Anda di halaman 1dari 31

PATOFISIOLOGI

PROSES IMUNITAS

RARA AYU DIYA KARTIKA BUDI SETIYA RINI


1920033
D3 KEPERAWATAN 1A
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Sistem imunitas didalam tubuh manusia merupakan satu kesatuan
yang kompleks dan berlapis-lapis dalam menghadapi invasi patogen yang masuk seperti
bakteri, jamur, virus dan parasit. Beberapa upaya tubuh untuk melawan patogen tersebut ialah
dengan adanya respon imun spesifik dan non-spesifik. Imunitas non-spesifik ,seperti fagosit,
sel NK dan sistem komplemen, selalu ada pada individu yang sehat dan akan dengan cepat
mengeliminasi mikroba yang masuk ke jaringan pada 12 jam pertama infeksi. Berbeda
dengan sistem imun non-spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk
mengenal benda yang dianggap asing dan memiliki memori untuk mengatasi pajanan ulang
dengan cepat.

Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri dari masuknya antigen yaitu
dengan cara menghancurkan antigen tersebut secara non-spesifik yang dikenal dengan proses
fagositosis. Makrofag merupakan salah satu sel utama pertahanan non spesifik yang
melakukan fagositosis yaitu melalui pengenalan, pengikatan, endositosis, fusifagosom,
pemusnahan dan pencernaan bakteri.

Selama proses fagositosis berlangsung, akan terjadi Respiratory burst yaitu


dilepaskannya ROI atau metabolit oksigen yang akan berperan membunuh patogen yang
merusak tubuh. Penelitian ini akan meneliti sel fagosit seperti makrofag dan hasil
produksinya yaitu Reactive Oxygen Intermediate (ROI) yang keduanya merupakan kunci
penting dalam respon imun non-spesifik disamping Reactive Nitrogen Intermediate (RNI),
peptida antimikroba dan sistem komplemen. Makrofag akan mencerna dan mengenalkan
patogen yang masuk kepada limfosit T yang selanjutnya akan menstimulasi Th1 untuk
sintesis IFN-γ, TNF-α dan sitokin pro inflamasi seperti IL-1 serta menstimulasi Th2 untuk
membentuk antibodi dan sitokin antiinflamasi. 3 Respon imunitas tubuh yang baik diperlukan
untuk mengatasi suatu infeksi atau keganasan. Pemberian imunostimulan merupakan salah
satu upaya yang dapat dilakukan.

Peneliti ingin meneliti potensi ketiga macam kombinasi herbal yaitu kombinasi herbal
A , herbal B dan herbal C yang ketiganya mengandung ekstrak dari berbagai macam bahan
tradisional antara lain Zingiberis rhizoma(Jahe), Caryophylli folium(Daun cengkeh),
Myristicae semen(pala), Parkiae semen(kedawung) Amomi fructus(Kapulogo), Usneae
thallus(Kayu angin), Methae arvensitis herba(Daun mint) dan Centellae herba(pegagan) yang
pada penelitian sebelumnya telah terbukti meningkatkan sistem imunitas tubuh.

Perbedaan antara ketiga kombinasi herbal yaitu penggunaan Centellae herba(pegagan)


dan Parkiae semen(kedawung) pada kombinasi herbal A, Imperetae radix(Alang-alang) dan
Oleum mentha piperita pada herbal B serta penggunaan Baeckeae folium(Jungrahap) dan
Oleum mentha piperita pada herbal C dan dengan komposisi dan kadar yang berbeda pada
beberapa bahan diharapkan mampu lebih meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag dan
produksi dari ROI. 3 Sifat farmakologis dari ekstrak tumbuhan yang digunakan telah
diketahui fungsinya seperti pegagan yang berfungsi sebagai imunostimulan yang kuat, 5
kapulogo yang menghambat aktivitas bakteri dan fungi seperti Trichophyton rubrum,
Microsporum gypseum, Staphyloccocus aureus, dan Enterococcus faecalis. 6 Cengkeh dapat
berperan dalam aktivitas antimikrobial, antiviral, antiinflamatori, dan antioksidan. 7 Biji pala
yang mengandung agen stimulan juga dapat meningkatkan fungsi dari limpa dan sebagai
antioksidan.

Penelitian ini menggunakan mencit BALB/c yang diberikan masing-masing


kombinasi herbal A, herbal B dan herbal C, kemudian diisolasi makrofag peritonealnya untuk
diketahui kemampuan fagositosisnya menggunakan Latex beads, yaitu suatu partikel polimer
yang dapat melakukan agregasi seperti interaksi antigen-antibodi yang pada penelitian ini
akan dilihat jumlah Latex beads yang terfagosit oleh makrofag, serta melihat produksi ROI
oleh makrofag dengan menggunakan pemeriksaan semikuantitatif yaitu nitroblue tetrazolium
(NBT) reduction assay. Makrofag peritoneal dipilih karena merupakan makrofag yang bebas
dan mudah untuk diambil di rongga peritoneum.

Masalah Penelitian

 Apakah pemberian kombinasi herbal A, herbal B dan herbal C mempengaruhi indeks


fagositosis makrofag dan produksi ROI pada mencit Balb/c?
 Apakah terdapat perbedaan pengaruh kombinasi herbal A, herbal B dan herbal C terhadap
indeks fagositosis makrofag dan produksi ROI pada mencit Balb/c?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum Menganalisis pengaruh pemberian kombinasi herbal A, herbal B dan herbal C
terhadap indeks fagositosis makrofag dan produksi ROI. I.3.2.

Tujuan Khusus

1.) Menganalisis pengaruh pemberian kombinasi herbal A, herbal B dan herbal C terhadap
indeks fagositosis makrofag.

2.) Menganalisis pengaruh pemberian kombinasi herbal A, herbal B dan herbal C terhadap
produksi ROI oleh makrofag.

3.) Menganalisis perbedaan antara pemberian kombinasi herbal A, herbal B dan herbal C
terhadap indeks fagositosis makrofag dan produksi ROI. I

Manfaat Penelitian

1) Penelitian ini merupakan media untuk menuangkan gagasan atau ide yang didapatkan di
perguruan tinggi dan dibuktikan secara langsung melalui penelitian. Selain itu, penelitian ini
juga dapat menambah pengetahuan dalam bidang kesehatan terutama sistem imunologi tubuh
yang dapat dijadikan bekal ketika terjun di masyarakat serta dapat menjadi referensi
penelitian-penelitian lebih lanjut melalui perbaikan metode-metode yang ada.

2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para penderita infeksi atau
keganasan sehingga dapat menurunkan tingkat morbiditas dari respon infeksi dengan
meningkatkan imunitas tubuh.
BAB II

PEMBAHASAN

Pengaruh Aging terhadap Perubahan Sistem Imun Tubuh

Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan DNA manusia; mencegah
infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain; serta menghasilkan
antibodi (sejenis protein yang disebut imunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan
virus asing ke dalam tubuh. Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader
(penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia.

Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan


imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan respons imun dengan
peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat
menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker,
kelainan autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah
penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa
tahun kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang
tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia
kurang efektif

melawan penyakit. Masalah lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan
untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian
dari dalam tubuhnya sendiri.

Salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan usia adalah proses thymic
involution 3. Thymus yang terletak di atas jantung di belakang tulang dada adalah organ
tempat sel T menjadi matang. Sel T sangat penting sebagai limfosit untuk membunuh bakteri
dan membantu tipe sel lain dalam sistem imun. Seiring perjalanan usia, maka banyak sel T
atau limfosit T kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan penyakit. Volume jaringan
timus kurang dari 5% daripada saat lahir. Saat itu tubuh mengandung jumlah sel T yang lebih
rendah dibandingkan sebelumnya (saat usia muda), dan juga tubuh kurang mampu
mengontrol penyakit dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Jika hal ini terjadi, maka dapat mengarah pada penyakit autoimun yaitu sistem imun tidak
dapat mengidentifikasi dan melawan kanker atau sel-sel jahat. Inilah alasan mengapa resiko
penyakit kanker meningkat sejalan dengan usia.

Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu bentuk sel darah
putih (limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit pathogen lalu merusaknya. Limfosit
dihasilkan oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk menghasilkan antibodi melawan
infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit
dan reaksinya melawan infeksi berkurang. Manusia memiliki jumlah T sel yang banyak
dalam tubuhnya, namun seiring peningkatan usia maka jumlahnya akan berkurang yang
ditunjukkan dengan rentannya tubuh terhadap serangan penyakit.

Kelompok lansia kurang mampu menghasilkan limfosit untuk sistem imun. Sel perlawanan
infeksi yang dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang efektif daripada sel yang ditemukan
pada kelompok dewasa muda. Ketika antibodi dihasilkan, durasi respons kelompok lansia
lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda
termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap infeksi daripada
kelompok dewasa tua. Di samping itu, kelompok dewasa tua khususnya berusia di atas 70
tahun cenderung menghasilkan autoantibodi yaitu antibodi yang melawan antigennya sendiri
dan mengarah pada penyakit autoimmune. Autoantibodi adalah faktor penyebab rheumatoid
arthritis dan atherosklerosis. Hilangnya efektivitas sistem imun pada orang tua biasanya
disebabkan oleh perubahan kompartemen sel T yang terjadi sebagai hasil involusi timus
untuk menghasilkan interleukin 10 (IL-10). Perubahan substansial pada fungsional dan
fenotip profil sel T dilaporkan sesuai dengan peningkatan usia.

Fenotip resiko imun dikenalkan oleh Dr. Anders Wikby yang melaksanakan suatu
studi imunologi longitudinal untuk mengembangkan faktor-faktor prediktif bagi usia lanjut.
Fenotip resiko imun ditandai dengan ratio CD4:CD8 < 1, lemahnya proliferasi sel T in vitro,
peningkatan jumlah sel-sel CD8+CD28-, sedikitnya jumlah sel B, dan keberadaan sel-sel
CD8T adalah CMV (Cytomegalovirus). Efek infeksi CMV pada sistem imun lansia juga
didiskusikan oleh Prof. Paul Moss dengan sel T clonal expansion (CD8T) 4.

Secara khusus jumlah sel CD8 T berkurang pada usia lanjut. Sel CD8 T mempunyai 2 fungsi
yaitu: untuk mengenali dan merusak sel yang terinfeksi atau sel abnormal, serta untuk
menekan aktivitas sel darah putih lain dalam rangka perlindungan jaringan normal.
Para ahli percaya bahwa tubuh akan meningkatkan produksi berbagai jenis sel CD8 T sejalan
dengan bertambahnya usia. Sel ini disebut TCE (T cell clonal expansion) yang kurang efektif
dalam melawan penyakit. TCE mampu berakumulasi secara cepat karena memiliki rentang
hidup yang panjang dan dapat mencegah hilangnya populasi TCE secara normal dalam
organisme. Sel-sel TCE dapat tumbuh lebih banyak 80% dari total populasi CD8.
Perbanyakan populasi sel TCE memakan ruang lebih banyak daripada sel lainnya, yang
ditunjukkan dengan penurunan efektifitas sistem imunitas dalam memerangi bakteri patogen.
Hal itu telah dibuktikan dengan suatu studi yang dilakukan terhadap tikus karena hewan ini
memiliki fungsi sistem imunitas mirip manusia. Ilmuwan menemukan tifus berusia lanjut
mempunyai tingkat TCE lebih besar daripada tikus normal, populasi sel CD8 T yang kurang
beragam, dan penurunan kemampuan melawan penyakit. Peningkatan sel TCE pada tikus
normal menggambarkan berkurangnya kemampuan melawan penyakit. Ilmuwan
menyimpulkan bahwa jika produksi TCE dapat ditekan pada saat terjadi proses penuaan,
maka efektifitas sistem imunitas tubuh dapat ditingkatkan dan kemampuan melawan penyakit
lebih baik lagi.

Aging juga mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk makrofag, monosit, neutrofil, dan
eosinofil. Namun hanya sedikit data yang tersedia menjelaskan efek penuaan terhadap sel-sel
tersebut.

• Jumlah dan Sub-populasi Limfosit Aging mempengaruhi fungsi sel T dengan berbagai
cara. Beberapa sel T ditemukan dalam thymus dan sirkulasi darah yang disebut dengan sel T
memori dan sel T naive. Sel T naive adalah sel T yang tidak bergerak/diam dan tidak pernah
terpapard engan antigen asing, sedangkan sel T

memori adalah sel aktif yang terpapar dengan antigen. Saat antigen masuk, maka sel T naive
menjadi aktif dan merangsang sistem imun untuk menghilangkan antigen asing dari dalam
tubuh, selanjutnya merubah diri menjadi sel T memori. Sel T memori menjadi tidak aktif dan
dapat aktif kembali jika menghadapi antigen yang sama. Pada kelompok usila, hampir tidak
ada sel T naive sejak menurunnya produksi sel T oleh kelenjar timus secara cepat sesuai usia.
Akibatnya cadangan sel T naive menipis dan sistem imun tidak dapat berespons secepat
respons kelompok usia muda. Jumlah sel B, sel T helper (CD4+) juga berubah pada orang
tua.
Selain terjadi perubahan jumlah sel T, pada kelompok usila juga mengalami
perubahan permukaan sel T. Ketika sel T menggunakan reseptor protein di permukaan sel
lalu berikatan dengan antigen, maka rangsangan lingkungan harus dikomukasikan dengan
bagian dalam sel T. Banyak molekul terlibat dalam transduksi signal, proses perpindahan
ikatan signal-antigen melalui membran sel menuju sel. Sel T yang berusia tua tidak
menunjukkan antigen CD28, suatu molekul penting bagi transduksi signal dan aktivasi sel T.
Tanpa CD28, sel T tidak berespons terhadapnya masuknya patogen asing. Pada tubuh
kelompok elderly juga terdapat kandungan antigen CD69 yang lebih rendah. Sel T dapat
menginduksi antigen CD69 setelah berikatan dengan reseptor sel T. Bila ikatan signal-antigen
tidak dipindahkan ke bagian dalam sel T, maka antigen CD69 akan hilang di permukaan sel
dan terjadi penurunan transduksi signal.

