Anda di halaman 1dari 17

“ RESUME TASAWUF “

Diajukan Sebagai salah Satu Syarat Guna Menyelesaikan Tugas UAS


Pada Mata Kuliah Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu Mata Kuliah: Zulqarnain, M.Hum., Ph.D

Disusun Oleh:
MUHAMMAD ASHARI

(NIM. 2018. 153.1118)

Semester : 4 MPI D

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM(YPI)


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI)
NUSANTARA BATANG HARI
TAHUN 2019/2020
RESUME TASAWUF

A. Definisi Tasawuf

Tasawuf adalah salah satu upaya atau usaha yang dilakukan oleh seseorang
untuk menyucikan jiwa dengan cara menjauhi pengaruh kehidupan yang bersifat
kesenangan duniawi dengan cara mendekatkan diri kepada Allah sehingga
kehadiran Allah senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan (Pemadi,
2004).

Tasawuf merupakan cabang imu yang menekankan dimensi rohani daripada


materi, akhirat daripada dunia fana, dan bathin daripada lahir. Nilai spiritual
seperti keikhlasan ibadah dan kerinduan kepada Allah merupakan tujuan pokok
tasawuf. Para sufi berzuhud, menerima kepurusan Allah SWT dengan hati lapang
dan berdzikir hingga mencapai kesatuan wujud (Armando, 2005).

Berikut pengertian tasawuf berdasarkan etimologi atau asal bahasanya:

 Ahlu suffah, yaitu sekelompok orang pada masa Rasulullah yang hidupnya
diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka
mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
 Shafa, yaitu nama bagi orang-orang yang bersih atau suci. Makna tersebut
sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang bersih atau suci,
maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya di hadapan Allah
SWT.
 Shaf, yaitu orang-orang yang ketika salat berada di barisan yang paling
depan. Makna shaff ini dinisbahkan kepada para jemaah yang selalu berada
pada barisan terdepan ketika solat, sebagaimana solat yang berada di
barisan pertama maka akan mendapat kemuliaan dan pahala.
 Sufi, istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang disamakan artinya dengan
hikmah, yang berarti kebijaksanaan.
 Shaufanah, yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu, yang
banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan pakaian kaum
sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.
 Shuf, yang berarti bulu domba atau wol. Mereka disebut sufi karena
memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari
bulu domba menjadi pakaian khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu
bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat kasar,
itulah lambang dari kesederhanaan pada saat itu. Berbeda dengan orang
kaya saat itu yang memakai kain sutra. 
 Shuffah, yaitu serambi Masjid Nabawi yang ditempati sebagian sahabat
Rasulullah. Makna tersebut dilatarbelakangi oleh sekelompok sahabat yang
hidup zuhud dan konsentrasi beribadah kepada Allah SWT serta menimba
ilmu bersama Rasulullah yang menghuni serambi Masjid Nabawi.

Sedangkan pengertian tasawuf berdasarkan pendapat para ahli sufi


antara lain sebagai berikut:

 Menurut Al-Junaid Al-Bagdadi (Pemadi, 2004), tasawuf adalah


membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan
akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa
nafsu, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu
kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar
keabadianNya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji
terhadap Allah SWT, dan mengikuti syariat Rasulullah SAW.
 Menurut Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi (Pemadi, 2004), tasawuf
adalah menjabarkan ajaran-ajaran Al Quran dan Sunnah, berjuang
mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bidah. mengendalikan
syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah. 
 Menurut Abu Yazid al-Bustami (Pemadi, 2004), tasawuf mencakup tiga
aspek yaitu takhalli (melepaskan diri dari perangai yang tercela), tahalli
(menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (mendekatkan diri
kepada Tuhan). 
 Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (Alba, 2012), tasawuf adalah
menyucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya dengan khalawt,
riyadloh, taubah dan ikhlas. 
 Menurut Syaikh Ibnu Ajibah (Alba, 2012), tasawuf merupakan ilmu yang
membawa seseorang agar bisa bersama dengan Allah SWT melalui
penyucian jiwa batin dan mempermanisnya dengan amal saleh dan jalan
tasawuf tersebut diawali dengan ilmu, tengahnya amal dan akhirnya
adalah karunia Ilahi. 
 Menurut H. M. Amin Syukur (Alba, 2012), tasawuf adalah latihan dengan
kesungguhan (riya-dloh, mujahadah) untuk membersihkan hati,
mempertinggi iman dan memperdalam aspek kerohanian dalam rangka
mendekatkan diri manusia kepada Allah sehingga segala perhatiannya
hanya tertuju kepada Allah.
B. Tujuan Tasawuf 
Menurut Rivay (2002), tujuan tasawuf adalah sebagai berikut:
 Pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa
yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga
manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf
yang bertujuan moralitas ini bersifat praktis. 
 Ma'rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyaf al-
hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat
ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis analitis. 
 Membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah
secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan
makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan.
C. Nilai-nilai Tasawuf 

Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan


pendidikan dan latihan mental yang panjang. Terdapat nilai-nilai tasawuf yang
harus dijalankan untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam rangka menyucikan
jiwa, yaitu:

 Al Taubat  berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatuubu, taubatan yang
artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah
memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-
sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai
dengan melakukan amal kebajikan (Siregar, 2002). Taubat merupakan
tingkatan pertama yang harus ditempuh para sufi untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Taubat adalah asal dari semua maqam, dan taubat yang
dimaksud oleh para sufi adalah taubat yang sebenarnya yang tidak akan
membawa dosa itu kembali. Taubat dapat dikatakan sah, apabila orang yang
bertaubat tersebut benar-benar menyesal atas perbuatannya serta bertekad
untuk tidak mengulangi lagi sepanjang hidupnya. Orang yang bertaubat
dapat dikenali dengan berbagai tanda, antara lain kepekaan hati, banyak
menangis, mantap dalam ketaatan, menjauhi teman-temannya yang tidak
baik serta tempat-tempat terlarang. Taubat juga harus diiringi dengan
memperbanyak istighfar, baik di tengah malam maupun di siang hari, dan
memperbanyak amal perbuatan yang baik.
 Al Zuhud  berasal berasal dari istilah al-zaahiduun, yang maknanya bahwa
saudara-saudara Yusuf sudah tidak tertarik lagi hatinya kepada Yusuf. Selain
itu kata zuhud juga berawal dari kata zahada yang artinya benci dan
meninggalkan sesuatu. Dari ungkapan ini, sikap zuhud diartikan sebagai
sikap tidak terpengaruhnya hati kepada masalah keduniaan (Sholikhin,
2009).
Menurut istilah, arti zuhud adalah mengarahkan seluruh keinginan
hanya kepada Allah SWT serta menyatukan kemauan kepada Nya dan hanya
sibuk dengan Nya dibandingkan dengan kesibukan lainnya. sebagaimana Al-
Junayd berkata, zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan
mengososngkan hati dari kelatahan. Maksudnya bahwa seorang sufi tidak
memiliki sesuatu yang berharga melainkan hanya Tuhan yang dirasakan
dekat dengan dirinya (Amin, 2012). Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga
jenis kezuhudan, yaitu; pertama, kezuhudan orang-orang awam dalam
peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan
dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan
hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya
benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, kezuhudan orang-orang
khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah
kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan
manusia suci (Ismail, 1998).
 Wara' artinya menjauhi dosa, lemah, lunak hati dan penakut. Menurut
Ibrahim ibn Adham, wara' adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang
meragukan) dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna. Wara'
merupakan suatu permulaan dari zuhud, sedangkan yang merupakan akhir
dari keridhoaan itu adalah qana'ah.
Menurut Yahya bin Mu'adz, terdapat dua tingkatan Wara' yaitu wara'
lahir dan wara' batin. Wara' lahir yaitu semua gerak kegiatan yang hanya
ditunjukan hanya kepada Allah SWT sedangkan wara' batin yaitu hati yang
sama sekali tidak dimasuki oleh sesuatu melainkan hanya mengingat Allah
SWT semata jadi tidak ada di dalam hatinya itu masukan yang menduakan
Allah SWT dengan yang lainnya atau yang menyamaiNya.
 Al Shabr  atau sabar adalah menahan dan mencegah diri. Menurut Zun al
Nun al Mishri, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan
dengan kehendak Allah, tapi tenang ketika mendapat cobaan dan
menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam keadaan
fakir dalam bidang ekonomi (Nata, 1996).
Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, sabar dibagi dalam tingkatan
yaitu (Amin, 2012):
1. As-shobru lillah, (sabar untuk Alllah), yaitu keteguhan hati dalam
melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. 
2. As-shobru ma'allah (sabar bersama Allah), yaitu keteguhan hati dalam
menerima segala keputusan dan tindakan Allah. 
3. As-shobru 'alallah (sabar atas Allah), yaitu keteguhan hati dan
kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang diijinkanNya, seperti
berupa rizki dan kesulitan hidup.
 Taslim adalah sikap mental dalam menghadapi ketetapan-ketetapan Allah
baik bersifat hukum atau kodrat iradrat Allah. Taslim berkaitan dengan
