Anda di halaman 1dari 6

Sebatik, Pulau Kecil Kaya yang Nyaris Terabaikan

oleh Yulita Rizki Prawidyanti*

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia.


Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan, jumlah pulau di Indonesia saat ini
diketahui mencapai 17.480. Jumlah ini kemungkinan akan berkurang karena angka
sebelumnya itu hanya estimasi dengan menggunakan satelit. Hal ini dinyatakan oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi saat memaparkan Kinerja Lima Tahun Sektor
Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Rabu 26 Agustus 2009. Sejauh ini jumlah pulau milik
Indonesia yang telah diberi nama dan terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sebanyak 4.981. Sisanya, menurut Freddy, akan selesai diberikan nama dan didaftarkan ke
PBB pada tahun 2012.1 Di antara ribuan pulau tersebut, terdapat beberapa pulai kecil yang
menjadi perbatasan Negara. Pulau – Pulau Kecil Perbatasan (PPKB) yang berada di kawasan
perbatasan Negara jumlahnya mencapai 92 buah pulau. Menurut pasal 8 UU No. 43 Tahun
2008 tentang Negara Wilayah yakni secara yurisdiksi berbatasan dengan wilayah yurisdiksi
Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan
Vietnam.2
Potensi pulau-pulau kecil di Indonesia diperkirakan mencapai 10.000 pulau dari
sejumlah 17.508 pulau (Kusumastanto, 2003). Wilayah gugusan pulau-pulau terpencil
tersebut secara ekonomis mempunyai potensi yang sangat kaya akan lahan yang cukup luas,
sumber laut, sumber daya tambang, dan pariwisata. Namun, saat ini, pembangunan nasional
belum tersebar secara merata hingga ke pulau-pulau terpencil di wilayah perbatasan. Pulau-
pulau ini belum tersentuh oleh proses pembangunan, keterbatasan akses informasi,
komunikasi, penerangan, dan teknologi masih tinggi, apalagi perkembangan teknologi.
Akibatnya tidak jarang masyarakat pulau-pulau kecil masih jauh tertinggal dari kemajuan
bidang sosial, ekonomi, dan budaya dari daerah lain. Bahkan beberapa diantaranya mulai
mengadopsi budaya dari negara tetangga. Hal ini jika terus dibiarkan akan mengancam
kesatuan NKRI karena pulau-pulau tersebut merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah.
1
ANTARA. “Jumlah Pulau RI Akan Berkurang” diambil dari
http://www.kp3k.dkp.go.id/mitrabahari/index.php?option=com_content&view=article&id=174:jumlah-pulau-ri-
akan-berkurang&catid=1:terkini&Itemid=69 pada tanggal 4 Maret 2010.
2
Karim, Muhammad. “Eksistensi Pulau – Pulau Kecil Di Kawasan Perbatasan Negara” diambil dari
http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/TOPIK%20UTAMA%20EKSISTENSI%20PULAU_pa
%20muhammad%20karim-new.pdf pada tanggal 4 maret 2010.
1
Padahal, jika berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, pulau-pulau terpencil
ini bukan saja akan menjadi sumber pertumbuhan baru, melainkan sekaligus akan
mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah dan kelompok sosial.
Minimnya perhatian pemerintah (baik pusat maupun daerah) Indonesia terhadap
pulau-pulau ini akan menyebabkan penduduk setempat terkikis nasionalismenya. Rasa cinta
mereka terhadap Indonesia akan berkurang. Pada akhirnya rasa nasionalisme mereka akan
semakin luntur bahkan pupus, dan dengan demikian secara praktis kebanggaan menjadi
bagian dari NKRI pun dapat hilang. Mereka tidak akan lagi merasa sebagai warga Indonesia.
Kondisi yang demikian akan sangat membahayakan bagi ketahanan dan integritas nasional.
Penguatan semangat kebangsaan dan menjaga kedaulatan NKRI sangat erat kaitannya dengan
pemberdayaan kawasan perbatasan, baik di wilayah daratan maupul pulau-pulau terluar.
Karena itu demi menjaga keutuhan NKRI dan memelihara semangat kebangsaan, sangatlah
relevan dan penting bagi pemerintah agar memberikan perhatian khusus atas kawasan-
kawasan perbatasan dan wilayah pulau-pulau kecil di wilayah terluar Nusantara.
Indonesia seharusnya belajar dari tragedi-tragedi lepasnya pulau-pulau kecil di
perbatasan yang dirampas oleh Negara tetangga. Setidaknya, ada empat kasus yang
"memaksa" pemerintah mulai memberikan perhatian lebih terhadap pulau-pulau kecil di
perbatasan Negara, yakni sengketa kepemilikan pulau Sipadan-Ligitan (2002), eksodus
ratusan ribu tenaga kerja, sengketa blok Ambalat (2005), dan Asykar Wataniah (2007).
Lepasnya dua PPKB yakni Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia merupakan pelajaran
besar bagi Bangsa Indonesia. Walaupun menurut perjanjian Inggris dan Belanda, kedua pulau
tersebut masuk wilayah Indonesia, tetapi Mahkamah Internasional lebih menitikberatkan
pada bukti peranan Malaysia di Sipadan-Ligitan.
Indonesia akhirnya harus melepaskan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada
Malaysia, setelah Mahmakah Internasional (MI) memutuskan sebuah keputusan final dan
mengikat mengenai kepemilikan kedua pulau tersebut. Sidang MI berlangsung di Den Haag,
Belanda, dimulai pukul 10.00 waktu Den Haag atau sekitar pukul 16.00 WIB, dan berakhir
sekitar pukul 17.50 WIB dipimpin Gilbert Guillaume dari Perancis. Sementara itu pukul
18.30 WIB, Menlu Hassan Wirajuda langsung memberikan keterangan pers mengenai
jalannya persidangan tersebut. Dalam sidang itu, MI telah memutuskan bahwa Malaysia
memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Tiga aspek utama yang dijadikan alasan
Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia yakni keberadaan secara terus menerus
(continuous presence), penguasaan efektif (effective occupation), dan pelestarian ekologis

2
(ecology preservation). Indonesia lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia.
Berdasarkan pertimbangan Effectivitis, Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan
pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal
1960-an. Meskipun MI menolak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas
kedua pulau tersebut berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu),
tetapi MI menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891, yang dinilai
hanya mengatur perbatasan dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4 menit 10 detik
LU ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai Timur Pulau Sebatik
sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah
sejauh 3 mil. Dari kejadian ini seharusnya Indonesia belajar, bahwa mempertahankan
eksistensi PPKB dalam kepemilikan NKRI tidak cukup hanya dengan mengatur perbatasan
Negara. Namun, Indonesia harus memberikan perhatian lebih terhadap keberlangsungan dan
kesejahteraan warga di pulau-pulau tersebut.
Salah satu pulau kecil perbatasan yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah
Pulau Sebatik. Pulau Sebatik merupakan pintu gerbang Indonesia di Kalimantan, tepatnya
berada di bagian Utara Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Negeri
Sabah Malaysia. Uniknya, status kepemilikan pulau itu terbagi dua, wilayah utara pulau itu
seluas 187,23 Km2 menjadi milik Malaysia, sedang wilayah bagian selatan seluas 246.61 Km2
adalah milik Indonesia. Di Desa Aji Kuning Pulau Sebatik, sedikitnya terdapat 300 kepala
keluarga yang berada tepat di garis perbatasan Indonesia dan Malaysia. Bahkan ada rumah
warga yang berlokasi tepat di garis perbatasan sehingga ruang tamunya masuk wilayah
Indonesia, sedangkan dapurnya ada di Malaysia. Tidak mengherankan juga kemudian sering
muncul isu internasional menyangkut status kepemilikan Pulau Sebatik, yang mengakibatkan
hubungan Indonesia dan Malaysia memanas dan mengalami pasang surut. Namun
masyarakat Sebatik dan Tawau Malaysia tak terpengaruh, mereka tetap menjalankan
hubungan yang harmonis, karena sebagian penduduk Sebalik dan Tawau ternyata masih
bersaudara, mereka sama-sama berasal dari Bugis.

3
Gambar 1. Posisi Pulau Sebatik

Potensi kekayaan alam pulau Sebatik amat besar, terutama penghasilan sawit dan
perikanan. Sayangnya kekayaan alam yang diperoleh dari jutaan ikan di laut dan darat berupa
penghasilan sawit, kelapa dan kopi tak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat lokal.
Penghasilan tersebut tidak membuat warga sekitar menjadi sejahtera, tetapi malah negara lain
yang makmur dan kaya. Secara ekonomi masyarakat Pulau Sebalik sangat bergantung kepada
Malaysia khususnya ke Tawau. Hampir semua komoditas yang dihasilkan masyarakat, seperti
ikan, sawit dan coklat di jual ke negeri jiran. Masyarakat Sebatik juga membeli berbagai
kebutuhan sehari-hari dari Tawau, sehingga tak heran jika ada dua mata uang yang beredar di
sana, yakni rupiah dan ringgit. Tapi warga setempat lebih menyukai ringgit karena nilainya
lebih tinggi. Secara geografis, Pulau Sebatik lebih dekat ke Tawau yang hanya ditempuh
dalam waktu 15 menit, bila dibandingkan dengan ke Pulau Nunukan yang memakan waktu
1,5 jam dengan alat transportasi yang sama dengan ongkos tiga kali lipat. Sebenarnya warga
sangat memerlukan adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan penjualan hasil
bumi, sehingga warga tidak perlu menjual hasil buminya ke Tawau. Namun, hal ini belum
mandapatkan perhatian dari pemerintah.
Perbedaan mencolok yang membuat iri masyarakat Indonesia di Pulau Sebatik adalah
jika pada malam hari menyaksikan Kota Tawau yang bermandikan cahaya dengan gedung-
gedung tinggi, sebaliknya masyarakat di Pulau Sebatik gelap-gulita dengan hanya mendapat
4
jatah penerangan listrik dua hari sekali. Belum lagi ketiadaan jaringan air bersih dan jalan
rusak serta pelayanan kesehatan dan pendidikan yang minim, menambah terkucilnya
masyarakat Sebatik ditengah gemerlapan cahaya kemakmuran Negara jiran di depan
matanya.
Pulau Sebatik dan pulau-pulau kecil lain yang serupa memerlukan perhatian lebih
agar dapat berkembang sama dengan pulau-pulau besar di Indonesia. Mereka membutuhkan
sentuhan akademisi dan praktisi dari mahasiswa yang merupakan Agent of Change.
Jika pemerintah tidak bisa turun tangan, sudah sepantasnya mahasiswa bertindak.
Mahasiswa yang notabene perpanjangan tangan-tangan rakyat kecil harus turut andil
memberikan sedikit sumbangsihnya bagi masyarakat. Selain itu, Perguruan tinggi sebagai
institusi pendidikan tertinggi mempunyai kewajiban untuk melaksanakan Tri Dharma
Perguruan Tinggi-nya, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Salah satu
upaya yang dapat ditempuh adalah dengan melaksanakan K2N (Kuliah Kerja Nyata) di
pulau-pulau kecil dan terdepan tersebut, tentu saja dengan mengembangkan program-
program yang sesuai dengan kebutuhan warga setempat. Dengan demikian, maka pulau-pulau
kecil yang kaya tersebut akan mendapatkan perhatian sehingga dapat berkembang menjadi
wilayah yang maju dan mandiri.

*Mahasiswa Ilmu Keperawatan UI semester 7.

5
REFERENSI

Abubakar, Mustafa. (2006). Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan. Jakarta: Kompas


Anonim. “Menyoal Status Pulau Kecil Di Wilayah Perbatasan” diambil dari web.ipb.ac.id
pada tanggal 3 Maret 2010
Hazmirullah. “Pembangunan Daerah Perbatasan Tertinggal Jauh Pulau Sebatik Minta
Otoritas Khusus.” diambil dari nunukanzonerscommunity.blogspot.com/.../pulau-
sebatik-minta-otoritas-khusus.html pada tanggal 6 Maret 2010
Redaksi. “Satiman Ali Bakal Wujudkan Pulau Sebatik Sebagai Beranda Terdepan Indonesia.”
diambil dari http://www.pdp.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_
id=3391 pada tanggal 5 Maret 2010
Redaksi. “Sipadan-Ligitan Lepas dari Indonesia, DPR Akan Minta Penjelasan Pemerintah.”
diambil dari http://www.hupelita.com/baca.php?id=5100 pada tanggal 3 Maret 2010
Siregar, Chairil N. “Analisis Potensi Daerah Pulau-Pulau Terpencil dalam Rangka
Meningkatkan Ketahanan, Keamanan Nasional, dan Keutuhan Wilayah NKRI di
Nunukan–Kalimantan Timur.” Jurnal Sosioteknologi Edisi 13 Tahun 7, April 2008
Tumiyo. “Pulau Sebatik Juga Butuh Perhatian.” diambil dari bataviase.co.id/detailberita-
10567925.html pada tanggal 3 Maret 2010

Anda mungkin juga menyukai