Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

CARDIOVASCULAR PHYSIOLOGY AND ANESTHESIA


CONSIDERATION FOR PATIENT WITH CARDIAC DISEASE

Disusun Oleh:
Kevin Suwandi
01073180046

Penguji:
dr. Alexander Samuel Partogi, SpAn, KNA

KEPANITERAAN ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM – SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 8 JUNI 2020 – 20 JUNI 2020
KARAWACI
DAFTAR ISI

2
2.1. Anatomi dan Fisiologi Jantung
2.1.1. Anatomi Jantung...............................................................................................2
2.1.2. Potensial Aksi Jantung......................................................................................3
2.1.3. Impuls dan Konduksi Jantung..........................................................................4
2.1.4. Mekanisme Kontraksi Jantung.........................................................................5
2.1.5. Siklus Jantung...................................................................................................7
2.1.6. Faktor Determinan Performa Jantung...............................................................8
2.1.7. Tekanan Darah................................................................................................10
2.1.7.1. Faktor Humoral..................................................................................11
2.1.7.2. Faktor Sistem Saraf...........................................................................13
2.1.7.3. Baroreseptor.......................................................................................14
2.2. Konsiderasi Anestesi pada Penyakit Jantung
2.2.1. Hipertensi........................................................................................................14
2.2.1.1. Manajemen Preoperatif......................................................................14
2.2.1.2. Manajemen Intraoperatif...................................................................15
2.2.1.3. Manajemen Postoperatif....................................................................18
2.2.2. Penyakit Jantung Iskemik...............................................................................19
2.2.1.1. Manajemen Preoperatif......................................................................19
2.2.1.2. Manajemen Intraoperatif...................................................................19
2.2.1.3. Manajemen Aritmia dan Internal Cardioverter-Defibrillator............21
2.2.3. Gagal Jantung.................................................................................................23
2.2.4. Penyakit Katup Jantung..................................................................................23
2.2.4.1. Stenosis Mitral...................................................................................23
2.2.4.2. Regurgitasi Mitral..............................................................................24
2.2.4.3. Stenosis Aorta....................................................................................24
2.2.4.4. Regurgitasi Aorta...............................................................................25
2.2.4.5. Regurgitasi Trikuspid........................................................................26
2.2.5. Penyakit Jantung Kongenital..........................................................................26
2.2.5.1. Stenosis Pulmoner.............................................................................27
2.2.5.2. Atrial Septal Defect...........................................................................28
2.2.5.3. Ventricular Septal Defect..................................................................28
2.2.5.4. Patent Ductus Arteriosus...................................................................28
2.2.5.5. Tetralogy of Fallot.............................................................................28

30

31
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas


tertinggi di seluruh dunia. Beberapa kombinasi penyakit kardiovaskular seperti penyakit
jantung iskemik dan stroke sendiri menyebabkan kematian sebanyak 13 juta orang secara
global pada tahun 2010. Penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, penyakit jantung iskemik,
penyakit jantung kongenital, dan gangguan katup jantung merupakan penyakit yang umumnya
ditemukan pada praktik anestesi dan merupakan penyebab mayor dari morbiditas dan
mortalitas perioperatif.1-3
Komplikasi-komplikasi kardiovaskular memiliki angka mortalitas 25-50% setelah
tindakan operasi non-kardiak. Infark mikokardium, edema paru, gagal jantung kongestif,
aritmia, dan tromboembolisme merupakan morbiditas-morbiditas yang paling umum
ditemukan perioperatif pada pasien yang sudah memiliki penyakit jantung. Pasien dengan
penyakit arteri koroner, memiliki riwayat infark miokardium, atau disfungsi ventrikular
memiliki resiko komplikasi kardiovaskular tertinggi dibandingkan yang lain.3
Efek-efek dari obat-obatan anestesi, intubasi endotrakeal, perdarahan, perpindahan
cairan, dan perubahan suhu tubuh dapat menyebabkan gangguan pada sistem kardiovaskular.
Beberapa obat-obatan anestesi menyebabkan depresi kardiak dan vasodilatasi. Manajemen
anestesi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dengan baik membutuhkan pengetahuan
mengenai fisiologi jantung, efek obat-obatan anestesi pada sistem sirkulasi, serta patofisiologi
dari penyakit jantung tersebut.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Jantung


2.1.1. Anatomi Jantung
Jantung dapat dibagi menjadi pompa kiri dan pompa kanan, dimana
masing-masing terdiri atas ventrikel dan atrium. Ventrikel kanan menerima
darah dari vena sistemik dan memompa darah menuju sirkulasi pulmoner.
Ventrikel kiri menerima darah dari vena pulmoner dan memompa darah
menuju sirkulasi sistemik. Proses pompa darah merupakan hasil dari kerja
elektrik dan mekanik jantung.3
Otot-otot jantung dapat dibagi menjadi otot atrium, otot ventrikel, sel
pacemaker, dan sel penghantar. Setiap otot-otot jantung yang terspesialisasi
dengan jaringan ikat ini memiliki kemampuan eksitatorik mandiri yang
membuat otot jantung unik dan berfungsi sebagai pompa yang sangat efisien.
Ditambah anyaman otot jantung yang khas (intercalated disk) membuat
hubungan hantarnya memiliki sedikit hambatan dan mampu menghantar listrik
dengan cepat dan penjalaran yang tepat di keempat ruang jantung. Pada
jantung, jalur dimana hubungan atrium dan ventrikel hanya melalui jalur nodus
atrioventrikuler (AV) sehingga kontraksi ventrikel akan selalu didahului
kontraksi atrium.3
Serabut saraf parasimpatis mempersarafi atrium dan jaringan-jaringan
konduksi. Asetilkolin bekerja pada reseptor muskarinik jantung (M2) yang
spesifik untuk menghasilkan efek kronotropik negatif, dromotropik, dan
inotropik. Serabut saraf simpatis yang mengeinervasi jantung berasal dari
spinal cord thorakalis (T1-T4) dan berjalan ke jantung melalui ganglia
servikalis kemudian berjalan kembali sebagai saraf-saraf jantung. Pelepasan
norepinefrin menyebabkan efek kronotropik positif, dromotropik dan inotropik
melalui aktivasi dari reseptor β1-adrenergik. Jumlah reseptor β2-adrenergik

2
biasanya lebih sedikit dan sebagian besar ditemukan pada atrium, dimana
aktivasi dari reseptor tersebut meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas
jantung.3
Sistem persarafan otonom jantung memiliki sisi yang jelas karena saraf
simpatis kanan dan nervus vagus kanan menginervasi nodus SA sementara
saraf simpatis kiri dan nervus vagus kiri mempengaruhi nodus AV. Refleks
vagal biasanya memiliki onset yang sangat cepat, sementara efek dari saraf
simpatis biasanya mempengaruhi secara perlahan-lahan. Sinus aritmia
merupakan salah satu variasi siklik pada denyut jantung yang berhubungan
dengan pernapasan (meningkat selama inspirasi dan menurun selama ekspirasi)
dan hal tersebut berhubungan dengan perubahan siklik pada tonus vagal.3

