekanik secara umum di bagi atas 2 (dua) menurut

Muhiman, (2001) yaitu ventilator tekanan negatif dan ventilator tekanan

positif. Ventilator tekanan negatif adalah membuat tekanan negatif di


25

sekeliling dada sehingga udara masuk paru-paru. Ventilator tekanan

positif adalah membuat tekanan positif dalam jalan nafas sehingga udara

masuk paru-paru. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif yaitu

siklus tekanan (pressure cycle), siklus waktu (time cycle), siklus volume

(volume cycle)

6. Mode Ventilator

Menurut Gallo (2013), model ventilator pada tekanan positif adalah

sebagai berikut :

a. Model volume

1) Model assist-Control (A/C)

Pada model A/C, jika pasien ingin bernafas lebih cepat, ia dapat

memicu ventilator tersebut dan menerima pernafasan dengan

volume penuh.

2) Model Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV)

Pada model SIMV, kita mengatur frekuaensi prnafasan dan

volume tidal. Jika pasien ingin bernafasa melebihi frekuensi

tersebut, pasien dapat melakukannya. Meski demikian, berbeda

dengan model A/C, setiap pernafasan yang diambil melebihi

frekuensi yang telah diatur merupakan pernafasan spontan yang

diambil melalui sirkuit ventilator.


26

b. Model tekanan

1) Model Pressure-Support Ventilation (PSV)

Model PSV memperbesar atau membantu upaya pernafsan spontan

dengan menghantarkan aliran gas yang tinggi menuju level

tekanan yang telah dipilih pada awal inspirasi, dan

mempertahankan level tersebut di sepanjang fase inspirasi.

2) Model ventilasi tekanan terkontrol (Pressure-Controlled

Ventilation)

Model PCV digunakan untuk mengontrol tekanan plateu pada

beberapa kondisi seperti ARDS, yakni ketika komplians paru

menurun dan beresiko tinggi terjadi barotrauma.

3) Model Volume-guaranteed Pressure Option (VGPO)

Model VGPO menjamin hantaran volume tidak yang diintruksikan

pada saat menggunakan pola aliran melambat melalui pernafasan

“tekanan”. Pilihannya melalui parameter spontan dan parameter

laju control dan jaminan volume diberikan dengan cara berbeda

bergantung pada ventilator yang digunakan.

4) Model Continous Positive Airway Pressure (CPAP)

CPAP membantu pasien yang bernafas spontan untuk

meningkatkan oksigenasi dengan memperbesar tekanan akhir

ekspirasi paru disepanjang siklus pernafasan.

5) Model Noninvasif Bilevel Airway Pressure Ventilation (BiPAP)


27

BiPAP adalah suatu bentuk ventilasi mekanis noninvasive yang

terdiri dari sungkup hidung, prong hidung atau sungkup wajah

penuh. Alat ini digunakan pada pengobatan pasien dengan

insufisieni pernafasan kronis untuk mengatasi gagal nafas akut

atau kronis.

7. Komplikasi Ventilasi Mekanik

Ada beberapa komplikasi ventilasi mekanik, antara lain (Sheen, 2009).

a. Risiko yang berhubungan dengan intubasi endotrakea, termasuk

kesulitan intubasi, sumbatan pipa endotrakea oleh sekret.

b. Intubasi endotrakea jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan

laring terutama pita suara dan trakea. Umumnya setelah 14 hari

dilakukan trakeostomi.

c. Gas ventilasi dapat menyebabkan efek mengeringkan jalan napas

dan retensi sekret dan mengganggu proses batuk sehingga dapat

menimbulkan infeksi paru-paru.

d. Masalah-masalah yang berhubungan dengan pemberian sedasi dan

anestesi yang memiliki efek depresi jantung, gangguan pengosongan

lambung, penurunan mobilitas dan memperlama proses pemulihan.

e. Gangguan hemodinamik terutama pada penggunaan tekanan tinggi

yang dapat mengurangi venous return, curah jantung dan tekanan

darah sehingga mengurangi aliran darah ke saluran pencernaan dan

ginjal.