berserah diri patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara lahir
dan batin. Kewajiban seorang muslim untuk tunduk dan taslim secara
sempurna serta tunduk kepada perintahnya.
 Ikhlas adalah terpeliharanya diri dari ketidak ikut campuran semua makhluk.
Ikhlas arti bahasanya adalah murni. Tidak ada campuran sedikitpun.
Maksudnya di dalam menjalankan amal ibadah apa saja disertai dengan niat
yang ikhlas tanpa pamrih duniawi, baik pamrih yang bersifat moral maupun
batin lebih-lebih pamrih dalam bentuk material. Ibadah apa saja. Baik ibadah
yang berhubungan langsung kepada Allah wa Rasulihi SAW maupun yang
berhubungan di dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap sesama makhluk
pada umumnya. Ikhlas dalam pandangan sufi dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu (Isa, 2005):
1. Ikhlasnya orang awam yaitu melakukan ibadah kepada Allah akan tetapi
masih mengharapkan sesuatu dari Allah seperti pahala, surga,
keselamatan dunia dan akhirat.
2. Ikhlasnya orang khawass yaitu ikhlas dalam melakukan ibadah kepada
Allah dan tidak mengharapkan pahala duniawi, tetapi mengharapkan
pahala ukhrawi.
3. Ikhlasnya orang khawwas al-khawwas yaitu beribadah kepada Allah dan
mengesampingkan mengharapkan pahala baik dunia maupun akhirat.
Ibadahnya hanya semata-mata kepada Allah dan didorong oleh perasaan
cinta kepada Allah.
 Tawakkal berasal dari kata tawakkul yang artinya mewakilkan atau
menyerahkan. Tawakkal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah
dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti
akibat dari suatu keadaan. Secara harfiah tawakkal adalah menyerahkan diri.
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari
keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari
agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya,
pengetahuanNya Maha Luas, Ia yang menguasai dan mengatur alam semesta
ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala
persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa
curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
 Syukur  Untuk mencapai tingkat dalam perbaikan akhlak, kaum shufi
mengajarkan sifat syukur atau berterima kasih kepada Tuhan atas segala
nikmat pemberian Allah. Syukur ialah keadaan seseorang mempergunakan
nikmat yang diberikan oleh Allah itu kepada kebajikan. Hakikat syukur
adalah dengan cara mengingat kepada kebaikan yang diberikan orang yang
berbuat baik dengan memujinya, dengan mengingat akan kebaikan Allah
SWT (Zahri, 1998). Terdapat tiga bagian syukur, yaitu (Zahri, 1998):
1. Syukur dengan lisan maksudnya adalah dengan cara merendahkan diri
dan semua kenikmatan yang kita dapati itu semua adalah merupakan
pemberian dari Allah SWT. 
2. Syukur dengan badan, senantiasa untuk selalu mengabdi dan juga
sepakat kepada-Nya.
3. Syukur dengan hati, dihadapan Allah swt, ia selalu mengasingkan akan
dirinya dan dengan cara tetap menjaga akan keagungan Allah swt dan
biasanya ini menunjukkan syukurnya orang yang ahli dalam ma'rifat.
 Al Ridha adalah menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap
apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima, serta melaksanakan
ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib
dirinya (Syahbat, 2001). Ridha merupakan maqam yang lebih mulia dan
tinggi daripada sabar, ridha merupakan kepasrahan jiwa yang akan
membawa seorang ahli makrifat segala suatu yang diridhai oleh Allah.
Rasulullah saw menjelaskan bahwa orang yang ridha terhadap ketetapan
Allah adalah orang yang paling kaya, sebab ia adalah orang yang merasakan
kebahagiaan dan ketenteraman serta paling jauh dari kesedihan, kemarahan,
dan kekayaan (Isa, 2005).
 Mahabbah Arti Mahababah secara bahasa adalah cinta. Sedangkan secara
terminologi mahabbah adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal.
Sedangkan arti mahabbah dalam jalan sufi adalah suatu usaha yang wajib
untuk dikerjakan demi mencintai Allah SWT. Orang-orang yang mencintai
Allah (muhibbin) terbagi tiga kelompok, yaitu masyarakat umum (awam),
elit spiritual (khawash), dan elit spiritual terkemuka (khawash al-khawash).
Kecintaan kelompok awam kepada Allah lahir sebagai akibat dari banyaknya
kebaikan Allah. Kecintaan kelompok khawash kepadaNya lahir sebagai
akibat keterbebasan dari ketercelaan. Adapun kecintaan kelompok khawash
al-khawash merupakan ungkapan tentang luapan cinta (al 'isyq) di mana
orang yang jatuh cinta terhapus di hadapan cahaya kekasihnya.
D. Sejarah muncul Tasawuf

