Disusun Oleh:
MUHAMMAD ASHARI
Semester : 4 MPI D
A. Definisi Tasawuf
Tasawuf adalah salah satu upaya atau usaha yang dilakukan oleh seseorang
untuk menyucikan jiwa dengan cara menjauhi pengaruh kehidupan yang bersifat
kesenangan duniawi dengan cara mendekatkan diri kepada Allah sehingga
kehadiran Allah senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan (Pemadi,
2004).
Ahlu suffah, yaitu sekelompok orang pada masa Rasulullah yang hidupnya
diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka
mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
Shafa, yaitu nama bagi orang-orang yang bersih atau suci. Makna tersebut
sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang bersih atau suci,
maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya di hadapan Allah
SWT.
Shaf, yaitu orang-orang yang ketika salat berada di barisan yang paling
depan. Makna shaff ini dinisbahkan kepada para jemaah yang selalu berada
pada barisan terdepan ketika solat, sebagaimana solat yang berada di
barisan pertama maka akan mendapat kemuliaan dan pahala.
Sufi, istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang disamakan artinya dengan
hikmah, yang berarti kebijaksanaan.
Shaufanah, yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu, yang
banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan pakaian kaum
sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.
Shuf, yang berarti bulu domba atau wol. Mereka disebut sufi karena
memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari
bulu domba menjadi pakaian khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu
bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat kasar,
itulah lambang dari kesederhanaan pada saat itu. Berbeda dengan orang
kaya saat itu yang memakai kain sutra.
Shuffah, yaitu serambi Masjid Nabawi yang ditempati sebagian sahabat
Rasulullah. Makna tersebut dilatarbelakangi oleh sekelompok sahabat yang
hidup zuhud dan konsentrasi beribadah kepada Allah SWT serta menimba
ilmu bersama Rasulullah yang menghuni serambi Masjid Nabawi.
Al Taubat berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatuubu, taubatan yang
artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah
memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-
sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai
dengan melakukan amal kebajikan (Siregar, 2002). Taubat merupakan
tingkatan pertama yang harus ditempuh para sufi untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Taubat adalah asal dari semua maqam, dan taubat yang
dimaksud oleh para sufi adalah taubat yang sebenarnya yang tidak akan
membawa dosa itu kembali. Taubat dapat dikatakan sah, apabila orang yang
bertaubat tersebut benar-benar menyesal atas perbuatannya serta bertekad
untuk tidak mengulangi lagi sepanjang hidupnya. Orang yang bertaubat
dapat dikenali dengan berbagai tanda, antara lain kepekaan hati, banyak
menangis, mantap dalam ketaatan, menjauhi teman-temannya yang tidak
baik serta tempat-tempat terlarang. Taubat juga harus diiringi dengan
memperbanyak istighfar, baik di tengah malam maupun di siang hari, dan
memperbanyak amal perbuatan yang baik.
Al Zuhud berasal berasal dari istilah al-zaahiduun, yang maknanya bahwa
saudara-saudara Yusuf sudah tidak tertarik lagi hatinya kepada Yusuf. Selain
itu kata zuhud juga berawal dari kata zahada yang artinya benci dan
meninggalkan sesuatu. Dari ungkapan ini, sikap zuhud diartikan sebagai
sikap tidak terpengaruhnya hati kepada masalah keduniaan (Sholikhin,
2009).
Menurut istilah, arti zuhud adalah mengarahkan seluruh keinginan
hanya kepada Allah SWT serta menyatukan kemauan kepada Nya dan hanya
sibuk dengan Nya dibandingkan dengan kesibukan lainnya. sebagaimana Al-
Junayd berkata, zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan
mengososngkan hati dari kelatahan. Maksudnya bahwa seorang sufi tidak
memiliki sesuatu yang berharga melainkan hanya Tuhan yang dirasakan
dekat dengan dirinya (Amin, 2012). Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga
jenis kezuhudan, yaitu; pertama, kezuhudan orang-orang awam dalam
peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan
dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan
hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya
benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, kezuhudan orang-orang
khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah
kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan
manusia suci (Ismail, 1998).
