Anda di halaman 1dari 25

KONSEP KEBAHAGIAAN MENURUT AL-FARABI DAN ARISTOTELES

Alfi Elma Diana


D91219094
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Jl. Ahmad Yani No. 117, Jemur Wonosari, Kota Surabaya, Jawa Timur
Email: elma.dyana28@gmail.com

Abstrak:
Kebahagiaan merupakan tujuan utama bagi kehidupan manusia, namun dalam memkanai
tujuannya tersebut manusia memiliki pandangan yang bermacam-macam. Manusia selalu
ditunut dalam kehidupan ini untuk memanfaatkan kelebihanya dalam besosial demi
tercapainya keseimbangan hidup di dunia. Apabila tujuan manusia hidup untuk memperoleh
harta, memperoleh kekuasan serta kenikmatan-kenikmatan yang lainnya, makan hal-hal
tersebutlah yang harus dicapai oleh manusia untuk memperoleh kebahagiaan. Namun,
apabila tujuan manusia hidup untuk menguatan iman dan berpegang teguh pada agama yang
benar serta melakukan amal saleh, maka tujuan tertinggi yaitu tujuan akhiratlah yang menjadi
penyebab kebahagiaan manusia. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah supaya dapat
mengetahui bagaimana makna dari kebahagiaan menurut al-Farabi dan Aristoteles, konsep-
konsep kebahagiaan menurut pandangan kedua tokoh beserta cara-cara untuk mencapainya.
Kata kunci:
Makna kebahagiaan, al-Farabi, Aristoteles, Cara memperoleh kebahagiaan

Abstract:
Happiness is the main goal for human life, but in interpreting these goals humans have
diverse views. Humans are always required in this life to take advantage of the advantages in
social life to achieve the balance of life in the world. If the purpose of human life is to obtain
wealth, gain power, and other pleasure, then those things must be achieved by humans to
obtain happiness. However, if the human purpose of life is strengthen faith and hold fast to
the true religion and do righteous deeds, then the highest goal, the afterlife is the cause of
human happiness. The purpose of thid research is to be able to know how the meaning of
happiness according to al-Farabi and Aristotle, the concepts of happiness according to the
views of the two figures and ways to get it.
Key word:
The meaning of happiness, al-Farabi, Aristotle, how to get happiness

PENDAHULUAN
Persoalan hidup yang selalu menjadi ukuran kemapanan seseorang adalah
masalah kebahagiaan. Sadar atau tidak, memperoleh kebahagiaan adalah salah satu tujuan
utama dari manusia, pada dasarnya hal apapun yang dilakukan oleh manusia semata-mata
tujuannya ialah hanya untuk memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan dapat memberikan
dampa positif serta negative, untuk itu kebahagiaan dianggap sangat penting, di sini orang
akan merasa bahagia apabila berhubungan positif dengan orang lain, 1. Namun, seringkali kita
berbeda dalam memaknai kebahagiaan tersebut, sehingga kita juga berbeda-beda pandangan
mengenai cara untuk mengapai kebahagiaan tersebut, bahkan terkadang juga ada yang
sampai memperdebatkan demi keunggulan pendapatnya dalam persoalan kebahagiaan.
Sebagian orang menganggap kebahagiaan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan materi,
jadi mereka berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan demi memperoleh apa yang mereka
butuhkan secara mudah, dengan mendapatkannya mereka akan mendapatkan suatu
kebahagiaan. Ada juga yang menyangkutkan kebahagiaan dengan kekuasaan atau bahkan
wanita, dibalik semua itu manusi tidak pernah merasa cukup puas dengan makna dari
kebahagiaan.
Dalam penulisan jurnal kali ini, penulis membahas tentang kebahagiaan. Apa
makna dari kebahagiaan? Lalu bagaimana cara untuk memperoleh kebahagiaan? Dalam hal
ini penulis juga memilih al-Farabi sebagai salah seorang filsuf muslim dan juga Aristoteles
sebagai seorang filsuf Barat untuk dapat menjawab pertanyaan tentang kebahagiaan.
Sebelum itu bagaimana riwayat hidup al-Farabi dan Aristoteles? Dalam jurnal ini penulis
juga memapaarkaan tentang riwayat hidup dari kedua tokoh tersebut berikut karya-karyanya.
Kebahagiaan sering juga disebut dengan kegembiraan dimaknai sebagai perasaan atau
pikiran yang tengah dirasakan oleh seseorang, biasanya hal ini ditandai dengan rasa puas atas