Membaca buku berjudul tasawuf modern menyadarkan kita mengenai hakikat


tasawuf yang sebenarnya. Dimana memiliki cakupan yang cukup luas. Bukan
hanya berada pada pembahasan mengenai kesufian yakni yang mengasingkan diri
dari kesenangan dunia.

Tasawuf telah tumbuh dan berkembang sejak lama, tepatnya sejak zamannya
Nabi Muhammad Saw. Ilmu Tasawuf memiliki banyak manfaat, salah satunya
dapat menjadi alat untuk menghadapi kehidupan ini. Dengan tasawuf, orang-orang
besar Islam seperti Diponegoro, Imam Bonjol, dan Cik Di Tiro menentang
penjajahan. Dengan tasawuf, Amir Abdul Kadir al-Jazairi berani melawan Prancis.

Pada abad kedua, Tasawuf hanya terkenal di Kufah dan Bashrah. Baru pada
permulaan abad ketiga, Tasawuf mulai tumbuh dan berkembang secara luas ke
kota-kota lain, bahkan hingga ke kota Baghdad. Pada masa itu, esensi Tasawuf
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu Metafisika
atau ilmu tentang hal yang gaib (hal 115-118).

Terkait definisi Tasawuf itu sendiri, terdapat keberagaman pendapat. Ada


yang berpendapat, kata Tasawuf diambil dari kata shafaa, artinya bersih. Ada juga
yang berpendapat bahwa Tasawuf berasal dari kata shuffah, yaitu sebuah kamar di
samping masjid Rasulullah Saw. di kota Madinah yang sengaja disediakan untuk
para sahabat beliau yang miskin tapi memiliki iman kuat, di mana kebutuhan
makan minum mereka ditanggung oleh orang-orang mampu (kaya) di Madinah.
Ada juga yang berpendapat, kata Tasawuf berasal dari kata Shaff, yaitu barisan-
barisan shaf dalam shalat, sebab orang-orang yang kuat imannya dan murni
kebatinannya itu biasanya shalat dengan memilih shaf pertama (hal 100).

Namun, beragam pendapat tentang definisi Tasawuf di atas ternyata masih


kurang tepat. Secara detail, Al-Junaid, salah satu tokoh besar Tasawuf,
mengemukakan; Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu
perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal
(instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi
segala seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung
pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting (terlebih bersifat
kekal),.menaburkan nasihat pada sesama manusia, memegang teguh janji dengan
Allah dalam hal hakikat, dan meneladani syariat Rasulullah Saw (hal 104).

Seorang ahli Tasawuf (sufi) sejati, biasanya menjunjung tinggi syariat dan
akan menjalankannya dengan tidak banyak bertanya. Jika mereka bertemu dengan
satu perintah atau larangan, mereka akan turuti atau hentikan dengan perasaan
ridha dan patuh. Bahkan terkadang, hadits yang dipandang dhaif (lemah) oleh para
ahli hadits pun diamalkan isinya oleh mereka dengan tidak banyak menanyakan
siapa yang merawikan (hal 108).

Pada abad ketiga dan keempat, esensi utama ilmu Tasawuf adalah tentang
hubungan cinta manusia dengan Tuhan. Rabi’ah al-Adawiyah terlebih dahulu telah
mengungkapkan jiwa ke-Tasawufan dengan ajarannya yang terkenal, yaitu Hubba,
cinta. Sementara itu, Ma’ruf al-Karakhi, seorang pemimpin besar Tasawuf di
Baghdad, menambah hasil peroleh jiwa dari cinta itu, yakni Thuma’ninah
(ketenteraman jiwa) karena cinta. Ketenteraman jiwa itulah yang menjadi
tujuannya. Sebab, kekayaan yang sebenarnya dan bersifat kekal itu bukanlah
berupa harta benda, melainkan kekayaan hati.

