PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya kementerian Kesehatan
mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional pada tahun 1995.
Pada tahun 1995-2000, Pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai
diterapkan di Puskesmas. Seperti hanya dalam implementasi sebuah strategi
baru, terdapat berbagai tantangan dilapangan dalam melaksanakan kelima
strategi DOTS. Untuk mendorong peningkatan cakupan strategi DOTS dan
pencapaian targetnya dilakukan dua Joint Extenal Monitoring Mission oleh tim
pakar Internasional
1
Pencapaian utama selama periode ini adalah :
1. Pengembangan rencana strategi 2002-2006
2. Pengutan kapasitas manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat dan
provinsi.
3. Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari pengembangan
sumberdaya manusia.
4. Kerjasama internasional dalam memberikan dukungan teknis dan pendanaan
(Pemerintah Belanda, WHO, TBCTA-CIDA, USAID, GDF, GFATM, KNCV,
UAB, IUATLD, dll).
5. Pelatihan perencaan dan anggaran di tingkat daerah.
6. Perbaikan supervisi dan monitoring dari pusat dan provinsi.
7. Keterlibatan BP4 dan rumah sakit pemerintah dan swasta dan melaksanakan
strategi DOTS melalui uji coba HDL di Jogjakarta.
Keberhasilan target global tingkat deteksi dini dan kesembuhan dapat dicapai
pada periode tahun 2006-2010. Selain itu, berbagai tantangan baru dalam
implementasi strategi DOTS muncul pada periode ini. Tantangan tersebut antara
lain penyebaran ko-infeksi TB-HIV, peningkatan resistensi obat TB, jenis
penyediaan layanan TB yang sangat beragam, kurangnya pengendalian infeksi TB
di fasilitas kesehatan, serta penatalaksaaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang
aktif berperan dalam pengendalian TB pada periode ini antara Direktorat Jenderal
Bina Upaya Kesehatan di Kementrian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan
kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Untuk akselerasi DOTS di Rumah Sakit, sekitar 750 dari 1645 RS telah dilatih.
Koordinasi di tingkat pusat dengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
semakin intensif. Selain itu Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan juga
melakukan penilaian ke beberapa Rumah Sakit yang telah menerapkan DOTS.
2
Penguatan aspek regulasi dalam implementasi strategi DOTS di sumah sakit akan
diintegrasikan dengan kegiatan akreditasi rumah sakit.
Pelaksanaan DOTS di Rumah Sakit mempunyai daya ungkit dalam penemuan
kasus (cure rate) dan angka keberhasilan rujukan (success referal rate). Adapun
strategi DOTS terdiri dari :
1. Komitmen politik
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya
3. Pengobatan jangka pendek yang terstandar bagi semua kasus TB dengan
penatalaksanaan kasus secara tepat termasuk pengawasan langsung
pengobatan
4. Jaminan ketersediaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Pada saat ini penanggulangan TB dengan Strategi DOTS di rumah sakit baru
berkisar 20% dengan kualitas bervariasi. Ekspansi Strategi DOTS di rumah sakit
masih merupakan tantangan besar bagi keberhasilan Indonesia dalam
mengendalikan tuberkulosis. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh
Tim TB eksternal Monitoring Mission pada tahun 2005 menunjukkan bahwa
angka penemuan kasus TB di rumah sakit cukup tinggi dan angka keberhasilan
pengobatan rendah dengan angka putus berobat yang masih tinggi. Kondisi
tersebut berpotensi untuk menciptakan masalah besar yaitu peningkatan
kemungkinan terjadi resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (MDR-TB).
Dari hasil assessment juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara
komitmen direktur rumah sakit terhadap keberhasilan penyelenggaraan DOTS di
RS.
3
Sementara dari 59% rumah sakit yang telah memiliki Tim DOTS , hanya 28% Tim
DOTS yang dibentuk bekerja optimal. Sementara 72% rumah sakit yang telah
memiliki sumber daya manusia yang telah terlatih DOTS (dokter umum, dokter
spesialis, perawat, petugas laboratorium maupun farmasi) tidak dimanfaatkan
secara baik oleh pihak manajerial rumah sakit, hal tersebut disebabkan oleh
beberapa hal antara lain strategi DOTS belum menjadi komitmen manajerial di
ruma sakit disebabkan oleh sosialisasi yang kurang optimal. Hal ini tercermin
hanya 17% rumah sakit yang melaksanakan strategi DOTS secara optimal.
