MAKALAH
DISUSUN OLEH
1. MUSRONI 1193010103
2. NURUL APRILIANI 1193010111
3. RISDAYANTI MADANI 1193010119
4. SITI HASNA Z 1193010128
5. WIDIA NURHASANAH 1193010136
6. M. IQBAL HAKIM 1193010146
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur selalu Kami panjatkan kehadirat Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya Kami dapat menyelesaikan
Makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam tak lupa kita curah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya, tabiut
tabi’in dan kita selaku umatnya.
Makalah ini ditulis dan disusun dengan baik sebagai salah satu bukti bahwa
Kami telah menyelesaikan tugas Makalah mata kuliah Ushul Fiqih dengan judul
“Istishab”.
Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang Kami lakukan karena keterbatasan waktu dan kemampuan yang
dimiliki oleh Kami, maka sekiranya pembaca memaklumi segala kekurangan serta
kekeliruan baik dari segi isi, sistematika Kami serta tata bahasa yang kurang.
Dengan demikian dengan adanya kritik dan saran dapat membantu Kami dalam
rangka menyempurnakan tugas ini.
Alhamdulillah dengan segala kerendahan hati Kami sedangkan kesempurnaan
hanya milik Alloh yang Maha Berkehendak, Kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak sekali kekurangan. Maka kami sangat terbuka untuk
setiap masukan dan kritikan yang membantu untuk memperbaiki makalah ini.
Laporan makalah ini tidak akan terwujud tanpa ada bantuan dan dukungan
yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Untuk itu, dengan kerendahan hati dan
penghargaan yang tulus kami mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1
1. Ibu Zulbaidah, Dr. Hj. M. Ag. selaku Dosen matakuliah Ushul Fiqih.
Ucapan terima kasih juga Kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan yang tidak dapat Kami sebutkan satu persatu. Semoga
bantuan, do’a, simpati, dan kerjasama yang telah diberikan mendapat balasan dari
Alloh SWT. Amiin Yaa Robbal ‘Alamin.
Bandung, Juni
2020
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 4
A. Latar Belakang .......................................................................... 4
B. Rumusan Masalah........................................................................ 4
C. Tujuan ......................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 5
A. Pengertian Istishab...................................................................... 5
B. Bentuk – Bentuk Istishab............................................................. 6
B. Macam-Macam Istishab.............................................................. 8
C. Syarat Istishab............................................................................. 11
C. Ijtihad Menggunakan Istishab .................................................... 11
BAB III PENUTUP....................................................................................... 13
A. Simpulan...................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum, yaitu hukum yang
disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui, bahwa
hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah, Ijma’, dan
Qiyas. Secara umum, ada 7 hukum islam yang tidak desepakati, dan salah satu
diantaranya adalah akan menjadi pokok pembahasan makalah
ini,yaitu Istishab.Dalam peristilahan ahli ushul, istishab berarti menetapkan
hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang
mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya
menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu. Dalam
berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode dalam berijtihad.
Ada beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan mujtahid.
Diantaranya :Istihsan, Istishab, Mashlahah Mursalah, `Urf, Sadduzara`i,
Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana. Dari sekian banyak metode atau
cara ijtihad yang dikemukakan tidak semunya disepakati penggunaanya oleh
ulama, dalam berijtihad seringkali hasil ijtihad mereka berbeda dengan yang
lainnya. Perbedaan tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pengertian dan bentuk – bentuk istishab?
b. Bagaimana macam – macam dan Syarat istishab?
c. Bagaimana Ijtihad menggunakan istishab?
C. Tujuan
a. Membekali mahasiswa/peserta didik agar dapat mengetahui dan
memahami istishab secara terperinci dan menyeluruh.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishab
Menurut pengertian bahasa, istishab berasal dari kata suhbah yang berarti
menemani, menyertai atau tidak berpisah. Menurut pengertian
istilah, istihab adalah mengambil hukum yang telah ditetapkan pada masa
lampau untuk digunakan pada masa sekarang maupun yang akan datang,
selama tidak terjadi perubahan ‘illat hukumnya.1
Menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama
ushul, diantaranya adalah:
“Istihab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang teah
ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum–
hukum tersebut”.
“istishab adalah berpegang kepada suatu dalil aqli atau dalil syar’i bukan
karena tiadanya dalil bahkan ada dalilnya hanya karena tidak ada dalil lain
yang mengubah hukum tersebut”.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, maka
dapat dikatakan apabila suatu perkara dapat ditetapkan pada suatu waktu,
maka ketentuan hukumnya akan tetap seperti itu, sebelum ada dalil baru yang
1
A. Mustafa Hadna,Ayo Mengkaji Fikih untuk Madrasah Aliyah, (Bandung: Erlangga, 2008), hlm
44.
5
mengbahnya. Sebaliknya, apabila suatu perkara telah ditolak pada sesuatu
waktu, maka suatu penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa,
sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu.
1. Apabila telah jelas adanya kepemilikan terhadap suatu harta karena adanya
bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisan, hibbah atau
wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti
lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang lain.
2. Orang yanghilang tetap dianggap hidup sehingga ada bukti atau tanda-
tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal dunia.
3. Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami
istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai, misalnya dengan
talak.