Kekayaan hati hanya bisa diperoleh dengan jalan makrifat, yang kenal pada
yang dicintai. Sebab, apabila yang dicintai itu telah dikenal, maka kebahagiaan dan
ketenteraman hati akan dengan mudah diperoleh. Dengan demikian, akan tampak
kecil segala urusan “kebendaan” dalam penglihatan mata-hati. Haris al-Muhasibi
pernah menjelaskan bahwa rasa cinta seorang makhluk kepada Sang Khaliq
merupakan anugerah Ilahi yang disemaikan Tuhan di dalam hati orang yang
mencintainya (hal 116-117).

Melalui buku ini, Buya Hamka berupaya menyelidiki Tasawuf Islam sejak
dari masa tumbuhnya, tepatnya sejak awal Islam ditegakkan oleh Nabi
Muhammad Saw. bersama para sahabat, hingga membahas hubungan antara
Tasawuf dengan Filsafat.

A. Munculnya Tasawuf

Kemunculan Tasawuf sebagai substansi bermula dari abad pertama


Hijriah, tetapi perlu digaris bawahi bahwa istilah Tasawuf hampir tidak pernah
dipakai pada dua abad pertama Hijriah. Kemunculan Tasawuf dapat disebut
sebagai bentuk perlawanan terhadap penyimpangan dari ajaran Islam yang
sudah di luar batas syariat.
Para penguasa saat itu sering menggunakan Islam sebagai alat legitimasi
ambisi pribadi. Bahwa dalam praktek selanjutnya dijumpai penyimpangan-
penyimpangan, terutama pada tataran tarekat, adalah hal yang bisa dimaklumi.
Tetapi konsistensi menjadikan syariat agama sebagai koridor membuat
perkembangan Tasawuf tetap tidak terlepas dari agama Islam, meski Tasawuf
itu sendiri bersifat universal, ada pada semua agama.

E. Kedudukan Tasawuf Dalam Syari`at Islam

Keteladan Rosulullah Saw yang telah mendapatkan penilaian super cum


laude dari Allah, adalah target yang ingin dicapai atau setidaknya didekati
oleh/dengan tasawuf keteladanan itu. Sufisme atau tasawuf atau mistisisme Islam,
adalah suatu situasi pengalaman spiritual yang pararel dengan aliran utama
kesadaran Islam yang diurunakan dari wahyu profetis dan yang dipahami dalam
syai1ah dan teologi. Dalam madzhab sufi mengatakan mistisisme adalah metode
tertentu dalam penghampiran kepada realitas dengan memamfaatkan fakultas-
fakultas spiritual intuitif dan emosional yang umumnya tidak aktif dan terpendam.

Sufisme adalah bunga atau getah dari pohon Islam. Atau dapat pula
dikatakan bahwa sufisme adalah permata diatas mahkota Islam. Ketika kita
berbicara sufisme, maka sebenarnya kita sedang berbicara mengenai aspek tradisi
Islam yang paling dalam dan universal. Kenyataan bahwa pada saat ini di Barat
banyak sekali perhatian yang tertuju kepada metafisika dan spiritualitas Timur.

F. Tasawuf modern

Tasawuf modern bagi Hamka berdasar pada prinsip "tauhid" , tidak perlu
terus menerus menyepi serta menjauhi kehidupan normal. Seorang sufi di era
modern bersifat dinamis tidak statis. Misalnya, semakin meningginya kepekaan
sosial dalam diri sufi. Tasawuf bagi Hamka bertujuan untuk memperbaiki budi
bekerti dan membersihkan batin. Tasawuf berfungsi untuk membentengi diri dari
penyakit hati yang menghinggapinya.bTasawuf modern bagi Hamka adalah
penerapan dari sifat: qanaah, ikhlas, fakir tetapi tetap semangat dalam bekerja.
Selain itu, seorang sufi di abad modern juga dituntut untuk bekerja secara
giat dengan diniati karena Allah SWT. Hamka memberi panduan dalam beretika
atau bersikap bagi seorang sufi berdasarkan profesi masing masing. Terdapat etika
di bidang pemerintahan, bisnis dan ekonomi, serta etika akademisi yang meliputi
guru, murid, dokter, pengacara dan pengarang. Jika seorang muslim dengan
beberapa profesi tersebut dapat mengaplikasikan nilai-nilai Islam maka, Ia bisa di
sebut sebagai seorang sufi di abad modern.

