Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung

empedu (cholecystolithiasis) atau di dalam ductus choledochus (choledocholithiasis).

Kolelitiasis merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam

kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang

bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun

terutama pada wanita dikarenakan memiliki factor resiko, yaitu: obesitas, usia lanjut,

diet tinggi lemak dan genetik. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan

batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan

beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam

kandung empedu.

Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu empedu dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu :

1. Batu kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi 70%

2. Batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate yang mengandung Ca-

bilirubinate sebagai komponen utama

3. Batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak terekstraksi

Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko

penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil.

Namun, sering menimbulkan gejala sumbatan sebagian (partial obstruction), dan

menimbulkan gejala kolik. Pada dasarnya dilatasi saluran empedu sangat bergantung

1
pada berat atau tidaknya obstruksi yang terjadi. Bila menimbulkan gejala sumbatan,

akan timbul tanda cholestasis ekstrahepatal. Di samping itu dapat terjadi infeksi,

timbul gejala cholangitis, dan cairan empedu menjadi kental dan berwarna coklat tua

(biliary mud). Dinding dari duktus choledochus menebal dan mengalami dilatasi

disertai dengan ulserasi pada mukosa terutama di sekitar letak batu dan di ampula

vateri.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Kolelitiasis berasal dari kata ‘chole’ yang artinya awalan mengenai empedu

dan ‘lithos’ yaitu batu. Secara istilah, kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang

dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada

kedua-duanya. Kolelitiasis dapat disebut juga batu empedu, gallstone, atau billiary

calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung

empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang

membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang

mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus.

Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga

yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.

Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami

aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran

empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran

empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan

infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan

menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.

3
B. Anatomi Vesicae Fellea

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang

terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya

sekitar 30-60 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc.

Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan

biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan

dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus

bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri.

Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus

untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus

koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna

menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica

kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri

yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak

dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici

hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.

Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.

4
C. Fisiologi Vesicae Fellea

Fungsi kandung empedu, yaitu:

a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di

dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah

cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.

b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin

yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin

yang berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen

utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.

Kandung empedu mampu menyimpan 30-60 ml empedu. Diluar waktu makan,

empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat

segera masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu

masuk ke duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu,

pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik,

5
sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan

empedu hati.

Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan

diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan. Pengaliran cairan empedu

diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan

tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan

dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu

berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke duodenum.

Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu

kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung

empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal

terletak dalam otot polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum

terjadi dalam waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer

terdiri dari air, lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh

hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid.

Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu

dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum

memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu

berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan

bercampur dengan makanan.

Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak,

berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang

berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu

6
meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk

membantu proses penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus

besar untuk membantu menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu)

dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan,

serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari

tubuh.

Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan

dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi

enterohepatik. Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak

10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam

usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi

berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya

dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam

feses.

D. Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang

dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh

dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun 1980-an agaknya

berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

Sementara ini, didapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia

lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan angka

yang terdapat di negara Barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti

7
Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor

infeksi empedu oleh kuman gram negatif E. Coli ikut berperanan penting dalam

timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini, insiden batu primer saluran empedu adalah

40-50% dari penyakit batu empedu, sedangkan di dunia Barat sekitar 5%.

E. Etiologi

Penyebab dan faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu tidak secara

jelas dibedakan. Ada yang menyebutkan faktor tertentu sebagai penyebab, namun

sumber lain menyebutnya sebagai faktor risiko. Kumar et al mendapatkan penyebab

batu kandung empedu adalah idiopatik, penyakit hemolitik dan penyakit spesifik non

hemolitik. Schweizer et al anak yang mendapat nutrisi parenteral total yang lama,

setelah menjalani operasi by pass kardiopulmonal, reseksi usus, kegemukan dan anak

perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal mempunyai risiko untuk

menderita kolelitiasis.

Beberapa kondisi yang berhubungan dengan kolelitiasis adalah penyakit

hemolitik kronik (anemia sel sickle, sferositosis), kegemukan, penyakit atau reseksi

ileum, fibrosis kistik, penyakit hati kronis, penyakit Crohn, nutrisi parenteral yang

lama, prematuritas dengan komplikasi bedah atau non bedah, pengobatan kanker pada

anak. Schirmer et al menyebutkan faktor-faktor risiko terbentuknya batu kandung

empedu adalah kegemukan, diabetes melitus, hormon estrogen dan kehamilan,

penyakit hemolitik dan sirosis.