• Respons Proliferasi Limfosit Perubahan utama pada fungsi imun orang tua adalah
perubahan respons proliferatif limfosit seperti berkurangnya Interleukin-2 (IL-2) yang
tercermin dari rusaknya proses signal pada orang tua, minimnya kadar Ca dalam tubuh, dan
perubahan membran limfosit sehingga mempengaruhi fungsi imun. Penurunan Calcium (Ca)
pada orang tua mempengaruhi perpindahan signal dengan gagalnya merangsang enzim
termasuk protein kinase C, MAPK dan MEK; serta menghambat produksi cytokines, protein
yang bertanggung jawab untuk koordinasi interaksi dengan antigen dan memperkuat respons
imun. Salah satu cytokine yang dikenal adalah interleukin 2 (IL-2), cytokine diproduksi dan
disekresi oleh sel T untuk menginduksi proliferasi sel dan mendukung pertumbuhan jangka
panjang sel T. Sesuai peningkatan usia sel T, maka kapasitas sel T untuk menghasilkan IL-2
menurun. Jika terpapar antigen, maka sel T memori akan membelah diri menjadi lebih
banyak untuk melawan antigen. Jika produksi IL-2 sedikit atau sel T tidak dapat berespons
dengan IL-2, maka fungsi sel T rusak. Perubahan cytokine lain adalah interleukin 4, tumor
necrosis factor alpha, dan gamma interferon.

Viskositas membran sel T juga berubah pada orang tua, tetapi viskositas sel B tetap.
Kompoisisi lipid pada membran limfosit orang tua menunjukkan peningkatan proporsi
kolesterol dan fosolipid dibandingkan orang muda. Serum darah orang tua mengandung
banyak VLDL dan LDL.

Perubahan komposisi lipid di atas dapat meningkatkan penurunan imunitas tubuh orang tua.
Pembatasan asupan lemak mempengaruhi komposisi membran lipid limfosit, meningkatkan
level asam linoleat, menurunkan kadar asam docosatetraenoat dan arakhidonat.
Produksi Cytokine

Respons limfosit diatur oleh cytokine. Respons limfosit atau sel T helper dibagi menjadi 2
jenis yaitu: 1. Th-1 dan 2. Th-2. Respons antibodi biasanya diperoleh dari Th-2 cytokine.
Perubahan produksi cytokine merubah imunitas perantara sel (Cell Mediated Immunity) pada
roang tua. Respons limfosit pada makrofag berubah pada orang tua di mana terdapat
sensitivitas yang lebih tinggi terhadap efek inhibitor 4.

Penurunan fungsi sel T pada orang tua juga mempengaruhi fungsi sel B karena sel T dan sel
B bekerjasama untuk mengatur produksi antibodi. Sel T menginduksi sel B untuk hipermutasi
gen-gen immunoglobulin, menghasilkan perbedaan antibodi untuk mengenali jenis-jenis
antigen. Pada orang tua terdapat jenis antibodi yang lebih sedikit dibandingkan pada orang
muda, rendahnya respons IgM terhadap infeksi, dan menurunnya kecepatan pematangan sel
B. Semua itu berkontribusi terhadap penurunan jumlah antibodi yang diproudksi untuk
melawan infeksi.

Respons tubuh pada orang tua terhadap infeksi penyebab penyakit yang ditunjukkan dengan
reaksi demam tidak berlangsung secara otomatis. Lebih dari 20% manusia berusia di atas 65
tahun mempunyai infeksi bakteri yang serius tidak mengalami demam, karena tubuh mampu
menetralisir demam dan reaksi imun lainnya, tetapi sistem syaraf pusat kurang sensitif
terhadap tanda-tanda imun dan tidak bereaksi cepat terhadap infeksi.

Peningkatan Respons Sistem Imun

Fungsi organ-organ menurun sejalan dengan peningkatan usia manusia. Organ kurang efisien
dibandingkan saat usia muda, contohnya timus yang

menghasilkan hormon terutama selama pubertas. Pada lansia, sebagian besar kelenjar timus
tidak berfungsi. Tetapi ketika limfosit terpapar pada hormon timus, maka sistem imun
meningkat sewaktu-waktu. Sekresi hormon termasuk hormon pertumbuhan dan melatonin
menurun pada usia tua dan mungkin dihubungkan dengan sistem imun.

Sistem endokrin dipengaruhi oleh penuaan dan sirkulasi hormon-hormon menurun dengan
umur. Hormon DHEA (Dehydroepiandrosterone) erat hubungannya dengan penurunan fungsi
kekebalan tubuh. Prostaglandin, hormon yang mempengaruhi proses tubuh seperti suhu dan
metabolisme tubuh mungkin meningkat pada usia tua dan menghambat sel imun yang
penting. Kelompok lansia mungkin lebih sensitif pada reaksi prostaglandin daripada dewasa
muda, yang menjadi penyebab utama defisiensi imun pada lansia.
Prostaglandin dihasilkan oleh jaringan tubuh, tetapi respons sistem imun pada kelompok
dewasa muda lebih baik saat produksi prostaglandin ditekan

Nutrisi berperan penting dalam sistem imun tubuh. Pada kelompok dewasa tua yang sehat
dan mengalami defisiensi gizi, maka asupan vitamin dan suplemen makanan dapat
meningkatkan respons sistem imun, ditunjukkan dengan lebih sedikitnya hari-hari penyakit
yang diderita.

Orang tua sering mengalami perasaan kehilangan dan stress, dan penekanan imunitas
dihubungkan dengan perasaan kehilangan, depresi, dan rendahnya dukungan sosial.
Memelihara kehidupan sosial yang aktif dan memperoleh pengobatan depresi dapat
meningkatkan sistem imun kelompok lansia. Secara umum kelompok lansia lebih sering
menderita infeksi atau tingkat keparahan infeksi yang lebih besar dan penurunan respons
terhadap vaksin lebih rendah (contohnya kematian akibat penyakit tetanus dan flu).

Depresi/Stress dan Rasa Marah mempengaruhi Sistem Imun 6

Pada orang tua, perasaan depresi dan marah dapat melemahkan sistem imun. Mereka rentan
terhadap stress dan depresi. Stress menyebabkan perubahanperubahan fisiologis tubuh yang
melemahkan sistem imun, dan akhirnya mempengaruhi kesehatan sehingga mudah terserang
penyakit, serta timbulnya kelainan sistem imun dengan munculnya psoriasis dan eczema.

