Buku Saku
Buku Saku
Alhamdulillah Puji Syukur kehadirat Illahi Robbi, Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, kasih sayang dan karunia-Nya. Sehingga sampai saat
ini kita masih dipertemukan dalam kebersamaan, yaitu menjadi bagian dari
keluarga besar BMD Syariah tercinta. 19 tahun sudah kebersamaan kita, banyak
suka duka yang telah kita lewati, banyak perjuangan, pengorbanan, dan cerita
yang telah kita jalani bersama. Itu semua tidak lain adalah agar BMD Syariah
kita ini kedepan menjadi lembaga yang besar dan juga membanggakan kita semua.
Untuk itu ijinkan saya dalam kesempatan Milad ke-19 tahun ini,
memberikan sedikit kenang-kenangan berupa buku saku yang mungkin dapat
dijadikan pengingat, bacaan, maupun pedoman dasar dalam kita beraktifitas dan
bekerja di BMD Syariah tercinta ini. Tulisan ini saya sari dari berbagai macam
sumber dan dilengkapi pendalaman ayat-ayat Al-Qur’an oleh Bapak Bambang
Abimanyu. Mungkin masih banyak hal yang perlu disempurnakan tetapi semoga
buku ini minimal dapat menjadikan pengingat dan juga referensi bagi para
karyawan baru khususnya dan seluruh karyawan pada umumnya.
Terakhir tak lupa saya ucapkan Selamat Milad ke-19 tahun, BMD Syariah
ku Tercinta, Semoga bertambahnya usia membuat kita semua semakin solid dan
kompak, loyal serta militan. Mempererat tali ukhuwah, merapatkan shof dan
barisan kita dalam berjamaah. Menjadi sebaik-baik manusia dengan terus
menebar manfaat untuk semua dan menjadikan BMD Syariah tercinta lebih kuat
dan bermartabat menuju Islam rahmatan lil ‘alamin. Jayalah BMD Syariah ku,
Jayalah selalu Indonesia ku, Allohu Akbar !!!
Rezeki
Pengertian Rezeki dan Jalur-jalur Rezki Diturunkan menurut Al-Qur’an
Dari semua makhluk yang diciptakan oleh Allah, maka manusia adalah
makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Allah. Dari kesempurnaan manusia
telah dikarunia dengan badan yang sehat, otak yang cerdas, serta keimanan dan
kemampuan melaksanakan ibadah dengan baik, dan untuk melaksanakan aktifitas
sebagai makhluk maka Allah memberikan berupa rezeki. Namun demikian, ada
sebagian manusia yang mempunyai pemikiran bahwa rezeki Allah hanya berupa
materi. Padahal rezeki Allah sangatlah luas.
Pengertian Rezeki
Rezeki berarti segala sesuatu yang bermanfaat, berdaya guna bagi
makhluk, serta dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber penghidupan.
Rezeki juga berarti anugerah, karunia atau pemberian dari Allah SWT. Kepada
makhlukNya. Dengan ungkapan lain, segala sesuatu yang dapat menunjang
kelangsungan hidup manusia dan mengantarkannya kepada kehidupan yang lebih
baik.
Dari pengertian tersebut di atas juga ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki lalu
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah diantara yang kamu
sekutukan dengan Allah itu dapat berbuat demikian? Maha Suci Dia dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (Q.S.Ar-rum : 40).
Pada ayat di atas, Allah menegaskan bahwa Dia telah menghidupkan
manusia lalu member rezki, kemudian mematikan lalu menghidupkan kembali.
Kemudian Dia mempertanyakan kembali kepada manusia “ Adakah diantara
mereka yang kamu sekutukan dengan Allah itu dapat berbuat demikian?” .
Pertanyaan semacam itu lazim disebut dengan sebuah penegasan dalam arti
penegasan bahwa tidak ada makhluk yang dapat berbuat demikian
Islam tidak menganjurkan pemeluknya menjadi pengangguran, meski
dengan alasan berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah swt, atau
menggantungkan belas kasih kepada orang lain dengan cara meminta-minta. Oleh
karena itu usaha mencari rezki adalah sebuah keharusan dengan cara yang
dibenarkan oleh agama (baik dan halal).
Cara Menurunkan Rezeki Allah Menurut Al-Qur’an
Dalam mendapatkan sebuah rezeki dari Allah, Al-Qur’an telah menjelaskan
cara menurunkan rezeki Allah kepada hambanya, diantaranya sebagai berikut :
1. Rezeki karena usaha
Rezeki karena usaha dapat dilihat firman Allah :
“Tidaklah manusia mendapatkan apa-apa kecuali apa yang dikerjakan” (Q.S.
53 : 39)
2. Rezeki yang telah dijamin
“Tidak ada satu makhluk melata pun yang bergerak di atas bumi ini yang
tidak dijamin Allah rezekinya” (QS.11 : 6)
Ayat tersebut erat kaitannya dengan nomor 1 diatas, yang dengan artian
bahwa Allah pasti menjamin rezeki bagi siapa yang berusaha.
3. Rezeki karena bersyukur
Salah cara memberikan Allah rezeki adalah dengan jalan bersyukur dari
segala nikmat yang telah di nikmati. Sebagaimana Allah berfirman :
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur past kami akan menambah (nikmat)
kepadamu (Q.S. 14 : 7)
4. Rezeki yang tak terduga
Rezki yang tak terduga tersebut dapat di jumpai dalam Al-Qur’an,
sebagaimana firman Allah :
“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan
baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-
sangkanya” (Q.S.At-thalaq : 2)
5. Rezeki karena banyak beristigfar
Hal tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an :
“beristigfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah maha pengampun,
pasti Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan
memperbanyak harta” (Q.S. 71 : 10-11)
6. Rezeki karena menikah
Salah satu ditambahkannya rezeki seorang hamba adalah dengan jalan
menikah, dengan artian bahwa seorang hamba apabila sudah menikah maka
Allah akan membukakan pintu rezeki. Hal ini dijelaskan dalam Al-qur’an
“Dan nikahilah orang-orang yang masih membujang diantara kamu dan juga
orang-orang yang layak diantara hamba sahayamu, baik laki-laki dan
perempuan, jika mereka miskin maka Allah akan memberikan kemapaman
kepada mereka dengan karuniaNya” (Q.S.An-nur : 32)
7. Rezeki karena anak
Anak adalah salah satu karunia yang sangat besar dari Allah, anak juga
merupakan penyebab diberikannya rezeki. Dalam Al-qur’an telah dijelaskan
dimana anak anak salah satu penyebab ditambahkannya rezeki seorang hamba
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakamu karena takut miskin. Kamilah
yang menanggung rezeki mereka dan juga (rezeki) bagimu” (Q.S. Al-isra’ : 31)
8. Rezeki karena sedekah
Salah satu jalan untuk ditambahkannya rezeki adalah dengan rajin
bersedekah, karena orang yang bersedekah adalah orang-orang yang selalu
merasa bersyukur atas nikmat yang diberikan kepadanya, dan orang-orang
yang sering bersedekah maka Allah akan menambahkan rezekinya. Firman
Allah dalam Al-Qur’an
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(infaq dan sedekah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak” (Q.S. Al-Baqarah : 245)
Rezeki Yang Halal dan Berkah
Setiap muslim berhak untuk hidup layak, aman, damai, dan bahagia. Menurut
Al-Qur’an bahwa hidup layak merupakan hak sekaligus kewajiban mendasar dan
utama dalam Islam. Sehingga ajaran Al-Qur’an dan hadits mendorong manusia
untuk mencari rezeki yang halal dan thayyib, agar kebutuhan hidup mereka
terpenuhi. Rasulullah saw., telah bersabda :
“Wahai manusia bertaqwalah kamu kepada Allah, pakailah cara baik untuk
mencari rezeki”.
Rasulullah juga menegaskan serta mengingatkan kepada manusia agar
berhati-hati dalam mencari harta dan menganjurkan mereka untuk selektif
dalam memperolehnya sehingga harta yang menjadi hak miliknya benar-benar
halal. Sebagaimana yang telah disabdakan :
“Dari Abu Hurairah, Rasulllah saw bersabda : “ Pasti akan datang pada
manusia suatu azaman dimana seseorang tidak peduli lagi dari mana hartanya
diperoleh, apakah dari yang halal atau dari yang haram” (H.R. Bukhari dan Abu
Ya’la)
Bekerja
Bekerja adalah ibadah. Bekerja adalah bagian dari kewajiban seorang
hamba kepada Allah Ta’ala. Karena bekerja adalah ibadah, maka ada aturan
syariat yang menaunginya. Bekerja bukan asal bekerja. Bekerja bukan sekedar
mendapatkan dunia saja tapi bagaimana agar pahala juga diperoleh.