2.1.2. Potensial Aksi Jantung


Potensial aksi pada jantung dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu (1)
potensial aksi reaksi cepat yang dapat ditemukan pada sistem His-Purjinke dan
sel otot-otot jantung atrium dan ventrikel dan (2) potensial aksi reaksi lambat
yang ditemukan pada sel-sel pacemaker di nodus sinoatrial dan atrioventrikel.4
Membran sel otot-otot jantung secara normal permeabel untuk K+ tapi
relatif impermeabel untuk Na+. Sebuah membran mengandung Na+- K+
Adenosine Triphosphate (ATP) yang mengandung K+ dengan konsentrasi di
dalam sel lebih tinggi dan melakukan pertukaran dengan Na+ yang lebih
banyak berada di luar sel. Konsentrasi sodium dalam sel dijaga agar tetap
rendah, sedang konsentrasi potassium di dalam sel dijaga agar tetap tinggi
dibandingkan pada ruang ekstraseluler. Impermeabilitas relatif dari membran
untuk kalsium juga dijaga agar tetap tinggi diruang ekstrasel untuk ke
sitoplasma. Perpindahan K+ keluar sel dan penurunan konsentrasinya dalam sel
membuat keadaan dalam sel menjadi kurang positif. Sebuah potensial aksi
listrik terjadi melintasi membran, dimana keadaan dalam sel menjadi lebih
negatif dibanding keadaan di luar sel, karena keluarnya anion K+. Sehingga,
potensial istirahat membran menggambarkan keseimbangan antara dua ruang
tersebut dimana perpindahan K+ menurunkan konsentrasi K + dalam sel dan

3
aktivitas listrik yang negatif dari ruang intraseluler menjadi positif hanya
dengan ion potassium.
Potensial istirahat dari membran sel-sel ventrikel adalah -80 hingga -90
mV. Potensial aksi yang segera terjadi pada membran sel otot-otot jantung
menjadi +20 mV. Puncak dari potensial aksi pada jantung diikuti oleh adanya
fase plateau yang berlangsung sekitar 0,2-0,3 detik. Potensial aksi pada otot
jantung ditandai tidak hanya oleh terbukanya fast sodium channel (spike) saja
tapi juga oleh pembukaan slow sodium channel (plateau).
Depolarisasi juga terjadi melalui penurunan yang cepat pada
permeabilitas potassium. Dengan mengembalikan permeabilitas potassium
pada keadaan normal dan menutup sodium serta kalsium channel maka hal
tersebut dapat membuat keadaan potensial membran sel menjadi normal
kembali.

Gambar 1. Potensial Aksi Jantung3,4

2.1.3. Impuls dan Konduksi Jantung


Impuls jantung secara normal berasal dari nodus SA yang merupakan
kelompok sel pacemaker yang terspesialisasi pada sulkus terminalis, berlokasi

4
posterior terhadap pertemuan atrium kanan dan superior venakava. Sel ini
memiliki membran luar yang dapat ditembus natrium dan kalsium. Masuknya
natrium secara perlahan membuat potensial membran menjadi lebih positif (-50
sampai -60mV). Pada titik ambang, calcium channel terbuka, permeabilitas
potassium menurun, dan hal ini menyebabkan terjadinya potensial aksi.
Kemudian, permeabilitas potasssium kembali normal dan potensial nodus SA
kembali ke posisi istirahat.3
Secara normal, nodus SA memiliki konduksi cepat ke atrium dan
kemudian ke nodus AV. Serat atrium yang terspesialisasi membuat konduksi
semakin cepat. Nodus AV yang terletak pada dinding sekat atrium kanan,
anterior terhadap sinus koronarius dan di atas dari insersi daun katup
trikuspidalis. Normalnya, AV junctional area memiliki denyut 40-60x per
menit yang lebih lambat dari nodus SA. Sehingga, nodus SA mengambil alih
automatisitas dari AV junctional area.3
Secara normal, durasi impuls nodus SA untuk mencapai nodus AV
dalam 0,04 detik, tetapi baru diteruskan setelah 0,11 detik karena konduksi
yang lambat akibat dari slow calcium channel. Konduksi ini dilanjutkan pada
bundle of His selama 0,03 detik. Pernyebaran impuls dari endokardium ke
epikardium melalui otot ventrikuler menambah waktu sekitar 0,03 detik,
sehingga dimbutuhkan waktu sekitar 0,2 detik untuk menjalarkan impuls dari
nodus SA sampai ke seluruh otot jantung.3

2.1.4. Mekanisme Kontraksi Jantung


Kontraksi dari sel-sel otot jantung adalah hasil interaksi antara aktin
dan miosin. Pemendekan sel terjadi ketika dua protein tersebut berinteraksi dan
menutupi satu sama lain. Interaksi ini secara normal dicegah oleh troponin dan
tropomiosin. Troponin terdiri dari 3 subunit, yaitu tropinin I, troponin C, dan
troponin T. Troponin berikatan dengan aktin pada interval yang teratur,
sedangkan tropomiosin mempengaruhi pusat dari struktur aktin. Peningkatan
konsentrasi kalsium dalam sel (dari 10-7 menjadi 10-5 mol/L) menyebabkan
terjadinya kontraksi ketika ion kalsium yang terikat pada troponin C. Hal

5
tersebut menyebabkan bagian aktif dari aktin untuk berinteraksi dengan
jembatan miosin. Adenosin triphosphate (ATP) digunakan pada proses ikatan
tersebut. Relaksasi terjadi saat kalsium secara aktif dipompa kembali ke dalam
retikulum sarkoplasma melalui Ca2+-Mg2+-ATPase. Penurunan konsentrasi
kalsium intrasel menyebabkan kompleks troponin-tropomiosin mencegah
interaksi antara aktin dan miosin.3,4
Rangkaian eksitasi-kontraksi jantung melibatkan beberapa struktur
jantung yaitu sarkolemma, tubulus transversus (T tubules), retikulum
sarkoplasma, dan miofilamen. Rangkaian eksitasi-kontraksi ini dimulai dengan
depolarisasi dari membran plasma dan penyebaran eksitasi pada sarkolemma
pada otot-otot jantung.4