1
Wulandari S & Widyastuti A, “Faktor-faktor Kebaahagiaan di Tempat Kerja” dalam Jurnal Psikologi, Vol. 10, No.
1, (Agustus, 2014), hlm. 49
apa yang telah diperolehnya, yang mana kepuasan tersebut diperoleh sesuai dengan apa yang
diharpkan dan juga apa yang telah diperjuangkan. Berbagai pendekatan agama, filsafat,
biologi, dan psikologi telah dilakukan untuk mengetahui defenisi dari kebahagiaan tersebut.
Menurut al-Farabi kebahagiaan adalah puncak, kebahagiaan merupakan tujuan
hidup dan kita diciptakan oleh Tuhan untuk bahagia. Sebab Tuhan telah menyediaan apa-apa
yang kita butuhkan, dan Tuhan berharap kita akan bahagia dengan semua itu. Ketika
sesorang telah merasakan kebahagiaan tersebut, maka apa-apa yang ia dapatkaan dan lakukan
akan selalu dianggap sebagai perbuatan yang baik. Sementara itu Aristoteles mendefinisikan
kebahagiaan dengan suatu kehidupan akan tampak bekualitas atau bermanfaat dan juga
semakin baik jika seseorang telah meraih apa yang menjadi tujuannya, sebab ia dapat meraih
dirinya sepenuhnya dengan tercapainya tujuan tersebut. Jadi pada intinya kebahagiaan
menurut Aristoteles adalah tujuan hidup bagi manusia. Dan beliau menambahkan bahwa
kebahagiaan merupakan tujuan inti dari kebahagiaan manusia.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian dalam pembuatan jurnal ini adalah dengan menggunakan
penelitian pustaka serta pencarian dalam sebuah artikel , jurnal maupun buku serta cara
menelaahnya atau mengambil benang merahnya dan membuat analisa pribadi. Dalam
penelitian ini, penulis melakukan penelitiannya secara analisis yang komprehensif mengenai
persepsi-persepsi yang telah diungkapkan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang
keilmuan. Basis petunjuk atau data unggul penulis didaptkan dari jurnal, artikel maupun buku
pustaka yang berhubungan dengan filsafat Yunani, filsafat Muslim, konsep kebahagiaan yang
dituangkan oleh al-Farabi juga Aristoteles.
Mengenai metode kebenaran data, penulis memakai pengumpulan data dari
beraneka macam basis yang terkadang tidak sama namun memakai teknik yang serupa.
Metode ini dikerjakan penulis dengan meneliti sejumlah basis dari artikel mauun buku dan
lain-lain yang berperan sebagai referensi dalam penulisan jurnal ini. Dengan begitu, penulis
memperoleh basis yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Bahagia
Kebahagiaan tidak dapat diartikan secara fakta, sebab kebahagiaan
merupakan sesuatu yang terdapat pada diri seseorang yang hanya dapat dirasakan.
Seseorang dapat dikatakan bahagia ketika mereka merasa puas dengan apa yang
dimilikinya atau apa yang diperolehnya, sehiangga mereka merasa berada pada posisi
yang menyenangkan. Pada dasarnya semua pengertian tentang kebahagiaan mengarah
pada subjective well-being (SWB), yaitu konsep menyeluruh yang meliputi
kebahaagiaan, konsep tersebut adalah adanya gairah yang positif, adanya gairah yang
negatif, dan kepuasan hidup.2
Kebahagiaan berasal dari kata bahagia, kata ini berasal dari bahasa
Sansekerta yakni bhagya. Kata bhagya mengandung makna jatah atau bagian yang
menyenangkan, atau bisa juga juga dimaknai keberuntungan. Bahagia dapat diartikan
dengan beruntung atau rasa tenang, senang, dan tentram pada diri seseorang.
Kebahagiaan sendiri memiliki makna suatu ketentraman, ketenangan, kesenangan, dan
keberuntungan dalam hidup secara lahir dan bathin.3 Sebutan happiness merupakan
sebutan kebahagiaan dalam bahasa inggris, yang keduanya sama-sama memiliki makna
suatu ketenangan, kesenangan, serta ketentraman secara lahir bathin tanpa ada rasa
gundah maupun gelisah sedikit pun. Kebahagiaan yang bersifat materi atau berkaitan
dengan segala jenis harta benda dapat dikatakan sebagai kebahagiaan tertinggi di dunia,
sementara itu kebahagiaan yang besar hubungannya dengan persoalan jiwa dikatakan
dengan kebahagiaan tertinggi diakhirat.
Terdapat beragam pendapat dan pandangan mengenai makna kebahagiaan,
seperti kata Socrates yaitu salah seorang filsuf Yunani. Menurut Socrates, sebaik-baik
cara untuk mengapai suatu kesenangan dalam hidup maka seseorang harus mencari cara
untuk menuju kepada suatu kebaikan, menurutnya seseorang secara otomatis memiliki
budi yang baik sebab pengetahuan yang dimilikinya. Namun, Socrates tidak pernah
mempermasalahkan makna kesenangan maupun kebahagiaan dalam hidup, hal ini yang
menjadikan para murid Socrates memaknai suatu kesenangan atau kebahagiaan itu
dengan pendapatnya masing-masing.4 Salah seorang murid Socrates ialah Plato, menurut
Plato kebahagiaan tertinggi dapat diperoleh apabila jiwa sudah tidak lagi menyatu dengan
jazad, hal ini berarti kebahagaiaan tertinggi menurut Plato hanya dapat diperoleh di

2
Harmaini dan Alma Yulianti, “Peristiwa-peristiwa yang Membuat Bahagia” dalam Psympathic Jurnal Ilmiah
Psikologi, Vol. 1, No. 2, (Juni 2014), hal. 111
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 65
4
Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tutamas Indonesia, 1980), hlm. 83
akhirat bukan di dunia. Menurutnya hanya pada jiwalah kebahagiaan tertinggi itu berada
bukan pada jazad, jiwa belum dianggap betul-betul bahagia apabila masih menyatu
dengan jazad, sebab jazad dan jiwa masih berada dalam tubuh yang penuh dengan dosa
dan berbagai macam kepentingan yang abstrak.5
Dari berbagai macam pandangan tentang makna kebahagiaan di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kebahagiaan memiliki makna suatu kondisi atau
keadaan sejahtera, yang mana keadaan yang relaif tetap sebagai tandanya dan disertai
dengan kondisi emosional yang dapat diarkitan gembira secara umum. Keadaan
emosional tersebut dapat berupa rasa suka hingga timbulnya suatu kegembiraan untuk
menjalani suatu kehidupan, serta hadirnya rasa ingin yang bersifat alamiah untuk
meneruskan kondisi ini. Dalam hal ini makna bahagia pada intinya adalah saling
berkaitan dengan keadaan jiwa manusia.
2. Biografi Al-Farabi
a. Riwayat Hidup Al-Farabi
Dari kalangan filsuf muslim, al-Farabi atau yang memiliki nama lengkap
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Thorkhan bin Auzalagh al-Farabi
merupakan salah seorang diantara pemimpin-pemimpin besar. Beliau dijuluki dengan
sebutan al-Farabi sebab dilahirkan di kota Farab tepatnya disebuah dusun kecil di
kota Farab, yaitu Dusun Wasij. Kota Farab terletak di propinsi Transoxiana,
Turkestan, di sanalah al-Farabi dilahirkan yaitu pada sekitar tahun 258 H (870 M). al-
Farabi merupakan keturunan dari bangsawan-militer Turki.6 Ayah al-Farabi
merupakan seorang jendral yang berkebangsaan Pesia, sementara ibunya
berkebangsaan Turki. Pada abad pertengahan al-Farabi disebut dengan julukan Abu
Nashr (Abunaser) oleh orang-orang Latin.
Awal perjalanan pendidikan al-Farabi dimulai sejak beliau belajar al-
Quran, kesusastraan, tata bahasa, aritmatika dasar, dan ilmu-ilmu agama (tafsir, ilmu
hadits, dan fiqih) di kota Farab, di kota tersebut Madzhab Syafi’iah sebagai madzhab
yang paling banyak dianut oleh mayoritas masyarakat, sehingga al-Farabi

5
Ahmad Tibry, Konsep Bahagia HAMKA: Solusi Alternatif Manusia Modern, (Padang: IAIN-IB Press, 2006), hlm.
51
6
Osman Bakar, Hirarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali, Quthb ad-
Din asy-Syirazi, Purwanto (penerj.), (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 26
menghabisan masa remajanya di kota tersebut. Kemudian al-Farabi melanjutkan
studinya ke kota Bukhoro, di sana beliau memperdalam ilmu fikih serta ilmu-ilmu
lainnya. Ketika itu Bukhoro sebagai ibukota sekaligus sebagai pusat intelektual serta
adanya Dinasti Samaniah, selain itu, timbulnya budaya Persia dalam islam
disebabkan oleh munculnya Dinasti Samaniah.7 Bersamaan dengan hal tersebut,
budaya, bahasa serta filsafat Persia mulai dikenal oleh al-Farabi, salah satu hal yang
al-Farabi pelajari adalah tentang music, sehiangga beliau berhasil melahirkan sebuah
karya yang berjudul Kitab al-Mausiqa al-Kabir dalam bidang musik.
Selain itu al-Farabi juga belajar bahasa dan sastra arab di Baghdad kepada
Abu Bakar as-Saraj, kemudian kepada seorang Kristen Nestorian yaitu Abu Bisyr
Mattitus Yunus dalam bidang ilmu filsafat dan logika. Beliau juga pernah belajar
kepada Yuhana Ibnu Hailam. Selanjutnya beliau pindah ke Asia Kecil yaitu pusat
kebudayaan Yunani, tepatnya di kota Harran, di sana beliau memilih Yuhana Ibnu
Jilad untuk dijadikan sebagai gurunya.8 Setelah kurang lebih 20 tahun beliau tinggal
di Harran, kemudian beliau memutuskan untuk berpindah ke Baghdad, di Baghdad
beliau kurang lebih tinggal selama 2 tahun. Di sana beliau membagi waktunya
kedalam dua waktu, yaitu waktu siang digunakannya untuk bekerja sebagai penjaga
kebun dan diwaktu malam beliau gunakan untuk menulis serta membaca ulang karya-
karya filsafatnya.9 Situasi politik yang memburuk di kota Baghdad membuatnya
memutuskkan untuk pindah ke kota Damasus pada sekitar tahun 942, namun taklama
setelah beliau tinggal di Damaskus, situasi politik Damaskus mengalami hal yang
sama dengan Baghdad, akhirnya beliau memutuskan untuk pindah ke Mesir. Dan
pada sekitar tahun 949, beliau akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke
Damaskus.
Perjalanan karir al-Farabi dimulai sekaligus beliau belajar filsafat,
sebelum akhirnya beliau benar-benar mendalami karir filsafatnya, beliau sempat
menjadi seorang Qadi. Namun setelah itu beliau memutuskan untuk pergi ke Merv
dan melepas jabatan Qadinya, tujuannya ke Merv tidak lain adalah untuk