B. TUJUAN PEDOMAN
1. Tujuan Umum
Pedoman pelayanan tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Kota Padang Panjang
disusun dengan tujuan agar dapat meningkatkan mutu pelayanan tuberkulosis.
2. Tujuan Khusus
- Sebagai pedoman manajerial dan operasional dalam program
penanggulangan TB di RSUD Kota Padang Panjang
- Sebagai indikator mutu penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit
(SPRS) dalam program penanggulangan TB melalui akreditasi
- Sebagai salah satu alat ukur kinerja rumah sakit dalam penanggulangan TB
melalui indikator Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit (SPM-RS).
4
D. BATASAN OPERASIONAL
Batasan operasional Pelaksanaan Pelayanan TB – DOTS meliputi :
1. Tatalaksana dan pencegahan TB
2. Penemuan kasus TB
3. Pengobatan TB
4. Pemantauan dan hasil pengobatan TB
5. Pengendalian infeksi pada sarana pelayanan
6. Manajemen program TB
7. Perencanaan program TB
8. Monitoring dan evaluasi program TB
9. Manajemen logistik program TB
10. Pengembangan ketenagaan program TB
11. Promosi program TB
12. Pengendalian TB komprehensif
13. Publik – Private Mix (pelibatan semua fasilitas pelayanan kesehatan)
14. Kolaborasi TB-HIV
E. LANDASAN HUKUM
Dasar hukum terbentuknya Tim DOTS di RSUD Kota Padang Panjang adalah :
1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan;
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit;
3. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Ahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran;
4. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Sandar Pelayanaan Minimal;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1575/Menkes/Per/XI/2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementrian
Kesehatan;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 Tentang
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di
Rumah Sakit;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Rumah Sakit;
5
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk
Teknis Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal;
10. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 Tentang
Ekspansi TB Strategi DOTS Di Rumah Sakit Dan Balai Kesehatan /
Pengobatan Penyakit Paru.
11. Surat Edaran Direktur Jendral Bina Pelayanan Medik Nomor
YM.02.08/III/673/07 Tentang Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Rumah Sakit;
12. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Tahun 2011;
13. Pedoman Manajerial Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah
Sakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bina
Pelayanan Medik, Tahun 2010.
6
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Wewenang :
a. Memberikan penilaian kinerja anggota DOTS
b. Membuat prosedur DOTS
Hasil Kerja :
a. Pedoman Pelayanan di unit DOTS
b. Usulan perencaan ketenagaan dan fasilitas yang dibutukan di unit DOTS
c. Standar Operating Prosedur DOTS
d. Laporan Program DOTS
Tugas pokok :
a. Membuat laporan rekapitulasi dari kegiatan unit TB-DOTS yang secara
administrasi membantu ketua dalam pelaksanaan kegiatan
b. Membuat laporan kegiatan triwulan dan tahunan
Uraian Tugas :
a. Melakukan pencatatan dan pelaporan semua kegiatan penanggulangan
TB-DOTS kepada Rumah Sakit
b. Menjadwalkan semua kegiatan pertemuan / rapat Tim Penanggulangan TB-
DOTS Rumah Sakit
8
c. Mengatur semua kegiatan pertemuan-pertemuan non-teknis Tim
Penanggulangan TB-DOTS dan membuat notulen hasil pertemuan
Wewenang :
Membuat laporan triwulan dan tahunan
Hasil Kerja :
a. Laporan rapat rutin
b. Laporan Triwulan dan Tahunan
Wewenang :
a. Berdiri secara mandiri dan aktif untuk memberikan saran perencaaan dan
pengembangan pelayanan DOTS
Hasil Kerja :
c. Pelaksaaan program kerja DOTS
d. Penerapan regulasi DOTS
e. Laporan evaluasi kerja
C. PENGATURAN JAGA
Pelayanan TB DOTS dilaksanakan setiap hari kerja (pagi).