Gambar 2. Rangkaian Eksitasi-Kontraksi Jantung4

Sejumlah kalsium dapat memicu kontraksi dimana kalsium masuk ke


dalam sel melalui L-type calcium channel selama fase 2 yang memicu

6
pelepasan kalsium dalam jumlah yang besar dari retikulum sarkoplasma. Aksi
potensial dari depolarisasi sel-sel otot dari T tubules. Untuk serat-serat otot,
melalui reseptor dihydropyridine (voltage-gated calcium channel). Peningkatan
kalsium intrasel memicu masuknya kalsium ke dalam sel dalam jumlah yang
besar melalui reseptor ryanodine (nonvoltage-dependent calcium channel) pada
retikulum sarkoplasma. Kekuatan kontraksi jantung secara langsung
bergantung pada seberapa banyak masuknya kalsium ke dalam sel. Saat
relaksasi, ketika slow channel menutup, membrane-bound ATPase mulai
mengembalikan kalsium kembali ke dalam retikulum sarkoplasma. Kalsium
intraseluler juga digunakan sebagai pertukaran dengan sodium.3,4

2.1.5. Siklus Jantung


Siklus jantung merupakan sebuah kesatuan kerja antara elektrik dan
mekanik pada jantung. Sistol mengacu kepada kontraksi jantung, sedangkan
diastol mengacu kepada relaksasi jantung. Pengisian terbesar pada durasi
diastolik terjadi secara pasif sebelum kontraksi atrium. Kontraksi atrium secara
normal hanya berperan sebesar 20-30 % pada pengisian ventrikel.3

7
Gambar 3. Fungsi Jantung pada Siklus Jantung4

2.1.6. Faktor Determinan Performa Ventrikel


Fungsi sistolik ventrikuler seringkali disamakan dengan curah jantung
(CO) yang didefinisikan sebagai seberapa banyak darah yang dipompa jantung
per menit. Persamaan dari CO yaitu:3
CO = Stroke volume (SV) x Heart Rate (HR)

8
HR merupakan fungsi intrinsik pada nodus SA yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor otonom, humoral, dan lokal. Stimulasi aktivitas vagal
memperlambat denyut jantung sedangkan peningkatan aktivitas simpatetik
mempercepat denyut jantung. Normal laju intrinsik nodus SA pada dewasa
muda adalah 90-100x/menit, tetapi berkurang seiring semakin tinggi usia
dengan rumus:3
Normal intrinsic HR: 118x/menit – (0,57 x usia)

SV dipengruhi oleh 3 faktor, yaitu preload, afterload, dan


kontraktilitas. Preload adalah panjang otot sebelum kontraksi, sedangkan
afterload adalah tegangan yang harus dilawan saat otot berkontraksi.3
Preload secara umum bergantung dari pengisian ventrikel. Pengisian
ventrikel dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pada tabel berikut:3

Gambar 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Preload Jantung3

Afterload umumnya sebanding dengan ketegangan dinding ventrikel


saat sistol. Ketegangan dinding dapat diartikan dengan tekanan yang harus
dilampaui untuk mengurangi volume dalam ruang. Afterload pada ventrikel kiri
secara klinis biasanya disamakan dengan systemic vascular resistance (SVR)
dan afterload pada ventrikel kanan bergantung pada pulmonary vascular
resistance (PVR). Perhitungan SVR dan PVR sendiri yaitu:3
MAP−CVP
SVR=80 ×
CO
PAP−LAP
PVR=80 ×
CO

9
Kontraktilitas dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor neural, humoral, dan
efek farmalogikal. Aktivitas sistem simpatis menjadi faktor utama yang penting
untuk kontraktilitas jantung. Jaras simpatetik mempersarafi otot atrium dan
ventrikel. Kontraktilitas miokardium dapat diturunkan akibat hipoksia,
asidosis, penurunan katekolamin pada jantung, dan penurunan fungsi otot
jantung akibat iskemik dan infark. Pada dosis yang cukup besar, obat-obatan
anestesi dan anti-aritmia merupakan inotropik negatif sehingga dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.3

2.1.7. Tekanan Darah


Hubungan antara tekanan, resistensi, dan aliran darah dalam sistem
kardiovaskular dikenal dengan hemodinamika. Sifat aliran ini sangat kompleks,
namun secara garis besar dapat diperoleh dari hukum fisika untuk sistem
kardiovaskular:5
BP = CO x TPR

Beberapa sistem pusat yang mengawasi dan mengatur perubahan


tekanan darah, yaitu (1) sistem humoral yang dapat berlangsung lokal atau
sistemik, misalnya renin-angiotensin, vasopressin, epinefrin, norepinefrin,
asetilkolin, serotonin, adenosin dan kalsium, magnesium, hidrogen, kalium,
dan sebagainya, (2) sistem saraf pusat yang terdapat di batang otak, misalnya
pusat vasomotor dan diluar susunan saraf pusat, misalnya baroreseptor dan
kemoreseptor, dan (3) sistem hemodinamik yang lebih banyak dipengaruhi
oleh volume darah, susunan kapiler, serta perubahan tekanan osmotik dan
hidrostatik di bagian dalam dan di luar sistem vaskuler.3

10
Gambar 5. Regulasi Tekanan Darah5

2.1.7.1. Faktor Humoral


Norepinefrin merupakan hormon vasokonstriktor yang kuat
sedangkan epinefrin sebaliknya. Ketika sistem saraf simpatis
distimulasi selama terjadi stress, maka ujung saraf simpatis pada
masing-masing jaringan akan melepaskan norepinefrin yang
menstimulus jantung dan mengkonstriksi vena serta arteriol. Selain itu,
sistem saraf simpatis pada medula adrenal juga dapat menyebabkan
kelenjar ini mensekresi norepinefrin dan epinefrin ke dalam darah.
Hormon tersebut bersirkulasi ke seluruh tubuh yang menyebabkan
stimulus yang hampir sama dengan stimulus langsung terhadap
sirkulasi dengan efek tidak langsung.3,5

11
Pengaruh angiotensin II adalah untuk mengkonstriksi arteri kecil
dengan kuat. Angiotensin II dihasilkan dari aktivasi angiotensiogen
yang dihasilkan di hepar dan berada di plasma. Jika terjadi stimulasi
pengeluaran renin, suatu protein yang dihasilkan oleh sel
jukstaglomerular pada ginjal, angiotensinogen yang berada di plasma
akan diubah menjadi angiotensin I. Kemudian, angiotensin I diubah
oleh aldosteron converting enzyme menjadi angiotensinogen II.
angiotensinogen II secara normal bekerja secara bersamaan pada
banyak arteriol tubuh untuk meningkatkan resistensi perifer total yang
akan meningkatkan resistensi perifel total yang akan meningkatkan
tekanan darah. Selain itu, angiotensinogen II merangsang korteks
adrenal melepaskan aldosteron, suatu hormon yang menyebabkan
retensi natrim pada tubulus distal dan tubulus kolektivus yang akan
menyebabkan peningkatan osmolalitas sehingga terjadi absorpsi H 2O
yang akan meningkatkan volume cairan ekstraselular. Hal tersebut akan
meningkatkan curah jantung dan menyebabkan peningkatan tekanan
darah.3,5
Vasopresin disebut juga hormon antidiuretik yang dibentuk di
nukleus supraoptik pada hipotalamus otak yang kemudian diangkut ke
bawah melalui akson saraf ke hipofisis posterior tempat zat tersebut
berada yang akhirnya disekresi ke dalam darah. Zat ini merupakan
vasokonstriktor yang kurang kuat dibanding angiotensin II. Vasopressin
memiliki fungsi utama meningkatkan reabsorbsi air dari tubulus distal
dan tubulus kolektivus renal untuk kembali ke dalam darah yang akan
membantu mengatur volume cairan tubuh. Jika vasopresin meningkat
karena suatu hal, maka terjadi peningkatan reabsorpsi H2O yang
menyebabkan peningkatan volume plasma sehingga curah jantung
bertambah dan tekanan darah meingkat.3,5
Endotelin merupakan vasokonstriktor yang kuat di dalam
pembuluh darah. Zat ini terdapat di sel-sel endotel di seluruh atau
sebagian besar pembuluh darah. Rangsangan yang akan melepaskan zat