Allah Ta’ala memerintahkan bekerja kepada setiap hamba-hambaNya (QS.
Attaubah : 105) yang artinya, “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.“
Seorang muslim minimal sekali diharuskan untuk dapat memberikan nafkah
kepada dirinya sendiri, dan juga kepada keluarganya.
Keutamaan Bekerja
Pertama, orang yang ikhlas bekerja akan mendapatkan ampunan dosa dari Allah
Ta’ala. Dalam sebuah hadis diriwayatkan :
“Siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan yang telah
dilakukannya, maka ia dapatkan sore hari tersebut dosa-dosanya diampuni oleh
Allah Ta’ala.” (HR. Thabrani).
Kedua, akan diampuninya suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat,
puasa, zakat, haji dan umrah. Dalam sebuah riwayat dikatakan :
“Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, terdapat satu dosa yang tidak dapat
dihapuskan dengan shalat, puasa, haji dan umrah.’ Sahabat bertanya, ‘Apa yang
dapat menghapuskannya wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Semangat dalam
mencari rizki.’ (HR. Thabrani).
Ketiga, mendapatkan cinta Allah Ta’la. Dalam sebuah riwayat digambarkan :
“Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu’min yang giat bekerja.” (HR.
Thabrani).
Keempat, terhindar dari azab neraka. Dalam sebuah riwayat dikemukakan, “Pada
suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan
Sa’ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan
matahari.
Rasulullah bertanya, ‘Kenapa tanganmu?’ Saad menjawab, ‘Karena aku mengolah
tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil tangan
Saad dan menciumnya seraya berkata, ‘Inilah tangan yang tidak akan pernah
disentuh oleh api neraka.'” (HR. Tabrani).
Bekerja yang Berbuah Surga
Jika pekerjaan seorang muslim itu benar (tidak menyalahi syariat), dilakukan
dengan benar (tidak menipu dan hal buruk lainnya), maka surga kelak di akhirat
akan menjadi buah dari kerjanya selama di dunia ini. Pertanyaannya, kerja yang
dikerjakan seperti apakah yang mampu membuahkan surga ? Setidaknya ada
beberapa hal yang harus diperhatikan seorang muslim agar kerja-kerjanya
berbuah surga antara lain sebagai berikut.
Pertama, Niat Ikhlas Karena Allah SWT
Ketika bekerja, niatan utamanya adalah karena Allah SWT sebagai kewajiban
dari Allah yang harus dilakukan oleh setiap hamba. Dan konsekwensinya adalah ia
selalu memulai aktivitas pekerjaannya dengan dzikir kepada Allah. Ketika
berangkat dari rumah, lisannya basah dengan do’a bismillahi tawakkaltu alallah..
la haula wala quwwata illa billah.. Dan ketika pulang ke rumah pun, kalimat tahmid
menggema dalam dirinya yang keluar melalui lisannya.
Kedua, Itqan, sungguh-sungguh dan profesional dalam bekerja
Syarat kedua agar pekerjaan dijadikan sarana mendapatkan surga dari Allah
SWT adalah profesional, sungguh-sungguh dan tekun dalam bekerja. Di antara
bentuknya adalah, tuntas melaksanakan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya,
memiliki keahlian di bidangnya dsb.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila ia
bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” (HR. Tabrani).
Ketiga, Bersikap Jujur dan Amanah
Karena pada hakekatnya pekerjaan yang dilakukannya tersebut merupakan
amanah, baik secara duniawi dari atasannya atau pemilik usaha, maupun secara
duniawi dari Allah Ta’ala yang akan dimintai pertanggung jawaban atas pekerjaan
yang dilakukannya.
Implementasi jujur dan amanah dalam bekerja diantaranya adalah dengan tidak
mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, tidak curang, obyektif dalam
menilai, dan sebagainya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
bersabda, “Seorang pebisnis yang jujur lagi dapat dipercaya, (kelak akan
dikumpulkan) bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada’. (HR. Turmudzi).
Keempat, Menjaga Etika Sebagai Seorang Muslim
Bekerja juga harus memperhati-kan adab dan etika sebagai seroang muslim,
seperti etika dalam berbicara, menegur, berpakaian, bergaul, makan, minum,
berhadapan dengan pelanggan, rapat, dan sebagainya. Bahkan akhlak atau etika
ini merupakan ciri kesempurnaan iman seorang mu’min.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sesempurna-sempurnanya keimanan seorang mu’min adalah yang
paling baik akhlaknya.” (HR. Turmudzi)
Kelima, Tidak Melanggar Prinsip-Prinsip Syariah
Aspek lain dalam etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar
prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang dilaku-kannya. Tidak melanggar
prinsip syariah ini dapat dibagi menjadi beberapa hal;
Pertama, dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti memproduksi
tidak boleh barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan (seperti pornografi),
mengandung unsur riba, maysir, gharar dsb.
Kedua dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti
risywah, membuat fitnah dalam persaingan, tidak menutup aurat, ikhtilat antara
laki-laki dengan perempuan, dsb.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah
kepada Allah dan ta`atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala)
amal-amalmu.” (Qs. Muhammad : 33).
Keenam, Menghindari Syubhat
Dalam bekerja terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya syubhat atau
sesuatu yang meragukan dan samar antara kehalalan dengan keharamannya.
Seperti unsur-unsur pemberian dari pihak luar, yang terdapat indikasi adanya
satu kepentingan tertentu.
Atau seperti bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui
kedzaliman atau pelanggarannya terhadap syariah. Dan syubhat semacam ini
dapat berasal dari internal maupun eksternal.
Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam kesyubhatan ini. Dalam sebuah
hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Halal itu jelas dan haram
itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Maka barang
siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus pada
yang diharamkan…” (HR. Muslim).
Ketujuh, Menjaga Ukhuwah Islamiyah
Aspek lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah
islamiyah antara sesama muslim. Jangan sampai dalam bekerja atau berusaha
melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengemukakan tentang hal yang
bersifat prefentif agar tidak merusak ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum
muslimin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengemukakan, “ Dan janganlah kalian
membeli barang yang sudah dibeli saudara kalian ” karena jika terjadi
kontradiktif dari hadits di atas, tentu akan merenggangkan juga ukhuwah
Islamiyah di antara mereka; saling curiga dsb.
Agar kerja kita benilai pahala surga, tentu tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Ada proses panjang yang harus dilakukan seperti dijelaskan dalam
tahapan-tahapan di atas. Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk bekerja
bukan sekedar bekerja, tapi bagaimana setiap pekerjaan bisa bernilai pahala dan
berbuah surga kelak, wallahua’lam
Kejujuran
Jujur dalam bahasa arab dikenal dengan istilah shidqu atau shiddiq yang
berarti berkata benar atau nyata. Arti dari kata tersebut ialah, jujur merupakan
bentuk kesamaan atau kesesuaian antara kata yang diucapkan dengan perbuatan
yang dilakukan, atau antara informasi dan kenyataan. Dalam arti yang lebih luas,
jujur artinya tidak melakukan kecurangan, mengikuti kaidah atau aturan yang
berlaku dan memiliki kelurusan hati.
Jujur merupakan salah satu sifat mulia Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam yang merupakan sosok mulia dan teladan sempurna bagi seluruh umat
manusia. Nabi Muhammad SAW sudah dikenal sebagai pribadi yang jujur dan
amanah bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi Nabi.
Ada banyak aspek atau bentuk kejujuran dalam kehidupan sehari hari.
Sejak kecil setiap orang tua selayaknya sudah mengajarkan untuk senantiasa
berbuat jujur dan tidak berbohong. Sejak dalam bangku sekolah ibu dan bapak
guru juga telah mengajarkan pada setiap siswa untuk senantiasa jujur dalam
pembelajaran atau ketika ujian, tidak mencontek, tidak membagi jawaban pada
siswa lain, dan mengakui kekurangan diri sendiri atau kemampuan teman lain.