9
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. DENAH RUANGAN
Ruang Tunggu
Bed
Meja Periksa
Pasien
Kursi Dokter
Rak Rak
Westafel Penyimpanan Penyimpanan
OAT Formulir TB
B. STANDAR FASILITAS
Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan
dan fungsi pelayanan DOTS yang optimal bagai pasien TB, kriteria :
10
1. Tersedia ruangan khusus pelayaan pasien TB (unit DOTS) yang berfungsi
sebagai pusat pelayaan TB di RS meliputi kegiatan diagnostik, pengobatan,
pecatatan dan pelaporan, serta menjadi pusat jejaring internal/eksternal DOTS
2. Ruangan telah memenuhi persyaratan pencegahan dan pengendalian infeksi
(PPI-TB) di Rumah Sakit
3. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB
4. Tersedia ruangan bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan keluarga
5. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan
mikroskopis dahak
11
BAB IV
TATALAKSANA PELAYANAN
1. Strategi Penemuan
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif dengan kegiatan promosi
yang aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan
kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan
tersangka pasien TB.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA
positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan
gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
B. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS
14
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Suspek Pasien TB
Foto Thorak
Hasil Tidak
Mendukung
OAT
15
Gambar 4.1.
Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dengan HIV Negatif
16
4. Diagnosis TB pada Anak
Pada diagnosis TB pada anak ditegakkan dengan melakukan uji tuberkulin
atau dengan sistem skor bila diperlukan.
Tabel 4.1.
Sistem Skor Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB
Catatan :
- Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
- Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain–lain
- Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis
- Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
- Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul <7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
- Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13)
- Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut.
- Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor.
17
o Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6), harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis).
o Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat
maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi,
seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi
pleura, foto tulang dan sendi, fund uskopi, CT-scan, dan lainnya.
5. Diagnosis TB MDR
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan M. Tuberculosis. Semua suspek MDR dipastikan berdasarkan
dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pada pagi hari. Uji
kepekaan M. tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah
disertifikasi untuk uji kepekaan.
Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap
meneruskan pengobatan sesuai dengan Pedoman Pengendalian TB Nasional.
18
C. KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN
BTA(+)
paru Belum baru
pernah
BTA (-)
Rontgen
KASUS
Ringan gagal
keparahan
kronis
21
Catatan:
- TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh,
gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang,
harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan
pertimbangan medis spesialistik.
D. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
1. Tujuan pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
2. Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang
tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada
tabel di bawah ini :
Tabel 4.2.
Jenis, Sifat dan Dosis OAT
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
Tabel 4.3.
Jenis OAT untuk Pasien TB Resistan Obat
Golongan dan Jenis Obat
Golongan 1 – obat lini - Isoniazid (H) - Pyrazinamide (Z)
pertama oral
- Ethambutol (E) - Rifampicin (R)
Golongan 2 – obat suntik / - Streptomysin (S) - Amikacin (Am)
suntikan
- Kanamysin (Kn) - Capreomycin
Golongan 3 – golongan - Ofloxacin (Ofx) - Moxifloxacin (Mfx)
floroquinolone
- Levofloxacin (Lfx)
Golongan 4 – obat - Ethionamide (Eto) - Para amino salisilat
bakteriostatik (PAS)
- Prothionamide (Pto)
- Cycloserine (Cs) - Terizidone (Trd)
22
Golongan 5 – obat yang - Clofazimine (Cfz) - Thloacetazone (Thz)
belum jelas efikasinya
- Linezolid (Lzd) - Clarithromycin (Clr)
dan tidak
- Amoxilin – Clavulanate - Lmipenem (Lpm)
direkomendasikan dalam
(Amx-Clv)
penggunaan rutin
23
- Pasien TB paru terdiagnosis - FDC :
klinis 2(HRZE)/4(HR)3
- Pasien TB ekstra paru
Kategori 2 Pasien TB BTA (+) yang pernah - Kombipak :
diobati sebelumnya, yaitu : 2(HRZE)S/(HRZ
- Pasien kambuh E)/5(HR)3E3
- Pasien gagal pada pengobatan - FDC :
dengan pengobatan dengan 2(HRZE)S/(HRZ
paduan OAT kategori 1 E)/5(HR)3E3
sebelumnya
- Pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (loss to
follow-up)
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan.
24
- Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
- Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
- Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Tabel 4.4.
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1
Tabel 4.5.
Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1
b. Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
25
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 4.6.