12
ini, pada umumnya adalah adanya kerusakan pada endotel, misalnya
kerusakan yang disebabkan oleh cedera jaringan, atau dengan
menyuntikkan zat kimia yang menimbulkan trauma ke dalam pembuluh
darah.3,5
Bradikinin menyebabkan dilatasi kuat arteriol dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Histamin dikeluarkan di setiap jaringan tubuh
jika jaringan tersebut mengalami kerusakan atau peradangan dan
berperan pada reaksi alergi. Histamin memiliki efek vasodilator kuat
terhadap arteriol dan, seperti bradikinin, memiliki kemampuan untuk
meningkatkan permeabilitas kapiler dengan hebat, sehingga timbul
kebocoran cairan dan protein plasma ke dalam jaringan.3,5

2.1.7.2. Faktor Sistem Saraf


Invervasi arteri kecil dan arteriol menyebabkan rangsangan
simpatis untuk meningkatkan tahanan aliran darah yang akan
menurunkan laju aliran darah yang melalui jaringan. Sedangkan
inervasi pembuluh darah besar, terutama vena, memungkinkan
rangsangan simpatis untuk menurunkan volume pembuluh darah. Hal
ini dapat mendorong darah masuk ke jantung dan dengan demikian
berperan penting dalam pengaturan pompa jantung. Inervasi serabut
saraf simpatis juga mempersarafi jantung secara langsung yang jika
terangsang akan meningkatkan aktivitas jantung, meningkatkan
frekuensi jantung dan menambah kekuatan serta volume pompa
jantung.3,5
Aktivitas refleks spinal mempengaruhi tekanan darah, tetapi
kendali utama tekanan darah dipengaruhi oleh neuron di medula
oblongata yang disebut sebagai pusat vasomotor. Neuron yang
memperantai peningkatan pelepasan impuls simpatis ke pembuluh
darah dan jantung berproyeksi ke neuron praganglion simpatis dalam
kolumna grisea intermediolateralis di medula spinalis. Akson dari
badan sel neuron ini berjalan ke dorsal dan medial kemudian turun

13
dalam kolumna lateralis medula spinalis ke intermediolateralis yang
jika terstimulasi akan mengeksitasi glutamat. Impuls yang mencapai
medula mempengaruhi frekuensi denyut jantung melalui pelepasan
impuls vagus ke jantung. Bila pelepasan impuls vasokonstriktor arteriol
meningkat, konstriksi arteriol dan tekanan darah juga meningkat.
Frenkuensi denyut jantung dan isi sekuncup meningkat akibat aktivitas
saraf simpatis yang menuju jantung, serta curah jantung meningkat.
Sebaliknya, penurunan pelepasan impuls vasomotor menimbulkan
vasodilatasi, penurunan tekanan darah, dan peningkatan simpanan darah
dalam cadangan vena akibat stimulasi persarafan vagus di jantung.3,5

2.1.7.3. Baroreseptor
Baroreseptor adalah reseptor regang di dinding jantung dan
pembuluh darah. Reseptor sinus karotikus dan arkus aorta memantau
sirkulasi arteri. Reseptor juga terletak di dinding atrium kanan dan kiri
pada tempat masuk vena cava superior dan inferior serta vena
pulmonalis, juga di sirkulasi paru. Refleks baroreseptor dimulai oleh
regangan struktur tempatnya berada sehingga baroreseptor resebut
melepaskan impuls dengan tekanan tinggi ketika tekanan dalam struktur
ini meningkat. Peningkatan tekanan arteri tersebut akan meregangkan
baroreseptor dan menyebabkan menjalarnya sinyal menuju sistem saraf
pusat. Selanjutnya, sinyal umpan balik dikirim kembali melalui sistem
saraf otonom ke sirkulasi untun mengurangi tekanan arteri kembali ke
nilai normal. Jadi, peningkatan pelepasan impuls baroreseptor
menghambat pelepasan impuls tonik saraf vasokonstriktor dan
menggiatkan persarafan vagus jantung yang menyebabkan vasodilatasi,
venoditalasi, penurunan tekanan darah, bradikardia, dan penurunan
curah jantung.3-5

2.2. Konsiderasi Anestesi pada Penyakit Jantung


2.2.1. Hipertensi

14
2.2.1.1. Manajemen Preoperatif
Pasien dengan hipertensi yang terkontrol memiliki tekanan
darah yang lebih stabil selama masa intraoperatif. Penghentian
penggunaan obat-obatan antihipertensi secara akut dapat memicu
peningkatan tekanan darah atau iskemia miokard. Secara umum, terapi
antihipertensi harus dipertahankan sampai waktu operasi dan dimulai
kembali sesegera mungkin setelah operasi. Premedikasi dapat
menurunkan kecemasan preoperatif pada pasien penderita hipertensi.
Hipertensi preoperatif ringan dan sedang pada umumnya dapat diatasi
dengan pemberian obat-obatan anti-ansiolitik seperti midazolam. Obat-
obatan anti-hipertensi dapat dilanjutkan sampai pada hari tindakan
bedah. Penggunaan ARB dan ACE inhibitor disarankan dihentikan
beberapa hari sebelum tindakan bedah karena dapat menyebabkan
hipotensi intraoperatif.3,6-7