Saat terjadi stress, maka hormon glukokortikoid dan kortisol memicu reaksi anti-
inflammatory dalam sistem imun.

Peneliti telah mempelajari hubungan antara marah, perasaan depressi, dan sistem imun pada
82 orang lansia yang hidup dengan pasangan penderita penyakit Al-zheimer. Ternyata
beberapa tahun kemudian kondisi psikologi dan fisik kesehatan mereka menurun,
ditunjukkan oleh response sistem imun yang memicu aktivasi sel limfosit. Studi lain yang
dilakukan terhadap kesehatan lansia dengan stress menunjukkan level IL-6 atau interleukin-6
(suatu protein dalam kelompok cytokine) meningkat 4 kali lipat lebih cepat sehingga mereka
rentan terhadap penyakit jantung, arthritis, dan sebagainya.

Pada lansia pria, depresi dikaitkan dengan berkurangnya respons imun. Depresi ditimbulkan
oleh rasa kesepian, enggan menceritakan masalah hidup yang dialami, dan cenderung
memiliki teman dekat lebih sedikit daripada lansia wanita. Lansia pria mengalami ledakan
hormon stress saat menghadapi tantangan dibandingkan dengan lansia wanita.
Meskipun hubungan antara depresi dengan imunitas berbeda menurut gender, ternyata
kombinasi marah dan stress yang dikaitkan dengan penurunan fungsi imun pada kedua
kelompok lansia pria dan wanita tidak berbeda.

Gangguan tidur pada orang tua dapat melemahkan sistem imun karena darah mengandung
penurunan NKC (Natural Killer Sel). NKC adalah bagian dari sistem imun tubuh, jika
kadarnya menurun dapat melemahkan imunitas sehingga rentan terhadap penyakit. Studi
yang dilakukan di Pittsburgh tahun 1998 menunjukkan pentingnya tidur bagi orang tua untuk
memelihara kesehatan tubuh 7.

Upaya Pemeliharaan Kesehatan Lansia terhadap Sistem Imunitas Tubuh: Vaksinasi dan
Nutrisi

Sistem imunitas tubuh orang tua ditingkatkan melalui upaya imunisasi dan nutrisi. Tujuan
imunisasi untuk memelihara sistem imunitas melawan agen infeksi. Imunisasi/vaksin
mengandung substansi antigen yang sama dengan patogen asing agar sistem imun kenal
patogen asing dengan menghasilkan sel T dan sel B. Influenza dan pneumonia adalah dua
penyakit yang paling sering diderita oleh orang tua sehingga perlu diberikan vaksinasi
influenza bagi mereka. Tetapi respons antibodi tubuh dan response sel T orang tua terhadap
vaksin lebih rendah daripada orang muda mempengaruhi efek pemberian vaksin tersebut.
Karakteristik penyakit infeksi yang sering diderita oleh orang tua disajikan pada Tabel 1.

Nutrisi berperan penting dalam peningkatan respons imun. Orang tua rentan terhadap
gangguan gizi buruk (undernutrition), disebabkan oleh faktor fisiologi dan psikologi yang
mempengaruhi keinginan makan dan kondisi fisik serta ekonomi. Vitamin E dan Zn
khususnya berperan penting dalam memelihara sistem imun. Defisiensi Zn jangka panjang
menurunkan produksi cytokine dan merusak pengaturan aktivitas sel helper T. Vitamin E
merupakan treatment yang baik dalam mencegah penyakit Alzheimer, meningkatkan
kekebalan tubuh, dan sebagai antioksidan yang melindungi limfosit, otak, dan jaringan lain
dari kerusakan radikal bebas.

Nutrisi dan Mineral–Mineral yang dapat Meningkatkan Sistem Imun Orang Tua

• Beta-glucan. Adalah sejenis gula kompleks (polisakarida) yang diperoleh dari dinding sel
ragi roti, gandum, jamur (maitake). Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa beta glucan
dapat mengaktifkan sel darah putih (makrofag dan neutrofil).
• Hormon DHEA. Studi menggambarkan hubungan signifikan antara DHEA dengan aktivasi
fungsi imun pada kelompok orang tua yang diberikan DHEA level tinggi dan rendah. Juga
wanita menopause mengalami peningkatan fungsi imun dalam waktu 3 minggu setelah
diberikan DHEA.

• Protein: arginin dan glutamin. Lebih efektif dalam memelihara fungsi imun tubuh dan
penurunan infeksi pasca-pembedahan. Arginin mempengaruhi fungsi sel T, penyembuhan
luka, pertumbuhan tumor, dans ekresi hormon prolaktin, insulin, growth hormon. Glutamin,
asam amino semi esensial berfungsi sebagai bahan bakar dalam merangsang limfosit dan
makrofag, meningkatkan fungsi sel T dan neutrofil.

• Lemak. Defisiensi asam linoleat (asam lemak omega 6) menekan respons antibodi, dan
kelebihan intake asam linoleat menghilangkan fungsi sel T. Konsumsi tinggi asam lemak
omega 3 dapat menurunkan sel T helper, produksi cytokine.

• Yoghurt yang mengandung Lactobacillus acidophilus dan probiotik lain. Meningkatkan


aktivitas sel darah putih sehingga menurunkan penyakit kanker, infeksi usus dan lambung,
dan beberapa reaksi alergi.

• Mikronutrien (vitamin dan mineral). Vitamin yang berperan penting dalam memelihara
sistem imun tubuh orang tua adalah vitamin A, C, D, E, B6, dan B12. Mineral yang
mempengaruhi kekebalan tubuh adalah Zn, Fe, Cu, asam folat, dan Se.

• Zinc. Menurunkan gejala dan lama penyakit influenza. Secara tidak langsung
mempengaruhi fungsi imun melalui peran sebagai kofaktor dalam pembentukan DNA, RNA,
dan protein sehingga meningkatkan pembelahan sellular. Defisiensi Zn secara langsung
menurunkan produksi limfosit T, respons limfosit T untuk stimulasi/rangsangan, dan
produksi IL-2.

• Lycopene. Meningkatkan konsentrasi sel Natural Killer (NK)

• Asam Folat 9. Meningkatkan sistem imun pada kelompok lansia. Studi di Canada pada
sekelompok hewan tikus melalui pemberian asam folate dapat meningkatkan distribusi sel T
dan respons mitogen (pembelahan sel untuk meningkatkan respons imun). Studi terbaru
menunjukkan intake asam folat yang tinggi mungkin meningkatkan memori populasi lansia.

