Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TERAPI
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan
segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di
ganglion sfenopalatum.
Jika terdapat infeksi streptokokus berulang, mungkin terdapat karier pada orang-
orang yang tinggal serumah, dan biakan pada anggota keluarga dan pengobatan
dapat menghentikan siklus infeksi rekuren.
a. ECOG adalah suatu system skoring yang digunakan menilai kondisi umum
atau performance status atau biasa di artikan sebagai status kinerja untuk
menentukan kualitas hidup seseorang.
b. ECOG sendiri memiliki kepanjangan dari Eastern cooperative Oncology
Group dari nama dr. C Gordon Zubord ia adalah seorang onkologis dari USA.
Dan skore ini di publikasikan oleh Oken et al pada tahun 1982.
i. 0 : Asimptomatik, aktif sepenuhnya, mampu melakukan semua
aktivitas tanpa adanya hambatan.
vi. 5 : Mati
1) Fungsi Fonasi
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak
langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot
laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan
menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan
tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang
subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot
sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari
posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang
pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir
siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis
akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat
(kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan
myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit
menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli).
Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara
ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
B. Teori Neuromuskular.
dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf
pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut
teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan
banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan
audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih
bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).
2) Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang
bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada
pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan
epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke
lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3) Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada
dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan
rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri
serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis,
sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia
dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan
peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring.
Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita
suara.
4) Fungsi Sirkulasi
Penulisan dengan cara Zsigmondy ini menggunakan penomoran yang dimulai dari
gigi insisivus sentral pada masing-masing kuadran. Untuk menyatakan gigi
tertentu, ditulis dengan angka sesuai urutan kemudian diberi garis batas pada
nomor sesuai dengan kuadran gigi tersebut. Garis batas kuadran atas kanan
disimbolkan dengan
Gigi Permanen:
Gigi Susu:
Penyebab :
1 Rinitis Alergi
Reaksi alergi terdiri atas dua fase yaitu fase sensitisasi dan fase aktivasi. Paparan
alergen terhadap mukosa menyebabkan alergen tersebut dipresentasikan oleh Antigen
Presenting Cell (APC) ke CD4+ limfosit T. Ikatan antara sel penyaji antigen dan sel
Th0 memicu deferensiasi Sel Th0 menjadi sel Th2. Hal ini mengakibatkan sitokin-
sitokin IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan GranulocyteMacrophage Colony-
Stimulating (GMCSF) dilepaskan. IL 3 dan IL4 kemudian berikatan dengan
reseptornya yang berada pada permukaan sel limfosit B dan menyebabkan aktivasi sel
B untuk memproduksi IgE. IgE dapat berikatan dengan reseptornya (FceRI) di
permukaan sel mast yang ada di sirkulasi darah dan jaringan membentuk ikatan IgE-
sel mast. Dengan adanya komplek tersebut, individu ini disebut individu yang sudah
tersensitisasi. Selanjutnya, pada fase aktivasi, paparan antigen yang sama pada
mukosa nasal akan menyebabkan adanya crosslinking (ikatan antara dua molekul igE
yang berdekatan pada permukaan sel mast dan basofil dengan alergen yang
polivalen). Hasil akhirnya adalah degranulasi sel mastosit dan basofil hingga
pengeluaran mediator kimia (preformed mediators) terutama histamin, triptase, dan
bradikinin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
PGD2, LTD4, LTC4, bradikinin, TNF-α, IL-4, serta Platelet Activating Factor (PAF)
dan berbagai sitokin.
Mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil akan berikatan dengan
reseptor yang berada pada ujung saraf, endotel pembuluh darah, dan kelenjar mukosa
hidung. Histamin sebagai mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil
mengakibatkan lebih dari 50% gejala reaksi hidung. Efek histamin pada kelenjar
karena aktivasi reflek parasimpatis yang meningkatkan efek sekresi kelenjar dan
mengakibatkan gejala rinore dengan seros yang akan memperberat gejala sumbatan
hidung. Histamin juga menstimulasi sel-sel endotel untuk mensintesis relaxan yang
bekerja pada pembuluh darah seperti Prostaglandin (PGI)2 dan Nitrit Oksida (NO)
yang menyebabkan vasodilatasi dan timbulnya gejala hidung. Leukotrien berefek
pada maturasi esinofil, bertindak sebagai chemoattractants eosinofil, mendorong
adhesi eosinofil dan menginhibisi apoptosis eosinofil.20 PGI D2 adalah prostanoid
utama yang diproduksi pada fase cepat reaksi alergi. Prostaglandin berhubungan
dengan efek hipertrofi dan infalamasi pada hidung dan peningkatan jumlah eosinofil.