7
Ibid, 29
8
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, (Bandung: Yrama Widya, 2016), hlm. 33
9
Ahmad Zainul Hamdi, Tuju Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang, (Yokyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm,
74
memperdalam ilmu filsafat dan ilmu logika Aristotelian. Al-Farabi memulinya
dengan membaca logika-logika dasar dari Aristotelian dibawah bimbingan guru
utamanya, yaitu Yuhanna bin Hailan. Salah satu buku yang dibaca oleh al-Farabi
adalah buu yang berjudul Analitica Posteriora, yang mana buku tersebut belum ada
dari kalangan filsuf muslim yang membacanya dengan bimbingan dari seorang guru
khusus. Di sini berarti al-Farabilah filsuf muslim pertama yang mempelajari buku
tersebut dengan bimbingan dari seorang guru secara khusus. Ketika memelajari
karya-karya Aristoteles, al-Farabi dapat diketahui bahwa beliau telah menguasai dua
bahasa yaitu bahasa Yunani dan Bahasa Siria. Hal tersebut dibuktikan dengan
penerjemahan karya-karya Aristoteles yang dilakukan oleh al-Farabi kedalam bahasa
Arab.10
Pada sekitar tahun 900, al-Farabi beserta gurunya memutuskan untuk
pindah ke Baghdad, sebelumnya mereka sempat singgah sedikit lama di Herran
hingga akhirnya tiba di Baghdad. Mereka memutuskan pergi ke Konstantinopel yang
tidak lain tujuannya adalah untuk memperdalam ilmu filsafat, di sana mereka
menemui seorang filsuf Nestorian yaitu Matta bin Yunus. Banyak orang yang tertarik
dengan kuliah-kuliah umum Matta bun Yunus tentang logika Aristoteles, sehingga
banyak orang yang tertarik untuk mengikuti kuliah umum tersebut dengan alasan
Matta adalah seorang yang memiliki reputasi tinggi dalam bidang ilmu filsafat. Sama
halnya dengan al-Farabi, beliau dengan segera mengikuti perkuliahan umum tersebut,
namum karena kecerdasan otak al-Farabi, tidak lama kemudian al-Farabi mampu
mengungguli kepintaran gurunya tersebut dalam bidang ilmu logika.
Al-Farabi akhirnya kembali lagi ke Damaskus, beliau memutuskan untuk
tinggal di Damaskus. Kembalinya beliau ke Damaskus ini mendapatkan perlindungan
dari Saif ad-Daulah (w. 967), ia merupakan seorang putra mahkota dari penguasa
baru Siria. Kala itu, al-Farabi yang telah menguasai bidang filsafat, bidang musik,
serta kemampuanya menguasai berbagai macam bahasa mampu membuat Saif sangat
tertarik kepada al-Farabi. Kesederhanaan yang diterapkan al-Farabi dalam
kehidupannya berpengaruh bagi karir filsafatnya. Pada usia delapan puluh tahun

10
Ibid, 73
yaiut bertepatan dengan bulan Desember 950, al-Farabi meninggal dunia di Kota
Damaskus.11
b. Karya-karya Al-Farabi
Sebagai salah satu filsuf besar islam dengan berbagai keahlinya diberbagai
macam ilmu, al-Farabi telah berhasil melahirkan banyak karya. Namun, karya-karya
tersebut telah banyak yang hilang, hal tersebut dikarenakan al-Farabi dalam menulis
karyanya berbentuk risalah-risalah atau berupa karangan pendek.12 Ada sebanyak 30
judul karyanya yang masih tersimpan saat ini, antara lain:
1) Al-Masa „il al-Falsafiyah waa al-Ajwibah Anha
2) As-Syiyasah al-Madaniah
3) Risalah al-Aql
4) Fushul al-Hukm
5) Maqalat fii Ma‟ani al-Aql
6) Ihsa al-Ulm waa at-Ta‟rif bi agh-Radita
7) Ara‟ Ahl al-Madinah al-Fadilah
8) „uyun al-Masaili
9) Risalah fii Itsbat al-Mufaroqoh
10) Kitab Tahsil ash-Sa‟adah
11) Risalah fiima Yajibu Ma‟rifat Qalba Ta‟allimi al-Falsafah
12) Ath-Ta‟liqat
13) Syarah Risalah Zainun al-Khabir al-Yunani
14) Tahqiqi Ghardh Aristu fii Kitab maa Ba‟da at-Thabiah
15) Al-Jam‟u Baina Ra‟ya al-Hakimaini Aflathu waa Aristu
3. Konsep Kebahagiaan Menurut Al-Farabi
a. Makna kebahagiaan menurut al-Farabi
Mendapatkan serta menikmati kebahagiaan adalah salah satu hal yang
selalu diutamakan oleh al-Farabi, menurutnya kebahagiaan merupakan salah satu cara
bagi seorang hamba untuk selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan.
Konsep kebahagiaan al-Farabi cenderung mengarah kepada ajaran tasawuf, hal ini

