2
(ecology preservation). Indonesia lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia.
Berdasarkan pertimbangan Effectivitis, Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan
pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal
1960-an. Meskipun MI menolak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas
kedua pulau tersebut berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu),
tetapi MI menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891, yang dinilai
hanya mengatur perbatasan dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4 menit 10 detik
LU ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai Timur Pulau Sebatik
sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah
sejauh 3 mil. Dari kejadian ini seharusnya Indonesia belajar, bahwa mempertahankan
eksistensi PPKB dalam kepemilikan NKRI tidak cukup hanya dengan mengatur perbatasan
Negara. Namun, Indonesia harus memberikan perhatian lebih terhadap keberlangsungan dan
kesejahteraan warga di pulau-pulau tersebut.
Salah satu pulau kecil perbatasan yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah
Pulau Sebatik. Pulau Sebatik merupakan pintu gerbang Indonesia di Kalimantan, tepatnya
berada di bagian Utara Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Negeri
Sabah Malaysia. Uniknya, status kepemilikan pulau itu terbagi dua, wilayah utara pulau itu
seluas 187,23 Km2 menjadi milik Malaysia, sedang wilayah bagian selatan seluas 246.61 Km2
adalah milik Indonesia. Di Desa Aji Kuning Pulau Sebatik, sedikitnya terdapat 300 kepala
keluarga yang berada tepat di garis perbatasan Indonesia dan Malaysia. Bahkan ada rumah
warga yang berlokasi tepat di garis perbatasan sehingga ruang tamunya masuk wilayah
Indonesia, sedangkan dapurnya ada di Malaysia. Tidak mengherankan juga kemudian sering
muncul isu internasional menyangkut status kepemilikan Pulau Sebatik, yang mengakibatkan
hubungan Indonesia dan Malaysia memanas dan mengalami pasang surut. Namun
masyarakat Sebatik dan Tawau Malaysia tak terpengaruh, mereka tetap menjalankan
hubungan yang harmonis, karena sebagian penduduk Sebalik dan Tawau ternyata masih
bersaudara, mereka sama-sama berasal dari Bugis.
3
Gambar 1. Posisi Pulau Sebatik
Potensi kekayaan alam pulau Sebatik amat besar, terutama penghasilan sawit dan
perikanan. Sayangnya kekayaan alam yang diperoleh dari jutaan ikan di laut dan darat berupa
penghasilan sawit, kelapa dan kopi tak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat lokal.
Penghasilan tersebut tidak membuat warga sekitar menjadi sejahtera, tetapi malah negara lain
yang makmur dan kaya. Secara ekonomi masyarakat Pulau Sebalik sangat bergantung kepada
Malaysia khususnya ke Tawau. Hampir semua komoditas yang dihasilkan masyarakat, seperti
ikan, sawit dan coklat di jual ke negeri jiran. Masyarakat Sebatik juga membeli berbagai
kebutuhan sehari-hari dari Tawau, sehingga tak heran jika ada dua mata uang yang beredar di
sana, yakni rupiah dan ringgit. Tapi warga setempat lebih menyukai ringgit karena nilainya
lebih tinggi. Secara geografis, Pulau Sebatik lebih dekat ke Tawau yang hanya ditempuh
dalam waktu 15 menit, bila dibandingkan dengan ke Pulau Nunukan yang memakan waktu
1,5 jam dengan alat transportasi yang sama dengan ongkos tiga kali lipat. Sebenarnya warga
sangat memerlukan adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan penjualan hasil
bumi, sehingga warga tidak perlu menjual hasil buminya ke Tawau. Namun, hal ini belum
mandapatkan perhatian dari pemerintah.
Perbedaan mencolok yang membuat iri masyarakat Indonesia di Pulau Sebatik adalah
jika pada malam hari menyaksikan Kota Tawau yang bermandikan cahaya dengan gedung-
gedung tinggi, sebaliknya masyarakat di Pulau Sebatik gelap-gulita dengan hanya mendapat
4
jatah penerangan listrik dua hari sekali. Belum lagi ketiadaan jaringan air bersih dan jalan
rusak serta pelayanan kesehatan dan pendidikan yang minim, menambah terkucilnya
masyarakat Sebatik ditengah gemerlapan cahaya kemakmuran Negara jiran di depan
matanya.
Pulau Sebatik dan pulau-pulau kecil lain yang serupa memerlukan perhatian lebih
agar dapat berkembang sama dengan pulau-pulau besar di Indonesia. Mereka membutuhkan
sentuhan akademisi dan praktisi dari mahasiswa yang merupakan Agent of Change.
Jika pemerintah tidak bisa turun tangan, sudah sepantasnya mahasiswa bertindak.
Mahasiswa yang notabene perpanjangan tangan-tangan rakyat kecil harus turut andil
memberikan sedikit sumbangsihnya bagi masyarakat. Selain itu, Perguruan tinggi sebagai
institusi pendidikan tertinggi mempunyai kewajiban untuk melaksanakan Tri Dharma
Perguruan Tinggi-nya, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Salah satu
upaya yang dapat ditempuh adalah dengan melaksanakan K2N (Kuliah Kerja Nyata) di
pulau-pulau kecil dan terdepan tersebut, tentu saja dengan mengembangkan program-
program yang sesuai dengan kebutuhan warga setempat. Dengan demikian, maka pulau-pulau
kecil yang kaya tersebut akan mendapatkan perhatian sehingga dapat berkembang menjadi
wilayah yang maju dan mandiri.
5
REFERENSI