Ghufron SPS PDF
Ghufron SPS PDF
Tesis
Pembimbing:
Dr. Muhaimin AG
Oleh:
GHUFRON
NIM: 10200124120010
i
ii
KATA PENGANTAR
iii
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Nama : Ghufron
NIM : 10.2.00.1.24.12.0010
Tempat/Tgl. Lahir : Pati, 14 Oktober 1981
Program Studi : S2 Pengkajian Islam
Konsentrasi : Agama dan Studi Perdamaian
Ghufron
v
vi
PERSETUJUAN PROMOTOR
Nama : Ghufron
NIM : 10.2.00.1.24.12.0010
Jenjang Pendidikan : Program Magister (S2)
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konsentrasi : Agama dan Studi Perdamaian
Bahwa tesis ini telah melalui Ujian Work In Progress (WIP) Tesis 1, 2, 3, Ujian
Pendahuluan Tesis dan telah diperbaiki sesuai saran sebagaimana mestinya.
Maka saya menyetujui untuk diajukan dalam Ujian Promosi Tesis.
Promotor
vii
viii
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN
TIM PENGUJI
No Nama Penguji Tanda Tangan Tanggal
1 Prof. Dr. Masykuri Abdillah,
(Ketua Sidang/Merangkap
Penguji)
ix
x
ABSTRAK
xi
menerapkan nilai-nilai kearifan budayanya, semakin besar peluang terbangunnya
kerukunan antar umat beragama.
xii
ABSTRACT
xiii
xiv
ملخص البحث
غرض ُذا امبحث ظواُر امتيافس ادليًية والاحامتغية امواكؼة بني املسلمني واملس يحيني امىت ثأدي اىل امرصاع
وامطلح .ملد اس تخدم امباحث امطريلة اميوغية امىت جس هتدف اىل فِم امظواُر الاحامتغية من خالل هظر اجملمتع بوضفَ
موضوػا نلبحث .اكن الاكرتاب الاحامتغي امتارخيي اس تخدمَ امباحث ميحطل ػىل امبياانت امتارخيية من امؼوامل
الاحامتغية والاكتطادية وامس ياس ية وامثلافية فضال غن الغٌلل امليداهية .اكهت امبياانت الساس ية من ُذا امبحث يه
بياانت امرصاع وامطلح بني املسلمني واملس يحيني امىت حطلت ػلهيا من خالل اجبات امواثئق واملالحظات واملياكشات
امجلاغية املرتكزة واحلوار ابخملرب الويل.
أكّد ُذا امبحث حلائق سابلة ثلول أن امؼادات وامتلاميد احمللية من غوامل أساس ية متحليق امتضامن واحلوار
وامطلح بني مؼتيلي الداين يف اجملمتعُ .ذٍ احللائق امسابلة غرضِا املفكرون امسابلون مثل حون ُااب John Habaيف
" كتابَ "اػادة امبياء ػىل امثلافات احمللية :ادلراسة غن امرصاع وكيفية اضالحَ يف اكماميهتان امغربية ،ماموكو ،وبوضا
Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat,
) ،Maluku, dan Poso (2007وايليس بودلييج Elise Bouldingيف كتابَ "امثلافات امسلمية :حواهب
امتارخي اماكمٌة ) ." Culture of Peace: The Hidden Side of History (2000وكذكل أكّد ُذا
امبحث ثطورات مفكري املسلمني واملس يحيني بأن امتسامح أساس ُام ووس يةل فؼاةل يف سبيل حتليق احلوار بني
الداين واحلطول اىل امتضامن وامتؼايش بني امفرق ادليًية اخملتلفة .وملد مت ُذا امبحث اىاكر ثطورات املفكرين امسابلني
امىت ثلول أن امؼالكات بني املسلمني واملس يحيني ثتوكف ػىل امؼوامل امس ياس ية ،أاكهت ثكل امؼالكات حللت امتؼايش
وامتضامن أم وكؼت يف امرصاع .ومن ُؤالء املفكرين رجيارد فليجري Ricard Flitcherيف كتابَ "امطليب وامِالل:
" Dramatic Story of The Earliest امتارخي املرسيح يف أوائل امتؼامل بني املسلمني واملس يحيني
) ،Encounters Between Christians and Muslims (2005و أمحد ػًل يف رسامتَ "امؼالكة بني
املسلمني واملس يحيني :حنو امؼِد اجلديد " Christian-Muslim Relations: Ushering in a New Era
).(2007
ان امتافس بني املسلمني واملس يحيني جس متد خذورٍ من امرويح ادليًية امىت دغهتم اىل ورش امتؼاممي ادليًية .اكن
املس يحيون يلومون ابلغٌلل امتبشريية كٌل يلوم املسلمون ابدلغوة االسالمية ميأمروا ابملؼورف ويهنوا غن امليكرُ .ذا
امتيافس مل يؤ ّد اىل امرصاع وامؼيف موحود امتلاميد احمللية امسائدة ػىل اجملمتع مثل احلوار املروي اذلى دفع املسلمني
واملس يحيني اىل امطلح وامتضامن .اكن حسن امتفامه بني املسلمني واملس يحيني وكياهمم ابملمي امثلافية احمللية من امؼوامل
الساس ية امىت دغهتم اىل امتضامن واحلوار واالثطال وامتؼاونُ .ياك كمي جلافية حملية مثل امتسامح وامتؼاون والاحتفاالت
احمللية ادليًية امىت يفِموهنا ويطبلوهنا يف اجملمتع حىت ّ
جشّك املواكف امتض ُّميية وامتساحمية يف احلياة ادليًية.
xv
ومن مث ،اس تخلص ُذا امبحث أن امؼوامل امثلافية ثؼد امؼامل امسائد السايس يف بياء امتضامن وامطلح بني
مؼتيلي الداين امواكؼة يف اجملمتع -أو يف ُذا امطدد بني املسلمني واملس يحيني .ان ثأيدوا يف ثطبيق املمي امثلافية ،فامطلح
بيهنم أمر يسري وسِل يف اجملمتع.
xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1. Vokal Arab
a. Vokal Pendek
ــَـ ـ = a َ ََ kataba
ــِـ ـ = i ِ su ̇ ila
َ ُس
ــُسـ ـ = u َ ْذ َ ُس yażhabu
b. Vokal Panjang
ـ ـ ـَــا = ā اا
ََ qāla
ـ ـ ـِــي = ī ِ qīla
َ ْذ
ـ ـ ـُســو = ū ـَ ُس ْذو ُسا yaqūlu
xvii
c. Vokal Rangkap
2. Ta’ Marbutah
a. Ta‟ marbutah yang hidup atau berharakat fathah, kasrah atau dammah
ditransliterasikan adalah “t”
xviii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar --iii
Pernyataan Bebas Plagiasi --v
Persetujuan Promotor – vii
Persetujuan Hasil Ujian Pendahuluan --ix
Abstrak Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Arab --xi
Pedoman Transliterasi Arab-Latin --xvii
Daftar Isi -- xix
Daftar Tabel --xxi
Daftar Foto --xxii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang --1
B. Permasalahan --6
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan --7
D. Tujuan Penelitian --13
E. Manfaat dan Signifikansi Penelitian --13
F. Metode Penelitian --14
G. Sistematika Penulisan --15
xix
E. Agama dan Kontestasi Politik --77
A. Kesimpulan --131
B. Saran --131
Glosarium – 143
Indeks -- 149
Lampiran
xx
DAFTAR TABEL
xxi
DAFTAR FOTO
xxii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan kepentingan agama,
terutama Islam dan Kristen hampir mewarnai seluruh generasi, mulai dari Perang
Salib1 hingga berbagai perusakan tempat ibadah di berbagai tempat. Di Indonesia,
cerita kelam ini dibingkai dalam terminologi khusus SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antar Golongan) yang menandakan bahwa isu agama menjadi salah satu isu yang
rentan memicu konflik. Konflik Ambon dan Poso,2 pada awal masa reformasi
merupakan contoh nyata konflik atas nama agama. Sekalipun banyak orang
mengatakan bahwa konflik horizontal yang merebak di nusantara pada akhir abad
yang lalu diakibatkan oleh ketimpangan ekonomi, dan secara formal pemerintah
juga mengatakannya, tetapi tidak dapat disangkal, nuansa keagamaan, meminjam
istilah A.A.Yewangoe,3 sangat menonjol.
Sejarah mencatat bahwa konflik antar kelompok agama dan keyakinan yang
melahirkan tindakan kekerasan atas nama agama memang masif terjadi paska
tumbangnya Orde Baru yang mencapai rata-rata lebih dari 200 kasus setiap
tahunnya.4 Istilah kekerasan berbasis agama (religious-based violence), menurut
1
Perang ini dikobarkan oleh Paus Urban II, 25 November 1095 di Konsili
Clermont. Ia berkhotbah di depan pendeta, ksatria, bahkan juga orang-orang miskin untuk
berperang melawan Islam. Seruan ini lantas menjadi seruan umat Kristen berperang
melawan umat Islam yang merupakan awal perang besar yang selanjutnya dikenal dengan
sebutan ‘perang suci’. Perang ini ditengarai sebagai pemicu konflik keduanya hingga saat
ini. Lihat Karen Amstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today World
(New York: Anchor Books, 2001), 27.
2
Pada umumnya konflik di Ambon, Poso dan Sampit lebih disebabkan pada soal
distribusi ekonomi, sosial dan politik yang dianggap tidak adil bertepatan perbedaan
identitas. Diawali kasus pertengkaran antar individu hingga dipolitisir pihak tertentu
menjadi konflik komunal dalam pengembangan isu-isu etnis dan agama. Hal tersebut
mendapat ruang ketika masyarakat labil, kurang terbimbing yang mudah terprovokasi untuk
menang secara duniawi atau mati suci mempertahankan sebuah kebenaran, sehingga pada
posisi ini masyarakat yang berkonflik sering menggunakan agama atau etnis sebagai simbol
perjuanganya. Lihat Hasrullah, Dendam Konflik Poso (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2009), 153.
3
A.A.Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 43.
4
Lembaga-lembaga pemantau kekerasan berbasis agama seperti SETARA Institute
dan Wahid Institite mencatat bahwa kekerasan berbasis agama terus meningkat sejak
reformasi dan kondisinya sangat memprihatinkan bahkan mengancam kesatuan bangsa.
SETARA Institute melaporkan bahwa dalam kurun 2007-2009 terjadi 817 kasus
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dengan perincian tahun
2007 terjadi 185 kasus, tahun 2008 terjadi 367 kasus dan tahun 2009 terjadi 265 kasus.
Baca Ismail Hasani, Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat (Jakarta: Publikasi
Setara Institute, 2011). Sementara Wahid Institute mencatat pada tahun 2010-2013 terjadi
1
Sumanto Al Qurtuby, tidak hanya mengacu pada apa yang dirumuskan Johan
Galtung sebagai direct/physical violence, seperti kerusuhan, penyerangan,
perusakan, pembakaran dll, melainkan juga cultural violence atau symbolic violence
(Pierre Bourdieu) berupa pelecehan, stigmatisasi, penghinaan, penyesatan terhadap
kelompok agama/kepercayaan tertentu.5 Terjadinya benturan antar agama di
Indonesia khususnya Islam dan Kristen selalu bermula dari ketertutupan masing-
masing tentang agenda dakwah dan isu konversi. Kedua agama besar ini mempunyai
perhatian dan doktrin terhadap dakwah atau misi, dan pada titik itulah keduanya
berpotensi saling bertabrakan.6
Menyadari bahwa konflik antar umat beragama adalah persoalan serius,
berbagai pihak seperti pemerintah, tokoh agama dan pemerhati sosial politik terus
berupaya membangun resolusi konflik, salah satunya melalui dialog antar umat
beragama.7 Namun, penyelesaian konflik antar umat beragama dalam bentuk dialog
mendapat kritik dari sejumlah kalangan agamawan sendiri dan sejumlah pemerhati
sosial keagamaan karena tidak pernah ada evaluasi untuk melihat capaian serta
tantangan. Forum kerukunan ini belum bisa menjadi media untuk membendung
konflik umat beragama semasa reformasi yang menunjukkan intensitas dan
perluasannya. Franz Magnis Suseno menyinggung bahwa dialog Islam-Kristen
selama ini sering mengalami kebuntuan karena perbedaan pandangan teologis baik
Islam dan Kristen sendiri.8 Dialog dengan semangat mencari kesamaan pandangan
teologis jelas tidak mungkin dilakukan karena pada dasarnya keduanya tidak bisa
dipersatukan. Namun yang sangat dimungkinkan dalam sebuah dialog adalah upaya
sebanyak 977 kasus dengan perincian tahun 2010 terjadi 187 kasus, tahun 2011 terjadi 267
kasus, 2012 terjadi 278 kasus, dan di tahun 2013 terjadi 245 kasus. Baca Laporan Tahunan
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dan Toleransi The Wahid Institute
http://www.wahidinstitute.org/wi-id/laporan-dan-publikasi/laporan-tahunan-kebebasan-
beragama-dan-berkeyakinan.html diakses pada 11 Februari 2014.
5
Sumanto Al Qurtuby, ‚Pluralisme, Dialog dan Peace Building Berbasis Agama di
Indonesia‛, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai
70 Tahun Johan Effendi (Jakarta: ICRP bekerjasama dengan Penerbit Kompas, 2009), 186-
187.
6
Barbara Brown Zikmund ‚Dialog Agama-Agama dalam Konteks Misionarisme
Baru‛, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas
Agama (Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998), 25.
7
Dialog antar agama saat ini memang bukan sesuatu yang baru lagi. Mukti Ali
ketika menjabat sebagai Menteri Agama, pada tahun 1971 memprakarsai forum percakapan
bebas yang diikuti oleh sejumlah pemuka agama yang diakui (resmi) oleh negara (Islam,
Katholik, Protentan, Hindu, dan Budha). Sejak saat itu dialog antar agama dijadikan
sebagai proyek resmi Departemen Agama yang bertajuk ‚Proyek Kerukunan Hidup
Beragama‛.