f. Barotrauma dan volutrauma


28

8. Perawatan pada pasien terpasang ventilasi mekanik

Menurut Gallo (2013), perawatan pada pasien yang terpasang ventilasi

mekanik yaitu untuk mencapai hasil perawatan yang maksimal terhadap

berbagai gangguan, yaitu :

a. Oksigenasi/ventilasi : jalan nafas tetap paten, auskultasi paru bersih,

pasien tidak menunjukkan tanda-tanda atelektasis, tekanan puncak,

arta-rata dan plateu berada dalam batas normal serta nilai AGD

dalam batas normal

b. Sirkulasi/perfusi : tekanan darah denyut jantung, curah jantung

tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis tetap stabil pada

ventilasi mekanis.

c. Cairan dan elektrolit : pengukuran asupan dan keluaran seimbang,

nilai elektrolit dalam batas normal

d. Imobilitas : pasien akan mempertahankan/mencapai status

fungsional dasar terkait mobilitas, perawatan diri dan rentang gerak

sendi diprtahankan

e. Keselamatan : slang endotrkhea tetap pada posisi yang benar, inflasi

balon slang endotkhea tetap sesuai dan sistem alarm ventilator tetap

aktif

f. Integritas kulit : pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan

kulit

g. Nutrisi : asupan nutrisi memenuhi perhitungan kebutuhan metabolik

dan pola BAB teratur


29

h. Kenyamanan/nyeri : berkurangnya ketidaknyamanan/nyeri pada saat

menggunakan ventilasi mekanis

i. Psikososial : berpartisipasi dalam perawatan dan berkomunikasi

dngan penyedia layanan kesehatan dan pengunjung

j. Penyuluhan/rencana pemulangan : pasien bekerja sama dan

menunjukkan pemahaman mengenai kebutuhan akan ventilasi

mekanis dan pengkajian potensi kebutuhan pemulangan.

C. Hemodinamik Pada Pasien Yang Terpasang Ventilator

1. Definisi Hemodinamik

Hemodinamik adalah pemeriksaan aspek fisik sirkulasi darah, fungsi

jantung dan karakterisitik fisiologis vaskular perifer (Mosby 1998,

dalam Jevon dan Ewens 2009). Tujuan pemantauan hemodinamik adalah

untuk mendeteksi, mengidentifikasi kelainan fisiologis secara dini dan

memantau pengobatan yang diberikan guna mendapatkan informasi

keseimbangan homeostatik tubuh. Pemantauan hemodinamik bukan

tindakan terapeutik tetapi hanya memberikan informasi kepada klinisi

dan informasi tersebut perlu disesuaikan dengan penilaian klinis pasien

agar dapat memberikan penanganan yang optimal. Dasar dari

pemantauan hemodinamik adalah perfusi jaringan yang adekuat, seperti

keseimbangan antara pasokan oksigen dengan yang dibutuhkan,

mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan keseimbangan elektro kimiawi

sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamik berupa


30

gangguan fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan

tepat akan jatuh ke dalam gagal fungsi organ multipel (Jevon & Ewens.

(2009).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hemodinamik

Faktor-faktor yang mempengaruhi hemodinamik pasien ICU

antara lain adalah (Jevon & Ewens, 2009):

a. Penyakit

Penyakit yang dapat mempengaruhi hemodinamik pasien seperti

adanya gangguan pada organ jantung, paru-paru, ginjal dimana

pusat sirkulasi melibatkan ketiga organ tersebut terutama jika terjadi

di sistem kardiovaskular dan pernafasan. Pada penyakit jantung

prubahan dalam curah jantung dapat terjadi sebagai akibat ventilator

tekanan positif tekanan intrathorak positif selama inspirasi menekan

jantung dan pembuluh darah besar sehingga mengurangi arus balik

vena dan curah jantung (Smeltzer & Bare 2002).

b. Obat-obatan/terapi seperti analgesik dan sedasi dapat mempengaruhi

status hemodinamik, contohya adalah morfin dimana obat tersebut

dapat meningkatkan frekuensi pernafasan.

c. Status psikologi yang buruk atau psychological distress tentu saja

akan mempengaruhi hemodinamik, karena respon tubuh ketika stres

memaksa jantung untuk bekerja lebih cepat.

d. Aktifitas yang berlebih akan meningkatkan kerja jantung, dan hal

tersebut akan mempengaruhi status hemodinamik.