2.2.1.2. Manajemen Intraoperatif


Tujuan utama anestesi pada pasien hipertensi adalah untuk
mempertahankan tekanan darah dalam nilai stabil. Tekanan darah arteri
umumnya harus dijaga dalam 20% dari tingkat preoperatif. Jika
hipertensi dengan > 180/120 mmHg terjadi sebelum operasi, tekanan
darah arteri harus dijaga dalam kisaran batas normal-tinggi (150-
140/90–80 mmHg).3,8
Kebanyakan pasien hipertensi tidak memerlukan monitor
khusus intraoperatif. Pemantauan tekanan intra-arterial dapat disediakan
untuk pasien dengan karakteristik perubahan cepat dalam tekanan darah
dan mereka yang menjalani tindakan bedah yang dapat mempengaruhi
dinamika afterload dan preload. Pemantauan elektrokardiografi dapat
memperhatikan tanda-tanda iskemia. Urine output dapat dipantau
dengan kateter pada pasien dengan gangguan ginjal yang akan
menjalani prosedur lebih dari 2 jam.3

15
Induksi anestesi dan intubasi endotrakeal sering dikaitkan
dengan instabilitas hemodinamik pada pasien hipertensi. Walaupun
tekanan darah preoperatif sudah terkendali, banyak pasien dengan
hipertensi menunjukkan respons hipotensi yang menonjol terhadap
induksi anestesi, yang diikuti oleh respons berlebihan mengakibatkan
hipertensi saat intubasi. Hampir semua obat-obatan antihipertensi dan
anestesi umum adalah vasodilator, depresan jantung, atau keduanya.
Selain itu, banyak pasien hipertensi hadir untuk operasi dalam keadaan
kekurangan cairan. Obat-obatan simpatolitik menumpulkan refleks
protektif sirkulasi, menurunkan tonus simpatik, dan meningkatkan
aktivitas vagal.3
Sekitar 25% dari pasien hipertensi dapat menunjukkan
hipertensi berat setelah intubasi endotrakeal. Laringoskopi yang
berkepanjangan harus dihindari. Selain itu, intubasi umumnya harus
dilakukan dalam deep anesthesia. Salah satu dari beberapa teknik dapat
digunakan sebelum intubasi untuk melemahkan respons hipertensi:3
 Deep anesthesia dengan obat volatil yang kuat.
 Pemberian bolus opioid (fentanyl 2,5–5 mcg/kg; alfentanil 15–
25 mcg/kg; sufentanil 0,5-1,0 mcg/kg; atau remifentanil 0,5–1
mcg/kg).
 Pemberian lidokain 1,5 mg/kg intravena, intratrakeal, atau
topikal pada jalan napas.
 Blokade β-adrenergik dengan esmolol 0,3–1,5 mg/kg;
metoprolol 1–5 mg; atau labetalol 5-20 mg.

Pilihan penggunaan induksi anestesi yang direkomendasikan


belum ditemukan. Propofol, barbiturat, benzodiazepin, dan etomidat
bersifat aman untuk menginduksi anestesi umum pada hampir semua
pasien hipertensi. Ketamin dengan sendirinya dapat memicu hipertensi.
Namun, ketika ketamin diberikan dengan obat lain dalam dosis kecil,

16
seperti benzodiazepin atau propofol, efek stimulasi simpatik dari
ketamin dapat ditumpulkan atau dihilangkan.3,9
Anestesi dapat dilanjutkan dengan aman degan menggunakan
obatobatan volatil (tunggal atau dengan N2O), teknik yang seimbang
(opioid, N2O, dan pelemas otot), atau teknik intravena total (TIVA).3
Setiap pelemas otot dapat digunakan, terkecuali pancuronium
yang diberikan secara bolus dalam dosis besar. Blokade vagal yang
diinduksi oleh pancuronium dan pelepasan katekolamin secara neural
dapat memperburuk hipertensi pada pasien yang tekanan darahnya tidak
terkontrol. Namun, pemberian pancuronium secara perlahan dan dalam
dosis yang kecil pada umumnya tidak akan menyebabkan peningkatan
pada detak jantung ataupun tekanan darah yang signifikan. Selain itu,
pancuronium dapat berguna dalam menyeimbangkan tonus vagal
berlebihan yang disebabkan oleh opioid atau manipulasi bedah.
Hipotensi setelah pemberian dosis besar atracurium dapat muncul pada
pasien hipertensi.3
Pasien hipertensi dapat menunjukkan respons berlebihan
terhadap katekolamin endogen dan obat-obatan agonis simpatetik. Jika
vasopresor diperlukan untuk mengobati hipotensi berlebihan, dapat
diberikan fenilefrin 25-50 mcg.3
Hipertensi intraoperatif yang tidak merespon terhadap
peningkatan kedalaman anestesi dapat diobati dengan berbagai acam
obat-obatan parenteral. Etiologi-etiologi hipertensi intraoperatif yang
reversibel seperti kedalaman anestesi yang tidak adekuat, hipoksemia,
atau hiperkapnia harus selalu dieksklusikan sebelum memulai terapi
antihipertensi.3

17
Gambar 6. Obat-Obatan Parenteral untuk Terapi Akut Hipertensi3

2.2.1.3. Manajemen Postoperatif


Pemantauan tekanan darah harus dilakukan pada ruang
pemulihan dan periode pasca operasi awal. Hal-hal yang perlu
diperhatikan meliputi tanda-tanda iskemia miokard, gagal jantung
kongestif, dan peningkatan tekanan darah yang berkelanjutan dapat
berkontribusi pada pembentukan hematoma.3
Hipertensi pada periode pemulihan dapat disebabkan oleh
abnormalitas pada pernapasan, kecemasan dan nyeri, volume
berlebihan, atau distensi kandung kemih. Faktor-faktor tersebut harus
segera ditangani dan obat-obatan antihipertensi dapat diberikan secara
parenteral diberikan jika perlu. Labetalol intravena sangat berguna
dalam mengendalikan hipertensi dan takikardia, sedangkan obat-obatan
vasodilator bermanfaat dalam mengendalikan tekanan darah pada
pasien dengan denyut jantung yang lambat. Ketika pasien sudah dapat
melanjutkan asupan secara oral, obat-obatan preoperatif harus dimulai
kembali.3

18
2.2.2. Penyakit Jantung Iskemik
2.2.2.1. Manajemen Preoperatif
Pasien dengan coronary artery disease (three-vessel atau
LMA)), riwayat infark miokard, dan disfungsi ventrikel merupakan
pasien-pasien yang paling berisiko mengalami komplikasi kardiak.
Pada beberapa penelitian, penggunaan β-blocker pada periode
perioperatif dapat menurunkan angka mortalitas dan komplikasi
kardiovaskular postoperatif, tetapi beberapa penelitian juga menemukan
peningkatan kejadian stroke dan kematian seteleah pemberian β-
blocker preoperatif pada pasien-pasien berisiko. Penghentian tiba-tiba
obat-obatan antianginal terutama β-blocker dapat menyebabkan efek
rebound episode iskemik. Obat-obatan statin juga sebaiknya dilanjutkan
pada masa perioperatif. American College of Cardiology and the
American Heart Association (ACC/AHA) merekomendasikan bahwa
penggunaan β-blocker berguna bagi pasien yang menjalankan operasi
vaskular dengan bukti iskemik pada saat evaluasi pasien.3
Premedikasi untuk mengatasi ketakutan, kecemasan, dan rasa
nyeri pada masa preoperatif dapat membantu dengan mencegah aktivasi
simpatetik yang dapat mengganggu keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen pada miokard. Pemberian benzodiazepin sendiri atau dengan
opoid umum digunakan. Namun, pasien dengan fungsi ventrikel yang
buruk dan memiliki penyakit paru harus diberikan dosis yang lebih
rendah.3