8
Konsep monoteisme Islam bertentangan dengan Trinitas dalam Kristen, begitu
juga tentang pengakuan Yesus atau Isa Al Masih sebagai Nabi Islam yang justru diakui
sebagai Tuhan umat Kristen. Lihat Franz Magnis Suseno, ‚Dialog Antar Agama di Jalan
Buntu?‚ dalam Roland Dumatheray dkk., Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian
dan Masa Depan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), 26.
2
untuk saling mengenal lebih dekat tentang agama sebagai langkah meminimalisir
prasangka serta salah paham.9
Pendekatan dialog dalam membangun relasi harmonis antar agama
seharusnya memang lebih banyak memberikan porsi pada pendekatan relasi budaya
atau mekanisme kultural masyarakat yang banyak mendiskusikan hal-hal praktis
menyangkut persoalan bersama, seperti kemiskinan, pendidikan dan lain sebagainya.
Pemikiran tersebut sebenarnya sudah mengemuka sejak tahun 1978, namun pada
tataran implementasi masih mendapati berbagai hambatan. Model pendekatan dialog
praktis kemungkinan dapat dilihat dari fenomena relasi masyarakat Islam dan
Kristen Desa Tegalombo, Kabupaten Pati.
Mekanisme kultural atau budaya dalam membangun dialog praktis yang
inklusif tersebut merupakan pencapaian atas proses panjang antara kelompok Islam
dan Kristen dalam menyemai toleransi antar agama yang berbasis pada kekuatan
nilai-nilai budaya. Budaya di Tegalomombo memberikan ruang bagi bertemunya
kedua kelompok berbeda dalam tindakan sosial yang bertendensi teologis. Namun
model relasi yang harmonis Islam-Kristen ini bukanlah sesuatu yang instan,
melainkan terbangun melalui pergumulan atau dinamika hubungan yang cukup
panjang.
Perjumpaan Islam-Kristen di Tegalombo sudah berlangsung pada era
kolonialisme Belanda, dimana umat Islam pada umumnya mengangap agama
Kristen sebagai agama yang disebarkan oleh Kolonial Belanda. Umat Islam
langsung bereaksi keras terhadap misi Kristen sebagaimana sikap keras mereka juga
terhadap kolonialisme. Perlawanan keras dari umat Islam ini memicu pemerintah
Kolonial Belanda dan misionaris untuk saling dukung. Puncaknya, pada tahun 1854
Kolonial Belanda mengeluarkan dekrit atau peraturan yang mengatur penginjilan.
Dekrit tersebut menyepakati bahwa administrasi gereja bertugas menjaga doktrin
Kristen, sehingga perlu diberikan fasilitas misionaris termasuk keuangan dan
pembebasan pajak. Sejak saat itu kristenisasi semakin disadari oleh umat Islam
sebagai sebuah ancaman mengingat semakin meningkatnya jumlah pemeluk Kristen
dan ditambah keberpihakan pemerintah Kolonial Belanda kepada gereja.
Keberpihakan Kolonial Belanda terhadap gereja kian memperburuk hubungan
kelompok Islam dan Kristen yang ditandai dengan masifnya perlawanan dari pihak
Islam. Kondisi tersebut semakin membuat umat Islam bersikap eksklusif yang
kemudian mendorong terjadinya konsolidasi serta intensifikasi identitas Islam. 10
Jika Kolonial Belanda menganak-emaskan Kristen, sebaliknya pada masa
penjajahan Jepang, umat Islam mendapat angin segar untuk mengembangkan
agama, termasuk organisasi-organisasi yang berbasis Islam. Jepang berhasil
menerapkan provokasi masa Islam untuk menyingkirikan kekuatan Belanda dan
umat Kristen dari bumi nusantara. Pada masa ini pula gerak misionaris Kristen juga
dibatasi bahkan mengalami stagnasi.11 Masa tersebut bagi umat Kristen dikenal
9
Franz Magnis Suseno, ‛Dialog Antar Agama di Jalan Buntu?‛, 27.
10
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta:
Paramadina 1999), 40.
11
Harry J. Benda, Bulan Sabit Matahari Terbit (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), 154.
3
dengan istilah masa rayahan (penjarahan atau perampokan) yang mana di
Tegalombo sendiri ditandai dengan terbakarnya gereja Margorejo oleh kelompok
masa Islam pada tanggal 8 Maret 1942.12
Ketegangan antara kelompok Islam dan Kristen juga mencuat kembali pada
paska tahun 1965 yaitu setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September Partai
Komunis Indonesia (G 30 S PKI). Paska peristiwa ini, ada konversi besar-besaran
mantan anggota PKI atau orang yang dituduh terlibat dalam organisasi di bawah PKI
melakukan konversi ke agama Kristen.13
Sejarah kontestasi dan juga kekerasan antara kelompok Islam dan Kristen
tersebut lantas mendorong para tokoh agama dan juga masyarakat mencari fomat
membangun kerukunan umat beragama. Budaya menjadi media yang utama untuk
dijadikan ruang membangun kembali komunikasi, interaksi dan kerjasama antar
pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, pada akhir tahun 70-an, masyarakat
menghidupkan kembali budaya saling-kunjung memanfaatkan momentum perayaan
hari raya, baik Idul Fitri maupun Natal. Saat Idul Fitri, warga Kristen turut
mengunjungi warga Muslim untuk meminta maaf ‟lahir batin‟ dengan memilih hari
kedua lebaran sebagai waktu kunjung. Pemilihan waktu tersebut didasarkan niat
menghormati perayaan hari besar bagi internal umat Islam sendiri dimana pada hari
tersebut banyak kerabat atau tetangga terdekat yang saling berkunjung.
Kearifan serupa juga terjadi saat Natal yang dirayakan bertepatan dengan
perayaan tahun baru Masehi (1 Januari). Masyarakat Muslim bersilaturahmi ke
keluarga dan tetangga Kristen untuk memberikan ucapan sugeng warso enggal,
ngaturaken lepat kulo (selamat tahun baru, maafkan kesalahan saya). Momen tahun
baru Masehi dipilih sebagai strategi untuk menghindari perdebatan boleh tidaknya
12
Masa rayahan atau penyerangan dan penghancuran ditandai dengan berbagai
peristiwa penyerangan terhadap jemaat Kristen dan perusakan bangunan seperti gereja dan
rumah sakit. Dalam catatan Soekoco dan Lawrence M. Yoder, di daerah Pati target yang
dirayah tidak hanya umat Kristen melainkan juga orang Tionghoa (Kristen dan non-
Kristen). Lihat Soekoco dan Lawrence M. Yoder, Tata Injil di Bumi Muria (Semarang:
Pustaka Muria berdasarkan pesanan dari sinode GITJ, 2010), 307-311.
13
Di Tegalombo, beberapa hari setelah peristiwa G 30 S PKI, tersebar kabar bahwa
pemuda Anshor gabungan dari beberapa wilayah di Pati akan datang menyerang pengikut
komunis, yang kebanyakan dari Islam (Islam abangan, yaitu Islam yang sinkretis dan
kebanyakan dari mereka berafiliasi ke partai nasionalis sekuler seperti PNI dan PKI). Untuk
menyelamatkan diri dari penyerangan, sebagian mereka berlindung di rumah Kyai dan
sebagian lainnya berlindung di rumah seorang pendeta. Paska peristiwa tersebut, banyak
Islam abangan yang saat itu berlindung di rumah pendeta kemudian dibaptis menjadi
pengikut Kristen. Wawancara awal dengan Siti Aminah (79 tahun) di Tegalombo pada
tanggal 20 Juli 2011. Siti Aminah, perempuan yang saat peristiwa itu terjadi bersama suami
dan kerabat dari suaminya berlindung di rumah Kyai. Ia bercerita bahwa ia dan suaminya
berasal dari keluarga Muslim yang taat, sehingga memilih mempertahankan agamanya.
Menurut Mujiburrahman, peristiwa konversi tersebut menandai kontinuitas ketegangan
relasi antara Islam dengan Kristen yang mencuatkan isu kristenisasi melalui berbagi metode
seperti bantuan pangan, akses pendidikan dan kesehatan terutama memasuki masa Orde
Baru. Baca Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s
New Order (Leiden: Amsterdam University Press, 2006) 18, 29, 32-34, 89, 105-107.
4
mengucapkan „selamat Natal‟ kepada penganut Kristen yang pernah difatwakan
haram oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan fatwa No. 432/1981 yang
dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981, meskipun pada akhirnya fatwa tersebut
dihentikan peredarannya melalui Surat Keputusan MUI No. 139 tahun 1981.
Tidak hanya berhenti pada saling mengucapkan selamat dan memaafkan,
baik momen Idul Fitri maupun Natal di tahun baru Masehi biasanya didahului
dengan memberi makanan jelang hari raya. Tradisi saling antar makanan ini juga
menjadi kesadaran bersama untuk berbagai kegiatan sosial-keagamaan. Pada saat
slametan14 upacara siklus kehidupan seperti kelahiran, perkawinan terdapat tradisi
berbagi makanan ke kerabat, tetangga tanpa membedakan faktor agama.
Dalam konteks Tegalombo, pentradisian relasi agama yang harmonis
berangkat dari kesadaran pengalaman keagamaan masyarakat dan juga karena
pengaruh tindakan tokoh agama (kyai maupun pendeta) yang diyakini sebagai
terjemahan ajaran agama. Tindakan tersebut misalnya saat tokoh dari kedua agama
memimpin sebuah hajatan tertentu seperti perkawinan. Jika keluarga yang
mempunyai hajat Kristen, ketika pendeta akan memimpin do‟a, terlebih dahulu
mempersilahkan umat Muslim yang hadir untuk memanjatkan do‟a secara Islam.
Sebaliknya saat hajatan keluarga Muslim, kyai yang memimpin do‟a
mempersilahkan yang beragama Kristen untuk berdo‟a sesuai keyakinannya.
Meskipun hanya tindakan dan tidak secara formal menggunakan sitiran ayat kitab
suci namun tindakan tokoh kedua agama di Tegalombo tersebut lebih dari sekedar
anjuran yang mencerminkan bagaiamana seseorang harus memahami dan
mempraktekkan sikap toleran.
Pencarian format tersebut bukan sesuatu yang mudah dan instan, melainkan
melalui proses rekonsiliasi untuk menemukan mekanisme dalam membangun dan
merawat relasi antar umat beragama. Selanjutnya fenomena relasi keduanya seperti
dalam beberapa contoh di atas telah menjangkau banyak aspek kehidupan sosial dan
lebih dari persoalan solidaritas dan saling menghargai. Relasi tersebut bahkan
memenuhi apa yang oleh Michael Walzer disebut sebagai koeksistensi damai
(peaceful coexistence), dimana kelompok yang berbeda secara identitas menyemai
toleransi.15
Masyarakat Tegalombo bahkan memiliki mekanisme tertentu untuk
menjembatani persoalan konsep teologis dan keinginan hidup berdampingan secara
damai yang dipengaruhi oleh kemampuan mengkombinasikan konsep tentang
keyakinan agama dan konsep tentang hubungan sosial-budaya. Inilah yang
14
Slametan merupakan tradisi do’a dan berbagai makanan dalam masyarakat Jawa.
Clifford Geertz mengidentifikasi slametan sebagai ‚core ritual‛ budaya Jawa, bentuk ritus
animisme untuk memperkuat solidaritas masyarakat. Sementara Mark. W. Woordward
menilai slametan berakar pada tradisi Muslim untuk berbagi makanan ( shadaqah) sesuai
anjuran al-Qur’an dan hadist. Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (Glencoe, IL: Free
Press, 1960), 10-15, dan Mark. W. Woordward, ‚The Slametan: Textual Knowledge and
Ritual Performance in Central Javanese Islam‛, dalam jurnal History of Religion, Vol. 28,
No. 1 Agustus 1988, 54-89.
15
Michael Walzer, On Toleration (New Haven and London: Yale University, 1997),
2.
5
dimaksud Nurcholis Madjid sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan
keadaban” (genuine engagement of diversity within the bond of civility)16 dan bukan
lagi sekedar “kebaikan negatif” yang hanya untuk sekedar menyingkirkan fanatisme.
Jika meminjam framework relasi sosial yang diformulasikan oleh
Departemen Ekonomi dan Sosial PBB, maka relasi Islam dan Kristen di Tegalombo
merupakan relasi yang unik yang meliputi 6 relasi sosial yaitu; 1) fragmentasi, 2)
eksklusi, 3) polarisasi, 4) ko-eksistensi, 5) kolaborasi, 6) kohesi.17 Tiga relasi
pertama adalah mengarah pada kondisi yang negatif. Sementara tiga relasi lainnya
menunjukkan kondisi yang mendorong pada relasi damai atau integrasi sosial.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Relasi antar kelompok agama berbeda seperti dua sisi mata uang, dimana
pada kondisi tertentu terjadi konflik, ketegangan, serta kontestasi, dan di sisi lain
menggambarkan sebuah integrasi, konsensus dan kerukunan. Konteks di Indonesia
pun demikian, relasi keduanya bahkan disebut-sebut penuh ketegangan dan konflik
sejak era Kolonial Belanda, Pendudukan Jepang, Masa Kemerdekaan, Orde Lama,
Orde Baru dan bahkan Reformasi. Situasi konflik yang berkepanjangan antar
keduanya ditengarai karena perbedaan doktrin agama, pengalaman historis-politis
dan isu kristenisasi.
Konflik antara kelompok Islam dan Kristen tersebut tidak lantas
mengaburkan perspektif kita terhadap adanya relasi kedua agama yang lebih
menampakan sebuah relasi yang bersifat damai. Relasi damai ini banyak
ditemukan di luar konteks bidang politik, yaitu pada bidang-bidang sosial dan
budaya. Bahkan relasi keduanya semakin kuat ketika bertemu dalam gagasan-
gagasan dialog-dialog antaragama yang menyangkut masalah kemanusiaan.
2. Pembatasan Masalah
Kajian tentang relasi antar kelompok agama dapat didekati dengan melihat
dan menganalisi pola-pola relasi dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial,
ekonomi serta politik. Dengan menggunakan kerangka studi perdamain, pola relasi
dalam berbagai bidang tersebut akan dikaji dengan melihat sisi perdamaian maupun
ketegangan yang tercipta sebagai konsekuensi kontestasi dari pola-pola relasi
tersebut. Lebih spesifiknya, penelitian ini terfokus untuk menganalisa akar
ketegangan dan perdamaian dalam relasi antara kelompok Islam dan Kristen serta
melihat dinamikanya yang membentuk pola-pola relasi antar keduanya.
16
Nurcholis Madjid, ‚Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan
Kemungkinan‛, dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi
Pemikiran ‚Civil Society‛ dalam Islam Indonesia (Jakarta: Pustaka hidayah, 1999), 22.
Lihat juga dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai
Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi (Diterbitkan atas kerjasama ICRP dengan Kompas,
Jakarta: 2009), 119.
17
Lihat E Dialogue ‚Creating an Inclusive Society: Practical Strategies to Promote
Social Integration‛, http//www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive
_society/social%20relations.htm diakses tanggal 12 Januari 2013.
6
3. Rumusan Masalah
Konteks Tegalombo dapat menjadi salah satu referensi mempelajari
dinamika relasi antar kelompok agama berbeda (Islam dan Kristen) baik dalam
melihat perdamaian maupun ketegangan yang terjadi dari interaksi keduanya dengan
melihat pola-pola hubungan sosial-keagamaannya yang berbasis pada tradisi dan
budaya. Oleh karenanya rumusan masalah dalam tesis ini adalah “Bagaimana relasi
antar kelompok agama berbeda yang berbasis budaya dapat membangun kerukunan
yang berkelanjutan? Rumusan masalah tersebut selanjutnya diturunkan dalam
pertanyaan sebagai berikut:
1) Apa faktor dominan yang mendorong perdamaian dan memicu ketegangan
antara kelompok Islam dan Kristen?
2) Bagaimana pola relasi antara kelompok Islam dan Kristen dalam membangun
dan merawat kerukunan?
18
Richard Fletcher, The Cross and The Crescent: The Dramatic Story of The
Earliest Encounters Between Christians and Muslims (New York: Penguin, 2005).
19
Richard Fletcher, The Cross and The Crescent: The Dramatic Story of The
Earliest Encounters Between Christians and Muslims, 40-44.
20
Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen (Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2006).
7
menyebutkan enam konteks relasi Islam-Kristen. Pertama, relasi Islam-Kristen
didekati melalui konteks politik demokrasi yang membahas soal Piagam Jakarta,
soal pemilu 1971, soal partai-partai agama yang difusikan, hingga soal sidang MPR
tahun 1973.
Kedua, relasi Islam-Kristen didekati dalam konteks konflik terkait dengan
kebijakan-kebijakan yang menyangkut keagamaan, seperti Undang Undang (UU)
pembangunan rumah ibadah, UU perkawinan, dan kebijakan soal eks-tapol komunis.
Ketiga, perjumpaan intensif Islam-Kristen dalam berbagai kebijakan pembangunan
Orde Baru, seperti pembentukan MUI, UU pernikahan beda agama, soal azas
tunggal, soal RUU pendidikan 1998, hingga persoalan RUU peradilan agama.
Keempat, terkait dengan berbagai kerusuhan yang terjadi di akhir pemerintahan
Orde Baru hingga soal pembentukan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia).21
Kelima, perjumpaan Islam-Kristen dalam dunia literatur. Ia melihat dua
jenis pembicaraan tentang Islam-Kristen, antara lain tulisan yang cenderung
apologetis-polemis dan tulisan yang cenderung ironis-dialogis. Dua jenis tulisan ini
dipakainya untuk menjelaskan berbagai kecenderungan perspektif tentang relasi
Islam dan Kristen dalam diskursus akademis.22 Keenam, secara khusus Aritonang
melihat kemungkinan wacana dialogis menjadi proyek bersama melalui seminar
agama-agama.
Dari karya ini kita bisa melihat jejak ideologi Islam dan Kristen yang
mengemuka sebagai bagian dari etika hubungan masyarakat dan negara. Hal ini
penting untuk mendeteksi sejauh mana pola-pola ideologi relasi Islam-Kristen yang
dikembangkan negara mempengaruhi pola relasi Islam-Kristen di tingkat akar
rumput. Pendekatan yang dilakukan oleh Aritonang sangat membantu memposisikan
relasi Islam-Kristen dalam konteks fenomena kultural tertentu. Akan tetapi, rumusan
inisiasi konsep teologis dengan cara melibatkan fungsionaris agama sangat relevan
dengan konteks Tegalombo yang juga melibatkan pemuka agama dalam proses
menghidupi relasi damai Islam-Kristen di sana. Kemungkinannya, perlu kerangka
teoritis yang mampu menjembatani dua kebutuhan tersebut, agar secara metodologis
kita dapat membuat rumusan model relasi damai Islam-Kristen yang diperoleh dari
konteks kultural di Tegalombo.
Konteks perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia lainnya dapat ditemukan
dalam disertasi M. Arfah Shiddiq yang berjudul Konflik dan Konformitas Antara
Islam dan Kristen: Studi Tentang Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia
1966-1992.23 Disertasi ini merupakan penelitian kepustakaan yang menjabarkan
tentang konsep hubungan antar umat beragama, pengalaman dari Islam dan Kristen
21
Lihat juga Syamsul Hadi, Andi Widjayanto, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru:
Negara, Konflik, dan Dinamika Internasional (Jakarta :Yayasan Obor Indonesia kerjasama
dengan Centre for International Relation Studies (CIReS), 2007).
22
Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen, 480.
23
M. Arfah Shiddiq, Konflik dan Konformitas Antara Islam dan Kristen: Studi
Tentang Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia 1966-1992 (Jakarta: Disertasi UIN
Syarif Hidayatullah, 2000).
8
di Indonesia. Arfah memberikan kesimpulan bahwa konflik antara Islam dan Kristen
memiliki intensitas yang cukup tinggi dengan spektrum yang luas dibanding konflik
kedua agama dengan agama lainnya. Penyebab terjadinya konflik keduanya adalah
karena faktor doktrinal, historis politis dan isu kristenisasi.
