Anda di halaman 1dari 1

Kebijakan desentralisasi di Indonesia, membangun demokrasi atau membangun dinasti?

Indonesia memasuki era baru sejak berakhirnya rezim pemerintahan pada masa orde baru
pada pertengahan tahun 1998. Salah satu hal yang mengalami perubahan adalah hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah.

Momentum tersebut dimulai dengan dibuatnya Undang-Undang Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah yang berimplikasi pada perubahan signifikan hubungan pusat dan
daerah, sehingga kabupaten/kota memperoleh limpahan hampir semua urusan
pemerintahan yang sebelumnya berada di tangan pusat atau provinsi.

Secara normatif, peraturan ini dipandang revolusioner karena dianggap sebagai awal
perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik ke desentralistik.

Aturan pertama yang mengatur hubungan pusat-daerah adalah Paket Undang-Undang


1999 tentang Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam aturan tersebut sebenernya ingin menekankan atau menguatkan otonomi


pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangga atau daerahnya sendiri dengan
meniadakan hubungan hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah.

Selain itu, aturan Undang-Undang tentang Pemda 1999 memberikan kewenangan lebih
kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakilnya sendiri, karena itulah kepala
daerah bertanggung jawab kepada DPRD kemudian DPRD juga dapat memberhentikan
kepala daerah tersebut apabila pemimpin tersebut melakukan pelanggaran atau
menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya.

Berbagai polemik pro dan kontra terjadi ketika usulan aturan kebijakan desentralisasi ini
dibuat. Beberapa pihak yang kontra dan mendesak agar segera merevisi kebijakan
tersebut datang dari pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Asosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI).

Anda mungkin juga menyukai