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
tiap hari
3 kali seminggu
Berat RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E(400)
Badan
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol
Tabel 4.7.
Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2
Tablet Etambutol Jumlah
Tahap Lama Kaplet Tablet Strepto-
Isoniasid Tablet Tablet hari/kali
Pengo- Pengo- Rifampisin Pirazinamid misin
@ 300 menelan
batan batan @ 450 mgr @ 500 mgr @ 250 @ 400 injeksi
mgr mgr mgr obat
Tahap
Intensif
2 bulan 1 1 3 3 – 0,75 gr 56
(dosis
1 bulan 1 1 3 3 – – 28
harian)
Tahap
Lanjutan
4 bulan 2 1 – 1 2 – 60
(dosis 3x
semggu)
Catatan :
- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
26
- Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Gambar 4.2.
Alur Tatalaksana Pasien TB Anak
pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar
Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin (uji
tuberkulin atau skor ≥ 6 sebagai entry point)
27
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Tabel 4.9.
Dosis OAT Kombipak Anak
BB BB BB
Jenis Obat
< 10 kg 10 – 19 kg 20 – 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600
Keterangan:
- Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
- Anak dengan BB 15 – 19 kg dapat diberkan 3 tablet
- Anak dengan BB ≥33 kg, dirujuk ke rumah sakit
- Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
- OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum
Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV segera mulai pengobatan TB,
pemberian ARV dilakukan dengan prinsip :
28
- Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai
pengobatan ARV bila CD4 turun di bawah 200/mm³ tapi harus dimulai
sebelum CD4 turun di bawah 200/mm³
- Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan
CD4 < 350/mm³ harus dimulai pengobatan ARV
- Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang CD4
Tabel 4.10.
Pilihan Paduan Pengobatan ARV pada ODHA dengan TB
Pilihan Pengobatan
Obat ARV Lini
ARV pada waktu TB Pilihan Obat ARV
pertama / Lini Kedua
Didiagnosis
Teruskan dengan
2NRTI + EFV
2NRTI + EFV
Lini Pertama
Ganti dengan 2NRTI +
2NRTI + NVP*
EFV
Keterangan :
Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur
dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin) yang perlu dimulai ARV
bila tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester 1
kehamilan (resiko kelainan janin).
Km-E-Etho-Levo-Z-Cs/E-Etho-Levo-Z-Cs
Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang telah terbukti TB MDR
secara laboratorium dan dapat disesuaikan apabila :
Bila ada hasil uji kepekaan untuk OAT lini ke-2 (saat ini fasilitas ini
belum tersedia)
Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas
sebelumnya sehingga dicurigaitelah ada resistensi
Terjadi efek samping yang berat dengan obat tersebut
Terjadi pemburukan keadaan klinis, sebelum maupun sesudah
konversi biakan
30
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT
secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan
dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
h. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru),
adalah:
1) Untuk TB paru
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif.
Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TB ekstra paru
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang
yang disertai kelainan neurologik.
32
8. Pasien TB-DM
a. Penapisan dan Diagnosa TB pada Pasien DM
Gambar 4.3.
Penapisan dan Diagnosa TB pada Pasien DM
Penyandang Diabetes
Tatalaksana TB-DM
Gambar 4.4.
Penapisan dan Diagnosa DM pada Pasien TB
Semua pasien yang terdiagnosa TB
Pemeriksaan Gula Darah Puasa (GDP) Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu (GDS)
atau 2 jam setelah makan
GDP <126 mg/dl GDP ≥126 mg/dl GDP <200 mg/dl GDP ≥200 mg/dl
Bukan DM Terdiagnosa DM
33
Tatalaksana TB-DM
Gambar 4.5.
Penapisan dan Diagnosa TB pada Pasien DM Anak
Gejala terduga TB +
Riwayat kontak TB dewasa aktif
Catatan :
batuk lama atau persisten >3 minggu
Demam lama (2 minggu) dan atau berulang
Anoreksia
Berat badan turun selama 2-3 bulan berturut-turut
Lesu
Keringat malam disertai gejala sistemik
Pembengkakan sendi dan tulang belakang, skrofuloderma
34
d. Penapisan dan Diagnosa DM pada Pasien TB Anak
Gambar 4.6.