Wara' artinya menjauhi dosa, lemah, lunak hati dan penakut. Menurut
Ibrahim ibn Adham, wara' adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang
meragukan) dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna. Wara'
merupakan suatu permulaan dari zuhud, sedangkan yang merupakan akhir
dari keridhoaan itu adalah qana'ah.
Menurut Yahya bin Mu'adz, terdapat dua tingkatan Wara' yaitu wara'
lahir dan wara' batin. Wara' lahir yaitu semua gerak kegiatan yang hanya
ditunjukan hanya kepada Allah SWT sedangkan wara' batin yaitu hati yang
sama sekali tidak dimasuki oleh sesuatu melainkan hanya mengingat Allah
SWT semata jadi tidak ada di dalam hatinya itu masukan yang menduakan
Allah SWT dengan yang lainnya atau yang menyamaiNya.
Al Shabr atau sabar adalah menahan dan mencegah diri. Menurut Zun al
Nun al Mishri, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan
dengan kehendak Allah, tapi tenang ketika mendapat cobaan dan
menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam keadaan
fakir dalam bidang ekonomi (Nata, 1996).
Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, sabar dibagi dalam tingkatan
yaitu (Amin, 2012):
1. As-shobru lillah, (sabar untuk Alllah), yaitu keteguhan hati dalam
melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
2. As-shobru ma'allah (sabar bersama Allah), yaitu keteguhan hati dalam
menerima segala keputusan dan tindakan Allah.
3. As-shobru 'alallah (sabar atas Allah), yaitu keteguhan hati dan
kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang diijinkanNya, seperti
berupa rizki dan kesulitan hidup.
Taslim adalah sikap mental dalam menghadapi ketetapan-ketetapan Allah
baik bersifat hukum atau kodrat iradrat Allah. Taslim berkaitan dengan
berserah diri patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara lahir
dan batin. Kewajiban seorang muslim untuk tunduk dan taslim secara
sempurna serta tunduk kepada perintahnya.
Ikhlas adalah terpeliharanya diri dari ketidak ikut campuran semua makhluk.
Ikhlas arti bahasanya adalah murni. Tidak ada campuran sedikitpun.
Maksudnya di dalam menjalankan amal ibadah apa saja disertai dengan niat
yang ikhlas tanpa pamrih duniawi, baik pamrih yang bersifat moral maupun
batin lebih-lebih pamrih dalam bentuk material. Ibadah apa saja. Baik ibadah
yang berhubungan langsung kepada Allah wa Rasulihi SAW maupun yang
berhubungan di dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap sesama makhluk
pada umumnya. Ikhlas dalam pandangan sufi dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu (Isa, 2005):
1. Ikhlasnya orang awam yaitu melakukan ibadah kepada Allah akan tetapi
masih mengharapkan sesuatu dari Allah seperti pahala, surga,
keselamatan dunia dan akhirat.
2. Ikhlasnya orang khawass yaitu ikhlas dalam melakukan ibadah kepada
Allah dan tidak mengharapkan pahala duniawi, tetapi mengharapkan
pahala ukhrawi.
3. Ikhlasnya orang khawwas al-khawwas yaitu beribadah kepada Allah dan
mengesampingkan mengharapkan pahala baik dunia maupun akhirat.
Ibadahnya hanya semata-mata kepada Allah dan didorong oleh perasaan
cinta kepada Allah.
Tawakkal berasal dari kata tawakkul yang artinya mewakilkan atau
menyerahkan. Tawakkal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah
dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti
akibat dari suatu keadaan. Secara harfiah tawakkal adalah menyerahkan diri.