31

e. Mode Ventilator

Mode ventilator yang digunakan mempengaruhi hemodinamik

karena setiap mode memiliki fungsi masing-masing salah satunya

melatih/memaksa pasien untuk bernafas secara spontan. Pengaturan

mode ventilator akan berpengaruh terhadap volume tidal dan

volume menit yang diberikan pad pasien. Pada mode volume control

pasien tidak diberikan kesempatan untuk bernafas secara spontan

dan frekuensi nafas diatur oleh mesin ventilasi mekanik yang

dipakai. Indikasi pnggunaan mode ini antara lain : pasien yang

melawan pernafasan ventilator, terutama saat pertama kali

menggunakan ventilator, pasin tetanus atau kejang yang dapat

menghentikan hantaran gas ventilator dan pasien yang sama sekali

tidak ada trigger nafas, sering pada pasien dngan cedar kepala berat

(Purnawan et,all, 2010).

3. Pemantauan hemodinamik

a. Invasif

Pemantauan parameter hemodinamik invasif dapat dilakukan

pada arteri, vena sentral ataupun arteri pulmonalis. Metode

pemeriksaan tekanan darah langsung di intrarterial adalah mengukur

secara aktual tekanan dalam arteri yang dikanulasi, yang hasilnya

tidak dipengaruhi oleh isi atau kuantitas aliran darah. Kanulasi di

vena sentral merupakan akses vena yang sangat bermanfaat pada

pasien sakit kritis yang membutuhkan infus dalam jumlah besar,


32

nutrisi parenteral dan obat vasoaktif. Sistem pemantauan

hemodinamik terdiri dari 2 kompartemen: elektronik dan pengisian

cairan (fluid-filled). Parameter hemodinamik dipantau secara invasif

sesuai azas dinamika sistem pengisian cairan. Pergerakan cairan

yang mengalami suatu tahanan akan menyebabkan perubahan

tekanan dalam pembuluh darah yang selanjutnya menstimulasi

diafragma pada transducer. Perubahan ini direkam dan diamplifikasi

sehingga dapat dilihat pada layar monitor. Sistem cairan dengan

manometer air: kateter dilekatkan pada saluran yang terisi penuh

dengan cairan, terhubung dengan manometer air yang sudah

dikalibrasi.

Teknik yang sangat sederhana, sejatinya bermula dibuat untuk

mengukur tekanan vena sentral (Central Venous Pressure). Sistem

serat fiber: probe dengan transducer di ujungnya diinsersi pada

daerah yang akan dipantau (misalnya ventrikel). Sinyal akan dikirim

ke layar monitor melalui serat optik. Sistem ini tidak tergantung

pada dinamika cairan. Dibandingkan dengan sistem pengisian

cairan, pengoperasiannya lebih mudah hanya harganya mahal.

Sistem pengisian cairan yang digabung dengan transducer/amplifier:

tekanan pulsatil pada ujung kateter ditransmisikan melalui selang

penghubung ke diafragma pada transducer. Sinyal ini akan

diamplifikasi dan pada layar monitor dapat tersaji secara kontinu

dengan gelombang yang real-time. (Anonim, 2017)


33

b. Non invasif

Menurut Marik dan Baram (2007) parameter non invasif yang

sering digunakan untuk menilai hemodinamik pasien adalah:

1) Pernafasan

Frekuensi pernapasan atau RR pada pasien yang menggunakan

ventilasi mekanik ditentukan pada batas atas dan batas bawah.

Batas bawah ditentukan pada nilai yang dapat memberikan

informasi bahwa pasien mengalami hipoventilasi dan batas atas

pada nilai yang menunjukkan pasien mengalami hiperventilasi.

Pengaturan RR pada pasien disesuaikan dengan usia pasien

(Sundana, 2008). Frekuensi pernapasan normal pada usia

neonates: 30 sampai dengan 60 kali/menit, 1 bulan sampai 1

tahun: 30 sampai dengan 60 kali/menit, 1 sampai 2 tahun: 25

sampai dengan 50 kali/menit, 3 sampai 4 tahun: 20 sampai

dengan 30 kali/menit, 5 sampai 9 tahun dan usia lebih dari 10

tahun: 15 sampai dengan 30 kali/menit. Pada pasien dewasa

lebih sering digunakan pada angka 12-24x/menit (Matondang,

Wahidiyat & Sastroasmoro, 2009).

2) Saturasi oksigen

Pemantauan Saturasi oksigen menggunakan pulse oximetry

untuk mengetahui prosentase saturasi oksigen dari hemoglobin

dalam darah arteri. Pulse oximetry merupakan salah satu alat

yang sering dipakai untuk observasi status oksigenasi pada


34

pasien yang portable, tidak memerlukan persiapan yang

spesifik, tidak membutuhkan kalibrasi dan non invasif. Nilai

normal Saturasi oksigen adalah 95-100% (Fergusson, 2008).

3) Tekanan darah

Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan dinding arteri

dengan memompa darah dari jantung. Darah mengalir

disebabkan karena danya perubahan tekanan dan trjadi

perpinadahan dari ara yang brtekanan tinggi ke area yang

bertekanan rendah. Puncak tekanan maksimum saat ejeksi

terjadi disbut tekanan sistolik, sdangkan tekanan diastolic

adalah tekanan minimal darah yang tetap diarteri yang

dihasilkan saat ventrikl berelaksasi. Unit standar pengukuran

tekanan darah adalah milimitr air raksa (mmHg) (potter dan

Perry, 2010). Nilai normal tekanan darah adalah sebagai

berikut:

Tabel 2.2
Tekanan Darah Optimal Sesuai Dengan Rata-Rata

Usia Tekanan darah (mmHg)


Neonatus (3000 g) 40 (rerata)
1 bulan 85/54
1 tahun 95/65
6 tahun 105/65
10-13 tahun 110/65
14-17 tahun 120/75
>18 tahun 120/80
Sumber : National High Blood Pressure dalam potter dan Perry,
2010
35

Perhitungan tekanan darah dapat dilakukan dengan alat bantu

monitor.

4) Mean arterial pressure (MAP) atau tekanan arteri rata-rata

Tekanan arteri rata-rata merupakan tekanan rata-rata selama

siklus jantung yang dipengaruhi oleh curah jantung dan

resistensi perifer. Perhitungan MAP dilakukan dengan alat

bantu monitor untuk memberikan informasi terkait perfusi ke

arteri koronari, organ tubuh dan kapiler. Rumus perhitungan

MAP adalah 1/3 sistolik + 2/3 diastolik atau perhitungan nilai

normal berkisar 90-100 mmHg.

5) Frekuensi denyut jantung (Hearth Rate).

Perhitungan frekuensi denyut jantung dilakukan dengan

alat bantu monitor. Frekuensi jantung pasien usia 1 bulan: 100

sampai dengan 180 kali/menit, 6 bulan: 120 sampai dengan 160

kali/ menit, 1 tahun: 90 sampai dengan 140 kali/menit, 2 tahun:

80 sampai dengan 140 kali/menit, 6 tahun: 75 sampai dengan

100 kali/menit, 10 tahun: 60 sampai dengan 90 kali/menit, 12

tahun: 55 sampai dengan 90 kali/menit, 16 tahun ke atas : 60

sampai dengan 100 kali/menit (Ramesh, 2003).

Salah satu intervensi keprawatan pada pasien yang terpasang ventilasi

mekanik adalah perubahan posisi, yaitu miringkan dan reposisi pasien

setiap 2 jam, memiringkan membantu ventilasi kedua paru dan

mobilisasi sekret (Black, 2014). Menurut hasil penelitian bahwa posisi


36

yang dianjurkan adalah posisi lateral, Perubahan posisi kearah lateral

atau miring mempengaruhi aliran balik darah yang menuju ke jantung

dan berdampak pada hemodinamik (Cicolini et al., 2010).

D. Posisi Lateral

1. Definisi

Lateral position merupakan posisi miring dengan kepala menggunakan

bantal, posisi bahu bawah fleksi kedepan dengan bantal dibawah

lengan atas. Pada bagian punggung belakang letakkan bantal/ guling

serta paha dan kaki atas disupport bantal sehingga ekstremitas

bertumpu secara paralel dengan permukaan tempat tidur dan

menstabilkan posisi pasien (Aries et al, 2011). Pengaturan posisi

bertujuan untuk mengutamakan kenyamanan pasien, mencegah

pembentukan ulkus akibat tekanan serta mengurangi kejadian

trombosis vena dalam, emboli paru, atelektasis dan pneumonia.