2.2.2.2. Manajemen Intraoperatif


Tujuan manajemen intraoperatif pada pasien dengan penyakit
jantung iskemik adalah menjaga hubungan suplai-kebutuhan oksigen
jantung. Monitoring tekanan intraarterial dapat dilakukan pada semua
pasien dengan CAD berat dan dengan faktor-faktor risiko jantung yang
berat atau multipel. Monitoring tekanan vena sentral pada tindakan-

19
tindakan operasi yang melibatkan adanya perpindahan cairan dalah
jumlah besar atau perdarahan besar.
Deteksi iskemik pada intraoperatif bergantung pada temuan
pada elektrokardiografi (EKG), manifestasi hemodinamik, atau
abnormalitas pada pergerakan dinding regional pada transesophageal
echocardiography (TEE). Gambaran iskemia pada EKG pada iskemia
awal yaitu inversi gelombang T. Tanda-tanda lain yang lebih progresif
yaitu depresi segmen ST. Elevasi segmen ST baru pada operasi non-
kardiak jarang ditemukan dan merupakan tanda iskemia, vasospasme,
atau infark. Elevasi ST minor pada V3 dan atau V4 dapat menjadi varian
normal pada pasien-pasien muda.

Gambar 7. Gambaran Elektrokardiografi Iskemia3

20
Abnormalitas hemodinamik yang paling umum ditemukan pada
episode iskemia adalah hipertensi dan takikardi. Hipotensi merupakan
manifestasi dari disfungsi ventrikel yang progresif.3

2.2.2.3. Manajemen Aritmia dan Internal Cardioverter-Defibrillator (ICD)


Aritmia dan blok jantung perioperatif dapat disebabkan oleh
gangguan elektrolit, defek struktural pada jantung, inflamasi, iskemia
miokard, kardiomiopati, dan abnormalitas konduksi.3
Supraventrikuler takikardi (SVT) dapat memiliki konsekuensi
hemodinamik sekunder dari hilangnya sinkronisasi AV, dan penurunan
durasi pengisian diastolik. SVT yang menyebabkan kolapsnya
hemodinamik dapat ditangani secara perioperatif dengan kardioversi.
Adenosin dapat diberikan untuk memperlambat konduksi nodus AV
dan berpotensial untuk menghentikan reentrant loop. Pada SVT tanpa
sindrom Wolff-Parknison-White (WPW), dapat diberikan terapi β-
blocker dan calcium channel blocker (CCB). Pada pasien dengan SVT
dan memiliki riwayat sindrom WPW, pemberian amiodarone atau
procainamide dapat diberikan.3,8
Fibrilasi atrium (AF) dapat memberikan komplikasi pada
periode perioperatif. Sekitar 35% pasien yang menjalankan operasi
jantung memiliki AF postoperatif. Pedoman ACC/AHA
merekomendasikan penggunaan β-blocker atau CCB
nondihydropyridine untuk kontrol laju ventrikel pada pasien tanpa
adanya gangguan jalur konduksi aksesori. Pada pasien dengan
gangguan jalur konduksi aksesori dapat diberikan amiodarone,
procainamide, disopyramide, dan ibutilide. Pemberian digitalis dan
CCB nondihydropyridine dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan jalur konduksi aksesori. Ketika AF muncul pada saat
perioperatif, pemberian β-blocker dapat diberikan. Kardioversi kimiawi
dapat diberikan dengan amiodarone atau procainamide. Pada
postoperatif AF, respons laju ventrikel dapat dikontrol dengan obat-

21
obatan yang memblokir nodus AV kecuali terdapat kontraindikasi.
Apabila AF menyebabkan instabilitas hemodinamik, kardioversi dapat
dilakukan. Profilaksis amiodarone dapat diberikan pada pasien dengan
risiko tinggi AF setelah operasi jantung. Pada pasien dengan jalur
aksesori, AF dapat menyebabkan respons ventrikel yang cepat dan
kolapsnya hemodinamik. Obat-obatan yang memperlambat konduksi
pada nodus AV seperti digitalis, verapamil, dan diltiazem, tidak
memperlambat konduksi pada jalur aksesori dan dapat menyebabkan
kolapsnya hemodinamik.3
Apabila takikardi ventrikuler (VT) pada saat perioperatif
muncul dengan instabilitas hemodinamik, tindakan kardioversi atau
pemberian amiodarone atau procainamide direkomendasikan. β-blocker
juga dapat diberikan pada VT terutama apabila faktor penyebabnya
aritmia adalah iskemia. Torsades de pointes dihubungkan dengan
kondisi-kondisi yang dapat memperpanjang interval QT. Pemberian
infus isoproterenol dapat diberikan pada torsades de pointes yang
bersifat pausedependent, sedangkan pasien dengan sindrom QT panjang
dan episode torsades de pointes dapat diberikan magnesium sulfat.
Fibrilasi ventrikel (VF) perioperatif membutuhkan defibrilasi dan
penggunaan algoritma resusitasi. Amiodarone dapat diberikan untuk
stabilisasi ritme jantung setelah keberhasilan defibrilasi.3
Pemasangan ICD diindikasikan pada pasien dengan riwayat
sudden cardiac death (SCD), penurunan fungsi ventrikel pada infark
miokard, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri <35%. Manajemen anestesi
pada pemasangan ICD bergantung pada kondisi pasien tersebut. Banyak
pasien datang dengan gagal jantung sistolik dan diastolik dan pasien
tersebut bergantung pada tonus simpatetik untuk mempertahankan
tekanan darah. Deep sedation pada umumnya lebih sering dipilih
dibandingkan dengan anestesi umum.3

22
2.2.3. Gagal Jantung
Manajemen anestesi pada pasien dengan gagal jantung memerlukan
penilaian yang hati-hati dan optimisasi volume cairan intravaskular, terutama
apabila penggunaan obat-obatan inotropik positif, vasokonstriktor, atau
vasodilator digunakan. Khususnya, pada pasien dengan disfungsi diastolik
memiliki toleransi peningkatan volume cairan yang buruk sehingga dapat
menyebabkan kongesti pulmoner.3

