Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

MAKALAH

DESENTALISASI DAN OTONOMI DAERAH

“ Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan


Otonomi Daerah”

Oleh:

SULHAM AGUSTAN.S

217 101 029

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS LAKIDENDE

UNAAHA
2020

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT., atas izin dan kehendak-Nya-
lah kami bisa menyelesaikan makalah ini. Salawat serta salam kami ucapkan kepada Nabi
Muhammad SAW, nabi terakhir sekaligus manusia yang menjadi teladan bagi kita semua.

Tujuan penyusunan makalah ini tentunya ialah untuk memenuhi salah satu tugas
kelompok mata kuliah Otonomi Daerah. Makalah yang kami susun ini berjudul ”Hubungan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah”.
Demi tersusunnya makalah ini, kami mengambil referensi dari berbagai buku bacaan serta
sumber lain dari internet.

Demikianlah, beberapa patah kata yang kami sampaikan. Kami menyadari bahwa
makalah yang kami buat ini masih memiliki banyak sekali kekurangan. Maka dari itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan sarannya agar penulis bisa membuat sebuah makalah yang
lebih baik di kemudian hari.

Wasslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Unaaha, 25 Juni 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................................... 2

C. Tujuan................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hubungan dalam Bidang Kewenangan............................................................... 3

B. Hubungan dalam Bentuk Pembinaan dan Pengawasan...................................... 5

C. Hubungan dalam Bidang Keuangan................................................................... 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................................... 11

B. Saran................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak Negara Republik Indonesia diproklamasikan, para pendiri negara (the founding
father) berkeinginan bahwa negara Indonesia ini merupakan Negara Kesatuan. Hal ini dapat
dilihat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Negara Indonesia ialah
negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”

Sejak Konstitusi Indonesia ditetapkan sampai terjadinya amandemen pasal-pasal


dalam Konstitusi RI (UUD 1945), pasal tersebut tidak termasuk ke dalam pasal yang
diamandemen. Hal ini membuktikan bahwa sejak diproklamasikannya negara ini hingga
sekarang, Indonesia tetap berprinsip pada bentuk negaranya sebagai Negara Kesatuan. Bahkan
menurut Pasal 37 ayat (5) UUD 1945, hasil amandemen UUD 1945 menetapkan bahwa
khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.

Menurut Syafrudin (1993), ciri yang melekat dari negara kesatuan yaitu adanya
Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang keduanya saling berhubungan erat dan
saling menentukan. Artinya, Pemerintah Pusat tidak akan mampu menjalankan tugas dan
kewajiban dalam organisasi kekuasaan negara yang sangat luas tanpa bantuan Pemerintah
Daerah. Di sisi lain, Pemerintahan Daerah tidak akan mendapat kekuasaan (power) yang
berbentuk kewenangan (authority) untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya apabila
tidak diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat yang diatur melalui peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
di negara kesatuan sangat menentukan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang baik, perlu adanya pembinaan dan
pengawasan terhadap setiap tindakan daerah otonom. Selain dalam hal kewenangan dan
pembinaan serta pengawasan, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga
mencakup hubungan dalam bidang keuangan, hubungan dalam bidang pelayanan umum dan
hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.

4
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membatasi rumusan masalah sebagai
berikut:

1. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang
kewenangan?
2. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bentuk
pembinaan dan pengawasan?
3. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang
keuangan?

C. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:

1. Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan


Pemerintah Daerah dalam bidang kewenangan.
2. Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam bentuk pembinaan dan pengawasan.
3. Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerntah Daerah dalam bidang Keuangan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan dalam Bidang Kewenengangan

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang kewenengan
berkaitan dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara
menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini mencerminkan bentuk otonomi
terbatas atau otonomi luas. Menurut Manan (2002), suatu daerah dapat digolongkan sebagai
otonomi luas apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

1.Urusan-urusan rumah tangga daerah secara kategori dan pengembangannya diatur dengan
cara-cara tertentu pula.

2. Apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah
otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya.

3.Sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti
keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi
daerah.

Dalam penyelenggaraan otonomi luas, urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah


jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang tetap menjadi
wewenang pemerintahan pusat. Otonomi luas bisa bertolak dari prinsip, semua urusan
pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali hal-hal yang
ditentukan sebagai urusan pusat sebagai mana diatur dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004, yaitu:

1.Politik luar negeri, yaitu seperti urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunjuk
keluarga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar
negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar
negeri dan sebagainya.

2.Pertahanan, misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai


dan perang, menyatakan negara atau sebagian negara dalam keadaan bahaya, membangun dan
mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk
wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara, dan sebagainya.

6
3.Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan
keamanan nasional, menindak kelompok atau organisasi yang melanggar hukum negara,
menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya menggangu keamanan negara dan
sebagainya.

4.Moneter dan fiskal nasional, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang,
menetapkan kebijakan moneter/fiskal, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya.

5.Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hukum dan jaksa, mendirikan
lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan
grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang peraturan pemerintah, dan peraturan lain
yang berlaku secara nasional.

6.Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberi
hak pengakuan terhadap suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan
kehidupan keagamaan dan sebagainya..

Selain keenam urusan pemerintah tersebut, selebihnya menjadi wewenang Pemerintah


Daerah. Dengan demikian, urusan yang dimiliki pemerintah daerah tidak terbatas. Daerah
diberi kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dianggap mampu
dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan memiliki potensi untuk dikembangkan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat (Abdullah, 2000).

Dalam pembagian urusan pemerintahan, terdapat bagian urusan pemerintahan yang


bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang
tertentu, dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan
demikian, pada setiap urusan yang bersifat concurrent, ada bagian urusan yang menjadi
wewenang Pemerintah Pusat dan ada bagian yang diserahkan pada kabupaten/kota. Untuk
mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent ini, secara proporsional antara
Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang
meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan
antar susunan pemerintahan sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah,
kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, atau antar
pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis.

a).Eksternalitas, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan


mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi
kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

7
b).Akuntabilitas, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah
tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang
ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

c).Efisiensi, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan


mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk
mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya
dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi
dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka
bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota.
Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila
ditangani oleh Pemerintah Pusat maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah
Pusat. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang
lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan
hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar
kecilnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan
yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat
pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung
(inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan
memperhatikan cakupan kemanfaatan.

B. Hubungan dalam Bentuk Pembinaan dan Pengawasan

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur dalam Bab XII 12 Undang-undang


Nomor 32 tahun 2004 dan diatur lebih terperinci dalam peraturan pemerintah Nomor 79 tahun
2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dilakukan oleh Pemerintah (pusat) untuk menjaga keutuhan NKRI. Hal ini karena tidak
menutup kemungkinan dengan diberikannya keleluasaan dan kewenengan untuk menjalankan
roda pemerintahannya (desentralisasi), daerah dengan kewenangannya sendiri
meneyelenggarakan pemerintahan tanpa memperhatikan keperluan (keutuhan) NKRI
(Pemerintah Pusat) sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah merupakan upaya yang dilakukan


oleh pemerintah dan/atau gubernur selaku wakil pemerintah pusat yang ada di daerah untuk
mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Pembinaan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi :

8
a.koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan;

b.pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;

c.pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan;

d.pendidikan dan pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD,
perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan
desa, dan masyarakat secara umum;

e.perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan


pemerintahan.

Konsultasi dilaksanakan secara berkala pada tingkat nasional, regional, atau provinsi.
Pemberian pedoman dan standar mencangkup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana,
pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan. Pemberian bimbingan, supervisi dan
konsultasi dilaksanakan secara berkala dan/ atau sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh
kepada seluruh daerah maupu kepala daerah tertntu sesuai dengan kebutuhan. Pendidikan dan
pelatihan dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota
DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, dan kepala desa. Perencanaan,
penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi dilaksanakan secara berkala ataupun
sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan pemerintahan. Pelaksanaan ketentuan tersebut
dapat dilakukan secara kerja sama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian.