• Fe (Iron). Mempengaruhi imunitas humoral dan sellular dan menurunkan produksi IL-1.
• Vitamin E 10. Melindungi sel dari degenerasi yang terjadi pada proses penuaan. Studi yang
dilakukan oleh Simin Meydani, PhD. di Boston menyimpulkan bahwa vitamin E dapat
membantu peningkatan respons imun pada penduduk lanjut usia. Vitamin E adalah
antioksidan yang melindungi sel dan jaringan dari kerusakan secara bertahap akibat oksidasi
yang berlebihan. Akibat penuaan pada respons imun adalah oksidatif secara alamiah sehingga
harus dimodulasi oleh vitamin E.

• Vitamin C. Meningkatkan level interferon dan aktivitas sel imun pada orang tua,
meningkatkan aktivitas limfosit dan makrofag, serta memperbaiki migrasi dan mobilitas
leukosit dari serangan infeksi virus, contohnya virus influenzae.

• Vitamin A. Berperan penting dalam imunitas nonspesifik melalui proses pematangan sel-sel
T dan merangsang fungsi sel T untuk melawan antigen asing, menolong mukosa membran
termasuk paruparu dari invasi mikroorganisme, menghasilkan mukus sebagai antibodi
tertentu seperti: leukosit, air, epitel, dan garam organik, serta menurunkan mortalitas campak
dan diare. Beta karoten (prekursor vitamin A) meningkatkan jumlah monosit, dan mungkin
berkontribusi terhadap sitotoksik sel T, sel B, monosit, dan makrofag. Gabungan/kombinasi
vitamin A, C, dan E secara signifikan memperbaiki jumlah dan aktivitas sel imun pada orang
tua. Hal itu didukung oleh studi yang dilakukan di Perancis terhadap penghuni panti wreda
tahun 1997. Mereka yang diberikan suplementasi multivitamin (A, C, dan E) memiliki infeksi
pernapasan dan urogenital lebih rendah daripada kelompok yang hanya diberikan plasebo.

• Vitamin D. Menghambat respons limfosit Th-1.

• Kelompok Vitamin B. Terlibat dengan enzim yang membuat konstituen sistem imun. Pada
penderita anemia defisiensi vitamin B12 mengalami penurunan sel darah putih dikaitkan
dengan fungsi imun. Setelah diberikan suplementasi vitamin B12, terdapat peningkatan
jumlah sel darah putih. Defisiensi vitamin B12 pada orang tua disebabkan oleh menurunnya
produksi sel parietal yang penting bagi absorpsi vitamin B12. Pemberian vitamin B6
(koenzim) pada orang tua dapat memperbaiki respons limfosit yang menyerang sistem imun,
berperan penting dalam produksi protein dan asam nukleat. Defisiensi vitamin B6
menimbulkan atrofi pada jaringan limfoid sehingga merusak fungsi limfoid dan merusak
sintesis asam nukleat, serta menurunnya pembentukan antibodi dan imunitas sellular.
Mekanisme Pertahanan Tubuh Terhadap Bakteri

Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung mikroba patogen
di sekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia.
Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respons
imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya
gambaran biologik spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk
proteksi. Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraselular atau
bakteri intraselular mempunyai karakteristik tertentu pula

Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi matahari,
dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah tantangan lain untuk
mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita dilindungi oleh sistem pertahanan tubuh,
sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk
menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem
pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal.

Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit saja. Infeksi bakteri
dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan antivirus dan infeksi parasit dengan
antiparasit terbatas obat-obatan yang tersedia. Sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan
tubuh, depresi disebabkan oleh stres emosional diobati dengan antidepresan atau obat
penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan gizi jarang diobati sama sekali,
bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh


terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel
tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme
akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat
dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi
patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.

Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang menetralisir
patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh sistem enzim yang
melindungi terhadap infeksi virus.
Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada eukariota kuno dan tetap pada keturunan
modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida
antimikrobial yang disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen. Mekanisme yang
lebih berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya evolusi
vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak jenis protein, sel, organ tubuh
dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari
respon imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui
patogen khusus secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori imunologis dan
membuat perlindungan yang lebih efektif selama pertemuan di masa depan dengan patogen
tersebut. Proses imunitas yang diterima adalah basis dari vaksinasi.

Respons pejamu yang terjadi juga tergantung dari jumlah mikroba yang masuk. Mekanisme
pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya meliputi Pertahanan fisik dan
kimiawi, seperti kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat melalui kelenjar keringat, sekresi
lendir, pergerakan silia, sekresi air mata, air liur, urin, asam lambung serta lisosom dalam air
mata Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat mencegah
invasi mikroorganismeInnate immunity (mekanisme non-spesifik), seperti sel
polimorfonuklear (PMN) dan makrofag, aktivasi komplemen, sel mast, protein fase akut,
interferon, sel NK (natural killer) dan mediator eosinofil Imunitas spesifik, yang terdiri dari
imunitas humoral dan seluler. Secara umum pengontrolan infeksi intraselular seperti infeksi
virus, protozoa, jamur dan beberapa bakteri intraselular fakultatif terutama membutuhkan
imunitas yang diperani oleh sel yang dinamakan imunitas selular, sedangkan bakteri
ekstraselular dan toksin membutuhkan imunitas yang diperani oleh antibodi yang dinamakan
imunitas humoral. Secara keseluruhan pertahanan imunologik dan nonimunologik
(nonspesifik) bertanggung jawab bersama dalam pengontrolan terjadinya penyakit infeksi.

Invasi Patogen

Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari respon imun.
Patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan mereka dapat
menginfeksi sementara patogen menghindari kehancuran akibat sistem imun. Bakteri sering
menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim yang mendalami isi perisai, contohnya
dengan menggunakan sistem tipe II sekresi. Sebagai kemungkinan, patogen dapat
menggunakan sistem tipe III sekresi. Mereka dapat memasukan tuba palsu pada sel, yang
menyediakan saluran langsung untuk protein agar dapat bergerak dari patogen ke pemilik
tubuh; protein yang dikirim melalui tuba sering digunakan untuk mematikan pertahanan.

Strategi menghindari digunakan oleh beberapa patogen untuk mengelakan sistem imun
bawaan adalah replikasi intraselular (juga disebut patogenesis intraselular). Disini, patogen
mengeluarkan mayoritas lingkaran hidupnya kedalam sel yang dilindungi dari kontak
langsung dengan sel imun, antibodi dan komplemen. Beberapa contoh patogen intraselular
termasuk virus, racun makanan, bakteri Salmonella dan parasit eukariot yang menyebabkan
malaria (Plasmodium falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.). Bakteri lain,
seperti Mycobacterium tuberculosis, hidup didalam kapsul protektif yang mencegah lisis oleh
komplemen.  Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang mengurangi respon imun atau
mengarahkan respon imun ke arah yang salah.  Beberapa bakteri membentuk biofilm untuk
melindungi diri mereka dari sel dan protein sistem imun. Biofilm ada pada banyak infeksi
yang berhasil, seperti Pseudomonas aeruginosa kronik dan Burkholderia
cenocepacia karakteristik infeksi sistik fibrosis.  Bakteri lain menghasilkan protein
permukaan yang melilit pada antibodi, mengubah mereka menjadi tidak efektif; contoh
termasuk Streptococcus (protein G), Staphylococcus aureus (protein A),
dan Peptostreptococcus magnus (protein L).

Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok terbanyak dari


organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel
tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan
organel lain seperti mitokondria dan kloroplas. Struktur sel mereka dijelaskan lebih lanjut
dalam artikel mengenai prokariota, karena bakteri merupakan prokariota, untuk membedakan
mereka dengan organisme yang memiliki sel lebih kompleks, disebut eukariota. Istilah
“bakteri” telah diterapkan untuk semua prokariota atau untuk kelompok besar mereka,
tergantung pada gagasan mengenai hubungan mereka.

Bakteri adalah yang paling berkelimpahan dari semua organisme. Mereka tersebar (berada di
mana-mana) di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Banyak patogen
merupakan bakteri. Kebanyakan dari mereka kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5 μm,
meski ada jenis dapat menjangkau 0,3 mm dalam diameter (Thiomargarita). Mereka
umumnya memiliki dinding sel, seperti sel tumbuhan dan jamur, tetapi dengan komposisi
sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak yang bergerak menggunakan flagela, yang berbeda
dalam strukturnya dari flagela kelompok lain.
SPECIFIC ATTACHMENTS OF BACTERIA TO HOST CELL OR TISSUE SURFACES

Attachment
Adhesin Receptor Disease
site
Amino
Streptococcus Pharyngeal
Protein F terminus of Sore throat
pyogenes epithelium
fibronectin
Streptococcus Glycosyl Salivary Pellicle of Dental
mutans transferase glycoprotein tooth caries
Buccal
Streptococcus Lipoteichoic
Unknown epithelium of None
salivarius acid
tongue
N-
Streptococcus Cell-bound acetylhexosam Mucosal
pneumonia
pneumoniae protein ine-galactose epithelium
disaccharide
Amino
Staphylococc Cell-bound Mucosal
terminus of Various
us aureus protein epithelium
fibronectin
Type IV pili (N- Glucosamine- Urethral/cerv
Neisseria
methylphenyl- galactose ical Gonorrhea
gonorrhoeae
alanine pili) carbohydrate epithelium
Species-
Enterotoxigen specific Intestinal
Type-I fimbriae Diarrhea
ic E. coli carbohydrate(s epithelium
)
Uropathogeni Complex Urethral
Type I fimbriae Urethritis
c E. coli carbohydrate epithelium
Globobiose
Uropathogeni Upper Pyelonephr
P-pili (pap) linked to
c E. coli urinary tract itis
ceramide lipid
Bordetella Fimbriae Galactose on Respiratory Whooping
pertussis (“filamentous sulfated
hemagglutinin”) glycolipids epithelium cough
N- Fucose and
Vibrio Intestinal
methylphenylala mannose Cholera
cholerae epithelium
nine pili carbohydrate
Surface
Treponema Peptide in outer Mucosal
protein Syphilis
pallidum membrane epithelium
(fibronectin)
Membrane Respiratory
Mycoplasma Sialic acid Pneumonia
protein epithelium
Conjunctival
Chlamydia Unknown Sialic acid or urethral
epithelium

INFEKSI BAKTERI EKSTRASELULER

Strategi pertahanan bakteri

Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi di luar sel, di dalam sirkulasi, di
jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan. Berbagai jenis bakteri yang termasuk
golongan bakteri ekstraseluler telah disebutkan pada bab sebelumnya. Bakteri ekstraseluler
biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler
tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu
kapsul luar (outer capsule) yang mengakibatkan adesi yang tidak baik antara sel fagosit
dengan bakteri, seperti pada infeksi bakteri berkapsul Streptococcus
pneumoniae atau Haemophylus influenzae. Selain itu, kapsul tersebut melindungi molekul
karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali oleh reseptor fagosit.
Dengan adanya kapsul ini, akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri dapat
dihambat. Beberapa organisme lain mengeluarkan eksotoksin yang meracuni leukosit.
Strategi lainnya adalah dengan pengikatan bakteri ke permukaan sel non fagosit sehingga
memperoleh perlindungan dari fungsi fagosit .

Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi dari kerusakan oleh
komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang menyebabkan pemecahan C3 konvertase.
Beberapa bakteri tidak mempunyai regulator tersebut, sehingga akan mengaktifkan jalur
alternatif komplemen melalui stabilisasi C3b3b konvertase pada permukaan sel bakteri.
Dengan adanya kapsul bakteri akan menyebabkan aktivasi dan stabilisasi komplemen yang
buruk.

Beberapa bakteri juga dapat mempercepat pemecahan komplemen melalui aksi produk
mikrobial yang mengikat atau menghambat kerja regulator aktivasi komplemen. Bahkan
beberapa spesies dapat menghindari lisis dengan cara mengalihkan lokasi aktivasi
komplemen melalui sekresi protein umpan (decoy protein) atau posisi permukaan bakteri
yang jauh dari membran sel. Beberapa organisme Gram positif mempunyai lapisan
peptidoglikan tebal yang menghambat insersi komplek serangan membran C5b-9 pada
membran sel bakteri .

Bakteri enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag termasuk
menginduksi apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi fagosom-lisosom dan
mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik juga dimiliki oleh beberapa
bakteri, seperti variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim yang terlibat dalam sintesis
struktur permukaan dan variasi antigenik pili.Keadaan sistem imun yang dapat menyebabkan
bakteri ekstraseluler sulit dihancurkan adalah gangguan pada mekanisme fagositik karena
defisiensi sel fagositik (neutropenia) atau kualitas respons imun yang kurang (penyakit
granulomatosa kronik).

Mekanisme pertahanan bakteri ekstraseluler.


EXTRACELLULAR BACTERIAL PROTEINS THAT ARE
CONSIDERED INVASINS
Invasin Bacteria Involved Activity
Streptococci,
Degrades hyaluronic of
Hyaluronidase staphylococci and
connective tissue
clostridia
Dissolves collagen framework
Collagenase Clostridium species
of muscles
Vibrio
Degrades neuraminic acid of
Neuraminidase cholerae and Shigella
intestinal mucosa
dysenteriae
Converts fibrinogen to fibrin
Coagulase Staphylococcus aureus
which causes clotting
Staphylococci and Converts plasminogen to
Kinases
streptococci plasmin which digests fibrin
Disrupts neutrophil membranes
Leukocidin Staphylococcus aureus and causes discharge of
lysosomal granules
Repels phagocytes and disrupts
phagocyte membrane and
Streptolysin Streptococcus pyogenes
causes discharge of lysosomal
granules
Streptococci, Phospholipases or lecithinases
Hemolysins staphylococci and that destroy red blood cells
clostridia (and other cells) by lysis
Destroy lecithin in cell
Lecithinases Clostridium perfringens
membranes
Destroy phospholipids in cell
Phospholipases Clostridium perfringens
membrane
Anthrax EF Bacillus anthracis One component (EF) is an
adenylate cyclase which causes
increased levels of intracellular
cyclic AMP
One toxin component is an
adenylate cyclase that acts
Pertussis AC Bordetella pertussis
locally producing an increase in
intracellular cyclic AMP

Mekanisme pertahanan tubuh

Respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek toksin dan
mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil,
monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negatif dapat
mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Hasil aktivasi ini adalah C3b
yang mempunyai efek opsonisasi, lisis bakteri melalui serangan kompleks membran dan
respons inflamasi akibat pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin juga merangsang
makrofag dan sel lain seperti endotel vaskular untuk memproduksi sitokin seperti TNF, IL-1,
IL-6 dan IL-8. Sitokin akan menginduksi adesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular
pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi.
Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk
eliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut.