8
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,

semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan

untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :

a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan

dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap

peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan

kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil

kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam

kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya

usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

c. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi

untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol

dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta

mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.

d. Makanan

9
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah

operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu

dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar

dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.

f. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya

kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

g. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn

disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak

terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati

intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam

kandung empedu.

F. Klasifikasi Batu Kandung Empedu

Batu kandung empedu terbagi menjadi tiga jenis yaitu batu kolesterol, batu

pigmen dan campuran. Batu kolesterol mengandung lebih dari 50% kolesterol dari

seluruh beratnya, sisanya terdiri dari protein dan garam kalsium. Batu kolesterol

sering mengandung kristal kolesterol dan musin glikoprotein. Kristal kolesterol yang

10
murni biasanya agak lunak dan adanya protein menyebabkan kosistensi batu empedu

menjadi lebih keras.

Batu pigmen merupakan campuran dari garam kalsium yang tidak larut, terdiri

dari kalsium bilirubinat, kalsium fosfat dan kalsium karbonat. Kolesterol terdapat

dalam batu pigmen dalam jumlah kecil yaitu 10% dalam batu pigmen hitam dan 10-

30% dalam batu pigmen coklat. Batu pigmen dibedakan menjadi dua yaitu batu

pigmen hitam dan batu pigmen coklat, keduanya mengandung garam kalsium dari

bilirubin. Batu pigmen hitam mengandung polimer dari bilirubin dengan musin

glikoprotein dalam jumlah besar, sedangkan batu pigmen coklat mengandung garam

kalsium dengan sejumlah protein dan kolesterol yang bervariasi. Batu pigmen hitam

umumnya dijumpai pada pasien sirosis atau penyakit hemolitik kronik seperti

talasemia dan anemia sel sickle. Batu pigmen coklat sering dihubungkan dengan

kejadian infeksi.

11
G. Patofisiologi

Patogenesis terbentuknya batu telah diselidiki dalam beberapa tahun terakhir.

Walaupun beberapa aspek yang berperan sebagai penyebab belum diketahui

sepenuhnya, namun komposisi kimia dan adanya lipid dalam cairan empedu

memegang peran penting dalam proses terbentuknya batu. Kira-kira 8% dari lipid

empedu dalam bentuk kolesterol dan 15-20% dalam bentuk fosfolipid. Keduanya

tidak larut dalam air, dalam cairan empedu terikat dengan garam empedu dengan

komposisi 70-80% dari lipid empedu.

Empedu adalah suatu cairan aqueous yang terdiri dari lemak hidropobik yang

tidak larut (kolesterol dan fosfolipid), yang selanjutnya bisa terlarut dengan bantuan

suatu asam empedu. Empedu terdiri dari air (97,5 g/dL), garam empedu (1,1 g/dL),

bilirubin (0,04 g/dL), kolesterol (0,1 g/dL), asam lemak (0,12 g/dL),

leshitin/fosfolipid (0,04 g/dL), natrium (145 mEq/L), kalium (5 mEq/L), kalsium (5

mEq/L), Cl- (100 mEq/L), HCO3- (28mEq/L).

Kolesterol dalam empedu bercampur dengan garam empedu dan fosfolipid

membentuk campuran micelles dan vesikel. Micelles adalah kumpulan lemak yang

mempunyai dinding yang hidrofilik (larut dalam air) dan inti yang hidrofobik (tidak

larut dalam air). Vesikel adalah suatu bentukan sferik bilayers dari fosfolipid yang

terdiri dari 2 rantai yaitu rantai nonpolar hidrokarbon menghadap dan rantai polar

mengarah ke larutan. Pada keadaan kosentrasi kolesterol yang tinggi vesikel

membawa kolesterol dalam jumlah besar.

Hubungan antara kolesterol, fosfolipid dan garam empedu digambarkan dalam

suatu segitiga yang sering disebut Triangular Coordinats yang menggambarkan

12
konsentrasi kelarutan kolesterol dalam suatu campuran dengan fosfolipid dan garam

empedu. The maximum equilibrium solubility dari kolesterol ditentukan oleh rasio

kolesterol, fosfolipid dan garam empedu, yang dinyatakan dalam indeks saturasi

kolesterol. Micelles terbentuk jika titik potong konsentrasi relatif dari ketiga

komponen (kolesterol, lesitin dan garam empedu) terletak pada area micellar.