Dalam hal pengawasan Pemerintah Pusat terhadap setiap penyelenggaraan


Pemerintahan Daerah, diatur dalam BAB XII pasal 218 Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004. Maksud pengawasaan ini ialah menjaga pelaksanaan otonomi oleh daerah-daerah agar
diselenggarakan dan tidak bertindak melebihi wewenangnya sehingga daerah dengan
wewenangnya yang luas, nyata dan bertanggung jawab ini menyelenggarakan pemerintahan
tanpa memperhatikan keutuhan NKRI.

Fungsi pengawasan ini dalam rangka menjamin terlaksananya kebijaksanaan


pemerintah dan rencana pembangunan pada umumnya. Dalam organisasi pemerintahan,
pengawasan bertujuan menjamin:

1.keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintah oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, dan

2.kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pengawasan Pemerintah Pusat atas penyelenggaraan pemerintah daerah ini tentunya telah
mengalami pergeseran sejak adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagaimana

9
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dikenal dengan adanya
pengawasan umum, pengawasan preventif, dan pengawasan represif.

1.Pengawasan Umum

Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, pengawasan umum ialah


pengawasan Pemerintah Pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang
telah diberikan oleh Pemerintah Pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang
yang telah diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan umum
ini meliputi bidang pemerintahan, kepegawaian, keuangan dan peralatan, pembangunan,
perumahan daerah, serta bidang yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri.

2.Pengawasan Preventif

Pengawasan preventif mengharuskan setiap peraturan daerah dan keputusan kepala


daerah mengenai pokok tertentu berlaku sesudah mendapatkan pengesahan dari Menteri
Dalam Negeri bagi peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tingkat II. Peraturan daerah
dan keputusan kepala daerah yang memerlukan pengesahan itu adalah hal-hal yang
menyangkut sebagai berikut:

a.Menetapkan ketentuan ketentuan yang menyangkut rakyat dan mengandung perintah,


larangan, keharusan berbuat sesuatu yang ditujukan langsung kepada rakyat.

b.Mengadakan ancaman pidana berupa denda atau hukuman kurungan atas pelanggaran
tertentu.

c.Memberikan bahan kepada rakyat (pajak, retribusi daerah).

d.Mengadakan utang piutang, menanggung pinjaman, mengadakan perusahaan daerah,


menetapkan dan mengubah apbd, mengatur gaji pegawai dan lain-lain.

3.Pengawasan Represif

Pengawasan represif adalah menyangkut penangguhan atau pembatalan Peraturan


Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangan yang
tingkatnya lebih tinggi. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang
terhadap semua peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 218, pengawasan atas


penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan melalui:

1.Pengawasan atas penyelenggaraan urusan pemerintah didaerah dilaksanakan oleh


pemerintah yang meliputi;

10
a.Pengawasan atas pelaksanaan dan urusan pemerintahan didaerah;

b.Pengawasan terhadap peraturan daerah dasn peraturan kepala daerah.

2.Pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat
pengawas intern pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.

Untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah memberi


penghargaan pada pemerintah daerah, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, anggota
DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, perangkat desa, anggota badan
permusyawaratan desa berdasarkan hasil penilaian terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan
daerah yang menunjukan prestasi tertentu. Sebaliknya, pemerintah juga memberikan sanksi
apabila ditemukan adanyan pemyimpangan dan pelanggaran.

C. Hubungan dalam Bidang Keuangan

Dalam alokasi sumber keuangan daerah, yang menjadi pokok permasalahan ialah
perimbangan antara keuangan pusat dan keuangan daerah. Perimbangan adalah memperbesar
pendapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak.
Permasalahan yang sering terjadi saat ini ialah minimnya jumlah uang yang dimiliki daerah
dibandingkan dengan uang yang dimiliki pusat.