11
Ibid, 74
12
Asep Sulaiman, 35
dibuktikan ajaran filsafat dan tasawuf yang dikombinasikan olehnya, sehingga pada
akhir hayatnya beliau mendermakan sebagian dari hartanya kepada para fakir dan
miskin. Dalam hal ini, al-Farabi tetap berpatokan pada studi analisa, akal rasio, serta
aspek teoristis praktis, dan tidak hanya berlandaskan tasawuf spiritual biasa saja.
“Kebahagiaan merupakan suatu hal kebaikan yang diinginkan sebab
kebaikan itu sendiri”, ungkapan al-Farabi tersebut memiliki makna bahwa setiap
kebaikan yang dilakukan oleh seseorang adalah sebagai umpan sebab ia suka
melakukan kebaikan tersebut. Tidak ada suatu hal apapun yang menyebabkan
sesorang melakukan kebaikan tersebut, melainkan hanya karena manfaarnya yang
luar biasa dan sebab Allah menyukai kebaikan. Setiap kebahagiaan yang hadir dalam
hidup seseorang adalah suatu yang baik, begitupun dengan sebaliknya. Setiap
kesedihan yang dating e kehidupan manusia selalu dianggap suatu hal yang buruk
atau bisa juga dikatakan suatu malapetaka. Al-Farabi juga menambahkaan dalam
karyanya yang berjudul Risalah Tanbih as-Sabil as-Sa‟adah, bahwa “tujuan akhir
dari kehidupan adalah memperoleh suatu kebaahagiaan”.13 Maksud al-Farabi ialah
tidak ada tujuan lain selain merasakan kebahagiaan dari setiap aktivitas yang
bernuansa baik, yang dikerjakan oleh seseorang.14 Disisi lain, tujuan Tuhan
mencipkan manusia adalah adalah supaya bahagia, Allah telah mempersiapkan segala
kebutuhan yang diperlukan oleh manusia, bahkan Allah juga memberi kemudahan
bagi manusia untuk mendapatkannya, semua itu sebab Allah ingin melihat hambanya
bahagia dan tidak ingin melihat hambanya merasa kesusahan. Apabila suatu hari
seorang hamba masih merasa kurang bahagia dengan keadaanya, padahal Allah telah
mensediakan berbagai macam kebutuhannya serta mempermudah untuk
mendapatkannya, maka secara tidak langsung manusia telah menyakiti perasaan
Allah.
b. Cara untuk mencapai kebahagiaan menurut al-Farabi
Pembahasan utama dalam konsep kebahagiaan ini adalah, kebahagiaan
tertinggi yang bisa dicapai di dunia maupun di akhirat. Untuk memperoleh
kebahagiaan tertinggi tersebut, tentu ada cara tertentu yang harus dilakukan. Menurut

13
Abu Nash al-Farabi, Risalah Tanbih „ala Sabil as-Sa‟adah, (Amman: Universitas Yordania, 1987), hlm. 15
14
Ibid, 15
al-Farabi cara untuk memperoleh kebahagiaan adalah dengan menyeimbangkan
kehidupan dunia dan akhirat, tidak menitih beratkan salah satu diantara keduanya,
apalagi jika hanya mengutamakan kepentingan akhirat saja dan melalaikan
kepentingan dunia. Demi memperoleh suatu kebahagiaan, al-Farabi berusaha
memfokuskan pada konsep teoritis praktis. Dalam pandangan al-Farabi, seseorang
bisa mengapai kebahagian melalui beberapa cara, cara-cara tersebut antara lain yaitu:
dengan adanya niat, tekat, sikap, dan kehendak yang kuat dari individu untuk
mematuhi setiap peraturan-peraturan moral yang berlaku. Peraturan moral atau
hukum yang berlaku menentuhkan sikap yang harus diambil oleh manusia dalam
berbuat, yang mana peraturan-peraturan tersebut terbentuk atas dasar kodrat
individu.15 Moral dan hukum sejatinya bagian dari kodrat manusia, akan tetapi
terkadang manusia melalikan atau bahkan sering melupakannya. Begitu juga dengan
niat, tekat, kehendak, juga sikap, sebagai kodrat asli dari manusia, manusi dituntut
untuk dapat mengaplikasikannya sesuai dengan petunjuk serta peraturan yang
berlaku. Misalnya saja, untuk menggapai suatu kebahagiaan maka kodrat manusia
harus berbuat suatu jenis kebaikan yang hanya bersifat baik-baik saja dalam
kehidupannya.
Dengan demikian, langkah pertama yang harus diambil oleh manusia
untuk memperoleh kebahagiaan adalah kehendak. Yang dimaksud dengan kehendak
disini adalah setiap sesuatu yang dirasa baik oleh hati dan pikiran yang kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila sesuatu yang baik
tersebut belum dapat dirasakan, maka kebahagiaan akan sukar diwujudkan. Sangat
banyak hal yang dirasa baik dalam pikiran dan hati manusia, namun mereka terlalu
menganggap sulit untuk mewujudkannya, sehingga kebahagiaan sukar didapat.
Seperti halnya sedekah, sedekah merupakan salah satu hal yang baik, secara kodrat
manusia sudah mengetahui akan kelebihan dan hal apa yang akan didapat ketika
mereka bersedekah, akan tetapi mereka malah enggan untuk mengeluarkan sedekah,
sehingga kebahagiaan yang harus nya mereka dapat harus tertunda sementara hingga
mereka sadar untuk mendapatkan kebahagiaan mereka harus melakukan hal-hal yang
baik yaitu salah satunya dengan mengeluarkan sedekah.

15
Drijakara, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1981), cet. Ke-4, hlm. 26-27
Kemudian, langkah berikutnya yang dapat diambil manusia untuk
mendapatkan kebahagiaan adalah dengan cara istiqomah atau terus-menerus. Terus-
menerus dalam hal kebaikanlah yang ditekanan di sini, hal baik tersebut dapat berupa
akhlak-akhlak yang terpuji yang dikerjakan atas dasar kemauan dan kesadaran.
Kodrat manusia yang paham akan akhlak terpuji, menurut al-Farabi patut untuk
diprakterkan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga mereka sadar dan kebiasaan
baik tersebut dapat menjadi suatu kewajiban bagi mereka.16 Yaitu kewajiban untuk
berahklakul karimah terhadap sesama. Dengan begitu, dapat diambil pemahaman
bahwa siapapun yang ingin memperoleh puncak kebahagiaan, maka yang harus
dilakukan adalah dua hal. Pertama, menerapkan sifat baik atau berakhlakul karimah
dalam ehidupan bermasyarakat. Kedua, dalam berbuat baik manusia harus
menjadikan perbuatan baik tersebut sebagai kebiasaan yang timbul dari kesadaran
dirinya sendiri, atau bahkan menjadikan kebaikan tersebut sebagai hal yang wajib
dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain kedua langakah atau cara tersebut, al-Farabi juga memiliki cara lain
untuk memperoleh suatu kebahagiaan. Menurutnya hal utama yang menjadi kunci
kebahagiaan adalah apabila keutamaan yang memiliki empat jenis sifat itu terpenuhi.
Keutamaan sendiri menurut al-Farabi memiliki makna kesempurnaan yang dapat
diraih oleh keadaan jiwa yang timbul secara teoritis, maksunya ialah dalam bertindak
hasil yang sempurna dan unggul yang dapat dicapi oleh seseorang itulah yang
dianggap sebagai utama.17 Kempat jenis sifat utama yang dimaksud al-Farabi adalah:
pertama, kautamaan dalam berfikir atau yang sering disebut dengan intelektual,
dengan keutamaan ini manusia dapat mengetahui manfaat serta tujuan dari sesuatu
yang dianggap paling utama, misalnya saja keutamaan yang berorientasi pada
kebudayaan atau bisa juga diartikan keutamaan dalam penyusunan peraturan-
peraturan, dalam istilah bahasa Arab keutamaan ini disebut fadhail fikriyah
madaniyah.18 Kedua, keutamaan yang bersifat teoritis, keutamaan jenis ini merupakan
ilmu pengetahuan yang sumber memperolehnya tidak diketahui secara pasti dari