Pertama, faktor doktrinal, yaitu doktrin keagamaan keduanya yang sama-
sama eksklusif dan dipahami secara fanatik, seperti doktrin keesaan Tuhan, doktrin
tentang dosa, doktrin tentag penebusan dosa, doktrin tentang Yesus dan Isa, doktrin
keselamatan, dimana dalam kedua agama sangat fundamen perbedaanya. Kedua,
faktor historis-politis, dari Perang Salib dan dilanjutkan kolonialisme Barat (Kristen)
yang ditengarai melakukan penyebaran agama Kristen. Ketegangan juga terjadi
secara politik, ketika merumuskan ideologi negara, yang termaktub dalam Piagam
Jakarta. Begitu juga pemberlakukan syariat Islam pasca dekade 50-an dikhawatirkan
muncul kembali melalui dominasi mereka setelah PKI dibubarkan. Ketika Islam
sibuk menumpas sisa PKI, umat Kristen memanfaatkannya dengan melancarkan
kristenisasi guna menghimpun kekuatan baik yang berasal dari bekas anggota PKI
(Partai Komunis Indonesia) maupun dari pemeluk lain, khusunya Islam.24
Ketiga, kristenisasi. Isu kristenisasi menjadi isu dan faktor konflik Kristen
dan Islam, bermula tahun 1966, peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru kegiatan
kristenisasi meningkat pesat dengan membangun gereja, sekolah-sekolah di
pemukiman mayoritas Islam serta membujuk orang miskin dengan bantuan pangan,
pakain dan obat-obatan. Awalnya reaksi Muslim hanya sebatas pengaduan ke
pemerintah, namun ketika tidak ditanggaapi berubah menjadi tindakan kekerasan
berupa perusakan gereja dan sekolah Kristen.
Namun di sisi lain, relasi kedua agama menunjukkan adanya konformitas
karena faktor titik temu ajaran dan budaya serta proses dialog antar umat beragama.
Pertama, faktor titik temu ajaran agama. hal ini mengacu pada kedua doktrin agama
yang sama-sama mempunyai ajaran untuk mengatur hubungan antar agama. Kedua,
pendekatan budaya sangat penting untuk melihat konformitas Islam dan Kristen
ditengah masyarakat yang pluralistik25.
Hampir sama dengan apa yang dilakukan Aritonang, disertasi ini
memberikan data sejarah relasi keduanya dalam ideologi, sosial, politik dan
kebudayaan yang diwarnai ketegangan dan konformitas. Terkait dengan
konformitas, karya ini tidak secara detail memberikan bukti dan analisa atas budaya
serta dinamika sosial-kultural di masyarakat yang menjadi kunci konformitas Islam
dan Kristen. Karya ini belum menjawab budaya seperti apa yang menjadi faktor kuat
konformitas, dan seperti apa pola-pola relasi yang dihasilkan dari kebudayaan yang
menghidupi konformitas antara Islam dan Kristen.
24
M. Arfah Shiddiq, Konflik dan Konformitas Antara Islam dan Kristen, 111.
25
Pembicaraan mengenai kebudayaan nasional sudah dimulai sejak kemerdekaan
dengan terjalinnya persatuan bangsa dengan ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila tidak
hanya monopoli pemerintah namun juga masuk dalam lembaga keagamaan, baik Islam
maupun Kristen. M. Arfah Shiddiq, Konflik dan Konformitas Antara Islam dan Kristen,
187.
9
Informasi kontekstual yang tidak kalah penting adalah soal konteks
berteologi di Indonesia. Berteologi tidak sekadar memakai isu agama sebagai arena
diskursus berbagai kepentingan. Lebih jauh, berteologi berarti mengadaptasikan
bahasa agama (sacred) dalam bahasa sosial (profane). Dalam buku Konteks
Berteologi di Indonesia26, Azyumardi Azra mencoba menyusun bingkai teologis
yang dipakai oleh umat Islam dalam berbagai dinamika sosialnya. Secara khusus
Azyumardi membahas soal kemungkinan relasi damai antar umat beragama yang
diinisiasi oleh konsep teologis Islam.
Dalam hal ini, Azyumardi memposisikan fungsionaris agama sebagai
penjaga konsep teologis (guardian the faith)27 yang dipahami oleh umatnya. Ia
melihat kesulitan yang sering dialami oleh fungsionaris agama memaknai konsep
teologi Islam yang justru memposisikannya dalam kondisi ambigu. Satu sisi, ia
memiliki kerangka teologis yang mengakui keragaman dan keharusan toleransi, dan
di sisi lain konsep teologi yang sampai di Indonesia dipenuhi dengan doktrin yang
incompatible yang tidak kondusif untuk dialog.28
Azyumardi mencoba merumuskan model-model dialog yang bisa
mempengaruhi konsep teologis para fungsionaris agama tersebut. Model-model ini
diinisiasi oleh akademisi dan melibatkan fungsionaris agama. Ada empat model
yang dia sebutkan. Pertama, dialog parlementer yang melibatkan ratusan peserta
yang fokus dalam menciptakan dan mengembangkan kerjasama yang lebih baik
antar umat beragama. Kedua, dialog kelembagaan yang melibatkan perwakilan-
perwakilan institusi agama. Ketiga, dialog teologi yang dilakukan oleh lembaga
akademis dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang konsen pada isu teologi
dan filsafat agama. Keempat, dialog dalam masyarakat dan dialog kehidupan yang
umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian “hal-hal praktis” dan “aktual” dalam
hubungan antar agama sehari-hari.29 Tampaknya model dialog keempat yang
disebutkan Azyumardi sangat relevan atau paling dekat dengan konteks di
Tegalombo.
Kajian lain terkait relasi Islam-Kristen di Indonesia dalam konteks konflik
dan sikap saling terancam dapat dilihat dari karya Mujiburrahman Feeling
Threatened; Muslim-Christian Relathionship In Indonesia‟s New Order30. Buku ini
memberikan fakta dan analisa sejarah terkait hubungan kedua agama yang
cenderung merasa saling terancam. Kelompok Islam merasa terancam dengan
kristenisasi yang dianggap tidak adil dan cenderung agresif untuk mengkristenkan
orang Muslim ke Kristen melalui berbagai cara seperti dengan menawarkan bantuan
uang, makanan, pendidikan, dan kesehatan, membangun sebuah gereja di daerah
mayoritas Muslim dsb. Dalam pandangan kelompok Islam, kristenisasi juga
dianggap sebagai sebuah konspirasi politik Kristen dengan musuh-musuh Islam
26
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam.
27
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 57.
28
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 59.
29
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 62-63.
30
Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s
New Order (Leiden: Amsterdam University Press, 2005).
10
lainnya, khususnya sekularis, dalam dan luar negeri, untuk melemahkan kelompok
Islam secara budaya, politik dan ekonomi.
Jika kelompok Muslim merasa tidak aman dan terancam oleh praktek
kristenisasi, pihak Kristen merasakan ancaman dari cita-cita sebuah Negara Islam.
Setelah PKI secara fisik dan politik hancur di akhir 1960-an, kelompok Islam
merasa lebih percaya diri dalam mengejar ambisi ideologis mereka. Bagi mereka,
hidup di sebuah negara Islam di mana hukum syari'ah dilaksanakan akan
menyebabkan umat Kristen berubah menjadi warga kelas dua. Oleh karenanya
sebagai penganut agama yang minoritas dibandingkan umat Islam, penganut Kristen
lebih memilih pandangan politik sekuler pemisahan agama dan negara.