Prostaglandin akan terikat pada reseptornya di pembuluh darah yang menyebabkan
vasodilatasi Eosinofil adalah sel yang paling berperan dalam RAFL. Eosinofil
melepaskan berbagai mediator pro-inflamasi seperti leukotrien sisteinil, eosinofil
peroksidase dan protein basic. Sitokin lain, PAF, juga mempunyai peranan dalam
mekanisme sumbatan hidung dengan cara retraksi dan relaksasi sel-sel endotel
pembuluh darah dan vasodilatasi. Hasil pelepasan sitokin dan mediator lain adalah
mukosa nasal menjadi terinfiltrasi dengan sel inflamasi seperti eosinofil, neutrofil,
basofil, sel mast dan limfosit. Hal ini membuat reaksi inflamasi pada mukosa hidung
semakin parah sehingga menyebabkan hidung tersumbat.
2. Kelainan Anatomi
Anatomi bentuk hidung seseorang akan sesuai dengan tipe suku bangsa atau tertentu.
Bentuk dan ukuran hidung bagian luar akan mempengaruhi ukuran dan bentuk hidung
bagian dalam atau rongga hidung, sehingga akan mempengaruhi pula tahanan
hidungnya. Kelainan anatomi yang dapat menyebabkan sumbatan hidung adalah
septum deviasi, konka hipertrofi, konka bulosa. Sedangkan kelainan anatomi yang
bersifat kongenital adalah atresia koana dan celah palatum.
A) Septum Deviasi
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung, namun bisa terdapat
kelainan berupa septum yang tidak terletak di tengah yang disebut septum deviasi.
Septum deviasi dapat menyebabkan gangguan jalan napas dan gejala sumbatan
hidung. Defleksi anterior yang memiliki dampak terbesar pada aliran udara.
Tipe septum menurut Mladina adalah :
septum yang menyentuh dinding lateral hidung dan berat ketika septum
deviasi sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.
B) Konka Hipertrofi
Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan
lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan
vestibulum nasi. Tumor hidung sering tidak diketahui sejak dini karena letaknya yang
terlindung dan sulit dideteksi. Gejala awalnya pun tidak spesifik seperti hidung
tersumbat, epistaksis, atau nyeri wajah.
Klasifikasi tumor hidung dibagi menjadi 2, yaitu tumor hidung ganas dan
tumor hidung jinak. Contoh tumor jinak adalah papilloma squamosa, displasia fibros
dan angiofibroma. Sedangkan contoh tumor ganas adalah melanoma, karsinoma
adenoid kistik, dan karsinoma sel squamosa.
Tumor hidung mengakibatkan kavum nasi semakin menyempit. Hal ini akan
berakibat pada tahanan hidung yang meningkat sehingga aliran udara terhambat dan
semakin sempit yang akhirnya menyebabkan sumbatan hidung.
4 Pemakaian obat
Salah satu efek ACE inhibitor adalah vasodilatasi sistemik melalui produksi
bradikinin.28 Hal ini menyebabkan terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah hidung
sehingga dapat terjadi pembengkakan konka dan penyempitan rongga hidung dan
hidung tersumbat. Penggunaan ACE inhibitor dapat meningkatkan produksi
leukotrien dan prostaglandin E2. Mediator ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi
dan peningkatan sekresi mukus sehingga mengakibatkan hidung tersumbat.
C) Pil Kontrasepsi Kombinasi (PKK)
Hormon yang digunakan dalam pil KB adalah estrogen dan progesteron.
Estrogen mempunyai reseptor yang tersebar di seluruh tubuh, termasuk hidung.
Diketahui reseptor estrogen juga terdapat pada kelenjar seromukus yang berada di
lamina propria. Efek lain estrogen adalah memodulasi reaksi inflamasi. Hal ini
mengakibatkan kadar estrogen yang meninggi akan sebanding dengan sekresi mukus
yang dihasilkan. Apabila mukus yang disekresi jumlahnya berlebih dapat
mengganggu aliran udara sehingga menyebabkan hidung tersumbat. Hasil penelitian
Philpott et al menyebutkan bahwa perempuan yang menggunakan kontrasepsi
mengalami peningkatan sumbatan hidung dibandingkan dengan perempuan tanpa alat
kontrasepsi.
Pemeriksaan Derajat Sumbatan Hidung
Berdasarkan sifatnya, pemeriksaan gejala sumbatan hidung dapat dibagi
menjadi pemeriksaan subyektif dan pemeriksaan objektif.
1 Pemeriksaan Subjektif
Referensi
Fachruddin, darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-
Hidung-Tenggorokan, hal. 185. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, hal : 19-21.