Penapisan dan Diagnosa DM pada Pasien TB Anak
Pasien TB anak
Gejala Klasik DM
Bukan DM Terdiagnosa DM
1. Persyaratan PMO
- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
- Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
- Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien
35
2. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,
guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota
keluarga.
4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya:
- TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
- TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
- Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
- Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
- Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
- Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK.
Tabel 4.11.
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak
Tipe
Uraian Hasil BTA Tindak Lanjut
Pasien TB
Akhir tahap Negatif Tahap lanjutan dimulai
intensif Positif Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1
bulan. Jika setelah sisipan masih tetap
positif :
- tahap lanjutan tetap diberikan.
- jika memungkinkan, lakukan biakan, tes
resistensi / rujuk ke layanan TB-MDR
Sembuh
Negatif
37
jika memungkinkan, lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR
Tabel 4.12.
Tatalaksana Pasien Yang Berobat Tidak Teratur
Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan:
- Lacak pasien
- Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur
- Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan :
- lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan
sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak
Tabel 4.13.
Efek Samping Ringan OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit Rifampisin Semua OAT diminum malam sebelum
perut tidur
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per
hari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu
(urine) penjelasan kepada pasien.
Tabel 4.14.
Efek Samping Berat OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksanaan
dibawah *).
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan.
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol.
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua OAT sampai
ikterus menghilang.
Bingung dan muntah-muntah Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera
(permulaan ikterus karena obat) lakukan tes fungsi hati.
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin.
39
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat.
Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian
pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini,
hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika
gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
1. MANAJERIAL
41
2. PENGENDALIAN ADMINISTRATIF
Gambar 4.7.
Contoh Poster Etika Batuk
42
Tabel 4.15.
Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien untuk
Mencegah Infeksi TB pada Tempat Pelayanan
Langkah Kegiatan Keterangan
1 Triase Pengendalian segera pasien suspek atau konfirm TB adalah
langkah pertama. Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan
petugas untuk menyaring pasien dengan batuk lama segera pada
saat datang di fasilitas. Pasien dengan batuk ≥ minggu, atau yang
sedang dalam investigasi TB tidak diperbolehkan meng-antri dengan
pasien lain untuk mendaftar atau mendapatkan kartu. Mereka harus
segera dilayani mengikuti langkah-langkah di bawah ini.
2 Penyuluhan Menginstruksikan pasien yang tersaring di atas untuk melakukan
etika batuk. Yaitu untuk menutup hidung dan mulut ketika batuk
atau bersin. Kalau perlu berikan masker atau tisu untuk menutup
mulut dan mencegah terjadinya aerosol.
3 Pemisahan Pasien yang suspek atau kasus TB melalui pertanyaan penyaringan
harus dipisahkan dari pasien lain dan diminta menunggu di ruang
terpisah dengan ventilasi baik serta diberi masker bedah atau tisu
untuk menutup mulut dan hidung pada saat menunggu.
4 Pemberi Pasien dengan gejala batuk segera mendapatkan pelayanan untuk
Pelayanan mengurangi waktu tunggu sehingga orang lain tidak terpajan lebih
Segera lama. Di tempat pelayanan terpadu TB-HIV, usahakan agar jadwal
pelayanan HIV dibedakan jam atau harinya dengan pelayanan TB
atau TB-HIV.
5 Rujuk untuk Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan diagnostik TB
investigasi / sebaiknya dilakukan di tempat pelayanan itu, tetapi bila layanan ini
pengobatan tidak tersedia, fasilitas perlu membina kerjasama baik dengan sentra
TB diagnostik TB untuk merujuk / melayani pasien dengan gejala TB
secepat mungkin. Selain itu, fasilitas perlu mempunyai kerjasama
dengan sentra pengobatan TB untuk menerima rujukan
pengobatan bagi pasien terdiagnosa TB..
43
3. PENGENDALIAN LINGKUNGAN
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan
setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes
berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim – cuaca, petaruran
bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar uangan serta perlu dilakukan
monitoring dan pemeliharaan secara periodic.
Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruangan infeksius dan ruangan
non infeksius, pembagian area (zoning) tempat pelayanan juga perlu
memperoleh perhatian untuk PPI TB.
45
I. RUJUKAN PASIEN TB
46
BAB V
LOGISTIK
A. PENGELOLAAN LOGISTIK
Pengelolaaan logistik penanggulangan TB merupakan serangkaian kegiatan yang
meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
monitoring dan evaluasi. Logistik penanggulangan TB terdiri dari 2 bagian yaitu
logistic Obat Anti TB (OAT) dan logistik lainnya.
1. Logistik OAT
Paket OAT anak dan dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose
Combination (FDC) yang di kemas dalam blister dan tiap blister berisi 28
tablet.
OAT dalam bentuk kombipak yang dikemas dalam blister untuk satu dosis,
kombipak ini disediakan khusus untuk pengatasi efek samping KDT.
Khusus untuk dewasa terdiri dari kategori 1 dan kategori 2.
2. Logistik non OAT
Alat Laboratorium terdiri dari :
Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan ,rak pewarna dan
pengering, lampu spiritus, ose, botol plastic bercorong pipet, kertas
pembersih lensa mikroskop, kertas saring dan lain-lain.
Bahan diagnostik terdiri dari : reagensia Ziehl Neelsen, eter alcohol, minyak
imersi, lysol, tuberculin PPD RT 23 dan lain-lain.
Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan
serta bahan KIE.
47
Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (unuk mengetahui
estimasi kebutuhan dalam kurun waktu perencanaan)
2. Tingkat Rumah Sakit
Rumah Sakit menghitung kebutuhan tahunan, triwulan dan bulanan sebagai
dasar permintaan ke Kabupaten/Kota. Setelah jumlah kebutuhan OAT telah
didapatkan kemudian RS mengajukan permintaan / penambahan OAT ke
Dinas Kesehatan Kota Padang Panjang dalam hal ini adalah Gudang Farmasi
Kota Padang Panjang.
3. Pengadaan OAT
Dalam pengaadaan OAT RSUD Kota Padang Panjang berkoordinasi dengan
Dinas Kesehatan Kota Padang Panjang sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Pengadaan OAT menjadi tanggung jawab Pusat mengingat OAT
merupakan obat yang sangat-sangat esensial (SSE).
4. Penyimpanan dan Pendistribusian OAT
OAT disimpan di rak penyimpanan OAT sesuai persyaratan penyimpanan
obat, penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First Expirate First
Out), artinya, obat yang kadaluarsanya lebih awal harus diletakkan didepan
agar dapat diberikan lebih awal. Pendistribusian OAT disertai dokumen yang
memuat jenis, jumlah, kemasan, nomor batch dan bulan serta tahun
kadaluarsa.
5. Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan OAT dilakukan dengan menggungakan Laporan Pemakaian dan
Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang berfungsi ganda, untuk
menggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat pencatatan / pelaporan.
6. Pemantauan Mutu OAT
Mutu OAT diperiksa melalui pemeriksaan pengamatan fisik obat yang meliputi :
Penandaan / label termasuk persyaratan penyimpanan
Leaflet dalam bahasa Indonesia
Keutuhan kemasan dan wadah.
Nomor batch dan tanggal kadaluarsa baik di kemasasn terkecil seperti vial,
box dan master box
Mencantumkan nomor registrasi pada kemasan.
48
Logistic penunjang lainnya ( seperti : buku Pedomasn TB, Modul Pelatihan,
Materi KIE) dihitung berdasarkan kebutuhan.
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
A. PENGERTIAN
Suatu sistem dimana Poli TB-DOTS RSUD Kota Padang Panjang membuat
asuhan untuk keselamatan pasien.
B. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Poli TB-DOTS
2. Menurunnya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di Poli TB-DOTS
3. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).
A. LATAR BELAKANG
Program keselamatan dan kesehatan kerja pada unit DOTS bertujuan melindungi
petugas dan pengunjung RS dari kemungkinan tertularnya penyakit Tuberkulosis.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau K3 merupakan bagian integral dari
perlindungan terhadap petugas di Unit DOTS dan perlindungan terhadap Rumah
Sakit. Petugas adalah bagian integral dari rumah sakit, jaminan keselamatan kerja
akan meningkatkan produktifitas petugas dan berdampak dengan peningkatan
produktifitas rumah sakit.
Faktor faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat
digolongkan pada tiga kelompok , yaitu :
a. Kondisi dan lingkungan kerja
b. Kesadaran dan kualitas pekerja
c. Peranan dan kualitas manajemen.
Dalam kaitannya dengan kondisi kerja dan lingkungan kerja , kecelakaan dan
penyakit akibat kerja dapat terjadi bila :
a. Peralatan tidak memenuhi standar
b. Alat – alat produksi tidak disusun secara teratur
c. Ruang kerja yang sempit, ventilasi udara tidak memadai, ruangan terlalu panas
atau dingin
d. Tidak tersedia alat alat pengaman
e. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya kebakaran dll.
B. PENGERTIAN
Adalah suatu sistem di mana Poli DOTS RSUD Kota Padang Panjang membuat
suatu asuhan kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit bagi petugas di
lingkungan Poli DOTS RSUD Kota Padang Panjang.
C. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan kerja
2. Menurunnya kejadian yang tidak diharapkan
3. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian yang tidak diharapkan.
51
- Melaksanakan advokasi, komunikasi, mobilisasi dan sosialisasi terkait
program PPI TB
- Surveilans petugas (kepatuhan menjalankan SPO dan kejadian infeksi)
- Memfasilitasi kegiatan riset operasional.
2. Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif adalah upaya yang dilakuakn untuk mencegah /
mengurangi pajanan Mycobacterium tuberculosis kepada petugas keseatan,
pasien pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan
dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.
Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila tetap
merawat pasien, maka petugas harus mengenakan masker bedah. Terutama
apabila petugas bersin atau batuk dan harus melaksanakan etika batuk.
52
3. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran
udara / ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran
dan mengurangi / menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya
pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik ke arah tertentu
(directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan
setempat. Pertimbangan pemilihan jenis sistem ventilasi berdasarkan kondisi
lokal yaitu struktur bangunan, iklim – cuaca, pengaturan bangunan, dana dan
kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakuakan monitoring dan
pemeliharaan secara periodik.
53
Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruanagan infeksius dan non
infeksius, pembagian area (zoning) tempat pelayanan juga perlu memperoleh
perhatian untuk PPI TB.
54
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
A. PENGERTIAN
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang
akan ditingkatakan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar yang
digunakan untuk mengukur mutu layanan.
Defenisi mutu adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukan suatu
indikasi. Indikator merupakan suatu variabel yang menggunakan untuk bisa
melihat perubahan, indikator yang baik adalah yang sensitif tapi juga spesifik.
Kriteria mutu adalah spesifikasi dari indikator.
Standar mutu :
Tingkat performance atau keadaaan yang dapat diterima oleh seseorang
yang berwenang dalam situasi tersebut atau oleh mereka yyangbertanggung
jawab untuk mempertahankan tingkat performance atau kondisi tersebut.
Suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat
baik.
Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat , nilai atau mutu
.
56
3. Tim TB TOTS mengadakan pelatihan internal di RSUD Kota Padang Panjang
4. Cross check / uji silang pemeriksaan sediaan oleh Dinas Kesehatan Kota
Padang Panjang tiap 3 bulan sekali.
Pelaporan
57
Padang Panjang
8 Laporan seluruh kegiatan Tim TB-DOTS Tahunan Evaluasi - Direktur RS
Program
BAB IX
PENUTUP
Pedoman Pelayanan TB DOTS Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padang Panjang ini
mempunyai peranan penting sebagai pedoman bagi pelaksanaan kegiatan sehari-hari
tenaga pelaksana perawatan yang bertugas sehingga dapat meningkatkan mutu
pelayanan khususnya pelayanan TB.
Penyusunan Pedoman Pelayanan TB DOTS ini adalah langkah awal ke suatu proses
yang panjang, sehingga memerlukan dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak
dalam penerapannya untuk mencapai tujuan. Kami menyadari bahwa Pedoman
Pelayanan TB DOTS ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami menerima saran
dan kritik guna menyempurnakan pedoman ini.
Akhir kata, semoga Pedoman Pelayanan TB DOTS ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian.
58
DAFTAR PUSTAKA
59
DAFTAR ISI
60
H. PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI ..... 39
61
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 5
7
LAMPIRAN SPO
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
63
Gambar 4.1. Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dengan HIV Negatif .......... 15
BTA(+)
paru Belum baru
Rontgen
KASUS
Ringan gagal
keparahan
kronis
65