Mujiburrahman menilai bahwa isu kristenisasi dan isu akan terciptanya
pemerintahan Islam di indonesia tidak terlepas dari berbagai masalah terkait
kebebasan menyiarkan agama, kebebasan beribadah, kebebasan mengikuti atau tidak
mengikuti pelajaran agama di sekolah, kebebasan menerima bantuan dari luar negeri
dan kebebasan perkawinan antaragama. Kebebasan beragama di Indonesia sendiri
merupakan sesuatu yang rumit dan kompleks dimana persoalan agama merupakan
persoalan politik yang mencakup intepretasi ideologi pancasila dan hukum negara
Indonesia
Senada dengan Mujiburrahman, Sudarta dalam bukunya Konflik Islam-
Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia
menjelaskan bahwa kegiatan penginjilan pada masa Kolonial Belanda merupakan
pemicu ketegangan Islam dengan Kristen, dimana saat itu misionaris mendapat
bantuan besar dari Belanda, baik politik maupun finansial.31 Sedangkan dari sisi
politik, Sudarta melihat bahwa pada masa Orde Lama ketegangan antar keduanya itu
mencuat saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang konstituante hasil pemilu
1955. Dalam pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan tujuh kata yang bernuansa
islami, yang oleh kaum Kristen dianggap sebagai upaya pembentukan negara Islam,
meskipun pada akhirnya ke-tujuh kata tersebut dihapuskan.
Dinamika relasi Islam dan Kristen sebagaimana telah diuraikan di atas
menunjukkan kepada kita bahwa terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi
relasi konflik maupun damai. Buku-buku tersebut tidak mengeksplorasi secara
mendalam model yang terbentuk atas hubungan yang harmonis antar umat
beragama, khususnya Islam dan Kristen. Istilah model sendiri sebenarnya merujuk
pada rumusan pola-pola relasi antaragama yang diperkenalkan Paul Knitter dalam
bukunya, Introducing to Theologies of Religions.32 Keempat model itu adalah model
penggantian, model pemenuhan, model mutualitas, dan model penerimaan.
Dalam menguraikan model-model tersebut, Knitter berangkat dari perspektif
dogma-dogma Kristiani yang sekaligus mencerminkan tahapan evolutif dalam ranah
interpretasi normativitas agama Kristen. Pertama, model penggantian total, yaitu
hanya satu agama yang benar. Model ini memberikan pandangan bahwa satu-
31
Sudarta, Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar Umat
Beragama di Indonesia (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 79-80.
32
Paul Knitter, Introducing to Theologies of Religions (New York: Orbis Book,
2002).
11
satunya agama yang benar adalah agama Kristen sebagai cerminan perspektif awal
para pemeluk agama Kristen terhadap agama-agama lain. Knitter mencatat bahwa
model ini masih merupakan arus besar keberagamaan umat Kristen hingga saat ini,
terutama aliran fundamentalisme dan evangelisme.33 Dalam tradisi Kristen, model
ini merujuk pada prinsip extra ecclesium nulla salus (tidak ada keselamatan di luar
gereja). Sementara sebagai landasan dalam Islam kita temukan dalam salah satu
ayat, seperti ‘Ali Imra>n ayat 19 yang berarti “Sesungguhnya agama (yang benar) di
sisi Allah adalah Islam”.
Kedua, model pemenuhan; yang satu menyempurnakan yang banyak.
Knitter menulis, “Model ini menawarkan satu teologi yang dapat memberikan bobot
yang sama kepada kedua keyakinan dasar Kristiani yang telah kita dengar bersama:
bahwa kasih Allah itu universal, ditujukan kepada semua bangsa, namun kasih itu
juga partikular, diberikan secara nyata dalam Yesus Kristus.”34 Landasan
epistemologi-teologis tentang kasih “universal” dan “partikular” ini juga dikenal
dalam tradisi Islam, misalnya dalam perbincangan seputar dua sifat Allah: al-rahma>n
dan al-rahi>m. Pada prinsipnya umat Islam meyakini bahwa Allah memberikan kasih
sayang kepada seluruh umat manusia, namun juga bersifat al-rahi>m yang terbatas
kepada umat yang beriman saja.
Ketiga, model mutualitas. Model ini merupakan kebalikan dari model
pemenuhan. Model ini memerlukan keseimbangan posisi agar terjalin jalan dialog
yang baik di antara agama-agama. Model mutualitas memang bukanlah arus utama,
tetapi ia tetap merupakan bagian penting dari pola relasi antaragama, terutama dalam
kisaran wacana pluralisme. Keempat, model penerimaan: banyak agama yang benar.
Model ini menjadi paradigma utama sejak abad ke-20 karena ia berusaha untuk
“menerima diversitas nyata dari semua agama”. Sebagai model yang paling inklusif,
ada usaha-usaha untuk penyeimbangan relasi dan dialog antaragama bukan dengan
cara menonjolkan superioritas sebuah agama atau mencari sesuatu yang sama dari
7
setiap agama.
Model relasi di atas juga sangat dipengaruhi sikap keberagaman individu
atau kolektif masyarakatnya. Mengenai sikap keagamaan manusia dalam konteks
pluralisme agama, Raimundo Panikkar, mengklasifikasi tiga macam sikap
keagamaan manusia: eksklusif, inklusif dan paralel/ plural. Sikap ekslusif artinya
seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang benar, sementara yang
lain salah; sikap inklusif artinya seseorang beranggapan, bahwa agamanya yang
paling benar, tetapi agama lain juga mengandung kebenaran; sikap plural artinya,
seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung kebenaran
masing-masing.22
Dalam konteks Tegalombo, relasi antar kelompok agama yang bersifat
damai dapat didekati dengan salah satu dari model maupun sikap keagamaan di atas.
Apa yang dimaksud dengan relasi damai Islam-Kristen di Tegalombo adalah ketika
33
Knitter, Introducing to Theologies of Religions, 21.
34
Knitter, Introducing to Theologies of Religions, 73.
22
Raimundo Pannikar, The Intrareligious Dialogue (New Jersey: Paulist Press,
1999), 18.
12
konsep kultural dapat mempertemukan kedua umat beragama dalam suatu tindakan
yang bermakna teologis. Seperti contoh penyembelihan hewan merupakan hal yang
bersifat kultural (profane). Akan tetapi ketika orang Kristen melibatkan orang Islam
dan memaknai tindakan menyembelih sebagai bagian dari keyakinan teologis, maka
penyembelihan ini bermakna sakral (sacred). Dengan melihat dan mengkaji banyak
fenomena sosial dan keagamaan, kita akan dapat menemukan model relasi damai
antar agama dari interaksi umat Islam dengan umat Kristen di Tegalombo.
D. Tujuan Penelitian
Secara khusus penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, mengidentifikasi
dan menganalisa akar ketegangan dan perdamaian dalam relasi antara kelompok
Islam dan Kristen. Kedua, menyajikan fenomena relasi antar kelompok agama
berbeda yang berbasis pada budaya dalam membangun dan merawat kerukunan.