16
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hlm. 65
17
Afifeh Hamedi, “Farabi‟s View of Happiness”, International Journal of Advanced Research, Vol. 1. Isuue. 7,
2013, hlm. 475
18
Abu Nashr al-Farabi, Tahshil al-Sa‟adah…, hlm. 57
mana berasal, manusia tidak pernah tau mulai kapan ia mendapatkan pengetahuan
tersebut, akan tetapi manusia hanya memiliki persepsi bahwa mereka mendapatkan
pengetahuan tersebut dengan cara melakukan suatu penelitian bisa juga dari proses
belajar mengajar atau dari renungan yang bersifat kontemplatif. Ketiga, keutamaan
yang berorientasikan akhlaki, yaitu kebaikanlah yang dijadikan tujuan dalam
keutamaan. Keempat, keutamaan secara praktis atau amali, untuk dapat meraih
keutamaan ini terdapat dua metode yang harus dilakukan yaitu mengajukan beberapa
pertanyaan yang dapat merangsang dan juga dapat memuaskan.
Kemudian jazad dan jiwa tidak akan begitu mengalami kerusakan yang
parah apabila mengambil keutamaan dari tengah-tengah, tambah al-Farabi.
Keutamaan tengah-tengah tersebut tentu dengan memperhatian tujuan, cara, tempat,
waktu, dan orang yang menerapkannya, sehingga terpenuhilah semua syarat-
syaratnya. Dari paparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, menurut al-Farabi
untuk meraih kebahagiaan terdapat empat cara atau jalan yang bisa ditempuh,
keempat cara tersebut yaitu: Pertama, kehendak juga niat, maknanya setiap perkara
yang dianggap baik oleh hati juga pikiran manusia harusnya diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat atau bisa juga dimaknai mewujudkan setiap hal yang dirasa
baik oleh pikiran dan hati dirasa harus, secara lebih singkatnya meneraapan akhlakul
karimah dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, kemaauan dan kesadaran dalam
melaksanakan kegiatan terpuji yang dijadikan sebagai kegiatan rutin atau secara
istiqamah dan teruss menerus, artinya untuk dapat memaknai kebahagaaiann yang
sejatinya manusia harus membiasakan berbuat baik dalam lingkungan masyaarakat
yang mana kebaaikan tersebut dijalakan secara rutin dan terus menerus. Ketiga,
paham benar mengenai keempat sifat dari keutamaan, sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas. Keempat, menetapkan keutamaan tengah-tengah sebagai pedoman
dalam menggunakan keutaman, dengan tujuan dapat menjaga jazad dan jiwa sehingga
tidak berlebihan yang dapat menimbulkan kerusakan pada jazzad dan jiwa.
4. Biografi Aristoteles
a. Riwayat Hidup Aristoteles
Arisstoteles dilahirkan di kota Stagira, sebuah kota di daerah Chalcidice,
Thracia, mecedonia tengah, yaitu masuk dalam wilayah Yunani Utara. Beliau lahir
pada sekitar tahun 384 SM.19 Ayah Aristoteles memiliki profesi sebagai seorang
dokter, hal ini sangat mempengaruhi pengalaman empiris Aristoteles, ayah
Aristoteles bernama Nicomacus,, beliau merupakan dokter pribadi dari Raja Amyntas
III dari Mecodonia. Aristoteles banyak memelajari hingga hampir menguasai seluruh
macam ilmu, diantaranya Astronomi, Matematika, Retorika dan masih banyak lagi
ilmu lain yang berkembang pada masa itu. Pada saat Aristoteles meginjak usia 15
tahu, sang ayah meninggal dunia hingga akhirnya beliau harus ikut dan diasuh sang
paman yaitu Proxenus. Aristoteles dikirim ke Athena ketika beliau berusia 17 tahu,
dengan tujuan supaya Aristoteles belajar kepada Plato, dan menjadi salah satu murid
di Akademia milik Plato. Ketika berada dibawah bimbingan lato inilah Aristoteles
mulai tertarik denga filsafat, Aristoteles tinggal bersama Plato sekitar 20 tahun
lamanya, sebelum akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan Athena setelah
kepergian Plato untuk selama-lamanya. 20 tahun bukan merupakan waktu yang
singkat, kehidupan bersama-sama yang mereka jalin cukup lama sepertinya tidak
hanya menjadikan hubungan keduanya sebagai hubungan antara murid dan guru saja,
melainkan mereka menjadi sepasang sahabat.20
Setelah Plato meninggal dunia, yaitu sekitar tahun 347 SM. Maka
kepemimpinan academia Plato diteruskan oleh sang keponakan yaitu, Speussipos.
Aristoteles memutuskan untuk pergi menggembara dan meninggalkan Athena, dalam
penggembaraan tersebut kurang lebih berjalan selama 12 tahun, alasan Aristoteles
pergi dari Athena adalah, Karena saat itu ada beberapa murid dari Plato diantaranya
Aristoteles dan Xenocrates tidak sependapat mengenai pandangan Speussipos tentang
filsafat yang dianggapnya memiliki kesamaan dengan matematika. Dalam masa
pengembaraan Aristoteles berhasil mendirikan sebuah academia yang terletak di
Assus, ketika itu pula Aristoteles berjumpa dengan gadis Assus dan memutuskan
untuk menikahinya, namun pernikahan tersebut tidak berjalan lama, sebab sang istri
meninggal dunia, gadis Assus tersebut bernama Phytias. Phytias adalah keponakan
dari Hermeias, Hermeies sendiri merupakan penguasa dari kota Assus pada masa itu.
Tak lama setelah itu Aristoteles menikah lagi denga seorang wanita yang bernama

19
Aloysius Germia dan Sholahudin al-Ahmed, Logika Kritis Filsuf Klasik, (Yokyakarta: SOCIALITY, 2020). Hlm.
101
20
Ibid, 101
Herpyllis, wanita tersebut berhasil memberikan Aristoteles keturunan, yaitu seorang
putra yang diberi nama Nicomacus. Setelah berhasil mendirikan sebuah academia di
Assus, Aristoteles memutuskan untuk mendikiran sebuah academia di Mytilele, salah
satu alasan Aristoteles mendirian sebuah academia di Mytilele adalah sebab saat itu di
Persia tengan marak-maraknya terjadi penyerangan. Selain itu raja dari Macedonia
yaitu raja Philipos meminta langsung kepada Aristoteles untuk mengajari anaknya,
yaitu Alexander Agung, saat itulah kurang lebih selama tiga tahun beliau menjadi
seorang guru Alexander Agung.21 Ketika Aristoteles menjagi guru Alexander Agung,
Alexander Agung baru berusia 13 tahun. Masyarakat Macedonia sudah tidak asing
lagi dengan Aristoteles, pasalnya kita telah tahu bahwa sang ayah dulu sebagai
seorang dokter pribadi di istana kerajaan Pella. Athena sepertinya memang tempat
yang sangat memiliki banyak kenangan bagi Aristoteles, pasalnya setelah Alexander
naik menjadi tahta di kerajaan yaitu pada tahun 335 SM. Yaitu ketika Alexander
Agung genap berusia 19 tahun. Aristoteles memutuskan untuk mendirikan semacam
academia di Lyceum, yaitu sebuah daerah di Athena. Academia tersebut terleta di
bekas gedung olahraga. Pengembaraan selama 12 tahun itu sepertinya dihabiskan
Aristoteles untuk menyumbangkan pikiranya dengan cara memberikan sebuah kuliah-
kuliah, mengadakan suatu penelitian, eksperimen dan riset. Dalam mengadakan
eksperiman Aristoteles selalu mendapat bantuan dari Alexander Agung untuk
persoalan dana, tanpa imbalan apapun Alexander Agung memberikan dana kepada
Aristoteles, yaitu hanya bertujuan sebagai balas budi baik Aristoteles kepadanya dulu
yang telah memberinya suatu pengajaran. Selama inilah Aristoteles banyak
mengarang buku hingga menjadi sebuah karya, namun banyak karya Aristoteles yang
tertanggal hingga akhirnya beliau waafat pada usia 62 tahun ditahun 324 SM.
Aristoteles meninggal di pulau Euboea tepatnya di kota Chacis.22
b. Karya-karya Aristoteles
Ada sebanyak delapan bahasan pokok dari karya-karya Aristoteles,
kedelapan bahasan pokok tersebut antara lain:
1) Dalam bidang flsafat alam, meliputi:

21
Maksum , Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Sampai Postmoderenisme,(Yokyakarta: Ar-Ruzz, 2016), hlm. 67
22
Henry J Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani KUno Sampai Zaman Modern,
(Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 84
a) De Caelo (pembahasan tentang langit)
b) Meteorological (pembahasan tentang jagad raya beserta bagian-bagiannya)
c) Phisicia
d) De Generatione et Corruptione (pembahasan tentang muncul-lenyapnya
jasmani pada makhul hidup)
2) Dalam bidang logika, meliputi:
a) De Interpretation (pembahasan tentang penafsiran)
b) Topica
c) Analytica Posteriora (pembahasan tentang analitik logika yang akhir)
d) Categoriac (pembagian kategori)
e) Analytics Priora (pembahasan tentang analitik logika yang awal)
f) De Sophistics Elenchis (pembahasan tentang cara kaum Shofis dalam
berargumentasi)
3) Dalam bidang biologi, meliputi:
a) De Generation Animalium (pembahasan tentang tingkah laku hewan atau
binatang)
b) De Mutu Animalium (pembahasan tentang gerak binatang)
c) De Partibus Animalium (pembahasan tentang binatang serta bagian-
bagiannya)
d) De Incessu Animalium (pembahasan tentang binatang yang berjalan)
4) Dalam bidang psikologi, meliputi:
a) Arva Naturalia (pembahasan pokok secara alamiah yang berbetuk karangan-
karangan)
b) De Anima (pembahasan tentang jiwa)
5) Dalam bidang poetika dan retorika, meliputi:
a) Poetica
b) Rhetorica
6) Dalam bidang etika, meliputi:
a) Magna Moralia (pembahasan tentang moral yang dikarang secaara besar-
besaran)
b) Etica Nicomachea
c) Ethica Eudemia
7) Dalam bidang ekonomi dan politik, meliputi:
a) Economics
b) Politics.23
5. Konsep Kebahagiaan Menurut Aristoteles
Kebahagiaan atau happiness merupakan kata yang berasal dari “happy”, kata
ini memiliki makna bahagia, Aristoteles menyatakan bahwa kata-kata tersebut semakna
dengan having fun, feeling good, having a good time, suatu pengalaman yang dapat
menggembirakan atau menyenangkan. Sementara itu menurut Aristoteles orang yang
tengah berbahagia adalah mereka-mereka yang menempatkan good health, good birth,
good luck, good friends, good look, good money, goodness, and good reputation di dalam
dirinya.
Filsafat menjabarkan bahwa, apabila seseorang merasakan kebahagiaan maka
orang tersebut tengah dikuasai oleh hawa nafsunya, dalam hal ini Aristoteles
menambahkan apabila kita menginginkan suatu kebahagiaan maka suatu tindakan
mengharuskan kita untuk mencapai kebahagiaan tersebut, jadi kita tidak bisa
mengusahakan suatu kebahgiaan tanpa mengharuskan suatu tindakan. Mengenai tujuan
akhir dari manusia, Aritoteles sepakat denga kedua gurunya yaitu Plato dan Socrates,
yang mana menurut Plato dan Socrates mengungkapkan bahwa tujuan akhir manusi
hidup adalah bahagia. Dari semua golongan manusia, dari golongan manusia yang biasa,
golongan manusia yang baik, hingga golongan manusia yang sempurna tidak pernah sepi
dalam memperbincangkan masalah kebahagiaan. Semua golongan manusia sepakat
bahwa bahagia merupakan suatu kata yang memiliki tujuan yang tinggi. Hingga mereka
memaknai bahagia sebagai hidup dan melakuan kegiatan yang serba baik.24 Menurut
Aristoteles manusia sudah tidak lagi memerlukan apa-apa atau hal yang lainya jika
kebahagiaan manusia telah dicapai, jika hal yang lainnya masih dicari oleh manusia
apabila ia telah mencapai kebahagiaan, maka itu merupakan suatu yang tidak masuk akal.
Atau secara sederhana Aristoteles membahasakannya dengan kebahagiaan bagi satu
pihak merupakan kebahagiaan yang dicari hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk piha

23
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 55-56
24
Aristoteles, Nicomachean Ethnic, translated and edited by Roger Crisp, (UK: Cambridge University Press, 2004),
hlm. 5-6
yang lain atau bahkan untuk sesuatu yang lain. Cuku baginya kebahagiaan untuknya
tanpa ada tambahan yang lainnya.25 Aristoteles dalam memaknai kebahagiaan
mengklasifikasikannya kedalam dua pokok ide, Pertama, Aritoteles mengasumsikan
kebahagiaan sebagai suatu tujuan, menurutnya setiap tingkah yang dilakukan oleh
manusia tidak lain intinya untuk mengejar tujuan demi mendapatkan suatu hal terbaik
menurutnya. Kemudian sesuatu itu dijadikannya sebagai tujuan yang paling tinggi di
dalam hidupnya, yang mana tujuan paling tinggi tersebut dalam pandangan Aristoteles
adalah kebahagiaan (eudaimonia). Kedua, Aristoteles mengasumsikan kebahagiaan
sesuai dengan isinya, menurutnya suatu kegiatan atau aktivitas sama dengan kebahagiaan,
hal ini dilatar belakangi oleh adanya kemampuan atau potensi. Pandangan Aristoteles
menyatakan bahwa adanya kemampuan atau potensi sebab adanya kegiatan atau aktivitas
yang berlangsung. Kemampuan atau potensi bukanlah suatu hal yang berpengaruh bagi
kesempurnaan makhluk hidup, akan tetapi kemampuan tersebut sudah sampai kepada
aktualisasi.
Aristoteles menagnggap bahwa kebahagiaan merupakan tujuan yang sangat
ingin bahkan harus digapai oleh setiap manusia, semua orang selalu mencari kebahagiaan
ini. Namun, jalan yang berbeda harus manusia jalani untuk mencapainya, sebab tidak
mungin akan sampai pada tujuan itu apabila manusia satu terus mengikuti langkah
manusia yang lain. Kebahagiaan setiap orang dapat terwujud melalui jalannya sendiri-
sendiri, sesuai dengan seberapa besar niat serta kesadaran manusia tersebut untuk
memperoleh tujuan hidup yaitu kebahagiaan. Kemudian, apabila kegiatan yang dilakukan
oleh manusia semakin sesuai dengan niatnya yaitu memandang suatu kebahagiaan
sebagai tujuan akhir dari hidup maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh manusia
akan semakin mendalam atau bisa juga disebut ikhlas. Dalam masalah kebahagiaan ini
keutamaan berada diposisi yang sangat istimewa menurut Aristoteles, beliau memaknai
keutamaan dengan tujuan sejati, maksudnya agar dapat sampai kepada tujuan sejadi
dalam hidup maka keutamaanlah yang akan membawa manusia kepada tujuan sejati
tersebut, yang mana maksud dari tujuan sejati di sini adalah bahagia. Maksud Aristoteles
memaknai hidup bersama keutamaan adalah, hidup yang benar-benar disusun sesuai
dengan aturan secara baik. Kemudian maksud dari keutamaan itu sendiri adalah