2. Prosedur Posisi Lateral Kiri 30 Derajat

Menurut Potter dan Perry (2010), berikut langkah memposisikan

pasien dengan posisi lateral:

a. Minta sedikitnya satu atau dua asisten

b. Rendahkan kepala tempat tidur sbatas klien mampu menoleransi

c. Posisikan klien ke sisi tempat tidur. Gunakan alat mengurangi

gesekan atau pengangkat mekanik sesuai petunjuk pabrik jika

klien tidak dapat menolong melakukan gerakan atau obesitas


37

d. Siap untuk mebalikan klien. Fleksikan lutut klien yang tidak dekat

dengan matras. Letakkan salah satu tangan diatas pinggul klien

dan tangan lainnya diatas bahu klien.

e. Geser klien ke sisi yang berlawanan dengan lutut yang di fleksikan

f. Letakkan bantal dibawah leher dan kepala klien

g. Bawa bahu kedepan

h. Posisikan kedua lengan sedikit fleksi. Lengan atas didukung

dengan bantal stinggi bahu lengan lain dngan matras

i. Letakkan bantal di belakang punggung klien (buat dengan melipat

panjang bantal. Ara yang melus sedikit menjauhi punggung klien

j. Letakkan bantal dibawah kaki semifleksi sejajar pinggul dari groin

di kaki

k. Meletakkan ankle foot orthotic pada kaki klien

Berikut merupakan gambar posisi lateral :

Gambar 2.1
Posisi lateral

Sumber : http://what-when-how.com/nursing/body-mechanics-
and-positioning-client-care-nursing-part-1/

Perbedaan prosedur atau langkah pada posisi lateral dengan Posisi

lateral kiri elevasi kepala 30 derajat adalah pada Posisi lateral kiri

elevasi kepala 30 derajat, pasien dimiringkan ke arah kiri dan diukur


38

sudut antara matras/kasur dengan posisi kepala dengan sudut

ketinggian keapal adalah 30 derajat, seperti gambar di bawah ini:

Gambar 2.2
Posisi lateral kiri 30 derajat

Sumber : modifikasi dari http://what-when-


how.com/nursing/body-mechanics-and-positioning-
client-care-nursing-part-1/ dan https://en.wikipedia.org
/wiki/Fowler%27s_position

3. Pengaruh posisi lateral terhadap hemodinamik

Perubahan posisi kearah lateral atau miring mempengaruhi aliran balik

darah yang menuju ke jantung dan berdampak pada hemodinamik

(Cicolini et al., 2010), karena secara teoritis pada posisi terlentang

disertai head up menunjukkan aliran balik darah dari bagian inferior

menuju ke atrium kanan cukup baik karena resistensi pembuluh darah

dan tekanan atrium kanan tidak terlalu tinggi, sehingga volume darah

yang masuk (venous return) ke atrium kanan cukup baik dan tekanan

pengisian ventrikel kanan (preload) meningkat, yang dapat mengarah

ke peningkatan stroke volume dan cardiac output (Kim & Sohng,

2006).

Hemodinamik salah satunya adalah tekanan darah. Tekanan darah yang

diukur dalam berbagai posisi tubuh, dipengaruhi oleh gaya gravitasi


39

dan dengan perbedaan lokasi pada sumbu vertikal pengukuran BP

dibandingkan dengan atrium kanan perlu diperhitungkan karena

perbedaan tekanan hidrostatik (Netea et al. 2003). Beberapa studi

menemukan efek kontradiktif dalam kelompok pasien yang berbeda.

Bein et al. (1996) menyarankan untuk menghindari posisi miring kanan

yang menyebabkan hipotensi pada pasien kritis. Hemodinamik yang

berbeda atau memerlukan penjelasan fisiologis meliputi hidrostatik,

mekanik, hormonal atau posisi miring (Bein et al. 1996, Fujita et al.