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari
keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari
agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya,
pengetahuanNya Maha Luas, Ia yang menguasai dan mengatur alam semesta
ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala
persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa
curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Syukur Untuk mencapai tingkat dalam perbaikan akhlak, kaum shufi
mengajarkan sifat syukur atau berterima kasih kepada Tuhan atas segala
nikmat pemberian Allah. Syukur ialah keadaan seseorang mempergunakan
nikmat yang diberikan oleh Allah itu kepada kebajikan. Hakikat syukur
adalah dengan cara mengingat kepada kebaikan yang diberikan orang yang
berbuat baik dengan memujinya, dengan mengingat akan kebaikan Allah
SWT (Zahri, 1998). Terdapat tiga bagian syukur, yaitu (Zahri, 1998):
1. Syukur dengan lisan maksudnya adalah dengan cara merendahkan diri
dan semua kenikmatan yang kita dapati itu semua adalah merupakan
pemberian dari Allah SWT.
2. Syukur dengan badan, senantiasa untuk selalu mengabdi dan juga
sepakat kepada-Nya.
3. Syukur dengan hati, dihadapan Allah swt, ia selalu mengasingkan akan
dirinya dan dengan cara tetap menjaga akan keagungan Allah swt dan
biasanya ini menunjukkan syukurnya orang yang ahli dalam ma'rifat.
Al Ridha adalah menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap
apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima, serta melaksanakan
ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib
dirinya (Syahbat, 2001). Ridha merupakan maqam yang lebih mulia dan
tinggi daripada sabar, ridha merupakan kepasrahan jiwa yang akan
membawa seorang ahli makrifat segala suatu yang diridhai oleh Allah.
Rasulullah saw menjelaskan bahwa orang yang ridha terhadap ketetapan
Allah adalah orang yang paling kaya, sebab ia adalah orang yang merasakan
kebahagiaan dan ketenteraman serta paling jauh dari kesedihan, kemarahan,
dan kekayaan (Isa, 2005).
Mahabbah Arti Mahababah secara bahasa adalah cinta. Sedangkan secara
terminologi mahabbah adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal.
Sedangkan arti mahabbah dalam jalan sufi adalah suatu usaha yang wajib
untuk dikerjakan demi mencintai Allah SWT. Orang-orang yang mencintai
Allah (muhibbin) terbagi tiga kelompok, yaitu masyarakat umum (awam),
elit spiritual (khawash), dan elit spiritual terkemuka (khawash al-khawash).
Kecintaan kelompok awam kepada Allah lahir sebagai akibat dari banyaknya
kebaikan Allah. Kecintaan kelompok khawash kepadaNya lahir sebagai
akibat keterbebasan dari ketercelaan. Adapun kecintaan kelompok khawash
al-khawash merupakan ungkapan tentang luapan cinta (al 'isyq) di mana
orang yang jatuh cinta terhapus di hadapan cahaya kekasihnya.
D. Sejarah muncul Tasawuf
Tasawuf telah tumbuh dan berkembang sejak lama, tepatnya sejak zamannya
Nabi Muhammad Saw. Ilmu Tasawuf memiliki banyak manfaat, salah satunya
dapat menjadi alat untuk menghadapi kehidupan ini. Dengan tasawuf, orang-orang
besar Islam seperti Diponegoro, Imam Bonjol, dan Cik Di Tiro menentang
penjajahan. Dengan tasawuf, Amir Abdul Kadir al-Jazairi berani melawan Prancis.
Pada abad kedua, Tasawuf hanya terkenal di Kufah dan Bashrah. Baru pada
permulaan abad ketiga, Tasawuf mulai tumbuh dan berkembang secara luas ke
kota-kota lain, bahkan hingga ke kota Baghdad. Pada masa itu, esensi Tasawuf
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu Metafisika
atau ilmu tentang hal yang gaib (hal 115-118).
Seorang ahli Tasawuf (sufi) sejati, biasanya menjunjung tinggi syariat dan
akan menjalankannya dengan tidak banyak bertanya. Jika mereka bertemu dengan
satu perintah atau larangan, mereka akan turuti atau hentikan dengan perasaan
ridha dan patuh. Bahkan terkadang, hadits yang dipandang dhaif (lemah) oleh para
ahli hadits pun diamalkan isinya oleh mereka dengan tidak banyak menanyakan
siapa yang merawikan (hal 108).