Dalam dunia kerja pun setiap atasan atau perusahaan pastinya senang
memliki karyawan yang jujur sehingga lebih optimal dalam menjalankan
kewajibannya. Masih banyak aspek lainnya misalnya dalam perdagangan atau jual
beli, dalam hal menjalin hubungan dengan pasangan atau teman,dan lain
sebagainya. Jujur sangat diperlukan di aspek apapun dalam kehidupan sehari hari.
Dalam islam, jujur memiliki keutaamaan tersendiri dan menjadikan orang
yang memiliki sifat tersebut mendapatkan pahala dan rahmat dari Allah SWT
Berikut keutamaan jujur menurut islam :
1. Jalan ke Surga
Jujur membawa manfaat bukan hanya di dunia, tetapi juga menjadi jalan
yang mengantarkan seseorang menuju ke surga. Hal ini sebagaimana disebutkan
oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadist :
“sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan
itu akan mengantarkan ke surga. Seseorang yang berbuat jujur oleh Allah akan
dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya bohong itu akan
menunjukkan kepada kezaliman, dan kezaliman itu akan mengantarkan ke arah
neraka”. (HR Bukhari muslim)
Orang yang jujur akan dicintai oleh Allah SWT. Jujur membutuhkan
keteguhan hati, terkadang terasa berat, pahit, dan mengundang resiko. Tetapi
segala sesuatu yang diniatkan karena Allah tentu akan mendapat jaminan balasan
yang terindah dari Allah pula yaitu berupa surga.
Allah memerintahkan hamba Nya untuk senantiasa beriman dan
meningkatkan kualitas taqwa nya dengan menjalankan perintah dan menjauhi
segala larangan Nya, perintah jujur tersebut adalah jujur dalam berkata, jujur
dalam berbuat, dan jujur dalam seluruh keadaan atau kondisi apapun agar
senantiasa semangat serta terhindar dari segala bentuk keinginan yang buruk
karena sesungguhnya kejujuran itu akan menjunjukkan pada kebaikan dan
kebaikan tersebutlah yang akan menunjukkan jalan menuju ke surga seperti
firman Allah SWT berikut :
“hai orang orang ang beriman bertakwalah kalian kepada Allah, dan
hendaklah bersama orang orang jujur lagi benar”. QS At Taubah : 119)
2. Dekat Dengan Para Nabi
“dan barang siapa yang mentaati Allah dan rasul Nya, mereka itu akan
dikumpulkan bersama dengan orang orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah,
yaitu para nabi, para shiddiiqiin, orang orang yang mati syahid, dan orang orang
yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik baiknya. Yang demikian itu
adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui”. (QS An Nisaa 69-70)
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang jujur memiliki keutamaan yang
besar dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT yaitu dengan mendapat
keistimewaan dikumpulkan bersama orang orang yang mulia lagi shaleh di hari
kiamat nanti. Iman Ath Thibii mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan :
“barang siapa senantiasa mengutamakan sifat jujur dan amanah, maka dia
termasuk golongan orang orang yang taat kepada Allah SWT”
Luar biasa nikmat dari Allah tersebut, dengan menjadi orang yang jujur,
akan didekatkan dengan para Nabi dan diberi kebaikan dunia akherat.
3. Mendapat Derajat Tinggi
Manusia memiliki kedudukan dan derajat yang berbeda beda di mata Allah,
bukan dari kecantikan fisik nya tetapi dari amal perbuatan nya, yang
membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah iman dan taqwa nya,
artinya Allah membedakan berdasarkan keimanan dan ketakwaan seseorang.
Jujur merupakan salah sifat mulia yang mendapat derajat tinggi di sisi Allah,
dengan menjadi orang yang jujur akan mendapat kemuliaan dan derajat tinggi
dari Allah seperti dalam firman Allah berikut :
“inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya.
Mereka memperoleh surga yang mengalir dibawahnya sungai sungai, mereka kekal
di dalamnya selama lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Nya, itulah kemenangan yang agung”. (QS Al Maidah 119)
Kejujuran menjadi sebuah kebenaran yang kukuh dan berhubungan
langsung dengan Allah SWT. Kejujuran meliputi perkataan dan perbuatan yang
dilaksanakan demi untuk mentaati perintah Allah SWT, balasan dari Allah berupa
derajat yang tinggi tersebut akan diperoleh dalam kehidupan di dunia dan
akherat.
4. Dicintai Allah dan Rasul – Nya
Jujur merupakan inti kebaikan hati nurani seseorang, jika dalam hati
seseorang memiliki kejujuran dan nurani yang bersih, tentunya akan melakukan
segala urusan yang mengarah pada kebaikan pula, akan dicintai oleh Allah dan
rasul Nya karena melaksanakan segala urusan dengan niat yang bersih karena
Allah SWT.
Rasulullah bersabda “jika engkau ingin dicintai oleh Allah dan rasul Nya
maka tunaikanlah jika diberi amanah, jujurlah jika engkau bicara, dan berbuat
baiklah terhadap orang orang di sekelilingmu”. (HR Ath Thabrani)
5. Mendatangkan Pahala dan Ampunan Dosa
Setiap perintah dari Allah selalu memiliki kebaikan di dalam nya, termasuk
perintah untuk berbuat dan berkata jujur yag menjadi salah satu amalan mulia
tentunya memiliki pahalan yang besar juga di sisi Allah seperti dalam firman
Allah berikut :
“sesungguhnya laki laki dan perempuan yang muslim, laki laki dan
perempuan yang mukmin, laki laki dan perempuan yang sidiqin (benar), laki laki
dan perempuan yang sabar, … Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar”. (QS Al Ahzab 35)
Orang yang jujur mendapat pahala dan ampunan dosa seperti orang yang
mati syahid di jalan Allah SWT, Rasulullah bersabda
“Barang siapa meminta mati syahid dengan jujur, maka Allah akan
mengantarkannya ke dalam golongan orang orang syahid, walaupun ia mati di atas
kasurnya”. (HR Muslim)maksud dari hadist tersebut adalah, orang orang yang
meninggal dunia dala keadaan senantiasa berbuat dan berkata jujur akan
diampuni dosa dosa nya dan mendapat pahala seperti orang yang mati syahid.
6. Mendapat Pertolongan dan Doa Dikabulkan
Ada sebuah pepatah menyatakan bahwa “orang jujur pasti mujur”, artinya
orang yang jujur akan senantiasa mendapat kenikmatan dari Allah baik
diantaranya mendapat pertolongan, dan doa doa nya dikabulkan. Orang jujur akan
disayang oleh Allah, tentunya dalam kehidupan orang tersebut akan senantiasa
mendapat pertolongan serta dikabulkan segala hajat nya. Keutamaan berdoa
dalam Islam adalah salah satu sifat orang mukmin yang bertaqwa pada Allah,
taqwa tersebut yang menjadi sisi kebaikan di mata Allah seperti firman Allah
berikut :
“barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan mengadakan
baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka sangka
nya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya”. (QS Ath Thalaq 2-4)
7. Menjadi Teladan yang Baik
Setiap manusia selalu mencari cari seseorang untuk dijadikan contoh,
misalnya dalam keluarga yang pertama menjadi teladan seorang istri adalah suami
nya sebagai kepala keluarga, seorang ibu juga menjadi teladan bagi anaknya.
Karena itulah sebagai manusia harus senantiasa bersikap yang baik agar dapat
menyebarkan kebaikan kepada orang sekitar pula.
Dalam islam, contoh terbaik untuk diikuti adalah Rasulullah yang telah
diberikan oleh Allah sifat yang amat jujur dan amanah. Sebagai umat muslim
sudah selayaknya kita mengamalkan sifat sifat Rasulullah agar dapat menjadi
contoh atau teladan yang baik bagi orang lain seperti firman Allah sebagai
berikut
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS Al Ahzab 21)
8. Terhindar Dari Munafik
Dalam khutbah atau ceramah keagamaan kita sering mendengar mengenai
tiga ciri ciri orang munafik yaitu : “jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia
mengingkari, jika diberi amanah ia berkhianat”. (HR Al Bukhari)
Dari hadist tersebut manusia diingatkan untuk senantiasa berhati-hati
dalam berbuat dan bersikap, untuk senantiasa jujur dalam perbuatan dan tutur
kata agar tidak termasuk golongan orang yang munafik. Seorang mukmin bisa
saja memiliki sifat bakhil atau sifat penakut, namun tidak mungkin berbohong,
seorang mukmin akan senantiasa jujur dan terhindar dari sifat munafik seperti
dalam kisah berikut yang diriwayatkan oleh Malik dari Sofwan bin Sulaim dalam
kitab Al Muwatha :
“Ditanyakan kepada Rasulullah SAW : Apakah seorang mukmin bisa
menjadi penakut? Beliau menjawab ya. Lalu beliau ditanya lagi, apakah seorang
mukmin isa menjadi bakhil? Beliau menjawab ya. Lalu ditanyakan lagi apakah
seorang mukmin bisa menjad pembohong? Beliau menjawab tidak!”