Keadaan ini berada dalam kondisi stabil untuk mencegah terbentuknya batu. Jika titik

potong konsentrasi empedu terletak di luar area tersebut maka empedu bersifat

litogenik. Berbagai kondisi dapat menyebabkan ketidakstabilan komposisi dari ketiga

komponen tersebut.

H. Manifestasi Klinik

Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut

bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran

klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena

adanya komplikasi.

Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai

kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan

sampai di daerah subskapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-

lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba

pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus.

Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).

13
Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra

hepatic.

Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri

viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh

batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu

tidak memperlihatkan inflamasi akut.

Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama

antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium.

Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen

kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala

dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa

kolelitiasis.

Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya

komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis

akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier

sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung

empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat

fatal.

Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan

keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan

organ tersebut. Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan

telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini

14
menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai

penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis. 

Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui

duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di

dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis

sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan

timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.

Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa

menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga

timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE

yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat

membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus

obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

I. Diagnosis

15
Anamnesis

Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik

(adanya batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks

(menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 %

kolelitiasis adalah asimptomatik.

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis.

Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran

terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di

daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah

kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru

16
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan

tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak

bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan

bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,

keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

Pemeriksaan Fisik

 Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,

seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,

empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri

tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda

Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas

panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan

pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

 Batu saluran empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang

teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang

dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah

berat, akan timbul ikterus klinis.

Pemeriksaan Penunjang

17
1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan

kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat

terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan

bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum

yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar

fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat

sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.

2. Pemeriksaan Radiologis

Diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologis

terutama pemeriksaan Ultrasonography (USG). Pemeriksaan radiologis lain yang

dapat dilakukan adalah dengan foto polos abdomen, Computed tomography [CTl,

Magnetic nesonance cholangiography [MRCP], Endoscopic ultrasound [EUS], dan

Biliary scintigraphy.(25) Hanya sekitar l0% dari kasus batu empedu adalah radioopak

karena batu empedu tersebut mengandung kalsium dan dapat terdeteksi dengan

pemeriksaan foto polos abdomen. Ultasonography (USG) dan cholescintigraphy

adalah pemeriksaan imaging yang sangat membantu dan sering digunakan untuk

mendiagnosis adanya batu empedu.

a. Foto polos abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena

hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang

kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat

dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang

18
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan

lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di

fleksura hepatika.

b. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik

maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu

yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun

sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi

karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa

19
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi

biasa.

c. Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena

relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga

dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan

ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan

hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.

Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung

empedu.

20
d. Computed Tomography (CT)

Batu ginjal dengan kalsifikasi memberikan gambaran yang khas pada

pemeriksaan CT scan tapi tidak jelas menggambarkan batu ginjal tanpa kalsifikasi.

Komplikasi seperti sumbatan saluran empedu dan kolesistitis juga dapat terlihat pada

pemeriksaan ini tapi USG merupakan tes investigasi yang utama.

21
e. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)

Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus

pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi

ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke

dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP

berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus

hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat

digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung

empedunya sudah diangkat. ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/

infeksi.

22
J. Diagnosis banding

Diagnosis banding nyeri karena kolelitiasis adalah ulkus peptikum, refluks

gastroesofagus, dispepsia non ulkus, dismotilitas esofagus, irritable bowel syndrome,

kolik ginjal. Nyeri ulkus peptikum biasanya lebih sering, hampir setiap hari dan

berkurang sehabis makan. Nyeri yang timbul biasanya menetap di perut kanan atas,

pada kolelitiasis frekuensinya lebih jarang.

Nyeri karena refluks dapat dibedakan dengan nyeri kolelitiasis dilihat dari

adanya rasa terbakar, lokasi nyeri di substernal, dan sering dipengaruhi oleh posisi,

dimana pada posisi supine rasa nyeri akan memberat. Nyeri epigastrium karena

kolelitiasis dan dispepsia nonulkus sukar dibedakan. Namun demikian nyeri karena

kolik bilier biasanya lebih hebat, frekuensinya sporadik, dan penyebaran nyeri sampai

perut kanan atas dan skapula.