6
2. Muhammad abu Zahrah menambahkan betuk lain dari istishab yaitu:
“mengukuhkan pemberlakuan suatu hukum” ahli fiqih lain memasukkan
bentuk ini ke dalam istishab bentuk pertama yang dikemukakan Al-
Syaukani, karena berlakunya suatu hukum itu tentu karena adanya dalil
syara’ atau setidaknya ada dalil akal yang menetapkannya. Mengukuhkan
yang telah ditetapkan oleh dalil syara’ itu tetap berlaku untuk selanjutnya.
3. Ibn Subki menambahkan istishab bentuk lain yang belum disebutkan dalam
rincian diatas yaitu: “meneruskan pemberlakuan suatu hukum umum atau
nash sampai datangnya suatu ketentuan yang mengubahnya”. Ketentuan
yang mengubah itu mungkin dalam bentuk mukhasis terhadap dalil semula
yang umum, atau mungkin juga dalam bentuk nasikh terhadap nash yang
datang sebelumnya.3
Bentuk-bentuk istishab dilihat dari sifatnya, keadaan sesuatu itu tidak lepas
dari dua keadaan, yaitu:
1. Nafi, yaitu dalam keadaan kosong tidak terdapat hukum didalamnya.
Keberadaan tidak ada hukum ini diberlakukan untuk masa seterusnya
sebelum ada keadaan yang mengubahnya. Contoh,pada masa lalu tidak
pernah ada hukum yang menyatakan bahwa puasa di bulan Syawal itu wajib
hukumnya. Karena memang tidak ada dalil yang mewajibkannya. Tidak ada
hukum wajib berpuasa di bulan Syawal ini berlaku sampai sekarang, karena
dalil syara’ yang mewajibkan tidak akan ada lagi.
2. Kedua tsubut, yaitu keadaan dimana pernah ada hukum didalamnya. Maka
hukum yang sudah tetap pada suatu itu berlaku sampai masa kini dan yang
akan datang sebelum adanya keadaan dalil yang mengubahnya. Contoh
seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya. Kewajiban itu
dilakukan oleh suami sampai kapan pun sebelum adanya keadaan yang
mengubahnya seperti perceraian.4
C. Macam – Macam Istishab
3
Amir syarifuddin, Ushul fiqih, (Jakarta: Kencana, 2008)cet 2 hlm 394
4
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2014). Cet 2 hlm 93
7
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam,
yang sebagiannya disepakati dan sebagiannya diperselisihkan. Kelima macam
istihab itu adalah:5
“Dia-lah yang menjadikan bagi kamu seluruh yang ada di bumi ini....”
2. Istishab yang Menurut Akal dan Syara’ Hukumnya Tetap dan Berlangsung
Terus
5
Chaerul Umam, Dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998). Cet 1 hlm 147.
8
merasa ragu terhadap keutuhan wudhunya ketika itu Rasulullah SAW
menyatakn:
3. Istihab terhadap Dalil yang Bersifat Umum Sebelum Datangnya Dalil yang
Mengkhususkannya dan dengan Nash Selama tidak Ada Dalil (yang
Membatalkannya)
9
4. Istishab Hukum Akal sampai Datangnya hukum Syar’i
10
bertayammum, sebelum melihat air, karena ijma’ menurut mereka hanya
terkait dengan hukum sahnya shalat bagi orang dalam keadaan ketidaan air,
bukan dalam keadaan teredianya air.6
6
Ibid, hlm 147
7
Misbahuzzulam,”Istishab: Sejarah dan Posisinya”, Jurnal Al- Majaalis,1, no1(2013): 113-114.
11
tentang perbedaan pendapat ulama mengenai beberapa
bentuk istishab tersebut.8
2. Istishab hukum akal
Istishab hukum akal (dalam arti hukum yang ditetapkan oleh akal
sebelum datangnya wahyu) dapat digunakan sebagai dalil atau petunjuk
sebagai dalil syara’ yang menyatakan hukumnya. Cara seperti ini berlaku
dikalangan ulama Mu’tazilah, karena menurut mereka akal dapat menetapkan
apa yang baik dan yang buruk berdasarkan kemampuan akal yang juga dapat
menetapkan beban hukum. Apa yang dinyatakan baik oleh akal harus
dilakukan dan apa buruk oleh akal harus djauhi, meskipun belum ada syara’
yang mengaturnya.
BAB III
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana), Cet5 hlm 375.
12
A. Kesimpulan
Istishhab adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada
sebelumnya, sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau
menjadikan hukaum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai
sampai sekarang, sampai ada dalil muntuk mengubahnaya. Istishhab ada
dua macam yaitu : pertama, istishhab yang melangsungkan berlakunya
hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada saat tidak
dijumpainya dalil yang mengubahnya.
Segala macam makanan dan minuman yang tidak terdapat dalil syara’
tentang keharamannya, adalah mubah atau halal,sesuai dengan kaedah
ushul. Kedua, Istishhab yang melangsungkan berlakunya hukum syara’
berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil yang lain yang
mengubahnya. Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi
sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal tentang
kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau
melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya
sebab terjadinya hukum.
13
DAFTAR PUSTAKA
Umam, Chaerul, dkk. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung. Cv. Pustaka Setia.