2000 Schou et al. 2001).

Evaluasi inferior vena cava (IVC) dari echocardiography pada

tampilan subkostal merupakan menunjukkan bahwa diameter IVC

menurun yang diamati pada akhir inspirasi ketika tekanan intratoraks

negatif dan menyebabkan peningkatan right ventrikel (RV) dalam

mengisi dari vena sistemik. Ukuran IVC secara signifikan dipengaruhi

oleh posisi pasien, yang terkecil pada posisi lateral kanan, menengah

dalam posisi terlentang, dan terbesar di posisi lateral kiri yang

berkorelasi dengan venous return dan tekanan atrium kanan (Ginghina

et al. 2009). Posisi lateral akan menyebabkan perubahan tidal volume

karena adanya resistensi atau terbatasnya pengembangan paru sehingga

status oksigenasi dan hemodinamik berubah. Pasien yang terpasang

ventilasi mekanik dengan mode CPAP memaksa pasien untuk berusaha

bernapas secara mandiri tanpa bantuan dari ventilator sehingga

monitoring tidal volume pada berbagai posisi perlu dilakukan secara


40

ketat. Monitoring tidal volume dilihat pada monitor ventilator. Nilai

tidal volume pada posisi lateral akan meningkatkan resistensi karena

salah satu paru berada pada posisi tergantung yang menyebabkan

pengembangan paru terbatas. Kondisi ini jika tidak di perhatikan dapat

menyebabkan kondisi pasien lebih buruk sampai terjadi hipoksia

(Rustandi, 2014).

Penelitian Moaty, Mokadem dan Elhy (2017) tentang efek posisi semi

fowler terhadap oksigenasi dan status hemodinamik pada pasien

dengan cedera kepala, hasil penelitiannya menunjukan bahwa posisi

semi fowler dengan elevasi 30° memiliki dampak positif terhadap

pernapasan dengan hasil terjadinya peningkatan PaO2, SaO2, dan RR

serta penurunan PaCO2. Posisi lateral kiri dapat meningkatkan ventilasi

dimana anatomi jantung berada pada sebelah kiri di antara bagian atas

dan bawah paru membuat tekanan paru meningkat, tekanan arteri di

apex lebih rendah dari pada bagian basal paru.

Tekanan arteri yang rendah menyebabkan penurunan aliran darah pada

kapiler di bagian apex, sementara kapiler di bagian basal mengalami

distensi dan aliran darahnya bertambah. Efek gravitasi mempengaruhi

ventilasi dan aliran darah dimana aliran darah dan udara meningkat

pada bagian basal paru (Rodney, 2001). Pada posisi ini aliran darah ke

paru bagian bawah menerima 60-65 % dari total aliran darah ke paru

(Gullo, 2008). Pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik,


41

efek gravitasi terhadap kapiler darah menyebabkan peningkatan

tekanan alveolar sehingga meningkatkan ventilasi (Rodney, 2001).

Menurut hasil penelitian Karmiza (2013), menyatakan, lama waktu

pasien diberikan posisi lateral kiri dan elevasi kepala 30 derajat, selama

30 menit pertama sudah terjadi peningkatkan nilai tekanan parsial

oksigen (PO2), Berbeda dengan hasil penelitian Subiyanto (2018)

tentang pengaruh posisi lateral terhadap status hemodinamik pasien

dengan ventilasi mekanik di Ruang ICU RSUP DR Kariadi Semarang,

diperoleh hasil posisi lateral 30 derajat selama 5 menit berpengaruh

terhadap heart rate, respiratory rate, diastole dan MAP.

E. Model Aplikasi Konsep Adapatasi Roy Dalam Perawatan Pasien Yang

Menggunakan Ventilasi Mekanik

Model Roy berfokus pada konsep adaptasi manusia. Konsep-konsepnya

mengenai keperawatan manusia, kesehatan, dan lingkungan saling

berhubungan dengan adaptasi sebagai konsep sentralnya. Manusia

mengalami stimulus lingkungan secara terus-menerus. Pada akhirnya

menberikan respons dan adaptasi pun terjadi (Roy, dkk, Alligood, 2014).

Penerima asuhan keperawatan menurut Roy adalah individu, keluarga,

kelompok masyarakat yang dipandang “Holistic Adaptif System” dalam

segala aspek yang merupakan satu kesatuan. Sistm adalah suatu kesatuan

yang dihubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa


42

tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya.

Sistem terdiri dari input, output, kontrol, dan umpan balik yang dapat

digambarkan pada skema sebagai berikut :

Skema 2.1
Manusia Sebagai Suatu Sistem Adaptif Menurut Roy

Sumber : Alligood & Tomey (2010)

Roy menjelaskan bahwa respon yang menyebabkan penurunan integritas

tubuh akan menimbulkan suatu kebutuhan dan menyebabkan individu

trsebut berespon melalui upaya atau perilaku tertentu. Pasien dengan gagal

nafas akan diberikan bantuan ventilasi mekanik untuk memenuhi kebutuhan

fisiologis oksigenasi yaitu : ventilasi, pertukaran dan transportasi gas.

Pemebrian bantuan ventilasi mekanik untuk memenuhi kebutuhan

oksigenasi disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan kebutuhan mode

ventilator yang dipakai.

Pada proses adaptasi dari stimulus yang diterima terjadi mekanisme koping

yang terdiri dari dua sub sistem yaitu subsistem regulator dan kognator. Sub

sistem regulator merupakan respon otomatis dari tubuh yang berhubungan

dengan persyarafan, proses kimiawi dan sistem endokrin. Pada pasien


43

dengan gagal nafas paru-paru mengalami kegagalan dalam melaksanakan

pertukaran gas sehingga menyebakan kadar CO2 dalam darah meningkat.

Kegagalan paru membuat CO2 juga disertai dengan hilangnya kemampuan

paru untuk mengambil O2. Respon fisiologis yang terjadi adalah adanya

perubahan pada berbagai sistem tubuh diantaranya kardiovaskuler, susuan

sistem syaraf pusat, fungsi renal serta adanya perubahan gas dan elektrolit

(Rab, 2010). Respon sub sitem kognator dihuungkan dengan kognitif dan

emosional yaitu pengolahan persepsi dan informasi, pembelajran,

pertimbanagn dan emosi (Alligood & Tomey 2010). Mekanisme control

sistem syaraf pada pasien dengan gagal nafas yang menggunakan ventilasi

mekanik selama perawatan diminimalkan dengan penggunaan obat sedasi

untuk memberikan kenyamanan dan mengurangi respon nyeri akibat

adanya intubasi ETT ke dalam Trakhea.

Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian ventilasi mekanik ini adalah

fungsi adaptif fisiologis yang berfokus pada kebutuhan untuk

mempertahankan integritas anatomi dan fisiologi berespon terhadap

stimulus. Adaptasi fisiologi yang dapat di observasi pada pasien dengan

ventilasi mekanik adalah terpenuhinya kebutuhan oksigenasi sehingga

status hemodinamik pasien dapat dipertahankan dalam batas normal sesuai

kondisi sakit. akhir dari proses adaptasi ini adalah output untuk menilai

respon adaptif atau inefektif yaitu klien mampu mencapai atau tidak tujuan

dari keseimbanagn sistem tubuh dan respon yang ditimbulkan ini akan

menjadi umpan balik dan terjadi siklus adaptasi.


44

F. Kerangka Teori

Skema 2.2
Kerangka Teori

Gangguan fungsi respiratorik, kardiovaskular,


renal dan sistem tubuh lainnya

Gagal nafas Model konsep


theory Roy
penatalaksanaan

medis keperawatan

Ventilasi mekanik Obat-obatan Posisi elevasi suction Nutrisi dan


kepala 30 derajat lainnya
lateral kiri

Faktor-faktor yang mempengaruhi


status hemodinamik :
1. Penyakit
2. Obat-obatan
3. Status psikologi
4. Aktivitas
Pemantauan status hemodinamik : 5. Mode ventilator
1. Respiratori rate
2. Saturasi oksigen
3. Tekanan Darah
4. Mean Arterial Pressure
5. Heart Rate

Sumber : Alligood & Tomey (2010), Jevon dan Ewens (2009),


Karmizan et,all (2014), Marik dan Baram (2007)

Anda mungkin juga menyukai