Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh
dunia. Penyakit ini dapat timbul pada semua usia meskipun paling banyak
pada anak. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan
tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan
harian.1
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, dan total asma di
dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). 2 Berbagai
faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di suatu tempat,
antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor-
faktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya serangan asma,
berat ringannya serangan, derajat asma dan kematian karena penyakit asma.
Kortikosteroid merupakan obat yang paling efektif untuk penatalaksanaan
asma. Bagi pasien asma akut yang perlu dipindahkan dari rumah ke rumah
sakit, kortikosteroid oral atau intravena harus diberikan sebelum pemindahan
(Depkes, 2006). Kortikosteroid oral atau intravena yang digunakan yaitu metil
prednisolone, dexamethasone dan prednisone (Depkes, 2007). Kortikosteroid
inhalasi yang digunakan meliputi beklometason dipropionat, budesonid,
flunisonid, flutikason propionat, mometason furoat dan triamsinolon asetat
(Ikawati, 2006).
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan
asma seminimal mungkin. Serangan asma biasanya mencerminkan kegagalan
pencegahan asma, kegagalan tatalaksana asma jangka panjang dan kegagalan
penghindaran faktor pencetus. Dengan adanya referat ini, diharapkan dokter
umum dapat mengenali gejala asma dan memberikan terapi awal dengan tepat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi asma?
2. Bagaimana epidemiologi asma?
3. Apa saja faktor risiko asma?
4. Bagaimana patogenesis asma?
5. Bagaimana diagnosis dan klasifikasi asma?
6. Bagaimana penatalaksanaan asma?
7. Bagaimana prognosis asma?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi asma
2. Untuk mengetahui epidemiologi asma
3. Untuk mengetahui faktor risiko asma
4. Untuk mengetahui patogenesis asma
5. Untuk mengetahui diagnosis dan klasifikasi asma
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan asma
7. Untuk mengetahui prognosis asma
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma


Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batukbatuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai
dengan peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus dan sumbatan saluran
3 napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai (Depkes,
2007). Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP)
pada National Institute of Health (NIH) Amerika, asma didefinisikan sebagai
penyakit inflamasi kronik pada paru yang dicirikan oleh obstruksi salurannapas
yang bersifat reversibel, inflamasi jalan napas, peningkatan respon jalannapas
terhadap berbagai rangsangan (Ikawati, 2006).

2.2 Epidemiologi Asma


Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan
obstruksi paru 2/ 1000.
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian
di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner
modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory symptoms
questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales, dan
pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan
uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6
tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2%
dan perempuan 6,6%.

2.3 Faktor Resiko Asma


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan.

Gambar 1. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma


Tabel 1
Faktor
2.4 Patogenesis Asma
Asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan
dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan
peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran
respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit. T pada
mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun
2,5
asmanya ringan atau tidak bergejala.
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada
populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40 % penderita
asma anak dan dewasa. 7
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada
awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel
plasma. Ig E melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila
ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat
( immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-
mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan
A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus,
hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut.
Keadaan ini akan segera pulih kembali ( serangan asma hilang ) dengan
pengobatan.7
Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma
lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang
diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan
sel-sel radang : eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis

+
T-helper (Th), limfosit subtipe CD4 telah dikenal profilnya dalam produksi
sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL – 3 dan granulocyte –
macrophage colony – stimulating factor (GM – CSF), Thl terutama memproduksi
IL – 2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin
yang terlibat dalam asma, yaitu IL – 4, IL – 5, IL – 9, IL – 13, dan IL – 16. Sitokin
yang dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe lambat . Masing –masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator
inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil Peroxidase (EPX), Eosinophil
Cathion Protein (ECP) dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-mediator tersebut
merupakan mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil
mensekresi histamin, LTC4, PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan
bronkospasme. Sel makrofag mensekresi IL8, platelet activating factor (PAF),
regulated upon activation novel T cell expression and presumably secreted
(RANTES) . Semua mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inlamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus
mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik.Secara
klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan.
Kerusakan jaringan akanmenjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan
penatalaksanaan kurang adekuat.1,2,5,6,7
Gambar 2 Patogenesis Asma
2.5 Diagnosis dan Klasifikasi Asma

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal
paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit / gejala :


• Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
• Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
• Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
• Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
• Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
• Riwayat keluarga (atopi)
• Riwayat alergi / atopi
• Penyakit lain yang memberatkan
• Perkembangan penyakit dan pengobatan

PEMERIKSAAN FISIK
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada
keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas,
mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada
serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.\

PEMERIKSAAN FAAL PARU

1. Spirometri

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

2. Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan


yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter)
yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin
tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun
instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik
oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah
seharihari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.

3. Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita


dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi
bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi
tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis
asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut
asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik,
berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis
dan fibrosis kistik.

4. Pengukuran Status Alergi

Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit
atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk
mendiagnos asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus
sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan. Uji kulit
adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan
dengan prick test. Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam
diagnosis alergi/ atopi.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Dewasa
• Penyakit Paru Obstruksi Kronik
• Bronkitis kronik
• Gagal Jantung Kongestif
• Batuk kronik akibat lain-lain
• Disfungsi larings
• Obstruksi mekanis (misal tumor)
• Emboli Paru
Anak
• Benda asing di saluran napas
• Laringotrakeomalasia
• Pembesaran kelenjar limfe
• Tumor
• Stenosis trakea
• Bronkiolitis

KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.

Tabel 2 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambara klinik (sebelum


pengobatan)
2.6 Penatalaksanaan Asma

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan


kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktiviti sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

A. Medikasimentosa
Medikamentosa pada asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.

Anda mungkin juga menyukai