Beberapa hal yang perlu dicatat mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah ialah
sebagai berikut:

1.Meskipun pendapatan asli daerah tidak banyak, tidak berarti lumbung keuangan daerah tidak
berisi banyak. Lumbung keuangaan daerah tidak bersumber dari pendapatan sendiri, tetapi
dari uang yang diserahkan pusat kepada daerah seperti subsidi dan lainya. Tidak berarti pula
lumbung keuangan daerah yang terbatas itu menyebabkan rakyatnya menikmati kesejahteraan
karena usaha kesejahteraan ikut diselenggarakan pusat.

2.Meskipun ada skema hukum perimbangan keuangan, dalam kenyataan perimbangan


keuangan pusat dan daerah hanya ilusi karena dalam keadaan apapun, keuangan pusat akan
selalu lebih kuat dari pada keuangan daerah.

3.Meskipun sumber lumbung keuangan daerah diperbesar, tidak akan ada daerah yang mampu
membelanjai secara penuh rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-undang nomor 32 tahun 2004, hubungan di bidang


keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (vertikal) meliputi sebagai
berikut:

11
1.Pemberian sumber-sumber keuangan, untuk meneyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah.

2.Pengalokasian dana perimbangan kepadada pemerintah daerah.

3.Pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah

Sementara itu, hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintah daerah (horizontal)
meliputi sebagai berikut:

1.Bagi hasil pajak dan non pajak antara pemerintah ke daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/ kota.

2.Pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama.

3.Pembiayaan bersama atas kerja sama daerah.

4.Pinjaman dan/ atau hibah antar pemerintah daerah.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat (3), Ada enam hal yang
menjadi urusan Pemerintah Pusat yang tidak menjadi kewenangan Pemerintah Daerah yaitu
mengenai politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan
persoalan agama. Selain keenam hal tersebut, selebihnya menjadi urusan daerah. Untuk
mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah,
Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi
eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Pusat mengadakan pembinaan


dan pengawasan terhadap setiap kewenangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Pembinaan atas penyelenggaraan tersebut meliputi koordinasi pemerintahan antar susunan
pemerintahan; pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; pemberian
bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; pendidikan dan
pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah,
pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan
masyarakat secara umum; serta perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan
evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Dalam hal pengawasan Pemerintah Pusat atas
penyelenggaraan Pemerintah Daerah dikenal adanya tiga jenis pengawasan yaitu pengawasan
umum, pengawasan preventif, dan pengawasan represif.

Dalam hal hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang
keuangan, pelayanan umum serta pengelolaan sumber daya diatur dalam pasal 15 sampai
pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dimana disana diatur mengenai hubungan
secara vertikal (antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) dan hubungan secara
horizontal (antar pemerintah daerah) mengenai ketiga bidang tersebut.

B. Saran

Pelaksanaan otonomi daerah di era globalisasi saat ini perlulah ditingkatkan lagi. Peran
Pemerintah Pusat sangatlah penting dalam membantu pembangunan di daerah-daerah. Dalam
hal pengelolaan keuangan daerah, sangatlah perlu adanya peningkatan dalam manajemen

13
pengelolaannya. Dalam hal pelayanan umum di daerah, kita masih sering menemukan
ketidakpuasan dari masyarakat. Beberapa rekomendasi terkait hal tersebut bisa dilakukan
melalui penetapan standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures (SOP),
pengembangan survey kepuasan pelanggan, dan pengembangan sistem pengelolaan
pengaduan. Selain itu perlu adanya reformasi birokrasi yang serius dalam mengatasi
kelemahan-kelemahan pelayanan di daerah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. 2000. Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme sebagai Suatu
Alternatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

http://dhyazjopi.blogspot.co.id/2013/05/hubungan-pemerintah-pusat-dan-daerah.html diakses
pada 15 November 2015 pukul 06.30 WIB

http://nurfaradilaa.blogspot.co.id/2013/04/hubungan-pemerintah-pusat-dengan_24.html
diakses pada 12 November 2015 pukul 11.54 WIB

Manan, Bagir. 2002. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum UII.

Rosidin, Utang. 2015. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia.

Safrudin, Ateng. 1993. Pengaturan Koordinasi Pemerintah di Daerah. Bandung: Citra Aditya.

15

Anda mungkin juga menyukai