Anda di halaman 1dari 4

Hukum Berkurban Untuk Orang Yang Telah Wafat Secara Khusus

Muncul pertanyaan berkenaan berqurban atas nama orang yang telah wafat atau untuk
orang meninggal, bolehkah atau tidak? Sahkah atau tidak? Ini tidak lepas karena
keutamaan qurban itu sendiri. Qurban atas nama orang yang meninggal menjadi menarik
dipertanyakan karena sifatnya yang menjadi bagian ibadah harta, sebab hasil dari qurban
itu sendiri akan disedekahkan, sementara para ulama sepakat sedekah atas nama orang
meninggal atau untuk orang yang meninggal itu boleh dan sampai. Disisi lain, berqurban
secara khusus atas nama orang yang telah wafat tidak pernah diamalkan sedikit pun oleh
Rasulullah dan para shahabat, ditambah lagi bahwa qurban juga termasuk ibadah
badaniyah karena adanya penyembelihan dan tuntutan bagi orang yang berqurban agar
tidak memotong kuku, bulu, dan rambut dari tubuhnya jika hendak berqurban. Maka
bagaimanakah kita mendudukan masalah ini?!

Jikalau berqurban dengan mendoakan agar pahalanya juga disampaikan kepada orang
yang wafat atau diberikan kepada kaum kerabat, atau keluarga secara umum tanpa
membedakan antara yang hidup dan yang telah wafat, atau bersekutu dalam pahala, maka
ini disyariatkan dan mayit akan mendapatkan bagian dari pahala qurban tersebut. Ini
merupakan pandangan mayoritas ulama1 dan pernah dipraktikkan oleh Rasulullah.
Rasulullah mengatakan ketika akan menyembelih hewan qurban:

‫ َو ِم ْن أ َُّم ِة ُم َح َّم ٍد‬،‫آل ُم َح َّم ٍد‬


ِ ‫ و‬،‫الله َّم َت َقبَّل ِم ْن ُم َح َّم ٍد‬
َ ْ
ِ ‫اس ِم‬
ُ ،‫اهلل‬ ْ ِ‫ب‬
“Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (qurban ini) dari Muhammad, keluarga
Muhammad, dan dari umat Muhammad.” (HR. Muslim: 1967 dari Aisyah binti Abu
Bakr). Ini dikuatkan dengan penuturan shahabat Abu Ayyub al-Anshari:

‫ َفيَأْ ُكلُو َن َويُط ِْع ُمو َن‬،‫الش ِاة َع ْنهُ َو َع ْن أ َْه ِل َب ْيتِ ِه‬
َّ ِ‫ض ِّحي ب‬
َ ُ‫الر ُج ُل ي‬
َّ ‫َكا َن‬

1
Lihat penjelasan an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim XIII/122
“Dahulu lelaki (di masa Nabi) biasa berqurban dengan seekor kambing untuk dirinya
sekaligus untuk keluarganya. Lalu mereka memakannya dan membagikannya.” (HR. At-
Tirmidzi: 1505. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)

Namun apabila qurban dilaksanakan khusus untuk orang yang telah wafat atau atas nama
orang yang telah wafat, maka terdapat khilaf di kalangan para ulama. Ini telah
diisyaratkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan beliau: “Sebagian ahli ilmu
memperbolehkan berqurban untuk mayit, sedangkan sebagian ahli ilmu lagi tidak
memandangnya boleh.”2

Pendapat pertama memperbolehkannya. Ini merupakan pandangan madzhab Hanafi


dan madzhab Hanbali. Ini yang dipilih oleh al-Allamah ash-Shan’ani 3. Para ulama ini
beralasan dengan keumuman ucapan Nabi sebelum menyembelih hewan di atas.

Al-Kasani al-Hanafi mengatakan: “Al-Kasani mengatakan: “Menurut qiyas apabila


seseorang telah wafat, maka telah gugur ibadah qurban darinya dan jika si pewaris
mengurbankan untuknya, tidak akan sah. Makanya qurban untuk orang meninggal tidak
dibolehkan. Dan dari sisi istihsan, kematian tidak menghalangi seorang mayit untuk
mendekatkan diri kepada Allah berdasarkan dalil bolehnya orang lain bersedekah atas
namanya dan menghajikannya, dan telah shahih dari Rasulullah bahwa beliau berqurban
dengan 2 ekor kambing yang salah satunya untuk beliau dan satunya lagi untuk umat
beliau–mencakup umat beliau yang telah wafat sebelum idul adha-….”4

Ibnu Abidin al-Hanafi mengatakan: “Barangsiapa yang berqurban untuk mayit,


hendaknya ia melakukan hal yang sama layaknya ia memperlakukan qurbannya sendiri,
baik dalam menyedekahkan dagingnya dan memakannya, sementara pahalanya bagi
mayit dan kepemilikan hewan bagi si pengurban.”5 Meskipun madzhab Hanafi sendiri
mengakui adanya pertentangan antara qiyas dengan istihsan dalam hal ini dalam madzhab
mereka.

2
Al-Jami’ul Kabir Sunanut Tirmidzi III/136
3
Subulus Salam II/531
4
Badai’ush Shanai’ V/72
5
Raddul Mukhtar VI/326
Sedangkan dalam mazhab Hanbali, Abun-Naja al-Hanbali mengatakan: “Qurban
dahulunya diwajibkan atas Nabi dan (disunnahkan) menyembelihnya sendiri, dan
termasuk menyembelihnya untuk orang yang telah wafat.”6

Ibn an-Najjar al-Hanbali mengatakan: “Qurban hukumnya sunnah muakkadah dari


seorang muslim yang (mampu) memiliki hewan qurban atau seorang budak yang
diizinkan oleh tuannya, lebih utama jika dilakukan untuk orang yang telah wafat dan
qurbannya diperlakukan sebagaimana jika berasal dari orang hidup.”7

Tidak hanya itu, bahkan madzhab Hambali lebih jauh menyebutkan lebih afdhol jika
qurban diberikan orang yang telah wafat. Ar-Ruhaibani al-Hanbali mengatakan:
“Berqurban atas untuk orang yang telah wafat lebih utama daripada untuk orang yang
masih hidup, karena si mayit tidak mampu lagi beramal padahal ia amat butuh dengan
pahala…”8

Pendapat kedua dilarang. Ini merupakan pendapat yang muktamad dalam madzhab
Syafii, juga madzhab Maliki. Ini yang dicenderungi oleh al-Allamah Ibnul Utsaimin. 9
Hanya saja, madzhab Maliki memperbolehkan untuk menyembelih bagi orang yang telah
wafat apabila sebelum wafat orang tersebut telah mempersiapkan qurbannya, jika tidak,
maka terlarang (makruh).

Ar-Rafii asy-Syafii mengatakan: “Tidak boleh berqurban atas nama orang lain tanpa izin
darinya, demikian juga untuk orang yang telah wafat kecuali jika ia mewasiatkannya.”10

An-Nawawi asy-Syafii mengatakan: “Tidak sah berqurban atas nama orang lain tanpa
seizinnya, demikian juga untuk orang yang telah wafat jika ia tidak mewasiatkannya.”11

Imam Malik mengatakan: “Aku tidak suka jika ada orang yang berqurban atas nama
kedua orang tuanya yang telah wafat.”12

6
Al-Iqna’ I/408
7
Muntahal Iradat II/196
8
Mathalib Ulin-Nuha II/472
9
Asy-Syarhul Mumti’ VII/479-480
10
Al-Muharrar: 467
11
Minhajuth Thalibin I/321
12
Dinukil oleh Abul Walid Ibnu Rusyd dalam al-Muntaqa Syarhul Muwaththa III/100
Al-Haththab al-Maliki mengatakan: “Dibencinya berqurban untuk orang meninggal
karena hal itu tidak pernah diriwayatkan dari Nabi (pengamalannya) dan tidak ada
seorang salaf pun yang melakukannya…. Namun ini berlaku jika mayit dari awal tidak
mempersiapkan qurbannya. Jika ternyata ia telah mempersiapkan qurban, maka
dianjurkan kepada ahli warisnya untuk tetap melanjutkan penyembelihan qurban si mayit
jika si mayit wafat sebelum ia sempat berqurban.”13

Para ulama sepakat boleh dan sah berqurban untuk orang yang telah wafat jika
sedari awal ia telah mewasiatkannya. Demikian jika si mayit menazarkannya namun tidak
sempat menunaikannya.14 Para ulama hanya berselisih jika tidak ada wasiat atau nazar
sama sekali. Mayoritas ulama memperbolehkan bersekutu dalam hal pahala ketika
berqurban tanpa ada pengkhususan bagi yang telah wafat. Para ulama hanya berselisih
pandangan jika ada pengkhususan bagi orang yang telah wafat, karena asalnya qurban
adalah ibadah untuk orang yang masih hidup. Menghindari berqurban untuk orang yang
telah wafat secara khusus lebih utama, menimbang tidak adanya salaf pun yang
melakukannya, tidak dilaksanakan oleh Rasulullah, dan keluar dari perselisihan para
ulama. Terlebih madzhab Syafii yang menjadi anutan mayoritas penduduk Indonesia juga
melarang dan menyatakan ketidak absahannya. Namun kita berharap bagi yang tetap
melakukannya mudah-mudahan pahalanya tetap sampai kepada orang meninggal yang
dituju. Wallohu a’lam

13
Mawahibul Jalil III/248
14
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah V/106

Anda mungkin juga menyukai