9. Mendapat Keberkahan
Keberkahan adalah karunia Allah yang mendatangkan kebaikan atau
manfaat dalam kehidupan dan merupakan puncak kebahagiaan seorang muslim.
Keberkahan berarti memperoleh keuntungan dunia akherat. kejujuran merupakan
salah faktor yang mempengaruhi keberkahan, misalnya dalam urusan jual beli,
penjual yang jujur akan mendapatkan keuntungan yang lebih berkah dan ke depan
nya mendapatan kepercayaan dari pembeli seperti sabda Rasulullah berikut
“kedua orang penjual dan pembeli masing masing memiliki khiyar (hak pilih)
selama keduanya belum berpisah, bla keduanya berlaku jujur dan salin terus
terang maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam urusan tersebut”.
(HR Bukhari dan muslim)
10. Melahirkan Ketenangan
Orang yang selalu jujur akan memiliki hati yang tenang, dia selalu merasa
nyaman dengan perbuatan dan kalimat jujur yang dilakukannya. Apapun urusan
yang dilakukan dia tetap mendapatkan kedamaian dalam hati nya karena segala
sesuatu telah dilakukannya dengan benar dan tidak merugikan orang lain.
Lain halnya dengan orang yang berbohong, dia akan merasa khawatir akan
kebohongannya dan hidup penuh kebimbangan, dia akan terbiasa membuat
kebohongan baru untuk menutupi kebohongan lamanya sehingga hidup nya
dipenuhi dengan kebohongan, orang yang seperti ini tidak akan mendapat
kebahagiaan di dunia apalagi di akherat. Rasulullah SAW bersabda :
“Tinggalkanlah apa apa yang meragukanmu dengan mengerjakan apa apa
yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan
sesungguhnya kedustaan akan mengantarkan kepada keraguan atau kebingungan”.
(HR At Tirmidzi no 2518)
11. Merasakan Bahagia
Dalam hadist Rasulullah bersabda “empat perkara apabila ada padamu,
tidak akan merugikan lepasnya segala sesuatu dari dunia dari padamu, yaitu
memelihara amanah, berkata yang jujur, akhlak yang baik, dan bersih dari
tamak”. (HR Imam Ahmad).
Arti dari hadist tersebut ialah, orang yang jujur tidak akan pernah merasa
rugi sekalipun kehilangan sesuatu yang berharga di dunia ini, karena dari
kejujuran tersebut dia senantiasa kebaikan dari Allah berupa ketenangan dan
kebahagiaan dalam hati.
12. Menghindarkan Dari Bahaya
Orang yang senantiasa berniat dan berusaha jujur pada awalnya mungkin
merasakan berat akan tetapi pada akhirnya ia akan mendapat keberkahan diberi
keselamatan oleh Allah SWT, selamat dari segala mara bahaya seperti pada
hdist berikut :
“Berperangailah selalu dengan kejujuran! Jika engkau melihatnya jujur itu
mencelakakan maka pada hakikatnya ia merupakan keselamatan” (HR Ibnu Abi Ad
Dunya dari riwayat Manshur bin Mu’tamir)
13. Disukai Semua Orang
Setiap orang mempunyai potensi menjadi orang yang menyenangkan dan
disukai semua orang jika dalam diri orang tersebut banyak sisi positif. Umumnya
setiap orang akan merasa bahagia dan senang berada di dekat orang yang jujur.
Dalam hubungan apapun, kejujuran merupakan awal dari kepercayaan, dan
kepercayaan adalah awal dari langgeng nya sebuah hubungan, baik itu pasangan
suami istri, persahabatan, ataupun rekan bisnis.
Orang yang jujur akan disukai orang orang di sekelilingnya karena tidak
berkata dusta dan dapat dipercaya sehingga merasa damai berada di dekatnya.
Dalam islam, diperintahkan berlaku jujur untuk menyampaikan kebenaran
sesuai adanya, tidak diperbolehkan berdusta sekalipun hal tersebut terasa pahit,
seperti hadist yang disampaikan oleh Rasulullah berikut : “katakanlah yan benar
walau itu pahit”. (HR Ahmad)
14. Memiliki Banyak Teman atau Saudara
Seperti yang dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa orang yang jujur akan
membuat orang lain nyaman berada di sekitarnya, orang yang jujur dalam
keluarga akan menjadi panutan bagi anggota keluarga yang lain, orang yang jujur
di sekolah atau lingkungan pendidikan lainnya tentu akan memiliki banyak teman
dan disayangi para guru.
Jujur dalam lingkungan pekerjaan pun pastinya akan menjadi nilai positif
tersendiri baik di mata rekan kerja, atasan atau pemilik perusahaan. Orang yang
jujur akan memiliki banyak teman dan saudara karena dengan kejujuran nya dia
memeiliki kedamaian dalam diri nya dan memberi kedamaian pula pada orang
orang di sekitarnya. Hukum silaturahmi menurut Islam berkaitan erat dengan
interaksi baik di lingkungan masyarakat. Allah telah memberi perintah pada
hamba Nya untuk bertutur kata jujur dan berbuat baik pada sesama seperti
dijelaskan firman Allah sebagai berikut :
“dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, … (QS Al Baqarah :83)
15. Mendapat Kebaikan Untuk Diri Sendiri Maupun Orang Lain
Jika ingin mendapat kebaikan, jujurlah. Jujur kepada Allah sebagai hamba-
Nya, beribadah dengan sungguh sungguh dan menjauhi dosa. Jujur sebagai suami
maka akan senantiasa memperoleh kedamaian dalam keluarga dan dapat
memberikan nafkah yang halal dan berkah. Jujur sebagai istri maka akan selalu
menjaga bisa kehormatan diri dan harta suami serta mendapat kasih sayang dari
keluarga.
Jujur sebagai pemimpin maka akan selalu dicintai rakyat nya dan terbuka
dalam menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bila
kejujuran seperti di atas dapat diwujudkan, banyak hikmah yang akan dipetik.
Jujur akan membawa kebaikan pada diri sendiri dan orang lain, orang yang jujur
akan senantiasa mendapatkan cinta dan kepercayaan seperti kalimat Sayidina
Ali sebagai berikut :
“orang yang suka berkata jujur akan mendapat tiga perkara, yaitu
kepercayaan, cinta, dan rasa hormat”.
Allah maha melihat, maha mendengar, maha mengetahui, dengan keyakinan
bahwa Allah akan senantiasa memperhatikan gerak gerik dan langkah kita, maka
kita akan senantiasa berusaha menjauhi dusta. Ketika kesibukan menyita waktu
dan segala macam urusan mengisi hari hari kita, terkadang tanpa kita menyadari
kita menjadi lengah dan tidak mengindahkan sifat jujur.
Mari kita merenung sejenak apakah diri kita telah menjadi pribadi yang
jujur dalam niat, dalam berucap, dalam beramal, dalam bercita cita, dan dalam
mencapainya. Jujur merupakan terapi hati dan terapi jiwa terbaik. Hidup akan
menjadi lebih indah dan lebih nyaman jika kita senantiasa menapaki langkah
dengan kejujuran. Semoga kita semua istiqomah untuk senantiasa menjadi orang
yang jujur. Sekian terima kasih semoga bermanfaat.
Amanah
Secara bahasa, amanah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti
aman/tidak takut. Dengan kata lain, aman adalah lawan dari kata takut. Dari
sinilah diambil kata amanah yang merupakan lawan dari kata khianat. Dinamakan
aman karena orang akan merasa aman menitipkan sesuatu kepada orang yang
amanah.