25
Frans Magnis Suseno, Menjadi Manusia, (Yokyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 4
perbuatan manusia yang baik dan terarah adalah hasil dari keutamaan. Untuk dapat
menggapai kebahagiaan, Aristoteles mengajak manusia supaya hidup secara bermoral.
Kebahagiaan benar-benar tidak dapat dikatakan sebagai suatu kehormatan,
sebab kehormatan sebagai suatu penampakan dasar, sedangkan kebahagiaan adalah suatu
yang harus ada pada diri setiap insan dan harus dimilikinya. Kepastian untuk
membuktikan bahwa diri seseorang itu benar-benar baik akan selalu dikejar oleh orang
yang sangat ingin memperoleh kehormatan, orang-orang tersebut sangat berharap
mendapatkan penghormatan dari orang lain secara sempurna yang bersumber dari
kesempurnaan pribadi, dengan demikian kesempurnaan menandakan bahwa ia lebih
unggul dari kehormatan. Akan tetapi, kesempurnaan saja belum bisa dikatakan bahagia.
Gagasan Aristoteles tentang makna kebahagiaan ini menyatakan bahwa hidup bahagia
terdiri atas suatu hal apapun kecuali kesenangan atau hal lain apapun kecuali kehormatan,
kesempurnaan, tindakan kebaikan ataau bahkan aktivitas-aktivitas yang berlandaskan
teori.26
Menurut Aristoteles, salah satu hal yang paling penting dalam gejala
kemanusiaan adalah moralitas, yang mana moralitas ini dapat dimaknai sebagai seluruh
peraturan yang mencakup serta bagaimana harusnya manusia itu hidup dan bagaimana
manusia mengatur kelangsungan hidupnya, dengan tujuan hidup dalam keadaan menjadi
orang yang baik. Moralitas harusnya diajarkan kepada manusia melalui pendidikan
moral, dengan hal ini perbuatan tiap-tiap individu dapat dilihat. Apabila manusi
merasakan suatu kebahagiaan dalam hal kebaikan, maka pendidikan moral tersebut
dianggap berhasil, dan sebaliknya apabila manusi merasakaan suatu kebahagiaan dalam
hal keburukan, makan pendidikan moral tersebut dianggap telah gagal. Aristoteles
menambahkan, kebahagiaan yang sejati hanyalah kebahagiaan yang bersumber dari batin
yang telah terdidik. Untuk itu ada harusnya kita mendidik pendidikan batin dimulai dari
sekarang.
6. Perbandingan Makna Kebahagiaan Menurut Al-Farabi dan Aristoteles
Persoalan Al-Farabi Aristoteles
Makna Kebahagiaan merupakan salah Aristoteles dalam memaknai
kebahagiaan satu cara bagi seorang hamba kebahagiaan mengklasifikasikannya

26
Aristoteles, Nicomachean Ethnic, translated…. hlm. 130
untuk selalu bersyukur atas apa kedalam dua pokok ide, yaitu
yang telah diberikan oleh 1. Aritoteles mengasumsikan
Tuhan. setiap kebaikan yang kebahagiaan sebagai suatu tujuan,
dilakukan oleh seseorang adalah menurutnya setiap tingkah yang
sebagai umpan sebab ia suka dilakukan oleh manusia tidak lain
melakukan kebaikan tersebut. intinya untuk mengejar tujuan
Tidak ada suatu hal apapun demi mendapatkan suatu hal
yang menyebabkan sesorang terbaik menurutnya. Kemudian
melakukan kebaikan tersebut, sesuatu itu dijadikannya sebagai
melainkan hanya karena tujuan yang paling tinggi di dalam
manfaarnya yang luar biasa dan hidupnya, yang mana tujuan
sebab Allah menyukai kebaikan paling tinggi tersebut dalam
pandangan Aristoteles adalah
kebahagiaan (eudaimonia).
2. Aristoteles mengasumsikan
kebahagiaan sesuai dengan isinya,
menurutnya suatu kegiatan atau
aktivitas sama dengan
kebahagiaan, hal ini dilatar
belakangi oleh adanya
kemampuan atau potensi.
Pandangan Aristoteles
menyatakan bahwa adanya
kemampuan atau potensi sebab
adanya kegiatan atau aktivitas
yang berlangsung. Kemampuan
atau potensi bukanlah suatu hal
yang berpengaruh bagi
kesempurnaan makhluk hidup,
akan tetapi kemampuan tersebut
sudah sampai kepada aktualisasi.
Cara Cara untuk memperoleh Aristoteles menagnggap bahwa
memperoleh kebahagiaan adalah dengan kebahagiaan merupakan tujuan yang
kebahagiaan menyeimbangkan kehidupan sangat ingin bahkan harus digapai
dunia dan akhirat, tidak menitih oleh setiap manusia, semua orang
beratkan salah satu diantara selalu mencari kebahagiaan ini.
keduanya, apalagi jika hanya Namun, jalan yang berbeda harus
mengutamakan kepentingan manusia jalani untuk mencapainya,
akhirat saja dan melalaikan sebab tidak mungin akan sampai
kepentingan dunia. Adapun pada tujuan itu apabila manusia satu
menurut al-Farabi cara-cara terus mengikuti langkah manusia
tersebut adalah: yang lain. Kebahagiaan setiap orang
1. Kehendak juga niat, dapat terwujud melalui jalannya
maknanya setiap perkara sendiri-sendiri, sesuai dengan
yang dianggap baik oleh hati seberapa besar niat serta kesadaran
juga pikiran manusia manusia tersebut untuk memperoleh
harusnya diterapkan dalam tujuan hidup yaitu kebahagiaan.
kehidupan bermasyarakat Kemudian, apabila kegiatan yang
atau bisa juga dimaknai dilakukan oleh manusia semakin
mewujudkan setiap hal yang sesuai dengan niatnya yaitu
dirasa baik oleh pikiran dan memandang suatu kebahagiaan
hati dirasa harus, secara lebih sebagai tujuan akhir dari hidup
singkatnya meneraapan maka kegiatan-kegiatan yang
akhlakul karimah dalam dilakukan oleh manusia akan
kehidupan bermasyarakat. semakin mendalam atau bisa juga
2. Kemaauan dan kesadaran disebut ikhlas.
dalam melaksanakan kegiatan
terpuji yang dijadikan
sebagai kegiatan rutin atau
secara istiqamah dan teruss
menerus, artinya untuk dapat
memaknai kebahagaaiann
yang sejatinya manusia harus
membiasakan berbuat baik
dalam lingkungan
masyaarakat yang mana
kebaaikan tersebut dijalakan
secara rutin dan terus
menerus.
3. Paham benar mengenai
keempat sifat dari keutamaan,
sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas.
4. Menetapkan keutamaan
tengah-tengah sebagai
pedoman dalam
menggunakan keutaman,
dengan tujuan dapat menjaga
jazad dan jiwa sehingga tidak
berlebihan yang dapat
menimbulkan kerusakan pada
jazzad dan jiwa.