Diagnosis banding untuk kolesistitis akut adalah apendisitis akut, pankreatitis

akut, hepatitis akut, perforasi ulkus, perforasi ulkus peptikum dan penyakit intestinal

23
akut lainnya. Untuk membedakan dengan pankreatitis akut, biasanya nyeri pada

pankreatitis akut lebih terlokalisir dan jarang disertai tanda peritoneal akut. Nyeri

sampai ke punggung, menghilang saat posisi duduk adalah khas untuk pankreatitis

akut. Gejala demam dan leukositosis mungkin sama pada kedua kasus, tetapi

peningkatan kadar serum amilase jauh lebih tinggi pada keadaan pankreatitis akut.

Pada keadaan pankreatitis yang berat, penderita tampak sangat toksik. Namun pada

penderita dengan kolesistitis akut dengan komplikasi pankreatitis akut USG

diperlukan untuk segera membedakan keadaan tersebut.

Untuk membedakan dengan kolesistitis, pada keadaan hepatitis biasanya pada

pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar serum enzim hepar akan jauh lebih

tinggi dibanding dengan kolesistitis akut. Pada keadaan apendisitis akut, ditandai oleh

nyeri khas pada perut kanan bawah, diawali dari sekitar daerah umbilikal yang

kemudian menetap di perut kanan bawah. Pada keadaan perforasi usus, pada

pemeriksaan radiologis sering dijumpai adanya udara bebas pada foto polos abdomen.

K. Tatalaksana

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri

yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau

mengurangi makanan berlemak.

Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun

telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani

pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu

24
tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu

dilakukan pembatasan makanan.

Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non

bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang

menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan

kolelitiasis yang asimptomatik.

Penatalaksanaan Non-Bedah

Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran batu

dengan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid,

extracorporeal shock-wave lithotripsy dengan pemberian kontinyu obat-obatan,

penanaman obat secara langsung di kandung empedu.

Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian

obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada

chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan

chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan

hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu

pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan

mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Pada anak-anak

terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk

menjalani operasi.

Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu

kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui

25
kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier.

Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan

suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan

batu kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan

untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan

dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan

terbentuknya kembali batu kandung empedu.

Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan gelombang

suara dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada kandung empedu.

Pasien dengan batu yang soliter merupakan indikasi terbaik untuk dilaskukan metode

ini. Namun pada anak-anak penggunaan metode ini tidak direkomendasikan, mungkin

karena angka kekambuhan yang tinggi.

26
Penatalaksanaan Bedah

 Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga

kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah

cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang

dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk

kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

 Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan

sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu

empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian

dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi

komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang

dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.

27
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya

kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai

melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu

duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur

konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang

dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan

kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,

berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang

mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.

Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu

dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan

kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.3,7 Kolesistektomi

laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung empedu

simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi

kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.

28
L. Komplikasi

Komplikasi yang umum dijumpai adalah (batu saluran empedu), kolesistitis

akut, pakreatitis akut, emfiema dan perforasi kandung empedu.

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan

menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam

kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap

29
ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap

maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat

menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-

alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel

kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya

kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian

dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel

kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat

terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat

kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus

kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang

menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif,

kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui

terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat

menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan

ileus obstruksi.

M. Prognosis

Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG

diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang

secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena merupakan risiko

30
terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko

tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita

penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan semakin memburuk dengan

bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk melakukan kolesistektomi.

31
DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. 2002. Kamus kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.

Kasper Dennis, Harrison Tinsley Randolph. 2005. Harrison Principle’s of Internal

Medicine16th. New York: Mc Graw Hills Publishing. 1880-1890.

Lesmana, L. 2000. Batu empedu. Buku ajar penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mansjoer, A. 1999. Kapita selekta kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Penerbit

MediaAesculapius FKUI.

Schwartz S, Shires G, Spencer F. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of

Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 459-464.

Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC. 570-579.

Price, S, Lorraine, M., 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.

Volume 1. Edisi 6. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.

Johns Hopkins University. 2012. Gallstones. http://www.hopkinsmedicine.org/

gastroenterology_hepatology/_pdfs/pancreas_biliary_tract/gallstone_disease.pdf

32

Anda mungkin juga menyukai