Netralisasi toksin

Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan
menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan menghasilkan
sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu terjadinya reaksi
peradangan yang menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem koagulasi, gagal
organ multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang mengandung reseptor sitokin
dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan
mencegah sitokin berikatan pada sel target.
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan
eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri
terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif
infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui
kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah
konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Dengan ikatan
kompleks bersama antibodi, toksin tidak dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis,
terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi komplemen pada permukaan
bakteri akan semakin bertambah.

Opsonisasi

Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang berfungsi
untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang tidak tergantung
antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi.

Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat terikat pada
manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r dan C1s serta
berikatan dengan C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang
dapat berperan sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS)
merupakan endotoksin yang penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh
tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah
bakteri yang resisten terhadap proses fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag
bila telah diopsonisasi oleh antibodi.

Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi dan komplemen yang diperantarai oleh
reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit, sehingga
meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek augmentasi dari komplemen berasal dari molekul
IgG yang dapat mengikat banyak molekul C3b, sehingga meningkatkan jumlah hubungan ke
makrofag (bonus effect of multivalency). Meskipun IgM tidak terikat secara spesifik pada
makrofag, namun merangsang adesi melalui pengikatan komplemen.

Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat masuk ke
dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen
melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a dan
C5a yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk antibodi yang lebih
banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap  neutrofil untuk membantu fagositosis.

Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di lokasi infeksi
lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang dikeluarkan
oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih dahulu tiba di tempat
infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua faktor kemotaktik.

Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi pada dinding
sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi PMN pada
permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk pada proses adesi
ini akan merangsang ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel. Sel PMN juga akan
melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri yang telah menginfeksi.

Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan pseudopodia
yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga bakteri akan
terperangkap di dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam fagosom akan
mengeluarkan berbagai enzim dan protein untuk merusak dan menghancurkan bakteri
tersebut.

Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi maupun
nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat itu. Oksidasi dapat
berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan mieloperoksidase
terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase. Proses ini
menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap
bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl).

Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H2O2 dengan superoksida dan


radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi berlangsung dengan
perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin,
lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan bakteri, pH dalam sel fagosit
dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang bermuatan positif dalam pH yang
alkalis bersifat sangat toksik dan dapat merusak lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif.
Selain itu, bakteri juga dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena
aktivitas lisozim. Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan
sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).
Sistem imun sekretori

Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen dan


nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi oleh
neutrofil, makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis bakteri melalui
disrupsi pada permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai oleh IgA sekretori dan
IgM, dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada usus besar. Antibodi IgA
mempunyai fungsi proteksi dengan cara melapisi (coating) virus dan bakteri dan mencegah
adesi pada sel epitel di membran mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig ini mempunyai afinitas
tinggi terhadap neutrofil dan makrofag dalam proses fagositosis. Apabila agen infeksi
berhasil melewati barier IgA, maka lini pertahanan berikutnya adalah IgE. Adanya kontak
antigen dengan IgE akan menyebabkan pelepasan mediator yang menarik agen respons imun
dan menghasilkan reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang
disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi IgG dan komplemen, sedangkan
faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil akan menarik sel efektor yang diperlukan
untuk mengatasi organisme penyebab infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b.
Penyatuan kompleks antibodi-komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor yang
memperkuat permeabilitas vaskular dan proses kemotaktik .

Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka fagosit dapat
mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler, yaitu Antibody-Dependent
Cellular Cytotoxicity (ADCC).

INFEKSI BAKTERI INTRASELULER

Strategi pertahanan bakteri

Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan obligat.
Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah difagositosis tetapi tidak dapat
dihancurkan oleh sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah bakteri yang hanya
dapat hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini dapat terjadi karena bakteri
tidak dapat dijangkau oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga mekanisme respons imun
terhadap bakteri intraseluler juga berbeda dibandingkan dengan bakteri ekstraseluler.
Beberapa jenis bakteri seperti basil tuberkel dan leprosi, dan
organisme Listeria dan Brucella menghindari perlawanan sistem imun dengan cara hidup
intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit mononuklear, karena sel tersebut mempunyai
mobilitas tinggi dalam tubuh. Masuknya bakteri dimulai dengan ambilan fagosit setelah
bakteri mengalami opsonisasi. Namun setelah di dalam makrofag, bakteri tersebut melakukan
perubahan mekanisme pertahanan.

Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui tiga mekanisme,


yaitu

1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri,

2) lipid mikobakterial seperti lipoarabinomanan menghalangi pembentukan ROI (reactive


oxygen intermediate) seperti anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan
terjadinya respiratory burst, 

3) menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan lisin sehingga tetap hidup bebas
dalam sitoplasma makrofag dan terbebas dari proses pemusnahan selanjutnya

Mekanisme pertahanan tubuh

Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat penting dalam
mengatasi organisme intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan partikel antigen yang
dipresentasikan melalui MHC II pada permukaan makrofag yang terinfeksi bakteri
intraseluler. Sel T helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin IFN γ yang akan mengaktivasi
makrofag dan membunuh organisme intraseluler, terutama melalui pembentukan oksigen
reaktif intermediat (ROI) dan nitrit oxide (NO). Selanjutnya makrofag tersebut akan
mengeluarkan lebih banyak substansi yang berperan dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu
juga terjadi  lisis sel yang diperantarai oleh sel T CD8.

Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik.
Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang terkativasi yang membentuk
granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebaran. Hal ini dapat berlanjut
pada nekrosis jaringan dan fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi. Oleh
karena itu, kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh respons imun terhadap infeksi
bakteri intraseluler.