2.2.4. Penyakit Katup Jantung


Secara garis besar, evaluasi preoperatif pada pasien dengan penyakit
katup jantung difokuskan pada identifikasi tingkat keparahan penyakit, adanya
instabilitas hemodinamik, fungsi ventrikel residual, dan adanya efek sekunder
pada fungsi pulmoner, ginjal, dan hepar. Identifikasi adanya stenosis aorta
berat dapat menyebabkan kolapsnya hemodinamik pada penggunaan anestesi
regional ataupun umum. Terapi vasodilator preoperatif dapat digunakan untuk
menurunkan preload, afterload, atau keduanya.3,4

2.2.4.1. Stenosis Mitral


Prinsip tujuan hemodinamik pada pasien stenosis mitral adalah
untuk menjaga sinus rhythm, menghindari takikardi, peningkatan CO,
dan hipovolemia ataupun overload cairan.3
Penggunaan alat-alat monitoring invasif umum digunakan pada
tindakan bedah mayor. Pilihan anestesi yang ideal untuk stenosis mitral
tidak ada. Pasien dengan stenosis mitral biasanya sensitif pada efek
vasodilatasi pada anestesi spinal dan epidural. Anestesi epidural dapat
lebih mudah ditangani dibandingkan dengan anestesi spinal oleh karena
onset yang lebih lambat pada blok simpatetik. Vasopresor sering
dibutuhkan untuk mempertahankan tonus vaskuler setelah induksi
anestesi. Takikardi intraoperatif dapat dikontrol dengan penggunaan
anestesi lebih dalam dengan opioid (terkecuali meperidine) atau β-

23
blocker (esmolol atau meteoprolol). Fenilefrin lebih dipilih daripada
efedrin karena fenilefrin tidak bersifat agonis pada β-adrenergik.3
Ventrikel kiri secara kronik umumnya memiliki volume yang kurang
dari yang normal pada pasien stenosis mitral. Pada saat yang sama,
atrium kiri, ventrikel kanan, dan atrium kiri juga sering mengalami
dilatasi dan disfungsi. Oleh karena itu, vasodilatasi akibat penggunaan
anestesi umum dan neuraxial dapat menyebabkan penumpukan darah
pada vena perifer dan volume inadekuat pada ventrikel kiri, sehingga
kolapsnya hemodinamik dapat terjadi.3-4,8

2.2.4.2. Regurgitasi Mitral


Manajemen anestesi pada regurgitasi mitral harus
mempertimbangkan tingkat keparahan regurgitasi mitral dan juga
fungsi ventirkel kiri. Faktor-faktor yang dapat memperparah regurgitasi
meliputi denyut jantung lambat dan peningkatan akut pada afterload.
Bradikardi dapat meningkatkan volume akibat regurgitasi dengan
peningkatan end-diastolic volume pada ventrikel kiri dan dilatasi akut
annulus mitral. Denyut jantung harus dipertahankan pada 80-100x per
menit. Peningkatan berlebihan volume cairan juga dapat memperparah
regurgitasi yang mengakibatkan dilatasi ventrikel kiri.3
Monitoring bergantung pada tingkat keparahan disfungsi
ventrikel dan prosedur dengan monitoring tekanan intraretrial atau TEE
doppler. Pasien dengan fungsi ventrikel yang masih baik dapat
menggunakan hampir semua teknik anestesi. Namun, pasien dengan
gangguan ventrikel sedang dan berat sensitif akan depresi kardiak pada
penggunaan obat-obatan anestesi volatil berkonsentrasi tinggi.3

2.2.4.3. Stenosis Aorta


Objektif manajemen anestesi pada stenosis aorta meliputi
mempertahankan sinus rhythm, denyut jantung, resistensi vaskuler, dan

24
volume intravaskuler yang normal. Denyut jantung 60-90x per menit
optimal pada hampir semua pasien stenosis aorta.3
Monitroing EKG dan tekanan darah dengan ketat sangat penting
untuk dilakukan. Monitoring tekanan intraarterial dilakukan pada
pasien dengan stenosis aorta berat, oleh karena pasien-pasien tersebut
memiliki toleransi rendah pada episode hipotensi. Penggunaan
vasodilator juga harus diberikan dengan hati-hati oleh karena
sensitivitas pasien pada obat-obatan tersebut.3,8
Pasien dengan stenosis aorta ringan-sedang masih dapat
dilakukan anestesi spinal atau epidural meskipun teknik anestesi
tersebut tetap harus dilakukan dengan hati-hati oleh karena hipotensi
dapat terjadi akibat reduksi preload, afterload, atau keduanya. Anestesi
epidural lebih direkomendasikan karena efek hipotensi yang lebih
lambat. Anestesi spinal dan epidural dikontraindikasikan pada pasien
dengan stenosis aorta berat.3
Pasien dengan stenosis aorta berat, manajemen efek
hemodinamik lebih penting dibandingkan dengan pilihan obat-obatan
anestesi umum. Hampir semua anestesi umum dapat menyebabkan
vasodilatasi dan hipotensi. Apabila obat-obatan volatil digunakan,
konsentrasi obat tersebut harus dikontrol untuk menghindari
vasodilatasi berlebihan, depresi miokard, ataupun hilangnya sistol
atrium yang normal. Takikardi dan hipertensi yang signifikan dapat
menyebabkan iskemia dan harus ditangani dengan cepat dengan
memperdalam kedalaman anestesi atau penggunaan obat blok β-
adrenergik. Hipotensi dapat ditangani dengan pemberian fenileprin (25-
100 mcg).3-4,8

2.2.4.4. Regurgitasi Aorta


Denyut jantung harus dipertahankan pada 80-100x per menit
oleh karena bradikardi dan peningkatan resistensi vaskular sistemik
meningkatkan volume cairan akibat regurgitasi, dan takikardi

25
berkontribusi pada iskemia miokard. Monitoring invasif dapat
dilakukan pada pasien dengan regurgitasi aorta akut dan regurgitasi
kronik yang berat. Pasien dengan regurgitasi aorta dapat menggunakan
teknik anestesi spinal dan epidural selama volume cairan intravaskuler
dipertahankan. Apabila anestesi umum dibutuhkan, obat-obatan inhalasi
lebih ideal oleh karena efek vasodilatasi. Fenilefrin (25-50 mcg) dapat
digunakan untuk penanganan hipotensi sekunder dari vasodilatasi yang
diinduksi oleh anestesi. Dosis berlebihan fenilefrin meningkatkan
resistensi vaskular sistemik dan dapat memperparah regurgitasi.3,8

2.2.4.5. Regurgitasi Trikuspid


Hipovolemia dan faktor-faktor yang meningkatkan afterload
ventrikel kanan seperti hipoksia dan asidosis harus dihindari untuk
mempertahankan SV ventrikel kanan yang efektif dan preload ventrikel
kiri. Penggunaan monitoring invasif dapat berguna. Kateterisasi arteri
pulmoner tidak selalu dapat dilakukan. Peningkatan CVP menunjukkan
disfungsi ventrikel kanan yang memburuk. Pengukuran CO dengan
termodilusi dapat memberikan hasil meningkat yang palsu oleh karena
regurgitasi trikuspid. TEE doppler dapat berguna untuk menilai tingkat
keparahan regurgitasi.3
Pemilihan anestesi bergantung pada etiologi regurgitasi
trikuspid. Hampir semua pasien dapat menggunakan anestesi epidural
ataupun spinal. Koagulopati akibat disfungsi hepar harus dieksklusi
terlebih dahulu sebelum penggunaan anestesi regional. Penggunaan
N2O dapat memperparah hipertensi pulmoner dan harus diberikan
secara hati-hati.3

2.2.5. Penyakit Jantung Kongenital


Manajemen anestesi pada penyakit jantung kongenital dapat dibagi
menjadi 4, yaitu lesi obstruktif, predominan left-to-right shunt, atau
predominan right-to-left shunt.3

26
Gambar 7. Klasifikasi Penyakit Jantung Kongenital3

2.2.5.1. Stenosis Pulmoner


Stenosis katup pulmoner mengobstruksi outflow dari ventrikel
kanan dan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan. Obstruksi berat
umumnya tampak pada periode neonatus dan obstruksi yang lebih
ringan bersifat asimptomatik hingga masa dewasa. Pada pasien
simptomatik, CO sangat bergantung pada peningkatan denyut jantung
tetapi peningkatan berlebihan dapat mengganggu pengisian ventrikel.
Manajemen anestesi pasien stenosis pulmoner yang menjalankan
operasi yaitu mempertahankan denyut jantung normal hingga sedikit
lebih tinggi, meningkatkan preload, dan menghindari faktor-faktor yang
meningkatkan PVR.3

27
2.2.5.2. Atrial Septal Defects
Atrial septal defects (ASD) merupakan penyakit left-to-right
shunt paling umum dan secara gejala minimal pada anak, biasanya
dengan infeksi pulmoner rekuren. Pada dewasa dengan ASD, penyakit
komorbid yang umum ditemukan adalah gagal jantung dan hipertensi
pulmoner. Pada ASD tanpa gagal jantung, respon pasien terhadap
anestesi inhalasi dan intravena pada umumnya tidak terganggu.
Peningkatan besar dari SVR dihindari karena dapat memperparah
shunting.3

2.2.5.3. Ventricular Septal Defects


Ventricular septal defect (VSD) merupakan defek jantung
kongenital yang umum ditemukan yang merupakan 25-35% dari
penyakit jantung kongenital. Pada VSD tanpa adanya gagal jantung,
respon terhadap anestesi inhalasi dan intravena pada umumnya tidak
terganggu. Peningkatan besar dari SVR dihindari karena dapat
memperparah shunting. Apabila right-to-left shunting ditemukan,
peningkatan mendadak PVR atau penurunan SVR harus dicegah.3

2.2.5.4. Patent Ductus Arteriosus


Pada Patent Ductus Arteriosus (PDA), komunikasi persisten
antara arteri pulmoner dan aorta dapat menghasilkan left-to-right shunt
restriktif ataupun non-restriktif. Manajemen anestesi PDA sama dengan
ASD ataupun VSD.3

2.2.5.5. Tetralogy of Fallot


Tujuan manajemen anestesi pada pasien dengan tetralogy of
fallot (TOF) ialah mempertahankan volume cairan intravaskular dan
SVR. Peningkatan PVR akibat asidosis atau tekanan jalan napas
berlebihan harus dihindari. Ketamin umumnya diberikan sebagai

28
induksi anestesi karena ketamin mempertahankan atau meningkatkan
SVR sehingga tidak memperparah right-to-left shunting. Pasien dengan
tingkat keparahan shunting yang lebih ringan dapat diinduksi dengan
inhalasi. Right-to-left shunting cenderung memperlambat absorbsi
anestesi inhalasi, tetapi dapat mempercepat onset dari obat-obatan
intravena. Penggunaan pelemas otot yang mengeluarkan histamin harus
dihindari. Hypercyanotic spells dapat ditangani dengan pemberian
cairan intravena dan fenilefrin (5 mcg/kg).3

29
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit kardiovaskular umum ditemukan pada masyarakat seperti hipertensi,


penyakit jantung iskemia, gagal jantung, dan gangguan katup jantung. Selebihnya, banyak
komplikasi pada hemodinamik tubuh yang mengancam nyawa yang dapat ditimbulkan oleh
penyakit-penyakit kardiovaskular ini. Oleh karena penyakit kardiovaskular ini, maka perlu
adanya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif.
Manajemen perioperatif sendiri dimulai sejak periode pre-operatif, dilanjutkan pada
periode intraoperatif, dan juga meliputi evaluasi pada periode post-operatif. Optimalisasi
kondisi pasien sangat penting dilakukan untuk menghindari adanya morbiditas ataupun
mortalitas. Perubahan hemodinamik pada pasien dengan penyakit kardiovaskular lebih mudah
terjadi. Hal ini harus diantisipasi dengan perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang
baik, manajemen cairan perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, dan
juga pemahaman fisiologi sistem kardiovaskular sendiri.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Asgarian C, Liu H, Kaye AD. Cardiovascular Pharmacology: An Update and Anesthesia


Considerations. Anesthesiol Clin. 2017;35(2):273-284.
2. Namara K, Alzubaidi H, Jackson JK. Cardiovascular disease as a leading cause of death:
how are pharmacists getting involved?. Integr Pharm Res Pract. 2019;8:1-11.
3. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan & Mikhail's clinical anesthesiology. Edisi
kelima. New York: Mc-Graw Hill Education;2013.
4. Miller RD. Miller's Anesthesia. Edisi kedelapan. Philadelphia: Elsevier;2010.
5. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. Edisi keenam. Philadelphia: Wolters Kluwer,
2016.
6. London MJ. Preoperative Administration of Angiotensin-converting Enzyme Inhibitors or
Angiotensin II Receptor Blockers: Do We Have Enough “VISION” to Stop It?.
Anesthesiology. 2017;126(1):1-3.
7. Roshanov PS, Rochwerg B, Patel A, Salehian O, Duceppe E, et al. Withholding versus
Continuing Angiotensin-converting Enzyme Inhibitors or Angiotensin II Receptor Blockers
before Noncardiac Surgery: An Analysis of the Vascular events in Noncardiac Surgery
Patients Cohort Evaluation Prospective Cohort. Anesthesiology. 2017; 126(1):16-27.
8. Euliano TY, Gravenstein JS, Gravenstein N, Gravenstein D. Essential Anesthesia: From
Science to Practice. Edisi kedua. Leiden: Cambridge University Press;2011.
9. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Decision Making in Anesthesiology. Edisi
keempat. Philadelphia: Elsevier;2007.

31

Anda mungkin juga menyukai