Anda di halaman 1dari 15

ISTISHAB

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi

Tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen: Zulbaidah, Dr. Hj. M. Ag.

DISUSUN OLEH

1. MUSRONI 1193010103
2. NURUL APRILIANI 1193010111
3. RISDAYANTI MADANI 1193010119
4. SITI HASNA Z 1193010128
5. WIDIA NURHASANAH 1193010136
6. M. IQBAL HAKIM 1193010146

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu Kami panjatkan kehadirat Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya Kami dapat menyelesaikan
Makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam tak lupa kita curah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya, tabiut
tabi’in dan kita selaku umatnya.
Makalah ini ditulis dan disusun dengan baik sebagai salah satu bukti bahwa
Kami telah menyelesaikan tugas Makalah mata kuliah Ushul Fiqih dengan judul
“Istishab”.
Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang Kami lakukan karena keterbatasan waktu dan kemampuan yang
dimiliki oleh Kami, maka sekiranya pembaca memaklumi segala kekurangan serta
kekeliruan baik dari segi isi, sistematika Kami serta tata bahasa yang kurang.
Dengan demikian dengan adanya kritik dan saran dapat membantu Kami dalam
rangka menyempurnakan tugas ini.
Alhamdulillah dengan segala kerendahan hati Kami sedangkan kesempurnaan
hanya milik Alloh yang Maha Berkehendak, Kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak sekali kekurangan. Maka kami sangat terbuka untuk
setiap masukan dan kritikan yang membantu untuk memperbaiki makalah ini.
Laporan makalah ini tidak akan terwujud tanpa ada bantuan dan dukungan
yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Untuk itu, dengan kerendahan hati dan
penghargaan yang tulus kami mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1
1. Ibu Zulbaidah, Dr. Hj. M. Ag. selaku Dosen matakuliah Ushul Fiqih.

2. Teman-teman kelas yang senantiasa mendukung dan memberikan motivasi


tiada henti.
3. Teman kelompok sekaligus rekan selama kerja kelompok orang-orang
sekitar yang telah membantu dalam Makalah ini.

Ucapan terima kasih juga Kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan yang tidak dapat Kami sebutkan satu persatu. Semoga
bantuan, do’a, simpati, dan kerjasama yang telah diberikan mendapat balasan dari
Alloh SWT. Amiin Yaa Robbal ‘Alamin.

Bandung, Juni

2020

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 4
A. Latar Belakang .......................................................................... 4
B. Rumusan Masalah........................................................................ 4
C. Tujuan ......................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 5
A. Pengertian Istishab...................................................................... 5
B. Bentuk – Bentuk Istishab............................................................. 6
B. Macam-Macam Istishab.............................................................. 8
C. Syarat Istishab............................................................................. 11
C. Ijtihad Menggunakan Istishab .................................................... 11
BAB III PENUTUP....................................................................................... 13
A. Simpulan...................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum, yaitu hukum yang
disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui, bahwa
hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah, Ijma’, dan
Qiyas. Secara umum, ada 7 hukum islam yang tidak desepakati, dan salah satu
diantaranya adalah akan menjadi pokok pembahasan makalah
ini,yaitu Istishab.Dalam peristilahan ahli ushul, istishab berarti menetapkan
hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang
mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya
menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu. Dalam
berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode dalam berijtihad.
Ada beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan mujtahid.
Diantaranya :Istihsan, Istishab, Mashlahah Mursalah, `Urf, Sadduzara`i,
Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana. Dari sekian banyak metode atau
cara ijtihad yang dikemukakan tidak semunya disepakati penggunaanya oleh
ulama, dalam berijtihad seringkali hasil ijtihad mereka berbeda dengan yang
lainnya. Perbedaan tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pengertian dan bentuk – bentuk istishab?
b. Bagaimana macam – macam dan Syarat istishab?
c. Bagaimana Ijtihad menggunakan istishab?
C. Tujuan
a. Membekali mahasiswa/peserta didik agar dapat mengetahui dan
memahami istishab secara terperinci dan menyeluruh.

b. Memenuhi nilai matakuliah dan sebagai bahan diskusi tatap muka.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishab
Menurut pengertian bahasa, istishab berasal dari kata suhbah  yang berarti
menemani, menyertai atau tidak berpisah. Menurut pengertian
istilah, istihab adalah mengambil hukum yang telah ditetapkan pada masa
lampau untuk digunakan pada masa sekarang maupun yang akan datang,
selama tidak terjadi perubahan ‘illat hukumnya.1

     Menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama
ushul, diantaranya adalah:

1. Imam Isnawi memberikan definisi sebagai berikut:

“Istihab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang teah
ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum–
hukum tersebut”.