G.Sejarah Perkembangan Tassawuf di Indonesia


Dijelaskan dalam Anwar,(2014:241) dan Amin, (2012:324) keduanya
menyepakati bahwa perkembangan tassawuf di Indonesia sangat erat kaitannya
dengan masuknya Islam ke Indonesia. Keduanya juga mengatakan bahwa
tersebarnya Islam di Indonesia sebagian besar berkat jasa kaum sufi. Diperjelas
oleh Dr. Alwi Shihab dalam Amin, (2012:324) menurutnya Islam yang pertama
datang di Indonesia adalah Islam sufistik. Ia juga menambahkan bahwa mayoritas
peneliti mengakui bahwa agama Islam berkembang secara pesat di negara-negara
Asia Tenggara adalah berkat kontribusi toloh-tokoh tassawuf. Hal ini disebabkan
sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Di samping itu,
terdapat kesepakatan di kalangan peneliti bahwa tassawuf memiliki peran penting
dalam proses tersebarnya Islam.

Pernyataan Dr Alwi Shihab diatas dibuktikan oleh Hawash Abdullah


sebagaimana yang dikutip oleh Anwar, (2014:241) Hawash mengatakan bahwa
kaum sufi memeliki peran yang besar terhadap penyebaran Islam pertama kalinya
di Nusantara. Ia menyebutkan pula salah satu tokoh sufi yaitu Syekh Abdullah
Arif yang menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke-12
M. Ia adalah seorang pendatang ke Nusantara bersama banyak Muballigh lainnya
yang diantaranya bernama Syekh Ismail Zaffi.

Banyak sekali pendapat-pendapat yang menyetujui bahwa sufilah yang


mempunyai peranan penting dalam tersebarnya agama Islam. A.H Johns,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, berpendapat bahwa para sufi pengembara
yang terutama melakukan penyiaran Islam di Nusantara. Para sufi ini berhasil
mengislamkan jumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke-13
(Anwar, 2014:242). Abbas Mahmud Al-Aqqad dalam (Amin, 2012:325) juga
menambahkan bahwasanya kepulauan Indonesia bisa disebut sebagai tempat yang
paling layak untuk membuktikan bahwa Islam diterima dan berkembang di tengah-
tengah penduduk yang sudah menganut agama lain. Pendapat Abbas ini sangat
senada dengan penegasan Hawash Abdullah, beliau berkesimpulan bahwa pada
tahun-tahun pertama masuknya Islam ke Nusantara, para sufilah dan bukan yang
lainnya yang paling banyak jasanya. Hampir semua daerah yang pertama memeluk
Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari Animisme, Dinamisme,
Budhaisme, dan Hinduisme karena tertarik kepada ajaran tasawuf. Adapun faktor
utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam
kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau
kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik agama lokal.
(Anwar, 2014:241-242)

Amin,(2012:326) memaparkan lebih rinci bahwa pada proses Islamisasi


tahap awal, Islam tidak langsung diterima oleh masyarakat lapisan bawah. Di
daerah Jawa misalanya, Islam semula dipraktikan hanya oleh sekelompok kecil
yang aktif dan dinamis dalam membawa risalah agama. Mereka juga bertugas
melaksanakan kegiatan keislaman atas nama seluruh masyarakat desa. Pada waktu
itu sebagian besar penduduknya masih menganut kepercayaan leluhur atau
kalaupun sudah memeluk Islam hanya sebagai formalitas. Islam pada awal masuk
ke Indonesia nuansa tasawufnya amat dominan. sementara itu animisme,
dinamisme, Hindu dan Buddha juga lebih dulu sangat dominan. karena nuansa
mistik melekat kuat kepada kepercayaan dan agama tersebut, maka Islam dengan
warna tasawuf lebih mudah diterima.

Martin van Bruinessen, seorang peneliti dari Belanda, membenarkan


anggapan umum yang menyatakan bahwa tassawuf dan berbagai tarekat telah
memainkan peranan penting dalam proses penyebaran Islam di Indonesia.
Menurutnya, pada abad-abad Islamisasi Asia Tenggara termasuk didalamnya
Indonesia, berbarengan dengan merebaknya tasawuf dan tarekat di dunia Islam.
Berikut uraian yang disampaikan Martin dalam Amin, (2012:327-328):

1. Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M) menguraikan konsep moderat


tasawuf Akhlaqi yang dapat diterima di kalangan fuqaha.
2. Ibnu Arabi (w. 1240 M) menghasilkan karya yang sangat
memengaruhi ajaran hampir semua sufi generasi setelahnya.
3. Abdul Qadir Al-Jailani (w. 1166 M) menjadikan ajarannya sebagai
dasar tarekat Qadiriyyah.
4. Abu An-Najib As-Suhrawardi (w. 1167 M) mendirikan tarekat
Suhrawardiyyah.
5. Najmuddin Al-Kubra (w. 1221 M) merupakan tokoh sufi Asia Tengah
yang produktif dan mendirikan tarekat Kubrawiyyah
6. Abul Hasan Asy-Syadzili (w. 1389 M) merupakan sufi Afrika Utara
dan mendirikan tarekat Syadziliyyah.
7. Abdullah Asy-Syattari (w. 1428 M) mendirikan tarekat Syattariyyah.

Amin, (2012:328) juga menambahkan bahwa ajaran Islam yang diajarkan


kepada penduduk setempat diwarnai dengan amalan sufi. Para sejarawan
mengemukakan bahwa inilah yang membuat mereka tertarik. Dengan kata lain,
perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan proses
Islamisasi di Indonesia dapat berlangsung dengan mudah dan cepat. Bahkan Islam
di Indonesia sampai sekarang masih diliputi dengan perilaku sufistik dan
kegemaran terhadap hal-hal yang keramat. Masih dipaparkan oleh Amin,
(2012:334) beliau menuliskan tentang tassawuf yang berkembang pada masa awal
di Indonesia, didominasi oleh tassawuf aliran sunni. Kalaupun ada penganut
tassawuf aliran falsafi, pengaruhnya tidak begitu luas dan bahkan mendapat
perlawanan dari pengikut sunni. Oleh karena itu, tanpa ragu HAMKA menulis
bahwa tassawuf di Indonesia sejalan dengan mazhab Ahl As-Sunnah wa Al-
Jama'ah.
Keberadaan tassawuf di Indonesia itu sendiri tidak lepas dari peranan
berbagai tokoh-tokoh sufi yang membawa ajaran Islam ke Indonesia. Maka jika
kita telaah terhadap berbagai pendapat yang telah penulis paparkan diatas, maka
perkembangan sejarah tassawuf di Indonesia ini perkembangannya beriringan atau
bersamaan dengan Islamisasi di Indonesia itu sendiri.

H. Tasawuf dan Etos Kerja

Menurut ajaran Islam, bekerja itu wajib, setidaknya untuk memenuhi


kebutuhan diri sendiri, keluarga dan umat. Tasawuf pun sejalan dengan ajaran
dasar Islam, sehingga tasawuf tidak melemahkan etos kerja, tetapi malah dapat
memperkuat etos kerja.

1. Konsep etos kerja dalam tasawuf

Untuk meningkatkan semangat atau etos kerja dalam diri kita, para
ahli sufi telah mengajarkan kita melalui sikap yang mereka contohkan dalam
kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan konsep tasawuf, diantaranya
sebagai berikut :

a. Optimisme
Optimisme atau harapan dalam tasawuf disebut raja’. Raja’ ialah
mengharapkan rahmat Allah SWT yang sesungguhnya selalu mengelilingi
kita, tetapi jarang diperhatikan.

Optimisme jelas mengandung etos kerja yang tinggi, karena untuk


mewujudkan optimisme diperlukan ikhtiar. Hal itu berarti bahwa tasawuf
sangat mendorong kita untuk bekerja keras sebagai perwujudan optimisme.
Dan jika hasil kerja keras tersebut tidak sesuai yang diharapkan, maka kita
tidak boleh putus asa.

b. Istiqomah
Istiqomah berarti teguh atau konsisten, maksudnya konsisten pada
jalan yang lurus dan benar dalam niat, perkataan dan perbuatan. Istiqomah
merupakan salah satu cara mendekatkan diri pada Tuhan.

Dalil naqli yang menjelaskan perlunya istiqomah, yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah


Allah SWT, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka
malaikat

Anda mungkin juga menyukai