BAGAIMANA SISTEM IMUNITAS BEKERJA

Untuk bisa memahami reaksi vaksin yang terjadi di dalam tubuh manusia maka, pertama kali
kita harus mengerti tentang sistem imunitas. Sistem ImunSistem yang sangat komplek di
dalam tubuh, yang bertanggung jawab untuk melawan penyakit. Tugas utama adalah
mengidentifikasi benda asing dalam tubuh (termasuk bakteri, virus, jamur, parasit, organ atau
jaringan transplantasi) dan menghasilkan pertahanan tubuh untuk melawan benda asing
tersebut. Pertahanan ini dikenal sebagai respon imun.. Sistem imunitas didesain untuk
mengenal dan menghancurkan benda asing yang masuk kedalam tubuh manusia
termasuk patogen. Patogen Suatu penyakit yang disebabkan oleh substansi, pada umumnya
dipergunakan untuk organisme (bakteri, virus) dan produk biologisnya (misalnya toksin)..

Bakteri (contoh).

Sumber: wikipedia.org

Patogen adalah benda atau bahan yang dapat menimbulkan penyakit-Penyakit yang dapat
dicegah dengan vaksinPenyakit-penyakit yang ada vaksinnya untuk memberikan
perlindungan sebagian atau lengkap. pada manusia. Istilah patogen secara umum dipakai
untuk organisme penyebab penyakit seperti bakteri, virus dan produk biologisnya seperti
toksin yang dihasilkan oleh organisme tersebut.

Bakteri dalah mikroorganisme sel tunggal, punya inti sel, yang dapat membelah sendiri
dengan cepat.
Virus tidak dapat membelah sendiri, mereka membutuhkan sel dan jaringan hidup dari tubuh
inang/pejamu untuk membelah/memperbanyak diri.

Sel virus yang terinfeksi.

Sumber: wikipedia.org

Sistem imunitas yang ada dalam tubuh manusia merespon masuknya bakteri dan virus ke
dalam tubuh manusia melalui mekanisme yang sangat rumit dan komplek. Sistem imunitas
ini mengenal molekul (AntigenSubstansi asing didalam badan yang memicu untuk
menghasilkan antibodi.) yang unik dari bakteri atau virus yang merangsang timbulnya
antibodi (sejenis protein) dan sejenis sel darah putih yang disebut limfosit. Limfosit ini
menandai antigen yang masuk dan kemudian menghancurkannya.

Awal terjadinya proses reaksi imunitas yaitu mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan
setiap benda asing masuk ke dalam tubuh, sejumlah limfosit yang disebut dengan
sel memory segera berkembang menjadi limfosit yang mempunyai kemampuan membuat zat
kekebalan yang bertahan lama (long lasting immunity). Seperti telah disebutkan diatas,
imunitas adalah mekanisme tubuh manusia untuk melawan dan memusnahkan benda asing
yang masuk ke dalam tubuh manusia. Benda asing tersebut bisa berupa bakteri, virus, organ
transplantasi dll. Apabila suatu sel atau jaringan seperti bakteri atau organ tubuh
ditransplantasikan ke dalam tubuh seseorang maka tubuh orang tersebut akan menolaknya
karena benda asing tersebut dianggap bukan sebagai bagian dari jaringan tubuh mereka.
Benda asing tersebut dianggap sebagai pendatang (invader) yang harus diusir. Jadi secara
sederhana dapat didefinisikan kembali bahwa sistem kekebalan (immune system) ialah
mekanisme tubuh manusia untuk melawan/ mengusir benda asing yang masuk kedalam tubuh
mereka. Pertama-tama “memory cells” berupaya mengenal benda asing yang masuk dan
disimpan dalam “ingatan” sel memori ini. Ini disebut dengan reaksi imunitas primer. Apabila
benda asing yang sama masuk lagi ke dalam tubuh orang tersebut untuk kedua kali dan
seterusnya, maka sel memori ini dengan lebih cepat dan sangat efektif akan merangsang
sistem imunitas untuk mengusir dan melawan benda asing yang sudah dikenal tersebut.
Reaksi tubuh akan lebih cepat dan lebih efektif dibandingkan dengan reaksi saat perjumpaan
untuk pertama kalinya dengan benda asing tersebut.

Respo
n imun primer dan sekunder.

Grafik dibawah ini membandingkan respon imun primer dengan sekunder terhadap patogen
yang sama. Respon sekunder akan dieliminasi oleh patogen sebelum terjadi kerusakan
Respon imun primer dan sekunder terhadap patogen yang sama

KESIMPULAN

Autoimunitas merupakan respons imun terhadap antigen aringansendiri yang disebabkan oleh 
hilangnya toleransi. Autoimun terjadi oleh karena dikenalnya self antigen yang menimbulkan
aktivitas, proliferasi serta sel T auto reaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan

jaringan.

Aging (penuaan) dihubungkan dengan sejumlah perubahan pada fungsi imun tubuh,
khususnya penurunan imunitas mediated sel. Fungsi sistem imunitas tubuh
(immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi
menurun termasuk kecepatan respons immun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti
manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan
meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini
disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan
gejalagejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi
imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga
vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah
lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan benda
asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri
(autobody immune).
Daftar Pustaka

Hardegree MC, Tu AT (eds): Handbook of Natural Toxins. Vol.4: Bacterial Toxins. Marcel
Dekker, New York, 1988

Iglewski BH, Clark VL (eds): Molecular Basis of Bacterial Pathogenesis. Vol. XI of The
Bacteria: A Treatise on Structure and Function. Academic Press, Orlando, FL, 1990

Buku Ajar Alergi Imunologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi 2.

Luderitz O, Galanos C: Endotoxins of gram-negative bacteria. p.307. In Dorner F, Drews J


(eds): Pharmacology of Bacterial Toxins. International Encyclopedia of Pharmacology and
Therapeutics, Section 119. Pergamon, Elmsford, NY, 1986

Mims CA: The Pathogenesis of Infectious Disease. Academic Press, London, 1976

Payne SM: Iron and virulence in the family Enterobacteriaceae. Crit Rev Microbiol 16:81,
1988

Sack RB: Human diarrheal disease caused by enterotoxigenic Escherichia coli. Annu Rev
Microbiol 29:333, 1975

Salyers, AA, Whitt DD: Bacterial Pathogenesis – A Molecular Approach ASM Press, 1994

Smith H: Microbial surfaces in relation to pathogenicity. Bacteriol Rev 41:475, 1977

Smith H, Turner JJ (eds): The Molecular Basis of Pathogenicity. Verlag Chemie, Deerfield
Beach, FL, 1980

Weinberg ED: Iron withholding: a defense against infection and neoplasia. Physiol Rev
64:65, 1984

Eisenstein TK, Actor P, Friedman H: Host Defenses to Intracellular Pathogens. Plenum


Publishing Co, New York, 1983

Finlay BB, Falkow S: Common themes in microbial pathogenicity. Microbiol Rev 53:210,
1989

Foster TJ: Plasmid-determined resistance to antimicrobial drugs and toxic metal ions in
bacteria. Microbiol Rev 47:361, 1983

Anda mungkin juga menyukai