2. Imam Ibnu Qayyim memberikan definisi sebagai berikut:

“istishab adalah menerapkan berlakunya hukum yang telah ada , atau


meniadakan apa yang memeng tiada sampai adanya dalil yang dapat
mengubah kedudukan berlakunya hukuman itu”.

3. Imam Al-Gazali memberikan definisi sebagai berikut:

“istishab adalah berpegang kepada suatu dalil aqli atau dalil syar’i bukan
karena tiadanya dalil bahkan ada dalilnya hanya karena tidak ada dalil lain
yang mengubah hukum tersebut”.

     Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, maka
dapat dikatakan apabila suatu perkara dapat ditetapkan pada suatu waktu,
maka ketentuan hukumnya akan tetap seperti itu, sebelum ada dalil baru yang

1
A. Mustafa Hadna,Ayo Mengkaji Fikih untuk Madrasah Aliyah, (Bandung: Erlangga, 2008), hlm
44.

5
mengbahnya. Sebaliknya, apabila suatu perkara telah ditolak pada sesuatu
waktu, maka suatu penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa,
sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu.

Adapun contoh tentang istishab adalah sebagai berikut:2

1. Apabila telah jelas adanya kepemilikan terhadap suatu harta karena adanya
bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisan, hibbah atau
wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti
lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang lain.
2. Orang yanghilang tetap dianggap hidup sehingga ada bukti atau tanda-
tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal dunia.
3. Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami
istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai, misalnya dengan
talak.

B. Bentuk – Bentuk Istishab


Dalam menguraikan rincian bentuk istishab, ulama berbeda–beda pendapat,
namun perbedaan itu tidaklah bersifat prinsip. Diantaranya ada yang
menguraikan secara perinci, ada pula yang hanya menguraikan prinsip- prinsip
dasarnya yang kalau dirinci lagi akan bertemu dengan pendapat ulama yang
merincinya. Diantara ahli ushul yang mengemukakan bentuk istishah adalah:
1. Ibn Qayyim mengemukakan tiga bentuk istishab
a) Istishab al bara’ah al ashliyah
b) Istishab sifat yang menetapkan hukum syara’
c) Sistishab hukum ijma’
Arti lughawi al-baraah adalah “bersih” dalam hal ini pengertiannya adalah
bersih atau bebas dari beban hukum. Dihubungkan dengan kata al-ashliyah
yang secara lughawi artinya “menurut asalnya”, dalam hal ini maksudnya
adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan
hukumnya. Hal ini berarti pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum,
kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban huukum
orang tersebut.
2
A. Djazuli, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm 91

6
2. Muhammad abu Zahrah menambahkan betuk lain dari istishab yaitu:
“mengukuhkan pemberlakuan suatu hukum” ahli fiqih lain memasukkan
bentuk ini ke dalam istishab bentuk pertama yang dikemukakan Al-
Syaukani, karena berlakunya suatu hukum itu tentu karena adanya dalil
syara’ atau setidaknya ada dalil akal yang menetapkannya. Mengukuhkan
yang telah ditetapkan oleh dalil syara’ itu tetap berlaku untuk selanjutnya.
3. Ibn Subki menambahkan istishab bentuk lain yang belum disebutkan dalam
rincian diatas yaitu: “meneruskan pemberlakuan suatu hukum umum atau
nash sampai datangnya suatu ketentuan yang mengubahnya”. Ketentuan
yang mengubah itu mungkin dalam bentuk mukhasis terhadap dalil semula
yang umum, atau mungkin juga dalam bentuk nasikh terhadap nash yang
datang sebelumnya.3
Bentuk-bentuk istishab dilihat dari sifatnya, keadaan sesuatu itu tidak lepas
dari dua keadaan, yaitu:
1. Nafi, yaitu dalam keadaan kosong tidak terdapat hukum didalamnya.
Keberadaan tidak ada hukum ini diberlakukan untuk masa seterusnya
sebelum ada keadaan yang mengubahnya. Contoh,pada masa lalu tidak
pernah ada hukum yang menyatakan bahwa puasa di bulan Syawal itu wajib
hukumnya. Karena memang tidak ada dalil yang mewajibkannya. Tidak ada
hukum wajib berpuasa di bulan Syawal ini berlaku sampai sekarang, karena
dalil syara’ yang mewajibkan tidak akan ada lagi.
2. Kedua tsubut, yaitu keadaan dimana pernah ada hukum didalamnya. Maka
hukum yang sudah tetap pada suatu itu berlaku sampai masa kini dan yang
akan datang sebelum adanya keadaan dalil yang mengubahnya. Contoh
seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya. Kewajiban itu
dilakukan oleh suami sampai kapan pun sebelum adanya keadaan yang
mengubahnya seperti perceraian.4
C. Macam – Macam Istishab

3
Amir syarifuddin, Ushul fiqih, (Jakarta: Kencana, 2008)cet 2 hlm 394
4
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2014). Cet 2 hlm 93

7
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam,
yang sebagiannya disepakati dan sebagiannya diperselisihkan. Kelima macam
istihab itu adalah:5

1. Istishab Hukum Al – ibadah  al – asliyyah

     Yaitu menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalalah


boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya,
seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat
manusia dan masing–masing orang berhak menebang dan memanfaatkan
pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu
telah menjadi milik seseorang. Dalam kaitan ini, alasan yang dikemukakan
para ahli ushul fiqih Allah berfirman adalam surah Al–Baqarah ayat 29:

“Dia-lah yang menjadikan bagi kamu seluruh yang ada di bumi ini....”

     Menurut mereka, kalimat bagi kamu dalam ayat ini meunjukkan kebolehan


memanfaatkan apa–apa yang ada di bumi.

2. Istishab yang Menurut Akal dan Syara’ Hukumnya Tetap dan Berlangsung
Terus

     Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (691–751 H/1292–1350 H), ahli ushul fiqih


Hambali, menyebutnya dengan “wasf al-tsabit li al hukm watla yutsbisa
khilafahu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum
yang berbeda dengan hukum itu)”. Misalnya, hak milik suatu benda adalah
tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi kepemilikan, yaitu
akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah
tangan kepada orang lain. Contoh lain, hukum wudhu seseorang dianggap
berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila
seseorang yang merasa ragu apakah wudunya masih ada atau telah batal,
maka berdasarkan istihab wudhunya dianggap masih ada , karena keraguan
yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut, tidak bisa
mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW terhadap seseorang yang

5
Chaerul Umam, Dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998).  Cet 1 hlm 147.

8
merasa ragu terhadap keutuhan wudhunya ketika itu Rasulullah SAW
menyatakn:

“jika sesorang merasakan sakit perutnya, lalu ia ragu–ragu apakah ada


sesuatu yang keluar atau tida, maka sekali–kali jangan ia keluar dari mesjid
(membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau
(kentut).”

3. Istihab terhadap Dalil yang Bersifat Umum Sebelum Datangnya Dalil yang
Mengkhususkannya dan dengan Nash Selama tidak Ada Dalil (yang
Membatalkannya)

     Istihab bentuk ketiga ini, dari segi esensinya, tidak diperselisihkan oleh


para ulama ushul fiqih. Akan tetapi, dari segi penamaan, terdapat perbedaan
para ulama ushul fiqih. Misalnya dalam sural Al-Baqarah ayat 267
diwajibkan menafkahkan seluruh hasil usaha manusia dan seluruh yang
diperoleh melalui pengeksploitasian sumber daya alam.
Kalimat nafkah,  seluruh hasil usaha dan seluruh hasil yang di eksploitasi
dari sumber daya alam tersebut, menurut kesepakatan ulama ushul fiqih
bersifat umum, baik nafkah wajib itu berbentuk zakat, nafkah keluarga
maupun kaum kerabat. Kalimat hasil usaha dan hasil eksploitasi bumi dalam
ayat itu pun bersifat umum, yaitu seluruh jenis hasil usaha dan seluruh jenis
yang di eksploitasikan dari bumi.

      Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menaskh-kannya


adalah kewajiban berpuasa yang dicantumkan Allah dalam surat Al- Baqarah
ayat 183:

“wahai orang – orang yang beriman diwajibkan bagi kamu berpuasa


sbagaimana diwajibkan bagi umat sebalum kamu....”

     Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, yang berlaku bagi umat sebelum


Islam, tetap waib bagi umat Islam berdasarkan ayat diatas, selama tidak ada
nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini pun, menurut Jumhur
Ulama fiqih lainnya, seperti yang dikemukakan diatas tidak dinamakan
istishab, tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa.

9
4. Istishab Hukum Akal sampai Datangnya hukum Syar’i

     Maksudya adalah umat manusia tidak dikenakan hukum – hukum syar’i


sebelum datangnya syara’. Seperti adanya pembebanan hukum dan akibat
hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’ yang
menentukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat)
orang lain (tergugat) bahwa ia berutang kepada penggugat sejumlah uang,
maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan alat – alat atas
tuduhannya tersebut. Apabila ia tidak sanggup, maka tergugat bebas dari
tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berutang pada
penggugat. Istishab seperti ini pun diperselisihkan para ulama ushul fiqih.

     Menurut ulama Hanafiyah, istihab dalam bentuk ini hanya bisa


menegaskan hukum yang telah ada dan tidak bisa menetapkan hukum yang
akan datang.

5. Istishab Hukum yang Ditetapkan berdasarkan Ijma’, tetapi Keberadaan


Ijma’ Diperselisishkan

     Istishab seperti ini diperlelisisihkan oleh para ulama tentang


kehujjahannya. Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarka ijma’
bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan
shalat. Apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apakah shalatnya
harus dibatalkan untuk kemudian berwudhu atau shalat itu ia teruskan?

     Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, orang tersebut tidak boleh


membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang menyatakan bahwa shalat
itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum
ijma’ itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus
membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali
shalatnya.

     Akan tetapi, ulama Hanafiyah dan Hanabillah mengatakan orang yang


melakukan shalat dengan tayammum dan ketika shalat melihat melihat air, ia
harus membatalkan shalatnya, untuk kemudian berwudhu dan mengulangi
shalatnya itu. Mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya shalat orang yang

10
bertayammum, sebelum melihat air, karena ijma’ menurut mereka hanya
terkait dengan hukum sahnya shalat bagi orang dalam keadaan ketidaan air,
bukan dalam keadaan teredianya air.6

D. Syarat – Syarat Istishab


Dalam penerapan istishab, para ulama berbeda pendapat tentang syarat yang
ditentukannya.
1. Penggunaan Istishab telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
mencari buktu yang merubah hukum yg semula ada.
2. Setelah mengerahkan seluruh kemampuannya, pengguna Istishab tidak
menemukan buktu yang merubah kumum yang telah ada
3. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan Istishab benar adanya, baik
dari dalil shar’I ataupun dari dalil akal. Artinya, bukan sekedar dugaan.
4. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan Istishab bersifat mutlaq
(umum). Artinya, dalil lama tersebut tidak menunjukan keberlakuan
dirinya secara terus menerus, tidak pula menunjukan ketidak
berlakuannya sampai batas waktu tertentu. Karena bila demikian halnya,
maka itu tidak disebut mengunakan Istishab, melainkan disebut
mengunakan dalil tersebut.
5. Tidak terjadi kontradiktif antara Istishab dengan nash yg ada. Bila terjadi
kontradiktif antara keduanya, maka yg didahulukan adalah apa yang
tertera pada nash, karena nash memiliki kekuatan hukum yang lebih
tinggi dibandingkan dengan Istishab. 7