E. Manfaat Penelitian
Secara akademik, penelitian ini memperkuat bukti terkait pentingnya peran
budaya dalam memperkuat kohesi sosial dan kerukunan antar umat beragama
sebagaimana yang dikemukakan John Haba dalam Revitalisasi Kearifan lokal: Studi
Resolusi konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso (2007) dan Elise Boulding,
Cultures of Peace: The Hidden Side of History (2000). Tesis ini juga sejalan dengan
pandangan pluralis Kristen (John Hick, Paul Knitter, Frithjof Schuon, Raimundo
Panikar) dan Muslim (Abdul Aziz Sachedina, Farid Esack) yang menggarisbawahi
bahwa sikap keagamaan yang inklusif dan toleran menjadi modal dasar dan penting
untuk membangun dialog antaragama sebagai fondasi membangun dan merawat
kerukunan umat beragama (religious harmony). Penelitian ini ingin memberikan
bukti bahwa persepsi dan mitos yang keliru tentang agama lain dapat menyeret umat
beragama dalam situasi konflik. Sebaliknya, kerjasama antar kelompok agama
berbasis budaya yang mengedepankan penerimaan terhadap eksistensi agama lain
dapat berkontribusi pada upaya mewujudkan kebebasan beragama dan
berkeyakinan.
F. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah desa Tegalombo kecamatan Dukuhseti yang
terletak di pesisir utara Kabupaten Pati. Kecamatan Dukuhseti sendiri merupakan
kecamatan di ujung utara Pati yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Jepara.
Untuk mencapai Desa Tegalombo kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km
arah utara dari kota Pati. Desa ini berpenduduk 5969 jiwa dengan komposisi
berdasarkan agama yaitu 71,9% (4294 jiwa) beragama Kristen dan 28,1% (1675
jiwa) beragama Islam.35 Tegalombo terbagi dalam tiga (3) pedukuhan yaitu
Margorejo, Krajan dan Tawang Rejo. Margorejo merupakan dukuh dengan basis
pemeluk Kristen yang mencapai 1922 atau 32,1 % dari total penduduk Tegalombo.
Di Krajan yang terletak di sebelah utara Margorejo komposisi penduduknya adalah
35
Laporan Monografi desa Tegalombo tahun 2012.
13
58,9% beragama Kristen dan 41,0% beragama Islam. Sementara di Tawang Rejo
dusun yang berbatasan langsung dengan laut Jawa ini penduduk yang beragama
Kristen berjumlah 1185 (59,1%) dan 796 jiwa (40,1%) memeluk Islam.
Desa Tegalombo pada mulanya merupakan „desa persil‟ yang didirikan oleh
misionaris Pieter Antonia Jansz pada tahun 1883 sebagai tempat pelayanan dan
pusat pekabaran Injil di wilayah Pati Utara. Dalam perspektif relasi Islam-Kristen,
desa ini cukup relevan untuk menyajikan narasi hubungan sosial-keagamaan baik
yang mengarah pada harmoni maupun ketegangan. Dari desa ini kita akan
mendapati bagaimana model relasi antar agama berbasis pada kekuatan budaya
mampu mendorong hubungan antar kelompok agama berbeda bisa tumbuh dalam
perdamaian yang berkelanjutan.
36
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001)
179-181.
14
untuk melihat kondisi geografis, pola kehidupan sehari-hari penganut Muslim dan
Kristen, interaksi antar masyarakat, budaya dan tradisi masyarakat, kegiatan ibadah,
dan lain sebagaianya. Sedangkan dalam wawancara, peneliti melakukan komunikasi
secara langsung dengan informan, baik tokoh agama, pengurus masjid dan gereja,
tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan, jemaat gereja, jamaah masjid, serta
anggota masyarakat yang dapat memberikan informasi sesuai tujuan penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan, penelitian ini terdiri dari lima bab. Data-data di
lapangan yang menjadi sumber penelitian dituangkan ke dalam beberapa bab dan
sub bab yang tersusun dalam sistematika penulisan. Berikut sistematika penulisan
penelitian ini:
Bab pertama berisi pendahuluan yang didalamnya dikemukakan latar
belakang sebagai bentuk kegelisahan akademik penulis atas sebuah permasalahan
untuk dijadikan obyek penelitian. Dari sini kemudian ditentukan pokok-pokok
permasalahan yang dirinci ke dalam identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan
kemudian dirumuskan menjadi masalah utama penelitian. Dari sini selanjutnya
dipaparkan tujuan dan manfaat penelitian baik secara akademik maupun praktis.
Setelah itu akan diuraikan penelitian sebelumnya yang relevan dengan fokus
penelitian. Kemudian dipaparkan juga metode penelitian sebagai cara memperoleh
dan menganalisa data-data lapangan. Bagian terakhir bab pertama ini adalah
menjabarkan sistematika penulisan sebagai garis besar isi penelitian.
Perdebatan akademik tentang konteks teologis dan sosiologis relasi antar
umat beragama tersaji di bab dua. Bab ini diawali dengan menjelaskan tipologi sikap
keagamaan sebelum beranjak pada diskusi tentang titik temu dan titik seteru relasi
Islam-Kristen. Bab ini diakhiri dengan pembahasan tentang peluang rekonsiliasi
konflik melalui dialog antaragama.
Pokok kajian tesis disajikan dalam bab tiga dan empat. Bab tiga secara
umum menyajikan narasi tentang evangelisme dan amar ma’ruf nahi< munkar.
Evangelisme di Tegalombo akan menjadi pembuka pada bab ini yang menuturkan
sejarah evangelisme dan kondisi gereja maupun umat Kristen saat ini. Setelah itu
akan disajikan bagaimana upaya revitalisasi penduduk Muslim Tegalombo.
Pandangan tokoh agama tentang konsep misi atau dakwah akan menguraikan
tentang konsep teologis dalam membangun relasi antar agama. Bab ini juga
menganalisa fakta pertambahan penduduk secara alamiah dan konversi yang
memberikan narasi demografi agama. Sebagai penutup bab tiga ini akan dibahas
15
mengenai agama dan kontestasi politik untuk melihat relasi agama dengan
kepentingan politik.
Bab keempat akan menyajikan fenomena perdamaian dan ketegangan dalam
relasi antara kelompok Islam dan Kristen yang dituliskan secara analitis. Relasi
harmoni antara Islam dan Kristen dan faktor pendukungnya dapat ditemukan dari
analisa data-data berbagai fenomena kehidupan sosial-keagamaan. Sementara
ketegangan yang lahir dari kontestasi terangkum dalam pembahasan tentang jejak
konflik antara kelompok Islam dan Kristen. Bab ini diakhiri dengan refleksi dan
prediksi masa depan relasi Islam- Kristen.
Bab kelima, sebagai bab penutup berisi uraian kesimpulan dari bab
sebelumnya. Selain itu, bab ini juga berisi rekomendasi yang dapat digunakan untuk
pertimbangan dalam khazanah akademik maupun praktis dalam membangun relasi
damai antar umat beragama.
16