Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman


penjajahan Belanda, namun terbatas pada kelompok tertentu saja yang ditandai
dengan berdirinya fasilitas diagnostik dan sanatorium di kota-kota besar. Dengan
dukungan dari pemerintah belanda, diagnosa TB dilakukan dengan pemeriksaan
Rontgen, diikuti dengan penanganan TB melalui hospitalisasi.

Studi prevalensi TB pertama kali dilakukan pada tahun 1964 di karesidenan


Malang dan kota Yogyakarta. Lima tahun kemudian (1969), program pengendalian
TB nasional dengan pedoman penatalaksaan TB secara baku dimulai di
Indonesia. Pada periode 1972-1995 penanganan TB tidak lagi berbasis
hospitalisasi, akan tetapi melalui diagnosis dan pelayanan TB di fasilias primer,
yaitu di Puskesmas.

Pengobatan TB menggunakan dua rejimen pengobatan menggantikan


pengobatan konvensional (2HSZ/10H2S2) dan strategi penemuan kasus secara
aktif secara bertahap. Pada tahun 1993, the Royal Netherlands TB Association
(KNKV) melakukan ujicoba strategi DOTS di empat kabupaten di Sulawesi Tahun
1994, NTP bekerjasama dengan WHO dan KNKV melakukan uji coba
implementasi DOTS di Provinsi Jambi dan Jawa Timur.

Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya kementerian Kesehatan
mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional pada tahun 1995.
Pada tahun 1995-2000, Pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai
diterapkan di Puskesmas. Seperti hanya dalam implementasi sebuah strategi
baru, terdapat berbagai tantangan dilapangan dalam melaksanakan kelima
strategi DOTS. Untuk mendorong peningkatan cakupan strategi DOTS dan
pencapaian targetnya dilakukan dua Joint Extenal Monitoring Mission oleh tim
pakar Internasional

Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada periode


tahun 2000-2005 sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupaten/kota untuk
merencanakan dan melaksanakan program pengendalian TB.

1
Pencapaian utama selama periode ini adalah :
1. Pengembangan rencana strategi 2002-2006
2. Pengutan kapasitas manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat dan
provinsi.
3. Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari pengembangan
sumberdaya manusia.
4. Kerjasama internasional dalam memberikan dukungan teknis dan pendanaan
(Pemerintah Belanda, WHO, TBCTA-CIDA, USAID, GDF, GFATM, KNCV,
UAB, IUATLD, dll).
5. Pelatihan perencaan dan anggaran di tingkat daerah.
6. Perbaikan supervisi dan monitoring dari pusat dan provinsi.
7. Keterlibatan BP4 dan rumah sakit pemerintah dan swasta dan melaksanakan
strategi DOTS melalui uji coba HDL di Jogjakarta.

Keberhasilan target global tingkat deteksi dini dan kesembuhan dapat dicapai
pada periode tahun 2006-2010. Selain itu, berbagai tantangan baru dalam
implementasi strategi DOTS muncul pada periode ini. Tantangan tersebut antara
lain penyebaran ko-infeksi TB-HIV, peningkatan resistensi obat TB, jenis
penyediaan layanan TB yang sangat beragam, kurangnya pengendalian infeksi TB
di fasilitas kesehatan, serta penatalaksaaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang
aktif berperan dalam pengendalian TB pada periode ini antara Direktorat Jenderal
Bina Upaya Kesehatan di Kementrian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan
kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Hasil survey prevalensi TB tahun 2004 menunjukkan bahwa pasien TB juga


menggunakan pelayanan rumah sakit, BP4 dan praktik swasta untuk tempat
berobat. Ujicoba, implementasi dan akreditasi dan akselerasi melibatkan FPK
selain Puskesmas sebagai bagian dari inisiatif Public-Private Mix telah dimulai
pada tahun 1999-2000. Pada tahun 2007, seluruh BP4 dan sekitar 30% Rumah
Sakit telah menerapkan strategi DOTS. Untuk praktik swasta, strategi DOTS
belum diimplementasikan secara sistemik, meskipun telah dilakukan ujicoba
model pelibatan praktisi swasta di Palembang pada tahun 2002 serta di Provinsi
Yogyakarta dan Bali pada tahun 2004-2005.

Untuk akselerasi DOTS di Rumah Sakit, sekitar 750 dari 1645 RS telah dilatih.
Koordinasi di tingkat pusat dengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
semakin intensif. Selain itu Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan juga
melakukan penilaian ke beberapa Rumah Sakit yang telah menerapkan DOTS.
2
Penguatan aspek regulasi dalam implementasi strategi DOTS di sumah sakit akan
diintegrasikan dengan kegiatan akreditasi rumah sakit.
Pelaksanaan DOTS di Rumah Sakit mempunyai daya ungkit dalam penemuan
kasus (cure rate) dan angka keberhasilan rujukan (success referal rate). Adapun
strategi DOTS terdiri dari :
1. Komitmen politik
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya
3. Pengobatan jangka pendek yang terstandar bagi semua kasus TB dengan
penatalaksanaan kasus secara tepat termasuk pengawasan langsung
pengobatan
4. Jaminan ketersediaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

Untuk menanggulangi masalah TB, Strategi DOTS harus diekspansi dan


diakselerasi pada seluruh unit pelayanan kesebagai institusi terkait termasuk
rumah sakit pemerintah dan swasta, dengan mengikutsertakan secara aktif semua
pihak dalam kemitraan yang bersinergi untuk penanggulangan TB.

Pada saat ini penanggulangan TB dengan Strategi DOTS di rumah sakit baru
berkisar 20% dengan kualitas bervariasi. Ekspansi Strategi DOTS di rumah sakit
masih merupakan tantangan besar bagi keberhasilan Indonesia dalam
mengendalikan tuberkulosis. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh
Tim TB eksternal Monitoring Mission pada tahun 2005 menunjukkan bahwa
angka penemuan kasus TB di rumah sakit cukup tinggi dan angka keberhasilan
pengobatan rendah dengan angka putus berobat yang masih tinggi. Kondisi
tersebut berpotensi untuk menciptakan masalah besar yaitu peningkatan
kemungkinan terjadi resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (MDR-TB).

Untuk mengetahui keberhasilan rumah sakit dalam melaksanakan strategi DOTS


pada bulan Juli 2009 telah dilakukan assessment terhadap rumah sakit tingkat
propinsi di seluruh Indonesia (jumlah 18 rumah sakit). Data hasil assessment
menunjukkan bahwa hanya 17% rumah sakit yang telah melakukan Strategi
DOTS dengan hasil optimal, 44% rumah sakit yang dengan hasil nilai sedang
untuk pelaksanaan Strategi DOTS dan 39% rumah sakit dengan hasil nilai kurang.

Dari hasil assessment juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara
komitmen direktur rumah sakit terhadap keberhasilan penyelenggaraan DOTS di
RS.
3
Sementara dari 59% rumah sakit yang telah memiliki Tim DOTS , hanya 28% Tim
DOTS yang dibentuk bekerja optimal. Sementara 72% rumah sakit yang telah
memiliki sumber daya manusia yang telah terlatih DOTS (dokter umum, dokter
spesialis, perawat, petugas laboratorium maupun farmasi) tidak dimanfaatkan
secara baik oleh pihak manajerial rumah sakit, hal tersebut disebabkan oleh
beberapa hal antara lain strategi DOTS belum menjadi komitmen manajerial di
ruma sakit disebabkan oleh sosialisasi yang kurang optimal. Hal ini tercermin
hanya 17% rumah sakit yang melaksanakan strategi DOTS secara optimal.

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padang Panjang menyusun Pedoman


Pelayanan Tuberkulosis di Rumah Sakit sebagai bentuk nyata komitmen serta
partisipasi dari pihak manajemen RSUD Kota Padang Panjang dalam suksesnya
pelaksanaan pelayanan TB dengan Strategi DOTS di RSUD Kota Padang
Panjang. Ke depannya RSUD Kota Padang Panjang berharap agar pelaksanaan
pelayanan TB dengan Strategi DOTS bisa mendapatkan hasil yang optiman.

B. TUJUAN PEDOMAN

1. Tujuan Umum
Pedoman pelayanan tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Kota Padang Panjang
disusun dengan tujuan agar dapat meningkatkan mutu pelayanan tuberkulosis.

2. Tujuan Khusus
- Sebagai pedoman manajerial dan operasional dalam program
penanggulangan TB di RSUD Kota Padang Panjang
- Sebagai indikator mutu penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit
(SPRS) dalam program penanggulangan TB melalui akreditasi
- Sebagai salah satu alat ukur kinerja rumah sakit dalam penanggulangan TB
melalui indikator Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit (SPM-RS).

C. RUANG LINGKUP PELAYANAN

Pedoman pelayanan tuberkulosis DI RSUD Kota Padang Panjang diperuntukkan


bagi seluruh unit kerja yang terkait dengan pelayanan tuberkulosis di RSUD Kota
Padang Panjang, yaitu pada :
1. Unit Rawat Jalan
2. Unit Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat

4
D. BATASAN OPERASIONAL
Batasan operasional Pelaksanaan Pelayanan TB – DOTS meliputi :
1. Tatalaksana dan pencegahan TB
2. Penemuan kasus TB
3. Pengobatan TB
4. Pemantauan dan hasil pengobatan TB
5. Pengendalian infeksi pada sarana pelayanan
6. Manajemen program TB
7. Perencanaan program TB
8. Monitoring dan evaluasi program TB
9. Manajemen logistik program TB
10. Pengembangan ketenagaan program TB
11. Promosi program TB
12. Pengendalian TB komprehensif
13. Publik – Private Mix (pelibatan semua fasilitas pelayanan kesehatan)
14. Kolaborasi TB-HIV

E. LANDASAN HUKUM

Dasar hukum terbentuknya Tim DOTS di RSUD Kota Padang Panjang adalah :
1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan;
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit;
3. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Ahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran;
4. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Sandar Pelayanaan Minimal;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1575/Menkes/Per/XI/2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementrian
Kesehatan;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 Tentang
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di
Rumah Sakit;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Rumah Sakit;
5
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk
Teknis Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal;
10. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 Tentang
Ekspansi TB Strategi DOTS Di Rumah Sakit Dan Balai Kesehatan /
Pengobatan Penyakit Paru.
11. Surat Edaran Direktur Jendral Bina Pelayanan Medik Nomor
YM.02.08/III/673/07 Tentang Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Rumah Sakit;
12. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Tahun 2011;
13. Pedoman Manajerial Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah
Sakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bina
Pelayanan Medik, Tahun 2010.

6
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA

Meningkatkan pelayanan TB di Rumah Sakit sangat rumit dengan keterlibatan


berbagai bidang disiplin ilmu kedokeran serta penunjang medik, baik di poliklinik
maupun bangsal bagi pasien rawat jalan dan rawat inap serta rujukan pasien dan
spesimen, maka dalam pengelolaan TB di Rumah sakit dibutuhkan manajemen
tersendiri dengan dibentuknya Tim Penanggulangan Tuberculosis (TB) Terpadu
Manajemen DOTS di RSUD Kota Padang Panjang.

NAMA PENDIDIKAN SERTIFIKASI KEBUTUHAN TERSEDIA


JABATAN
Ketua Dokter Pelatihan DOTS 1 orang 1 orang
Spesialis Paru
Sekretaris Dokter Umum Pelatihan DOTS 1 orang 1 orang
Pelayanan Dokter Pelatihan DOTS 4 orang Belum ada
Medis Spesialis
Pelayanan Minimal D-III Pelatihan DOTS 4 orang 2 orang
Keperawatan Keperawatan
Pelayanan D-III Analis Pelatihan DOTS 1 orang 1 orang
Laboratorium Kesehatan
Pelayanan D-III Radiologi Pelatihan DOTS 1 orang Belum ada
Radiologi
Pelayanan S-1 Apoteker Pelatihan DOTS 1 orang Belum ada
Farmasi

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN

1. KETUA TIM TB-DOTS


Ketua tim adalah seorang dokter spesialis paru dan merangkap sebagai
anggota.

Tanggung jawab : secara administratif dan fungsional bertanggung jawab


seluruhnya terhadap pelaksanaan program DOTS di RS.
Tugas Pokok : mengkoordinasikan semua pelaksanaan kegiatan program
DOTS di RS
7
Uraian Tugas :
a. Memimpin, mengkoordinir dan mengevaluasi pelaksanaan operasional
DOTS secara efektif, efisien dan bermutu
b. Bertanggung jawab terhadap koordinasi dengan bagian unit kerja terkait
c. Memberikan pembinaan terhadap anggota DOTS
d. Memimpin pertemuan rutin setiap bulan dengan anggota DOTS untuk
membahas dan menginformasikan hal-hal penting yang berkaitan dengan
DOTS
e. Menghadiri pertemuan manajemen bila dibutuhkan
f. Menjalin kerjasama antar unit terkait
g. Meningkatkan pengetahuan anggota, membuat dan memperbaiki cara kerja
dan pedoman kerja yang aman dan efektif.

Wewenang :
a. Memberikan penilaian kinerja anggota DOTS
b. Membuat prosedur DOTS

Hasil Kerja :
a. Pedoman Pelayanan di unit DOTS
b. Usulan perencaan ketenagaan dan fasilitas yang dibutukan di unit DOTS
c. Standar Operating Prosedur DOTS
d. Laporan Program DOTS

2. SEKRETARIS TIM TB-DOTS


Tanggung jawab : secara administratif membuat analisis tentang kegiatan
dan pencatatan pelaporan TB-DOTS.

Tugas pokok :
a. Membuat laporan rekapitulasi dari kegiatan unit TB-DOTS yang secara
administrasi membantu ketua dalam pelaksanaan kegiatan
b. Membuat laporan kegiatan triwulan dan tahunan

Uraian Tugas :
a. Melakukan pencatatan dan pelaporan semua kegiatan penanggulangan
TB-DOTS kepada Rumah Sakit
b. Menjadwalkan semua kegiatan pertemuan / rapat Tim Penanggulangan TB-
DOTS Rumah Sakit

8
c. Mengatur semua kegiatan pertemuan-pertemuan non-teknis Tim
Penanggulangan TB-DOTS dan membuat notulen hasil pertemuan

Wewenang :
Membuat laporan triwulan dan tahunan

Hasil Kerja :
a. Laporan rapat rutin
b. Laporan Triwulan dan Tahunan

3. ANGGOTA TIM DOTS


Tanggung jawab : secara adminisratif dan fungsional bertanggung jawab
kepada ketua TB-DOTS dalam pelaksaan program kerja
TB-DOTS disetiap unitnya masing-masing

Tugas Pokok : membantu pelaksanaan semua kegiatan di program DOTS


Uraian Tugas :
a. Mencatat dan melaporkan formulir DOTS 01,02,03, 04,05,06,09,10 dan
buku register pasien tuberkulosis di Rumah Sakit
b. Melakukan program kerja DOTS

Wewenang :
a. Berdiri secara mandiri dan aktif untuk memberikan saran perencaaan dan
pengembangan pelayanan DOTS

Hasil Kerja :
c. Pelaksaaan program kerja DOTS
d. Penerapan regulasi DOTS
e. Laporan evaluasi kerja

C. PENGATURAN JAGA
Pelayanan TB DOTS dilaksanakan setiap hari kerja (pagi).

9
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANGAN

Ruang Tunggu

Kursi Pasien / Klg

Bed
Meja Periksa
Pasien

Kursi Dokter

Rak Rak
Westafel Penyimpanan Penyimpanan
OAT Formulir TB

B. STANDAR FASILITAS

Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan
dan fungsi pelayanan DOTS yang optimal bagai pasien TB, kriteria :

10
1. Tersedia ruangan khusus pelayaan pasien TB (unit DOTS) yang berfungsi
sebagai pusat pelayaan TB di RS meliputi kegiatan diagnostik, pengobatan,
pecatatan dan pelaporan, serta menjadi pusat jejaring internal/eksternal DOTS
2. Ruangan telah memenuhi persyaratan pencegahan dan pengendalian infeksi
(PPI-TB) di Rumah Sakit
3. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB
4. Tersedia ruangan bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan keluarga
5. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan
mikroskopis dahak

C. DAFTAR FASILITAS RUANG DOTS

No Daftar Alat Jumlah


1 Tempat tidur 1 unit
2 Meja tulis 2 unit
3 Kursi 6 unit
4 Rak penyimpanan OAT 1 unit
5 Rak penyimpanan formulir TB 1 unit
6 Lampu baca rontgen 1 unit
7 Stetoskop 1 unit
8 Spigmomanometer 1 unit
9 Handschoen 2 box
10 Masker N95 20 buah
11 Timbangan 1 unit
12 Jendela 2 unit
13 Earphone 1 unit
14 Wastafel 1 unit
15 Tempat sampah infeksius 1 unit
16 Tempat sampah non infeksius 1 unit
17 Tissue Towl 1 unit

11
BAB IV
TATALAKSANA PELAYANAN

A. PENEMUAN KASUS TUBERKULOSA

Penemuan kasus bertujuan untuk mendapatkan kasus TB melalui serangkaian


kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan
laboratorium, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe
pasien TB, sehingga padat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya
pasien yang memahami dan sadar akan gejala dan keluhan pasien tersebut.

Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program


penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara
bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB
yang paling efektif di masyarakat.

1. Strategi Penemuan
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif dengan kegiatan promosi
yang aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan
kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan
tersangka pasien TB.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA
positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan
gejala sama, harus diperiksa dahaknya.

b. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap :


1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada
pasien dengan HIV (orang dengan HIV / AIDS), DM dan malnutrisi.
2) Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga
pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah
kumuh serta keluarga atau kontak pasien terutama bagi mereka yang
dengan TB BTA positif.
3) Pemeriksaan terhadap anak di bawah lima tahun pada keluarga TB
harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan
pengobatan TB atau pengobatan pencegahan.
12
4) Kontak dengan TB resistan obat.
c. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan
tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis menuju
kesehatan paru (PAL / Practical Approach to Lung Health), Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS)
akan membantu meningkatkan penemuan kasus TB di layanan kesehatan,
mengurangi terjadinya misopportunity kasus TB dan sekaligus dapat
meningkatkan mutu layanan.

d. Tahap awal penemuan


1) Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
2) Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan
lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
3) Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dan
memenuhi salah satu kriteria dibawah ini:
a) Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
b) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah
3 bulan pengobatan
c) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB
yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini 
kedua minimal selama 1 bulan
d) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
e) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3
bulan pengobatan
f) Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
g) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/
default)
h) Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB
MDR
i) Pasien ko–infeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian
OAT
13
2. Pemeriksaan Dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopik
Pemeriksaan dahak  berfungsi untuk menegakkan diagnosis,  menilai
keberhasilan pengobatan dan  menentukan potensi penularan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan


mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
- P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di UPK.
- S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.

Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2


spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan
hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.

b. Pemeriksaan Biakan dan Pemeriksaan Tes Resistensi Obat (Uji Kepekaan


Obat)
Pemeriksaan biakan dan tes resistensi obat (uji kepekaan obat) ini belum
dapat dilakukan pada RSUD Kota Padang Panjang.

B. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS

1. Diagnosis TB Paru pada Orang Dengan HIV Negatif


a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu – pagi – sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

14
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Alur diagnosis TB paru pada pasien dewasa :

Suspek Pasien TB

Pemeriksaan Dahak : S-P-S

Hasil BTA + Hasil BTA -

OAT Beri Antibiotik Spektrum Luas

Tidak Ada Ada


Perbaikan Perbaikan

Foto Thorak

Hasil Tidak
Mendukung

OAT

2. Diagnosis TB Ekstra Paru pada Orang Dengan HIV Negatif


a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TBdan lain-lainnya.
b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan
atau histopatologis yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.

Catatan : Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik


ini dapat digunakan secara lebih fleksibel : pemeriksaan
mikroskopis dapat dilakukan bersamaan dengan foto thoraks dan
pemeriksaan lain yang diperlukan.

15
Gambar 4.1.
Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dengan HIV Negatif

3. Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV / AIDS (ODHA)


Pada ODHA, diagnosa TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai
berikut :
a. TB paru BTA positif, meskipun hanya satu kesediaan dahak positif dan tes
HIV positif atau gambaran klinis infeksi HIV yang jelas
b. TB paru BTA negatif, meskipun hasil sediaan dahak negatif, gambaran
radiologis mendukung TB dan tes HIV positif atau gambaran klinis infeksi
HIV yang jelas, keputusan diagnosa dan pengobatan OAT oleh dokter atau
BTA negatif dengan hasil kultur TB positif
c. TB ekstra paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis atau histopatologis yang diambil dari jaringan tubuh yang
terkena.

16
4. Diagnosis TB pada Anak
Pada diagnosis TB pada anak ditegakkan dengan melakukan uji tuberkulin
atau dengan sistem skor bila diperlukan.

Tabel 4.1.
Sistem Skor Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB

Catatan :
- Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
- Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain–lain
- Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis
- Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
- Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul <7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
- Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13)
- Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut.
- Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor.
17
o Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6), harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis).
o Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat
maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi,
seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi
pleura, foto tulang dan sendi, fund uskopi, CT-scan, dan lainnya.

Mengingat diagnosis TB anak relatif lebih sulit, maka terdapat tambahan


kriteria dengan menggunakan sistem skor. Sistem ini, antara lain telah
ditetapkan pengurus pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, yang telah membuat
pedoman nasional tuberkulosis anak dengan menggunakan sistem skor
(scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang
dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional
penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.

5. Diagnosis TB MDR
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan M. Tuberculosis. Semua suspek MDR dipastikan berdasarkan
dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pada pagi hari. Uji
kepekaan M. tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah
disertifikasi untuk uji kepekaan.
Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap
meneruskan pengobatan sesuai dengan Pedoman Pengendalian TB Nasional.

Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB :


- Mono resistensi : kekebalan terhadap salah satu OAT, misalnya kebal
terhadap INH saja, atau rifampisin saja
- Poli resistensi : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, kecuali
kombinasi resisrensi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya kebal
terhadap H-E atau R-E, atau H-E-S, dll
- Multi-drug resistensi (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya kebal terhadap H-R atau H-R-E,
atau H-R-E-S atau H-R-S dll.
- Extensive drug resistensi (XDR) : MDR ditambah kekebalan terhadap
salah satu golongan fluorokuinolon dan sedikitnya salah satu dari suntikan
lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin) misalnya kebal terhadap
–R-S-Lx-Kn.

18
C. KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu


“definisi kasus” yang  meliputi empat hal, yaitu:
1.  Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2.  Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
3.  Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4.  Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah


1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai, untuk mencegah pengobatan
yang tidak adekuat (undertreatment), menghindari pengobatan yang tidak perlu
(overtreatment)
2. Melakukan registrasi kasus secara benar
3. Standarisasi proses (tahapan) dan pengumpulan data
4. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
5. Analisis kohort hasil pengobatan sesuai dengan definisi klasifiksi dan tipe
6. Memonitor kemajuan dan mengevaluasi efektifitas program secara akurat, baik
pada tingkat kabupaten, provinsi, nasional, regional maupun dunia.

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


- Kasus TB : pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis  atau
didiagnosis oleh dokter atau petugas TB untuk memberikan pengobatan TB
- Kasus TB pasti (definitif): pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

1. KLasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh (Anatomical Site) Yang Terkena


a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus
b. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain
19
c. Pasien dengan TB Paru dan TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB
paru.

Alur diagnosis TB paru dan tipe pasien TB :

mikroskopis organ Riwayat pengobatan

BTA(+)
paru Belum baru
pernah
BTA (-)

Rontgen

KASUS

Berat Ekstra Sudah kambuh


paru pernah

Ringan gagal

keparahan
kronis

2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis


Keadaan ini ditunjukkan terutama pada TB paru :
a. Tuberkulosis Paru BTA Positif
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
- Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif
- Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
 Foto toraks  abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika no OAT, bagi
pasien dengan HIV negatif
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
20
Catatan :
- Pasien TB tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat diklasifikasikan
sebagai BTA negatif, lebih baik dicatat sebagai “pemeriksaan dahak tidak
dilakukan”.
- Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB
paru.
- Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

3. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Penyakit Sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya disebut sebagai tipe
pasien, yaitu :
a. Kasus baru
adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa
positif atau negatif.
b. Kasus yang sebelumnya diobati
- Kasus kambuh (Relaps)
adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
- Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
- Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.

c. Kasus pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
d. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

21
Catatan:
- TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh,
gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang,
harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan
pertimbangan medis spesialistik.

D. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
1. Tujuan pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

2. Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang
tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada
tabel di bawah ini :

Tabel 4.2.
Jenis, Sifat dan Dosis OAT
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Tabel 4.3.
Jenis OAT untuk Pasien TB Resistan Obat
Golongan dan Jenis Obat
Golongan 1 – obat lini - Isoniazid (H) - Pyrazinamide (Z)
pertama oral
- Ethambutol (E) - Rifampicin (R)
Golongan 2 – obat suntik / - Streptomysin (S) - Amikacin (Am)
suntikan
- Kanamysin (Kn) - Capreomycin
Golongan 3 – golongan - Ofloxacin (Ofx) - Moxifloxacin (Mfx)
floroquinolone
- Levofloxacin (Lfx)
Golongan 4 – obat - Ethionamide (Eto) - Para amino salisilat
bakteriostatik (PAS)
- Prothionamide (Pto)
- Cycloserine (Cs) - Terizidone (Trd)

22
Golongan 5 – obat yang - Clofazimine (Cfz) - Thloacetazone (Thz)
belum jelas efikasinya
- Linezolid (Lzd) - Clarithromycin (Clr)
dan tidak
- Amoxilin – Clavulanate - Lmipenem (Lpm)
direkomendasikan dalam
(Amx-Clv)
penggunaan rutin

3. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip – prinsip sebagai berikut:


a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan.
1) Tahap awal (intensif)
- Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya  kekambuhan

4. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
- Kategori 1 : 2HRZE / 4(HR) 3
- Kategori 2 : 2HRZES / (HRZE) /5(HR) 3E3

Kategori Pasien TB Paduan Obat


Kategori 1 - Pasien TB paru terkonfirmasi - Kombipak :
bakteriologis 2(HRZE)/4(HR)3

23
- Pasien TB paru terdiagnosis - FDC :
klinis 2(HRZE)/4(HR)3
- Pasien TB ekstra paru
Kategori 2 Pasien TB BTA (+) yang pernah - Kombipak :
diobati sebelumnya, yaitu : 2(HRZE)S/(HRZ
- Pasien kambuh E)/5(HR)3E3
- Pasien gagal pada pengobatan - FDC :
dengan pengobatan dengan 2(HRZE)S/(HRZ
paduan OAT kategori 1 E)/5(HR)3E3
sebelumnya
- Pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (loss to
follow-up)

Disamping kedua kategori ini, disediakan :


- Kategori Anak : 2HRZ / 4HR
- Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini kedua yaitu kanamycin, capreomysin,
levofloxacin, ethionamide, sikloserin dan PAS, serta AOT lini 1 yaitu
pirazinamide dan etambutol.

b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket


berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.
c. Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai.  Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :

24
- Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
- Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
- Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

5. Paduan OAT Lini Pertama dan Peruntukkannya


a. Kategori-1
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru

Tabel 4.4.
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT


38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 4.5. 
Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1

Dosis per hari / kali Jumlah


Tablet Kaplet Tablet hari/kali
Tahap Lama Tablet 
Isoniasid Rifampisin Etambutol menelan
Pengobatan Pengobatan Pirazinamid
@ 300 @ 450 @ 250 obat
@ 500 mgr
mgr mgr mgr
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 – – 48

b. Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
25
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 4.6.
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
tiap hari
3 kali seminggu
Berat RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E(400)
Badan
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

Tabel 4.7.
Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2
Tablet Etambutol Jumlah
Tahap Lama Kaplet Tablet Strepto-
Isoniasid Tablet Tablet hari/kali
Pengo- Pengo- Rifampisin Pirazinamid misin
@ 300 menelan
batan batan @ 450 mgr @ 500 mgr @ 250 @ 400 injeksi
mgr mgr mgr obat
Tahap
Intensif
2 bulan 1 1 3 3 – 0,75 gr 56
(dosis
1 bulan 1 1 3 3 – – 28
harian)

Tahap
Lanjutan
4 bulan 2 1 – 1 2 – 60
(dosis 3x
semggu)

Catatan :
- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin  adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
26
- Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

6. Pengobatan TB pada Anak

Gambar 4.2.
Alur Tatalaksana Pasien TB Anak
pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar
Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin (uji
tuberkulin atau skor ≥ 6 sebagai entry point)

Beri OAT 2 bulan terapi

Ada perbaikan klinis Tidak ada perbaikan klinis

Terapi TB diteruskan Terapi TB diteruskan Untuk RS fasilitas terbatas,


Sampai 6 bulan Sambil mencari rujuk ke RS dg fasilitas lebih
penyebabnya lengkap

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup


adekuat. Setelah pemberian obat obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis
maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan
parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan
perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

a. Kategori Anak (2RHHZ / 4RH)


Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat
badan anak.
Tabel 4.8.
Dosis OAT KDT Anak
2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
Berat badan (kg)
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet

27
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Tabel  4.9.
Dosis OAT Kombipak Anak
BB BB BB
Jenis Obat
< 10 kg 10 – 19 kg 20 – 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600

Keterangan:
- Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
- Anak dengan BB 15 – 19 kg dapat diberkan 3 tablet
- Anak dengan BB ≥33 kg, dirujuk ke rumah sakit
- Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
- OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum

b. Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) TB untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem
didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan
dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan
pencegahan selesai.

c. Pengobatan TB dengan Infeksi HIV / AIDS


Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama dengan pasien TB
lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan
pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4.
Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah
pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Pemerian ARV
saat ini belum dapat dilaksanakan di RSUD Kota Padang Panjang. Apabila
ada kasus pasien TB dengan HIV/AIDS maka akan diberikan rujukan
pengobatan pada RSAM Bukittinggi.

Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV segera mulai pengobatan TB,
pemberian ARV dilakukan dengan prinsip :

28
- Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai
pengobatan ARV bila CD4 turun di bawah 200/mm³ tapi harus dimulai
sebelum CD4 turun di bawah 200/mm³
- Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan
CD4 < 350/mm³ harus dimulai pengobatan ARV
- Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang CD4

Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB


tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Strata 1), rujuk pasien
tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.

Tabel 4.10.
Pilihan Paduan Pengobatan ARV pada ODHA dengan TB
Pilihan Pengobatan
Obat ARV Lini
ARV pada waktu TB Pilihan Obat ARV
pertama / Lini Kedua
Didiagnosis
Teruskan dengan
2NRTI + EFV
2NRTI + EFV
Lini Pertama
Ganti dengan 2NRTI +
2NRTI + NVP*
EFV

Keterangan :
Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur
dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin) yang perlu dimulai ARV
bila tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester 1
kehamilan (resiko kelainan janin).

d. Pengobatan TB Resistan Obat


Secara umum, prinsip pengobatan TB resisten obat, khususnya TB dengan
MDR adalah sebagai berikut :
- Pengobatan menggunakan setidaknya 4 macam obat yang masih efektif
- Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang (cross-resistance)
- Membatasi obat yang tidak aman
- Gunakan obat dari golongan / kelompok 1-5 secara kirarkis sesuai
potensinya
- Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan
29
lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setela terjadi konversi biakan.
Apabila pada akhir bulan ke-8 belum terjadi konversi maka disebut
gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT
tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal
- Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
yang pertama. Dikatakan konversi bila pemeriksaan BTA dahak dan
biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan
hasil negatif.
- Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan menganut prinsip DOT dengan PMO, diutamakan adalah
tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
- Pilihhan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini
adalahh paduan standar (Standardized threatment), yaitu :

Km-E-Etho-Levo-Z-Cs/E-Etho-Levo-Z-Cs

Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang telah terbukti TB MDR
secara laboratorium dan dapat disesuaikan apabila :
 Bila ada hasil uji kepekaan untuk OAT lini ke-2 (saat ini fasilitas ini
belum tersedia)
 Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas
sebelumnya sehingga dicurigaitelah ada resistensi
 Terjadi efek samping yang berat dengan obat tersebut
 Terjadi pemburukan keadaan klinis, sebelum maupun sesudah
konversi biakan

7. Pengobatan TB pada Keadaaan Khusus


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan  TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai
pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus
barier placenta.  Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan
tertular TB.

30
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan  TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita  TB harus mendapat paduan OAT
secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman  TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

c. Pasien TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang pasien  TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal,
atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).

d. Pasien  TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien  TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada
keadaan dimana pengobatan  Tb sangat diperlukan dapat diberikan
streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H)
selama 6 bulan.
e. Pasien  TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan  Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3
kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan.
Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan
atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati,
Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

f. Pasien TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui
empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien
dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui
ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia,
Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang
31
sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan
gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

g. Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin  dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula
darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes
oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy
diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena
dapat memperberat kelainan tersebut.

h. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
- Meningitis TB
- TB milier dengan atau tanpa meningitis
- TB dengan Pleuritis eksudativa
- TB dengan Perikarditis konstriktiva.

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan
dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.

h. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru),
adalah:
1) Untuk TB paru
 Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif.
 Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif.
 Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TB ekstra paru
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang
yang disertai kelainan neurologik.

32
8. Pasien TB-DM
a. Penapisan dan Diagnosa TB pada Pasien DM

Gambar 4.3.
Penapisan dan Diagnosa TB pada Pasien DM
Penyandang Diabetes

Gejala TB + Foto Toraks

Gejala TB (+) Gejala TB (+) Gejala TB (-) Gejala TB (-)


Foto Toraks Foto Toraks Foto Toraks Foto Toraks
(+) (-) (+) (-)

Diagnosis sesuai SPO / Tanyakan ulang


Panduan Praktik Klinis gejala TB pada
TB setiap kunjungan
berikutnya

Tatalaksana TB-DM

b. Penapisan dan Diagnosa DM pada Pasien TB

Gambar 4.4.
Penapisan dan Diagnosa DM pada Pasien TB
Semua pasien yang terdiagnosa TB

Pemeriksaan Gula Darah Puasa (GDP) Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu (GDS)
atau 2 jam setelah makan

GDP <126 mg/dl GDP ≥126 mg/dl GDP <200 mg/dl GDP ≥200 mg/dl

Bukan DM Terdiagnosa DM

33
Tatalaksana TB-DM

c. Penapisan dan Diagnosa TB pada Pasien DM Anak

Gambar 4.5.
Penapisan dan Diagnosa TB pada Pasien DM Anak

Penyandang Diabetes Anak

Gejala terduga TB +
Riwayat kontak TB dewasa aktif

Gejala TB (+) Gejala TB (+) Gejala TB (-) Gejala TB (-)


Riw. kontak Riw. kontak Riw. kontak Riw. kontak
TB dewasa TB dewasa TB dewasa TB dewasa
aktif (+) aktif (-) aktif (+) aktif (-)

Diagnosis dengan uji tuberkulin,


foto toraks dan sputum atau spesimen lain
yang relevan untuk pemeriksaan Xpert MTB/Rif

Tatalaksana TB-DM Anak sesuai PNPK TB,


Konsensus Nasional DM Anak IDAI

Catatan :
 batuk lama atau persisten >3 minggu
 Demam lama (2 minggu) dan atau berulang
 Anoreksia
 Berat badan turun selama 2-3 bulan berturut-turut
 Lesu
 Keringat malam disertai gejala sistemik
 Pembengkakan sendi dan tulang belakang, skrofuloderma

34
d. Penapisan dan Diagnosa DM pada Pasien TB Anak

Gambar 4.6.
Penapisan dan Diagnosa DM pada Pasien TB Anak

Pasien TB anak

Tidak menunjukkan respon


klinis yang baik setelah 2 bulan
terapi yang adekuat

Gejala Klasik DM

<4 gejala klasik (-) 4 gejala klasik (+)

Pemeriksaan GDS, Urin


Rutin, HbA1c, c-peptine

Bukan DM Terdiagnosa DM

Tatalaksana TB-DM anak


sesuai PNPK TB, Konsensus
Nasional DM Anak IDAI

E. PENGAWASAN MENELAN OBAT


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO.

1. Persyaratan PMO
- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
- Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
- Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien
35
2. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,
guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota
keluarga.

3. Tugas seorang PMO


- Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
- Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
- Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
- Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien  TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
- Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien
mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya:
- TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
- TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
- Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
- Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
- Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
- Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK.

F. PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN TB


1. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak
secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis
dalam memantau kemajuan pengobatan.  Laju Endap Darah (LED) tidak
digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk
TB.
36
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif
bila ke 2 spesimen tersebut negative. Bila salah satu spesimen positif atau
keduanya positif,  hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

Tabel 4.11.
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak
Tipe
Uraian Hasil BTA Tindak Lanjut
Pasien TB
Akhir tahap Negatif Tahap lanjutan dimulai
intensif Positif Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1
bulan. Jika setelah sisipan masih tetap
positif :
- tahap lanjutan tetap diberikan.
- jika memungkinkan, lakukan biakan, tes
resistensi / rujuk ke layanan TB-MDR

Pada bulan ke-5 Negatif Pengobatan dilanjutkan


Pasien baru
pengobatan
BTA positif
dengan Positif Pengobatan diganti dengan OAT kategori
pengobatan 2 dimulai dari awal. Jika memungkinkan,
kategori 1 lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk
ke layanan TB-MDR

Sembuh
Negatif

Akhir Positif Gagal, ganti dengan OAT Kategori 2


Pengobatan (AP) mulai dari awal. Jika memungkinkan,
lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk
ke layanan TB-MDR

Pasien baru Negatif Berikan pengobatan tahap lanjutan


BTA negatif & sampai selesai, kemudian pasien
foto toraks dinyatakan Pengobatan Lengkap.
mendukung Akhir intensif
TB dengan Positif Ganti dengan Kategori 2 mulai dari awal.
pengobatan
kategori 1
Pasien BTA Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap
positif dengan lanjutan
pengobatan
ulang kategori
2
Akhir Intensif Positif Beri sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan
masih tetap positif, teruskan pengobatan
tahap lanjutan. Jika memungkinkan,
lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk
ke layanan TB-MDR

Negatif Lanjutkan pengobatan hingga selesai.

Sebulan sebelum Positif Pengobatan gagal, disebut kasus kronik,


akhir pengobatan jika memungkinkan, lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR

Akhir Negatif Sembuh


Pengobatan (AP) Positif Pengobatan gagal, disebut kasus kronik,

37
jika memungkinkan, lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR
Tabel 4.12.
Tatalaksana Pasien Yang Berobat Tidak Teratur
Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan:
- Lacak pasien
- Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur
- Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai

Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:


Tindakan-1 Tindakan-2
- Lacak pasien Bila hasil BTA negatif Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis
- Diskusikan dan cari atau Tb extra paru selesai
masalah Bila satu atau lebih Lama pengobatan Lanjutkan
- Periksa 3 kali dahak hasil BTA positif sebelumnya kurang dari pengobatan sampai
(SPS) dan lanjutkan 5 bulan *) seluruh dosis selesai
pengobatan Lama pengobatan - Kategori-1:
sementara sebelumnya lebih dari 5 mulai kategori-2
menunggu hasilnya bulan - Kategori-2:
rujuk, mungkin
kasus kronik

Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default)


- Periksa 3 kali Bila hasil BTA negatif Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi
dahak SPS atau Tb extra paru: bila gejalanya semakin parah perlu dilakukan
- Diskusikan dan pemeriksaan kembali (SPS dan atau biakan)
cari masalah Bila satu atau lebih Kategori-1 Mulai kategori-2
- Hentikan hasil BTA positif Kategori-2 Rujuk, mungkin
pengobatan sambil kasus kronik.
menunggu hasil
pemeriksaan dahak

Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan  sebelumnya kurang dari 5 bulan :
- lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan
sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak

2....Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif


a. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir
Pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
negatif.
b. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
c. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
38
d. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain
dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
e. Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
f. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

G. EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA


a. Efek samping OAT

Tabel 4.13.
Efek Samping Ringan OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit Rifampisin Semua OAT diminum malam sebelum
perut tidur
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per
hari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu
(urine) penjelasan kepada pasien.

Tabel 4.14. 
Efek Samping Berat OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksanaan
dibawah *).
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan.
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol.
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua OAT sampai
ikterus menghilang.
Bingung dan muntah-muntah Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera
(permulaan ikterus karena obat) lakukan tes fungsi hati.
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin.

b. Penatalaksanaan Pasien dengan Efek Samping “Gatal dan Kemerahatan Kulit”

39
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat.
Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian
pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini,
hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika
gejala efek samping ini bertambah berat,  pasien perlu dirujuk.

Pada sarana pelayanan kesehatan rujukan penanganan kasus-kasus efek


samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
- Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas
atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT
dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip
dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai
dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena
reakasi hipersensitivitas.
- Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan
TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti
obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu
diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
- Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT
yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam
pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas
terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat
dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien
TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan
yang berat.

H. PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI


40
PPI TB merupakan bagian dari PPI fasyankes. Kegiatan berupa upaya
pengendalian infeksi dengan 4 pilar :
- Manajerial
- Pengendalian administrative
- Pengendalian lingkungan
- Pengendalian dengan alat pelindung diri

1. MANAJERIAL

Pihak manajeral adalah Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, Kepala Dinas


Kesehatan Propinsi dan Kabupaten / Kota dan / atau atasan dari instansi
terkait. Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif
berupa penguatan dari upaya mmanajerial bagi program PPI TB meliputi :
o Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB yang merupakan bagian dari
program PPI. Fasyankes dengan mengeluarkan SK penunjukan tim /
penanggung jawab.
o Membuat kebijakan dan SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien
batuk, alur pelaporan dan surveilans.
o Memberi Pelatihan PPI TB bagi petugas yang terlibat dalam program PPI
TB.
o Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
o Membuat dan memastikan desain, konstruksi dan persyaratan bangunan
serta pemeliharaannya sesuai PPI TB
o Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB meliputi
tenaga, anggaran, sarana dan prasarana yang dibutuhkan termasuk aspek
kesehatan kerja
o Monitoring dan evaluasi
o Melakukan kajian di unit terkait penularan TB dengan menggunakan daftar
tilik, menganalisa dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan
o Melaksanakan advokasi, komunikasi, moblisasi dan sosialisasi terkait PPI
TB
o Surveilans petugas (kepatuhan menjalankan SPO dan kejadian infeksi)
o Memfasilitasi kegiatan riset operasional

41
2. PENGENDALIAN ADMINISTRATIF

Pengendalian administrative adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah /


mengurangi pajanan M. tb kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan
lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan memantau
pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.

Upaya ini mencakup :


o Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari “pintu masuk”
pendaftaran fasyankes
o Mendidik pasien mengenai etika batuk
o Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang
mempunyai ventilasi baik, diupayakan ≥ 12 ACH dan terpisah dengan
pasien umum
o Menyediakan tissue dan masker serta tempat pembuangan tisu maupun
pembuangan dahak yang benar
o Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE
o Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien suspek dan
TB, termasuk diagnostic, terapi dan rujukan sehingga waktu berada pasien
di fasyankes dapat sesingkat mungkin
o Melaksanakan skrining bagi petugas yang merawat pasien TB
o Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB
o Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi semua
petugas kesehatan

Gambar 4.7.
Contoh Poster Etika Batuk

42
Tabel 4.15. 
Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien untuk
Mencegah Infeksi TB pada Tempat Pelayanan
Langkah Kegiatan Keterangan
1 Triase Pengendalian segera pasien suspek atau konfirm TB adalah
langkah pertama. Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan
petugas untuk menyaring pasien dengan batuk lama segera pada
saat datang di fasilitas. Pasien dengan batuk ≥ minggu, atau yang
sedang dalam investigasi TB tidak diperbolehkan meng-antri dengan
pasien lain untuk mendaftar atau mendapatkan kartu. Mereka harus
segera dilayani mengikuti langkah-langkah di bawah ini.
2 Penyuluhan Menginstruksikan pasien yang tersaring di atas untuk melakukan
etika batuk. Yaitu untuk menutup hidung dan mulut ketika batuk
atau bersin. Kalau perlu berikan masker atau tisu untuk menutup
mulut dan mencegah terjadinya aerosol.
3 Pemisahan Pasien yang suspek atau kasus TB melalui pertanyaan penyaringan
harus dipisahkan dari pasien lain dan diminta menunggu di ruang
terpisah dengan ventilasi baik serta diberi masker bedah atau tisu
untuk menutup mulut dan hidung pada saat menunggu.
4 Pemberi Pasien dengan gejala batuk segera mendapatkan pelayanan untuk
Pelayanan mengurangi waktu tunggu sehingga orang lain tidak terpajan lebih
Segera lama. Di tempat pelayanan terpadu TB-HIV, usahakan agar jadwal
pelayanan HIV dibedakan jam atau harinya dengan pelayanan TB
atau TB-HIV.
5 Rujuk untuk Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan diagnostik TB
investigasi / sebaiknya dilakukan di tempat pelayanan itu, tetapi bila layanan ini
pengobatan tidak tersedia, fasilitas perlu membina kerjasama baik dengan sentra
TB diagnostik TB untuk merujuk / melayani pasien dengan gejala TB
secepat mungkin. Selain itu, fasilitas perlu mempunyai kerjasama
dengan sentra pengobatan TB untuk menerima rujukan
pengobatan bagi pasien terdiagnosa TB..

Edukasi dan penerapan etika batuk


Petugas harus mampu memberi pendidikan yang adekuat mengenai
pentingnya menjalankan etika batuk kepada pasien untuk mengurangi
penularan. Pasien yang batuk diinstruksikan untuk memalingkan kepala dan
menutup mulut / hidung dengan tisu maka mulut dan hidung ditutup dengan
tangan atau pangkal lengan. Sesudah batuk, tangan dibersihkan dan tisu
dibuang pada tempat sampah yang khusus disediakan untuk ini (kantong
kuning / infeksius). Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat
pasien. Apabila tetap merawat pasien, maka petugas harus mengenakan
masker bedah. Terutama bila petugas bersin atau batuk dan harus
melaksanakan etika batuk.

43
3. PENGENDALIAN LINGKUNGAN

Pengendalian lingkungan adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran


udara / ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran
dan mengurangi / menurunkan kadar percik renk di udara. Upaya
pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kea rah tertentu
(directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.

Pemanfaatan Sistem Ventilasi


Sistem ventilasi adalah sistem yang menjamin terjadinya pertukaran udara di
dalam gedung dan di luar gedung yang memadai sehingga konsentrasi droplet
nuclei menurun.

Secara garis besar ada tiga jenis sistem ventilasi yaitu :


a. Ventilasi Alamiah
Adalah sistem ventilasi yang mengandalkan pada pintu dan jendela
terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan yang bisa dibuka terbuka)
untuk mengalirkan udara dari luar ke dalam gedung dan sebaliknya.
b. Ventilasi Mekanik
Adalah sistem ventilasi yang menggunakan peralatan mekanik untuk
mengalirkan dan mensirkulasi udara di dalam ruangan secara paksa
untuk menyalurkan / menyedot udara kearah tertentu sehingga terjadi
tekanan udara positif dan negative. Termasuk exhaust fan, kipas angin
berdiri (standing fan) atau duduk.
c. Ventilasi Campuran (hybrid)
Adalah sistem ventilasi alamiah ditambahkan dengan penggunaan
mekanik untuk menambah efektifitas penyaluran udara.

Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan
setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes
berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim – cuaca, petaruran
bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar uangan serta perlu dilakukan
monitoring dan pemeliharaan secara periodic.
Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruangan infeksius dan ruangan
non infeksius, pembagian area (zoning) tempat pelayanan juga perlu
memperoleh perhatian untuk PPI TB.

Untuk pelayanan pasien TB di RSUD Kota Padang Panjang dilakukan pada


ruangan dengan menggunakan ventilasi alamiah. Nantinya penggunaan
44
exhaust fan perlu dipikirkan pada pelayanan pasien TB rawat inap terutama
bagi pasien dengan penyebaran infeksi secara airborne pada ruangan isolasi.

Pemantauan sistem vntilasi harus memperhatikan 3 unsur dasar, yaitu :


a. Laju ventilasi (Ventilation Rate), yaitu jumlah udara luar gedung yang
masuk ke dalam ruangan pada waktu tertentu
b. Arah aliran udara (airflow direction) yaitu arah aliran udara dalam gedung
dari area bersih ke area kontaminasi
c. Distribusi udara atau pola aliran udara (airflow pattern) yaitu udara luar
perlu terdistribusi ke setiap bagian dari ruangan dengan cara yang efisien
dan udara yang terkontaminasi dialirkan keluar dengan cara yang efisien

Rekomendasi WHO tentang ventilasi ruangan :


1. Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi yang ditransmisikan melalui
airborne, perlu diupayakan ventilasi yang adekuat di semua area pelayanan
pasien di fasilitas kesehatan.
2. Untuk fasilitas yang menggunakan ventilasi alamiah, perlu dipastikan
bahwa angka rata-rata ventilation rate perjam yang minimal tercapai yaitu :
a. 160/l/detik/pasien untuk pasien yang memerlukan kewaspadaan
airborne (dengan ventilation rate terendah adalah 80/l/detik/pasien)
contoh bangsal perawatan MDR TB
b. 60/l/detik/pasien untuk ruangan perawatan pasien umum dan polikinik
rawat jalan.

4. PENGENDALIAN DENGAN ALAT PELINDUNG DIRI

Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat


percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administrati dan lingkungan.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pada saat melakukan
prosedur yang beresiko tinggi misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum,
aspirasi skeet saluran nafas dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini
juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat
menghadapi / menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator juka berada
bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu
menggunakan respirator partikulat tetapi cukup menggunakan masker bedah
untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet.

45
I. RUJUKAN PASIEN TB

Rujukan pada pasien TB ada dua jenis yaitu :


1. Rujukan diagnose : setelah diagnose ditegakkan pasien dirujuk kembali ke
puskesmas sesuai wilayah tempat tinggal untuk memulai pengobatan.
2. Rujuk terapi : pasien dirujuk untuk meneruskan pengobatan di sarana
pelayanan kesehatan lainnya setelah menjalani pengobatan di RSUD Kota
Padang Panjang.

Semua pasien TB yang akan dirujuk harus melalui POLI DOTS


- Bila pasien dirujuk diagnose dibuatkan TB 09, lampirkan TB 05, lampirkan hasil
rapid tes bila ada, catat nomor telepon pasien dan hubungi sarana pelayanan
kesehatan tujuannya
- Bila pasien dirujuk terapi dibuatkan TB 09, lampirkan fotokopi TB 01, berikan sisa
obat untuk dibawa ke tempat tujuan dan hubungi sarana pelayanan kesehatan
tujuannya

46
BAB V
LOGISTIK

A. PENGELOLAAN LOGISTIK
Pengelolaaan logistik penanggulangan TB merupakan serangkaian kegiatan yang
meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
monitoring dan evaluasi. Logistik penanggulangan TB terdiri dari 2 bagian yaitu
logistic Obat Anti TB (OAT) dan logistik lainnya.
1. Logistik OAT
Paket OAT anak dan dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
 OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose
Combination (FDC) yang di kemas dalam blister dan tiap blister berisi 28
tablet.
 OAT dalam bentuk kombipak yang dikemas dalam blister untuk satu dosis,
kombipak ini disediakan khusus untuk pengatasi efek samping KDT.
Khusus untuk dewasa terdiri dari kategori 1 dan kategori 2.
2. Logistik non OAT
Alat Laboratorium terdiri dari :
 Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan ,rak pewarna dan
pengering, lampu spiritus, ose, botol plastic bercorong pipet, kertas
pembersih lensa mikroskop, kertas saring dan lain-lain.
 Bahan diagnostik terdiri dari : reagensia Ziehl Neelsen, eter alcohol, minyak
imersi, lysol, tuberculin PPD RT 23 dan lain-lain.
 Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan
serta bahan KIE.

B. PENGELOLAAN OBAT ANTI TB


1. Perencanaan Kebutuhan Obat
Perencanaan kebutuhan OAT dilaksanakan dengan pendekatan perencaan
dari bawah (bottom up planning) dan dilakukan terpadu dengan perencanaan
obat lainnya.
Perencanaan kebutuhan OAT memperhatikan :
 Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya
 Perkiraan penemuan jumlah pasien yang direncanakan
 Buffer-stok (tiap kategori OAT)
 Sisa stok OAT yang ada

47
 Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (unuk mengetahui
estimasi kebutuhan dalam kurun waktu perencanaan)
2. Tingkat Rumah Sakit
Rumah Sakit menghitung kebutuhan tahunan, triwulan dan bulanan sebagai
dasar permintaan ke Kabupaten/Kota. Setelah jumlah kebutuhan OAT telah
didapatkan kemudian RS mengajukan permintaan / penambahan OAT ke
Dinas Kesehatan Kota Padang Panjang dalam hal ini adalah Gudang Farmasi
Kota Padang Panjang.
3. Pengadaan OAT
Dalam pengaadaan OAT RSUD Kota Padang Panjang berkoordinasi dengan
Dinas Kesehatan Kota Padang Panjang sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Pengadaan OAT menjadi tanggung jawab Pusat mengingat OAT
merupakan obat yang sangat-sangat esensial (SSE).
4. Penyimpanan dan Pendistribusian OAT
OAT disimpan di rak penyimpanan OAT sesuai persyaratan penyimpanan
obat, penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First Expirate First
Out), artinya, obat yang kadaluarsanya lebih awal harus diletakkan didepan
agar dapat diberikan lebih awal. Pendistribusian OAT disertai dokumen yang
memuat jenis, jumlah, kemasan, nomor batch dan bulan serta tahun
kadaluarsa.
5. Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan OAT dilakukan dengan menggungakan Laporan Pemakaian dan
Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang berfungsi ganda, untuk
menggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat pencatatan / pelaporan.
6. Pemantauan Mutu OAT
Mutu OAT diperiksa melalui pemeriksaan pengamatan fisik obat yang meliputi :
 Penandaan / label termasuk persyaratan penyimpanan
 Leaflet dalam bahasa Indonesia
 Keutuhan kemasan dan wadah.
 Nomor batch dan tanggal kadaluarsa baik di kemasasn terkecil seperti vial,
box dan master box
 Mencantumkan nomor registrasi pada kemasan.

C. PENGELOLAAN LOGISTIK NON OAT


Secara umum siklusnya sama dengan menajemen OAT.
Kebutuhan Logistik Non OAT :
 Perhitungan berdasarkan pada perkiraan pasien BTA positif yang akan diobati
dalam 1 tahun.

48
 Logistic penunjang lainnya ( seperti : buku Pedomasn TB, Modul Pelatihan,
Materi KIE) dihitung berdasarkan kebutuhan.

BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

A. PENGERTIAN
Suatu sistem dimana Poli TB-DOTS RSUD Kota Padang Panjang membuat
asuhan untuk keselamatan pasien.

B. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Poli TB-DOTS
2. Menurunnya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di Poli TB-DOTS
3. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).

C. TATALAKSANA KESELAMATAN PASIEN


Upaya yang dilakukan untuk mencegah / mengurangi pajanan Mycobacterium
tuberculosa kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan
dengan menyediakan, mensosialisasikan dan memantau pelaksanaan standar
prosedur dan alur pelayanan.

Upaya ini mencakup :


1. Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari “pintu masuk”
pendaftaran fasyankes
2. Mendidik pasien mengenai etika batuk
3. Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang mempunyai
ventilasi baik dan terpisah dengan pasien umum
4. Menyediakan tissue dan masker serta tempat pembuangan tisu maupun
pembuangan dahak yang benar
5. Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE
6. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien suspek dan TB,
termasuk diagnostik, terapi dan rujukan sehingga waktu berada pasien di
fasyankes dapat sesingkat mungkin
7. Melaksanakan skrining bagi petugas yang merawat pasien TB
8. Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB
9. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi semua
petugas kesehatan.
49
Upaya pengendalian ini dapat tercapai dengan melaksanakan lima langkah
penatalaksanaan sesuai dengan PPI TB.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

A. LATAR BELAKANG

UU No. 23 Tahun 1992 menyatakan tempat kerja wajib menyelenggarakan upaya


kesehatan kerja adalah tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan,
mudah terjangkit atau mempunyai paling sedikit karyawan 10 orang. Rumah sakit
adalah tempat kerja kerja yang termasuk kategori di atas, berarti wajib
menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja .

Program keselamatan dan kesehatan kerja pada unit DOTS bertujuan melindungi
petugas dan pengunjung RS dari kemungkinan tertularnya penyakit Tuberkulosis.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau K3 merupakan bagian integral dari
perlindungan terhadap petugas di Unit DOTS dan perlindungan terhadap Rumah
Sakit. Petugas adalah bagian integral dari rumah sakit, jaminan keselamatan kerja
akan meningkatkan produktifitas petugas dan berdampak dengan peningkatan
produktifitas rumah sakit.

Faktor faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat
digolongkan pada tiga kelompok , yaitu :
a. Kondisi dan lingkungan kerja
b. Kesadaran dan kualitas pekerja
c. Peranan dan kualitas manajemen.

Dalam kaitannya dengan kondisi kerja dan lingkungan kerja , kecelakaan dan
penyakit akibat kerja dapat terjadi bila :
a. Peralatan tidak memenuhi standar
b. Alat – alat produksi tidak disusun secara teratur
c. Ruang kerja yang sempit, ventilasi udara tidak memadai, ruangan terlalu panas
atau dingin
d. Tidak tersedia alat alat pengaman
e. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya kebakaran dll.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan di unit DOTS yaitu :


50
a. Peraturan keselamatan harus terpampang jelas di setiap layanan
b. Penerangan dan ventilasi yang cukup baik untuk menghindari penularan
melalui udara
c. Perlu diperhatikan pengaturan suhu ruangan, tekanan udara, kelembaban dan
pencegahan debu.

B. PENGERTIAN
Adalah suatu sistem di mana Poli DOTS RSUD Kota Padang Panjang membuat
suatu asuhan kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit bagi petugas di
lingkungan Poli DOTS RSUD Kota Padang Panjang.

C. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan kerja
2. Menurunnya kejadian yang tidak diharapkan
3. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian yang tidak diharapkan.

D. TATALAKSANA KESELAMATAN KERJA


Tatalaksana Keselamatan Kerja pada Poli DOTS RSUD Kota Padang Panjang
sesuai dengan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi / PPI TB terdiri
dari 4 pilar, yaitu :
1. Manajerial
Pihak manajerial adalah pimpinan fasilitas kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi dan Kabupaten / Kota. Program PPI TB meliputi :
- Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
- Membuat kebijakan dan SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien
batuk, alur pelaporan dan surveilans
- Memberi pelatihan PPI TB bagi petugas yang terlibat dalam program PPI
TB
- Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
- Membuat dan memastikan desain, konstruksi dan persyaratan bangunan
serta pemeliharaannya sesuai program PPI TB
- Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB meliputi :
tenaga, anggaran, sarana dan prasarana yang dibutuhkan termasuk aspek
keselamatan kerja
- Monitoring dan evaluasi
- Melakukan kajian di unit terkait penularan TB dengan menggunakan daftar
tilik, menganalisa dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan

51
- Melaksanakan advokasi, komunikasi, mobilisasi dan sosialisasi terkait
program PPI TB
- Surveilans petugas (kepatuhan menjalankan SPO dan kejadian infeksi)
- Memfasilitasi kegiatan riset operasional.
2. Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif adalah upaya yang dilakuakn untuk mencegah /
mengurangi pajanan Mycobacterium tuberculosis kepada petugas keseatan,
pasien pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan
dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.

Upaya ini mencakup :


- Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari “pintu
masuk” pendaftaran fasyankes
- Mendidik pasien mengenai etika batuk
- Menempatkan semua aspek dan pasien TB di ruang tunggu yang
mempunyai ventilasi baik, diupayakan 12 ACH dan terpisah dengan pasien
umum
- Menyediakan tissue dan masker serta tempat pembuangan tisu maupun
pembuangan dahak yang benar
- Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE
- Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien suspek dan
TB, termasuk diagnostik, terapi dan rujukan sehingga waktu berada pasien
di fasyankes dapat sesingkat mungkin
- Melaksanakan skrining bagi petugas yang tertular TB
- Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB
- Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi petugas
kesehatan, edukasi dan penerapan etika batuk.

Petugas harus mampu memberi pendidikan yang adekuat mengenai


pentingnya menjalankan etika batuk kepada pasien untuk menulari penularan.
Pasien yang batuk diinstruksikan untuk memalingkan kepala dan menutup
mulut / hidung dengan tisu. Kalau tidak memiliki tisu maka mulut dan hidung
ditutup dengan pangkal lengan. Sesudah batuk, tangan dibersihkan dan tisu
dibuang pada tempat sampahh yang khusus disediakan untuk ini (kantong
kuning/infeksius).

Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila tetap
merawat pasien, maka petugas harus mengenakan masker bedah. Terutama
apabila petugas bersin atau batuk dan harus melaksanakan etika batuk.
52
3. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran
udara / ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran
dan mengurangi / menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya
pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik ke arah tertentu
(directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.

Secara garis besar ada dua jenis sistem ventilasi yaitu :


- Ventilasi alamiah adalah sistem ventilasi yang mengandalkan pada pintu
dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan yang bisa dibuka /
terbuka) untuk mengalirkan udara dari udara dari luar ke dalam gedung dan
sebaliknya
- Ventilasi mekanik alah sistem ventilasi yang menggunakan peralatan
mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasi udara di dalam ruangan
secara paksa untuk menyalurkan / menyedot udara ke arah tertentu
sehingga terjadi tekanan positif dan negatif. Termasuk exhaust fan, kipas
angin berdiri (standing fan) atau duduk
- Ventilasi campuran (hybrid) adalah sistem ventilasi alamiah ditambah
dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menambah efektifitas
penyaluran udara.

Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan
setempat. Pertimbangan pemilihan jenis sistem ventilasi berdasarkan kondisi
lokal yaitu struktur bangunan, iklim – cuaca, pengaturan bangunan, dana dan
kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakuakan monitoring dan
pemeliharaan secara periodik.

Pembersihan dan perawatan sistem ventilasi :


- Gunakan lap lembab untuk membersihhkan debu dan kotoran dari kipas
angin
- Perlu ditunjuk staf yang ditugaskan dan bertanggung jawab terhadap
kondisi kipas yang masih baik, bersih, dll
- Periksa ventilasi alamiah secara teratur (minimal sekali dalam sebulan)
atau dirasakan ventilasi sudah kurang baik

53
Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruanagan infeksius dan non
infeksius, pembagian area (zoning) tempat pelayanan juga perlu memperoleh
perhatian untuk PPI TB.

4. Pengendalian dengan Perlindungan Diri


Penggunaan alat pelindung diri pernafasan oleh petugas di tempat pelayanan
sangat penting untuk menurunkan resiko terpajan, sebab kadar percik renik
tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pertikulat (N95) pada saat
menghadapi / menangani pasien tersangka MDR-TB di poliklinik. Petugas
kesehatan dan pengunjung perlu menggunakan respirator pertikulat jika
berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB
tidak perlu menggunakan respirator pertikulat, tetapi cukup menggunakan
masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet.

54
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

A. PENGERTIAN
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang
akan ditingkatakan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar yang
digunakan untuk mengukur mutu layanan.

Defenisi mutu adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukan suatu
indikasi. Indikator merupakan suatu variabel yang menggunakan untuk bisa
melihat perubahan, indikator yang baik adalah yang sensitif tapi juga spesifik.
Kriteria mutu adalah spesifikasi dari indikator.

Standar mutu :
 Tingkat performance atau keadaaan yang dapat diterima oleh seseorang
yang berwenang dalam situasi tersebut atau oleh mereka yyangbertanggung
jawab untuk mempertahankan tingkat performance atau kondisi tersebut.
 Suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat
baik.
 Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat , nilai atau mutu
.

B. PRINSIP DASAR MUTU


Dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan maka harus
memperhatikan prinsip dasar sebagai berikut :
a. Aspek yang dipilih untuk ditingkatkan
 Keprofesian
 Efesiensi
 Keamanan pasien
 Kepuasan pasien
 Sarana dan lingkungan fisik
b. Indikator yang dipilih
55
 Indikator di utamkan untuk menilai out put dari pada input dan proses
 Bersifat umum yaitu lebih baik indikator untuk situasi dan kelompok dari
pada perorangan
 Dapat digunakan untuk membanding antar rumah sakit
 Dapat mendorong intervensi sejak tahap awal pada aspek yang dipilih
untuk dimonitor
 Didasarkan pada data yang ada
c. Kriteria yang digunakan
Kriteria yang digunakan harus dapat dihitung dan dapat menilai indikator
sehingga dapat sebagi batas yang memisahkan antara mutu baik atau tidak
baik .
d. Standar yang digunakan
Standar yang digunakan ditetapkan berdasarkan :
 Acuan dari berbagai sumber
 Brenmaking dengan rumah sakit setara
 Berdasarkan trend yang menuju kebaikan

Pengendalian mutu pelayanan TB di RSUD Kota Padang Panjang meliputi :


1. Membentuk Tim TB-DOTS di RSUD Kota Padang Panjang pada tahun 2015
2. Tim TB DOTS melakukan pencatatan dan pelaporan untuk mengumpulkan
data dalam pelaksanaan pelayanan TB di RSUD Kota Padang Panjang.
Formulir-formulir yang digunakan dalam melaksanakan pencatatan TB adalah :
- Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB 06)
- Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB 05)
- Kartu pengobatan pasien TB (TB 01)
- Kartu identitas pasien TB (TB 02)
- Register TB UPK (TB 03 UPK)
- Formulir rujukan / pindah pasien (TB 09)
- Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB 10)
- Register laboratorium (TB 04)
- Persetujuan pengobatan TB
- Formulir laporan

Indikator yang digunakan untuk menilai kemajuan atau keberhasilan


penanggulangan TB :
- Angka penjaringan suspek
- Angka keberhasilan pengobatan

56
3. Tim TB TOTS mengadakan pelatihan internal di RSUD Kota Padang Panjang
4. Cross check / uji silang pemeriksaan sediaan oleh Dinas Kesehatan Kota
Padang Panjang tiap 3 bulan sekali.

Blanko Indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM)


Pelayanan Rawat Jalan Pemeriksaan TB

No Indikator SPM Catatan Hasil Ket.


1 Penegakkan diagnosis TB melalui pemeriksaan TB melalui
pemeriksaan mikroskopis TB
a. Jumlah penegakan diagnosis TB melalui pemeriksaan
mikroskopis TB di RS dalam 1 bulan
b. Jumlah penegakan diagnosis TB di RS dalam 1 bulan
2 Terlaksananya kegiatan pencatatan dan pelaporan TB di
RS
a. Jumlah seluruh pasien TB rawat jalan yang dicatat
dan dilaporkan
b. Seluruh kasus TB rawat jalan di RS

Pelaporan

No Jenis Laporan Waktu Sumber Tujuan laporan


Pelaporan Data
1 Jumlah semua pasien rawat jalan Bulanan Register - Direktur RS
tuberculosis yang ditangani dengan Rawat
Strategi DOTS diambil dari register Jalan Poli
rawat jalan pasien Poli DOTS DOTS
2 Jumlah penemuan dan pengobatan Bulanan Register - Direktur RS
pasien TB TB-03 - P2 ML TB DKK
Padang Panjang
3 Penjaringan suspek TB Bulanan Register - Direktur RS
TB-04 - P2 ML TB DKK
Padang Panjang
4 Rujukan keluar pasien TB Bulanan Formulir - Direktur RS
Rujukan - P2 ML TB DKK
TB Padang Panjang
5 Jumlah seluruh pasien rawat jalan TB Triwulan Register - Direktur RS
yang ditangani di rumah sakit dalam Rawat
waktu tiga bulan Jalan Poli
DOTS
6 Konversi (akhir intensif) dan Triwulan Register - Direktur RS
kesembuhan (akhir pengobatan) pasien TB-03 - P2 ML TB DKK
TB Padang Panjang
7 Laporan pencapaian kegiatan kolaborasi Triwulan Register - Direktur RS
TB-HIV TB-03 - P2 ML TB DKK

57
Padang Panjang
8 Laporan seluruh kegiatan Tim TB-DOTS Tahunan Evaluasi - Direktur RS
Program
BAB IX
PENUTUP

Pedoman Pelayanan TB DOTS Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padang Panjang ini
mempunyai peranan penting sebagai pedoman bagi pelaksanaan kegiatan sehari-hari
tenaga pelaksana perawatan yang bertugas sehingga dapat meningkatkan mutu
pelayanan khususnya pelayanan TB.

Penyusunan Pedoman Pelayanan TB DOTS ini adalah langkah awal ke suatu proses
yang panjang, sehingga memerlukan dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak
dalam penerapannya untuk mencapai tujuan. Kami menyadari bahwa Pedoman
Pelayanan TB DOTS ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami menerima saran
dan kritik guna menyempurnakan pedoman ini.

Akhir kata, semoga Pedoman Pelayanan TB DOTS ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian.

58
DAFTAR PUSTAKA

DIrektorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. 2010. Pedoman Manajerial


Pelayanan Tuberkulosis Dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit. Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. 2012. Pedoman Pencegahan dan


Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta.

DIrektorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2007.


Pedoman Penerapan DOTS di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

DIrektorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.


Stop TB : Terobosan Menuju Akses Universal. Strategi Nasional Pengendalian TB
di Indonesia 2010-2014. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

DIrektorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014.


Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

59
DAFTAR ISI

HALAMAN DOKUMEN ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1


B. TUJUAN PEDOMAN .................................................................... 4
C. RUANG LINGKUP PELAYANAN ................................................. 4
D. BATASAN OPERASIONAL ................................................ ........ 5
E. LANDASAN HUKUM .......................................................... ........ 5
BAB II STANDAR KETENAGAAN ................................................................. 7
A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA ................................... 7
B. DISTRIBUSI KETENAGAAN ...................................................... 7
C. PENGATURAN JAGA .................................................................. 9
BAB III STANDAR FASILITAS ...................................................................... 10

A. DENAH RUANGAN ..................................................................... 10


B. STANDAR FASILITAS ................................................................. 10
C. DAFTAR FASILITAS RUANG DOTS .......................................... 11

BAB IV TATALAKSANA PELAYANAN ........................................................... 12


A. PENEMUAN KASUS TUBERKULOSA ......................................... 12
B. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ...................................................... 14
C. KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN .............................. 18
D. PENGOBATAN TUBERKULOSIS ................................................. 21
E. PENGAWASAN MENELAN OBAT ............................................... 3
3
F. PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN TB .......................... 3
5
G. EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA .............. 3
7

60
H. PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI ..... 39

I. RUJUKAN PASIEN TB .................................................................. 4


4
BAB V LOGISTIK ........................................................................................... 4
5
A. PENGELOLAAN LOGISTIK ......................................................... 4
5
B. PENGELOLAAN OBAT ANTI TB ................................................. 4
5
C. PENGELOLAAN LOGISTIK NON OAT ....................................... 4
6
BAB VI KESELAMATAN PASIEN ................................................................... 4
7
A. PENGERTIAN .............................................................................. 4
7
B. TUJUAN ....................................................................................... 4
7
C. TATALAKSANA KESELAMATAN PASIEN ................................. 4
7
BAB VII KESELAMATAN KERJA .................................................................... 4
8
A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 4
8
B. PENGERTIAN ............................................................................. 4
9
C. TUJUAN ....................................................................................... 4
9
D. TATALAKSANA KESELAMATAN KERJA ................................... 4
9
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU .................................................................... 5
3
A. PENGERTIAN .............................................................................. 5
3
B. PRINSIP DASAR MUTU .............................................................. 5
3
BAB IX PENUTUP .......................................................................................... 5
6

61
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 5
7
LAMPIRAN SPO

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Sistem Skor Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB .................... 16


Tabel 4.2. Jenis, Sifat dan Dosis OAT ............................................................ 21
Tabel 4.3. Jenis OAT untuk Pasien TB Resistan Obat ................................... 21
Tabel 4.4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 ................................................ 2
4
62
Tabel 4.5.  Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1 ....................................... 24
Tabel 4.6. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 ................................................ 24
Tabel 4.7. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2 ....................................... 2
5
Tabel 4.8. Dosis OAT KDT Anak ..................................................................... 26
Tabel 4.9. Dosis OAT Kombipak Anak ............................................................. 26
Tabel 4.10. Pilihan Paduan Pengobatan ARV pada ODHA dengan TB ............ 27
Tabel 4.11. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak .............................. 3
5
Tabel 4.12. Tatalaksana Pasien Yang Berobat Tidak Teratur ........................... 3
6
Tabel 4.13. Efek Samping Ringan OAT ............................................................. 3
7
Tabel 4.14. Efek Samping Berat OAT ................................................................ 3
8
Tabel 4.15. Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien untuk Mencegah Infeksi
TB pada Tempat Pelayanan ........................................................... 41

DAFTAR GAMBAR

63
Gambar 4.1. Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dengan HIV Negatif .......... 15

Gambar 4.2. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan


Kesehatan Dasar ......................................................................... 25
Gambar 4.3. Penapisan dan Diagnosa TB pada pasien DM ............................ 31
Gambar 4.4. Penapisan dan Diagnosa DM pada pasien TB ............................ 32
Gambar 4.5. Penapisan dan Diagnosa TB pada pasien DM Anak ................... 32
Gambar 4.6. Penapisan dan Diagnosa DM pada pasien TB Anak ................... 33
Gambar 4.7. Contoh Poster Etika Batuk ........................................................... 41

Alur diagnosis TB paru dan tipe pasien TB :


mikroskopis organ Riwayat pengobatan 64

BTA(+)
paru Belum baru
Rontgen

KASUS

Berat Ekstra Sudah kambuh


paru pernah

Ringan gagal

keparahan
kronis

65

Anda mungkin juga menyukai