Pada abad ketiga dan keempat, esensi utama ilmu Tasawuf adalah tentang
hubungan cinta manusia dengan Tuhan. Rabi’ah al-Adawiyah terlebih dahulu telah
mengungkapkan jiwa ke-Tasawufan dengan ajarannya yang terkenal, yaitu Hubba,
cinta. Sementara itu, Ma’ruf al-Karakhi, seorang pemimpin besar Tasawuf di
Baghdad, menambah hasil peroleh jiwa dari cinta itu, yakni Thuma’ninah
(ketenteraman jiwa) karena cinta. Ketenteraman jiwa itulah yang menjadi
tujuannya. Sebab, kekayaan yang sebenarnya dan bersifat kekal itu bukanlah
berupa harta benda, melainkan kekayaan hati.
Kekayaan hati hanya bisa diperoleh dengan jalan makrifat, yang kenal pada
yang dicintai. Sebab, apabila yang dicintai itu telah dikenal, maka kebahagiaan dan
ketenteraman hati akan dengan mudah diperoleh. Dengan demikian, akan tampak
kecil segala urusan “kebendaan” dalam penglihatan mata-hati. Haris al-Muhasibi
pernah menjelaskan bahwa rasa cinta seorang makhluk kepada Sang Khaliq
merupakan anugerah Ilahi yang disemaikan Tuhan di dalam hati orang yang
mencintainya (hal 116-117).
Melalui buku ini, Buya Hamka berupaya menyelidiki Tasawuf Islam sejak
dari masa tumbuhnya, tepatnya sejak awal Islam ditegakkan oleh Nabi
Muhammad Saw. bersama para sahabat, hingga membahas hubungan antara
Tasawuf dengan Filsafat.
A. Munculnya Tasawuf
Sufisme adalah bunga atau getah dari pohon Islam. Atau dapat pula
dikatakan bahwa sufisme adalah permata diatas mahkota Islam. Ketika kita
berbicara sufisme, maka sebenarnya kita sedang berbicara mengenai aspek tradisi
Islam yang paling dalam dan universal. Kenyataan bahwa pada saat ini di Barat
banyak sekali perhatian yang tertuju kepada metafisika dan spiritualitas Timur.
F. Tasawuf modern
Tasawuf modern bagi Hamka berdasar pada prinsip "tauhid" , tidak perlu
terus menerus menyepi serta menjauhi kehidupan normal. Seorang sufi di era
modern bersifat dinamis tidak statis. Misalnya, semakin meningginya kepekaan
sosial dalam diri sufi. Tasawuf bagi Hamka bertujuan untuk memperbaiki budi
bekerti dan membersihkan batin. Tasawuf berfungsi untuk membentengi diri dari
penyakit hati yang menghinggapinya.bTasawuf modern bagi Hamka adalah
penerapan dari sifat: qanaah, ikhlas, fakir tetapi tetap semangat dalam bekerja.
Selain itu, seorang sufi di abad modern juga dituntut untuk bekerja secara
giat dengan diniati karena Allah SWT. Hamka memberi panduan dalam beretika
atau bersikap bagi seorang sufi berdasarkan profesi masing masing. Terdapat etika
di bidang pemerintahan, bisnis dan ekonomi, serta etika akademisi yang meliputi
guru, murid, dokter, pengacara dan pengarang. Jika seorang muslim dengan
beberapa profesi tersebut dapat mengaplikasikan nilai-nilai Islam maka, Ia bisa di
sebut sebagai seorang sufi di abad modern.
Untuk meningkatkan semangat atau etos kerja dalam diri kita, para
ahli sufi telah mengajarkan kita melalui sikap yang mereka contohkan dalam
kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan konsep tasawuf, diantaranya
sebagai berikut :
a. Optimisme
Optimisme atau harapan dalam tasawuf disebut raja’. Raja’ ialah
mengharapkan rahmat Allah SWT yang sesungguhnya selalu mengelilingi
kita, tetapi jarang diperhatikan.
b. Istiqomah
Istiqomah berarti teguh atau konsisten, maksudnya konsisten pada
jalan yang lurus dan benar dalam niat, perkataan dan perbuatan. Istiqomah
merupakan salah satu cara mendekatkan diri pada Tuhan.