E. Ijtihad Menggunakan Istishab

Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah dapat


tidaknya istishab dijadikan dalil atau petunjuk dalam berijtihad. Perbedaan
pendapat itu tidak meliputi seluruh bentuk istishab, tetapi terbatas pada
beberapa bentuk istishab, dan pada beberapa bentuk lainnya, para ulama
sepakat untuk menggunakannya dalam berijtihad, berikut ini akan diuraikan

6
Ibid,  hlm 147
7
Misbahuzzulam,”Istishab: Sejarah dan Posisinya”, Jurnal Al- Majaalis,1, no1(2013): 113-114.

11
tentang perbedaan pendapat ulama mengenai beberapa
bentuk istishab tersebut.8

1. Istishah al-baraqaah al-ashliyah

     Para ulama menerima penggunaan Istishah al-baraqaah al-ashliyah atau


yang disebut juga dengan istishab al-adam al-ashli sebagai dalil yang
berijtihad. Ibn Subki membuatnya sebagai hujah secara pasti tanpa terdapat
perbedaan pendapat. Abu Ya’la (dari mazhab Hanbali)dalam bukunya al-
uddah menganggapnya sebagai dalil yang saheh secara ijma’ ahlu
al-‘ilmi, dan istishab pantas dijadikan hujah.

2. Istishab hukum akal

      Istishab hukum akal (dalam arti hukum yang ditetapkan oleh akal
sebelum datangnya wahyu) dapat digunakan sebagai dalil atau petunjuk
sebagai dalil syara’ yang menyatakan hukumnya. Cara seperti ini berlaku
dikalangan ulama Mu’tazilah, karena menurut mereka akal dapat menetapkan
apa yang baik dan yang buruk berdasarkan kemampuan akal yang juga dapat
menetapkan beban hukum. Apa yang dinyatakan baik oleh akal harus
dilakukan dan apa buruk oleh akal harus djauhi, meskipun belum ada syara’
yang mengaturnya.

3. Istishab dalil umum atu nash

     Dalil yang menetapkan hukum umum, dapat dilaksanakan secara praktis


setelah ada dalil lain yang menjelaskannya. Dalil lain yang menjelaskannya
itu disebut mukhassis. Sedangkan bentuk penjelasannya bisa dalam bentuk
penjelasan arti kata, penjelasan dalam bentuk perluasan pengertian, dan bisa
juga penjelasan dalam bentuk nash atau lahir yang memberi kemungkinan
untuk di-naskh. Meng-istishab-kan dalil umum berarti hukum umum
diamalkan menurut apa adanya sebelum menemukan dalil yang men-takhbis-
nya. Begitu pula istishab nash berarti nash  itu diamalkan menurut apa adanya
sebelum menemukan dalil yang me-nasakh-nya.

BAB III
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih,  (Jakarta: Kencana), Cet5 hlm 375.

12
A. Kesimpulan
Istishhab adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada
sebelumnya, sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau
menjadikan hukaum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai
sampai sekarang, sampai ada dalil muntuk mengubahnaya. Istishhab ada
dua macam yaitu : pertama, istishhab yang melangsungkan berlakunya
hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada saat tidak
dijumpainya dalil yang mengubahnya.
Segala macam makanan dan minuman yang tidak terdapat dalil syara’
tentang keharamannya, adalah mubah atau halal,sesuai dengan kaedah
ushul. Kedua, Istishhab yang melangsungkan berlakunya hukum syara’
berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil yang lain yang
mengubahnya. Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi
sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal tentang
kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau
melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya
sebab terjadinya hukum.

13
DAFTAR PUSTAKA

Djajuli, A. 2005. Ilmu Fiqih. Jakarta. Kencana.

Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqih. Jakarta. Kencana.

Hadna, Mustafa. 2008. Ayo Mengkaji Fiqih. Bandung.Erlangga.

Misbahuzzulam. 2013. “Istishab: Sejarah dan Posisinya”, Jurnal Al- Majaalis.

Shidiq, Saipudin. 2011. Ushul Fiqih 1. Bandung. CV.Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqih 2. Jakarta. Kencana.

Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqih 2. Jakarta. Kencana.

Umam, Chaerul, dkk. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung. Cv. Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai