Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Glioma

Glioma merupakan tumor otak primer yang paling banyak terjadi serta

merupakan sekelompok neoplasma yang heterogen dengan jenis histologi dan

derajat keganasan yang beragam (gambar 1) (Perry & Wesseling, 2016).

Gambar 1. Klasifikasi glioma berdasarkan WHO{Louis, 2007}.

Glioma dianggap berasal dari sel glia atau stem cell yang dalam

perkembangannya tetap memiliki karakteristik glia setelah transformasi

neoplastic. Sampai saat ini, diagnosis histopatologi tetap menjadi baku emas

untuk klasifikasi. Pemeriksaan yang paling banyak dilakukan adalah hematoxylin-

eosin (Louis, Ohgaki, Wiestler, Cavenee, Burger, Jouvet, Scheithauer, &

Universitas Sumatera Utara


Kleihues, 2007). Seiring waktu, taksonomi dan definisi neoplasma susunan saraf

pusat telah berubah seiring waktu (gambar 2). Selama lebih dari tiga dekade

terakhir, pemeriksaan imunohistokimia tambahan sudah semakin banyak

digunakan untuk akurasi diagnosis. Saat ini, pemeriksaan tersebut paling banyak

berdasar pada diferensiasi seluler (Scheithauer, 2009).

Gambar 2. Perubahan paradigma mengenai glioma. (A). Neoplasma astrositik dan

oligodendroglial mencakup spektrum yang luas berdasarkan tingkat malignansi

dan spektrum luas. A: Low grade astrocytoma, O: oligodendroglioma, OA:

oligoastrocytoma, AA: anaplastic astrocytoma, AO: oligodendroglioma, AOA:

oligoastrositoma, GBM: glioblastoma, GBM-O: glioblastoma dengan komponen

oligodendroglia. (B). Identifikasi penanda molekul mutasi 1DH dan co-delesi

Universitas Sumatera Utara


1p/19q berdasarkan klasifikasi WHO (2016). Pemeriksaan penanda molekul lain

seperti ATRX, TERT, dan mutasi TP53 dapat memberikan informasi tambahan

(Louis et al., 2016).

Secara tradisional, glioma diffuse dikelompokkan menjadi astrositik,

oligodendroglial, dan campuran (oligodendroglial-astrositik) serta dikelompokkan

menjadi derajat II (low grade), iii (anaplastic), dan IV (glioblastoma)(Louis,

Ohgaki, Wiestler, Cavenee, Burger, Jouvet, Scheithauer, & Kleihues, 2007).

2.1.1 Glioma Derajat II dan III

A. Epidemiologi

Terdapat variasi histopatologi, usia pasien, jenis kelamin, etnis, dan

distribusi geografi pada penderita glioma yang baru didiagnosis pertama kali.

Banyak orang menganut pendapat bahwa glioma lebih banyak terjadi pada

kelompok usia tua, pria, dan ras Kaukasia. Meskipun secara umum glioblastoma

(WHO gr IV) merupakan tumor yang paling banyak terjadi, anaplastic

astrocytoma (WHO gr III) dan astrocytoma dengan derajat II (infiltrative

astrositoma, oligodendroglioma, dan oligoastrositoma) paling banyak terjadi pada

populasi berusia 35-50 tahun. Insiden glioma paling tinggi terjadi di Eropa (5,5

per 100.000 populasi), Amerika Utara (5,3 per 100.000 populasi), Australia (5,3

per 100.000 populasi), Asia Barat (5,2 per 100.000 populasi), dan Afrika Utara (5

per 100.000 populasi). Insiden penyakit ini relatif tidak berubah dalam dekade

terakhir, meskipun terjadi pertambahan signifikan antara tahun 1970 dan 1985,

saat CT Scan dan MRI mulai banyak dipergunakan(Ostrom et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara


Harapan hidup penderita astrocytoma derajat II dan III sangat variatif,

bergantung pada gambaran histopatologi. Dibandingkan penderita tumor astrositik

murni, harapan hidup penderita tumor campuran antara astrosit dengan

oligodendrosit (oligodendroglioma atau oligoastrositoma) masih lebih baik. Hal

ini diperkirakan terjadi karena perkembangan penemuan penanda genomis, seperti

co-delesi 1p19q, mutasi isocitrate dehydrogenase (IDH 1/2), dan metilasi O6-

methylguanine-DNA menthyltransferase (Berger, Hervey-Jumper, & Wick,

2016).

Beberapa sindrom dihubungkan dengan kecenderungan terjadinya glioma,

antara lain neurofibromatosis 1 (berhubungan dengan optic nerve glioma dan

astrositoma supratentorial), neurofibromatosis 2 (berhubungan dengan

ependymoma intrakranial dan spinal), tuberous sclerosis (berhubungan dengan

subependymal giant cell astrocytoma), sindrom Li-Fraumeni dan syndrome

Lynch. Astrositoma sindromik seperti yang disebutkan sebelumnya hanya terjadi

pada sekitar 5% penderita astrositoma. Kejadian selebihnya bersifat sporadis.

Hubungan keluarga tahap pertama tidak dilaporkan berhubungan dengan insiden

penyakit ini. Sampai saat ini, terdapat tujuh varian genetic yang berhubungan

dengan peningkatan risiko terjadinya astrositoma, yaitu epidermal growth factor

receptor (EGFR), telomerase reverse transciptase (TERT), coiled-coil domain

containing 26(CCDC26), cyclin-dependent kinase inhibitor 2B (CDKN2B),

pleckstrin homology-like domain family B member 1 (PHLDBI), tumor protein

p53 (TP53), dan RTELI (regulator dari pemanjangan telomere). Mekanisme yang

mendasari peningkatan risiko masih belum diketahui sampai saat ini (Berger et

al., 2016).

Universitas Sumatera Utara


Paparan pada radiasi pengion merupakan faktor lingkungan yang paling

banyak diakui. Radiasi pengion akan menyebabkan kerusakan DNA, baik rantai

tunggal maupun ganda, menginduksi perubahan genetik, dan pada akhirnya

menyebabkan terjadinya tumor. Penelitian jangka panjang di Israel melaporkan

bahwa pada penderita tinea capitis yang mendapat terapi radiasi, insiden glioma

meningkat sampai dua kali lipat. Risiko terjadinya glioma yang berkaitan dengan

telepon seluler telah banyak diteliti dalam dua dekade terakhir. Laporan awal dari

International Agency for Research on Cancer menyatakan bahwa telepon seluler

mungkin memiliki efek karsinogen. Studi lanjutan tidak berhasil membuktikan

hubungan telepon seluler dengan kejadian astrositoma. Meskipun demikian,

diperlukan pemantauan jangka panjang (Berger et al., 2016).

B. Radiologi

Radiologi standar yang diperlukan untuk mendiagnosis glioma adalah

MRI otak, modus T2-weighted, fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR),

diffusion-weighted, serta T1-weighted dengan dan tanpa kontras. Radiologi sangat

penting untuk memperkirakan lokasi anatomis, nekrosis pada tumor,

vaskularisasi, perkiraan sel, efek massa, dan luasnya edema di sekitarnya. Adanya

penyangatan meningkatkan kecurigaan akan derajat yang lebih tinggi. Tumor

derajat II dan III pada umumnya tidak begitu menyangat kontras. Pada keadaan

tersebut, batas tumor pada FLAIR secara umum dianggap menjadi batas tumor

dan menjadi target pembedahan dan radiasi. Imejing fungsional akan diperlukan

saat tumor berada pada daerah yang dianggap fungsional. Diffuse tensor imaging

(DTI) sangat berguna untuk menggambarkan jalur white matter subkorteks. MRI

Universitas Sumatera Utara


fungsional task-based akan sangat berguna untuk perencanaan sebelum operasi.

Sekuens MRI yang tipis dapat direkonstruksi untuk membentuk model

neuronavigasi yang akan digunakan selama pembedahan. MRI fungsional,

traktografi dengan DTI, dan MRI perfusi akan mempermudah dokter untuk

menegakkan diagnosis sebelum operasi (Berger et al., 2016).

C. Patologi

Klasifikasi astrositoma berdasarkan WHO (2007) sangat bergantung pada

histopatologi dan immunohistokimia. Glioma diffuse dengan derajat II dan III

merupakan glioma yang paling banyak terjadi pada dewasa muda yang ditandai

dengan infiltrasi difus pada parenkim otak disertai kecenderungan rekurensi yang

tinggi serta progresi menjadi malignansi. Tumor dianggap berasal dari neural stem

atau neuroglial precursor cell. Mutasi dari gen IDH1 atau IDH 2 sering menjadi

awal dari kejadian ini, meskipun tidak cukup untuk menciptakan sebuah tumor.

Diperkirakan mutasi IDH 1/2 harus disertai dengan mutasi germline TP53 agar

terjadi perkembangan menjadi tumor (Berger et al., 2016).

Secara histopatologi, tumor ini dikelompokkan menjadi astrositoma,

oligodendroglioma, oligoastrositoma, dan ependimoma, berdasar pada kesamaan

morfologis sel neuroglia yang ditemukan pada otak normal. Klasifikasi lebih

lanjut ditegakkan berdasarkan lokasi anatomis, pola karakter diferensiasi, dan

gambaran anaplasia (termasuk aktivitas mitotic yang tinggi, proliferasi

microvascular, dan nekrosis) (Berger et al., 2016).

Histopatologi tradisional ini mulai mendapat tantangan dari penelitian

profil molekuler yang membuktiakn bahwa hanya ada 2 subtipe molekuler, yaitu

Universitas Sumatera Utara


kelompok mutasi TP53 dan ATRX (astrositik) serta kelompok mutasi co-deletion

1p/19q dan mutasi promoter TERT (oligodendroglial) (Berger et al., 2016).

D. Diagnosis Molekular

Saat ini terdapat perubahan mendasar sehubungan pemahaman konseptual

dari pathogenesis molekuler glioma. Beberapa hal yang sebaiknya diketahui

adalah status IDH, 1p/19q (dan TERT). Alternatifnya, diperlukan informasi

mengenai ATRX (Berger et al., 2016).

Pada tumor IDH wild-type, bukti adanya genotip malignan (seperti

monosmomy 10q) akan meningkatkan kemungkinan perburukan penyakit.

Pemeriksaan MGMT diperlukan dalam menentukan kemoterapi (Berger et al.,

2016).

2.1.2 Glioblastoma Multiforme

A. Epidemiologi

Hampir separuh (45,6%) tumor otak primer yang malignan merupakan

glioblastoma. Insiden tahunan penyakit ini mencapai 3,1 per 100.000 populasi,

meskipun masih jauh lebih rendah dibandingkan kanker yang berasal dari orgak

lain, seperti payudara (171,2 per 100.000 populasi) atau prostat (201,4 per

100.000 populasi). Bila disesuaikan dengan usia, insiden tahunan glioblastoma

variatif, berkisar antara 0,15 per 100.000 populasi anak sampai 15,03 pada

100.000 populasi usia 75-84 tahun. Harapan hidup berbanding terbalik dengan

usia. Harapan hidup dalam lima tahun pertama hanya berkisar 5% dan menurun

sampai 2% pada kelompok usia 65 tahun (Ostrom et al., 2013).

Universitas Sumatera Utara


B. Faktor Risiko

Satu-satunya faktor risiko yang paling memungkinkan adalah usia. Pria

lebih banyak menderita penyakit ini dibandingkan wanita (6:1) dan orang kulit

putih lebih banyak menderita penyakit ini dibandingkan orang kulti hitam (2:1).

Penyebab perbedaan ini masih belum diketahui. Sinar radiasi pengion merupakan

satu-satunya faktor risiko eksogen yang sudah terbukti. Pada penderita tumor otak

anak yang mendapat radiasi dosis tinggi (30-44,9 Gy), odds ratio terjadinya

glioma mencapai 21. Dosis radiasi pada scan untuk tujuan diagnosis tidak cukup

untuk menjadi faktor risiko. Telepon genggam tidak terbukti berhubungan dengan

glioblastoma. Tidak ada hubungan antara glioblastoma dengan merokok atau

senyawa karsinogenik lain. Ekspresi gen cytomegalovirus (CMV) dan interaksi

produk gen CMV pada beberapa bagian dari jalur terjadinya malignansi

menggambarkan kemungkinan peranan CMV, tetapi masih perlu penelitian lebih

lanjut (Wirsching, Galanis, & Weller, 2016).

C. Sel Asal

Frekuensi glioblastoma dan tumor otak primer yang lebih rendah

dibandingkan tumor yang berasal dari bagian tubuh lain menggambarkan

perlindungan otak yang luar biasa dari stress genotoksik. Molekul ATP-binding

cassete (ABC) membatasi difusi mutagen kimiawi pada sawar darah otak. Selain

itu, DNA menjadi sangat sensitive terhadap stress genotoksik saat replikasi.

Universitas Sumatera Utara


Kebanyakan sel otak telah mencapai tahapan postmitotic saat dewasa. Penelitian

eksperimental menggambarkan bahwa glioblastoma dewasa mungkin berasal dari

sebagian kecil neural stem and progenitor cell (NSPC) yang berada pada daerah

subventrikel, white matter di subkortikal, dan girus dentate pada hippocampus.

NSPC tetap memiliki kemampuan untuk memasuki fase mitosis dan memiliki

peran penting dalam plastisitas otak. Sebagian kecil populasi sel glioblastoma

(dikenal dengan istilah glioma stem-like cells) memiliki gambaran yang sama

dengan NSPC, termasuk lokasi di perivaskuler dan daerah hipoksia, kemampuan

memperbarui diri sendiri, dan kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai

jenis sel. Sel dikatakan sebagai glioma-initiating cell jika mampu membentuk

tumor sekunder yang mirip dengan tumor awal setelah transplantasi serial.

Beberapa penanda glioma initiating cells yang banyak diteliti adalah CD133,

CD15, CD44, dan integrin alpha 6 (Wirsching et al., 2016).

D. Lokasi Tumor

Tidak ada hubungan antara lokasi glioblastoma saat diagnosis dengan

lokasi NSPC, selain kenyataan bahwa sebagian besar glioblastoma berada pada

supratentorial. Hal yang paling mungkin terjadi adalah penyebaran sel

glioblastoma pada seluruh otak, bahkan pada derajat awal sekalipun. Meskipun

demikian, kemungkinan perkembangan glioblastoma dari sel selain NSPC belum

dapat disingkirkan. Kebanyakan glioma terjadi pada frontal (25,8%), temprotal

(19,7%), dan parietal (12,2%). Glioma pada occipital (3,2%), cerebellum (2,9%),

batang otak (4,2%), dan spinal cord (4,3%) jarang terjadi. Glima brainstem sangat

jarang terjadi pada dewasa, tetapi sangat banyak terjadi pada anak-anak. Harapan

Universitas Sumatera Utara


hidup tertinggi ditemukan pada glioma frontal. Sekitar separuh dari seluruh

glioblastoma menginfiltrasi lebih dari satu lobus. Sekitar 5% glioblastoma akan

tumbuh berganda. Penyebaran leptomeningeal sangat jarang terjadi. Metastasis

jauh sudah dilaporkan beberapa kali, terutama pada paru, pleura, kelenjar getah

bening, tulang, dan hati. Alasan mengapa metastasis jauh sulit terjadi masih belum

diketahui, tetapi kemungkinan karena lingkungan mikro otak sangat berbeda

dengan organ tubuh lain (Omuro, 2013).

E. Radiologi

Pemeriksaan radiologi awal yang paling baik dilakukan adalah MRI. CT

scan tidak begitu sensitif untuk mengidentifikasi gambaran khas pada

glioblastoma. CT Scan digunakan hanya pada keadaan akut, seperti saat terdapat

kecurigaan perdarahan atau saat MRI tidak dapat digunakan (seperti pada pasien

dengan pacu jantung atau implant logam). Sebelum biopsy, amino acid positron

emission tomography (PET) akan sangat membantu dalam menentukan tempat

biosi dilakukan, meskipun PET belum menjadi standar penatalaksanaan penderita

glioblastoma (Omuro, 2013).

Pada MRI, glioblastoma terlihat sebagai massa yang menyangat kontras.

Penyangatan kontas dianggap merupakan penanda kerusakan sawar darah otak.

Hipointensitas pada T2-weighted menggambarkan nekrosis. Hiperintensitas pada

T2-weighted dan FLAIR menggambarkan edema atau tumor yang tidak

menyangat kontras. MR spectroskopi, T1 contras, dan DWI akan sangat

membantu untuk membedakan glioblastoma dengan lesi menyangat kontras lain,

seperti abses, primary central nervous system lymphoma, dan metastasis.

Universitas Sumatera Utara


Meskipun demikian, gambaran radiologi pada glioblastoma sangat variatif,

sehingga diperlukan pemeriksaan histopatologi (Omuro, 2013).

F. Histopatologi

Gambaran utama histopatologi glioblastoma adalah nekrosis dan

proliferasi mikrovaskuler. Penanda keganasan lain adalah anaplasia, derajat

mitosis yang tinggi, dan invasi. Ketiga gambaran ini juga ditemukan pada

astrositoma derajat III. Sebagai tambahan, pemeriksaan immunohistokimia sering

dilakukan untuk memastikan diagnosis glioblastoma, seperti glial fibrillary acidic

protein (konfirmasi astrosit) dan MIB-1/Ki-67 (kuantifikasi proliferasi). Antibodi

yang dapat mendeteksi mutasi IDH-1 mulai banyak digunakan pada kecurigaan

glioma (Omuro, 2013).

G. Penanda Molekuler

MGMT akan sangat diperlukan sehubungan pemberian temozolamide

pada kasus baru dan rekuren. MGMT adalah protein yang memperbaiki DNA

yang menghambat alkilasi DNA akibat kemoterapi. Hipermetilasi dari promoter

MGMT menyebabkan gene silencing. Sejak penemuan peranannya dalam

resistensi glioblastoma terhadap kemoterapi alkilasi, MGMT menjadi penanda

yang sangat penting dalam pengambilan keputusan klinis, terutama pada orang tua

(Nagasawa et al., 2012).

Mutasi IDH terjadi pada sekitar 5-10% kasus glioblastoma. Mutasi ini

dihubungkan dengan usia muda dan outcome yang lebih baik. Mutasi IDH jarang

terjadi pada usia di atas 65 tahun (Omuro, 2013).

Universitas Sumatera Utara


2.2 Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

Tumor padat tergantung pada neovaskularisasi untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini juga

terjadi pada glioma malignan di mana vaskularisasi yang banyak terlihat sebagai

faktor prognosis yang tidak baik. Keluarga dari VEGF adalah yang paling

memegang faktor angiogenik yang paling penting, memiliki peran dalam

angiogenesis tumor (Johansson, 2002).

Ekspresi VEGF telah diinvestigasi pada tumor otak seperti glioma

astrositik (WHO derajat I, II, III, glioblastoma, meningioma, primitive

neuroectodermal tumor (PNET), limfoma dan yang lain; ekspresi VEGF lebih

tinggi pada tumor derajat tinggi dibandingkan derajat rendah (Oehring, 1999)

VEGF awalnya dideskripsikan sebagai vascular permeability factor

(VPF), suatu protein yang disekresikan oleh tumor yang dimurnikan dari cairan

asites yang disekresi oleh karsinoma hepar pada babi yang menyebabkan

kebocoran vaskular. Secara independen, sebuah faktor dengan sifat mitogenik

untuk sel-sel endotelial, VEGF, diisolasi dari sel-sel folliculostellata dari hipofisis.

Urutan asam amino dari VEGF dan VPF adalah sama, mengindikasikan bahwa

dua karakter, contoh, mitogenisitas sel-sel endotelial dan permeabilitas vaskular,

adalah dimiliki oleh molekul yang sama. VEGF merupakan protein dimerik

terglikosilasi dengan ukuran molekul 34 – 45 kDa yang memiliki stuktur yang

sama dengan platelete derived growth factor (PDGF). Beberapa karakter VEGF

Universitas Sumatera Utara


menjelaskan bahwa molekul ini terutama bertanggung jawab dalam proses

angiogenesis di bawah kondisi fisiologis dan patologis: VEGF bertindak secara

spesifik pada sel-sel endotelial; merupakan suatu mitogen dan suatu faktor

kemotaktik untuk sel-sel endotelial dan menginduksi produksi protease seperti

urokinase-type plasminogen activator dan interstisial collagenase oleh sel-sel

endotelial (Machein & Plate, 2000).

Karakter lain dari VEGF berhubungan dengan permeabilitas

mikrovaskular: VEGF meningkatkan permeabilitas pembuluh darah normal

terhadap protein plasma tanpa menyebabkan cedera sel endotel, degranulasi sel

mast, atau respon inflamasi yang signifikan. Sama dengan histamin dan mediator

inflamasi lainnya, VEGF menyebabkan efek pada venul dan kapiler kecil; efeknya

1000 kali lebih kuat dibandingjan histamin dalam meningkatkan permeabilitas

mikrovaskular. Sama juga seperti histamin, VEGF bertindak secara langsung pada

sel-sel endotelial tetapi tidak pada otot-otot polos kecil, fibroblast, atau neutrofil,

melalui mobilisasi cytosolic calcium. Melalui kapasitasnya untuk menginduksi

nitrit oksida, VEGF mungkin juga memediasi vasodilatasi dan meningkatkan

aliran darah yang memulai angiogenesis (Machein & Plate, 2000).

VEGF juga berfungsi sebagai faktor keselamatan untuk sel-sel endotelial.

Belakangan, telah diketahui bahwa VEGF dibutuhkan untuk memelihara

pembuluh-pembuluh darah yang baru terbentuk pada vaskular retina pada

perkembangan alami dan pada sebuah model angiogenesis tumor (Machein &

Plate, 2000).

Pada sel-sel manusia, 4 isoform, seperti VEGF-121, VEGF-165, VEGF-

189 dan VEGF-206, telah dideskripsikan, 2 isoform terkecil disekresikan secara

Universitas Sumatera Utara


efisien dari sel-sel yang memproduksi, di mana 2 isoform yang besar tetap

berhubungan dengan sel-sel. Pada kebanyakan jaringan tubuh manusia, VEGF-

165 ditemukan sebagai isoform yang paling banyak. Pada glioblastoma manusia

VEGF-121, VEGF-165 dan BEGF-189 tetapi tidak VEGF-206 dapat dideteksi.

Telah ditunjukkan bahwa BEGF-121 dan VEGF-165 tetapi tidak VEGF-189 dapat

menyebabkan perdarahan intraserebral, menjelaskan bahwa isoform yang berbeda

mungkin meniliki fungsi yang berbeda. Walaupun begitu, signifikansi biologi dari

isoform-isoform tersebut masih diperdebatkan (Machein & Plate, 2000). Keluarga

VEGF juga merupakan target yang menarik untuk strategi pengobatan anti

angiogenik. Beberapa pendekatan seperti antibodi monoklonal VEGF, VEGF

receptor kinase inhibitors dan antisense VEGF constructs telah dilaporkan

(Johansson, 2002).

VEGF terikat ke sel-sel endotelial melalui interaksi dengan reseptor-

reseptor high-affinity tirosine kinase, flt-1 (VEGFR-1) dan Flk-1/KDR (VEGFR-

2), ditemukan pada sel-sel endotelial. Ekspresi selektif dari reseptor VEGF

meyakinkan bahwa peran VEGF adalah pada sel-sel endotelial (Machein & Plate,

2000).

Reseptor fms like tyrosie (Flt, VEGFR-1) terdiri dari 7 IgG yang terikat

pada ligan utama, sebuah transmembran tunggal dan sebuah tyrosine kinase.

Walaupun penting untuk perkembangan vaskular normal, tidak ditemukan bukti

keterlibatan Flt-1 dalam migrasi dan proliferasi sel endotelial. Flt-1 terlarut (sflt-

1), dibentuk oleh sambungan alternatif dari pre-mRNA yang sama yang

digunakan untuk memproduksi reseptor membran jangkauan panjang, enkoding

N-terminal immunoglobulin-like extracellukar ligand-binding domain tetapi

Universitas Sumatera Utara


kurang cakupan jangkauan transmembran, dan cakupan tyrosine intraselular.

Penemuan terbaru menjelaskan bahwa VEGFR-1 dan isoform terlarutnya, sflt-1

bertindak terutama sebagai regulator negatif dari pertumbuhan vaskular yang

dimodulasi oleh VEGF melalui ikatan dengan afinitas yang tinggi (Machein &

Plate, 2000).

Fetal liver kinase flk-1 (VEGFR-2) adalah homolog dari kinase pada tikus

yang mengandung reseptor, KDR, pada manusia. VEGFR-2 memiliki similaritas

dengan VEGFR-1 dengan susunan ekstraseluler yang sama, cakupan

transmembran dan intraseluler. Berbda dengan VEGFR-1, VEGFR-2 difosforilasi

dan VEGFR-2 mengekspresikan proliferasi sel-sel setelah penambahan VEGF

Kerusakan target dari gen-gen reseptor VEGF pada tikus transgenik

menyebabkan defek pada formasi pembuluh darah. Embrio tikus yang kekurangan

VEGF mati pada keadaan heterozigot, memberikan pendapat bahwa kadar basal

yang kritis dari VEGF penting dalam pembentukan vaskular yang baik (Machein

& Plate, 2000).

Belakangan, family VEGF dari faktor pertumbuhan telah berkembang

dengan tambahan 6 molekul baru: PIGF-1 dan -2 (Placenta growth factor),

VEGF-B, VEGF-Cm VEGF-D dan VEGF-E. VEGF-C terikat secara spesifik

pada VEGFR-3 (flt4), yang diekspresikan pada endotelium limpatik, menjelaskan

peran dari sistem VEGF-C/VEGFR-3 dalam perkembangan vaskular limpatik.

Fungsi fisiologis dari faktor-faktor ini sama seperti peranannya dalam

angiogenesis tumor masih belum diketahui secara jelas.

Ekspresi VEGF dapat dimodulasi secara in vitro melalui suatu varietas

agen-agen biologi yang relevan, termasuk sitokin-sitokin dan faktor pertumbuhan.

Universitas Sumatera Utara


Mencakup Interleukin-1β, Transforming Growth Factor-β (TGF-β), Epidermal

Growth Factor (EGF), Platelet-derived growth factor beta (PF-BB), Tumor

Promoting Agent (TPA), Interleukin-6 dan hormon-hormon steroid. Sebagai

tambahan, inaktivasi dari p53 atau von Hippel-Lindau tumor supressor gene

(VHL) sama seperti aktivasi onkogen seperti ras, raf atau sre meningkatkan

ekspresi VEGF (Machein & Plate, 2000).

Cakupan promotor VEGF telah ditemukan memiliki sejumlah tempat

ikatan untuk beberapa faktor transkripsi seperti AP1, AP2 dan SP1. Hipoksia dan

sitokin menginduksi ekspresi VEGF yang memiliki motif DNA yang spesifik,

berlokasi di daerah promotor dari VEGF, yang merupakan respon dari beberapa

stimulus. Namun, dari sudut pandang fisiologi, regulasi dari VEGF oleh hipoksia

adalah yang paling signifikan. Suplai pembuluh darah yang tidak cukup dan hasil

dari reduksi tekanan oksigen jaringan sering menyebabkan neovaskularisasi

kompensasi dalam rangka mencukupi kebutuhan metabolisme jaringan. VEGF

yang diinduksi oleh hipoksia ditemukan sebagai mediator kunci dari respon timbal

balik tersebut (Machein & Plate, 2000).

VEGF diregulasi oleh hipoksia pada kedua level transkripsional dan post

transkripsi. Regulasi transkripsi oleh VEGF diperantarai oleh trans aktivasi dari

HIF-1 (Hypoxia Inducible Factor-1), yang berakumulasi pada keadaan hipoksia

dan terikat ke HIF-1 yang berlokasi pada daerah apitan 5’ dari gen VEGF.

Hipoksia juga menyebabkan stabilisasi mRNA VEGF. Urutan masih tidak dengan

komplit berlokasi pada daerah untranslated 3’ dari mRNA VEGF dan

bertanggung jawab untuk stabilitas mRNA yang diregulasi hipoksia. Kedua

mekanisme dianggap bekerja bersama dalam rangka meningkatkan mRNA VEGF

Universitas Sumatera Utara


dalam keadaan siap. Namun, masih belum jelas produksi VEGF juga diregulasi

pada tingkat translasi mRNA (Machein & Plate, 2000).

2.2.1 Ekspresi VEGF pada Tumor Otak

Neovaskularisasi yang nyata merupakan karakter dari banyak neoplasma

pada sistem saraf. Kebanyakan morbiditas dan mortalitas dari neoplasma sistem

saraf ganas atau jinak berhubungan dengan derajat vaskular tumor dan luas edema

vasogenik peritumoral. Untuk alasan ini, sejumlah besar penelitian telah

dilakukan untuk menguraikan mekanisme yang mungkin terlibat dalam

angiogenesis pada tumor dan permeabilitas kapiler pada tumor otak (Machein &

Plate, 2000).

Ekspresi faktor pertumbuhan pada perkembangan otak dan tumor otak

meliputi Fibroblast growth factor (FGF), TGF, EGF, PDGF dan VEGF. Bentuk

ekspresi dari VEGF dan reseptornya pada tumor otak mengundikasikan bahwa

VEGF mungkin memiliki peran besar dalam angiogenesis tumor dan

pembentukan edema peritumoral yang berhubungan dengan tumor otak. VEGF

diekspresikan pada spektrum luas tumor otak, tetapi perbedaan di antara di antara

entitas tumor pada mekanisme dari peningkatan VEGF dijumpai. Mayoritas studi

telah fokus pada bentuk ekspresi VEGF dan reseptor VEGF pada glioma,

hemangioblastoma, dan meningioma. Ekspresi VEGF juga dideteksi pada tumor

otak lainnya seperti adenoma hipofisis, tumor sel germinal intrakranial primer,

germinoma, tumor neuronal, dan metastasis otak. Namun, signifikansi dari

peningkatan VEGF pada tumor-tumor ini masih perlu dikonfirmasi ((Licht &

Kesbet, 2013)

Universitas Sumatera Utara


Neoplasma glial malignan meliputi 40-50% dari kasus tumor otak.

Astrositoma merupakan tipe tumor otak manusia yang paling sering dijumpai dan

diklasifikasikan sesuai dengan keganasannya seperti astrositoma, astrositoma

anaplastik dan glioblastoma. Walaupun glioblastoma mungkin muncul secara de

novo, bukti-bukti menjelaskan bahwa sejumlah glioblastma terbentuk oleh

progresi dari astrositoma atau derajat keganasan yang rendah. Progresi dari tumor

derajat rendah ke derajat tinggi meliputi urutan kejadian genetik pada sel-sel

tumor. Secara histologi, progresi glioma ditandai dengan nekrosis fokal dan

proliferasi sel; sebagai tambahan, perubahan dramatis pada fenotip vaskular

terlihat. Proliferasi mikrovaskular tidak dilihat pada astrositoma derajat rendah, di

sini vaskular sama seperti otak sehat. Glioblastoma, adalah tumor padat manusia

paling bervaskularisasi. Sehingga, progresi dari astrositoma derajat rendah ke

glioblastoma bervaskularisasi dianggap meliputi perubahan angiogenik

(Schneider, Schenider, & Plate, 2013).

Pada glioblastoma, mRNA VEGF mengalami over ekspresi sampai 50 kali

lipat dibandingkan pada jaringan otak normal. Pada analisis hibridisasi in situ,

mRNA VEGF ditemukan diekspresikan relatif rendah pada otak normal, menigkat

pada glioma derajat rendah dan diekspresikan sangat tinggi pada glioblastoma, di

mana ekspresi mRNA VEGF terlihat secara terbatas, di dekat sel-sel perinekrotik

(palisade). Hubungan antara sel-sel penghasil mRNA VEGF dengan area nekrosis

menjelaskan bahwa hipoksia mampu mengnduksi ekspresi VEGF in vivo dan

hipoksia meregulasi angiogenesis pada glioblastoma (Licht & Kesbet, 2013)

Kekurangan vaskularisasi pada tumor menyebabkan perkembangan

lingkungan mikro yang heterogen di sekitar massa tumor tunggal. Perbedaan pada

Universitas Sumatera Utara


pO 2 , pH dan laktat mungkin mempengaruhi ekspresi gen. Sebagai contoh, kondisi

oksigen rendah menginduksi apoptosis pada sel-sel yang telah bertransformasi

yang memiliki tumor supresor gene p53. Sel-sel tumor yang telah kehilangan

fungsi p53 lebih resisten secara signifikan terhadap stres hipoksia,

mengindikasikan bahwa fisiologi stres hipoksia dapat dipilih untuk sel-sel tumor

yang telah kehilangan fungsi untuk melalui apoptosis yang disebabkan oleh

hipoksia. Hilangnya fungsi p53, menginduksi ekspresi VEGF menyebabkan

peningkatan lanjut dari kadar VEGF. Mekanisme ini mungkin memperlihatkan

hubungan antra gangguan genetik dan perubahan angiogenik pada progresi tumor

(Licht & Kesbet, 2013).

Pada glioma, ekspresi mRNA VEGFR-2 terbatas pada sel-sel vaskular dari

glioma derajat tinggi, di mana mRNA VEGFR-1 diekspresikan pada sel-sel

vaskular baik grade rendah maupun grade tinggi. Ekspresi kedua reseptor tersebut

dalam kadar kecil atau tidak ada ekspresi ditemukan pada jaringan otak sehat.

Sebuah perbandingan dari ekspresi ligan dan reseptor pada glioma menunjukkan

korelasi yang jelas antara VEGFR-1 dan VEGFR-2. Penemuan ini menjelaskan

bahwa progresi dari glioma derajat rendah ke glioma derajat tinggi dimediasi oleh

induksi VEGF dan reseptor VEGF. Ekspresi reseptor VEGF diregulasi oleh

VEGF sendiri (Machein & Plate, 2000).

Protein VEGF dideteksi pada sel-sel tumor penghasil VEGF, tetapi jumlah

yang paling besar ditemukan pada vaskulatur. Observasi ini mendukung hipotesis

dari mekanisme parakrin angiogenesis tumor: VEGF disekresi oleh sel-sel tumor,

terikat pada sel-sel endotelial yang juga mengekspresikan reseptor VEGF

(Machein & Plate, 2000).

Universitas Sumatera Utara


Korelasi positif dari kadar mRNA VEGF dan vaskularitas pada glioma

telah dilaporkan. Namun, ekspresi VEGF juga dilihat pada astrositoma grade

rendah, terutama yang berhubungan dengan pembentukan kista atau degenerasi

mikrositik seperti astrositoma protoplasmik. Sebuah hipotesis untuk menghitung

absennya proliferasi vaskular pada astrositoma grade II yang mengekspresikan

VEGF adalah bahwa walaupun VEGF meningkat, reseptor spesifik pada

endotelium belum diekspresikan. Hal ini akan mencegah VEGF menginduksi

neovaskularisasi. Kemungkinan yang lain adalah sinyal tambahan dibutuhkan

untuk memicu angiogenesis pada tumor ini (Machein & Plate, 2000).

Perbedaan utama antara astrositoma pilositik dan fibrillary adalah stroma

vaskularisasi yang tinggi dan frekuensi pembentukan kista. Walaupun proliferasi

vaskular adalah ciri khas untuk progresi pada astrositoma derajat rendah,

astrositoma pilositik tampaknya menjadi pengecualian. Astrositoma pilositik

terjadi biasanya pada anak-anak dan dewasa muda, dan memiliki prognosis yang

sangat baik (Ochring, 1999).