SIMPULAN
1. Kesimpulan
Kebahagiaan memiliki makna suatu kondisi atau keadaan sejahtera, yang mana
keadaan yang relaif tetap sebagai tandanya dan disertai dengan kondisi emosional yang
dapat diarkitan gembira secara umum.
Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin
Thorkhan bin Auzalagh al-Farabi. Beliau dijuluki dengan sebutan al-Farabi sebab
dilahirkan di kota Farab tepatnya disebuah dusun kecil di kota Farab, yaitu Dusun Wasij.
Kota Farab terletak di propinsi Transoxiana, Turkestan, di sanalah al-Farabi dilahirkan
yaitu pada sekitar tahun 258 H (870 M).
Kebahagiaan menurut al-Farabi adalah setiap sesuatu yang baik yang hadir dalam
hidup seseorang. Kebahagiaan merupakan salah satu cara bagi seorang hamba untuk
selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan. setiap kebaikan yang
dilakukan oleh seseorang adalah sebagai umpan sebab ia suka melakukan kebaikan
tersebut. Menurutnya cara untuk memperoleh kebahagiaan adalah dengan
menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat, tidak menitih beratkan salah satu diantara
keduanya, apalagi jika hanya mengutamakan kepentingan akhirat saja dan melalaikan
kepentingan dunia.
Arisstoteles dilahirkan di kota Stagira, sebuah kota di daerah Chalcidice, Thracia,
mecedonia tengah, yaitu masuk dalam wilayah Yunani Utara. Beliau lahir pada sekitar
tahun 384 SM.
Kebahagiaan menurut Aristoteles adalah apabila kita menginginkan suatu
kebahagiaan maka suatu tindakan mengharuskan kita untuk mencapai kebahagiaan
tersebut, jadi kita tidak bisa mengusahakan suatu kebahgiaan tanpa mengharuskan suatu
tindakan. Semua orang selalu mencari kebahagiaan ini. Namun, jalan yang berbeda harus
manusia jalani untuk mencapainya, sebab tidak mungin akan sampai pada tujuan itu
apabila manusia satu terus mengikuti langkah manusia yang lain. Kebahagiaan setiap
orang dapat terwujud melalui jalannya sendiri-sendiri, sesuai dengan seberapa besar niat
serta kesadaran manusia tersebut untuk memperoleh tujuan hidup yaitu kebahagiaan.
Kemudian, apabila kegiatan yang dilakukan oleh manusia semakin sesuai dengan niatnya
yaitu memandang suatu kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari hidup maka kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh manusia akan semakin mendalam atau bisa juga disebut
ikhlas.
2. Saran
Setelah penulis memaparkan beberapa penjealasan di atas, maka penulis
memberikan saran yang berkaitan dengan jurnal karya penulis ini, diantaranya:
a. Dengan adanya penulisan jurnal ini, penulis berharap akan ada banyak orang lagi
yang lebih mengetahui makna kebahagiaan, terlebih lagi makna kebahagiaan
menurut al-Farabi dan Aristoteles.
b. Penulis berharap, akan ada banyak buku atau penelitian ilmiah yang membahas
tentang kebahagiaan, yang termuat di dalamnya secara terperinci dan lengkap. Sebab
untuk saat ini masih mini sekali buku yang membahas tentang kebahagiaan, selain
itu bukunya rata-rata terbitan lama.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012.


al-Farabi, Abu Nash. Risalah Tanbih „ala Sabil as-Sa‟adah. Amman: Universitas Yordania,
1987.

Aristoteles. Nicomachean Ethnic, translated and edited by Roger Crisp. UK: Cambridge
University Press, 2004.
Bakar, Osman. Hirarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi,
al-Ghazali, Quthb ad-Din asy-Syirazi. Purwanto (penerj.). Bandung: Mizan, 1997.

Dahlan, Abdul Aziz. Pemikiran Filsafat dalam Islam. Padang: IAIN IB Press, 1999.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1990.

Drijakara. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan, 1981.

Germia, Aloysius dan Sholahudin al-Ahmed. Logika Kritis Filsuf Klasik. Yogyakarta:
Sociality, 2020.

Hamdi, Ahmad Zainul. Tuju Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2004.

Hamedi, Afifeh. Farabi‟s View of Happiness. International Journal of Advanced Research.


Vol. 1, Isuue. 7, 2013.

Maksum. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Sampai Postmoderenisme. Yogyakarta: Ar-
Ruzz, 2016.

Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tutamas Indonesia, 1980.

Schmandt, Henry J. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai
Zaman Modern. Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Sulaiman, Asep. Mengenal Filsafat Islam. Bandung: Yrama Widya, 2016.

Suseno, Frans Magnis. Menjadi Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Tibry, Ahmad. Konsep Bahagia HAMKA: Solusi Alternatif Manusia Modern. Padang: IAIN-
IB Press, 2006.
Wulandari, S & Widyastuti, A. Faktor-faktor Kebaahagiaan di Tempat Kerja Jurnal
Psikologi. Vol. 10, No. 1. 2014

Yulianti, Alma dan Harmaini. Peristiwa-peristiwa yang Membuat Bahagia. Psympathic


Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol. 1, No. 2, 2014.

CURRICULUM VITAE

NAMA LENGKAP : ALFI ELMA DIANA


NAMA PANGGILAN : ELMA
TTL : Bojonegoro, 28 Oktober 2000
PRODI/ FAK/ UNIV/ TAHUN : Pendidikan Agama Islam/
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan/
UINSA Surabaya/
2019/2020
ALAMAT : Butoh, Sumberrejo, Bojonegoro
HOBI : Membaca
CITA-CITA : Dokter
RIWAYAT PENDIDIKAN : MI Islamiyah Butoh Sumberrejo, Bojonegoro
MTs Islamiyah Attanwir Talun, Bojonegoro
MA Islamiyah Attanwir Talun, Bojonegoro
MOTTO HIDUP : Jangan menunda suatu pekerjaan sampai besok
sedangkan kamu bisa mengerjakannya sekarang
KATA FILSAFAT : Ketika hatimu suci, maka akan kau dapati
kebahagiaan yang sejati

Anda mungkin juga menyukai