Secara istilah, ada sebagian orang yang mengartikan kata amanah secara
sempit yaitu menjaga barang titipan dan mengembalikannya dalam bentuk semula.
Padahal sebenarnya hakikat amanah itu jauh lebih luas. Amanah menurut
terminologi Islam adalah setiap yang dibebankan kepada manusia dari
Allah Ta’ala seperti kewajiban-kewajiban agama, atau dari manusia seperti
titipan harta.
Luasnya ruang lingkup amanah disebutkan oleh Sayyid Sabiq dalam
bukunya Islamuna: “Amanah adalah segala sesuatu yang wajib dipelihara dan
ditunaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Amanah adalah kata yang
pengertiannya luas mencakup segala hubungan. Konsisten dalam keimanan serta
merawayatnya dengan faktor-faktor yang menyebabkan berkembang dan
kekalnya adalah amanah, memurnikan ibadah kepada Allah adalah amanah,
berinteraksi secara baik dengan perorangan dan kelompok adalah amanah; dan
memberikan setiap hak kepada pemiliknya adalah amanah.”
Firman Allah SWT tentang Amanah
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58).
Ayat ini diturunkan pada saat Fathu Makkah (penaklukan Makkah)
mengenai ‘Utsman bin Thalhah yang mengunci pintu Ka’bah, dan dia enggan
memberikan kuncinya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
berkata, “Kalau saya mengetahui dia seorang Rasul, niscaya saya tidak akan
mencegahnya untuk masuk kedalam Ka’bah” , maka ‘Ali radhiallahu
‘anhu mengambil kunci Ka’bah dengan paksa, kemudian Rasulullah masuk kedalam
Ka’bah dan sholat dua raka’at kemudian memerintahkan para sahabat untuk
menghancurkan dan menyingkirkan patung-patung.
Ketika beliau keluar dari Ka’bah, ‘Abbas meminta kepada Rasulullah untuk
diberikan kunci Ka’bah supaya beliau menggabungkan antara tugas pemberi minum
kepada jama’ah haji dan menjadi penjaga Ka’bah, lalu Allah Ta’ala menurunkan
ayat ini. Rasulullah kemudian memerintahkan kepada ‘Ali radhiallahu ‘anhu untuk
mengembalikan kunci Ka’bah kepada ‘Utsman dan meminta maaf karena telah
mengambil dengan paksa, Utsman Bin Thalhah berkata, “Kamu mengambil dengan
paksa, menyakiti, kemudian sekarang datang meminta belas kasih” , lalu
‘Ali radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah telah menurunkan ayat tentangmu.” ,
kemudian ‘Ali membacakan, maka terbukalah hati ‘Utsman untuk menerima Islam.
Pengertian ‘amanat’ pada QS. An-Nisa ayat 58 ini, ialah sesuatu yang
dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Firman Allah SWT lainnya,
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab:
72).
Syaikh Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah memaknai ‘amanah’ dalam
ayat di atas yaitu beban-beban agama yang diiringi dengan pahala dan hukuman.
Hal itu ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung, tetapi semuanya enggan
memikulnya, sedangkan manusia menyatakan siap menerimanya. Maka manusia
mana saja yang tidak menjaga amanah, dia amat zalim dan amat bodoh, yaitu
banyak kezhaliman dan kebodohan.
Hadist Nabi tentang Amanah
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara ia berbohong, jika berjanji
ia ingkar, dan jika diberi amanat ia berkhianat.” (Muttafaq Alaihi).
Di riwayat lain ditambahkan,
“Walaupun ia berpuasa dan shalat serta mengklaim dirinya muslim.”
Keutamaan Amanah
Pertama, jalan menuju kesuksesan.
Allah Ta’ala menyebutkan salah satu golongan yang akan memperoleh
kesuksesan/keberuntungan,
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-
Mu’minun: 8)
Kedua, sifat hamba-hamba mulia.
Amanah merupakan sifat para Nabi dan rasul, di dalam Al-Qur’an
Allah Ta’ala menceritakan hal ini. Nabi Nuh ‘alaihis salam berkata,
“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu .”
(QS. Asy-Syu’ara:107)
Nabi Hud ‘alaihis salam berkata,
“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah
utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku
kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. Al-
A‘raf: 67-68)
Ketiga, tanda keimanan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang
yang tidak memegang janji.” (HR. Ahmad)
“Empat hal, barang siapa dalam dirinya ada empat hal tersebut, dia munafik
murni, dan barang siapa yang ada sebagian dari sifat itu, dia memiliki sebagian
sifat nifak hingga dia meninggalkannya. Yaitu: Jika dipercaya khiyanat, jika
berbicara bohong, jika berjanji ingkar dan jika bermusuhan (berseteru) dia
jahat“ (Bukhari Muslim)
Keempat, kekayaan hakiki yang menandingi dunia dan seisinya.
“Empat hal jika dia ada dalam dirimu, engkau tidak merugi walupun kehilangan
dunia: Menjaga amanah, berkata dengan jujur, berakhlak yang mulia dan menjaga
makanan (dari yang haram).” (HR. Ahmad)
Kelima, salah satu kompentensi terpenting bagi seorang ‘amil (pekerja).
Hal ini seperti dikisahkan di dalam Al-Qur’an ketika salah seorang putri Nabi
Syu’aib ‘alaihis salam merekomendasikan Nabi Musa ‘alaihis salam agar diangkat
menjadi pekerja,
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.’“. (QS. 28:26)
Ruang Lingkup Amanah
Pertama, amanah fitrah (iman kepada Allah).
Iman kepada Allah Ta’ala adalah amanah fitrah yang diberikan
Allah Ta’ala kepada manusia sejak lahir. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’,” (QS. 7:172)
Dengan ayat ini, Allah Ta’ala bermaksud untuk menjelaskan kepada manusia,
bahwa hakikat kejadian manusia itu didasari atas kepercayaan kepada Allah Yang
Maha Esa. Sejak manusia dilahirkan dari sulbi orang tua mereka, ia sudah
menyaksikan tanda-tanda keesaan Allah Ta’ala pada kejadian mereka sendiri.
Pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum, 30: 30).
Sebagian ulama mengatakan bahwa arti fitrah adalah “Islam”. Hal ini dikatakan
oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain. Pendapat tersebut dianut oleh
kebanyakan ahli tafsir.[6] Dengan kata lain, fitrah disini maksudnya ialah tauhid
atau iman kepada Allah Ta’ala.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah; orangtuanyalah yang menjadikan ia
yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari)
Kedua, amanah ibadah.
Ibadah hanya kepada Allah Ta’ala merupakan bagian dari amanah yang harus
ditunaikan, karena ibadah kepada-Nya merupakan salah satu konsekwensi iman
dan merupakan tujuan utama manusia diciptakan. Hal ini sesuai dengan firman
Allah Ta`ala,
“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz-Dzaariyaat : 56)
Dan yang dimaksud dengan ibadah adalah untuk mentauhidkan Allah,
malaksanakan ajaran-ajaran agama-Nya, dan tidak melakukan penyembahahan
selain kepada-Nya.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
“Menunaikan amanah wajib pada semua hal, pada wudhu’, mandi, sholat, zakat,
dan semua jenis ibadah”.
Ketiga, amanah dakwah dan jihad.
Tugas dakwah dan jihad adalah amanah yang harus dipikul oleh orang muslim.
Setiap muslim harus menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf
dan mencegah dari yang munkar.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali
Imran: 110)
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak
mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan
hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. “ (HR. Muslim)
Keempat, amanah dalam harta.
Harta adalah amanah dari Allah Ta’ala yang harus dikelola dan dipergunakan
untuk kebaikan. Allah Ta’ala telah memberikan petunjuk kepada kita untuk
menunaikan amanah dalam harta, termasuk pula yang berkaitan dengan titipan,
pinjaman, wasiat dan lain sebagainya.
Di antara bentuk amanah dalam harta yang harus ditunaikan seseorang adalah
memberikan nafkah terhadap orang yang menjadi tanggungannya seperti isteri,
anak, orang tua, dan pembantu, baik dalam bentuk makanan, pakaian, biaya
pendidikan dan lain sebagainya.
Memberikan nafkah kepada keluarga merupakan jenis nafkah yang paling utama,
karena memberikan nafkah kepada keluarga termasuk wajib, sedangkan yang
lainnya termasuk sunnah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, satu dinar
yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau
sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk
keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut
adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim)
Begitu juga harta yang ada di dalam kendali seseorang dalam sebuah yayasan,
organisasi atau negara yang bukan milik pribadinya, melainkan milik yayasan,
organisasi atau negara tersebut, maka harus memeliharanya atau memberikannya
kepada yang berhak. Berkaitan dengan ini Ibnu Taimiyah berkata di dalam
bukunya As-Siyasah Asy-Syar`iyyah: “…Bagi setiap penguasa dan wakilnya dalam
pemberian hendaknya memberikan setiap hak kepada pemiliknya, dan para
pengurus harta itu tidak boleh membagikannya menurut keinginannya sendiri
seperti pemilik harta membagikan hartanya, karena mereka adalah orang-orang
yang diberikan amanah dan para wakil bukan pemilik.”
Sebagai amanah, maka orang yang menerima harta orang lain akan berurusan
dengan Allah sebelum ia berurusan dengan orang yang memberikan amanah
kepadanya. Jika dalam menerima amanah tersebut ia mempunyai niat untuk
mengembalikannya, maka Allah pun akan membantunya untuk dapat
mengembalikannya. Tapi jika ia mempunyai niat untuk tidak mengembalikannya,
maka Allah pun akan membinasakannya.
Kelima, amanah menjaga keselamatan orang lain dan menjaga kehormatannya.
Setiap kita memiliki amanah untuk menahan diri dari menyakiti dan mengganggu
fisik serta nyawa orang lain, seperti menghina, menyakiti, membunuh dan
semacamnya. Serta menjaga kehormatannya, yakni tidak mencemarkan nama baik
atau merusak kehormatannya. Di antara perbuatan yang dilarang berkenaan
dengan amanah ini adalah berghibah, mengadu domba, menuduh orang lain
berzina, dan semacamnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang muslim (sejati) adalah apabila orang-orang muslim disekitarnya merasa
aman dari lisan dan tangannya.” (Bukhari dan Muslim)
Keenam, amanah dalam menjaga rahasia.
Apabila seseorang menyampaikan sesuatu yang penting dan rahasia kepada kita,
itulah amanah yang harus dijaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang membicarakan sesuatu kepada orang lain (sambil) menoleh ke
kiri dan ke kanan (karena yang dibicarakan itu rahasia) maka itulah amanah (yang
harus dijaga). (HR. Abu Dawud)
Dalam sebuah keluarga, suami isteri harus menjaga rahasia keluarga, lebih-lebih
lagi rahasia ranjang. Masing-masing tidak boleh membeberkan rahasia
ranjang keluarganya kepada orang lain, kecuali kepada dokter, penasehat
perkawinan atau hakim pengadilan untuk tujuan yang sesuai dengan bidang tugas
mereka masing-masing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya amanat yang paling besar di sisi Allah pada Hari Kiamat adalah
seseorang yang bersetubuh dengan istrinya dan istri bersetubuh dengan
suaminya, kemudian dia (suami) menyebarkan rahasianya.” (HR. Muslim)
Begitu juga pembicaraan dalam sebuah pertemuan atau hasil keputusan yang
dinyatakan rahasia, tidak boleh dibocorkan kepada orang lain yang tidak berhak
mengetahuinya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda,
“Semua majlis itu merupakan amanah kecuali tiga hal, yaitu: majelis
penumpahan darah, majelis hubungan badan yang diharamkan ,dan majlis
pelanggaran terhadap harta orang lain.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Ketujuh, amanah kekuasaan.
Kekuasaan adalah amanah. Tidak boleh dimanfaatkan untuk meraup keuntungan
bagi pribadi atau keluarga kecuali sebatas yang menjadi haknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan),
lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu
adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari
kiamat”. (‘Adiy) berkata: Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri
menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia
berkata, ”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau
tugaskan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ”Ada apa gerangan?” Dia
menjawab, “Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya
perkataan di atas).” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Aku katakan
sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu
pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit
maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh)
mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” (HR. Muslim).
Di antara bentuk amanah dalam kekuasaan adalah memberikan suatu tugas atau
jabatan kepada orang yang paling memiliki kapabilitas dalam tugas dan jabatan
tersebut. Memberikan tugas atau jabatan kepada orang yang tidak kapabel atau
kepada seseorang yang dianggap kapabel padahal ada orang yang lebih kapabel
lagi, disebabkan karena ada hubungan kerabat atau persahabatan, satu daerah,
suku, golongan, partai, atau karena suap dan semacamnya, berarti ia telah
berbuat khianat dan akan menyebabkan kehancuran. Hal ini sesuai dengan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa mengangkat pemimpin karena fanatisme golongan, padahal disana
ada orang yang lebih diridloi oleh Allah, maka dia telah berhianat kepada Allah,
Rasulnya dan orang-orang mu’min.” (HR. Hakim)
“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat.” Sahabat
bertanya: “Disia-siakan yang bagaimana ?”, Rasulullah bersabda: “Jika urusan
telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari kiamat.” (HR.
Bukhari)
Suatu ketika, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menghadap kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta jabatan,
“Wahai Rasulullah jadikan-lah saya sebagai pemimpin”, maka Rasulullah menepuk
pundaknya sambil berkata, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang
lemah dan kepemimpinan itu adalah amanah, dia dihari kiamat nanti merupakan
penyesalan dan kesedihan, kecuali yang mengambilnya dengan haknya dan
menunaikan semua kewajiban didalamnya.” (HR. Muslim)
Berkenaan dengan amanah kepemimpinan ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Setiap pengkhianat akan mendapatkan bendera di belakang (bokong). Panjang
dan pendek bendera tersebut sesuai dengan kadar penghianatannya. Ketahuilah
bahwa penghiyanatan yang paling besar adalah penghianatan seorang pemimpin
terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Kedelapan, amanah ilmu pengetahuan.
Seorang berilmu wajib menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat dan
menerangi hati mereka. Orang yang menyembunyikan ilmunya berarti telah
berbuat khianat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang
bersikap demikian.
“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka Allah
akan mengekangnya dengan kekangan api neraka pada hari kiamat nanti .” (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi)
Di antara sikap amanah dalam ilmu adalah kembali kepada yang benar setelah
yang benar itu jelas. Seperti jika ada orang yang mengemukakan suatu pendapat,
kemudian dia melihat bahwa ada dalil yang lebih kuat berbeda dengan
pendapatnya, maka ia hendaknya mencabut pendapatnya dan beralih kepada dalil
yang lebih kuat. Hal ini disinggung oleh Rasulullah dalam haditsnya,
“Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah lalu ia melihat ada yang lebih
baik selainnya, maka hendaklah ia mengambil yang lebih baik dan membayar
kaffarah terhadap sumpahnya.” (HR. Muslim)
Di antara amanah dalam ilmu adalah tidak malu menjawab dengan kalimat, “Saya
tidak tahu”, jika memang ia tidak mengetahui tentang suatu masalah.
Kesembilan, amanah diri sendiri.
Diri kita sendiri adalah amanah yang harus dijaga, yakni dengan tidak melakukan
sesuatu kecuali yang paling baik dan paling bermanfaat bagi diri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dari kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi, Malik dan Ahmad)
Semua nikmat yang Allah berikan kepada kita harus dijaga dan dimanfaatkan
dengan baik, seperti umur, kesehatan, dan bahkan seluruh organ yang ada pada
tubuh adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan
Allah Ta’ala kelak. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an,
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan
dimintai pertanggungjawabannya .” (QS. Al-Isra: 36)
Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata,
“Kemaluan itu adalah amanah, telinga adalah amanah, mata adalah amanah, lidah
adalah amanah, ucapan adalah amanah, tangan adalah amanah, kaki adalah
amanah, dan tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah.”
Kesepuluh, amanah keluarga.
Suami istri dalam kehidupan berkeluarga memiliki amanah dan tanggung jawab
yang diembannya masing-masing. Mereka akan ditanya tentang amanah dan
tanggung jawabnya tersebut. Hal ini diantaranya disebutkan dalam hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung
jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta
pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin
di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban
atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam
urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan
tanggung jawabnya tersebut.” (HR. Bukhari No. 844)
Kesebelas, amanah kerja profesional.
Islam membimbing umatnya untuk selalu berbuat ihsan (melaksanakan yang
terbaik) dan itqan (sempurna) dalam beramal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu…” (HR.
Muslim).
“Sesungguhnya Allah menyukai jika kalian melakukan perbuatan
dilakukan secara itqan (sempurna).” (HR. Al Baihaqi)
Hadits-hadits yang berkaitan pula dengan hal ini telah disebutkan sebelumnya,
lihat hadits riwayat Muslim di point ketujuh tentang amanah kekuasaan, serta
hadits riwayat Bukhari di point kesepuluh tentang amanah keluarga. Hadits-
hadits tersebut menyebutkan tentang sikap amanah yang harus dijaga oleh
seorang pekerja.
Peringatan Bagi Orang yang Berkhianat
Pertama, khianat merupakan sifat munafik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara berbohong, jika berjanji
ingkar dan jika dipercaya berhianat. “ (HR. Bukhari Muslim)
Kedua, pengkhianat akan dipermalukan di hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap penghianatan akan mendapat bendera di hari kiamat, disebutkan ini
penghianatan si fulan dan ini penghianatan sifulan.” (HR. Bukhari Muslim)
Ketiga, pengkhianat tidak disukai allah.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. Al-
Anfal: 58).
Keempat, khianat adalah sifat orang-orang Yahudi.
Allah Ta’ala berfirman,
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami
jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah)
dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang
mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan
melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak
berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah:13)
Kelima, khianat adalah salah satu jalan menuju neraka.
Allah Ta’ala berfirman,
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir.
Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara
hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya,
maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa)
Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke neraka bersama orang-
orang yang masuk (neraka)’”. (QS. At-Tahrim : 10)
Istiqomah
Arti Istiqomah
Kata istiqomah adalah kata yang sangat sering didengar manusia. Namun
banyak orang yang ternyata belum mengetahui tentang makna dari istiqomah itu
sendiri. Kata tersebut sering didengar karena kerap diucapkan dalam banyak
agenda dan kegiatan, lebih khusus untuk perihal ibadah dan juga pekerjaan.
Misalnya saja ada salah satu mualaf atau orang yang baru saja memasuki
agama Islam yang mulai menjalankan ibadah sholat lima waktu. Kemudian ada
salah seorang temannya yang berkata “semoga ibadahmu istiqomah ya”. Atau saat
ada seseorang yang sedang mulai menjalani pekerjaan baru lalu teman-temannya
mengatakan “Keep istiqomah ya di dalam berusaha”. Selain itu, masih banyak lagi
saat-saat dimana kata istiqomah banyak disebutkan.
Lalu sebenarnya apakah makna dari istiqomah dalam pandangan agama
Islam sendiri? Pada kesempatan ini akan diulas secara lebih rinci mengenai arti
dari istiqomah tersebut yang bisa dijadikan sebagai bahan tambahan
pengetahuan Anda.
Istiqomah sendiri maknanya adalah lurus, tegak atau di dalam bahasa
bakunya konsisten. Lalu ada sebenarnya makna istiqoma berdasarkan pendapat
para ulama’? Berikut rinciannya.
Para Ulama’ yang Memberikan Definisi dari Kata Istiqomah
Para ulama’ memiliki versi yang berbeda-beda tentang makna dari kata istiqomah
itu sendiri. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Abu Bakar Ash Shidiq memaknai istiqomah sebagai tidak menyekutukan Allah
dengan suatu apapun.
Umat Bin Khattab memaknai istiqomah sebagai anjuran untuk bisa bertahan di
dalam sebuah perintah dan juga larangan serta tidak berpaling dari yang
lainnya sebagaimana musang.
Utsman Bin Affan memaknai istiqomah sebagai ikhlas.
Ali Bin Abi Thalib memakna istiqomah sebagai tindakan melakukan suatu
kewajiban.
Ibnu Abbas memaknai istiqomah dengan tiga arti, pertama adalah istiqomah
dengan lisan dengan sikap bertahan dengan membaca syahadat. Kemudian yang
kedua adalah istiqomah dengan hati yakni dengan melakukan segala dengan
disertai niat yang jujur. Dan terakhir adalah istiqomah dengan jiwa dimana
seseorang senantiasa menjalankan ibadah serta ketaatan kepada Allah secara
terus menerus.
Ar-Raghiib memaknai istiqomah sebagai tetap di atas jalan yang lurus.
An-Nawani memaknai istiqomah sebagai tetap di dalam ketaan. Sehingga
istiqomah sendiri memiliki pengertian bahwa seseorang senantiasa ada di
dalam ketaatan dan di atas jalan lurus di dalam menjalankan ibadah kepada
Allah Swt.
Mujahid memaknai istiqomah sebagai komitmen terhadap kalimat syahadat dan
juga tauhid hingga bertemua dengan Allah Swt.
Ibnu Taimiyah memaknai istiqomah sebagai ketetapan di dalam mencintai
serta beribadah kepada Allah tanpa menoleh ke kanan dan juga ke kiri.
Allah berfirman di dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang artinya adalah:
“Sesungguhnya, orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami adalah Allah
lalu mereka istiqomah kepada pendirian mereka, maka Malaikat pun akan turun
kepada mereka seraya mengatakan “Janganlah engkau merasa takut dan
janganlah engkau merasa sedih dan bergembiralah kamu mendapatkan surga yang
sudah dijanjikan oleh Allah kepada engkau”. (QS Fushilat: 30).
Berdasarkan pendapat dari Tafsir ‘Aisar, makna dari istiqomah adalah
orang-orang yang benar-benar meyakini akan kebenaran dari Islam itu sendiri
dengan tidak pernah menukarkan kepercayaan lain. Juga suatu sikap konsisten di
dalam melaksanakan ibadah serta menjauhi kemungkaran, maka Malaikat pun akan
turun kepadanya sebanyak dua kali.
Ayat di atas kemudian diperkuat dengan adanya hadis bahwa seseorang
bertanya kepada Rasul “ya Rasul, tolong ajarkanlah kepada perihal sesuatu yang
penting di dalam islam dan saya tidak akan pernah bertanya lagi kepada siapa
pun. Nabi pun menjawab: “Katakanlah bahwa aku beriman kepada Allah, kemudian
istiqomah atau konsisten dalam menjalankan perintahNya dan juga menjauhi
laranganNya”.
Seseorang yang di dalam dirinya berpegang teguh kepada sifat istiqomah,
maka ia akan senantiasa kokoh di dalam menjaga aqidah mereka. Dan tidak pula
akan goyah dari sisi keimanannya dalam menjalani berbagai tantangan kehidupan.
Sehingga meskipun kantong seseorang kering ataupun sedang tebal, serta dicaci
maki ataupun dipuji mereka akan senantiasa konsisten dan tidak akan roboh dari
sisi keimanan.
Intisari Kata Istiqomah
Sehingga bisa diambil pemahaman bahwa istiqomah maknanya adalah konsisten di
dalam melakukan suatu kebaikan. Selain itu, orang yang istiqomah juga akan lebih
teguh di dalam pendirian dan tidak pula akan tergoyahkan oleh beragam
rintangan untuk memperoleh Ridho dari Allah. Maka jangan sampai memaknai
kata istiqomah ini di dalam makna yang buruk atau tidak tepat.
Manfaat Istiqomah dalam Kehidupan
Istiqomah memiliki beberapa manfaat untuk kehidupan manusia jika diterapkan.
Berikut ini adalah beberapa manfaat dari istiqomah yang akan Anda dapatkan
jika menerapkan ajaran satu ini dalam kehidupan sehari-hari.
Mendorong untuk senantiasa melakukan kebaikan
Manfaat pertama dari istiqomah adalah bisa mendorong seseorang untuk
senantiasa melakukan kebaikan. Maka, dengan memegang teguh istiqomah
tersebut, Anda akan selalu memperbaiki diri.
Mencegah manusia untuk melakukan kejahatan
Selain mendorong manusia untuk melakukan kebaikan, istiqomah juga bisa
menghindakan seseorang dari berbagai perbuatan yang jahat. Sehingga Anda
akan menjadi orang yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Tahan terhadap godaan
Manfaat dari istiqomah yang selanjutnya adalah seseorang akan senantiasa
tahan terhadap dari godaan. Baik itu godaan untuk berbuat buruk dan hal lain
yang bisa menyebabkan seseorang menjadi terhambat untuk mencapai cita-
citanya.
Tips Untuk Bisa Istiqomah
Ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk bisa tetap istiqomah dalam
kehidupan ini. Berikut beberapa di antaranya :
Ikhlaskan niat Anda
Hal pertama yang bisa Anda lakukan untuk tetap berada dalam istiqomah
adalah dengan menikhlaskan niat Anda. Niatkan diri bahwa semua kebaikan
yang dilakukan adalah semata-mata karena Allah. Jangan pernah menghadirkan
yang lain di dalam pikiran Anda selain Allah. Dan usahakan untuk melakukan
segala hal dengan ikhlas agar benar-benar bisa menjadi pribadi yang lebih
baik.
Lakukan amalan secara bertahap
Selanjutnya adalah Anda harus melaksanakan amalan dengan bertahap.
Mulailah untuk melakukan ibadah dari hal yang kecil. Namun, usahakan untuk
melakukannya secara rutin setiap hari. Karena sesuatu yang dilakukan dengan
rutin, maka akan bermanfaat untuk Anda.
Bersabarlah dalam menjalankan
Selain itu, Anda juga harus bersabar di dalam menjalankan semua itu. Karena
istiqomah sendiri adalah hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Untuk
memulainya sangat sulit sehingga Anda harus benar-benar memaksa diri dalam
hal ini. Namun, jika sudah terbiasa melakukannya. Maka akan ringan untuk
dilakukan.
Istiqomah adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan sehingga benar-
benar menjadikan keimanan seseorang semakin sempurna dan berkualitas.
Dengan demikian, semua yang dilakukan memberikan manfaat dan
mengantarkan seseorang menuju surga.
Sabar
Pengertian Sabar Dalam Islam
Secara bahasa, Sabar berasal dari bahasa Arab yakni diambil dari kata sobaro
yasbiru, artinya menahan.
Pengertian Sabar Dalam Islam secara bahasa, Sabar berasal dari bahasa Arab
yakni diambil dari kata sobaro yasbiru, artinya menahan. Secara istilah, sabar
yakni ialah menahan diri dari berbagai macam bentuk kesulitan, kesedihan atau
dengan kata lain menahan diri dari hal yang tidak disukai dan dibenci.
Arti sabar secara lebih luasnya yakni adalah menahanan diri agar tidak mudah
marah, benci, dendam, tidak mudah putus asa, berkeluh kesah, melatih diri agar
selalu melakukan ketaattan dan membentengi diri untuk tidak melakukan
perbuatan keji & maksiat.
Contoh Sikap Sabar
Dalam Agama Islam khususnya, ada 3 jenis sabar yakni sabar dalam ketaatan,
sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar dengan tidak melakukan maksiat.
Adapun penjelasan mengenai ketiga jenis tersebut ialah sebagai berikut :
Sabar dalam ketaatan
Dalam melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukanlah hal yang
mudah bagi sebagian orang maka akan terasa berat sehingga membutuhkan
kesabaran yang tinggi. Seperti sabar dalam menahan diri dari sifat malas supaya
tetap istiqomah dalam menjalankan kewajiban sholat dengan tepat waktu, sabar
menjalankan puasa yakni sabar dengan menjaga lisan, hati serta pikiran, sabar
dalam menuntut ilmu dan lain masih banyak lagi.j
Sabar dalam menghadapi cobaan dan musibah
Bersabar atas cobaan, ujian dan musibah yang menimpanya. Memiliki keyakinan
bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya diluar batas kemampuan dari
hambanya. Apabila mendapatkan cobaan, maka bersabar dan ikhlas dengan apa
yang menimpanya tersebut. Karena sesungguhnya Allah Swt itu bersama dengan
orang-orang sabar.
Sabar dalam kemaksiatan
yakni maksudnya menjahui segala sesuatu yang haram dan dilarang Allah SWT.
Segala bentuk maksiat itu memang menyenangkan, tetapi Allah Swt melarangnya
sehingga orang-orang beriman wajib untuk menjaga dan menahan diri dari segala
bentuk maksiat.
Manfaat Sabar
Tentunya dengan kita bersabar banyak sekali manfaat yang akan kita rasakan,
diantaranya :
1. Akan berpengaruh baik bagi Ketenangan pada Tubuh dan Pikiran
Dengan bersabar akan membuat tubuh dan pikiran lebih tenang, anda tidak
terbebani dengan target yang ingin anda raih, dan juga tidak akan stres.
2. Menikmati Sebuah Proses
Jika dalam segala hal kita melakukannya dengan terburu-buru, maka anda
akan selalu berusaha dan hanya melihat target saja. Karena setiap proses
begitu berharga maka itu dari nikmatilah proses tersebut.
3. Menstabilkan Tempo dengan Lingkungan
Bukan hanya diri pribadi saja yang merasakan dampak jika tidak sabar, maka
lingkunganpun akan terpengaruh . Dan juga dapat timbul emosi yang stabil
dan tidak mudah dipengaruhi oleh lingkungan.
4. Hidup Damai
Dengan kita tidak sabar akan mengakibatkan kegelisahan, kebencian, bahkan
sampai permusuhan. Namun jika anda sabar, maka anda akan merasakan hidup
lebih damai karena setiap hal yang dilakukan akan mengalir dengan sendirinya
Dalil Tentang Sabar
Beberapa ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sabar, diantaranya yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar “. (QS. Al-Baqarah: 153)
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa“. (QS. Al-Baqarah: 177)
Berikut ini adalah Hadits mengenai sabar,diantaranya sebagai berikut:)
“Sangat menakjubkan semua urusan orang yang beriman, sesungguhnya segala
urusannya itu sangat baik baginya, dan hal itu tidak dimiliki oleh seorangpun,
kecuali orang yang beriman. Apabila ia mendapatkan kesenangan ia bersyukur,
maka yang demikian itu sangat baik dan apabila ia tertimpa kesusahan ia sabar,
maka yang demikian itu sangat baik baginya“. (Hadist Riwayat Muslim)
“Barangsiapa yang sabar akan disabarkan Allah, dan tidak ada pemberian Allah
yang paling luas dan lebih baik daripada kesabaran“. (Hadist Riwayat . Bukhari,
Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, Malik dan Ad-Darimi)
Etika Bekerja
1. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya
dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan
yang tersusun kokoh. Qs As Saff (61) 4
2. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui. QS Al Anfal (8)27
3. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS An Nisa (4) 59
4. Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah
dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka
berkata, “Kami mendengar, dan kami taat.” Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung. QS An Nur (24) 51
5. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling
menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. QS Al
Asr (103) 3
6. Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. QS Ali Inran (3)
104
7. Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti
Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu. QS. Al Baqarah (2) 148
8. Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji kamu dan Kami angkat gunung
(Sinai) di atasmu (seraya berfirman), “Pegang teguhlah apa yang Kami
berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab, “Kami
mendengarkan tetapi kami tidak menaati.” Dan diresapkanlah ke dalam hati
mereka itu (kecintaan menyembah patung) anak sapi karena kekafiran
mereka. Katakanlah, “Sangat buruk apa yang diperintahkan oleh
kepercayaanmu kepadamu jika kamu orang-orang beriman!” QS. Al Baqarah
(2) 93
9. dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) yang berkata,
“Kami mendengarkan,” padahal mereka tidak mendengarkan (karena hati
mereka mengingkarinya). QS. Al Anfal (8) 21
10. Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah.
Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar. QS An Anfal (8) 46
Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang
pada pagi hari ketika mereka sedang bermain ?
Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-
duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang
yang rugi. QS. Al A'raf (7) 97-99
3. maka apakah orang yang membuat tipu daya yang jahat itu, merasa aman
(dari bencana) dibenamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau
(terhadap) datangnya siksa kepada mereka dari arah yang tidak mereka
sadari,
atau Allah mengazab mereka pada waktu mereka dalam perjalanan; sehingga
mereka tidak berdaya menolak (azab itu),
atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka
sungguh, Tuhanmu Maha Pengasih, Maha Penyayang. QS. An Nahl (16) 45-47
4. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya
sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong.
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur'an)
dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu secara mendadak, sedang kamu
tidak menyadarinya, QS. Az Zumar (39) 54-55