Hipoksia pada astrositoma grade rendah belum dikonfirmasi, masih

spekulasi, bagaimana VEGF diregulasi di tumor-tumor ini. Mekanisme yang

diajukan untuk menjelaskan ekspresi mRNA VEGF pada astrositoma derajat

rendah adalah hilangnya fungsi tumor supressor gene. Namun, studi

imunohistokimia telah gagal menunjukkan korelasi antara akumulasi p54 dan

ekspresi VEGF. Walaupun mekanisme regulasi yang terlibat pada peningkatan

VEGF pada tumor derajat rendah masih belum diuraikan, hal ini mungkin relevan

karena telah dijelaskan bahwa ekspresi VEGF berkorelasi dengan prognosis pada

Universitas Sumatera Utara


astrositoma fibrillary derajat rendah yang difus. (Machein & Plate, 2000)

2.3 Indeks Proliferasi

Meskipun pewarnaan secara konvensional dengan menggunakan

Hematoksilin-eosin krusial untuk diagnosis, namun sejak 2 dekade terakhir

neuropatologi sangat terbantu dengan adanya teknologi imunohistokimia.

Beberapa penanda dari imunohistokimia telah ditemukan untuk diagnostik neuro-

onkologi, sejak glial fibrillary acidic protein (GFAP) ditemukan (Takei,

Bhattacharjee, Rivera, Dancer, & Powell, 2007).

Atrositoma dibedakan ke dalam 4 derajat pada klasifikasi WHO tahun

2000. Sangat penting untuk dapat membedakan astrositoma grade 2 dengan

grade 3 karena hal ini sangat membedakan tatalaksana dan prognosis dari pasien

tersebut. Klasifikasi dari WHO tersebut didasarkan oleh akitifitas proliferasi dari

sel-sel neoplastik yang ditemukan. Berbagai studi telah mendemonstrasikan

korelasi positif antara Ki-67 dengan grade dari tumor berdasarkan klasifikasi

WHO (Takei, 2007). Ki-67 sangat berguna dalam membantu menetukan grading

dari astrositoma dan ekspresi dari Ki-67 proporsional dengan grading WHO (Saha

et al., 2014).

Batas yang digunakan untuk membedakan antara astrositoma grade 2 dan

grade 3 adalah <9% dan >9% (Takei, 2007). Studi lainnya mengatakan bahwa

nilai Ki-67 kurang dari 10% memiliki median angka keselamatan yang lebih

Universitas Sumatera Utara


panjang secara sigifikan dibandingkan dengan nilai Ki-67 lebih dari 10%

(Shaffrey et al., 2005)

Indeks proliferasi merupakan marker poten yang dapat mengestimasi

pertumbuhan dari neoplasma secara kuantitatif dan sangat berguna untuk

menentukan prognosis pada pasien-pasien dengan neoplasma. Berbagai metode

telah digunakan untuk mengestimasi indeks proliferasi pada tumor susunan saraf

pusat dan dari berbagai metode tersebut, metode yang paling poten adalah dengan

Ki-67 labeling index (Thotakura, 2014). Ki-67 terbukti memiliki nilai diagnostik

dan prognostik pada tumor-tumor astrositik (Habberstad, Gulati, & Torp, 2011).

Ki-67 adalah antibodi monoklonal IgG1 class yang pertama kali

ditemukan oleh Gerdes et al pada tahun 1983. Ki-67 dapat mengenali antigen inti

yang ada pada sel yang sedang berproliferasi dan tidak ada pada sel yang dorman.

Antigen ini diekspresikan pada seluruh fase dari siklus sel kecuali G0 dan fase

awal dari G1. Pada awalnya Ki-67 memiliki masalah praktis karena hanya dapat

digunakan pada jaringan segar atau jaringan yang telah dibekukan karena fiksasi

sangat mengurangi pewarnaan imunologi. Dengan ditemukannya antibodi MIB-1

yang dapat mengenali antigen Ki-67 pada jaringan yang difiksasi dengan formalin

atau pada jaringan yang ditanamkan pada farafin sangat meningkatkan nilai

deteksi dari antigen Ki-67 tersebut (Johannessen & Torp, 2006).

Ki-67 secara kuantitatif terkait dengan mitotik indeks melalui perbedaan

dari perbedaan waktu siklus sel dan dapat menunjukan perbedaan grading

malignansi pada tumor-tumor astrositik. Oleh karena itu Ki-67 diharapkan dapat

menjadi parameter proliferasi yang penting untuk menentukan faktor-faktor

prognosis lainnya (Schröder, Feisel, & Ernestus, 2002).

Universitas Sumatera Utara


Ekspresi dari Ki-67dan gen p53 pada pilocytic astrocytoma dan diffuse

astrositoma secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan high grade

astrositoma. Namun tidak ada perbedaan ekspresi yang signifikan antara pilocytic

astrositoma dan diffuse astrocytoma. Ki-67 dikatakan merupakan penanda yang

lebih baik untuk membedakan grading astrositoma serta untuk menentukan

outcome pada pasien dibandingkan dengan p53 (Sengupta et al., 2012). Relevansi

antara prognosis dengan ekspresi p53 juga masih diperdebatkan. Mutasi pada gen

p53 meningkatkan treshold untuk terjadinya apoptosis pada sel-sel yang

mengalami gangguan rantai DNA sehingga mutasi pada gen ini memberikan

dampak hilangnya kemampuan menginduksi apoptosis (Ranjan et al., 2011).

Gambar 3. Ki-67 pada (a) grade 1 astrositoma, (b) grade II astrositoma,

(c) grade III astrositoma, dan (d) grade IV astrositoma (Thotakura et al.,

2014)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai