Anda di halaman 1dari 2

Sejalan dengan berlalunya waktu, hubungan antara Giran dan Puti Rasani juga semakin dalam.

Benih-
benih cinta di hati keduanya telah tumbuh dengan suburnya. Dukungan dan persetujuan keluarga kedua
belah pihak seolah pupuk yang membuat benih cinta di hati mereka menumbuhkan bung-bunga indah
yang mewarnai jalan hidup keduanya dan semakin melambungkan harapan akan kebahagiaan yang akan
diraih kala mereka berdua telah bersatu sebagai suami istri kelak.

Pada saat musin panen tiba, seperti biasa Giran membantu di sawah milik Bujang Sambilan. Bujang
Sambilan pun merasa senang karena dengan demikian pekerjaan mereka bisa cepat selesai. Pada saat
tengah hari, Puti Rasani datang mengantarkan makan siang yang dengan segera dihabiskan bersama
oleh mereka dalam suasana keakraban dan penuh canda tawa.

Seperti yang sudah berlangsung pada masa panenan terdahulu, sebagai wujud rasa syukur para petani
karena hasil panenan yang berlimpah, diadakanlah keramaian di sana. Berbagai pertunjukan digelar.
Kedai-kedai dadakan yang menjual kue-kue dan berbagai penganan yang lezat dan juga barang-barang
lainnya bertebaran di seantero lapangan yang menjadi ajang dilaksakannya keramaian tersebut. Macam-
macam pertandingan juga diadakan untuk meramaikan suasana.

Dari berbagai macam pertandingan, yang paling menyedot perhatian pengunjung adalah pertandingan
seni bela diri yang dalam bahasa setempat disebut silek. Banyak pemuda yang turun ke gelanggang
untuk memamerkan kemahirannya dalam seni bela diri tersebut dengan berusaha menjatuhkan
lawannya. Tak terkecuali Bujang Sambilan dan Giran juga turun dalam pertandingan silek tersebut.

Babak demi babak dilalui dengan baik. Ada yang menang dan ada pula yang kalah. Tak sedikit pula yang
cedera karena tidak berhati-hati dalam menghadapi lawan. Di antara Bujang Sambilan, rupanya
Malintanglah yang paling piawai dalam bersilek, sehingga Malintang bisa sampai di babak puncak. Di lain
pihak, Giran pun tidak kalah lihainya, sehingga Giran juga maju sebagai finalis dan akan berhadapan
dengan Malintang untuk menentukan pemenang tunggal pertandingan tersebut.

Ketika tiba waktunya, berhadap-hadapanlah kedua pemuda tersebut di tengah kalangan. Para penonton
yang memenuhi arena ramai bersorak sorai mengelu-elukan jagoannya masing-masing. Ketika wasit yang
memimpin pertandingan tersebut memberi tanda, mulailah keduanya saling menyerang dengan ilmu
andalannya masing-masing. Cukup lama keduanya tampak seimbang, ketika tidak lama kemudian
tampak bahwa Malintang mulai unggul. Meskipun demikian, di mata para pendekar yang juga menjadi
guru silek pemuda-pemuda di daerah itu, jelas tampak bahwa Giran tidak melayani serangan-serangan
Malintang dengan bersungguh-sungguh. Rupanya Giran merasa tidak enak hati kalau harus mengalahkan
Malintang yang nantinya akan menjadi kakak iparnya itu.

Karena setelah sekian lama belum ada yang betul-betul kalah dalam pertandingan antara Malintang dan
Giran itu, disepakatilah untuk menghentikan pertandingan selama beberapa saat untuk memberikan
kesempatan memulihkan tenaga bagi kedua petarung itu. Pada saat jeda itulah, Pandeka Rayo, guru silat
Malintang memberitahukan kepada Malintang kalau Giran tidak bersungguh-sungguh melawannya dalam
pertandingan itu. Tujuan Pandeka Rayo sebetulnya baik, karena diharapkan Malintang pun jangan sampai
terlalu keras dalam melakukan serangan-serangannya. Tapi apa hendak dikata, informasi yang
diterimanya dari Pandeka Rayo justru menyulut kemarahan Malintang yang pada dasarnya memang
seorang yang tinggi hati. Dia menganggap Giran meremehkannya karena tidak menyerangnya secara
bersungguh-sungguh.

Karena itu, ketika jeda istirahat selesai, Malintang segera melompat ke tengah gelanggang dan berteriak
ke arah Giran, mengejek dan menantangnya. Giran dengan tenang maju ke tengah arena dan sebelum
Giran betul-betul siap, Malintang sudah melakukan serangan bertubi-tubi ke arahnya dengan jurus-jurus
yang mematikan sehingga penontonpun banyak yang berteriak terkejut. Untunglah Giran masih mampu
mengelakkan semua serangan Malintang dengan baik. Sama seperti sebelumnya, Giran tetap berhati-hati
dalam melayani setiap serangan Malintang. Melihat kalau Giran selalu hanya berusaha menghindari
serangannya, hati Malintang semakin panas sehingga serangannya juga semakin gencar. Akhirnya di
suatu ketika, Giran agak terdesak. Malintang yang melihat hal itu segera melancarkan sebuah tendangan
yang mematikan ke arah kepala Giran. Giran yang tidak melihat adanya celah untuk menghindar,
terpaksa menangkis tendangan itu dengan tangannya. Dan . . . akibatnya adalah Malintang sendiri yang
terpental dengan tulang kaki patah akibat benturan tenaga keduanya. Dari sini jelas bahwa sebetulnya
penguasaan kemampuan basilek Giran jauh lebih baik dari Malintang.

Anda mungkin juga menyukai